Professional Documents
Culture Documents
Bersihkan Hartamu
Bersihkan Hartamu
1. Pendahuluan
2. Pengertian harta
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-maalu yang berasal dari kata maalun artinya condong atau
berpaling dari tengah ke salah satu sisi. Harta (al-maalu) didefinisikan dengan segala sesuatu yang yang
menyenangkan manusia, serta mereka memeliharanya baik dalam bentuk materi ataupun manfaat.
Secara terminology, Ibnu Abidin dari mazhab Hanafiyah mendefinisikan harta adalah sesuatu
yang disukai oleh manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan.
Menurut ulama Hanafi lainnya, harta merupakan segala sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan
(dipelihara) serta dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan).
Dari dua definisi diatas perlu kita perhatian sebagai berikut:
a. Harta itu merupakan sesuatu yang dapat dihimpun dan dipelihara. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan, kesehatan, kecerdasan, dan kemuliaan tidak digolongkan sebagai harta tetapi
termasuk hak milik.
b. Harta merupakan sesuatu yang dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan). Untuk itu,
makanan beracun atau rusak tidak digolongkan dalam kategori harta.
Sedangkan jumhur ulama selain mazhab Hanafi, mendefiniskan harta adalah sesuatu yang
mempunyai nilai, dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusaknya atau melenyapkannya.
Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al-maal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa
diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al-maal
haruslah sesuatu yang dapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan
moneter. (Zuhaili,1989,IV, hal.42).
Menanggapi persoalan definisi harta, Mustafa Ahmad Zarqa (1984, hal289) menegaskan,
memang terdapat perbedaan mendasar antara pandangan syariah dengan qanun (hukum). Menurut beliau,
sesuatu itu dikatakan harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu;
a. Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa di raba,
b. Biasanya manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganya agar tidak diambil atau
dimiliki orang lain. Dengan demikian harta itu haruslah memiliki nilai materi.
3. Kedudukan harta
Islam memandang harta sebagai bagian dari kehidupan dunia. Sikap Islam terhadap dunia adalah
sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan
satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka
disana kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan untuk merealisir
sebagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam
pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan
umum, tanpa berbuat dhalim dan berlebihan.
Harta yang baik adalah harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya yang
sesuai dengan kehendak syara’. Untuk itu, harta merupakan kebaikan bukan suatu keburukan. Memiliki
harta juga bukanlah sesuatu yang tercela bahkan Allah SWT rela memberikan harta itu kepada hamba-
hamba-Nya. Kekayaan adalah suatu nikmat dari Allah sebagaimana para Rasul telah dilimpahkan
kekayaan.
Pandangan Islam terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah SWT.
Menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada orang yang
dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah.
Adapun pemeliharaan manusia terhadap harta yang telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an
adalah sebagai pemeliharaan nisbi, yaitu hanya sebagai wakil dan pemegang saja, yang mana pada
dahirnya sebagai pemilik, tetapi pada hakikatnya adalah sebagai penerima yang bertanggung jawab dalam
perhitungnnya. Sedangkan sebagai pemilik yang hakiki adalah terbebas dari hitungan.
Pada al-Qur’an surat al-Kahfi: 46 dan an-Nisa: 14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau
kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan
kebutuhan manusia terhadap anak dan keturunan. Jadi, kebutuhan manusia terhadap harta adalah
kebutuhan yang mendasar.
Berkenaan dengan harta di dalam al-Qur’an dijelaskan juga larangan-larangan yang berkaitan
dengan aktivitas ekonomi, dalam hal ini meliputi: produksi, distribusi dan konsumsi harta:
4. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam
kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan
menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan urge urge, atau
ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang
memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangan semata, seperti
mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal,
biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan syara’, antara lain
untuk:
a. Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
b. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai kefakiran
mendekatkan kepada kekufuran.
c. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-Nisaa’: 9).
d. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada urge yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
(QS. Ali Imran: 133-134).[7]
c. Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang
halal dan sesuai dengan aturanNya.
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah: 267).[8]
Dalam sebuah Hadits disebutkan:
“Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras
mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah”. (HR Ahmad).
d. Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati (QS. At-Takatsur:1-2),
melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (QS. Al-Munafiqun: 9), melupakan sholat dan zakat
(QS. An-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (QS.
Al-Hasyr: 7).
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta
benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS Al-Hasyr:
7).[9]
e. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (QS. Al-Baqarah: 273-
281), perjudian, jual beli barang yang haram (QS. Al-Maidah :90-91), mencuri merampok (al-
Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (QS. Al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara
yang batil dan merugikan (QS. Al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR. Imam
Ahmad).
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah :38)[10]
Menurut ahli sunnah waljama’ah, rezeki itu sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, meskipun
diperoleh dari jalan haram, seperti hasil curian, perjudian, penipuan dan lain-lain. Sedangkan kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa rezeki hanyalah yang didapat dari jalan yang halal saja. Adapun rezeki
yang dimaksud dalam hadis qudsi di atas ialah jaminan dan tanggungan Allah SWT yang akan diberikan
kepada setiap orang. Apabila Allah SWT telah menetapkan rezeki bagi seseorang, tidak seorangpun dapat
menghalanginya walau bagaimanapun usahanya.
Firman Allah Swt:
“Dan Dialah yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Maka berjalan dan
berusahalah di segala penjuru-Nya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya, dan kepada-Nyalah
kalian (kembali) dibangkitkan” (QS. Al-Mulk: 15)
Firman di atas adalah satu janji Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, bagi hamba-
Nya yang berusaha secara ikhlas. Allah SWT menyiapkan bimbingan dan tuntunan, menyiapkan rezeki
yang halal lagi baik serta membantu dan menolongnya dalam usahanya, sehingga rezekinya itu datang
dengan cara yang mudah tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Hal ini dikarenakan hamba tersebut telah
menyambut panggilan Rab-Nya yang menggalakkan untuk berusaha, beramal, bekerja dan memberi
keuntungan.
Rezeki yang halal harus memiliki dua kriteria yaitu halal dari segi zat dan halal dari cara
memperolehnya. Seorang muslim tidak boleh hanya menggantungkan dirinya kepada sedekah orang lain,
padahal dia mempunyai kemampuan untuk berusaha memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarga
serta tanggungannya, karena itu Rasulullah SAW bersabda:
ُّ ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم قَ َال الْيَ ُد الْعُ ْليَ ا َخْي ٌر ِم ْن الْيَ ِد
الس ْفلَى َوابْ َدْأ مِب َ ْن ِ ٍ ِ ِ
َ ِّ َع ْن َحكي ِم بْ ِن ح َزام َرض َي اللَّهُ َعْن هُ َع ْن النَّيِب
ِِ ِ ْ الص َدقَِة عن ظَه ِر ِغ ومن يسَتع ِف
ُف يُعفَّهُ اللَّهُ َو َم ْن يَ ْسَت ْغ ِن يُ ْغنه اللَّه ْ ْ َ ْ َ َ ول َو َخْيُر َّ َ ْ ْ ىًن ُ َُتع
“Dari Hakim bin Hiram radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam berkata: "Tangan
yang diatas lebih baik dari pada tangan yang di bawah, maka mulailah untuk orang-orang yang menjadi
tanggunganmu dan shadaqah yang paling baik adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan
dirinya). Maka barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, Allah akan memeliharanya dan
barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya". (HR. Bukhari)
Hadis ini menerangkan bahwa orang yang memberi itu lebih baik daripada orang yang meminta-
minta karena perbuatan meminta-minta merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi
tercela dan hina. Orang yang dermawan lebih utama daripada orang yang meminta-minta. Jadi bagi
mereka yang memperoleh harta yang banyak harus diinfaqkan kepada orang yang membutuhkan, sebab
islam telah memberitanggung jawab kepada orang muslim untuk memelihara orang-
orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui zakat
dan shadaqah. Sedangkan Islam tidak menganjurkan hidup dari belas kasihan orang lain atau dengan kata
lain Islam tidak menyukai pengangguran dan mendorong manusia untuk bekerja.
Selanjutnya Rasulullah SAW menjelaskan menjual kayu bakar lebih baik daripada meminta-
minta.
َأح ُد ُك ْم ُحْز َمةً َعلَى ظَ ْه ِر ِه ِ ِ ِ ُ ول قَ َال رس ُ َع ْن َأيب ُهَر ْيَر َة َر ِض َي اللَّهُ َعْنهُ َي ُق
َ ب َ صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َأَل ْن حَيْتَط
َ ول اللَّه َُ
ِ َ َخْيٌر لَهُ ِم ْن َأ ْن يَ ْس
َُأح ًدا َفُي ْعطيَهُ َْأو مَيَْن َعه
َ َأل
“Dari Abu Hurairah ra berkata, dari Rasulullah SAW bersabda: Seandainya seseorang mencari kayu bakar dan
dipikullah di atas punggungnya, hal ini lebih baik daripada meminta-minta pada seseorang yang kadang
diberi, kadang-kadang pula ditolak. (HR.Bukhari)[6]
Hadits ini menerangkan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan untuk kerja dan berusaha dengan susah
payah mencari kayu bakar dan menjualnya serta tidak mendapatkan upah yang sesuai, itu lebih baik jika
dibandingkan dengan meminta-minta pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena setiap
muslim dituntut bekerja dan berusaha, makan dan memakmurkan hidup dengan keringatnya sendiri.
Menganjurkan untuk memelihara kehormatan diri dan menghindarkan diri dari perbuatan meminta-minta dan
tidak melakukan pekerjaan hina.
1. Hadits Miqdam bin Ma’di Kariba tentang Nabi Daud Makan dari Usahanya Sendiri.
ما اكل احد طعاما قط خير من ان يأكل من عمل يده و ان نبي هللا داود:عن المقدام رضي هللا عنه عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال
عليه السالم كان يأكل من عمل يده
()أخرجه البخاري في كتاب المساقاة
“Dari Al-Miqdam ra, dari Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik
dari hasil keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud itupun makan dari hasil keringatnya sendiri.
(HR.Bukhari)[7]
Hadits ini menerangkan bahwa rizki yang baik adalah rizki yang di dapat dari jalan yang halal dan dari
usahanya sendiri. Dalam hadits ini juga dicontohkan bahwa Nabi Daud walaupun beliau seorang nabi dan
kehidupannya dijamin oleh Allah SWT, tetapi Nabi Daud tetap bekerja keras dan tetap berusaha dalam
memenuhi kehidupannya.
عدو مبين انه لكم, الشيطان خطوات تتبعوا وال حلال طيبا فى االرض مما كلوا يا يها الناس
Artinya:
Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang terdapat di bumi yang halal dan baik dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah: 168)
Hadits Nabi SAW:
“Sesungguhnya Allah suka kalau Dia melihat hamba-Nya berusaha mencari barang halal.”(H.R.ath-Thabrani
dan ad-Dailami)[9]
Ibnu Abbas ra berkata, “Adam menjadi petani, Nuh menjadi tukang kayu, Idris menjadi penjahit, Ibrahim dan
Luth menjadi petani, Shalih menjadi pedagang. Daud menjadi pandai besi, Musa, Syu’aib, dan Muhammad
menjadi penggembala.”
Para sahabat Rasulullah SAW juga berdagang di daratan maupun di lautan,dan menggarap tanah . Kemudian
Abu Sulaiman Ad-Darany berkata, “Ibadah menurut pandangan kami bukan berarti engkau membuat kedua
kakimu kepayahan dan orang lain menjadi payah karena melayanimu. Tetapi mulailah dengan mengurus
adonan rotimu , setelah itu beribadahlah. Jika ada yang berkata, ‘Bukankah Abud-Darda’ pernah berkata,
“Perniagaan dan ibadah yang sama-sama dikerjakan tidak akan bisa bersatu?’ Dapat dijawab sebagai
berikut, ‘Kita tidak bahwa bukan perniagaan itu sendiri yang dimaksudkan . Tetapi karena memang
perniagaan merupakan sesuatu yang pasti dibutuhkan manusia untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan
menyerahkan kelebihannya kepada orang lain yang membutuhkan. Tapi, jika yang dimaksudkan perniagaan
itu sendiri menumpuk harta untuk membanggakan diri dan tujuan-tujuan (duniawi) lainnya, maka ini adalah
sesuatu yang tercela. Jadi hendaknya ikatan yang bisa dihimpun dalam mata pencaharian meliputi 4 perkara:
Dilakukan secara sah, adil, baik dan mementingkan agamanya.
Dan juga Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Luqman Al-Hakim berkata kepada anaknya, “Wahai anakku,
perhatikanlah mata pencaharian yang halal. Karena jika seseorang menjadi miskin , maka dia bisa terkena
salah satu akalnya dan kepribadiannya yang menurun. Yang lebih besar dari tiga perkara ini adalah adanya
orang lain yang menganggap remeh terhadap dirinya.”
Telah disebutkan di dalam Ash-Shahihain, dari hadits An-Nu’man bin Basyir ra, bahwa Nabi SAW bersabda,
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih.” (Al-Mukminun: 51)
Maksud makanan yang baik-baik disini adalah yang halal. Yang demikian ini diperintahkan terlebih dahulu
sebelum mengerjakan amal shalih. Allah berfirman tentang celaan yang haram,
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang
batil.” (Al-Baqarah: 188)
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,
Diriwayatkan bahwa Sa’d bertanya kepada Rasulullah SAW, bagaimana agar do’anya diterima? Maka beliau
menjawab,
“Buatlah makananmu yang baik-baik,niscaya do’amu akan dikabulkan.” (Diriwayatkan Ath-Thabrany)[10]
[1] Ibnu Hamzah Al Husaini Ad Damasyqi, Asbabul Wurud 2 Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul,
(Jakarat: Kalam Mulia, 2006), cet. VI, hal. 88
[2] Quraisy Shihab,Wawasan Al-Qur’an,(Bandung: Mizan, 1998), hal.148
[3]. Ibnu Hamzah Al Husaini Ad Damasyqi, Op.cit, hal
[4] Ibnu Qudamah, Terj. Kathur Suhardi, Minhajul Qashidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal.104-105
[5] Abdul Aziz Al Khayyath, Terj. Mohammad Nurhakim, Etika Bekerja Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1989), cet. I hal. 51
[6] Mahmud Sya’roni, Cermin Kehidupan Rasul, (Semarang: Aneka Ilmu, 2006), cet. I, hal.295-296
[7] Ibid, hal.296
[8] Ibnu Qudamah, Terj. Kathur Suhardi,Op.Cit, hal.100
[9] Mahmud Sya’roni, Op.Cit, hal. 293-294
[10] Ibnu Qudamah, Loc.Cit, hal. 100-105
[11] Ahmad Shiddiq, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, (Surabaya: Putra Pelajar, 2002), cet. I hal.10
[12] Thobieb Al Asyhar, Bahaya Makan Haram, (Jakarta: PT Al Mawardi Prima, 2003), cet. I, hal. 84-86
About these ads
10. Bahaya