You are on page 1of 3

Adab-adab penghafal Al-qur’an

oleh isti nur khasanah

Menjadi penghafal Al-qur’an adalah sebuah pilihan. Dimana, dalam setiap pilihan pasti akan
memberikan sebuah konsekuensi dan menuntut pertanggungjawaban. Orang-orang yang dengan
gagah berani memilih menjadi penghafal Al-qur’an adalah orang-orang yang istimewa.
Bagaimana tidak? Rasullulah SAW bersabda : “Barangsiapa membaca Al-qur’an dan
menghapalnya serta menghalalkan apa yang dihalalkan dan mengharamkan apa yang
diharamkan, maka Allah SWT akan memasukkannya ke dalam surga dan akan menerima
syafaatnya untuk kesepuluh orang keluarganya yang masuk neraka.” (HR Ahmad, Tirmidzi,
Ibnu Majah, dan Darami). Selain mereka bergaransi masuk surga, mereka juga mendapat
predikat sebagai “hamil” Al-Qur’an (bukan “al-hafiz” sebagaimana banyak dipakai di Indonesia)
dan sebagai keluarga Allah dari kalangan manusia, sebagaimana sabda Nabi: “Sesungguhnya
Allah SWT memiliki keluarga dari kalangan manusia. Ditanyakan kepada Nabi, siapakah
gerangan, wahai Rasul ? Nabi bersabda : Ahli Al-Qur’an adalah keluarga Allah dan orang-orang
istimewa-Nya.”

Namun, menjadi penghafal Al-qur’an dan mendapat predikat hamilul Qur’an bukan perkara
yang mudah. Ada tanggunjawab muroja’ah yang harus diemban hingga akhir usia, ada tuntutan
mempelajari dan mengaplikasikan ajaran Al-qur’an yang ada di dalamnya, ada hak-hak Al-
qur’an yang harus ditunaikan yang mana tidak hanya cukup bermodalkan kejeniusan semata.
Dan apabila kewajiban tersebut tidak diindahkan maka, naudzubillah di akhirat Al-qur’an justru
akan melaknatnya. Untuk itu, seorang yang hafal Al-qur’an hendaknya memiliki perhatian
khusus terhadap etika-etika yang baik, untuk menjaga identitas sebagai “Ahlu Allah wa
Khassahtuh” yakni keluarga Allah dan orang-orang istimewaNYA. Diantara adab atau etika yang
harus dimiliki oleh seorang penghafal Al-qur’an sebagai berikut ;

1. Memiliki niat yang baik dalam menghafal Al-qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam
hadis bahwa segala sesuatu tergantung dengan niat. Maka, niat dalam menghafal harus
lurus dan lilahi ta’ala. Karena niat akan mengantarkan pada tujuan, maka niat yang baik
dan benar akan mengantarkan seorang penghafal Al-qur’an kepada tujuan yang benar dan
diridhoi Allah SWT.
2. Konsentrasi dan berkomitmen dalam menghafal serta menjaga Al-qur’an, fokus dan
istiqomah dalam menjaga hafalan bagaimanapun keadaanya merupakan adab. Istiqomah
di sini meliputi segala hal, yakni istiqomah dalam mengulangi hafalannya, ketartilannya
dan pengaplikasinnya dalam kehidupan. Dalam hal ini Sahabat Abdullah bin Mas’ud
menganjurkan kepada para penghafal Al-Qur’an untuk menggunakan kesempatan dengan
baik, saat orang lain dalam lalai. Beliau berkata: “Sebaiknya seorang yang hafal Al-
Qudr’an membaca Al-Qur’an di malam hari tatkala manusia tidur, disiang hari tatkala
manusia sedang sibuk, bersedih tatkala manusia bersuka ria, menangis tatkala manusia
tertawa, diam tatkala manusia bercengkrama, khusyuk tatkala manusia berjalan dengan
sombong.” Dan yang tidak kalah penting Seorang penghafal Al-qur’an harus senantiasa
menjaga bacaanya agar sesuai dengan hak-hak Al-qur’an, yakni dibaca sesuai dengan
makhraj dan tajwidnya, karena Al-qur’an adalah pangendikane Allah, maka sudah
sepatutnya dibaca dengan baik benar dan sopan.
3. Berakhlak sesuai dengan Al-qur’an, artinya seorang penghafal Al-qur’an harus
mencerminkan akhlak yang sesuai dengan Al-qur’an, tindak tanduknya seharusnya
berkiblat pada Nabi Muhammad SAW. Nabi merupakan teks Al-Qur’an yang hidup,
sebagai cerminan dari Al-Qur’an, sebagaimana Sayyidah Aisyah berkata: kâna
khuluquhul qur'ân (akhlak Rasulullah tak ubahnya Al-Qur'an). 
4. Seorang penghafal Al-qur’an harus meninggalkan setiap sesuatu yang dilarang Al-qur’an,
hal ini dilakukan untuk memuliakan Al-qur’an dan siapa yang menurunkan Al-qur’an.
5. Seorang hamil Al-qur’an harus menjaga diri dari pekerjaan yang rendah, artinya seorang
penghafal Al-qur’an tidak boleh masuk pada lingkaran pekerjaan yang tidak halal,
dimana hal tersebut menjerumuskan diri pada lembah dosa dan hina.
6. Penghafal Al-qur’an harus memiliki jiwa yang bersih dan mulia. Artinya, batin dan
dhahirnya senantiasa terjaga dari prasangka buruk, menjaga lisan dan perbuatan agar
terhindar dari perbuatan yang tidak bermanfaat. Seperti yang dikatakan oleh Ning Hafsah
Lirboyo, bahwa seorang penghafal Al-qur’an sebaiknya meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat seperti ghibah, terlalu banyak bercanda dan terlalu banyak makan karena hal
tersebut bisa menyebabkan hilangnya Al-qur’an dalam ingatan.
7. Penghafal Al-Qur’an tidak boleh menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber penghasilannya
atau sandaran hidupnya dari membaca Al-Qur’an. Nabi mengingatkan kepada para
penghafal Al-Qur’an untuk senantiasa berhati-hati tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai
sumber pengahasilannya dalam hidup. Beliau bersabda: “Bacalah Al-Qur’an dan jangan
menggunakannya untuk mencari makan, jangan menjauhinya dan jangan melampau batas
di dalam ajarannya.” Dalam hal ini, dalam kitab fadhilah amal karangan Maulana
Muhammad Zakariyya Al-kandahlawi r.a para ulama tidak melarang para penghafal Al-
qur’an untuk menerima upah dari mengajarkan Al-qur’an, tetapi hal itu tidak boleh
dijadikan tujuan. Tujuan yang sebenarnya hanyalah mengajarkan dan menyebarkan ilmu
serta Al-qur’an yang mulia. Demikian beberapa adab-adab penghafal Al-qur’an, untuk
mencapai hal tersebut memang diperlukan usaha yang keras dan kesungguhan yang
konsisten. Direktur utama Roudlotu ‘usysyaqil Qur’an Ning Siti Nur Chalimah kerap
memberikan motivasi kepada santri RUQ Al-falah, bahwasanya Allah akan senantiasa
memampukan orang-orang yang mau berusaha dengan keras dan istiqomah dalam
perjalananya menghafal dan menjaga Al-qur’an, sesulit apapun itu dengan izin Allah
segalanya kesulitan akan dipermudah oleh Allah selagi kita mau berusaha.

You might also like