You are on page 1of 12

MAKALAH

ANEMIA DEFISIENSI BESI

OLEH :
dr. SUSILASTRI
NIP : 196910102002122001

RUMAH SAKIT OTAK DR. Drs. M. HATTA


BUKITTINGGI
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Anemia yang paling umum ditemukan pada masyarakat adalah anemia
defisiensi besi. Diperkirakan 25% dari penduduk dunia atau setara dengan 3,5
milyar orang menderita anemia. Estimasi prevalensi secara global sekitar 51%
dimana penyakit ini cenderung berlangsung pada negara yang sedang
berkembang. Pada negara berkembang terdapat 36% dari total perkiraan 3800
juta penduduknya menderita anemia, sedangkan pada negara maju hanya
terdapat 8% dari total perkiraan 1200 juta penduduknya.
Kandungan zat besi dalam tubuh total adalah sekitar 2 gr untuk perempuan
dan 6 gr untuk laki-laki. Sekitar 80% zat besi dalam tubuh fungsional terdapat
dalam Hb, sisanya terdapat di mioglobin dan enzim yang mengandung zat
besi.
Dewasa ini wanita rentan akan penyakit ini. Hal ini dapat dikarenakan
jumlah kebutuhan sel darah merah pada wanita lebih banyak bila
dibandingkan dengan laki – laki. Wanita mengalami fase menstruasi dan fase
kehamilan dan disaat itulah wanita banyak memerlukan pasokan sel darah
merah. Prevalensi anemia defisiensi besi pada wanita hamil sangatlah tinggi,
yaitu sekitar 55% - 60%. Dalam suatu survei pada 42 desa di Bali yang
melibatkan 1684 perempuan hamil didapatkan prevalens anemia defisiensi
besi sebesar 46%, sebagian besar derajat anemia ialah ringan. Faktor risiko
yang dijumpai adalah tingkat pendidikan dan kepatuhan meminum pil besi
(Baktaet al, 2009).
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia defisiensi besi sangat kompleks.
Menurut Ros dan Horton (1998), anemia defisiensi besi berdampak pada
menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya kemampuan kognitif,
menurunnya kemampuan mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada
orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada
wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah,
bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi
kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia defisiensi besi adalah
gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas, rentan terhadap pengaruh racun
dari logam-logam berat, dan seterusnya (Wulansari, 2006).

1.2. Tujuan Makalah


Makalah ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, gejala, dampak,
terapi dari Anemia Defisiensi Besi.
1.3. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan kepustakaan yang merujuk
kepada berbagai literatur.
1.4. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini agar dapat dijadikan acuan dan menambah wawasan
bagi praktisi kesehatan dalam memahami Anemia Defisiensi Besi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyed iaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi merupakan
anemia yang paling sering dijumpai, terutama negara-negara tropic atau
negara dunia ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial
ekonomi (Bakta et al,2009).
2.2. Eritropoeitin
Eriptropoiesis diatur oleh hormone eritropoeitin. Hormon ini adalah
suatu polipeptida yang sangat terglikosikasi yang terdiri dari 165 asam amino
dengan berat molekul 30.400. Normalnya, 90% hormone ini dihasilkan di sel
intertisial peritubular ginjal dan 10%-nya di hati dan tempat lain. Tidak ada
cadangan yang sudah dibentuk sebelumnya dan stimulus untuk pembentukan
eritropoeitin adalah tekanan oksigen (O2) dalam jaringan ginjal. Karena itu
produksi eriptropeitin meningkat pada anemia, jika karena sebab metabolic
dan structural, hemoglobin tidak dapat melepaskan O2 secara normal, jika
O2 atmosfer rendah atau jika gangguan fungsi jantung dan paru atau
kerusakan sirkulasi ginjal mempengaruhi pengiriman O 2 ke ginjal.
Eritropoeitin merangsang eritropoiesis dengan meningkatkan jumlah sel
progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFUE dan CFUE lanjut yang
mempunyai reseptor eritropoietin terangsang untuk berproliferasi,
berdiferensiasi, dan menghasilkan hemoglobin. Proporsi sel eritroid dalam
sumsum tulang meningkat dan dalam keadaan kronik, terdapat ekspansi
eritropoiesis secara anatomik ke dalam sumsum berlemak dan kadang-kadang
ke lokasi ekstramedular. Pada bayi, rongga sumsum tulang dapat meluas ke
tulang kortikal sehingga menyebabkan deformitas tulang dengan  penonjolan
tulang frontal dan prostrusi maksila atau sel limfoma non Hodgkin menjadi
pola folikular atau difus. Molekul adhesi dapat juga menentukan apakah sel
bersirkulasi atau tidak dalam aliran darah, atau sel tetap dalam jaringan.
Molekul adhesi tersebut sebagian juga dapat menentukan apakah sel tumor
rentan terhadap pertahanan imun tubuh atau tidak (Hoffbrand et al,2005).
2.3. Etiologi
Defisiensi zat besi terjadi jika kecepatan kehilangan atau pengunan elemen
tersebut melampaui kecepatan asimilasinya. Penurunan cadangan zat besi jika
bukan pada anemia yang nyata, biasanya dijumpai pada bayi dan remaja
dimana merupakan masa terbanyak pengunan zat besi untuk pertumbuhan.
Neonatal yang lahir dari perempuan dengan defisiensi besi jarang sekali
anemis tetapi memang memilki cadangan zat besi yang rendah. Bayi tidak
memilki cadangan yang diperlukan untuk pertumbuhan setelah lahir. ASI
merupakan sumber zat besi yang akurat secara marginal. Berdasarkan data
dari “The Third National Health and Nutriton Examination Survey”
( NHANES II ), defisiensi besi ditentukan oleh ukuran yang abnormal dari
serum feritn, transfering saturation, dan/atau erythrocyte protophorphyrin.
Kebutuhan zat besi yang sangat tinggi pada laki-laki dalam masa pubertas
dikarenakan peningkatan volume darah, masa otot dan myoglobin. Pada
wanita kebutuhan zat besi setelah menstruasi sangat tinggi karena jumlah
darah yang hilang, rata-rata 20 mg zat besi tiap bulan, akan tetapi pada
beberapa individu ada yang mencapai 58 mg. Pengunan obat kontrasepsi oral
menurunkan jumlah darah yang hilang selama menstruasi, sementara itu alat-
alat intrauterin meningkatkan jumlah darah yang hilang selama menstruasi.
Tambahan beban akibat kehilangan darah karena parasit seperti cacing
tambang menjadikan defisiensi zat besi suatu masalah dengan proporsi yang
mengejutkan.
Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadan klinis.
Setelah gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan
tergangu, terutama 3 akibat peningkatan motiltas dan by pas usus halus
proximal, yang menjadi tempat utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare
kronik atau malabsorpsi usus halus juga dapat menderita defisiensi zat besi,
terutama jika duodenum dan jejunum proximal ikut terlibat. Kadang-kadang
anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor dari radang usus non tropical
(celiac sprue ). Kehilangan zat besi, dapat erjadi secara fisiologis atau
patologis.
a. Secara Fisiologis :
- Menstruasi

- Kehamilan, pada kehamilan aterm, sekitar 90 mg zat besi hilang dari


ibu kepada fetus, plasenta dan perdarahan pada waktu partus.
b. Secara Patologis :
Perdarahan saluran makan merupakan penyebab paling sering dan
selanjutnya anemia defisiensi besi. Prosesnya sering tiba-tiba. Selain itu
dapat juga karena cacing tambang, pasien dengan telangiektasis herediter
sehinga mudah berdarah, perdarahan traktus gastrourinarius, perdarahan
paru akibat bronkiektasis atau hemosiderosis paru idiopatik.
Yang beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi:
- Wanita menstruasi..

- Wanita menyusui/hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi.

- Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang


cepat.
- Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi,
jarang makan daging dan telur selama bertahun-tahun.
- Menderita penyakit maag.

- Penggunaan aspirin jangka panjang.

- Colon cancer.

- Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat digantikan


dengan brokoli dan bayam.
2.4. Gejala Anemia Defisiensi Besi
Ada banyak gejala dari anemia, setiap individu tidak akan mengalami
seluruh gejala dan apabila anemianya sangat ringan, gejalanya mungkin
tidak tampak. Beberapa gejalanya antara lain; warna kulit yang pucat,
mudah lelah, peka terhadap cahaya, pusing, lemah, nafas pendek, lidah
kotor, kuku sendok, selera makan turun, sakit kepala (biasanya bagian
frontal).
Defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel. Yang
utama adalah sel dari sum-sum tulang, setelah itu sel dari saluran makan.
Akibatnya banyak tanda dan gejala anemia defisiensi besi terlokalisasi pada
sistem organ ini:
- Atropi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
- Stomatitis angularis (cheilosis); adanya keradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
- Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan aklhloridia.

- Selaput pascakrikoid (Sindrom Plummer-Vinson) ; kesulitan dalam


menelan, pada defisiensi zat besi jangka panjang.
- Koilonikia (kuku berbentuk sendok) ; karena pertumbuhan lambat dari
lapisan kuku.
- Koilonychia; kuku sendok (spoon nail), karena pertumbuhan lambat
dari lapisan kuku, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan
menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
- Menoragia ; gejala yang biasa pada perempuan dengan defisiensi besi.

- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.


2.5. Dampak Anemia Defisiensi Besi
a. Anak – anak :
 Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
 Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan
otak.
 Meningkatkan resiko menderita penyakit infeksi karena d aya tahan
tubuh menurun.
b. Remaja :
 Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai
optimal.
 Menurunkan kemampuan fisik dan kebugaran.
 Menakibatkan muka pucat.

c. Ibu hamil :
 Menimbulkan pendarahan sebelum atau saat persalinan.
 Meningkatkan resiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah
atau BBLR (<2,5 kg)
 Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian pada ibu
dan/atau bayinya.

2.6. Terapi
Defisiensi zat besi berespons sangat baik terhadap pemberian obat oral
seperti garam besi (misalnya sulfas ferosus) atau sediaan polisakarida zat
besi (misalnya polimaltosa ferosus). Terapi zat besi yang dikombinasikan
dengan diit yang benar untuk meningkatkan penyerapan zat besi dan
vitamin C sangat efektif untuk mengatasi anemia defisiensi besi karena
terjadi peningkatan jumblah hemoglobin dan cadangan zat besi. CDC
merekomendasikan penggunaan elemen zat besi sebesar 60 mg, 1-2 kali
perhari bagi remaja yang menderita anemia. Contoh dari suplemen yang
mengandung zat besi dan kandungan elemen zat besi dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
supplement Total iron (mg) Elemental Iron (mg)
Ferrous sulfate 324 66
Ferrous gluconate 325 36
Feostat chewable 100 33
Feostat liquid 100 33/5 ml
Slow Fe 160 50
Fe 50 extended
160 50
release
Ferro-Sequels timed
50 50
release
Feosol caplets 50 50
Sumber: Drug facts and comparisons. St. Louis, MO: Facts and
Comparisons, 1998.
Zat besi paling baik diabsorpsi jika dimakan diantara waktu makan.
Sayangnya, ketidaknyamanan abdominal, yang ditandai dengan kembung,
rasa penuh dan rasa sakit yang kadang-kadang, biasanya muncul dengan
sediaan besi ini. Tetapi resiko efek samping ini dapat dikurangi dengan cara
menaikkan dosis secara bertahap, menggunakan zat besi dosis rendah, atau
menggunakan preparat yang mengandung elemen besi yang rendah, salah
satunya glukonat ferosus. Kompleks polisakarida zat besi seringkali lebih
berhasil dibandingkan dengan garam zat besi, walaupun kenyataannya tablet
tersebut mengandung 150 mg elemen zat besi. Campuran vitamin yang
mengandung zat besi biasanya harus dihindari, karena sediaan ini mahal dan
mengandung jumblah zat besi yang suboptimal.
Retikulositosis dimulai 3-4 hari setelah inisiasi terapi zat besi, dengan
puncaknya sekitar 10 hari.
Pasien dapat tidak berespon dengan penggantian zat besi sebagai akibat
dari:
- Diagnosis yang tidak benar.

- Ketidak patuhan konsumsi tablet besi (Fe).

- Kehilangan darah melampaui kecepatan penggantian.

- Supresi sum-sum tulang oleh tumor, radang kronik, dll.

- Malabsorpsi, sangat jarang akan tetapi jika terjadi, diperlukan


penggantian zat besi parenteral.
Kompleks dekstran-zat besi dapat digunakan melalui suntikan im
setelah tes dengan dosis 25 mg untuk reaksi alergi.
- 100 mg dekstran-zat besi, per sesi terapi. Pemberian dapat diulang
setiap minggu sampai cadangan zat besi terpenuhi. Traktus Z sebaiknya
digunakan pada suntikan untuk mencegah mengembunnya gabungan
tersebut kedalam dermis, yang dapat menghasilkan pewarnaan kulit
yang tidak dapat dihilangkan.
- Pemberian secara iv dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat
menerima suntikan im atau yang memerlukan koreksi defisiensi zat besi
lebih cepat. Pendekatan yang paling nyaman adalah dengan
mengencerkan 500 mg campuran tersebut kedalam 100 ml cairan salin
steril dan memasukkan dosis percobaan sebanyak 1 ml. jika tidak
terjadi reaksi alergi, sisa solusi dapat diberikan dalam 2 jam. Pemberian
iv sampai 4 g zat besi dalam satu keadaan memungkinkan koreksi
defisiensi zat besi dalam satu sesi. Sekitar 20% dari pasien mengalami
artralgia, menggigil dan demam yang tergantung dari dosis yang
diberikan dan dapat berlangsung sampai beberapa hari setelah infus.
Zat besi-dekstran harus digunakan secara hemat, jika perlu, pada semua
pasien dengan artritis reumatoid, karena gejala tersebut secara nyata dipacu
oleh penyakit ini. Obat anti inflamasi non steroid biasanya mengatur gejala
tersebut. Anafilaksis, komplikasi serius penggunaan zat besi-dekstran,
jarang muncul. Jika gejala awal muncul, infus dihentikan dan perbaikan
keadaan dengan benadril dan epinefrin dapat dimulai. Jumblah zat besi yang
diperlukan untuk penggantian dapat dihitung dari defisit massa sel darah
merah, dengan tambahan 1000 mg untuk mengganti cadangan tubuh.
Transfusi darah jarang diperlukan kecuali untuk pasien dengan anemia
defisiensi zat besi yang berat yang mengancam fungsi kardiovaskular atau
cerebrovaskular.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN

1.) Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyed iaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
(depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang. Kurangnya besi berakibat pada kurangnya pasokan
sel darah merah yang ada dalam tubuh, sehingga dapat menimbulkan
berbagai gangguan klinik serta kelainan.
2.) Wanita lebih rentan terkena anemia defisiensi besi karena kebutuhan akan
zat besi yang lebih banyak daripada pria. Wanita mengalami menstruasi
yang mengakibatkan darah menghilang rata – rata 20 mg zat besi tiap
bulannya, bahkan ada yang mencapai 58 mg. Pada ibu hamil, memberikan
nutrisi pada fetus, sehingga jumlah Fe berkurang. Terlebih lagi bagi ibu
melahirkan yang mengeluarkan banyak darah, sehingga asupan Fe perlu
ditambah untuk mengurangi resiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir
Rendah (BBLR).
3.) Dampak yang timbul dari anemia defisiensi besi bagi remaja putri dan ibu
hamil dapat menakibatkan penurunan aktifitas fisik, pucat dan lemas dan
gangguan kesehatan serta berbagai kelainan. Pada ibu hamil dapat
mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan dibawah normal bahkan
dapat meningkatkan angka kematian bayi dan ibu atau salah satu
diantaranya saat proses persalinan. Namun, hal tersebut dapat dicegah dan
dihindari dengan mengatur pola makan yang seimbang, mencukupi
kebutuhan Fe dengan tablet besi (Fe) ataupun tablet penambah darah.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia, 2009.


Bakta, I Made.,Suega,Ketut.,Dharmayuda, Tjokro Gde., 2009. “Anemia
Defisiensi Besi,” Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta : Internal
Publising FK UI., Edisi ke-4., hal. 1127-1135., 2009.
Wijaya, Yoppy. Anemia Defisiensi Zat Besi. Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, 2007. Available from :
http://last3arthtree.files.wordpress.com/2009/02/anemia-defisiensi-zat-
besi.pdf (akses 7 Desember 2014)
Kartamihardja, Emmy., 2008. Anemia Defisiensi Besi. Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.Available
from: http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2008/
ANEMIA%20DEFISIENSI%20BESI.pdf. (akses 7 Desember 2014)
Muhammad,Adang.,Sianipar, Osman., 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia
Penyakit Kronis Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Indonesian Journal
of Clinical Pathology and Medical Laboratory,Vol.12,No.1,Nov 2005:9-
15.
Wijaya, Andre Tjie. Anemia Defisiensi Besi. (online)
http://www.kerjanya.net/faq/4477-anemia-defisiensi-besi.html. 1 Maret
2014.

You might also like