You are on page 1of 5

Histeria

Bagaimana mungkin bisa aku


Tuliskan sajak tentang mendung selalu
Hujan reda diganti indah pelangi
Atau semak di otak kembali meninggi
Seolah olah kata klise memenuhi buku catatan
Hingga segalah pikir enggan kutuliskan

Aku harus bisa membayangkan


Misalnya: menatap indah pemandangan
Namun dihalangi gedung susun menyusun
Miris memimpikan kota tanpa pepohonan
Atau menggambar mekar mawar di halaman

Sungguhpun aku akan berusaha


Menyusun kata demi kata
Menggabungkan bait lalu, kuikat seerat eratnya
Takut segala yang kutulis berhamburan
Sementara jemari masih gagal dalam menyusun
Annuqayah 2020 M.

Anatomi Tubuh
;mengenai RUU KPK dan RUU KUHP
saat september sanggal pada tubuhmu
aroma menyesakkan dada juga kalbu
membuat mulut meracau suara parau
dan mata memerah layaknya terkena debu

di tubuhmu darah berdemonstran


menyuarakan hilangnya keadilan
pada jantung teracun ketamakan
sehingga, duka dialirkan
pada tulang kekar menahan beban mengakar
pada darah segar menampung harapan besar
juga padaku yang sabar meredam amarah kian berkobar

kurindu pohon di kepalamu yang subur


berbatang indah serta berbunga mawar
di situ, kupu-kupu kejar mengejar
menjumpai sari-sari banyak berjajar
namun, semuanya dibabat metropolitan
batang, bunga dan sari-sari berserakan
dihancurkan dengan ketamakan
seolah olah engkau menginginkan
harta dan tahta tanpa memikirkan
bahwa masa depan lebih utama dari kenikmatan
di matamu telah kutemukan
limbah suap banyak berserakan
pada sungai tempat para nelayan
melempar sauh untuk mencari makan
juga tempat meminum
hilang tinggal garam
dari peluh berjatuhan
diminumnya dengan keterpaksaan
Mata Pena 28 September 2019
Balada Negri Surga

kini, diriku mulai menyadari


tempat yang kau tempati
serasa panas melebihi api
membakar segala mimpi

awalnya, niatku haya membaca


map berisikan hak asasi manusia
namun, saat mulut nukai mengeja
kata perkata dengan sempurna
dan menyadari sebuah petaka
menanti dengan cara memaksa
seakan kejernian air mata
tak mampu menetralisir perkara

apakah ini yang kau sebut masa depan


sementara undang undang kau tetapkan
tanpa berpikir panjang, seolah kesejahteraan
hanyalah teka teki dalam pemainan

akankah engkau peduli pada nasib kami


berat dipikul pundak tak sepadan dengan diri
berjalan gontai melewati hidup berduri
meski otot tak kuat melangkahkan kaki
jalani terjalnya undang undang yang kami miliki

bertahan sering kami lakukan tanpa keiklasan


seolah hati berdetak melebihi kekuatan
yang sesekali wajah dipaksa berdandan
pucat seperti mayat kehausan
padahal, leluhur selalu mengajarkan
keikhlasan harus melebihi ketabahan
ah entahlah, akankah mencipta luka
padanya yang tenang di alam baka

bisakah kita bertahan, dengan doa doa


sesekali kuselipkan di tepi mimbar dekat mikrofon
dengan yakin bacaan al-quran menembus cakrawala
‘tuk mengadukan nestapa kepada tuhan
saat undang undang lebih keruh dari dosa
kami kehilangan secercah cahaya
di negri yang katanya
indah layaknya surga
Mata Pena 22 september 2019
Seperti burung

Seperti burung terbang ke tanah sebrang


Bersama angin lintasi tanah gersang

Bagai burung menggepakkan sayap tanpa henti


Menggapai harapan suatu saat nanti
I
Tersenyumlah, jika harapan terselip di sayapmu
Dan nikmat yang kau tunggu
Ada di depan matamu
Di situlah senyum berupa kicau
Meninabobokkan supaya lelap
Dan mendoakan di waktu gelap
II
Saat mengingat tanah asal
Menangislah sesuka hati
Agar segalah sesal
Hilang dengan sendiri

Jikalah tangis berakkhir


Pastikanlah, tanah asal kembali berdesir
Disertai kenangan bersemilir
Mendatangkan sebuah getir
III
Menjeritlah tatkala mengingat pekatnya kenangan
Saat itu engkau akan menyadari
Bahwa manisnya puhon kelahiran
Akan terasa meski hari terlewati

Seperti burung kembalilah dari sebrang


Bersama angin, melintasi tanah gersang
Annuqayah 14 september 2018

Tak Bisa Menulis Puisi


Saat ulang tahunmu aku tak bisa menulis puisi
Semua imajinasi telah kau bawa pergi menuju hati
Bersembunyi di celah jarak masing - masing
Atau mengendap endap mencari sesuatu seperti petualang
Bahkan engkau menyusuri urat nadi, tulang - tulang
Jantung, lambung hingga membuatku sangat pusing
Aku yakin tak ada perkara pembangkit cemburu
Sebab ditubuhku hanya dapat ditemu
Kurangnya rusuk namun terasa pas diisi engkau
Saat ulangtahunmu aku tak bisa menulis puisi
Melainkan kata klise memenuhi isi
Membbuatku terburu buru menghapus
Menyisahkan perjalanan ringkas
Serta keinginan tak pernah tuntas
1 januari 2020 M.

ASMARADANA

Qamariyah, harus dengan apalagi agar ku lupa semua kenangan tentangmu, sementara berbulan-
bulan ku palingkan muka agar wajahmu tak terlihat di mata, berjilid-jilid telah ku bakar puisi
asmara agar kenangan hilang bersama kata, bahkan telah ku rapalkan mantra sebelum tidur agar
indah wajahmu tak melintas dalam mimpi. aku tak ingin duri kecewa menusuk hati, juga aku
bosan mencuci muka dengan upaya sembunyikan noda sedih di wajah. lalu akan kusiapkan koper
berisi pakaian baru dan peralatan yang tak berkaitan denganmu. sebab aku tak mau engkau
kembali memenuhi pikir

Aku kan pergi melewati hidup berduri, menaiki tujuan yang sesekali membuat tubuh nyerih
lantaran luka tercipta di kaki, juga panas matahari tak henti-henti mengalirkan keringat di tubuh.
aku akan terus berlari sembari mencari rumah, di mana rumah berisi kamar mandi tempatku
mencuci otak dari kenangan, kasur empuk tak menumpuk mimpi tentangmu juga televisi yang
tak pernah menayangkan wajahmu dihadapan. lalu, akan kubuat taman berisi bunga merona
melebihi kecantikanmu bahkan akan ku undang kupu-kupu lebih indah darimu. namun saat
memandangnya hanya kurva wajahmu di mataku

Ku coba menaiki perahu harapan, dengan sabar ku dayung perahan seolah takut kenangan
membuntiti di belakang. berbekal angan ku selamkan kecewa pada ikan melompat-lompat, ku
dengarkan debur ombak agar sepi kurunyam dalam pikir, juga ku terbangkan doa bersama buih
agar menuju cakrawala seolah yakin doa-aoaku sampai pada Tuhan. namun mengapa masih ku
dengar namamu dinyanyikan debur gelombang serta indah wajahmu terlukis di langit samudra

Maka, berbekal yakin aku kembali sembari memungut kenangan di setiap jejakku dan di situ
aku mulai sadar bahwa luas pikirku ialah engkau dan harapku hanyalah engkau.

Mata Pena, 27 Oktober 2019


Mengawetkan Kerinduan

Saat kenangan memenugi pikir, aku mencoba memunggut lempung tanah kampung, jejak kaki, serta
segala hal tentangmu. dan disitu aku mencampurkan merata seolah takut cemburu menyelinap pada
adonan, lalu kuaduk perlahan agar impian tak retak oleh waktu, tak lupa sinar matahari kututupi agar
patung tercipta tak bercampur dengan air tubuh.
Aku akan mengukir selihai jemari menuliskan namamu, secermat mata memandang wajahmu bahkan
mulut tak henti-henti menyanyikan namamu seolah-olah engkau akan menyatu dengan diri. namun aku
bingung hendak dari mana kuukir paling awal: wajahmu penyimpan senyum di bibir, dadamu berisi hati
tempaku berlindung, atau tangan penyentuh pipiku saat bertemu. Aku bingung Qamariyah layaknya anak
kecil penyusun lego agar sempurnah menjadi robot atau seperti seniman kehilangan warna sehingga
segala cipta tak tuntas meski lihai melukis.

Nopember 2019

You might also like