You are on page 1of 12
Ilham Bagi Pembelajaran Manusia Berkarakter Oleh: Anak-anak Jenderal Soetojo Siswomihardjo = $$. Ketika peristiwa G30S/PKI meletus, usia kami ‘masib belasan tabun, Agus Widjojo (Widi) sebagai putera sulung berusia 18 tahun, Nani Soetojo (Nani), 15, satu-satunya anak perempuan dan putera bungsu Ari Wisaksono yang ketika itu berusia 13 tahun, namun wafat 8 tahun kemudian. Rejadiannya begitu cepat tatkala Ayah kami tercinta, Jenderal Soetojo Siswomihardjo, dibangunkan di pagi buta, lalu dibawa pergi dari kediaman di Jalan Sumenep No. 17, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. ms AIG KANG SOUL OF UNG MALO Bapak Soetojo Siswomihardjo dan Ibu (RG 0 ora ata 0k cenonROoW aeREEPATU La] Rapat Gelap di Jalan Sumenep 17 egitulah sebuah judul berita di Hatian Warta Bhakti yang Nani baca suatu hari di tahun 1965. Wakeu membacanya jancungnya terasa berdebar-debar. Ini adalah alamat rumah tempat ia tinggal bersama-sama Ayah dan Ibu, kakak Agus Widjojo (Widi) dan seorang adik (Ari). Ketika membaca isi berita itu, hatinya semakin gelisah. Pada saat itu ia baru berumur 15 tahun, kelas III SMP; tetapi ia tahu apa artinya sebuah Coup atau Makar atau Pemberontakan. Dalam konteks politik kala iew ia tahu apa artinya rapat gelap oleh para perwira tinggi yang digelar tanpa izin dan restu dari Istana. Ia pun tahu betapa besarnya akibat-akibat yang mesti ditanggung oleh para pelakunya. Nani menyadari secara penuh hal- hal yang harus dipikul oleh Ayahnya; karena beliau tidak hanya ikut rapat, tetapi—menurut berita itu—juga menyediakan tempat pertemuan. Namun, masalahnya: betulkah rapat gelap para Jenderal tersebut ada? Benarkah tempat kediaman Ayahnya menjadi arenanya? Ia men- jadi sangat gelisah memikirkannya. Ia ingin sekali bertanya langsung kepada Ayah, cetapi tak berani [mera Kaeo oT ce Dilingkungan keluarga kami tak ada tradisi untuk hal-hal seperti ini. Ayah berpatokan bahwa anak-anaknya sebaiknya tidak perlu ikut campur dalam masalah politik. Di mata kami Ayah adalah sosok yang keras dan konsisten. Sekali sebuah aturan ditetapkan, Ayah akan ‘mengukuhinya sampai “mati”. Kami paham benar larangan tersebut sangat keras dan tidak bisa dilanggar. Apabila kami nekat melanggarnya melalui pertanyaan ini itu, Ayah tak hanya mempertahankan sikap diamnya, tetapi juga bisa marah. Itulah sebabnya Nani alchirnya berkeputusan untuk menyim- pannya sendiri, Untuk menjernihkan berita Warea Bhakti ica ia beru- saha mengingat kembali rapat-rapat yang sempat ia saksikan di rumah. ‘Temnyata setelah direnungkan rapat gelap para Jenderal tersebut tidak benar. Sejauh pengamatannya pertemuan demi pertemuan memang seringtetadi ci rumah, erap it cerjadi i seldtarahun 1963 bukan disekitar tahun 1965. Seingarnya peserta-pesertanya adalah Bapaknya sendiri dan sejumlah perwira dan staf. Pembicaraannya pun hanya berkisar sekitar Operasi Budhi bukan tingkat “Dewan Djenderal”. “Tema diskusinya bukanlah rencana uncuk mengadakan Coup ke Istana texapi untuk menindak kasus-kasus penyelewengan di perusahan-pe- rusahaan negara. Disepanjang refleksi tadi ia ingat Operasi Budi memang meli- batkan Ayahnya sejak awal. Ayah tercatat sebagai salah seorang pe- mimpinnya, Operasi ini dirancang sebagai wahana untuk sedini mung. kin membongkar segala bentuk penyalahgunaan keuangan di ling- kungan perusahaan-perusahaan negara. Dalam banyak kesempacan Nani tahu Ayah dan rekan-rekannya langsung bergerak menunju tempat sasaran dan menindak perusahaan yang diduga melakukan penyelewengan. Dalam pikirannya berica-berita yang disiarkan Warta Bhakei iva jelas tidak benar. Tidak ada rapat “Dewan Djenderal” di rumah, dan tidak ada pula rencana * Coup” tethadap kekuasaan Presiden Sockarno. Tetapi hanya sejauh inilah yang dapat ia renungi. Ta, dake mampu mengembangkan siapa yang melansir berita tadi, mengapa dan untuk apa mereka melakukannya. Beberapa waktu kemudian ia hanya tahu bahwa isu-isu “Dewan Djenderal” yang disiarkan Warta Bhakti itu sempat mengganjal karier Ayahnya. Dari ajudan Ayah ia DBE 0 osm te a & cenonmocn sSEPATY US] mengerti bahwa Ayahnya sebenarnya hendak dijadikan Jaksa Agung. Surat pengangkarannya sudah ada, tinggal pengesahan formal. Na- mun pada tahap inilah isu mengenai “Dewan Djenderal” mulai muncul, dan pihak Istana kemudian membatalkan semuanya. Jabatan Jaksa Agung akhirnya diisi oleh Jenderal Soetardhio bukan oleh ‘Ayahnya Di kemudian hari amatah mudah baginya uncuk mengetahui hubungan antara isu “Dewan Djenderal” yang sempat ditundingkan dan yang merintangi karier Ayahnya ke posisiJaksa Agung. Isu tersebut ternyata adalah ulah dati tokoh-tokoh di sekitar Presiden Soekarno yang tidak menyenangi Ayahnya. Tetapi bulan-bulan pertama tahun 1965 itu ia sungguh tak paham mengenai kondisi politik antara Ayahnya dan pihak PKI yang saling berseberangan. Ayah tak pernah mengungkapkannya. Ayah benar-benar menutup aktivitas politiknya dari pengetahuan anak-anaknya. Di rumah dan di tengah-tengah ke- luarga tak pernah sekalipun Ayah menyebut-nyebut PKI (Komunisme). Ayah tak pernah mengatakan komunisme itu begini PKT itu begitu, Nani hanya bisa meraba-raba. Ini pun ia lakukan dengan hasil yang masih jauh dari detail-detail dan esensi yang ada. Dati kasus Warta Bhakti, cerita ajudan tentang kegagalan Ayahnya menjadi Jaksa Agung, dari uraian Ayah tentang komunisme di Seskoad dan juga dari ceramah Ayah di depan Serikat Buruh Kereta Api Manggarai, Nani mulai mengerti bahwa kegiatan politis Ayah banyak mengandung risiko, Namun ia tidak paham seberapa besar risiko yang ditanggung oleh Ayah. Sebagai akibatnya, pada hari-hari menjelang peristiwa G30S/PKI ia benar-benar tak mengerti bahwa risiko tersebut sebenarnya sudah sedemikian besar sehingga Ayah te- lah termasuk dalam daftar orang-orang yang akan diculile Selebihnya, terus terang, kami tidak punya firasat apa pun di sekitar Ayah kami, Hanya, seperti diceritakan kemudian oleh ajudan Ayah, Letda Sutarno, schari sebelum kejadian, yaitu pada 29 Sep- tember 1965, Ayah diliputi perasaan gelisah yang luar biasa. Hari itu, menurut Pak Sutarno, Ayah selalu merasa gerah, panas dan tidak enak badan. (ie 33 | Haar inu Ayah berkali-Kali keluar masuk kamar kerjanya di Kantor Inspektorat Kehakiman/Oditur Militer Angkatan Darat di Jalan ‘Abdurrachman Saleh. Sebagai bawahan, Pak Sutarno prihatin sekaligus heran menyaksikan pemandangan yang tak lazim itu. Ia lalu memberanikan diri menanyakan pada Ayah mengapa beliau tampak gelisah. “Ah, tidak apa-apa,” jawab Ayah. Sejurus kemudian Ayah keluar dari kamar kerjanya lalu ke tempat Pak Sutarno “Lho, di sini kok dingin, sedang di kamar saya sangat panas ya,” ucap Ayah lagi. Letda Sutarno heran mendengar ucapan Ayah. Bagaimana mungkin ruang Ayah yang dilengkapi alat pendingin, AC, malah te- rasa panas, sementara di ruang Pak Surarno yang tidak ber-AC justru terasa sejuk Pergi dan Tak Pernah Kembali. Kejadian lain yang agak di luar kebiasaan yakni saat Ayah “marahan” dengan Nani, anak kedua dan satu-satunya puteri dari buah perkawinan kedua orangtua kami. Jauh sebelum kejadian, Nani memang sudah tidak tinggal di rumah di Jalan Sumenep, melainkan indekost di rumah Tante, adik Ayah, di bilangan Raden Saleh. Hal ini dilakukan karena rumah di Jalan Sumenep sedang direnovasi secara menyeluruh, schingga tampak terbuka dan telanjang. Ini adalah ke- bijaksanaan kedua orangtua kami untuk “mengungsikan” Nani ke rumah keluarga di Raden Saleh. Selama tinggal di Raden Saleh, Nani biasanya sekali dalam seminggu mesti pulang ke rumah di Jalan Sumenep. Tapi kali ini sudah dua minggu Nani tidak pulang. Dia memang sedang marahan dan kesal pada Ayah yang sebelumnya memarahi Nani. Alasan ke- marahan Ayah sebetulnya sedethana saja, yakni soal mesin tik di ruang kerja Ayah, yang setelah dipakai, entah oleh siapa, penutupnya lupa dikembalikan. BEE 4 0 toe wan a enone BEREAN US] Sclama ini memang Nanilah yang selalu membersihkan ruang kerja Ayah. Sambil membersihkan kamar, Nani biasanya meman- faatkan kesempatan untuk membaca atau membolak-balilckan berbagai jenis buku yang tertata rapi di rak, entah buku manajemen, kepemimpinan, sejarah, biografi tokoh-tokoh militer dan politike, arya sastra dan novel, sampai buku-buku mengenai komunisme dan buku-buku karangan Soekarno, Disicu terdapat satu unit mesin tik. Rupanya ada yang memakai tapi lupa merapihkannya kembali. Maka meledaklah amarah Ayah yang dikenal sangat keras dan disiplin, Melalui telepon, Ayah marah- ‘marah karena menduga Nani memakai mesin tik itu. Nani tidak cerima karena dia memang tidak pernah memakai mesin tik itu. Apalagi beberapa hari dia tidak pernah ke rumah orangcua. Merasa tidak bersalah, Nani pun gusar dan jengkel. Ia malah memucuskan untuk tidak pulang ke rumah di Jalan Sumenep sebagai tanda protes terhadap Ayah, Selama satu minggu itu tidak ada kontak telepon dengan anggota keluarga di rumah. Mungkin menyadari kemarahan putrinya ini, Ayah kemudian memutuskan untuk menjenguk Nani di Raden Saleh, sekaligus da- lam rangka “rekonsiliasi”. Tapi hati Nani vetap membeku. Ketika ketemu Ayah, Nani berbicara sekadarnya, hanya basa-basi saja. Tapi akhirnya, entah mengapa, beberapa saat sebelum kejadian, tepatnya pada Kamis 30 September 1965, keinginan Nani untuk pulang ke rumah orangtua dan bertemu Ayah begitu kuat. Pada hari Kamis itu, sambil menunggu Ayah pulang, Nani tidur siang di rumah. Saat bangun sore harinya, Nani bersua dengan Ayah, tapi hanya sebentar. ‘Ayah tampak begitu sibuk, karena setelah bertemu sebentar, Ayah, langsung pergi lagi untuk rapat raksasa yang dihadiri Bung Karno di Istora Senayan. “Sudah ya Nan, Papap pergi dulu,” ucap Ayah, lalu lenyap dati pandangan Nani. ‘Tak terduga dan benar-benar di luar daya tangkap akal kami sebagai anak manusia, ternyata itulah kata-kata terakhir yang keluar TUNA UNS KEBEON OL UST WALA dati bibir Ayah, Dan saat itulah Nani melihat Ayah uncuk pertama dan teralhir kali dalam dua pekan ini, sebelum maut datang men- jemput sosok yang kami cintai itu pada Jumat subuh sekicar puleul 05.30 WIB. Hadapi Kematian dengan Tenang. Entah pada jam berapa Ayah pulang dari Senayan usai mengikuti Rapat Raksasa yang dihadiri Presiden Soekarno itu. Perkiraan kami, ‘Ayah pulang sudah larut malam, ketika kami sudah terlelap tidur. Pada malam kejadian, Widi, Nani dan Ari tidur dalam satu kamar ditemani oleh saudara sepupu Ayah yang kebetulan sedang menginap di Jalan Sumenep. Pagi-pagi buta kami sudah dikejutkan oleh suara gaduh dan bunyi derap sepatu dari orang-orang yang tidak kami kenal. Dari balik jendela yang kebetulan dibuka di bagian atasnya, Nani melihat ada gerombolan yang mengenakan baret merah. Sebagian dari gerombolan itu kemudian memasuki rumah melalui pintu depan. Tampak begitu mudah mereka memasuki rumah, karena, selain kebutulan garasi yang terletak di bagian depan sedang direnovasi, juga karena di rumah tidak ada penjagaan, Sebagian Jagi masuk melalui pintu belakang setelah gerombolan itu menodong pembantu-pembantu rumah tanga dan berhasil merampas kunci- kunci dari tangan mereka. Dengan kunci-kunci itulah gerombolan membuka pintu belakang untuk kemudian masuk hingga ruangan tengah. Mereka yang bertugas di bagian depan terus menggedor-gedor pincu kamar bagian depan. Terdengar tanya-jawab antara anggota ge- rombolan dan suara dari dalam kamar tidur depan, tempat Ayah dan Ibu berada. “Siapa?” terdengar suara dari dalam kamar tidur. “Saya, Gondo, dari Malang,” ucap seorang di antara gerombo- lan (EGR or oe nn oa & caravan erseraTs | “Siapa?” kembali terdengar suara dari dalam. Dengan setengah mengancam mereka menjawab, “Pak Toyo, lekas buka pintu Bapak dipanggil Presiden”. Mendengar ribut-gaduh Ayah sadar, pasti ada sesuatu yang tak beres. Dengan masih mengenakan baju tidur motif batik, Ayah segera kkeluar dan langsung diapit beberapa anggota Tjakra yang kemudian membawanya ke luar. Ayah menurut saja tanpa perlawanan. Kami semua ketakutan dan disuruh Ibu untuk tetap tinggal di dalam kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Widi dan Nani cepat berbagi tugas. Nani mengunci pintu kamar yang menuju ruang tengah, sementara Widi mengunci pintu ke arah dapur. Tiba-tiba ujung bayonet menyembul, ditusuk dari luar ke daun pintu yang baru saja Nani kunci. Untunglah ia sudah mundur. Cuma Ibu, yang ketika itu sedang tidak enak badan, sempat mengeluarkan suara keras, ‘pive iki (bagai- mana ini)?” Tidak ada jawaban apa pun dari pasukan tak dikenal itu. Selanjutnya kami tidak tahu lagi ke mana Ayah dibawa, dan untuk apa. Sebagai gantinya terdengar bunyi perabotan yang berantakan, yang dihancurkan oleh gerombolan tersebut. Kejadiannya begicu cepat. Dalam bayangan kami pagi itu, pasti sedang terjadi sesuatu, tapi apa itu, kami cidak tah. Ibu kemudian berusaha menelepon kerabat, termasuk Pak Parman, untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang sedang terjadi, namun sia-sia, karena ternyata saluran telepon kami sudah diputus. Dengan putusnya hubungan telepon, praktis membuat kami kehi- Jangan informasi dalam situasi segenting itu. Ibu lalu mengajak Widi ke rumah tetangga dan Pak Soekotjo, anggota CPM, yang letaknya berseberangan dengan rumah kami untuk meminjam telepon, tecapi tidak ada sambungan. Ikhtiar berikutnya adalah upaya menelepon Jaksa Agung Soetardhio. Hasilnya sama. Tidak ada informasi yang dapat memperjelas keadaan. Jadi saat-saat setelah kejadian di Jalan Sumenep No. 17 itu, kami benar-benar diliputi ketidaktahuan dan kepasrahan. Baru dua-tiga hari setelah kejadian, kami mendapat berita tentang penemuan jenazah FUNG RLRING KESGURON OF UNG wal ER para Jenderal di sebuah sumur di Lubang Buaya. Kami semua sudah pasrah dan mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemung- kinan, termasuk terjelek sekalipun. Mengenal Karakter Peristiwa G30S/PKI melintas begitu cepat dalam perjalanan ke- luarga kami. Kini, usai kepergian Ayah untuk selama-selamanya, ke- hidupan keluarga kami seperti mulai dari bawah lagi. Kami harus bangkit dari keadaan yang menimpa keluarga. Ibulah yang kemu- dian mengambilalih dua peran sckaligus, sebagai Ibu juga sebagai Ayah. Untuk menghidupi keluarga Ibu melakukan berbagai usaha yang dikelola di rumah. Sementara dari pemerintah, Ibu mendapat fasilitas sewajarnya saja, tidak ada yang luar biasa, Tapi, lepas dari nilai materi fasilitas yang kami peroleh, kami sangat berterima kasih terhadap pemerin- tah, yang memberikan gelar Pahlawan Revolusi kepada Ayah kami. Paling tidak itulah bukei pengakuan techadap perjuangan Ayah bagi bangsa ini. Enrah seberapa besar sumbangan Ayah terhadap bangsa ini, tapi bagi kami, Ayah tetaplah sosok yang mampu menanamkan nilai- nilai pendidikan tentang bagaimana menjadi manusia berwatak atau berkarakter. Masih kuat dalam ingatan Nani akan wejangan Ayah ketika ia diangkat menjadi Ketua Persatuan Pelajar Perguruan Cikini pada bulan-bulan akhir tahun 1964, Kerika itu Ayah menjelaskan kepada Nani bagaimana cara berorganisasi dan bagaimana semestinya memimpin. Ayah mengibaratkan seorang pemimpin itu layaknya seorang yang diangkat, dipandu oleh teman-temannya. Karena dipandu, maka ia akan lebih tinggi yang berarti dia bisa punya wawa- san jauh ke depan dan mampu menerjemahkan apa yang bisa dilihatnya di masa depan. “Kamu harus tahu seberapa kuat pangkuan tersebut. Itu berarti kamu harus melihat ke bawah. Kamu juga jangan hanya mengandalkan DEI 60 00 ease vara me & cerancoi acer Berdiri, dari kiri: Widi, Pak Soetojo, Ari. TURNS KING REIN OF UT WALA kepandaian, tapi lebih penting adalah mengembangkan karakter. Bisa bermunculan orang-orang pandai, tapi jauh lebih penting dari sekadar orang-orang pandai adalah orang-orang yang berwatak.” “Kami pemah membaca buku John F Kennedy "Profiles in Cour- cage” yang menceritakan berbagai tokoh dalam sejarah Amerika. Buku ini menggambarkan bagaimana tokoh-tokoh penting dalam sejarah ‘Amerika itu: memperjuangkan prinsip atau pandangannya, meski akhimnya mereka berada pada posisi kalah. “Menjadi manusia berwatak’ itulah prinsip yang selalu diajarkan Ayah kepada kami. Bagi kami, itulah warisan bernilai tinggi yang kami peroleh dari Ayah kami, Warisan itu akan tetap kami bawa dalam kehidupan kami di masa-masa mendatang, dan akan kami wariskan pula kepada anak-cucu kami. Tentang makin sering terdengarnya ungkapan perlunya pelurusan sejarah’ atas peristiwa G30S/PKI, terus terang, kami ti- dak sependapat dengan ungkapan itu. Bagi kami, melihat sejarah itu mestinya dari perspektif kemanusiaan, yaitu karakter manusia pelaku dan korbannya dan dampaknya tethadap kehidupan masyarakat. Dalam kaitan dengan peristiwa G30S/PII, kami melihat akan lebih baik dan lebih lengkap jika digali sebanyak mungkin fakta dari berbagai perspektif. Dari sanalah bisa diambil hikmah atau renungan untuk perjalanan kehidupan bangsa ini. Hikmah atau bahan renungan itu tidak diambil dari segi paparan sosial seperti perebutan kekuasaan atau pengaruh atau konflik antara golongan, tapi dari dimensi manusianya, baik karakter para pelaku maupun korban, siapa saja yang terlibat dalam peristiwa iew.0 (RE or vor va re eRoROL BERSEATU

You might also like