You are on page 1of 10

BERSIHKAN HARTAMU

1. Pendahuluan
2. Pengertian harta
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-maalu yang berasal dari kata maalun artinya condong atau
berpaling dari tengah ke salah satu sisi. Harta (al-maalu) didefinisikan dengan segala sesuatu yang yang
menyenangkan manusia, serta mereka memeliharanya baik dalam bentuk materi ataupun manfaat.
Secara terminology, Ibnu Abidin dari mazhab Hanafiyah mendefinisikan harta adalah sesuatu
yang disukai oleh manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan.
Menurut ulama Hanafi lainnya, harta merupakan segala sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan
(dipelihara) serta dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan).
Dari dua definisi diatas perlu kita perhatian sebagai berikut:
a. Harta itu merupakan sesuatu yang dapat dihimpun dan dipelihara. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan, kesehatan, kecerdasan, dan kemuliaan tidak digolongkan sebagai harta tetapi
termasuk hak milik.
b. Harta merupakan sesuatu yang dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan). Untuk itu,
makanan beracun atau rusak tidak digolongkan dalam kategori harta.
Sedangkan jumhur ulama selain mazhab Hanafi, mendefiniskan harta adalah sesuatu yang
mempunyai nilai, dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusaknya atau melenyapkannya.
Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al-maal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa
diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al-maal
haruslah sesuatu yang dapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan
moneter. (Zuhaili,1989,IV, hal.42).
Menanggapi persoalan definisi harta, Mustafa Ahmad Zarqa (1984, hal289) menegaskan,
memang terdapat perbedaan mendasar antara pandangan syariah dengan qanun (hukum). Menurut beliau,
sesuatu itu dikatakan harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu;
a. Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa di raba,
b. Biasanya manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganya agar tidak diambil atau
dimiliki orang lain. Dengan demikian harta itu haruslah memiliki nilai materi.

3. Kedudukan harta
Islam memandang harta sebagai bagian dari kehidupan dunia. Sikap Islam terhadap dunia adalah
sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan
satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka
disana kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan untuk merealisir
sebagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam
pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan
umum, tanpa berbuat dhalim dan berlebihan.
Harta yang baik adalah harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya yang
sesuai dengan kehendak syara’. Untuk itu, harta merupakan kebaikan bukan suatu keburukan. Memiliki
harta juga bukanlah sesuatu yang tercela bahkan Allah SWT rela memberikan harta itu kepada hamba-
hamba-Nya. Kekayaan adalah suatu nikmat dari Allah sebagaimana para Rasul telah dilimpahkan
kekayaan.
Pandangan Islam terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah SWT.
Menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada orang yang
dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah.
Adapun pemeliharaan manusia terhadap harta yang telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an
adalah sebagai pemeliharaan nisbi, yaitu hanya sebagai wakil dan pemegang saja, yang mana pada
dahirnya sebagai pemilik, tetapi pada hakikatnya adalah sebagai penerima yang bertanggung jawab dalam
perhitungnnya. Sedangkan sebagai pemilik yang hakiki adalah terbebas dari hitungan.
Pada al-Qur’an surat al-Kahfi: 46 dan an-Nisa: 14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau
kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan
kebutuhan manusia terhadap anak dan keturunan. Jadi, kebutuhan manusia terhadap harta adalah
kebutuhan yang mendasar.
Berkenaan dengan harta di dalam al-Qur’an dijelaskan juga larangan-larangan yang berkaitan
dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi dan konsumsi harta:

a. Perkara-perkara yang merendahkan martabat dan akhlak manusia


b. Perkara-perkara yang merugikan hak perorangan dan kepentingan sebagian atau keseluruhan
masyarakat, berupa perdagangan yang memakai bunga.
c. Penimbunan harta dengan jalan kikir
d. Aktivitas yang merupakan pemborosan
e. Memproduksi, memeperdagangkan, dan mengkonsumsi barang-barang terlarang seperti narkotika
dan minuman keras.
Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa “Asal atau pokok dalam masalah transaksi mu’amalah
adalah sah, sampai ada dalil yang membatalakan dan yang mengharamkannya”.

4. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam
kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan
menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan urge urge, atau
ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang
memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangan semata, seperti
mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal,
biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan syara’, antara lain
untuk:
a. Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
b. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai kefakiran
mendekatkan kepada kekufuran.
c. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-Nisaa’: 9).
d. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:

ِ ‫ط خي را ِمن َأ ْن يْأ ُك ل ِمن عم ِل ي ِد ِه واِ َّن نَيِب‬


‫اهلل َد ُاو َد َك ا َن يَْأ ُك ُل ِم ْن َع َم ِل يَ ِد ِه { رواه‬ َّ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ً ْ َ ٌّ َ‫َأح ٌد طَ َع ًام ا ق‬ َ ‫َم ا َأ َك َل‬
}ٌ‫البخارى‬
Artinya:
“Tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia
hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud telah makan dari hasil keringatnya
sendiri” (HR. Bukhari)
Dalam hadist lain dinyatakan:

ُّ ‫ب ِمْن ُه َم ا مَجِ ْي ًع ا فَاِ َّن‬


‫الد ْنيَا بَالَغٌ ِإىَل اْ ٰال ِخ َر ِة ( رواه‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُ ‫لَيس خِب َ ِ ُكم من َت ر َك‬
َ ‫الد ْنيَا ٰالخَرت ه َوالَ اٰخَرتَهُ ل ُد ْنيَاهُ َحىَّت يُص ْي‬ َ ْ َ ْ ‫ْ َ رْي‬
( ‫البخارى‬
“Bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah
akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di antara
keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah akhirat” (HR. Bukhari)
e. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
f. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan
pekerjaan kepada orang miskin.
g. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan.
h. Untuk menumbuhkan silaturrahim.[4]

5. Pandangan Islam terhadap Harta


Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah Allah SWT.
Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan
memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya.
     
      
     
“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan
menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. (QS. Al-Hadiid: 7). [5]
Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik
pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut urge-hukum
yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang pada Hari
Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa
dipergunakan, hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa
dipergunakan”.
b. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut: [6]
1) Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah
karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2) Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan
baik dan tidak berlebih-lebihan ( QS. Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering
menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri. (QS. Al-Alaq: 6-7).
3) Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (QS. Al-Anfal: 28).
4) Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan
muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(QS. At-Taubah:
41, 60;

 “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada urge yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
(QS. Ali Imran: 133-134).[7]
c. Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang
halal dan sesuai dengan aturanNya.
     
       
     
       
      
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah: 267).[8]
Dalam sebuah Hadits disebutkan:
“Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras
mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah”. (HR Ahmad).
d. Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati (QS. At-Takatsur:1-2),
melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (QS. Al-Munafiqun: 9), melupakan sholat dan zakat
(QS. An-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (QS.
Al-Hasyr: 7).
       
    
    
     
      
      
       
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS Al-Hasyr:
7).[9]
e. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (QS. Al-Baqarah: 273-
281), perjudian, jual beli barang yang haram (QS. Al-Maidah :90-91), mencuri merampok (al-
Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (QS. Al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara
yang batil dan merugikan (QS. Al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR. Imam
Ahmad).
   
         
  
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah :38)[10]

6. Anjuran Syar’i Mencari Rezeki yang Halal


Rezeki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan boleh dilakukan atau
dikerjakan sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.

Nabi SAW bersabda:


“Barangsiapa yang mempunyai hanya satu keinginan (yaitu akhirat) niscaya Allah SWT akan
mencukupkan kehidupan yang diinginkannya di dunia. Dan barangsiapa yang keinginannya bercabang-
cabang, Allah SWT tidak akan memperdulikan kebinasaannya di lembah manapun di dunia ini.” (H.R
Hakim)

Menurut ahli sunnah waljama’ah, rezeki itu sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, meskipun
diperoleh dari jalan haram, seperti hasil curian, perjudian, penipuan dan lain-lain. Sedangkan kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa rezeki hanyalah yang didapat dari jalan yang halal saja. Adapun rezeki
yang dimaksud dalam hadis qudsi di atas ialah jaminan dan tanggungan Allah SWT yang akan diberikan
kepada setiap orang. Apabila Allah SWT telah menetapkan rezeki bagi seseorang, tidak seorangpun dapat
menghalanginya walau bagaimanapun usahanya.
Firman  Allah Swt:
             
 
“Dan  Dialah  yang  telah  menjadikan  bumi  itu  mudah  bagi  kalian. Maka  berjalan  dan 
berusahalah  di  segala  penjuru-Nya  dan makanlah dari  sebagian  rezeki-Nya, dan  kepada-Nyalah 
kalian (kembali)  dibangkitkan” (QS. Al-Mulk: 15)
Firman di atas adalah satu janji Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, bagi hamba-
Nya yang berusaha secara ikhlas. Allah SWT menyiapkan bimbingan dan tuntunan, menyiapkan rezeki
yang halal lagi baik serta membantu dan menolongnya dalam usahanya, sehingga rezekinya itu datang
dengan cara yang mudah tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Hal ini dikarenakan hamba tersebut telah
menyambut panggilan Rab-Nya yang menggalakkan untuk berusaha, beramal, bekerja dan memberi
keuntungan.

Rezeki yang halal harus memiliki dua kriteria yaitu halal dari segi zat dan halal dari cara
memperolehnya. Seorang muslim tidak boleh hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah orang lain,
padahal dia mempunyai kemampuan untuk berusaha memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarga
serta tanggungannya, karena itu Rasulullah SAW bersabda:

ٍّ ‫الص َدقَةُ لِغَيِن ٍّ َواَل لِ ِذي ِمَّر ٍة َس ِو‬


‫ي‬ َّ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَ َال اَل حَتِ ُّل‬ ِ ِ
َ ِّ ‫َع ْن َعْبد اللَّه بْ ِن َع ْم ٍرو َع ْن النَّيِب‬
“Dari Abdullah bin 'Amr dari Nabi SAW beliau bersabda: ‘Tidak halal zakat bagi orang kaya
dan orang yang kuat dan sehat badan.” (HR. Abu Daud, Turmudzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Sedekah tidak dihalalkan kepada orang kaya dan orang-orang yang mampu untuk mencari rizki
yang lebih baik, karena pada hakekatnya sedekah hanya diperuntukkan kepada orang-orang yang
membutuhkan atau yang berhak, karena hal tersebut sama dengan peminta minta sedangkan kita mampu.
Ibnu Qudamah dalam buku Minhajul Qosidin menyebutkan bahwa harta halal yang mutlak ialah
dzatnya tidak berkaitan dengan suatu sifat yang memastikan pengharaman zat, dan sebab-sebabnya
tidak berkaitan dengan sesuatu yang menjurus  kepada pengharaman dan kemakruhan. Dan sebaliknya
harta haram yang murni ialah yang didalamnya terdapat sifat yang memang diharamkan dan atau yang
dihasilkan karena suatu sebab yang dilarang. [4]
Seorang muslim dalam mencari rezeki keberkahan dalam hidupnya, hendaklah mencari rezeki
yang halal dengan bekerja melalui jalan-jalan yang diridhai Allah SWT. Untuk itu, seorang muslim harus
mengerti tentang kaidah umum dalam bekerja. Kaidah umum bekerja ialah bahwa Islam tidak
memperbolehkan seseorang mencari kekayaan menurut kemauannya dengan cara apapun. Akan tetapi
Islam menjelaskan bagi mereka jalan-jalan yang dibenarkan syariat dan yang tidak dibenarkan syariat di
dalam mencari penghidupan dengan memperhatikan kemaslahatan umum.
Banyak ayat Al-Quran dan hadis yang mendorong umat Islam untuk mencari rezeki yang halal.
Sebagaimana firman Allah SWT:
              
  
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
             
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan
yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Anfaal: 69)
             
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan
syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. An-Nahlu: 114)
Selain itu Rasulullah SAW juga mengabarkan bahwa yang memberi lebih baik dari
pada orang yang meminta-minta. Sabda beliau:

ُّ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم قَ َال الْيَ ُد الْعُ ْليَ ا َخْي ٌر ِم ْن الْيَ ِد‬
‫الس ْفلَى َوابْ َدْأ مِب َ ْن‬ ِ ٍ ِ ِ
َ ِّ ‫َع ْن َحكي ِم بْ ِن ح َزام َرض َي اللَّهُ َعْن هُ َع ْن النَّيِب‬
ِِ ِ ْ ‫الص َدقَِة عن ظَه ِر ِغ ومن يسَتع ِف‬
ُ‫ف يُعفَّهُ اللَّهُ َو َم ْن يَ ْسَت ْغ ِن يُ ْغنه اللَّه‬ ْ ْ َ ْ َ َ ‫ول َو َخْيُر َّ َ ْ ْ ىًن‬ ُ ُ‫َتع‬
“Dari Hakim bin Hiram radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam berkata: "Tangan
yang diatas lebih baik dari pada tangan yang di bawah, maka mulailah untuk orang-orang yang menjadi
tanggunganmu dan shadaqah yang paling baik adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan
dirinya). Maka barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, Allah akan memeliharanya dan
barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya". (HR. Bukhari)
Hadis ini menerangkan bahwa orang yang memberi itu lebih baik daripada orang yang meminta-
minta karena perbuatan meminta-minta merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi
tercela dan hina. Orang yang dermawan lebih utama daripada orang yang meminta-minta. Jadi bagi
mereka yang memperoleh harta yang banyak harus diinfaqkan kepada orang yang membutuhkan, sebab
islam telah memberitanggung jawab kepada orang muslim untuk memelihara orang-
orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui zakat
dan shadaqah. Sedangkan Islam tidak menganjurkan hidup dari belas kasihan orang lain atau dengan kata
lain Islam tidak menyukai pengangguran dan mendorong manusia untuk bekerja.
Selanjutnya Rasulullah SAW menjelaskan menjual kayu bakar lebih baik daripada meminta-
minta.

‫َأح ُد ُك ْم ُحْز َمةً َعلَى ظَ ْه ِر ِه‬ ِ ِ ِ ُ ‫ول قَ َال رس‬ ُ ‫َع ْن َأيب ُهَر ْيَر َة َر ِض َي اللَّهُ َعْنهُ َي ُق‬
َ ‫ب‬ َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َأَل ْن حَيْتَط‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
ِ َ ‫َخْيٌر لَهُ ِم ْن َأ ْن يَ ْس‬
ُ‫َأح ًدا َفُي ْعطيَهُ َْأو مَيَْن َعه‬
َ ‫َأل‬
“Dari  Abu  Hurairah  ra berkata, dari  Rasulullah SAW bersabda: Seandainya  seseorang  mencari  kayu  bakar  dan 
dipikullah  di atas  punggungnya, hal  ini  lebih  baik  daripada  meminta-minta  pada  seseorang  yang  kadang 
diberi, kadang-kadang  pula  ditolak. (HR.Bukhari)[6]
Hadits  ini  menerangkan  bahwa  Rasulullah  SAW menganjurkan  untuk  kerja  dan  berusaha  dengan  susah 
payah mencari  kayu  bakar  dan  menjualnya  serta  tidak  mendapatkan  upah  yang  sesuai, itu  lebih  baik  jika 
dibandingkan  dengan  meminta-minta  pada  orang  lain  untuk  memenuhi  kebutuhan  hidup. Karena  setiap 
muslim  dituntut  bekerja  dan  berusaha, makan  dan  memakmurkan  hidup  dengan  keringatnya  sendiri.
Menganjurkan  untuk  memelihara  kehormatan  diri  dan  menghindarkan  diri  dari  perbuatan  meminta-minta  dan
tidak  melakukan  pekerjaan  hina.

1. Hadits  Miqdam bin Ma’di Kariba  tentang  Nabi  Daud  Makan  dari Usahanya  Sendiri.
‫ ما اكل احد طعاما قط خير من ان يأكل من عمل يده و ان نبي هللا داود‬:‫عن المقدام رضي هللا عنه عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫عليه السالم كان يأكل من عمل يده‬
(‫)أخرجه البخاري في كتاب المساقاة‬
“Dari  Al-Miqdam ra, dari  Rasulullah  SAW  bersabda: Tidaklah  seseorang memakan  makanan  yang  lebih  baik
dari  hasil  keringatnya  sendiri. Sesungguhnya  Nabi  Daud itupun  makan  dari  hasil  keringatnya  sendiri.
(HR.Bukhari)[7]
Hadits  ini  menerangkan  bahwa  rizki  yang  baik  adalah  rizki  yang  di dapat  dari  jalan  yang  halal dan  dari 
usahanya sendiri. Dalam  hadits  ini  juga  dicontohkan  bahwa  Nabi Daud walaupun  beliau  seorang  nabi  dan 
kehidupannya  dijamin  oleh  Allah SWT, tetapi  Nabi Daud  tetap  bekerja  keras  dan  tetap  berusaha  dalam 
memenuhi  kehidupannya.

1. Hadits  Abu  Hurairah  tentang  Nabi  Zakaria  Seorang  Tukang  Kayu


)‫ كان زكريأ نجارا (اخرجه مسلم في كتاب الفضائل‬:‫عن أبي هريرة ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
“Dari  Abu  Hurairah  berkata, bahwasanya  Nabi  Muhammad SAW  bersabda: Nabi  Zakariya  adalah  seorang 
tukang  kayu.” (HR.Muslim)[8]
Hadits  ini  menerangkan  bahwa  Nabi  Zakariya  juga  bekerja  sendiri, tidak  menunggu  rizki  datang  sendiri. Kita 
sebagai  umat  islam  harus  selalu  berikhtiar  lahir  dan  batin  untuk  selalu  mendapatkan  rizki  yang  halal  dan 
baik, karena  dari  rizki  itulah  kita  tumbuh, hidup, dan kesemuanya  itu  akan  dipertanggung  jawabkan   kepada 
Allah  SWT.

1. Cara  Mencari  Rizki  yang  Halal


Di dalam  mencari  rizki  hendaklah  memperhatikan  halal dan  haramnya, baik  dan  buruknya. Karena  mencari 
rizki  yang  halal  itu  wajib  hukumnya, tidak boleh  mengikuti  kehendak  hawa  nafsu  yang  menyimpang  ajaran 
Islam  dan  langkah-langkah  setan  karena  rizki  yang  tidak  halal  akan  berpengaruh  negatif  dalam  segi-segi 
hidup  dan kehidupan  baik  pelakunya  sendiri  maupun  masyarakat  sekitarnya. Firman  Allah SWT:

‫ عدو مبين‬ ‫ انه لكم‬,‫ الشيطان‬ ‫ خطوات‬ ‫ تتبعوا‬ ‫ وال‬ ‫ حلال طيبا‬ ‫ فى االرض‬ ‫ مما‬ ‫ كلوا‬ ‫يا يها الناس‬
                        Artinya:

Wahai manusia! Makanlah  dari  (makanan)  yang  terdapat  di bumi  yang  halal dan  baik  dan  janganlah  kamu 
mengikuti  langkah-langkah  setan. Sungguh  setan  itu adalah  musuh  yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah: 168)
Hadits  Nabi SAW:

‫ فى طلب الحالل‬ ‫ يسعى‬ ‫ عبده‬ ‫ يري‬ ‫ ان‬ ‫ يحب‬ ‫ تعالى‬ ‫ هللا‬ ‫ان‬.


 
Artinya:

“Sesungguhnya  Allah  suka  kalau  Dia  melihat  hamba-Nya  berusaha mencari  barang  halal.”(H.R.ath-Thabrani
dan ad-Dailami)[9]
Ibnu  Abbas ra  berkata,  “Adam  menjadi  petani, Nuh  menjadi  tukang  kayu, Idris  menjadi  penjahit, Ibrahim dan
Luth  menjadi  petani, Shalih  menjadi  pedagang. Daud  menjadi  pandai  besi, Musa, Syu’aib, dan Muhammad
menjadi  penggembala.”

Para  sahabat Rasulullah SAW  juga  berdagang  di  daratan  maupun  di lautan,dan  menggarap  tanah . Kemudian
Abu  Sulaiman  Ad-Darany  berkata, “Ibadah menurut  pandangan  kami  bukan berarti  engkau membuat  kedua 
kakimu  kepayahan  dan  orang  lain  menjadi  payah  karena  melayanimu. Tetapi  mulailah  dengan  mengurus 
adonan  rotimu , setelah  itu  beribadahlah. Jika  ada  yang  berkata, ‘Bukankah Abud-Darda’ pernah  berkata,
“Perniagaan  dan  ibadah  yang  sama-sama  dikerjakan  tidak  akan  bisa  bersatu?’ Dapat  dijawab  sebagai 
berikut, ‘Kita  tidak   bahwa  bukan  perniagaan  itu  sendiri  yang  dimaksudkan . Tetapi  karena memang 
perniagaan  merupakan  sesuatu  yang  pasti dibutuhkan  manusia  untuk  mencukupi  kebutuhan  keluarga  dan 
menyerahkan kelebihannya  kepada  orang  lain  yang  membutuhkan. Tapi, jika  yang  dimaksudkan  perniagaan 
itu  sendiri  menumpuk  harta  untuk membanggakan  diri  dan  tujuan-tujuan (duniawi) lainnya, maka ini  adalah 
sesuatu  yang  tercela. Jadi  hendaknya  ikatan  yang  bisa  dihimpun dalam  mata  pencaharian  meliputi  4 perkara:
Dilakukan  secara sah, adil, baik dan  mementingkan agamanya.

Dan  juga Dalam  sebuah  atsar  disebutkan  bahwa Luqman  Al-Hakim  berkata  kepada  anaknya, “Wahai  anakku,
perhatikanlah  mata  pencaharian  yang  halal. Karena  jika  seseorang  menjadi  miskin , maka  dia  bisa  terkena 
salah  satu  akalnya  dan  kepribadiannya  yang  menurun. Yang  lebih  besar  dari  tiga perkara  ini  adalah  adanya 
orang  lain  yang  menganggap remeh terhadap  dirinya.”
Telah  disebutkan  di dalam  Ash-Shahihain, dari  hadits  An-Nu’man bin Basyir  ra, bahwa Nabi SAW bersabda,

‫ مشتبهات‬ ‫ أمور‬ ‫ و بينهما‬,‫ يبين‬ ‫ والحرام‬ ‫ يبين‬ ‫الحالل‬.


 (‫ مسلم‬ ‫ و‬ ‫ البخاري‬ ‫)رواه‬
“Yang  halal  itu  jelas  dan  yang  haram  itu jelas  pula, sedang di antara  keduanya  adalah perkara-perkara 
musytabihat.” (Diriwayatkan  Al-Bukhary dan Muslim).
Tentang  anjuran  mencari  yang  halal, Allah berfirman,

“Hai  rasul-rasul, makanlah dari  makanan  yang  baik-baik  dan  kerjakanlah  amal  yang  shalih.” (Al-Mukminun: 51)
Maksud  makanan  yang  baik-baik  disini  adalah  yang  halal. Yang  demikian ini  diperintahkan  terlebih  dahulu 
sebelum  mengerjakan  amal shalih. Allah  berfirman  tentang  celaan  yang  haram,

“Dan  janganlah  sebagian  kalian  memakan  harta  sebagian  yang  lain  di antara  kalian  dengan  jalan  yang 
batil.” (Al-Baqarah: 188)
Dari  Abu  Hurairah ra,  dia  berkata, “Rasulullah SAW  bersabda,

‫ طيبا‬ ‫ إال‬ ‫ يقبل‬ ‫ ال‬ ‫ طيب‬ ‫ هللا‬ ‫ إن‬ ‫ الناس‬ ‫ ايها‬ ‫يا‬.


“Hai manusia, sesungguhnya  Allah itu  baik  dan  tidak  menerima  kecuali  yang  baik-baik.”
Lalu  Abu  Hurairah melanjutkan   hadits  ini  hingga  perkataannya. “Kemudian  beliau menyebutkan  tentang 
seorang  laki-laki  yang  mengadakan  perjalanan   ‘Ya  Rabbi, ya  Rabbi!’  Sementara  makanannya 
haram,minumnya  haram, pakaiannya  haram  dan  memberi  makan  dengan  yang  haram, maka  mana  mungkin 
dia  dikabulkan karena  yang  demikian  itu?” (Diriwayatkan  Muslim)

Diriwayatkan  bahwa  Sa’d  bertanya  kepada  Rasulullah SAW, bagaimana  agar  do’anya  diterima?  Maka  beliau 
menjawab,
“Buatlah  makananmu  yang  baik-baik,niscaya  do’amu  akan  dikabulkan.” (Diriwayatkan  Ath-Thabrany)[10]
[1] Ibnu Hamzah Al Husaini Ad Damasyqi, Asbabul Wurud 2 Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul,
(Jakarat: Kalam Mulia, 2006), cet. VI,  hal. 88
[2] Quraisy Shihab,Wawasan Al-Qur’an,(Bandung: Mizan, 1998), hal.148
[3]. Ibnu Hamzah Al Husaini Ad Damasyqi, Op.cit, hal
[4] Ibnu Qudamah, Terj. Kathur Suhardi, Minhajul Qashidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal.104-105
[5] Abdul Aziz Al Khayyath, Terj. Mohammad Nurhakim, Etika Bekerja Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1989), cet. I hal. 51
[6] Mahmud Sya’roni, Cermin Kehidupan Rasul, (Semarang: Aneka Ilmu, 2006), cet. I,  hal.295-296
[7] Ibid, hal.296
[8] Ibnu Qudamah, Terj. Kathur Suhardi,Op.Cit, hal.100
[9] Mahmud Sya’roni, Op.Cit, hal. 293-294
[10] Ibnu Qudamah, Loc.Cit, hal. 100-105
[11] Ahmad Shiddiq, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, (Surabaya: Putra Pelajar, 2002), cet. I hal.10
[12] Thobieb Al Asyhar, Bahaya Makan Haram, (Jakarta: PT Al Mawardi Prima, 2003), cet. I, hal. 84-86
About these ads

7. Halal itu berkah


8. Usaha yang halal
9. Zona Rezeki Halal lebih luas dari yang haram

10. Bahaya

You might also like