You are on page 1of 34

PROPOSAL

KARYA TULIS ILMIAH

IDENTIFIKASI KONTAMINASI TELUR CACING SOIL


TRASMITTED HELMINTS PADA LALAPAN SELADA
(LACTUCA SATIVA)

Diajukan untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah


Pada Program Diploma III Analis Kesehatan
Bidang Teknologi Laboratorium Medis

Oleh :
Silviya Qothrunnada
NIM. P1337434120003

PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


JURUSAN ANALIS KESEHATAN POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal karya tulis ilmiah dengan Judul “IDENTIFIKASI


KONTAMINASI TELUR CACING SOIL TRASMITTED HELMINTS
PADA LALAPAN SELADA (LACTUCA SATIVA)” telah mendapat
persetujuan.

Menyetujui,

Pembimbing

Lilik Setyowatiningsih, S.SiT., M.Si


NIP. 198303072010122001

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

proposal karya tulis ilmiah yang berjudul “IDENTIFIKASI KONTAMINASI

TELUR CACING SOIL TRASMITTED HELMINTS PADA LALAPAN

SELADA (LACTUCA SATIVA)” tepat pada waktunya. Proposal karya tulis

ilmiah ini tidak akan terwujud tanpa adanya bimbingan, arahan, serta bantuan dari

berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Marsum, BE., S.Pd., MHP selaku Direktur Politeknik Kesehatan

Kementrian Kesehatan Semarang.

2. Bapak Teguh Budiharjo, S.TP., M.Si selaku Ketua Jurusan Analis Kesehatan

Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang.

3. Ibu Surati, S.T., M.Si.Med selaku Ketua Program Studi DIII Teknologi

Laboratorium Medis Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang.

4. Ibu Lilik Setyowatin`ingsih, S.SiT., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, membimbing dan memberi arahan dalam penyusunan

proposal karya tulis ilmiah ini.

5. Dosen dan staff Jurusan Analis Kesehatan yang telah memberikan ilmu

pengetahuan, arahan dan bimbingan kepada penulis selama menuntut ilmu di

Poltekkes Kemenkes Semarang.

6. Kedua orang tua serta keluarga yang telah memberikan kasih sayang,

dukungan, doa, dan material hingga terselesaikannya proposal karya tulis ilmiah

ini.

iii
7. Teman-teman angkatan 12 yang telah memberikan semangat, dorongan dan

motivasi.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan proposal

karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa proposal karya tulis ilmiah ini masih terdapat

kekurangan dan jauh dari kata sempurna dikarenakan keterbatasan ilmu dan

wawasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk

proposal karya tulis ilmiah ini.

Semarang, 10 Desember 2022

Penyusun

iv
DAFTAR ISI

v
DAFTAR GAMBAR

vi
DAFTAR TABEL

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cacing parasit golongan Nematoda (cacing usus) di bagi menjadi 2

golongan yaitu Soil Transmitted Helminths (STH ) dan golongan Non Soil

Transmitted Helminths (STH ). Golongan STH adalah sekelompok yang

membutuhkan media tanah dalam penyebarannya. Cacing yang tergolong

STH antara lain cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

(Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus). Golongan Non STH adalah sekelompok cacing yang

tidak memerlukan media tanah dalam penyebarannya. Cacing yang

tergolong Non STH antara lain Strongiloidiasis (Strongyloides stercoralis)

dan Cacing Kremi (Enterobius vermicularis) (Depkes, 2011).

Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum

tersebar diseluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih tetap

merupakan suatu masalah kesehatan. Pada umumnya, cacing jarang

menimbulkan penyakit serius tetapi dapat menyebabkan gangguan

kesehatan kronis (Zulkoni, 2011).

Data WHO (2011) menyebutkan bahwa lebih dari 1 miliar

penduduk dunia menderita kecacingan dan sekitar sekitar 40-60%

penduduk Indonesia menderita kecacingan. Cacingan atau sering disebut

juga kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit

dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan tetapi menggerogoti kesehatan

8
tubuh manusia sehingga berakibat pada menurunnya kondisi gizi dan

kesehatan masyarakat (WHO 2011 dalam Solferina, 2013).

Prevalensi penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah di daerah

tropis masih cukup tinggi. Infeksi kecacingan di Indonesia masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat diantaranya yang di sebabkan oleh

nematoda usus contoh Ascaris lumbricoides, cacing tambang, dan

Trichuris trichiura. Salah satu sumber penularannya adalah air dan lumpur

yang digunakan dalam budidaya sayuran. Tanah, sayur-sayuran, dan air

merupakan media transmisi yang penting. Cacing yang ditularkan melalui

tanah disebut Soil Transmitted Helminth. Soil Transmitted Helminth

(STH) adalah kelompok cacing nematoda usus yang memerlukan tanah

untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari stadium non-

infektif menjadi stadium infektif.

Secara umum terdapat dua cara masuknya nematoda usus dalam

menginfeksi tubuh manusia, yaitu melalui mulut dan kulit. Telur-telur

tersebut dapat masuk ke dalam tubuh manusia, diantaranya melalui tidak

bersih dalam mencuci, sayuran yang tidak dimasak sedangkan dari larva

nematoda usus dapat dimungkinkan melalui air yang terkontaminasi.

Penularan kepada hospes baru tergantung kepada tertelannya telur matang

yang infektif atau larva, atau menembusnya larva ke dalam kulit atau

selaput lendir. Seringkali larva di dalam telur ikut tertelan dengan

makanan (Cahyono dkk, 2018).

9
Tanah yang subur membuat Indonesia memiliki bahan pangan

yang melimpah. Melimpahnya bahan pangan masyarakat Indonesia dapat

dengan mudah mengkonsumsinya. Termasuk sayuran, sayuran sangat

mudah ditemuai setiap harinya ataupun dapat ditanam sendiri. Terdapat

dua cara untuk mengkonsumsi sayuran yaitu dengan di masak atau sebagai

lalapan mentah. Kebiasaan memakan sayuran mentah, kebiasaan mencuci

sayuran yang kurang sempurna ataupun kebiasaan tidak mencuci sayuran

sebelum dimakan atau dimasak sehingga kemungkinan masih ada parasit

yang menempel pada sayuran. Hal tersebut memungkinkan penyebab salah

satu penyakit kecacingan yang terjadi di Indonesia. Cacing yang sering

menginfeksi yaitu Soil Transmitted Helminths. Adapun sayuran yang

dapat terkontaminasi cacing STH yaitu daun bawang, kubis, sawi, dan

selada.

Selada merupakan sayuran yang sering dijadikan sebagai lalapan

yang dikonsumsi secara mentah dan merupakan sayuran yang tingginya

dekat dengan tanah sehingga dapat kontak langsung dengan tanah.

Keadaan ini memungkinkan telur STH akan mudah menempel pada daun

selada terutama pada bagian terluar dan ujung selada sehingga

memungkinkan telur cacing menetap di dalamnya. Berdasarkan latar

belakang masalah tersebut, penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui Hasil Identifikasi Jenis Cacing Dewasa Pada Sayuran Selada

Yang Dijual Di Pasar Ngaliyan, Kota Semarang.

10
B. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada kontaminasi Soil Transmitted Helminth (STH) pada selada

(Lactuca sativa) di pasar Ngaliyan?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui kontaminasi selada (Lactuca sativa) dari cacing

STH

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kontaminasi cacing STH pada selada (Lactuca

sativa)

b. Mengetahui jenis cacing STH pada sayuran selada (Lactuca sativa)

c. Mendiskripsikan kontaminasi cacing STH pada sayuran selada

(Lactuca sativa)

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan tentang infeksi nematode usus yang

mengkontaminasi sayuran.

b. Sebagai informasi tambahan bagi pembaca tentang risiko infeksi

kecacingan STH untuk sayuran Selada (Lactuca sativa)

2. Manfaat Praktis

Agar pembaca dapat mengetahui lebih jauh tentang bahaya penularan

tanah cacing (STH) pada selada (Lactuca sativa) untuk melengkapi

11
studi sastra di perpustakaan kampus, juga sebagai sumber bagi peneliti

selanjutnya untuk mempelajarinya.

E. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian yang akan dilakukan bukan merupakan penelitian yang

pertama. Terdapat penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya, dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1. 1 Telaah Penelitian Sejenis


No Peneliti Judul Hasil
1. Nashiha Alsakina, Identifikasi Telur Cacing Terdapat kontaminasi
Adrial, Nita Afriani Soil Transmitted Helminths telur STH pada selada
2018 pada Sayuran Selada yang dijual oleh
(Lactuca Sativa) yang pedagang makanan
Dijual oleh Pedagang sepanjang Jalan Perintis
Makanan di Sepanjang Kemerdekaan Kota
Jalan Perintis Padang sebanyak
Kemerdekaan Kota Padang 38,1%. Jenis telur yang
mengontaminasi adalah
telur Ascaris sp
(34,92%), Trichuris sp
(1,58%) dan telur
cacing tambang
(1,58%).
Rata-rata angka infeksi
Identifikasi Kontaminasi
2. Eka Suciawati 2020 cacing sebesar 20%,
Soil Trasmitted Helmints dengan telur cacing
(STH) pada Sayuran yang banyak ditemukan
Selada (Lactuca sativa) yaitu cacing Ascaris
lumbricoides yakni
lebih dari 60%. Selada
dan daun bawang
merupakan tanaman
yang menjalar atau
dekat dengan tanah
sehingga mudah
terjadinya kontaminasi
oleh parasit

Dari daftar penelitian terdahulu terdapat persamaan dan perbedaan


penelitian sebagai berikut :

1. Persamaan Penelitian

12
Persamaan antara penelitian sebelumnya dengan peneliti yaitu
sama-sama menggunakan data primer dan teknik pengumpulan sampel
menggunakan total sampling.
2. Perbedaan Penelitian
Penelitian oleh Nashiha Alsakina, Adrial, Nita Afriani
menggunakan metode deskriptif, sedangkan penelitian oleh Eka Suciawati
menggunakan metode flotasi.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Soil Transmitted Helminth

Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan sejumlah spesies

yang terdapat dalam Nematoda usus yang dapat menularkan lewat

tanah. Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Hookworm

(Necator americanus dan Ancylostonma duodenale), Strongyloides

stercoralis, dan Enterobius vermicularis merupakan jenis cacing

yang termasuk kedalam Soil Transmitted Helminths (STH)

(Sutanto et al., 2015). Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)

merupakan salah satu infeksi cacing paling umum yang sering

ditemukan pada iklim hangat dan lembab yang memiliki sanitasi

hygiene buruk.

a. Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang)

1. Pengertian Ascaris Lumbricoides

Ascaris lumbricoides merupakan salah satu cacing

Nematoda usus yang sering menginfeksi manusia. Penyakit

yang disebabkan cacing ini adalah ascariasis. Manusia

adalah hospes utamanya. Menurut (Irianto, 2013) klasifikasi

Ascaris lumbricoides yaitu sebagai berikut:

14
Kingdom : Animalia

Filum : Nemathelmintes

Kelas : Nematoda

Ordo : Rhabdidata

Familia : Ascarididae

Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides

2. Morfologi Ascaris lumbricoides

Pada cacing Ascaris lumbricoides yang dewasa bentuk

tubuhnya mirip dengan cacing tanah. Cacing Ascaris

lumbricoides ini merupakan salah satu nematoda terbesar

yang sering menginfeksi manusia. Ukuran tubuh cacing

dewasa jantan memiliki panjang 15 - 30 cm dan lebar 0,2 -

0,4 cm, sedangkan pada cacing dewasa betina memiliki

panjang 20 - 35 cm dan lebar 0,3 - 0,6 cm. Cacing dewasa

ini memiliki kulit yang rata dan bergaris halus, berwarna

coklat, merah muda atau pucat.

Gambar 1.1 Telur cacing Ascaris lumbricoides fertil


(Dold & Holland, 2019)

15
Gambar 1.2 Telur cacing Ascaris lumbricoides infertil
(Dold & Holland, 2019)

Cacing Ascaris lumbricoides ini memiliki empat jenis

telur yaitu fertil, infertil, decorticated, dan infektif. Telur

fertil berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron berbentuk

lonjong dengan kulit telur tidak berwarna. Telur infertil

ditemukan jika pada usus penderita hanya ditemukan cacing

betina saja. Bentuk telur infertil lebih panjang dari telur

fertil dengan ukuran sekitar 80 - 55 mikron (Elfred et al.,

2016).

3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides

Telur akan dibuahi dalam waktu kurang lebih tiga

minggu pada lingkungan yang sesuai sehingga menjadi

bentuk infektif. Telur infektif akan menetas di usus halus

bila tertelan oleh manusia. Larva akan menuju pembuluh

darah dengan menembus dinding usus halus. Larva

mengikuti arah aliran darah untuk mnuju ke paru dan

dialirkan ke jantung. Larva diparu mengikuti aliran

pernapasan sampai menuju faring. Karena larva berada

16
didalam faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada

faring berupa batuk. Sehingga larva akan tertelan masuk ke

usus halus dengan melalui esofagus. Larva berubah menjadi

cacing dewasa di dalam usus halus. Proses tersebut kurang

lebih memakan waktu 2-3 bulan.

Gambar 1.3 Siklus hidup Ascaris lumbricoides (N. Puspita,

2018)

b. Trichuris trichiura (cacing cambuk)

1. Pengertian Trichuris trichiura

Trichuris trichiura merupakan salah satu cacing

yang masuk kedalam kelompok Soil Transmitted Helminths

(STH) yaitu 10 transmisinya melalui tanah. Trichuriasis

adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Trichuris

trichiura ini. Cacing ini termasuk kosmopolit yang tersebar

luas di daerah yang panas dan lembab seperti di Indonesia.

17
Penularan trichuriasis hanya dapat ditularkan melalui fecal

oral transmission (dari manusia ke manusia) atau melalui

makanan yang terkontaminasi oleh tinja yang terinfeksi

cacing tersebut (Elfred et al., 2016) Menurut (Irianto, 2013)

klasifikasi Trichiuris trichiura yaitu sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Nemathelmintes

Kelas : Nematoda

Ordo : Enoplida

Family : Trichuridae

Genus : Trichuris

Spesies : Trichuris trichiur

2. Morfologi Trichuris trichiura

Cacing dewasa bentuknya menyerupai cambuk

sehingga disebut cacing cambuk. Ukuran cacing Trichuris

trichiura jantan memiliki panjang 30 - 45 mm, bagian

posteriornya melengkung ke depan sehingga membentuk satu

lingkaran penuh. Pada bagian 11 posterior ini terdapat satu

spikulum yang menonjol keluar melalui selaput retraksi.

Cacing dewasa betina memiliki panjang 35 - 50 mm. Bagian

ujung posteriornya membulat tumpul. Setiap harinya cacing

betina dapat menghasilkan telur mencapai 3000-20.000 butir.

Waktu yang diperlukan cacing dewasa untuk menginfeksi

18
dari mulai telur infektif tertelan sampai cacing dewasa

mendiami kolon yaitu selama 30 - 90 hari.

Gambar 2.1 Telur Trichuris tichiura (Guerrant et al.,

2017)

Ukuran telur Trichuris trichiura yaitu panjang 50 -

55 mikron dan lebar telur 22 - 24 mikron. Telur cacing ini

memiliki bentuk seperti tempayan ada juga yang menyebut

seperti biji melon. Di kedua kutubnya terdapat operkulum,

yaitu semacam penutup yang berwarna jernih dan menonjol.

terdapat dua lapisan dinding telur yaitu lapisan berwarna

coklat dan lapisan berwarna jernih.

3. Daur hidup Trichuris trichiura

Trichuriasis dapat ditularkan melalui vecal oral

yaitu dari manusia ke manusia. Pada tanah yang lembab dan

teduh telur cacing yang matang dapat hidup. Infeksi langsung

disebabkan oleh tertelannya telur cacing infektif oleh

manusia. Larva masuk 12 kedalam usus halus dengan cara

keluar dari dinding telur. Setelah menetas cacing dewasa

19
masuk kedalam kolon. Waktu pertumbuhan dalam masa

pertumbuhan yaitu kurang lebih selama 30-90 hari.

Gambar 2.2 Daur hidup Trichuris trichiura (Andi

Atmojo, 2019)

c. Cacing Necator Americanus

1. Pengertian Necator Americanus

Necator americanus adalah salah satu dari dua

spesies cacing tambang yang sering menginfeksi manusia

yaitu, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale yang

dapat menyebabkan penyakit Necatoriasis dan

Ancylostomiasis yang menyerang usus. Cacing ini termasuk

golongan Soil Transmitted Helminth (STH) yang menginfeksi

manusia diantaranya adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris

trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing tambang

yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea

20
Ordo : Stongylida

Familia : Uncinariidae

Genus : Necator

Spesies : Necator americanus

2. Morfologi Necator Americanus

Berbentuk silindris dengan ujung anterior

melengkung tajam kearah dorsal. Cacing jantan memiliki

panjang 7-9 mm dengan diameter 0.3 mm, sedangkan cacing

betina memiliki panjang 9-11 mm dengan diameter 0.4 mm.

Pada rongga mulut terdapat bentukan seperti setengah

lingkaran, disebut semilunar cutting plate. Bentukan tersebut

membedakan antara Necator americanus dengan

Ancylostoma duodenale (Soebakti ningsih, 2018). Necator

Americanus jantan memiliki bursa copulatrix dengan

sepasang spiculae pada bagian posterior, yang merupakan

alat kelamin dari cacing jantan, sedangkan cacing betina

memiliki vulva pada bagian posterior (Pusarawati et.al.,

2017).

21
Gambar 3.1 Morfologi Necator Americanus (Deviana,

2011)

d. Cacing Ancylostoma Duodenale

1. Pengertian Ancylostoma Duodenale

Ancylostoma duodenale adalah spesies dari genus

cacing gelang Ancylostoma. Ini adalah cacing nematoda

parasit dan umumnya dikenal sebagai cacing tambang dunia

lama. Ia hidup di usus kecil inang seperti manusia, kucing dan

anjing, di mana ia dapat kawin dan dewasa.

Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea

Ordo : Strongylida

Familia : Ancylostomatidae

Genus : Ancylostoma

Spesies : Ancylostoma duodenale

22
2. Morfologi Ancylostma duodenale

Ancylostoma duodenale dewasa memiliki bentuk silindris

dan relatif lebih gemuk. Cacing jantan memiliki panjang 5-11 x

0,3-0,45 mm, sedangkan cacing betina memiliki panjang 9-13 x

0,35-0,6 mm (Soebaktiningsih, 2018). Berbeda dengan Necator

americanus, Ancylostoma duodenale memiliki dua pasang gigi

ventral pada rongga mulutnya. Gigi sebelah posterior lebih kecil

dibandingkan dengan gigi sebelah anterior. Pada bagian ujung

posterior dari cacing jantan terdapat bursa copulatrix, dorsal ray

single dengan jumlah 13 ray, dan 2 spicule terpisah, sedangkan

pada cacing betina, terdapat spine dan ujung posterior

meruncing (Soebaktiningsih, 2018).

Gambar 4.1 Telur Cacing Tambang Ancylostoma

duodenale (Heri Endrawati, 2014)

Telur ini tidak membedakan, ukurannya 40-60 mikron,

bentuk lonjong dengan dinding tipis dan jernih. Ovum telur

yang baru dikeluarkan tidak bersegmen. Ancylostoma duodenale

betina dalam satu hari bertelur 10.000 butir, sedangkan Necator

americanus 9.000 butir (Safar R, 2010).

23
3. Siklus Hidup Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale

Daur hidup Necator americanus dan Ancylotoma

duodenale hanya membutuhkan satu jenis hospes definitif

yaitu manusia. Tidak ada hewan yang bertindak sebagai

hospes reservoir. Sesudah keluar dari usus penderita, telur

cacing tambang yang jatuh di tanah dalam waktu dua hari

akan tumbuh menjadi larva rabditiform yang tidak infektif

karena larva ini dapat hidup bebas di tanah. Setelah berganti

kulit dua kali, larva rabditiform dalam waktu satu minggu

akan berkembang menjadi larva filariform yang infektif,

untuk dapat berkembang lebih lanjut larva filariform harus

mencari hospes definitife, yaitu manusia. Larva filariform

akan menginfeksi kulit manusia, menembus pembuluh darah

dan limfe selanjutnya masuk ke dalam darah dan mengikuti

aliran darah menuju jantung dan paru-paru (Soedarto, 2011).

Gambar 4.1 Siklus hidup cacing tambang (Zilfiana,

2017)

24
B. Cara Pencegahan

Agar tidak terifeksi cacing Soil Transmitted Helminths (STH) dapat

dilakukan pencegahan-pencegahan sebagai berikut:

1. Selalu memakai alas kaki saat keluar rumah atau menginjak tanah.

2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan memakai sabun.

3. Mencuci dengan bersih sayuran yang akan dimasak dan dimasak

dengan sempurna.

4. Melarang anak-anak untuk tidak bermain ditanah tanpa alas kaki.

5. Memotong kuku kaki dan tangan secara rutin.

6. Menjaga kebersigan lingkungan dan kebersihan diri.

7. Mengedukasi kepada masyarakat terutama anak-anak tentang

personal hygiene dan sanitasi (Saputro, 2015).

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi cacing Soil Transmitted


Helminths
Infeksi STH terjadi melalui kontak dengan tanah yang

terkontaminasi cacing tambang atau konsumsi makanan yang

terkontaminasi telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura

(Chan, 1997). Faktor penyebab tingginya angka prevalensi infeksi

kecacingan di Indonesia sangat berkaitan dengan eksternal lingkungan

seperti tanah, tidak adanya fasilitas sanitasi, sistem pembuangan

limbah yang tidak aman, tidak mampu dan kurangnya sumber air

bersih dan keadaan dari toilet yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

25
D. Kerangka Teori

Faktor yang
mempengaruhi Infeksi STH

Pemeriksaan
mikroskopis

Sayur selda yang


terkontamainasi telur STH

Ascaris Lumbricoides Trichuris Trichiura Necator Amenicanus Ancylostoma Duodenale

Positif Negatif

E. Kerangka Konsep

Infeksi cacing STH Sayur selada


(Lactuca Sativa)

26
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional

deskriptif dengan pendekatan laboratorik. Adapun pengertian dari

observasional deskriptif yaitu, suatu metode yang berfungsi untuk

mendeskripsikan atau memberikan gambaran suatu objek yang diteliti melalui

data atau sampel yang telah dikumpulkan sebagaimana adanya tanpa

melakukan analisis membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum

(Sugiyono, 2013). Penelitian ini digunakan untuk mengetahui gambaran hasil

identifikasi jumlah dan jenis telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada

Selada (Lactuca sativa) di pasar Ngaliyan

B. Desain Penelitian

Desain penelitian menggunakan desain non eksperimental dengan

pendekatan cross sectional. Penelitian cross-sectional adalah suatu penelitian

untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek,

dengan cara pendekatan, observasional, atau pengumpulan data. Penelitian

cross-sectional hanya mengobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan

terhadap variabel subjek pada saat penelitian (Notoatmojo, 2010).

27
Studi Pustaka

Survei Lokasi Penelitian

Menentukan Populasi

Pengambilan Sampel

Pemeriksaan Sampel di Laboratotium


Parasitologi Poltekkes Kemenkes Semarang
Dengan Metode Sedimentasi

Hasil Pemeriksaan

Jenis Telur
(+)= Ditemukan Telur STH  Ascarislumbricoides
 Trichuristrichiura
(-)= Tidak ditemukan Telur STH  Necatoramericanus
 Ancylostomaduodenale

Analisis Data

Gambar 3.1 Alur Peneliti

28
C. Variabel Penelitian
Variabel yaitu sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang

dimiliki atau didapaatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian

tertentu (Notoatmodjo, 2018). Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah

kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran selada.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional bertujuan untuk mengarahkan kepada pengukuran atau

pengamatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen

atau alat ukur (Notoatmodjo, 2018).

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Skala Hasil


Operasional Ukur
Telur Cacing Terdapat telur Sampel Nominal 1. Positif
Soil cacing Soil sayuran 2. Negatif
Transmitted Transmitted selada
Helminths Helminths diendapkan
pada sayuran melalui
selada proses
sentrifugasi
kemudian
diperiksa
dibawah
mikroskop
Sayuran Sayuran yang Jenis Nominal 1. Sayuran Selada
Selada diambil dari Sayuran
lokasi
penelitian
yaitu di pasar
Ngaliyan
Jenis telur Jenis Soil Mikroskop Nominal 1. Telur cacing
cacing Soil Transmitted Ascaris
Transmitted Helminth yang lumbricoides
Helminth dijumpai pada 2. Telur cacing
sayuran selada Trichuris trichiura
yang 3. Telur cacing
terkontaminasi Necator
americanus
4. Telur cacing
Ancylostoma
duodenale

29
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi

Populasi adalah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian disimpulkan (Sugiyono, 2013). Populasi penelitian ini adalah

seluruh selada yang dijual di pasar Ngaliyan.

2. Sampel

Sampel penelitian merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi penelitian (Notoatmodjo, 2018). Teknik pengambilan sampel pada

penelitian ini menggunakan teknik total sampling, Sugiyono (2017) menjelaskan

pengertian sampling total adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota

populasi digunakan sebagai sampel. Dengan demikian, sampel diambil dari seluruh

selada yang dijual di pasar Ngaliyan.

4. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di seluruh selada yang dijual di pasar Ngaliyan.

Pemeriksaan telur cacing dilakukan di Laboratotium Parasitologi Jurusan Analis

Kesehatan, Poltekkes Kemenkes Semarang.

2. Waktu Penelitian

a. Penyusunan Proposal : Oktober 2022 – Desember 2022

b. Pelaksanaan Penelitian : Januari 2023

c. Penyusunan Hasil Penelitian : Februari 2023 – Mei 2023

5. Prosedur Pengumpulan Data

30
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan laboratorik

menggunakan metode sedimentasi dengan cara kerja sebagai berikut:

1. Mengambil sampel sayuran selada

2. Memotong kecil-kecil

3. Merendam sayuran sebanyak 50 gr dengan 500 ml larutan NaOH 0,2% dan dalam

beaker glass 1.000 ml selama 30 menit

4. Kemudian mengaduk dengan pinset hingga merata, lalu sayuran dikeluarkan dari

dalam larutan

5. Kemudian didiamkan selama 1 jam

6. Setelah menunggu 1 jam, air yang berada di permukaan atas beaker glass dibuang

dan air yang berada di bagian bawah beaker glass diambil beserta endapannya

dengan volume 10-15 ml menggunakan pipet serta memasukkannya ke dalam

tabung sentrifugasi

7. Mengendapan di sentrifus dengan kecepatan 1.500 Rpm selama 5 menit

8. Membuang supernatan dan endapan di bagian bawah diambil lalu diteteskan

sebanyak 1-2 tetes di object glass

9. Sedimen diteteskan sebanyak 1-2 tetes dengan reagen iodin lugol

10. Kemudian sedimen ditutup dengan kaca penutup atau cover glass (cairan harus

merata dan tidak ada gelembung udara)

11. Kemudian dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop cahaya dengan

pembesaran 40x.

6. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena

alam maupun sosial yang diamati atau diteliti (Sugiyono, 2017).

31
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu :

1. Beaker glass

2. Pipet tetes

3. Alat sentrifugasi dan tabungnya

4. Rak tabung

5. Pinset

6. Object glass

7. Cover glass

8. Mikroskop

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

1. Larutan NaOH 0,2%

2. Larutan Iodin Lugol

3. Aquades

4. Sampel sayuran selada

7. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan menggunakan data primer, yaitu sumber data yang langsung

memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2017). Dalam hal ini peneliti

langsung terjun ke lapangan membeli seluruh sayuran selada yang dijual di pasar

Ngaliyan. Sampel kemudian akan diperiksa di Laboratotium Parasitologi Jurusan Analis

Kesehatan, Poltekkes Kemenkes Semarang dengan metode pemeriksaan data observasi

yang dilakukan secara langsung oleh peneliti.

Daftar Pustaka

Notoatmodjo, S. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

32
Sekaran, U. 2013. Research Methods for Business. Jakarta: Salemba Empat.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suciawati, Eka. Identifikasi Kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada Sayuran

Selada (Lactuca sativa) dan Daun Bawang (Allium fistulosum. Jombang: STIKES Insan

Cendekia Medika.

Sutanti, Herlina. 2021. Identifikasi Kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada

Sayuran Selada (Lactuca sativa) yang Dijual di Pasar Legi Kota Surakarta. Surakarta:

STIKES Nasional Surakarta.

Indra, Ratnawati Mutia. 2020. Pemeriksaan Telur Cacing pada Tanaman Selada yang Dijual

di Pasar Kebun Lada Binjai. Medan: POLTEKKES Medan

33
Lembar Observasi

No. Keterangan Ya Tidak


1. Apakah termasuk sayur segar?
2. Apakah pengemasan sayur
menggunakan plastik?
3. Apakah sayur diletakkan di lantai?
4. Apakah sayur diletakan di meja?
5. Apakah sayuran bersih dari tanah?

34

You might also like