You are on page 1of 14

Indonesia merupakan negara yang besar baik dari segi wilayahnya maupun dari segi

penduduknya. Indonesia merupakan negara kepualaian dengan jumlah lebih dari 17.000 yang
sudah cukup dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia. Oleh karena itu, Indonesia mempunyai gagasan tentang otonomi daerah. Bersamaan
dengan bergulirnya era reformasi di Tahun 1998 yang memunculkan tuntutan dari
masyarakat tentang perlunya managemen pemerintahan yang baru. Hal tersebut disebabkan
bahwa pemerintahan yang sentralistik pada kenyataannya masih banyak kekurangan.
Tuntutan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1999
Tentang Pemerintah daerah.

Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan
otonomi daerah di Indonesia!

Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan sesuai dengan kepentingan masyarakat daerah tersebut. Pemberlakuan
sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan
berdasarkan undang- undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah
(Kurniawan, 2012). Sejarah otonomi daerah di Indonesia sudah dimulai pada zaman
kemerdekaan. Sejarah ini sempat terhenti saat diterapkannya sentralisasi pemerintahan pada
era orde baru. Kemudian, perjalanan desentralisasi dilanjutkan seiring dengan
berkembangnya era reformasi di Indonesia. Namun, ketidaksiapan institusi dan masyarakat
dalam menghadapi desentralisasi ini mengakibat kan ketidakseimbangan vertikal dan
horizontal (Nurhemi & Suryani, 2015).
Pelaksanaan otonomi harus dilaksanakan sesuai dengan konsep otonomi yang dimaknai
sebagai penyerahan urusan Pemerintah Pusat ke daerah, kecuali lima kekuasaan yang
dipergunakan untuk kelangsungan kehidupan bangsa. Namun diluar lima kekuasaan yang
dikecualikan harus diserahkan pada daerah. Dengan mempertimbangkan penyerahan urusan
itu sebagai usaha untuk mengurangi beban dan tuga Pemerintah Pusat. Disamping itu juga,
dalam rangka meratakan tanggung jawab. Sesuai dengan sistem demokrasi, maka tanggung
jawab pemerintah dapat dipikul rata oleh seluruh masyarakat yang diikutsertakan melalui
disentralisasi fungsional dan teritorial. Hal ini dapat menciptakan stabilitas pemerintahan
pada umumnya (Makhfudz, 2013).
Implementasi Otonomi Daerah memberi peluang besar bagi daerah untuk meningkatkan
kinerja keuangan mereka sendiri. Daerah memiliki wewenang untuk mengelola dan
meningkatkan sumber daya lokal mereka sendiri (Setiaji & Adi, 2007). Namun, pelaksanaan
otonomi daerah yang seringkali dipelintir menjadi “automoney” telah menyebabkan
kebutuhan yang besar bagi daerah untuk menyusun berbagai skema keuangan daerah guna
membiayai bergesernya berbagai otoritas dari pusat ke daerah (Tjandra, 2016).
Pemerintah daerah berperan dalam menunjang keberhasilan otonomi daerah. Pemerintah
daerah harus meningkatkan relevansi arah kebijakan, program dan alokasi anggaran
pemerintah daerah terhadap kebutuhan intervensi penanggulangan kemiskinan. Pengaruh
anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian, kelautan dan
kemaritiman memiliki pengaruh positip tetapi pengaruhnya sangat kecil. Untuk mengatasi
tidak efektifnya anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
pemerintah harus merubah penganggaran dengan pendekatan tradisional dengan penganggran
pendekatan kinerja. Penganggaran kinerja disusun dengan orientasi output. Sistem ini
menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain efisiensi penggunaan dana juga
hasil kerjanya diperiksa. Tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance
atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien.
Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja
dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan
hasil yang diharapkan. Bagi hasil pemerintah pusat terhadap daerah yang diwujudkan dalam
bentuk dana alokasi umum yang digunakan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana alokasi Umum memiliki
pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Dana Alokasi Umum untuk beberapa
daerah akan berimbas pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional di daerah
tersebut dan pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Jika
pengelolaan dana alokasi umum tidak baik atau dihapuskan dari pemerintah pusat maka akan
berimbas negative terhadap stabilitas keuangan daerah, stabilitas keuangan daerah yang
terganggu ini akan berimbas pada pelaksanaan program-program pemerintah daerah dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang akan terganggu pula. Imbas lain adalah
terganggunya program-program pemerintah daerah yang bertujuan utnuk meningkatkan
pelayanan public atau insfrastruktur yang dapat menjadi pemacu rendahnya pertumbuhan
ekonomi ragional maupun ekonomi nasional. Penanaman modal asing lansung memiliki
pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi pengaruhnya sangat kecil. Ini
menunjukan bahwa peran penanaman modal asing di Indonesia terhadap penciptaan lapangan
kerja sangat rendah, sehingga pengangguran tidak dapat teratasi dengan penanaman modal
asing langsung dan akhirnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi rendah. Pemerintah
harus selektif dalam memilih investasi asing langsung, terutama invesitasi asing yang
berdampak pada pengurangan pengangguran. Investasi yang diperbolehkan adalah investasi
yang padat karya dan menghasilkan ouput sebagai pengganti barang impor.
Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan
otonomi daerah di Indonesia!

A. Perbedaan Konsep dan Paradigma Otonomi Daerah

1. Perbedaan Konsep

Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan


cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang
mempersepsikan otonomi daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap
kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-istiadat dan sifat-sifatnya dalam
konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada
juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-
Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk
berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan
menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat
beragam, sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat
kelompok yang menafsirkan otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam
segala urusan yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang mempunyai
persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat, otonomi daerah
dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.

Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas


kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan
aspirasi masyarakat lokal. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian
otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai kewenangan,
daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter
dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni
perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan
pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan
teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.

Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu


mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan
otonomi harus lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga
lokal dan untuk itu diperlukan otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam
pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan ditangani oleh
Daerah (lokal).

Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi


teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian
menimbulkan berbagai interpretasi.           

Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi


dengan Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P.
Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang
relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik bekerja sesuai dengan
identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak diinterpretasikan
“bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu strategi
untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari
lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung
menyandang pengakuan terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.

Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron,


sebagai jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu
organisasi (lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas
yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka semakin tinggi tingkat
otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To Which and
Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and
Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan
business. Power di sini diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”.
Dalam konteks ini otonomi daerah diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh
suatu pemerintah daerah mengontrol kepada kegiatan pemenuhan kepentingan
masyarakat lokal terlepas dari pengaruh lingkungannya.

Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai
keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri.
Tentu saja makna ini didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan
“nomos” yang berarti aturan perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah
dapat diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau
kemandirian. Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat
inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan
kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara
kesatuan” namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah),
tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola
dibatasi kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini
ditemukan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh
penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203
kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991
kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa nilai
”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat
berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di
dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi”
namun isinya adalah ”sentralisasi”.

Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik adalah


negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-
negara federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya
kekuasaan dan otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu administrasi,
negara federal lebih efisien dikelola secara terdesentralisasi dan negara kesatuan
lebih efisien dikelola secara terpusat. UU No. 22 Tahun 1999 berisikan kebijakan
yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini bertentangan dengan
khitah negara kesatuan yang terlanjur kita anut. Memang tidak ada salahnya atau
sah-sah saja negara kesatuan dikelola dengan cara terdesentralisasi namun dengan
risiko tidak efisien. Di sisi lain perumusan undang-undang “otonomi daerah” ini
agaknya menggunakan pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti;
mengumpulkan berbagai hal yang terbaik dan kemudian dari yang terbaik tersebut
diambil komponen-komponen terbaik lalu dijadikan satu. Dalam hal ini
penyusunan kebijakan yang ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk
diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini mempunyai kelemahan pokok yaitu tidak
ada satu “platform” yang kuat dan dihasilkan ibarat campuran minyak dan air. Hal
ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang sangat
berpengaruh pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) dan (2)
menyatakan bahwa antara masing-masing daerah termasuk antara provinsi dan
kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama
lain.

Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten -


kota (lihat Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan
koordinasi tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang
begitu saja diberikan, apalagi kepada lembaga yang tidak berada di atasnya secara
struktural.

Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI


mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi,
kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan lembaga-lembaga non-
departemen. Ini suatu hal yang luar biasa. Rentang kendali (span of control) yang
begitu luas, tidak mungkin dapat dilakukan oleh seorang Presiden yang
notabenenya sebagai manusia biasa. Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek UU
No. 22 Tahun 1999 itu adalah konsep berpikir ala Amerika yang hanya bisa
diterapkan di negara Federasi seperti Amerika Serikat yang mengartikan
desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh masyarakat
Indonesia itu adalah “desentralisasi dan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan”,
di mana hubungan antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik,
sedangkan otonomi daerah berjalan secara mandiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal
11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan sudah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan
secara aktif, yang perlu dilakukan adalah pengakuan dari Pemerintah. Walaupun
secara akademik teori penyerahan kewenangan itu menganut
model General Competence atau Formele Huishoudingsleer, namun ditinjau dari
aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan penjelasan Pasal 11 UU No. 22 Tahun
1999 jelas-jelas merupakan reference Amerika yang hanya mungkin itu terjadi
apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, konsep
“kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan “tiadanya
hubungan hierarki” antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan Daerah
Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan sistem dalam
Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-potong adalah juga suatu rujukan dari
konsep “devolution” ala Negara Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat
yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Kelemahan lainnya, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang
otonomi daerah. Idealnya sebuah undang-undang dilaksanakan 5 (lima) tahun
setelah diundangkan. Infrastrukturnya harus dibangun dan memerlukan waktu.
Malangnya UU No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan
membuat tenggat waktu (deadline), yaitu UU tersebut penerapan secara efektif
selambat-lambatnya 2 tahun sejak diundangkan. Presiden B. J. Habibie
menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001,
undang-undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi.

Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda
dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar),
apalagi UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang merombak seluruh tatanan
Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, pedoman dan
sejenis lainnya belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah.
Oleh karena itu, tidak hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang
bingung, pejabat di level pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak
bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum
siap. Oleh karena itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan.
Uraian tentang konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan
kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil
keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol, empowerment, dan
kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan interpretasi
beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep
otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas
kebijakan.
 
2. Perbedaan Paradigma

Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya
dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang
bernuansa pertentangan.

Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak
akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang
berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam
membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan
subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi
bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan
selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih
tinggi.

Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru mewujudkan


betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin kualitas birokrasi yang
diinginkan”. Untuk menjamin kualitas birokrasi maka inisiatif, terobosan, inovasi,
dan kreativitas harus dikembangkan dalam hal ini akan dapat diperoleh apabila
institusi birokrasi itu memiliki otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi”
melihat bahwa harus ada otonomi agar suatu birokrasi dapat tumbuh dan
berkembang menjaga kualitasnya sehingga dapat memberikan yang terbaik bagi
masyarakat.
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi diperlukan bagi suatu organisasi
untuk dapat tumbuh dan berkembang mempertahankan eksistensi dan
integritasnya, akan tetapi “otonomi” juga sulit dilaksanakan karena birokrasi
daerah merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh karena itu kompromi
harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berjalan. Respons terhadap kedua
paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan agar
otonomi harus dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yaitu mengaitkan otonomi
dengan sistem politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan masyarakat daerah.
Oleh karena dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga sebagai upaya
menjaga kesatuan dan persatuan di satu sisi dan di sisi lainnya sebagai upaya
birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia agar mampu
memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.

UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan


pendekatan “kewenangan”. Hal ini dapat dilihat dari makna “otonomi sebagai
kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam konteks negara
kesatuan RI.” Hal ini sangat tepat, namun dalam kasus Indonesia dipandang
kurang realistis karena persoalan otonomi daerah bukan hanya persoalan
kewenangan semata, tetapi banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan
infrastruktur yang ada di daerah masih sangat lemah.

Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan


ekonomi untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan
daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan
nasional adalah pembangunan daerah. Jadi, sangatlah picik bagi para elit lokal
pada daerah yang kaya sumber daya dengan menyandera masalah ekonomi ini
untuk mencapai keinginan politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah
sangat melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.
 
B. Kuatnya Paradigma Birokrasi

Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang
dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma
birokrasi.

Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan
tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang
tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).

Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi,


standarisasi, prosedur dan aturan-aturan daerah sangat ditentukan oleh pemerintah
pusat, dan pemerintah daerah harus loyal terhadap aturan tersebut. Dalam bidang
manajemen telah disiapkan oleh pemerintah pusat, berbagai pedoman, petunjuk dalam
menangani berbagai tugas pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang
kebijakan publik, program dan proyek-proyek serta kegiatan-kegiatan yang diusulkan
harus mendapat persetujuan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di
daerah harus menunggu perintah dan petunjuk dari pusat. Paradigma birokrasi yang
sentralistik ini telah terbina begitu lama dan mendalam dan bahkan menjadi
“kepribadian” beberapa aparat kunci di instansi pemerintah daerah. Untuk itu perlu
dilakukan reformasi administrasi publik di daerah, meninggalkan kelemahan-
kelemahan paradigma lama, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi
paradigma baru seperti Post Bureaucratic (lihat Barzelay, 1992) atau reinventing
government, 1992, 1997).
 
C. Lemahnya Kontrol Wakil Rakyat dan Masyarakat 

Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di
daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani
kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga
legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita
sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde
baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan
proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun
terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di
era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas
wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya
melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang
bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur
mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

D. Kesalahan Strategi

UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah
daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan
sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal.
Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan
kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model
pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat
penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.

Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai
sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan
otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat
lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas
lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada
enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni
persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung
kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi
dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke
paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi
kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan
“desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model,
yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.

Dengan pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam rangka


penyelenggaraan otonomi daerah, dibarengi dengan perimbangan keuangan yang
memadai sampai saat ini, sesungguhnya daerah sudah cukup mampu untuk berbuat
sesuatu bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalahnya sekarang
adalah kurangnya SDM aparatur pemerintahan daerah yang mampu menemukan
talenta, potensi dan keunggulan daerahnya masing-masing.

Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara


“otonomi sebagai alat” (means) untuk mencapai tujuan dengan “tujuan otonomi” itu
sendiri.

Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa
“memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi
mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud
dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk
rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama
memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.
Pada kurun waktu lebih dari satu dasawarsa berjalannya otonomi daerah sejak disahkan UU
No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah sudah banyak yang dicapai, namun amsih
banyak hal yang belum bisa ditangani terkait dengan upaya dalam mengatasi implementasi
kebijakan otonomi daerah. Contoh keberhasilan dari otonomi daerah dalah semakin luasnya
kewenangan dari DPRD selaku Lembaga legeslatif serta kewenangan kepala daerah selaku
eksekutif dan semakin terbukanya informasi serta partisipasi dari masyarakan dalam hal
pengambilan keputusan dan penagwasan terhadap jalannya pemerintahan di tingkat daerah.
Namun, keberhasilan tersebut juga diiringi dengan hambatan seperti munculnya istilah raja-
raja kecil di daerah dan banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sehingga
menyebabkan anggaran yang seharusnya untuk membangun daerahnya dikorupsi dan
pembangunan menjadi terhambat.
Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan solusi nyata kita sebagai masyarakat
untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!

Peran serta masayarakat dalam pembangunan sudah muncul sejak diberlakukannya UUD
1945 dan secara konstitusional telah memiliki acuan yang jelas dan merupakan kewajiban
bagi siapapun yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.

Dalam GBHN pembangunan nasional juga telah menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas
hidup secara bertahap pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki negara dilakukan secara bijaksana
sebagai landasan pembangunan tahap berikutnya. Oleh sebab itu peningkatan peran serta
masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan termasuk dalam proses perencanaan
danpelaksanaan terutama yang menyangkutsecara langsung kehidupan dan masa depan mereka.
Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup juga menegaskan
bahwa setiap orang mem-punyai hak dan kewajiban atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
(Pasal 5 ayat 1). Serta mempunyai hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pasal
berikut-nya menengaskan bahwa setiap orang juga berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
(Pasal 6). Peranan infor-masi dalam pengelolaan lingkungan sangat penting oleh karena itu setiap
orang juga berhak atas dan berkewajiban untuk memberikan informasi tentang lingkungan
hidup yang benar dan akurat.
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bernegara yaitu menuju
masyarakat yang makmur, sejahtera, adil, dan merata. Dalam upaya pembangunan, partisipasi
masyarakat mempunyai peran sangat penting karena pembangunan ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan, maka diharapkan hasil dari pembangunan dapat sesuai dengan yang
diinginkan atau dibutuhkan oleh daerah atau masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat
dalam pembangunan desa dimulai dari penerimaan informasi, memberikan suatu tanggapan
terhadap informasi, perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, penilaian dan
akhirnya penerimaan kembali hasil pembangunan. Untuk mewujudkan pembangunan desa,
diperlukan partisipasi semua pihak, baik masyarakat, pemimpin, organisasi-organisasi sosial.
Organisasi-organisasi yang terbentuk dan berjalan di tengah masyarakat pedesaan, misalnya:
kelompok tani, PAUD, PKK, arisan, LSD dan sebagainya, merupakan cerminan partisipasi
masyarakat di masing-masing wilayah. Penguatan organisasi yang berkembang di tengah
masyarakat pedesaan kiranya merupakan strategi yang tepat untuk lebih mendorong dan
meningkatkan partisipasi masyarakat pedesaan.
Pada praktek good governance menyaratkan harus terdapat transparasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Transparasi merupakan konsep yang
penting yang mengringi kuatnyakeinginan untuk praktek good governance. Masyarakat
diberikan kesempatan yang luas untuk mengetahui informasi mengenai penyelenggaraan
pemerintahan, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian keberpihakan pemerintah
terhadap kepentingan public. Oleh karena itu, masyarakat dapat dengan mudah menetukan
apakah akan memerikan dukungan kepada pemerintah atau malah sebaliknya.
Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan
praktek good governance!

Dalam perjuangan pergerakan moralnya, mahasiswa membawa corak tersendiri dalam


perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Titik perjuangan dari beberapa estafet
generasi mahasiswa dari angkatan 1970-an, 1980-an sampai 1990 an, dimana pada tahun
1998 merupakan puncak terhadap pelengseran Soeharto. Pada masa tersebut kekuatan
pergerakan mahasiswa sangat luar biasa sekali. Di samping sejumlah faktor pendukung
eksternal, harus diakui, para demonstran mahasiswa tahun 1998 unggul dalam stamina. Kita
tidak cukup hanya memperhitungkan bagaimana mereka masih saja terus bertahan sesudah
digebuk, digempur, diculik atau ditembak. Stamina para demonstran digempur juga oleh
berputarnya waktu, keletihan, kejenuhan, kebosanan, atau apatisme biarpun sepak terjang
mereka sepenuhnya dibiarkan aparat keamanan. Entah apa yang terjadi pada gerakan
mahasiswa Indonesia jika Presiden Soeharto mundur bukan bulan Mei, tetapi bulan Juni atau
sesudahnya (Heryanto:2000:306). Pada kenyataannya bahwa pada era 1980-an pergerakan
moral mahasiswa sudah mulai memuncak. Aspinal (Australian Nasional University,2000)
dalam Gunawan dkk (2009:23) mengemukakan bahwa sejak akhir tahun 1980-an telah
tercipta kesadaran radikal dalam gerakan mahsiswa. Radikalisme itu dipengaruhi berbagai
bacaan kiri yang mereka baca dalam kelompok studi dan juga dipengaruhi oleh gerakan
mahasiswa kiri Filipina dan Korea Selatan. Berbagai kelompok radikal mahasiswa lalu mulai
bergerak kearah kiri, terutama para aktivis mahasiswa di Yogyakarta, Jakarta dan Bandung
sebagaimana ditunjukkan dengan pengorganisiran kelas pekerja, mendiskusikan formasi
sosial masyarakat Indonesia dan menolak model ala Barat.
Pada masa pemerintahan Habibi, resistensi mahasiswa masih berada dalam gelombang
pasang. Meskipun begitu, skala keterlibatannya dalam aksi-aksi telah menyusut secara
signifikan. Peran mahasiswa dalam aksi-aksi massa jalanan tidak sama lagi seintens pada saat
penggulingan Soeharto yang melibatkan seluruh eksponen mahasiswa di Indonesia. Yang
tersisa kemudian hanyalah sebagian kecil mahasiswa yang tersebar di sejumlah kota di mana
Jakarta paling dominan (Manan:2005:179).
Aktivis pergerakan mahasiswa perlu memahami prinsip-prinsip dalam pergerakan
mahasiswa ( Kusumah:2007:30). Diantaranya:
1. Menjadikan ideology (aqidah), pemikiran (fikroh) dan konsep serta pola gerakan (minhaj
haraki) sebagai pengarah dan sumber petunjuk.
2. Membingkai kerja dengan perilaku (suluk) dan etika (akhlak) yang sesuai dengan nilai-
nilai ketuhanan.
3. Memegang teguh konsep perjuangan: member teladan sebelum mengajak,
menggembirakan bukan menakuti, mempermudah bukan mempersulit, serta member solusi
bukan menghakimi.
4. Melakukan aktivitas pergerakan yang intelektual dan inklusif, serta menjauhi kerja yang
anarkis, ekskulif dan khusus untuk golongan tertentu.
5. Mengelola lembaga pergerakan mahasiswa dengan mengacu kepada prinsip legal, formal
dan wajar.
6. Mengingak hakikat dirinya sebagai aktivis pergerakan yang memiliki tugas mengajak
orang untuk terlibat dalam proses kaderisasi gerakan melalui berbagai potensi yang dimiliki.
7. Menyemangati diri dan aktivis yang lain untuk terus berkontribusi dalam situasi dan
kondisi bagaimanapun.
8. Melakukan upaya yang terus menerus untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan,
penemuan ilmiah dan pemikiran solutif.
9. Memperhatikan secara khusus orang-orang yang cerdas, berprestasi dan kreatif untuk
diajak sinergi dalam pergerakan.
10. Menyadari sepenuhnya bahwa kedudukan seorang sivitas akademika lulusan Perguruan Tinggi di
hadapan masyarakat adalah berdasar pada kompetisi ilmu, keterampilan, moral dan onteraksi
sosialnya. Karenanya tidak ada keringanan dan pengecualian dalam pencapaian hal tersebut.
11. Mengantisipasi kondisi dan kebutuhan dunia pasca kampus.
12. Pemiliki peran besar dalam isu kemanusiaan, kebangsaan dan keumatan
13. Membela hak asasi manusia, kemerdekaan dan keadilan bagi manusia, bangsa dan umat.
14. Melakukan interaksi dan hubungan baik dengan semua golongan dalam batas adab umum
yang berlaku dan prinsip persaudaraan serta kemanusiaan yang luas.
15. Memahami dan memanfaatkan logika dan adab umum sivitas akademika serta peraturan
formal keorganisasian sivitas akademika yang berlaku.
16. Memandang penting keikutsertaan dalam media mahasiswa dan organisasi
kemahasiswaan.
Gerakan moral mahasiswa merupakan bentuk gerakan atau aksi kolektif mahasiswa, dimana
gerakan ini merupakan bentuk dari gerakan sosial. Menurut Hamka (2000) dalam Matulessy
(2005:46) ciri khas dari gerakan moral mahasiswa adalah sebagai berikut:
a. Gerakan mahasiswa diwadahi oleh organisasi, baik yang bersifat permanen untuk
kepentingan jangka panjang maupun gerakan temporer (anomic) dalam jangka pendek.
b. Setiap gerakan mahasiswa memiliki tujuan yang berbeda-beda menurut keragaman
organisasi. Pada gerakan mahasiswa yang permanen, tujuannya mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Sedangkan pada gerakan mahasiswa yang temporer bertujuan menekan
kebijakan pemerintah dan melakukan perubahan politik.
c. Gerakan mahasiswa dilakukan dengan penuh kesadaran bukan semata-mata atas dasar
ketidakpuasan dan emosi yang membabi buta. Jadi gerakan mahasiswa didasarkan pada
adanya idealism, kepekaan, sikap kritis dan sikap anti kemapanan.
d. Setiap gerakan mahasiswa memiliki ideologis yang bervariasi menurut organisasi dan
semangat jaman. Sebagai contoh, HMI dengan ideology Islam, GMNI dengan ideology
nasionalisme, KAMMI dengan ideology radikalisme, SMID dan PIJAR dengan ideology
populisme kiri dengan membela kaum buruh dan tani.
e. Gerakan mahasiswa tidak membentuk lembaga resmi seperti partai politik, namun lebih
menekankan aksi-aksi kolektif yang inkonvensional untuk mewujudkan tujuan gerakan.
Sarana mobilisasi aksi massa berupa organisasi temporer seperti kesatuan aksi/komite dan
solidaritas ad-hoc untuk menggelar parlemen jalanan.
f. Di dalam menggelar aksi kolektif, gerakan mahasiswa menampilkan isu-isu-isu strategis
sebagai sarana untuk memobilisasi massa dan mengefektifkan aksi.
Agar gerakan mahasiswa menjadi progresif, dinamis, revolusioner, dan inklusif, gerakan
mahasiswa haruslah meniscayakan hal berikut ini:
Pertama, pro-aktif merespons keadaan dan teguh pendirian. Gerakan mahasiswa haruslah
bersatu dalam visi penegakan keadilan dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan
dengan saling memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan agenda
aksi. Sedangkan teguh pendirian yang dimaksud di sini adalah gerakan mahasiswa haruslah
bersifat independen dan tidak menjadi perpanjangan tangan para seniornya. Karena, hal ini
biasanya hanya akan menimbulkan friksi di kalangan sendiri dan saling memperebutkan
proyek demonstrasi.
Kedua, melakukan dialog transformatif-meminjam istilah Jurgen Habermas-untuk
menciptakan masyarakat komunikatif yang demokratis. Bila selama ini gerakan intelektual
cenderung elitis dan menggunakan bahasa yang mengawang, maka gerakan mahasiswa yang
juga gerakan intelektual plus, haruslah mencerdaskan, mencerahkan, dan memberdayakan
masyarakat yang selama ini banyak ditindas.
Ketiga, mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas intelektul yang memadai dan
berjiwa intelektual organik-meminjam istilah Antonio Gramsci.
Menurut Prasojo (2009:5) prinsip dasar demokrasi dalam mewujudkan good governance
adalah 1) kontrol masyarakat terhadap keputuasan publik dan pembuat keputusan publik, 2)
kesetaraan masyarakat dalam relasinya terhadap keputusan public, dua prinsip ini merupakan
prinsip dasar good governance yaitu partisipasi, representasi, akuntabilitas, transparansi,
responsivitas dan solidaritas.
Gerakan perubahan besar-besaran dalam upaya membangun pemerintahan yang baik
merupakan salah satu kajian demokratisasi dalam segala bidang pemerintahan. Oleh karena
itu perwujudan good governance semestinya dimulai dari pemerintah dengan sumber daya
yang ada memiliki komitmen yang lebih dalam upaya perubahan dan demokratisasi,
demokratisasi ini diulai dengan keinginan untuk mendengarkan suara public (resfonsivitas)
dan transparansi dan tanggung jawab (akuntabilitas). Menurut Denhardt, 2003 (Indiahono,
2009:8) menjelaskan bahwa pemerintah di manapun harus lebih berpihak pada public.
Pemerintahan yang baik model apapun harus mengutamakan public interest dan public
affairs.
Referensi:

Christia, A. M., & Ispriyarso, B. (2019). Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah di Indonesia. Law
Reform, 15(1), 149-163.
Basuki, A. T. (2021). FAKTOR PENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH DI
INDONESIA. Buletin Ekonomi: Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Akuntansi, 18(2), 121-132.

BMP PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Purwaningsih, E. (2008). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Jurnal Jantra, 3(6), 443-


452.

Razak, A. R. (2013). Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan. Otoritas: Jurnal Ilmu


Pemerintahan, 3(1).

You might also like