You are on page 1of 8

1. Setidaknya ada 3 teori pidana, yaitu teori absolut, teori relative dan teori gabungan.

Teori absolut merupakan teori yang lahir dari aliran klasik hukum pidana. Aliran klasik
sendiri merupakan aliran hukum pidana yang lahir pada abad pertengahan di mana
saat itu raja-raja berkuasa absolut dan tidak ada batasan yang jelas mengenai
perbuatan yang dapat dipidana maupun tidak. Karena itulah, asas legalitas lahir pada
abad pertengahan, karena bertujuan untuk melindungi kepentingan individu dari
kesewenang-wenangan penguasa. Teori absolut bertujuan untuk membalas perbuatan
perilaku pidana, sehingga pada saat itu tujuan hukum hanyalah semata-mata untuk
membalas perbuatan pelaku, bukan untuk memperbaiki pelaku.

Teori relatif lahir dari aliran modern. Berbeda dengan aliran klasik yang melahirkan
asas legalitas dan bertujuan melindungi individu dari kesewenang-wenangan
penguasa, aliran modern bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Le
salut du people est la supreme loi artinya hukum tertinggi adalah perlindungan
masyarakat. Karena itu, teori relative tidak lagi bertujuan untuk membalas pelaku
tindak pidana, tapi bertujuan memperbaiki pelaku, serta mencegah terjadinya tindak
pidana dengan peraturan-peraturan yang dibuat untuk mencegah kejahatan, karena
pelaku tindak pidana juga bagian dari masyarakat.

Teori gabungan yakni teori yang menggabungkan teori absolut dan teori relative. Teori
gabungan ini berangkat dari pemikiran bahwa baik teori absolut maupun teori relative
sama-sama memiliki kelemahan, sehingga kedua teori ini digabungkan untuk menutupi
kekurangan dari masing-masing teori tersebut. Dalam teori gabungan, pidana selain
digunakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga untuk memperbaiki agar pelaku
tidak mengulangi tindak pidana lagi di masa mendatang.

Yang dilakukan MR X terhadap MR Y, dengan memaksa MR Y


menyerahkan uang 300 juta, kalau tidak akan diberikan sanksi
memberikan keterangan palsu adalah bentuk pemerasan dengan
pencemaran. Pemerasan (Belanda: afpersing;  Inggris: blackmail),
adalah satu jenis tindak pidana umum yang dikenal dalam hukum
pidana Indonesia. Secara spesifik tindak pidana pemerasan dengan
pencemaran diatur dalam pasal 369 KUHP. Yang berbunyi:

(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan dirinyaatau


orang lain dengan melawan hukum, memaksa orang dengan
ancaman akan mencemar atau mencemar dengan surat atau
dengan ancaman akan membuka rahasia, supaya orang itu
memberi kepadanya barang yang sama sekali atau Sebagian
kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain atau supaya
orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang ,
dipidana karena mengancam , dengan pidana penjara selama-
lamanya empat tahun.
(2) Kejahatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang yang
terhadapnya kejahatan itu dilakukan.

Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka dapat dipahami unsur-unsur yang


harus dipenuhi agar suatu perbuatan dikatakan Pemerasan dan
Pengancaman adalah:

a. Memaksa orang lain;


b. Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian
termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain,
atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan
piutang;
c. Dengan hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak;
d. Memaksanya dengan memakai ancaman pencemaran

Hal yang dilakukan MR X terhadap MR Y bersifat memaksa, karena jika


tidak diancam akan diberi sanksi terkait keterangan palsu, MR X tidak
akan menyerahkan uang 300 juta. Ancaman

Ada perbedaan kesengajaan yang dilakukan oleh Tuan A dan Tuan B. Walaupun yang dilakukan
keduanya sama-sama merupakan tindak pidana percobaan pembunuhan berencana yang
didasarkan pada pasal 338 KUHP jo pasal 53. Mengenai percobaan melakukan tindak
pidana dapat dilihat pengaturannya dalam Pasal 53 KUHP:
 
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan
dikurangi sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Namun, Tuan A tidak menginginkan kematian Tuan C sehingga bisa dikatakan Tuan A
melakukan bewuste schuld. Dalam kelalaian/kealpaan yang disadari (bewuste
schuld),  pelaku dapat membayangkan/memperkirakan kemungkinan
timbulnya suatu akibat atas perbuatannya namun ia percaya dan
berharap akibatnya tidak akan terjadi dan melakukan upaya pencegahan
agar akibat yang tidak dikehendaki itu tidak terjadi.

Sedangkan Tuan B melakukan Dolus eventualis artinya sengaja sebagai sadar


kemungkinan/sengaja sebagai sadar bersyarat  (dolus eventualis/voorwadelijk
opzet/opzet bij mogelijkheids bewustzijn)  dimana dengan dilakukannya suatu
perbuatan, pelaku menyadari kemungkinan terjadinya akibat lain yang sebenarnya tidak
dikehendaki, namun kesadaran tentang kemungkinan terjadinya akibat lain itu tidak
membuat pelaku membatalkan niatnya dan ternyata akibat yang tidak dituju tersebut
benar-benar terjadi. Dengan kata lain, pelaku pernah berpikir tentang kemungkinan
terjadinya akibat yang dilarang undang-undang, namun ia mengabaikannya dan
kemungkinan itu ternyata benar-benar terjadi.

5. Pembu

5. a. 1. Aliran Klasik

Tokoh-tokoh dalam aliran klasik adalah Cesare Beccaria, John Howard, Jeremy Bentham,
Samuel Romilly, John Anselm von Feuerbach, Sir Robert Peel, Samuel Pufendorf u.a. Menurut
aliran klasik (Klassieke Richting) (Klassieke School) “tujuan hukum pidana adalah untuk
melindungi kepentingan seseorang terhadap penguasa atau negara”. Hal ini karena pada
zaman sebelumnya, hukum pidana yang telah ada sebagian besar tidak tertulis. Di samping itu
kekuasaan raja absolut dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan
menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti
perbuatan mana yang diancamkan karena hukumnya tidak tetulis.

Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat
seperti di perancis dengan kasus Jean Calas te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh
anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah
ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan
bersalah dan dijatuhi pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak
puas, yang menganggap Jean Calas tidak bersalah membunuh anaknya, sehingga Voltaire
mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali perkara
Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyatakan Mauriac mati dengan bunuh diri.

Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat
seperti J.J. Rosseau dan Montesquieu turut menuntut agar kekuasaan raja dan penguasa-
penguasanya dibatasi oleh hukum tertulis atau undang-undang. Semua peristiwa yang
diabadikan itu adalah usaha untuk melindungi individu guna kepentingan hukum
perseorangan. Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu peraturan tertulis
supaya setiap orang mengetahui tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa
ancaman hukumannya dan lain sebagainya.

Dengan demikian diaharapakan akan terjamin hak-hak manusia dan kepentingan hukum
perseorangan. Peraturan tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan melahirkan
kepastian hukum serta dapat menghindarkan masyarakat dari kesewenang-wenangan.
Pengikut-pengikut ajaran ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin
kepentingan hukum individu. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (individu) yang
oleh undang-undang hukum pidana dialrang dan diancam dengan pidana harus dijatuhkan
pidana.

Menurut aliran klasik, penjatuhan pidana dikenakan tanpa memperhatikan keadaan pribadi
pembuat pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang mendorong dilakukan kejahatan
(etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang yang melakukan kejahatan
maupun bagi masyarakat sendiri (politik kriminil). Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran
klasik pada awalnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana dan
ukuran pemidanaanya. Pada masa itu disebut sistem definite sentence yang sangat kaku
seperti terlihat dalam The French Penal Code (1791). Peranan hakim di dalam menentukan
kesalahan seseorang sangat dikurangi, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak
memberikan kemungkinan bagi hakim untuk memberikan penafsiran. Pidana yang ditentukan
undang-undang yang tidak mengenal adanya sistem peringanan dan pemberatan yang
didasarkan faktor usia, keadaan jiwa pelaku, kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan
terdahulu atau perbuatan-perbuatan khusus yang dilakukan. Hakim hanya merupakan alat
undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian
menentukan pidana. Jadi KUHP Perancis ini tidak memperbolehkan individualisasi dalam
penerapan pidana.

2. Aliran Modern

Tokoh dalam aliran modern adalah Cesare Lombroso, Enrico Ferri, Raffaele Gorofalo dan Van
Hamel. Aliran Modern atau aliran positif muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada
aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free
will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh
watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan
dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang
subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk
mengadakan resosialisasi pelaku.

Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang
diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum
yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam
menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-
teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.

Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah
kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam
perumusan undang-undang.

Karakteristik dan ciri-ciri utama aliran modern adalah: Aliran ini menitik beratkan pada
pembuat atau orang yang melakukan kejahatan. Oleh karenanya perbuatan tidak dapat hanya
dilihat dan diartikan secara abstrak dan yuridis semata, tetapi harus dilihat dan diartikan secra
konkrit, bahwa perbuatan seseorang itu didalam kenyataannya dipengaruhi berbagai faktor,
baik psikologis, biologis maupun sosiologis. Aliran ini disebut aliran positif karena dalam
mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung
mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh ia masih dapat diperbaiki.
Dengan demikian aliran in menolak pandangan “pembalasan berdasarkan kesalahan yang
subjektif”.

3. Aliran Neo Klasik

Aliran neo klasik yang juga berkembang pada abad ke-19 mempunyai basis yang sama dengan
aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan
bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat
kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan
pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan
mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating
circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan, yang berdasarkan
keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya
pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.

Aliran Neo Klasik timbul sebagai akibat pengaruh aliran modern terhadap aliran klasik. Oleh
karena itu aliran Neo Klasik mempunyai dasar yang sama dengan Aliran Klasik yaitu didasarkan
pada paham “doctrine of free will”. Aliran Neo Klasik ini mulai mempertimbangkan kebutuhan
adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Para penganut aliran ini kebanyakan
Sarjana Inggris yang menyatakan bahwa konsep keadilan sosial berdasarkan hukum tidak
realistis dan bahkan tidak adil.

Salah satu hasil yang sangat penting dari Aliran Neo Klasik adalah masuknya kesaksian ahli
dimuka pengadilan untuk membantu hakim dalam mempertimbangkan derajat pertanggung
jawaban seseorang pelaku tindak pidana. Untuk pertama kali ahli-ahli ilmu sosial dan ahli-ahli
ilmu alam diijinkan tampil dipengadilan sekalipun putusan terakhir tetap ditangan hakim. Yang
menarik ialah apa yang diungkapkan Taylor yang menyatakan bahwa “model Neo Klasik ini
dengan beberapa modifikasi merupakan model yang berlaku pada peradilan pidana dinegeri-
negeri Barat”.

Karakter Aliran Neo Klasik adalah perubahan dari “doctrine of free will” yang dapat
dipengaruhi oleh patologi ketidakmampuan, penyakit gila dll. Jika pada aliran klasik seseorang
melakukan perbuatan semata-mata didasarkan pada kehendak bebasnya untuk memilih, maka
dalam aliran Neo Klasik perubahan seseorang didasarkan pada kehendaknya yang bebas yang
dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, gila dll.

Adanya keadaan-keadaan fisik, lingkungan dan mental yang diterima sebagai faktor yang
meringankan. Diterimanya pertanggung jawaban pidana untuk sebagian dalam hal gila,
dibawah umur yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu tindak
pidana berlangsung. Pertanggungjawaban pidana untuk sebagian dapat diterima sebagai hal
yang meringankan. Selain itu, diakuinya peran saksi ahli dalam menentukan derajat
pertanggung jawaban.

b. Menurut paham determinisme manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Oleh


karenanya, situasilah, baik internal (moral dan personal) maupun eksternal (lingkungan)
yang mendorong seseorang menjadi penjahat atau melakukan kejahatan. Dengan paham
determinisme, aliran tindak pidana modern memandang pidana bukan sebagai
pembalasan, melainkan sebagai tindakan untuk melindungi masyarakat.
Pertanggungjawaban seseorang tidak didasarkan pada kesalahan subjektif, tetapi
didasarkan pada sifat berbahaya pada si pembuat.

Sedangkan menurut paham indeterminisme manusia mempunyai kehendak


bebas, manusia bisa memilih untuk menjadi baik atau jahat.

c. 1. Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien). Menurut teori ini


pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak
pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori Absolut didasarkan pada
pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat
tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan
tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).
Sebagaimana yang dinyatakan Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) bahwa: Teori absolut
memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah
dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan
itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis,
seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu
kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap
kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah
maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya
sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah
pembalasan (Andi Hamzah, 2005 : 31).

2. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)


Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat
untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori
absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya
penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau
membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental.
Menurut Muladi (Zainal Abidin, 2005 : 11) tentang teori ini bahwa: Pemidanaan bukan
sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan
kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik
pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun
pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif ini
berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif,detterence, dan reformatif.
Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan
pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk
menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak
mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan
tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan
dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali
melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-
nilai yang ada di masyarakat. Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus
diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi
harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si
penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.

3. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)


Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat
plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut
(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan
mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral
dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide
bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku
terpidana di kemudian hari.

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List (Djoko Prakoso, 1988 :47)
dengan pandangan sebagai berikut :

1. Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu


gejala masyarakat.
2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus
memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.
3. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan
pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya
sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan
tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi denga upaya sosialnya.
Dari pandangan diatas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu
selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah
memberikan pemidanaan dan pendidikan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu
dikehendakinya suatu perbaikan-perbaikan dalam diri manusia atau yang melakukan
kejahatan-kejahatan terutama dalam delik ringan. Sedangkan untuk delik-delik tertentu
yang dianggap dapat merusak tata kehidupan sosial dan masyarakat, dan dipandang
bahwa penjahat-penjahat tersebut sudah tidak bisa lagi diperbaiki, maka sifat penjeraan
atau pembalasan dari suatu pemidanaan tidak dapat dihindari. Teori ini di satu pihak
mengakui adanya unsur pembalasan dalam penjatuhan pidana. Akan tetapi di pihak lain,
mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat/pelaku yang melekat
pada tiap pidana. 

You might also like