Professional Documents
Culture Documents
Untitled
Untitled
penduduknya. Indonesia merupakan negara kepualaian dengan jumlah lebih dari 17.000 yang
sudah cukup dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia. Oleh karena itu, Indonesia mempunyai gagasan tentang otonomi daerah. Bersamaan
dengan bergulirnya era reformasi di Tahun 1998 yang memunculkan tuntutan dari
masyarakat tentang perlunya managemen pemerintahan yang baru. Hal tersebut disebabkan
bahwa pemerintahan yang sentralistik pada kenyataannya masih banyak kekurangan.
Tuntutan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan disahkannya UU No. 22 tahun 1999
Tentang Pemerintah daerah.
Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan
otonomi daerah di Indonesia!
Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan sesuai dengan kepentingan masyarakat daerah tersebut. Pemberlakuan
sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan
berdasarkan undang- undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah
(Kurniawan, 2012). Sejarah otonomi daerah di Indonesia sudah dimulai pada zaman
kemerdekaan. Sejarah ini sempat terhenti saat diterapkannya sentralisasi pemerintahan pada
era orde baru. Kemudian, perjalanan desentralisasi dilanjutkan seiring dengan
berkembangnya era reformasi di Indonesia. Namun, ketidaksiapan institusi dan masyarakat
dalam menghadapi desentralisasi ini mengakibat kan ketidakseimbangan vertikal dan
horizontal (Nurhemi & Suryani, 2015).
Pelaksanaan otonomi harus dilaksanakan sesuai dengan konsep otonomi yang dimaknai
sebagai penyerahan urusan Pemerintah Pusat ke daerah, kecuali lima kekuasaan yang
dipergunakan untuk kelangsungan kehidupan bangsa. Namun diluar lima kekuasaan yang
dikecualikan harus diserahkan pada daerah. Dengan mempertimbangkan penyerahan urusan
itu sebagai usaha untuk mengurangi beban dan tuga Pemerintah Pusat. Disamping itu juga,
dalam rangka meratakan tanggung jawab. Sesuai dengan sistem demokrasi, maka tanggung
jawab pemerintah dapat dipikul rata oleh seluruh masyarakat yang diikutsertakan melalui
disentralisasi fungsional dan teritorial. Hal ini dapat menciptakan stabilitas pemerintahan
pada umumnya (Makhfudz, 2013).
Implementasi Otonomi Daerah memberi peluang besar bagi daerah untuk meningkatkan
kinerja keuangan mereka sendiri. Daerah memiliki wewenang untuk mengelola dan
meningkatkan sumber daya lokal mereka sendiri (Setiaji & Adi, 2007). Namun, pelaksanaan
otonomi daerah yang seringkali dipelintir menjadi “automoney” telah menyebabkan
kebutuhan yang besar bagi daerah untuk menyusun berbagai skema keuangan daerah guna
membiayai bergesernya berbagai otoritas dari pusat ke daerah (Tjandra, 2016).
Pemerintah daerah berperan dalam menunjang keberhasilan otonomi daerah. Pemerintah
daerah harus meningkatkan relevansi arah kebijakan, program dan alokasi anggaran
pemerintah daerah terhadap kebutuhan intervensi penanggulangan kemiskinan. Pengaruh
anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian, kelautan dan
kemaritiman memiliki pengaruh positip tetapi pengaruhnya sangat kecil. Untuk mengatasi
tidak efektifnya anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
pemerintah harus merubah penganggaran dengan pendekatan tradisional dengan penganggran
pendekatan kinerja. Penganggaran kinerja disusun dengan orientasi output. Sistem ini
menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain efisiensi penggunaan dana juga
hasil kerjanya diperiksa. Tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance
atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan menggunakan dana secara efisien.
Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja
dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan
hasil yang diharapkan. Bagi hasil pemerintah pusat terhadap daerah yang diwujudkan dalam
bentuk dana alokasi umum yang digunakan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dana alokasi Umum memiliki
pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Dana Alokasi Umum untuk beberapa
daerah akan berimbas pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional di daerah
tersebut dan pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Jika
pengelolaan dana alokasi umum tidak baik atau dihapuskan dari pemerintah pusat maka akan
berimbas negative terhadap stabilitas keuangan daerah, stabilitas keuangan daerah yang
terganggu ini akan berimbas pada pelaksanaan program-program pemerintah daerah dalam
rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang akan terganggu pula. Imbas lain adalah
terganggunya program-program pemerintah daerah yang bertujuan utnuk meningkatkan
pelayanan public atau insfrastruktur yang dapat menjadi pemacu rendahnya pertumbuhan
ekonomi ragional maupun ekonomi nasional. Penanaman modal asing lansung memiliki
pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi pengaruhnya sangat kecil. Ini
menunjukan bahwa peran penanaman modal asing di Indonesia terhadap penciptaan lapangan
kerja sangat rendah, sehingga pengangguran tidak dapat teratasi dengan penanaman modal
asing langsung dan akhirnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi rendah. Pemerintah
harus selektif dalam memilih investasi asing langsung, terutama invesitasi asing yang
berdampak pada pengurangan pengangguran. Investasi yang diperbolehkan adalah investasi
yang padat karya dan menghasilkan ouput sebagai pengganti barang impor.
Dari uraian di atas lakukanlah analisis faktor apa saja hambatan dalam melaksanakan
otonomi daerah di Indonesia!
1. Perbedaan Konsep
Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai
keadaan di mana masyarakat membuat dan mengatur perundangannya sendiri.
Tentu saja makna ini didasarkan pada kata “auto” yang berarti diri sendiri dan
“nomos” yang berarti aturan perundangan. Dengan makna ini otonomi daerah
dapat diinterpretasikan sebagai kewenangan mengatur diri sendiri atau
kemandirian. Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat
inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 yang menjadi landasan
kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara adalah “negara
kesatuan” namun di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah),
tersebut muncul semangat federalisme yang dicerminkan dari pola dibatasi
kekuasaan/kewenangan pusat, sementara semangat kesatuan dicirikan dari pola
dibatasi kekuasaan/kewenangan daerah. Dalam konteks pola dibatasi ini
ditemukan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh
penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203
kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991
kewenangan. Jadi, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa nilai
”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat
berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan di Daerah. Kota di
dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi”
namun isinya adalah ”sentralisasi”.
Selama kurun waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda
dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengurus hal ini tidak ada lagi (bubar),
apalagi UU tersebut sifatnya sangat mendasar yang merombak seluruh tatanan
Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, pedoman dan
sejenis lainnya belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi daerah.
Oleh karena itu, tidak hanya pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang
bingung, pejabat di level pusat pun demikian halnya. Maka tidak arif atau tidak
bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum
siap. Oleh karena itu, otonomi daerah ini harus disempurnakan sambil berjalan.
Uraian tentang konsep otonomi di atas sangat variatif, seperti kebebasan dan
kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil
keputusan sendiri power untuk melakukan kontrol, empowerment, dan
kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi konsep ini menimbulkan interpretasi
beragam. Oleh karena itu, di masa datang perlu kesepakatan tentang konsep
otonomi daerah di kalangan elit politik sebagai pengambil keputusan atas
kebijakan.
2. Perbedaan Paradigma
Variasi makna tersebut berkaitan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya
dengan otonomi, yaitu paradigma politik dan paradigma organisasi yang
bernuansa pertentangan.
Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik tidak mungkin ada dan tidak
akan berkembang karena adanya kepentingan politik dari rezim yang
berkuasa. Rezim ini tentunya membatasi kebebasan birokrat level bawah dalam
membuat keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) merupakan
subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi
bertentangan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak dapat berjalan
selama posisi suatu lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih
tinggi.
Sampai sekarang aparat pemerintah daerah belum berani melakukan terobosan yang
dibutuhkan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan untuk memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat karena masih kuatnya pengaruh paradigma
birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sangat hierarkis dengan
tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang
tinggi (standarisasi, prosedur, dan aturan yang ketat).
Selama orde baru tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam mengontrol
eksekutif sangat tidak efektif karena terkooptasi oleh elit eksekutif. Birokrasi di
daerah cenderung melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani
kepentingan masyarakat lokal. Kontrol terhadap aparat birokrasi oleh lembaga
legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Kelemahan ini kita
sadari bersama, perubahan telah dilakukan segera setelah pergantian rezim “orde
baru” orde reformasi. UU. Politik dan otonomi daerah diberlakukan, semangat dan
proses demokrasi menjanjikan, dan kontrol terhadap birokrasi dimulai walaupun
terkadang kebablasan. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan berkembang di
era reformasi ini tidak diikuti oleh strategi peningkatan kemampuan dan kualitas
wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya
melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memberikan peluang
bagi eksekutif untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur
mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.
D. Kesalahan Strategi
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah diberlakukan pada suatu pemerintah
daerah sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan
sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kemampuan yang sangat marjinal.
Hal ini akibat dominasi pemerintah pusat di daerah yang terlalu berlebihan, dan
kurang memberikan peranan dan kesempatan belajar bagi daerah. Model
pembangunan yang dilakukan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat
penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan daerah yang dahulu dipakai
sebagai alasan menunda otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan
otonomi daerah merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan dapat
menimbulkan berbagai masalah baru, seperti munculnya konflik antara masyarakat
lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berdampak sangat buruk pada integritas
lembaga pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sekurang-kurangnya ada
enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah ini, yakni
persiapan yang matang tidak artifisial, memberi kepercayaan, kejelasan visi, kesiapan
sumber daya, dan berbagai parameter tuntutan terhadap kinerja.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung
kelemahan-kelemahan, namun bagaimanapun juga UU ini merupakan suatu reformasi
dalam sistem pemerintahan daerah, yang telah menggeser paradigma lama ke
paradigma baru, yaitu dari sistem pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi
kepada Structural Efficiency Model” berubah ke arah sistem pemerintahan
“desentralistik” yang orientasinya lebih cenderung kepada Local Democratic Model,
yaitu yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
Dalam hubungan ini, seperti dikatakan oleh The Founding Father Moh. Hatta, bahwa
“memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi
mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud
dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk
rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama
memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.
Pada kurun waktu lebih dari satu dasawarsa berjalannya otonomi daerah sejak disahkan UU
No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah sudah banyak yang dicapai, namun amsih
banyak hal yang belum bisa ditangani terkait dengan upaya dalam mengatasi implementasi
kebijakan otonomi daerah. Contoh keberhasilan dari otonomi daerah dalah semakin luasnya
kewenangan dari DPRD selaku Lembaga legeslatif serta kewenangan kepala daerah selaku
eksekutif dan semakin terbukanya informasi serta partisipasi dari masyarakan dalam hal
pengambilan keputusan dan penagwasan terhadap jalannya pemerintahan di tingkat daerah.
Namun, keberhasilan tersebut juga diiringi dengan hambatan seperti munculnya istilah raja-
raja kecil di daerah dan banyak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah sehingga
menyebabkan anggaran yang seharusnya untuk membangun daerahnya dikorupsi dan
pembangunan menjadi terhambat.
Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait dengan solusi nyata kita sebagai masyarakat
untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan otonomi daerah!
Peran serta masayarakat dalam pembangunan sudah muncul sejak diberlakukannya UUD
1945 dan secara konstitusional telah memiliki acuan yang jelas dan merupakan kewajiban
bagi siapapun yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
Dalam GBHN pembangunan nasional juga telah menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas
hidup secara bertahap pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki negara dilakukan secara bijaksana
sebagai landasan pembangunan tahap berikutnya. Oleh sebab itu peningkatan peran serta
masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan termasuk dalam proses perencanaan
danpelaksanaan terutama yang menyangkutsecara langsung kehidupan dan masa depan mereka.
Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup juga menegaskan
bahwa setiap orang mem-punyai hak dan kewajiban atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
(Pasal 5 ayat 1). Serta mempunyai hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pasal
berikut-nya menengaskan bahwa setiap orang juga berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
(Pasal 6). Peranan infor-masi dalam pengelolaan lingkungan sangat penting oleh karena itu setiap
orang juga berhak atas dan berkewajiban untuk memberikan informasi tentang lingkungan
hidup yang benar dan akurat.
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bernegara yaitu menuju
masyarakat yang makmur, sejahtera, adil, dan merata. Dalam upaya pembangunan, partisipasi
masyarakat mempunyai peran sangat penting karena pembangunan ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan adanya partisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan, maka diharapkan hasil dari pembangunan dapat sesuai dengan yang
diinginkan atau dibutuhkan oleh daerah atau masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat
dalam pembangunan desa dimulai dari penerimaan informasi, memberikan suatu tanggapan
terhadap informasi, perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, penilaian dan
akhirnya penerimaan kembali hasil pembangunan. Untuk mewujudkan pembangunan desa,
diperlukan partisipasi semua pihak, baik masyarakat, pemimpin, organisasi-organisasi sosial.
Organisasi-organisasi yang terbentuk dan berjalan di tengah masyarakat pedesaan, misalnya:
kelompok tani, PAUD, PKK, arisan, LSD dan sebagainya, merupakan cerminan partisipasi
masyarakat di masing-masing wilayah. Penguatan organisasi yang berkembang di tengah
masyarakat pedesaan kiranya merupakan strategi yang tepat untuk lebih mendorong dan
meningkatkan partisipasi masyarakat pedesaan.
Pada praktek good governance menyaratkan harus terdapat transparasi dalam proses
penyelenggaraan pemerintah secara keseluruhan. Transparasi merupakan konsep yang
penting yang mengringi kuatnyakeinginan untuk praktek good governance. Masyarakat
diberikan kesempatan yang luas untuk mengetahui informasi mengenai penyelenggaraan
pemerintahan, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian keberpihakan pemerintah
terhadap kepentingan public. Oleh karena itu, masyarakat dapat dengan mudah menetukan
apakah akan memerikan dukungan kepada pemerintah atau malah sebaliknya.
Dari uraian di atas lakukanlah telaah terkait peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan
praktek good governance!
Christia, A. M., & Ispriyarso, B. (2019). Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah di Indonesia. Law
Reform, 15(1), 149-163.
Basuki, A. T. (2021). FAKTOR PENDORONG PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH DI
INDONESIA. Buletin Ekonomi: Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Akuntansi, 18(2), 121-132.