You are on page 1of 6

1) Dari kasus di atas :

1. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang


Praktik Kedokteran (“UU 29/2004”), pasien adalah:
“… setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada dokter atau dokter gigi.”
2. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (“UU 44/2009”), pasien adalah:
“… setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun
tidak langsung di Rumah Sakit.”

Adapun definisi konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8


Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”)
yaitu,setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalammasyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Dari bunyi pasal-pasal di atas dapat saya kesimpulan bahwa pasien adalah
konsumen pemakai jasa layanan kesehatan.Sebagai pemakai jasa layanan kesehatan,
pasien juga disebut sebagai konsumen sehingga dalam hal ini berlaku juga ketentuan
UUPK. Lebih jauh mengenai perlindungan hak pasien

2) Iya termasuk hukum Publik dimana


1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Di dalam perlindungan konsumen, terdapat dua istilah hukum yakni
hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen (Az. Nasution, 2004:
19). Hukum konsumen (consumer law) dan hukum perlindungan konsumen
(consumer protection law) merupakan bidang hukum baru dalam akademik
dan praktik penegakan hukum di Indonesia (Yusuf Shofie, 2011: 47). Namun saat ini
masih belum jelas apa yang masuk ke dalam materi keduanya serta apakah kedua
cabang hukum itu identik (Shirdarta, 2004: 11). Beberapa sarjana mencoba
memberikan batasan mengenai hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen. Menurut Shidarta (2004: 11) hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya,
hal ini mengingat bahwa salah satu tujuan hukum adalah memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat. Hukum konsumen berskala lebih luas meliputi
berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya, di
mana kata aspek hukum termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma.
Salah satu bagian dari hukum konsumen adalah aspek perlindungan, misalnya
bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan dari pihak
lain. Az. Nasution (2011: 37) membedakan definisi antara hukum konsumen dan
hukum perlindungan konsumen, yakni sebagai berikut: Hukum Konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah
penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan
penggunanya, dalam kehidupan masyarakat. Hukum perlindungan konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen
dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau
jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.
Az. Nasution (2011: 37) menjelaskan bahwa hukum perlindungan konsumen sebagai
bagian khusus dari hukum konsumen. Hukum konsumen mengatur secara umum
mengenai hubungan dan masalah penyediaan barang dan/atau jasa, sedangkan hukum
perlindungan konsumen lebih menitikberatkan pada masalah perlindungan hukum
terhadap konsumen. Definisi yang diberikan oleh Az. Nasution ini menggunakan kata
hukum yang lebih luas dari undang-undang sehingga tidaklah bergantung pada ada
tidaknya hukum positif yang mengaturnya. Hukum perlindungan konsumen tidak
harus melulu didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada. Selanjutnya
pengertian lain yang sangat normatif diberikan oleh Inosentius Samsul (2011: 34)
yang menyatakan bahwa hukum perlindungan konsumen adalah peraturan perundang-
undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta
putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur kepentingan konsumen. Menurut
Yusuf Sofie (2011: 52-53) perbedaan hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen terletak pada objek yang dikaji. Hukum konsumen wilayah hukumnya
lebih banyak menyangkut pada transaksitransaksi konsumen (consumer transactions)
antara pelaku usaha dan konsumen yang berobyekan barang dan/atau jasa. Sedangkan
dalam hukum perlindungan konsumen, kajian mendalam terletak pada perlindungan
hukum yang diberikan kepada konsumen dalam melakukan transaksi-transaksi
tersebut. Selanjutnya dalam hukum konsumen bukannya tidak ada perlindungan
hukum terhadap konsumen, namun perlindungan hukumnya berwujud hak-hak
dan/atau kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Sedangkan perlindungan hukum
dalam hukum perlindungan konsumen merupakan campur tangan negara untuk
melindungi individu konsumen dari praktik-praktik bisnis yang tidak jujur (unfair
business practices) (Yusuf Sofie, 2011: 52 -53). Berdasarkan beberapa pengertian
hukum perlindungan konsumen di atas jika dikaitkan dengan definisi hukum menurut
Mochtar Kusumaatmadja, maka hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan
asas-asas atau kaidah-kaidah, lembaga dan proses yang mengatur kegiatan manusia
dalam kaitannya dengan upaya perlindungan terhadap konsumen. Berdasarkan uraian
di atas, maka hukum perlindungan konsumen pada dasarnya merupakan bagian
khusus dari hukum konsumen, di mana tujuan hukum perlindungan konsumen secara
khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen atas barang dan/atau jasa
yang ada di masyarakat. Ketentuan-ketentuan hukum perlindungan konsumen tersebut
terdapat dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hukum
perdata, hukum pidana, hukum administrasi. Keterkaitan aspek-aspek hukum publik
(hukum pidana, hukum administrasi) dan hukum privat (perdata) dalam hukum
perlindungan konsumen menunjukkan bahwa kedudukan hukum perlindungan
konsumen berada dalam kajian hukum ekonomi (Ahmadi Miru & Sutarman Yado,
2004: 2). Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen pada dasarnya
merupakan 2 (dua) bidang hukum yang mengatur mengenai masalah penyediaan
barang dan/atau jasa di masyarakat. Namun yang membedakan antara ke-duanya
adalah bahwa hukum konsumen bersifat umum terkait dengan penyediaan barang
dan/atau jasa sedangkan hukum perlindungan konsumen lebih khusus mengatur dan
melindungi konsumen dalam kaitannya penyediaan barang dan/atau jasa yang di
masyarakat. Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asasasas atau
kaidah-kaidah, lembaga dan proses yang mengatur kegiatan manusia dalam kaitannya
dengan upaya perlindungan terhadap konsumen. Sejarah perlindungan konsumen baik
di dunia maupun di Indonesia, tumbuh karena adanya kesadaran akan perlunya
perlindungan terhadap konsumen serta munculnya gerakan-gerakan konsumen, yakni
International Organization of Consumer Union (IOCU). Pengakuan terhadap perlunya
perlindungan terhadap konsumen telah diakomodir di beberapa negara dengan
membentuk undang-undang secara khusus yang melindungi konsumen. Selanjutnya
pengakuan terhadap perlindungan konsumen telah diakomodir oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan mengeluarkan Resolusi PBB No. No. A/RES/39/248
Tanggal 16 April 1985 Tentang Guidelines for Consumer Protection. Di Indonesia
sendiri perkembangan perlindungan konsumen pada awalnya diprakarsai oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Dalam perkembangannya banyak
dilakukan studi, kajian, naskah akademik terkait dengan perlindungan konsumen di
Indonesia. Akhirnya pada tahun 1999, Indonesia memiliki payung hukum
perlindungan konsumen dengan disahkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

3) Menurut saya Dimuka telah disepakati, bahwa kontrak adalah perjanjian yang dibuat
secara tertulis. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak
yang membuatnya. Dalam bentuknya , perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Perikatan yang dilakukan dengan suatu kontrak tidak lagi hanya berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan
yang diucapkan, melainkan sudah merupakan perjanjian yang sengaja dibuat secara
tertulis sebagai suatu alat bukti bagi para pihak. Perikatan adalah suatu hubungan
hukum antara dua pihak, yang mana piahk yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak yang lain dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Hubungan hukum yang terjadi karena adanya kontrak disebut perikatan, karena
kontrak tersebut mengikat para pihak yang terlibat, yaitu adanya hak dan kewajiban
yang timbul didalamnya. Apa yang dapat diperjanjikan oleh Para Pihak? Pada
dasarnya para pihak dapat memperjanjikan apa saja yang dikehendaki. Hal tersebut
sesuai dengan apa yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering
juga disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang
oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian
tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan ketertiban umum. Berlakunya asas kebebasan berkontrak dapat dilihat
pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan bahwa: Adanya asas bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka
yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan
perjanjian, yaitu bahwa kekuatan perjanjian sama dengan suatu undang-undang dan
kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Cara
menyimpulkan asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah
dengan jalan menekankan pada perkataan semua yang ada dimuka kata perjanjian
(Subekti, 1984:5). Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat
suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan
mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap
kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan ketertiban umum dan kesusilaan..
Dalam hukum perjanjian dikenal suatu asas konsensualitas, yang berasal dari
perkataan consensus yang artinya sepakat. Asas konsensualitas yang dimaksud adalah
bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu
sudah sah apa bila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidaklah
diperlukan suatu formalitas. Ada kalanya undang-undang menetaapkan, bahwa untuk
sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis (misalnya
perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (misalnya perjanjian penghibahan
barang tetap), hal yang demikian adalah merupakan kekecualian. Sedang yang lazim
adalah bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti mengikat sejak tercapai kesepakatan
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Jual-beli, tukar-menukar, sewa-
menyewa adalah contoh perjanjian yang konsensuil. Bentuk konsensualitas suatu
perjanjian yang dibuat secara tertulis (kontrak), salah satunya adalah adanya
pembubuhan tanda tangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
Tanda tangan itu selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan, juga sebagai wujud
persetujuan atas tempat dan waktu serta isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga
berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu kontrak sebagai
bukti atas suatu peristiwa. Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan, harus
dituangkan secara jelas mengenai jati diri para pihak. Pasal 1330 KUH Perdata,
menyebutakan orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian, yaitu: 1.
orang-orang yang belum dewasa; 2. mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; dan
3. orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua
orang kepada siapa undang-undangn telah melarang membuat perjanjian- perjanjian
tertentu. Mengenai syarat suatu hal tertentu, berkenaan dengan pokok perikatan yang
justru menjadi isi dari pada kontrak , maka suatu perjanjian harus mempunnyai pokok
atau obyek barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Sedangkan mengenai
jumlahnya dapat tidak ditaentukan pada waktu dibuat perjanjian, asalkan nanti dapat
dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333). Suatu perjanjian seharusnya
memang berisi obyek yang tertentu agar dapat dilaksanakan, tetapi apabila sampai
tidak dapat sama sekali ditentukan obyeknya, maka perjanjian itu menjadi tidak sah
atau batal. Pemahaman suatu sebab yang halal, dapat dikemukakan beberapa pasal
khususnya Pasal 1336 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jika tidak dinyatakan
sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada suatu sebab lain
yang dinyatakan, maka perjanjian demikian adalah sah. Suatu perjanjian yang tanpa
sebab menjadi perjanjian yang sah asalkan ada sesuatu yang diperbolehkan. Sesuatu
yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian pada asasnya tidak dipedulikan
oleh undang-undang. Hukum hanyalah memperhatikan tindakan orang-orang dalam
masyarakat. Dengan demikian tertulis tidaknya sebuah kontrak, tidak menentukan sah
tidaknya kontrak tersebut, tetapi tertulis tidaknya sebuah kontrak berkaitan dengan
kuat atau lemahnya pembuktian adanya kontrak.

You might also like