You are on page 1of 8

KETERASINGAN DAN EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL ORANG-ORANG

TERBUANG KARYA GUILLERMO ROSALES

Delta Nishfu Aditama


Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
delta.nishfu.2002126@students.um.ac.id

Abstrak
Setiap karya sastra memiliki sebuah sikap dan ideologi tersendiri. Terrgantung siapa
penulisnya, karya sastra akan lahir secara politis meski sifatnya sangat personal yang menggambarkan
kondisi materil, hidup, kebahagiaan, maupun rasa sakit secara psikologis itu sendiri. Dari judul Novel
yang akan di kaji, makalah ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang keterasingan yang
dirasakan oleh karakter utama. Dari pengasingan ke pengasingan lain. Dan gagasan utama dari kajian
ini adalah: akan jadi seperti apa jika tokoh dalam cerita lahir di tempat yang lebih baik secara
ekonomi maupun sosial? Akan sangat menarik ketika rasa skeptis itu dihendaki oleh karakter utama.
Apapun kondisi ditemui, membangun apa yang ia hendaki. Hasil penelitian ini menunjukan jika
keterasingan yang dialami karakter utama membangun rasa skeptis nya terhadap keraguan diri: yaitu
eksistensialisme. Karena rasa sakit dari pengkhianatan, pengasingan itu berlangsung cukup kompleks,
membuat pengarang berhasil menghadirkan kesimpulan cerita yang indah dan juga dramatis.

Kata kunci : psikologi, eksistensialisme politik, relasi sosial, politik kelas, tokoh,
Pendahuluan
Dunia dalam karya sastra itu diciptakan secara jujur dan juga kompleks. Kita bisa melihat
realitas melalui sudut pandang penulis sastra di mana ia tumbuh. Guilermo Rosales adalah seorang
novelis asal Kuba kelahiran 1946. Lahir setelah masa perang dunia ke II, membuat ia merasakan
kesulitan-kesulitan dalam hal pendidikan. Sebelum menjadi penulis, ia sempat menjadi jurnalis. Iya
sering menulis reaksi terhadap rezim totaliter Kuba dan ketidakpedulian orang-orang buangan
Kuba-Amerika yang bertekad mencapai impian Amerika. Ia memiliki ketenaran awal ketika novelnya
yang berjudul El Juego de la Viola "permainan biola" dan punya reputasi baik.
Pada tahun 1979, bersama mereka yang melarikan diri dari rezim Castro pergi ke pengasingan
di Miami menghilang dari pandangan publik dan berakhir di rumah singgah tempat perlindungan
orang-orang marjinal. Di mana orang-orang putus asa berkumpul dan waktu di sana ia menghabiskan
untuk menulis novel yang terkenal. Kemudian ia menghantui secara mendalam melalui karya
boarding home atau dalam bahasa Inggris The Halfway House yang berarti "orang-orang dalam
pengasingan".
Dalam novel ini, karakter utama sangat dekat dengan kondisi mental yang tidak stabil. Meski
tidak digambarkan secara lisan, tapi karakter utama seakan terasing dan memiliki trauma mendalam
yang yang membuatnya harus bertahan melawan mental sendiri. Setelah dikaji lebih dalam, kehidupan
Guillermo Rosales memang tidak jauh dari diagnosis penyakit mental. Iya menderita skizofrenia, dan
kerap kali pikiran-pikiran buruk atau hal yang tidak pernah terjadi menghantui hidupnya sepanjang
malam. Penderitaan itu gambarkan sendiri di novel ini. Seperti halnya apa yang terjadi di halaman ke
5, di mana William Figueras, yang menjadi karakter utama dihantui rasa takut kepada orang baru -
orang yang dicurigai nya - bahkan tak pernah tau siapa dirinya dan dari mana asal-usulnya.
Namun, makhluk yang muncul di bandara pada hari kedatanganku justru seorang pria, nyaris
ompong, dan penakut yang mesti dijebloskan ke bangsal kejiwaan hari itu juga sebab ia
menatap semua anggota keluarganya dengan curiga (Rosales, 2020 : 5).
Pada boarding home dijelaskan di pembahasan awal pada halaman pertama di mana William
Figueras sampai pada pengasingan terakhir, dan ia merasakan bahwa ini adalah kuburan baginya.
Dimana ia menemukan semacam penampungan kaum marginal tempat berakhirnya orang-orang
terusir yang tentunya banyak orang gila di sini entah itu kondisi sesungguhnya atau hanya sudut
pandangnya sebagai seorang yang mempunyai penyakit mental, memandang orang lain dengan
perasaan curiga.
Aku mengerti. Aku harus bersyukur dia telah menemukan tempat kumuh ini sehingga aku
tidak perlu tidur lagi di bangku jalan dan taman-taman berselimut daki sambil menenteng
nenteng bantalan pakaian (Rosales, 2020 : 1).

Keterasingan
William Figueras di susia lima belas tahun sudah membaca proust dan teks-teks perlawanan
yang memotivasinya untuk menuliskan beberapa artikel terkait kondisi negara nya sendiri. Dalam hal
ini, ia tidak menebutkan rezim pemerintahan dalam novel, namun merujuk dengan apa yang dirasakan
oleh pengarangnya, tidak ada hal yang menjadi pembeda dengan rekam jejak penulis dan tokoh utama
yang di tulis dalam novel itu. Dalam novel yang di tulis oleh Willaim Figueras, ia mengisahkan
sebuah kisah cinta antara seorang komunis dengan anggota masyarakat bojuis, dan berakhir diantara
keduanya yang memutuskan bunuh diri bersama. Tentunya, ada tulisan yang di nilai propaganda oleh
pemerintah. Beberapa teks juga di nilai bernada murung, cabul , dan dekaden, terutama saat di mana
ia dia anggap mencemari nama komunis itu sendiri. Menariknya, di Pemerintahan Kuba yang dikenal
tampak Superior melawan kapitalisme Amerika, memiliki pengawas sastra sendiri dalam menilai
karya yang layak terbit dan di konsumsi publik. Karya yang di tulis oleh William sendiri dianggap
menciderai gagasan Negara Kuba dalam novel ini.
Sebagai mana diketahui, konsep keterasingan sendiri pernah di populerkan oleh Sastrawan
klasik eropa seperti Franz Kafka dalam The Metamorphhosis yang mengisahkan seorang tokoh utama
yang berubah menjadi kecoa akibat menjalani rutinitas yang monoton; bekerja terus hingga lupa
bagaimana caranya itu hidup. Anggapan menjadi kecoa tersebut banyak di nilai sebagai aliran sastra
Realisme Magis. Konsep keterasingan serupa juga sempat di populerkan oleh Karl Marx di usia muda.
Dalam hal ini, kurang lengkap rasanya untuk tidak membicarakan Marx seorang Filsuf Sosialis asal
Jerman. Lewat karyanya sewaktu SMA yang berjudul Economic-Philosophical Manuscripts of 1844,
fenomena ini dikenal sebagai konsep ‘Alienasi’. Sebuah konsep milik Marx yang selanjutnya
menggemparkan dunia.
Alienasi itu sendiri artinya keterasingan, yang mengandaikan jika manusia akan menemukan
proses sejarah dimana ia merasa renta dan hampa dalam menjalani proses kehidupan. Hal tersebut
ditandai dengan kemiskinan yang menjalar terhadap manusia, sontak ia mengukuhkan kembali
pertanyaan yang seharusnya dapat dipahami, bagaimana manusia bisa miskin? Apakah berjalan
dengan sendirinya? Ataukah karena suatu proses sejarah yang membuat manusia menjadi pekerja?
Marx menyebutkan bahwa keadaan tersebut tercipta karena adanya relasi capital antar pemilik modal
dan relasi upah dalam sistem borjuis.
Terlebih praktik itu cenderung sangat eksploitatif-kapitalistik. Selain itu, Marx menyebutkan
ada empat keadaan dimana buruh teralienasi dalam masyarakat borjuis. Pertama, manusia terasing
teralienasi oleh hasil kerjanya. Sebab hal ihwal yang dikerjakan oleh manusia hanya menjadi objek
asing yang memiliki kekuasaan atas dirinya. Selanjutnya, ia menjadi objek yang menandakan relasi
antar bos dan juga karyawan / hubungan antar diperintah-memerintah. Kedua, terasing dari aktivitas
kerjanya, di mana aktivitasnya justru ‘ditujukan untuk melawan dirinya sendiri’. Seolah-olah aktivitas
kerja nya karena keterpaksaan ekonomi yang membuat buruh harus rela mencurahkan tenaga
kerjanya. Ketiga, manusia terasing dari dirinya sendiri sebagai manusia. Sebab manusia dalam
lingkungan kerja kerap ditransformasikan menjadi ‘sesuatu yang keberadaannya asing baginya’.
Kondisi ini bahkan kerap kali menyebabkan manusia pada akhirnya mengalami stress akut di
lingkungan kerja. Keempat, manusia terasing oleh manusia lain. Dan dalam hubungannya dengan
‘kerja mereka dan objek kerja’ yang menandakan jika situasi kerja dapat merubah kepribadian atau
terlepas dari dirinya sendiri.
Selama ini keterasingan di gambarkan sekedar hubungan pekerja dan pemilik modal. Sebelum
pada akhirnya konsep ini mengalami pembaruan dari waktu ke waktu. Kita bisa menganggap jika
Pemerintahan Kuba melakukan hal yang sama dengan rakyatnya. Membuat beberapa orang harus
hidup dari pelarian ke pelarian lain sehingga membuat beberapa orang merasa asing di dunia yang
asing. Perjuangan William Figueras dalam mencari tempat yang aman dari jeratan hukuman dan
kematian telah membawa nya singgah ke Miami, atau boarding home. Di dalam nya, ia menemukan
kasus-kasus lain seperti beberapa orang yang punya latar belakang pengasingan yang berbeda.
Pengarang bisa menguraikan kejadian-kejadian berbeda untuk bisa menyamakan satu porsi yang
sama; Jika korban pengasingan itu sama malangnya.
Panti sosial ini sesungguhnya merupakan rumah dengan enam ruangan. Ia mungkin pernah di
huni salah satu keluarga asli Amerika sebelum mereka menyingkir ke Miami saat gelombang
pengungsi Kuba – yang melarikan diri dari rezim Komunisme – mulai berdatangan. Hidup di
jalanan sungguh keras. Bahkan untuk ukuran orang sinting yang otaknya terdampar di Bulan
(Rosales, 2020: 6 - 7).
Di tempat pengasingan itu, William juga bertemu dengan Tuan Curbelo, seorang penguasa
(entah pemilik atau pimpinan resmi tempat pengasingan) yang akan menyambungkan cerita dan
membangun pengembangan tokoh hingga akhir Novel. Meski ia tinggal bertahun-tahun di boarding
home, itu bukan lah alasan ia untuk tetap tinggal atau pasrah dengan keadaan untuk tetap tinggal
disana. Ia memiliki berbagai hal sakit yang membuatnya senantiasa terasing: trauma, kebenaran dalam
kepalanya, penyakit mental, kisah cinta yang tragism dan rasa skeptis nya yang tinggi yang kerap kali
meracuni pikirannya bagai virus.
Sudah tiga tahun aku tinggal di panti ini. Tuan Cutbelo berkata, “Nak…. Kau bisa tinggal di
sini kalau kau mau. Minum obatmu. Istirahat. Perempuan di dunia ini tidak Cuma satu,”
katanya (Rosales, 2020: 118 - 119).
Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan tradisi pemikiran filsafat yang lahir di kalangan filsuf Yunani
kuno dan diasosiasikan dengan beberapa filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20 yang sepaham; bahwa
pemikiran filsafat bermula dengan subjek manusia—bukan hanya subjek manusia yang berpikir, tetapi
juga individu manusia yang melakukan, yang merasa, dan yang ingin hidup dan bebas (Wikipedia).
Mengutip Whilhemlus Jemarut & Kondradus Sendiri (2021) Pergumulan tentang hidup
manusia yang sangat kompleks disadari tidak cukup dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
dikatakan tidak dapat mengupas tuntas tentang problematika hidup manusia. Beberapa pakar
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan panduan teknis terhadap persoalan manusia. Hal
teknis tersebut belum cukup untuk menuntaskan persoalan manusia yang kompleks. Manusia tidak
dapat ditakar dari kondisi parsial teknis (Link e-journal.iahn-gdepudja.ac.id).
Soren Kierkegaard secara umum dianggap sebagai filsuf eksistensialis pertama, diikuti eh
Jean Paul Sartre, Albert Camus, dan juga Friedrich Nietzsche. Meskipun Kierkegaard tidak
menggunakan istilah eksistensialisme, ia berargumen bahwa setiap individu—bukan masyarakat atau
agama—bertanggung jawab memberikan makna bagi hidup dan kehidupan. Melainkan manusia itu
sendiri. Karena dunia itu absurd dan sulit ditebak, ada pengembangan motorik anak hingga menuju
dewasa. Ada lingkungan pergaulan yang menentukan nilai nya sendiri. "sikap eksistensial", yaitu
semacam sikap skeptis yang di iringi oleh perasaan disorientasi, bingung, atau ketakutan di hadapan
sebuah dunia yang tampaknya tidak berarti atau absurd.
William Figueras dalam novel Penampungan orang-orang terbuang, sempat merasa jika dunia
ini asing baginya. Hidup diantara pengasingan dan pengasingan lain hanya mengantarkan nya kepada
petulangan dan perenungan batin yang menyiksa ketika satu pertanyaan muncul setelah ia berdialog
dengan petugas camp bernama Tuan Carbelo.
Aku menatap langit-langit. Warnanya biru terkelupas dipenuhi gerombolan kecoa kecil
berwarna coklat. Sempurna. Inilah akhir dariku, titik terdalam yang dapat dijangkau. Sehabis
pantai ini tidak ada apa-apa lagi hanya ada jalanan dan jalanan. Rosales (2020 : 13).
Di tempat penampungan itu, banyak orang yang merasa hilang arah dan tak mau hidup. Dunia
yang di tawarkan oleh novel ini cukup realistis dan dramatis. Kita dapat merasakan nya langsung
betapa seseorang harus membangun nilai untuk mendapatkan kebebasan agar tetap bertahan hidup dan
tidak mati. William Figueras juga kerap kali menyadari eksistensi dirinya sendiri sebagai pengidap
Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD). Pengalaman ini dapat di pahami oleh asisten Tuan Curbelo
meski tidak di jelaskan secara utuh. Namun di penampungan itu memang banyak korban trauma yang
bersangkar dan mengungsi satu per satu. Itu membentuk nya untuk tetap hidup meski dalam
sepanajang novel, William tidak benar-benar melanjutkan impiannya sebagai seorang penulis yang
terpaksa di gagalkan oleh rezim totaliter Kuba.
Sesampainya di kamar, aku menjatuhkan diri ke atas ranjang dan kembali terlelap. Kali ini
aku bermimpi bahwa revolusi telah usai Dan aku sedang kembali ke Kuba bersama
sekelompok lansia. Rosales (2020 : 59)
Dari sini, kita bisa melihat bagaimana William masih punya harapan untuk kembali. Dan doa
yang sering ia sematkan adalah situasi politik di negara nya segera mereda dan tidak ada ketakutan
lagi untuk pulang ke kampung halaman. Ia tetap punya mimpi untuk menulis Novel dengan cerita
seorang Anggota Komunis atau Proletar yang menjalin kisah asmara dengan Wanita borjuis yang
mempunyai akhir cerita kelam; mereka berdua bunuh diri bersama.
Pembahasan
Tinjauan aspek Psikologis Sastra karakter
Wellek dan Austin (1989 : 90) menjelaskan bahwa psikologi sastra memiliki empat arti.
Pertama, psikologi sastra adalah pemahaman kejiwaan sang penulis sebagai pribadi atau tipe. Kedua,
pengkajian terhadap proses kreatif dari karya tulis tersebut. Ketiga, analisa terhadap hokum-hukum
psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Dan keempat, psikologi sastra juga diartikan sebagai
studi atas dampak sastra terhadap kondisi kejiwaan daripada pembaca.
Sementara itu, menurut Ratna (240: 350) psikologi sastra adalah analisa terhadap sebuah
karya sastra dengan menggunakan pertimbangan dan relevansi ilmu psikologi. Ini berarti penggunaan
ilmu psikologi dalam melakukan analisa terhadap karya sastra dari sisi kejiwaan pengarang, tokoh
maupun para pembaca.
Psikologi sastra dengan menggunakan psikoanalisis terhadap seni dan sastra diawali oleh
Freud sendiri. Beberapa karya Freud yang bersangkutan dengan karya seni di antaranya:
1. L’interpretation des Reves
Memiliki arti Interpretasi Mimpi, merupakan buku terbitan tahun 1899. Buku ini
adalah buku klasik yang menguraikan tentang tafsir mimpi. Buku ini juga merupakan
dasar teoritis tentang hubungan antara psikoanalisis dan sastra.
2. Delire et Reves dana “La Grandiva” de Jensen
Dalam buku ini Freud melakukan analisa terhadap sebuah cerpen karya Jensen
dengan judul La Grandiva. Dalam analisanya tersebut, Freud menyuimpulkan bahwa
kepribadian dari tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam cerpen tersebut sesuai dengan
teori-teorinya tentang kepribadian manusia.
3. La Creation Litteraire et le reve Evelie
Memiliki arti sebagai Penciptaan Sastra dan Mimpi dengan Mata Terbuka.
Merupakan esai karya Freud yang diterbitkan pada tahun 1908. Dalam esai ini, Freud
mengungkapkan penemuannya tentang kemiripan pada proses penulisan sebuah karya
sastra dengan kesenangan yang diperoleh anak-anak pada saat bermain. Di sini, Freud
menyamakan penulis dengan anak-anak yang sedang bermain dan menciptakan dunia
imajiner yang diperlakukannya dengan sangat serius.
4. Un Souvenir d’enfance de Leonardo de Vinci
Karya ini memiliki arti tentang Kenangan Masa Kanak-kanak Leonardo da Vinci,
terbitan 1910. Dalam buku ini Freud melalukan analisa terhadap Leonardo da Vinci
berdasarkan biografi dan karya-kraya seninya, termasuk lukisan Mona Lisa yang terkenal
akan senyumannya yang misterius tersebut. Dalam buku ini, Freud juga mengenalkan
konsep sublimasi yang kemudian menjadi konsep penting dalam teori kebudayaan.
5. Das Unheimliche
Merupakan buku karya Freud yang terbit thaun 1910 dan memiliki arti Keanehan
yang Mencemaskan. Dalam buku ini Freud mengungkapkan tentang kesan yang dirasakan
oleh pembaca pada saat menikmati karya sastra yang bersifat horror atau tragedy.
Walaupun karya sastra itu menimbulkan perasaan takut, ngeri dan cemas tetapi beberapa
pembaca tetap menyukai hasil karya dengan bentuk tersebut.

William Figueras dalam trauma dan keinginan nya untuk hidup


William Figueras dalam novel ini di gambarkan sebagai seorang yang Skeptis dan pesimistis,
atau dalam artian lain ia tidak cukup bergairah dengan hari hari yang di lalui nya di pengasingan.
Beberapa orang di pengasingan menganggapnya gila, bahkan tidak sedikit dari mereka untuk
mengusir nya. Guillermo Rosales memang menggambarkan pengasingan dengan cukup dramatis. Ada
begitu banyak orang yang dianggap atau mendekati gila yang cukup di waspadai oleh pengelola
tempat pengasingan. Karena satu orang gila akibat trauma akan membuat pengasingan kewalahan
mengurus para pengungsi. Disini, tindakan aneh psikologi dianggap hal yang biasa dalam novel ini.
Arsenio, asisten dari Tuan Carbelo memang paling peka terhadap orang-orang yang mengidap
gangguan mental. Bukan karena ia peduli, namun orang yang mengalami trauma hidup dan tetap
tinggal di Panti atau Penampungan dianggap sebagai sampah yang sulit diurus. Arsenio terkenal sinis
dengan orang gila. Entah hanya pendapat di kepala nya, atau memang novel itu sengaja membentuk
Arsenio seperti itu, tapi lewat pendapatnya sebagai orang normal pada umumnya, pembaca dapat
memahami apa yang dirasakan Arsenio; kegusarannya mengurus orang-orang yang menyebalkan
baginya.
Arsenio memanggil dan menunjuk sebuah kursi.
Aku masuk. Selain aku dan dirinya, tak ada orang lain di ruang makan. Ia melihat buku yang
kubawa dan tertawa.
“Dengar" katanya, menenggak bir kalengnya. "Aku memperhatikanmu belakangan ini."
"Oh iya? Apa pendapatmu tentangku?"
"Kau tidak gila," katanya, masih tersenyum.
"Kau lulusan psikater mana heh?" Tanyaku kesal.
"Tidak ada" katanya, "aku aja mengerti psikologi jalanan dan biarkan tegaskan hati hari ini;
kau tidak gila!". Rosales (2020 : 15)

William Figueras juga kerap kali menyadari eksistensi dirinya sendiri sebagai pengidap Post
Traumatic Stress Dissorder (PTSD). Pengalaman ini dapat di pahami oleh asisten Tuan Curbelo,
Arsenio. Meski jenis penyakit itu tidak di jelaskan secara utuh, namun korban penampungan itu
memang banyak korban trauma yang bersangkar dan mengungsi satu per satu. Melakukan
tindakannya sendiri bahkan ada kejadian unik di pertengahan Novel yang membahas tentang Mafia.
Di situ, William merasa sebagai korban dari pencurian Televisi. Dan alur detektif untuk menemukan
pencuri televisi dijelaskan secara singkat meski bukan cerita utama. Tapi tetap saja permainan ala
detektif ala pengidap penyakit mental ini menambah keseruan cerita Penampunga Orang-orang
Terbuang.
Seperti pengidap PTSD lainnya, William Figueras sering mengalami delusional dan bermimpi
jika akan ada harapan untuk hidup yang lebih baik di negara nya sendiri. Hal yang paling ia tunggu
sepanjang hidup hingga menginjak 39 tahun adalah keruntuhan rezim Komunis atau Totalitarian Fidel
Castro. Ia selalu berimpi di mana ia bisa leluasa menerbitkan Novel nya dan bisa menulis cerita baru.
Di mana saat pagi, ketika ia bangun, ia merasakan kedamaian. Bukan seperti kisah nya di Boarding
Home.
Aku bemimpi kembali berada di Havana, di sebuah rumah duka di Calle Vientitres. Beberapa
kawan berada di sekelilingku. Kami sedang meminum kopi. Tiba-tiba, sebuah pintu putih
terbuka, dan masuklah sebuah peti jenazah besar ke dalam ruangan, diangkut oleh selusin
perempuan tua yang tampak tengah meratap. Salah seorang Kawan menyikut dan berkata,
“Itu Fidel Castro.”
Apa msih ada kopi untuuku?” ia bertanya.
Seseorang memberinya secangkir kopi.
“Yah, kita semua sudah meninggal,” kata Fidel. “Kini kalian mengerti bahwa kematian tidak
menyelesaikan apa-apa.” Rosales (2020 : 99 - 100).

Pengalaman-pengalaman psikologi itu membentuk William Figueras untuk tetap hidup meski
dalam sepanjang novel, William tidak benar-benar melanjutkan impiannya sebagai seorang penulis -
yang terpaksa gagal karena rezim totaliter Kuba. William Figueras berusaha untuk tetap hidup, meski
banyak orang-orang aneh yang akhirnya mampu ia terima seiring berjalannya waktu. Ada Rene dan
Pepe, dua idiot bersaudara. Kemudian Reyes, si tua bermata satu yang memiliki anak gadis yang
tinggal Newport dan tidak pernah jumpai hampir puluhan tahun. Lalu Hilda, perempuan tua yang
mengidap infeksi saluran kemih.
Di pertengahan cerita, William Figueras masih betemu orang-orang yang dianggap sampah
rendahan oleh asisten pengurus panti. Ada 3 pria homo seksual, ada seseorang tua bangka berumur 90
tahun yang bernama Costanio yang kerap ingin mati ketika mendengar kabar tentara komunis
terbunuh. Ada juga seorang yang bernama Frances - wanita gila yang membuatnya tertarik karena dia
tampak menawan dan membuatnya jatuh cinta lagi kepada hidup. Dan masih banyak lagi. Tentunya,
secara psikologis ia dapat pulih dengan bertemu orang-orang yang berbeda darinya.
Panti sosial ini sesungguhnya merupakan rumah dengan enam ruangan. Ia mungkin pernah di
huni salah satu keluarga asli Amerika sebelum mereka menyingkir ke Miami saat gelombang
pengungsi Kuba – yang melarikan diri dari rezim Komunisme – mulai berdatangan. Hidup di
jalanan sungguh keras. Bahkan untuk ukuran orang sinting yang otaknya terdampar di Bulan
(Rosales, 2020: 6-7).
Hal yang membuat penulis sangat terharu sebagai seorang pembaca adalah ketika William
Figueras yang masih punya harapan untuk hidup. Di tengah ketakutannya, ketidakpeduliannya dan
rasa skeptis, ia jatuh cinta. Kepada seorang bernama Frances. Perempuan itu dapat membuatnya birahi
berkali-kali. Membayangkan nikmatnya bercinta di setiap malam di antara kegagalan Revolusi Kuba
dan kembalinya orang-orang di Penampungan kamp Boarding Home Miami – seseorang yang terusir
dari kampung halamannya.
"Frances... Frances.." kataku, "Aku baru saja memikirkan semua itu bagus"
"Apa itu?"
Ayo kita pergi dari panti" kataku, meletakkan kepalanya pada dadaku. "Kita bisa tinggal di
sebuah rumah kecil dengan menggunakan uang jaminan sosial kita berdua Dan kita bahkan
bisa menambah pemasukan dengan pekerja kasar entah di mana". Rosales (2020 : 82).
Seseorang mendekati kami dan memberi secarik kertas berisi kata-kata hasil ketikan. Aku
membaca:
Sekaranglah waktunya. Gerakan “Cubanos Vengarodes” telah lahir di Miami. Mulai
hari ini, perhatikanlah orang-orang apatis, yang kejam, juga para komunis licik dan semua
yang menikmati hidup di kota hedonistic dan udikini. Sementara orang-orang kuba yang
malang merintih dalam kekangan. “Curbanos Vengadores” akan menuntun semua oang kuba
ke jalan yang benar. Rosales (2020 : 77-78).
Kesimpulan
Dalam novel Penampungan Orang-orang Terbuang Karya Guilllermo Rosales, karakter utama
sangat dekat dengan kondisi mental yang tidak stabil. Meski tidak digambarkan secara lisan, tapi
karakter utama seakan terasing dan memiliki trauma mendalam yang yang membuatnya harus kuat
kuat bertahan melawan mental sendiri. Setelah di kaji lebih dalam, kehidupan Guillermo Rosales
memang tidak jauh dari diagnosis penyakit mental Post Traumatic Stress Dissorder (PSTD).
Pengalaman-pengalaman psikologi itu membentuk William Figueras untuk tetap hidup meski
dalam sepanjang novel, William tidak benar-benar melanjutkan impiannya sebagai seorang penulis -
yang terpaksa gagal karena rezim totaliter Kuba. William Figueras berusaha untuk tetap hidup, meski
banyak orang-orang aneh yang akhirnya mampu ia terima seiring berjalannya waktu.
Panti sosial ini sesungguhnya merupakan rumah dengan enam ruangan. Ia mungkin pernah di
huni salah satu keluarga asli Amerika sebelum mereka menyingkir ke Miami saat gelombang
pengungsi Kuba – yang melarikan diri dari rezim Komunisme – mulai berdatangan. Hidup di
jalanan sungguh keras. Bahkan untuk ukuran orang sinting yang otaknya terdampar di Bulan
(Rosales, 2020: 6 - 7).

Daftar rujukan
Teori kesusasteraan / Rene Wellek & Austin Warren ; di Indonesiakan oleh Melani Budianta
e-journal.iahn-gdepudja.ac.id
https://dosenpsikologi.com/psikologi-sastra

You might also like