You are on page 1of 17

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

HUKUM AGRARIA MUSLIM,S.Ag., S.H., M. Hum

MAKALAH

HUKUM TANAH

KELOMPOK 6 :

VIVI AMEKYA NOLA (120020722980)

VYKHA NURULLOH MARDHIYAH AMANDA (120202722980)

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SULTHAN SYARIF KASIM RIAU

2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemampuan kepada penulis, sehingga
dapat menyusun makalah Tentang Hukum Tanah ini lancar. Sholawat dan salam semoga
tetap dilimpah curahkan kepada Khotimul Anbiya Wal Mursalin yakni Nabi Muhammad
SAW. Sebagai Uswatun Hasanah bagi umat semesta alam.

Makalah ini disusun untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi para mahasiswa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, tentunya masih banyak
kekurangan, baik dari segi materi yang dipaparkan maupun dalam kesempurnaan sistematika.
Selanjutnya dengan kerendahan hati, penulis berharap kepada para pembaca agar
memberikan koreksi apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan guna memperbaiki
penulisan makalah dimasa yang akan datang.

Kami ucapkan terima kasih banyak kepada pihak yang telah membantu penulis dalam
pembuatan makalah ini. Semoga amal baik semua pihak dibalas oleh Allah SWT. dengan
balasan yang berlipat ganda. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan
para pembaca pada umumnya.

Pekanbaru, 22 September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang....................................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................4
1.3 Tujuan..................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Tanah..................................................................................................6


2.2 Sumber Hukum Tanah.......................................................................................................8
2.3 Sejarah Pengaturan Hak Atas Tanah di Indonesia.........................................................9
2.4 Sengketa Tanah.................................................................................................................11
2.5 Kekuatan Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah......................................12
2.6 Hukum Tanah Adat..........................................................................................................13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan .......................................................................................................................15

3.2 Saran..................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin di dalam
UndangUndang Dasar 1945. Tanah merupakan kurunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar
hak menguasai dari negara, maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan
pendaftaran di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Undang-Undang Pokok
Agraria yang individualistik komunalistik religius, selain bertujuan melindungi tanah
melalui penyerahan sertifikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya.Tanah
memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia, Setiap orang akan berusaha
mendapatkan tanah dan berupaya memperjuangkannya untuk memenuhi hajat hidupnya
dan mempertahankan kehidupan dan ekosistem kelompoknya.
Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang
amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai
tempat berdiam jugatempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat
manusia berkubur.
Namun masih banyak sekali masyarakat yang belum mengerti mengenai hukum
pertanahan Karenanya banyak masalah tentang tanah yang belum terselesaikan. Oleh
karena itu, pemakalah akan membahas tentnag hukum tanah dalam makalah ini sebagai
pembelajaran untuk menambah ilmu dan lain lain.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Hukum Tanah?
2. Apa Saja Sumber Hukum Tanah?
3. Bagaimana Sejarah Pengaturan Hak Atas Tanah di Indonesia?
4. Apa Arti Dari Sengketa Tanah?
5. Bagaimana Kekuatan Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
6. Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah?
7. Apa Hukum Tanah Adat?

4
1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian hukum tanah
2. Dapat mengetahui apa saja sumber hukum tanah
3. Dapat mengetahui bagaimana sejarah pengaturan hak atas tanah diindonesia
4. Dapat mengetahui arti dari sengketa tanah
5. Dapat mengetahui kekuatan pembuktian dalam penyelesaian sengketa tanah
6. Dapat mengetahui apa saja hukum tanah adat
7. Dapat menambah informasi bagi penulis dan pembaca

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Tanah


Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut
permukaan bumi.Tanah yang dimaksud di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebut dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari
negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain serta badan-badan hukum”. Dengan demikian jelaslah bahwa tanah
dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah
adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar.
Tanah yang dimaksud disini adalah hanya mengatur tentang haknya saja, yaitu
hak atas tanah tersebut yang sesuai dengan Undang- Undang Pokok Agraria Pasal
4 ayat (1). Dimana hak-hak atas tanah/hak atas permukaan bumi terdiri dari
beberapa macam, yang dapat didapat dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau
lebih dan badan-badan hukum.
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan
peraturan-peratuuran hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga
hukum dan hubungan-hubungan hukum yang konkret. Objek Hukum tanah adalah
hak penguasaan atas tanah.Yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah
adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu
yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-
hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah. Hukum Tanah
adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak
penguasaan atas tanah sebagai lembagalembaga hukum dan sebagai hubungan

6
hukum yang konkret, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun dan
dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang
merupakan satu sistem. Atas pernyataan dari Effendi Peranginan diatas, dapat
disimpulkan bahwa hukum tanah ialah himpunan peraturan-peraturan yang tertulis
atau tidak tertulis serta mengatur tentang hak-hak Penguasaan atas tanah.
Dan yang menjadi objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah
yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum; dan
b. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret.

Ketentuan - ketentuan Hukum Tanah yang tertulis bersumber pada UUPA dan
peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai
sumber hukum utamanya, sedangkan ketentuan- ketentuan Hukum Tanah yang
tidak tertulis bersumber pada Hukum Adat tentang tanah dan yurisprudensi
tentang tanah sebagai sumber hukum pelengkapnya.
Hukum Tanah mengatur segi tertentu dari tanah itu sendiri, yakni menyangkut
Hak Penguasaan atas Atas Tanah (HPAT). Segi-segi lain, seperti bagaimana
menggunakan tanah atau bagaimana mewariskan tanah tidak tunduk pada Hukum
Tanah, melainkan tunduk pada hukum lain, dalam hal ini :
a. Cara penggunaan tanah tunduk pada Hukum Tata Guna Tanah sebagai bagian
dari Hukum Tata Ruang dan/atau Hukum Tata Lingkungan, serta
b. Cara mewariskan tanah tunduk pada Hukum Waris. Politik hukumnya, hukum
yang berlaku dalam HPAT mencita-citakan hukum yang tertulis, agar lebih
mudah diketahui. Dalam pada itu, untuk menjamin kepastian hukum maka
Hukum Tanah Nasional (HTN) sejauhmungkin diberi bentuk tertulis. Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang kita belum mampu mengatur
semua hukum mengenai HPAT di Indonesia secara tertulis. Dengan perkataan
lain, ada juga pengaturan HPAT dalam bentuk Hukum Adat, bahkan dalam
Hukum Kebiasaan-kebiasaan baru (yang bukan Hukum Adat).

Oleh karena itu, sampai saat ini hukum yang berlaku mengenai HPAT dalam
HTN, terdiri atas
a. Hukum tertulis, yang meliputi :
1. Pasal 33 UUD 1945

7
2. UUPA
3. Peraturan-peraturan pelaksanaan
4. Peraturan-peraturan lama sebelum UUPA yang berlaku berdasarkan
peraturan peralihan dari UUD 1945.
b. Hukum yang tidak tertulis, yang meliputi :
1. Hukum Adat yang sudah disaneer
2. Hukum kebiasaan-kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat.

2.2 Sumber Hukum Tanah


Sumber hukum tanah terdiri dari sumber hukum materiil dan sumber hukum
formal. Sumber hukum materiil merupakan sumber yang menentukan isi dari
hukum itu sendiri. Sumber hukum formal merupakan sumber hukum dilihat dari
bentuk formalnya, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, perjanjian,
yurisprudensi dan kebiasaan. Sumber hukum materiil dari hukum di Indonesia
adalah Pancasila, karena Pancasila merupakan rechtsidee dari bangsa Indonesia.
Segala peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mencerminkan isi dari
Pancasila. Kemudian, sumber hukum formal dalam bentuk peraturan perundang-
undangan di Indonesia, berdasarkan pada pengaturan Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, terdiri atas :
1. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang - Undang/Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Sumber hukum tanah nasional menurut Boedi Harsonodibagi menjadi dua


macam, yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Yang mana
yaitu :

8
1. Sumber hukum tertulis, yaitu :
a. Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
33 ayat (3).
b. Ketetapan MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
c. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok - Pokok Agraria (UUPA)
d. Peraturan Pelaksana dari Undang - Undang Pokok Agraria
e. Peraturan - peraturan yang bukan Peraturan Pelaksana dari Undang-
Undang Pokok Agraria yang dikeluarkan setelah tanggal 24 September
1960 karena suatu masalah perlu diatur (seperti : Undang - Undang
Nomor51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin
yang Berhak atau Kuasanya, LN 1960-158,TLN 2160.
f. Peraturan - peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku
berdasarkan ketentuan pasal – pasal peralihan yang merupakan bagian
hukum tanah yang positif, bukan bagian hukum tanah nasional.
2. Sumber hukum tidak tertulis, yaitu :
a. Norma - norma hukum adat yang sudah menurut ketentuan Pasal 5,
Pasal 56 dan Pasal 58Undang-Undang Pokok Agraria
b. Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik
administrasi yang berkaitan dengan tanah

Selain sumber di atas, yang dapat menjadi sumber hukum tanah nasional
adalah perjanjian yang diadakan oleh para pihak berdasarkan pengaturan Pasal
1338 Kitab Undang - Undnag Hukum Perdata. Akan tetapi terdapat pembatasan
dari ketentuan pasal tersebut, khususnya dibidang hukum tanah sepanjang
perjanjian tersebut tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan sebagaimana
yang telah diatur dalam Undang - Undang Pokok Agraria.

2.3 Sejarah Pengaturan Hak Atas Tanah di Indonesia


Dalam sejarah agraria di Indonesia, pemilikan tanah baik oleh raja maupun
individu telah dikenal sebelum penjajahan Inggris sampai Belanda berlangsung di
Indonesia. Pada zaman kerajaan jawa tradisional, Raja merupakan pusat

9
ketatanegaraan. Dalam hubungannya dengan tanah maka menurut tradisi Raja
adalah satu-satunya  pemilik tanah dari seluruh kawasan kerajaan.
Semua tanah di seluruh negara adalah hak milik raja (keagungan ndalem
sinuhun). Hak-hak penguasaan tanah yang lain bersumber pada hak milik
raja.tidak ada rakyat yang memiliki tanah, mereka hanyalah anggaduh milik raja.
hanya raja atau sultan yang berhak memberikan kepada mereka yang
memerlukannya.
Menurut Ruwiastuti, hak ulayat maksudnya adalah apa yang selama ini
dikenal dengan “Beschikkingsrecht” dalam kepustakaan hukum adat seperti yang
dikemukakan oleh Van Vollen Hoven. Suatu Beschikkingsrecht meliputi berbagai
kewenangan seperti mengambil hasil-hasil alami dari hutan,berburu binatang
liar,memiliki pohon-pohon tertentu dari dalam hutan,membuka tanah dalam hutan 
dengan izin kepala persekutuan hukum adat. Dalam rangka Beschikkingsrecht
dapat terjadi hak-hak perorangan atas tanah-tanah yang sudah dibuka dan
diusahakan terus menerus,tetapi ketika tanah itu di telantarkan,maka hak-hak
perorangan itu akan lenyap dan tanahnya kembali menjadi “Beschikkingsrecht”
persekutuan.
Hubungan antara Hak ulayat dengan hak Individual merupakan hubungan
yang fleksibel. Semakin kuat hak individual atas tanah ,maka semakin lemah daya
berlakunya  hak ulayat atas tanah tersebut. Sebaliknya semakin lemah hak
Individual atas tanah,maka semakin kuat daya berlakunya hak ulayat. Hak
perseorangan atas tanah akan lenyap dan tanah kembali menjadi hak ulayat
apabila tanah ditelantarkan.
Pada hakekatnya hak ulayat merupakan kepunyaan bersama warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.Tanah ulayat merupakan peninggalan nenek
moyang kepada warga masyarakat hukum adat,oleh sebab itu tanah ulayat wajib
di kelola dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama para warga dan
keluarganya. Penggunaan tanah oleh para warga tersebut dilandasi berbagai hak
penguasaan yang dalam ilmu hukum agraria disebut “Hak-hak atas tanah”.
Hak atas Tanah di Indonesia yaitu :
1. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha mengizinkan Anda menggunakan tanah untuk
mencari ikan, beternak dan bersawah. Pemerintah pusat mengendalikan
tanah untuk Hak Guna Usaha.

10
Semua badan hukum serta warga negara Indonesia dapat memiliki Hak
Guna Usaha. Masa berlaku izin ini 35 tahun untuk badan hukum Indonesia
dan 25 tahun untuk individu Indonesia. Izin ini dapat diperpanjang untuk
25 tahun lagi.
2. Hak Milik
Hak Milik mengizinkan Anda menggunakan tanah untuk tujuan
apapun dan tak ada masa tidak berlaku untuk tanah yang Anda miliki.
Namun, hanya warga Indonesia yang berhak atas Hak Milik. Ini adalah
hak paling kuat di dalam Undang-Undang Agraria.
3. Hak Guna Bangunan
Dengan Hak Guna Bangunan, Anda diizinkan membangun bangunan
di atas tanah yang tidak Anda miliki. Hak Guna Bangunan berlaku 30
tahun dan dapat diperpanjang hingga maksimum 20 tahun. Hak atas tanah
ini diberikan kepada badan hukum yang inkorporasinya dilakukan di
bawah hukum Indonesia, serta juga penduduk Indonesia.
4. Hak Sewa
Hak Sewa memberikan Anda hak untuk menggunakan bagian dari
tanah yang tak Anda miliki, tetapi dimiliki orang lain, untuk jangka waktu
tertentu melalui perjanjian sewa. Di bawah perjanjian sewa, Anda perlu
membayar biaya sewa kepada pemilik tanah.
5. Hak Pakai
Dengan Hak Pakai, Anda dapat memakai produk dari tanah yang
dimiliki pemerintah atau orang lain. Orang asing, orang Indonesia,
perusahaan lokal dan perusahaan asing semua dapat memperoleh Hak
Pakai.
6. Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan
Kedua izin ini mengizinkan pemiliknya untuk membuka tanah yang
tak dimiliki pemilik izin dan mengumpulkan sumber daya dan produk
langsung dari hutan di tanah yang dimaksud.

2.4 Sengketa Tanah


Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict
of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh
konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum;

11
badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, guna kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap
kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat diberikan respons / reaksi /
penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan pemerintah),
Menurut Rusmadi Murad, pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan
sebagai sengketa hak atas tanah, yaitu timbulnya sengketa hukum yang bermula
dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan
dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Adapun cara penyelesaian sengketa tanah melalui BPN (Badan Pertanahan
Nasional) yaitu kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan /
keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan
tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang
telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka
atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin
mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta
merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan
koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan
(sertifikat / Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain :
a. Mengenai masalah status tanah
b. Masalah kepemilikan
c. Masalah bukti - bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan
sebagainya.
2.5 Kekuatan Pembuktian Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Pembuktian, menurut Prof. R. subekti, yang dimaksud dengan membuktikan
adalah Meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Kekuatan Pembuktian, Secara umum kekuatan pembuktian alat bukti tertulis,
terutama akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu :

12
1. Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa
mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara para pihak, bahwa
benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
3. Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga,
bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah
menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis
dalam akta tersebut.
4. Oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata
otentik mempunyai kekuatan pembuktian keluar.

2.6 Hukum Tanah Adat


Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang umumnya
berbentuk tidak tertulis, tumbuh dan berkembang serta dipertahankan oleh
masyarakat hukum adat, dan berpangkal dari kehendak nenek moyang. Soepomo
(dalam Sodiki, 2013:14) mengatakan bahwa hukum adat itu berurat akar dalam
kebudayaan tradisional, sesuai dengan fitranya sendiri, terus menerus dalam
keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Menurut Van Dijk (dalam Andasasmita, 1983:50-51), hukum adat itu
mempunyai beberapa corak, yakni mengandung sifat yang sangat tradisional
karena berpangkal pada kehendak nenek moyang; hukum adat dapat berubah,
tidak statis melainkan dinamis; dan bersifat elastis, sanggup menyesuaikan diri.
Mengacu pada pendapat Van Dijk di atas, dapat dikatakan bahwa sifat elastis
hukum adat itu dikarenakan bentuknya yang tidak tertulis, sehingga ia mampu
mengadaptasi dengan kejadian dan keadaan sosial, dimana ia mudah berubah
untuk menyesuaikan dengan perkembangan situasi sosial tersebut.
Istilah hukum adat yang dipakai sekarang adalah terjemahan dari bahasa
Belanda, yaitu dari Adatrecht, yang pertama kali dikemukakan oleh Prof. Dr. C.
Snouck Hungronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” 1894. Beliau
dikenal sebagai salah satu dari “Trio penemu hukum adat” bersama dengan
George Alexander Wilken dan Frederik Albert Lefrinck.
Konsepsi Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik
religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-
hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.

13
Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak-bersama para anggota
masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan disebut Hak Ulayat.
Tanah Ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai
karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok
yang merupakan masyarakat hukum adat, sebagai unsur pendukung utama bagi
kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.
Masyarakat hukum adat berhak mengatur anggota-anggotanya dalam
mengambil hasil di atas tanah ulayat sehingga semua anggotanya mendapatkan
bagian, dan membatasi kebebasan berbuat dari dari anggota-anggotanya dalam
menggunakan haknya atas tanah ulayat untuk kepentingan sendiri. Daya berlaku
ke luar, artinya anggota masyarakat hukum adat berwenang menolak pihak luar
untuk ikut menikmati hasil di atas tanah ulayat mereka.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peratuuran hukum baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang
merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum yang
konkret. Objek Hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah.Yang dimaksud
dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang,
kewajiban atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki.
Sumber hukum tanah terdiri dari sumber hukum materiil dan sumber hukum
formal. Sumber hukum materiil merupakan sumber yang menentukan isi dari
hukum itu sendiri. Sumber hukum formal merupakan sumber hukum dilihat dari
bentuk formalnya, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, perjanjian,
yurisprudensi dan kebiasaan. Sumber hukum materiil dari hukum di Indonesia
adalah Pancasila, karena Pancasila merupakan rechtsidee dari bangsa Indonesia.
Dalam sejarah agraria di Indonesia, pemilikan tanah baik oleh raja maupun
individu telah dikenal sebelum penjajahan Inggris sampai Belanda berlangsung di
Indonesia. Pada zaman kerajaan jawa tradisional, Raja merupakan pusat
ketatanegaraan. Dalam hubungannya dengan tanah maka menurut tradisi Raja
adalah satu-satunya  pemilik tanah dari seluruh kawasan kerajaan.
Sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas tanah,
yaitu timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak
(orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah,
baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan
dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku.
Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak
(orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat

15
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.

3.2 Saran
Sebagai saran, agar kita bias mempelajari hukum agraria di Indonesia 
terutama mengenai pengertian dari sengketa tanah, bagaimana penyelesaiakan
terhadap sengketa tanah, sertifikat sebagai kekuatan alat bukti dalam penyelesaian
sengketa tanah. Dalam makalah ini berisi mengenai berbagai macam tentang
apasaja yang berkaitan dengan tanah, seperti tanah adat atau ulayat, sejarah dan
lainnya yang dibahas dalam materi makalah ini. Oleh karena itu pemakalah
membutuhkan saran bagi pembaca mengenai isi dari makalah yang kami buat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah.


Jakarta: Djambatan, 1991.

Sajuti, Thalib.  Hubungan Tanah Adat Dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina


Aksara. 1985.

Sudiyat, Imam.  Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 2000.

Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia, Jakarta:  Rajawali, 1990.

Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2010.

Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria)

Sihombing, 2018. “Sejarah Hukum Tanah Indonesia”. Jakarta : Endang Wahyudi.

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_AGRARIA

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_SENGKETA TANAH

17

You might also like