You are on page 1of 14

HUKUM ACARA PERADILAN HAM 1

Oleh:
Dr. Widiada Gunakaya. SA, SH., MH.2

A. Eksistensi Hukum Acara Peradilan HAM dalam Tatanan Hukum Nasional dan
Hukum Internasional
HAP HAM bersubstansikan “asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang proses hukum terhadap pelanggaran berat HAM” (PBH). Penegakan dan penerapan
hukumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk itu berdasarkan
UU Pengadilan HAM (UU PHAM), yaitu UU No. 26 Th. 2000 tentang Pengadilan HAM, yakni
Komnas HAM, Kejaksaan (Jaksa Agung) dan Pengadilan HAM. Proses hukum terhadap
PBH adalah : “Mekanisme peradilan pidana oleh lembaga-lembaga berwenang berdasarkan
asas-asas dan kaidah-kaidah Hukum Acara Pidana (HAP). HAP yang dimaksud adalah
KUHAP (UU No. 8 Th. 1981),3 kecuali ditentukan lain dalam UU PHAM”. Pasal 10 UU
PHAM dengan tegas menentukan :
“Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum
acara pidana”. (HAP yang dimaksud adalah KUHAP, Pen.).
Berdasarkan eksplanasi di atas, pengertian HAP HAM adalah :
“Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur proses peradilan pidana,
dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam rangka melaksanakan HPm yang
mengenai PBH yang ditetapkan dalam UU PHAM”.
Hanya perlu diketahui, norma-norma HPm mengenai PBH oleh Hukum Internasional
(HI) telah dikategorikan sebagai international crimes (IC). Konsekuensinya, norma-norma
HPm-nya dan HAP pun (selain bersifat nasional) harus pula bersifat internasional menurut
ketentuan-ketentuan Hukum Pidana Internasional (HPI), begitu pula lembaga peradilan atau
mahkamah yang mengadilinya juga harus bersifat internasional. IC menurut Cryer adalah :
"Kejahatan yang oleh HI diberikan jurisdiksi kepada pengadilan atau mahkamah
Internasional (MI) untuk mengadilinya (yaitu: Genocide; Crimes against humanity; War
crimes; and Crimes of aggresion (Crime against peace)”.4
Pendapat Cryer tersebut mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma (SR) 1998
tentang Roma Statute of the International Criminal Court yang menetapkan :
“Crimes within the jurisdiction of the Court ditetapkan sebagai berikut : The jurisdiction
of he Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international

1
Makalah disajikan pada PKPA, diselenggarakan oleh DPC. PERADI Bale Bandung, bekerjasama dengan
STHB, tgl. 28 Oktober 2022. Di Hotel Grand Serela Bandung.
2Dosen Hukum HAM dan Hukum Pidana Internasional STHB.
3
Anotasi : Asas-asas dan kaidah-kaidah HAP yang diatur dalam KUHAP adalah sebagai norma atau
kaidah hukum yang melaksanakan hukum pidana materiil (HPm) yang mengatur PBH sebagaimana diatur dalam
UU PHAM.
4International crimes is offences over which international court or tribunals have been given jurisdiction

under general international law. Robert Cryer at.al, An Introduction to International Criminal Law and Procedure,
Cambridge University Press, Cambridge, 2010, p.5.

1
community a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with
respect to the following crimes : (a) Crime of genocide; (b) Crime against humanity;
(c) War crimes; (d) Crime of aggresiion”.5

Keempat dari IC disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) SR 1998 di atas sekaligus menjadi
jurisdiksi 'ratione materiae' dari International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah
Pidana Internasional (MPI) yang diberi wewenang untuk mengadili keempat KI dimaksud.

Mencermati paparan di atas, dapat diketahui :


Pertama, mengingat PBH oleh HP nasional (HPN) ditetapkan sebagai tindak pidana
(TP) dan oleh HI khususnya oleh HPI ditetapkan sebagai IC (TP Internasional), maka
aturan-aturan hukumnya harus tunduk pada ketentuan-ketentuan HPm yang berlaku secara
nasional, serta HI dan/atau HPI. Dalam konteks ini, HPI mencakup dua dimensi hukum yakni
"the penal aspects of international law", dan "the international aspects of national
criminal law".6
Kedua, mengingat PBH adalah IC yang tidak hanya menyangkut HPm juga mencakup
HAP, yakni aspek-aspek prosedural dalam penyidikan dan penuntutan terhadap IC,7 maka
sepanjang berkaitan dengan proses hukum atau mekanisme peradilan pidananya, berlaku
KUHAP sebagai hukum acaranya (umbrella act/lex generalis), karena itu harus tunduk pada
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang diatur di dalam KUHAP.
Ketiga, oleh karena PBH dikualifikasikan sebagai IC sehingga ditetapkan sebagai
hostis humanis generis, maka oleh HI atau HP Internasional (HPI) ditetapkan pula sebagai
delicto gentium atau TP Internasional (TPI).8 Maka harus tunduk pada asas-asas hukum
umum yang menurut HI eksis sebagai ‘jus cogens’ (peremptory norms of international
law), yakni norma-norma fundamental yang diakui oleh masyarakat internasional, berstatus
'superior' terhadap norma-norma lainnya.
B. Pengadilan Nasional Diberikan Wewenang mengadili Kejahatan Internasional

5Dikatakan oleh Cryer, Ibid., 4 kejahatan itulah yang menjadi inti dari IC sekaligus menjadi ruang lingkup

kajian dari HPI. Sedangkan kejahatan-kejahatan yang menimbulkan keprihatinan internasional seperti
perompakan (pembajakan), perbudakan, terorisme, dan pengedaran narkotika tidak termasuk kategori kejahatan
internasional, karena tidak menjadi jurisdiksi mahkamah atau pengadilan internasional.
6
Menurut Bassiouni: International Criminal Law is product of the convergence of two legal deciplines
which have emerge and developed along differents paths to become complementary and coextensive. They are
the criminal law aspects of international law and the international aspects of national criminal law. Lihat M. Cherif
Bassiouni, International Criminal Law, Vol. 1. Crimes, Transnational Publishsers, New York, 1986, p. 2.
7Cryer mengatakan: "International criminal law... encompasses not only the law concerning genocide,

crimes against humanity, war crimes and crimes of aggresion, but also the principles and procedures
governing the international investigation and prosecution of these crimes". Lihat Robert Cryer at.al., An
Introduction to International Criminal Law and Procedure, Cambridge University Press, Cambridge, 2010, p.5.
8
Alasannya, karena PBH sangat bertentangan dengan “asas-asas hukum umum yang diakui oleh Negara-
negara beradab” (general principle of law recognize by the civilized nations). 8Prinsip ini oleh HI telah dijadikan
norma pokok atau patokan dalam perjanjian-perjanjian internasional berkait crime against humanity (PBH).

2
Kendatipun Pasal 5 ayat (1) SR 1998 dengan tegas menyatakan, hanya ICC yang
diberi jurisdiksi kriminal untuk mengadili keempat IC dimaksud, akan tetapi “Pengadilan
nasional dalam hal ini Pengadilan HAM Indonesia berdasarkan UU PHAM berwenang pula
mengadilinya, walaupun hanya terhadap “kejahatan genosida” dan “kejahatan terhadap
kemanusiaan”.9 Padahal SR 1998 ini tidak diratifikasi oleh Indonesia?10.
Eksplanasi teoretikalnya adalah sebagai berikut :
Pertama, menurut HI mahkamah yang diberikan wewenang untuk melaksanakan
jurisdiksi kriminal bersifat internasional, di samping MI atau mahkamah yang dibentuk
berdasarkan perjanjian internasional terhadap persoalan hukum yang tidak termasuk ke
dalam jurisdiksi nasional, badan-badan peradilan (pengadilan) nasional juga diberi
wewenang untuk melaksanakan jurisdiksi kriminal bersifat internasional, asalkan oleh
hukum nasionalnya diberi wewenang untuk menangani masalah-masalah HI. Hanya saja
dalam menjalankan jurisdiksinya itu harus sesuai dengan ketentuan HI11.
Kedua, peradilan (pengadilan) nasional diberi jurisdiksi internasional oleh HI, karena
negara nasional (sebagai locus delicti) memiliki kewajiban hukum untuk mengadili pelaku
IC berdasarkan prinsip “complementarity” dan prinsip ”local remidies”. Kewajiban hukum
dimaksud adalah ‘negara nasional harus berupaya untuk melakukan pencegahan dan atau
pemberantasan terhadap IC yang terjadi di negara nasionalnya. Tindakan pencegahan yang
dilakukan adalah memberikan perlindungan dan restorasi terhadap korban melalui
restitusi, kompensasi dan rehabilitasi, serta pemeliharan perdamaian. Sedangkan
pemberantasan yang dilakukan adalan menuntut dan mengadili serta memidana pelakunya.
Namun demikian, jika suatu negara nasional tidak mengambil upaya pencegahan dan
atau pemberantasan, maka negara itu harus bertanggungjawab kepada masyarakat

9Di dalam UU PHAM jurisdiksi kriminal yang ditetapkan hanyalah 2 (dua), yakni “kejahatan genosida”

dan “kejahatan terhadap kemanusiaan” (vide Pasal 7 UU PHAM). Kedua kejahatan tersebut lebih lanjut diatur
dalam Pasal 8 UU PHAM untuk “kejahatan genosida” dan Pasal 9 UU PHAM untuk “kejahatan terhadap
kemanusiaan”. Perumusan terhadap kedua kejahatan dimaksud, adalah hasil “adopsi” dari Pasal 7 SR 1998.
Lihat Penjelasan Pasal 7 UU PHAM, menegaskan “Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam ketentuan ini sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 7 “Rome Statute of The International Court”.
10SR 1998 ekisis sebagai tonggak sejarah dalam penegakan pelanggaran HAM di berbagai negara,

namun Indonesia yang telah berkomitmen dalam penegakan pelanggaran HAM masih belum meratifikasinya.
Padahal hal ini telah tercantum dalam Rencana Aksi Nasional HAM (Renhamnas) 2004-2009 dan Rehamnas
2009-2014, dan ratifikasi ini menjadi hal sangat Urgen dalam penegakan HAM di Indonesia untuk
menghapusankan berbagai praktek impunitas sebagai legitimasi rakyat untuk mecapai keadilan. Terlebih Pasal
28I ayat (4) UUD 1945 telah jelas menyatakan: "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah." Berdasarkan ketentuan konstitusional ini, Negara sudah
seharusnya berperan aktif dalam melindungi warga Negara dari pelanggaran HAM, tidaklah cukup hanya telah
memiliki UU No. 26 Th. 2000 tentang Pengadilan HAM.
11Menurut Ian Brownlie, dalam H. Hata, Individu Dalam Hukum Internasional, STHB Press, Bandung,

2005, hlm. 7, lembaga yang melaksanakan yurisdiksi Internasional adalah setiap mahkamah yang menangani
persoalan hukum yang tidak termasuk ke dalam yurisdiksi nasional yang dibentuk berdasarkan Perjanjian
Internasional, maupun pengadilan-pengadilan yang menjalankan fungsinya di lingkungan organisasi
Internasional, seperti Pengadilan Administrasi di lingkungan PBB. Sedangkan Badan-badan Peradilan Nasional
yang oleh hukum nasionalnya diberi kewenangan untuk menangani masalah-masalah HI, dan menjalankan
yurisdiksinya tersebut sesuai dengan HI juga dianggap sebagai badan peradilan yang melaksanakan yurisdiksi
Internasional.

3
Internasional (erga omnes). Jadi yang diutamakan adalah : “state responsibility” sebagai
konsekuensi dari adanya “erga omnes obligatio”. Artinya “kewajiban yang dibebankan
terhadap setiap Negara tidak hanya untuk para korban yang berkewarganegaraan dari
Negara nasionalnya, tetapi juga warga Negara dari negara nasional lainnya.
Sehubungan prinsip-prinsip HI di atas, negara Indonesia tidak saja memiliki kewajiban
hukum dan tanggungjawab terhadap dunia internasional dengan terjadinya IC dalam
batas-batas teritorial negaranya, juga menurut Pasal 4 UU PHAM berwenang mengadili
PBH sebagai permasalahan internasional. Bahkan menurut Pasal 5 UU PHAM Pengadilan
HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara PBH yang dilakukan di luar batas
teritorial wilayah negara RI oleh WNI. Namun jika pengadilan nasional (Pengadilan
HAM Indonesia) menunjukkan indikasi unwilling dan unable untuk mengadili IC tadi,
maka internasional jurisdiction yang semula diberikan kepada pengadilan nasional diambil
alih oleh MI atau ICC. Ini artinya, MI atau ICC akan melakukan penuntutan (mengadili)
ulang terhadap pelakunya (asas “ne bis in idem” menjadi tidak berlaku. Asas ini
kendatipun diatur dalam Pasal 76 KUHP, tetapi di dalam Pasal 20 SR 1998 sudah
disimpangi atau telah mendapat pengecualian (perelativitasan)).12

C. Hukum Acara Peradilan HAM Hanya Relevan Terhadap PBH Bukan Terhadap
Pelanggaran HAM.
Mengapa dikatakan demikian, eksplanasinya berikut ini :
1. PBH adalah suatu perbuatan jahat yang menurut ajaran HPm bersifat melawan
hukum (ber-SMH) yang dapat diancam dengan pidana, sehingga oleh pembentuk
UU PHAM dikualifikasikan sebagai kejahatan atau tindak pidana (TP).
2. Ketentuan-ketentuan HAP yang bertugas menjalankan HPm, wajib diaplikasi
terhadap perbuatan yang sudah dikualifikasikan sebagai TP, jika terhadapnya
terjadi pelanggaran. Tujuannya mencari kebenaran materiil, untuk memverifikasi,
‘apakah PBH benar-benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya’?
3. Sehubungan dengan point 2 di atas, HAP (KUHAP) mengatur pembuktian unsur
melawan hukum dari PBH, dan dibuktikan juga ‘apakah unsur pertanggung-
jawaban pidananya (PJP) terhadap redakwa juga terbukti’, sehingga ia dapat
disalahkan telah melakukan PBH tersebut? Apa bila kedua unsur disebutkan di
atas terbukti, maka terdakwa dapat dijatuhi pidana (P) (vide Pasal 193 KUHAP).
Diterapkan “rumus” TP + PJP = P.
4. PBH sebagai suatu TPI, PJP-nya dibebankan kepada setiap individu pelaku, tidak
perduli siapapun pelakunya (individual responsibility principle). Menurut Pasal

12Article 20 SR menegaskan: 1. Except as provided in this statute, no person shall be tried before the
Court within respect to conduct which formed the basis of crimes for which the person has been convicted or
acquitted by the Court. (Court di sini maksudnya ICC/MPI, pen.). 2. No person shall be tried by another court for
a crime referred to in artile 5 for which that person trial already been convicted or acquitted by the Court. 3. No
person who has been tried by another court for conduct also proscribed under articles 6, 7, or 8 shall be tried by
the Court with respect to the same conduct unless procceding in the other court: a. Were for the purpose
shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the Court; or b.
Otherwise were not conducted independently or impartially in accordance with the norms of due process
recognized by international law and were conducted in a manner which, in the circumstances, was inconsistent
with an intent to bring the person concerned to justice. (Kurspf, Pen.)

4
42 UU PHAM, baik pejabat militer (termasuk kepolisian) maupun pejabat sipil yang
secara hukum telah terbukti bersalah melakukan PBH, secara individual tidak
terlepas dari PJP.13 Ketentuan ini sama dengan yang ditetapkan dalam Pasal 27
SR 1998 di bawah judul “Irrelevance of official capacity”.14
Sedangkan “Pelanggaran HAM” adalah ”pelanggaran terhadap asas-asas dan
kaidah-kaidah Hukum HAM” yang terdapat di dalam instrumen-instrumen HAM nasional
maupun Internasional.15 Di dalam instrumen HAM Nasional terdapat dalam UUD 1945 dan
UU No. 39 Th 1999 tentang HAM,16 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
norma-normanya mengatur secara parsial tentang HAM dan penegakannya. Di dalam
instrument HAM Internasional terdapat di dalam UDHR dan convensi-convensi yang
mengatur HAM Internasional, seperti ICCPR dan ECOSOC. Apabila terjadi “pelanggaran”
terhadap asas-asas dan kaidah-kaidah Hukum HAM, “negara nasional” yang paling utama
diberi “tanggungjawab” (erga omnes obligatio), karena negara nasional oleh HI diberi
kewajiban hukum untuk menghormati dan melindungi HAM rakyatnya. “Kewajiban negara”
adalah mengambil langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan. Kata pemberantasan
khusus untuk “PBH” yang wajib untuk diadili dan pelakunya dipidana. Dalam hal demikianlah
pengadilan nasional diberikan internasional criminal jurisdiction oleh HI.
D. PBH Menurut UU PHAM
1. Pengertian dan Jenis-Jenis PBH
UU HAM tidak memberikan pengertian mengenai ”PBH”. Pasal 104 ayat (1) UU HAM,
hanya menentukan : ”Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum”.17 Namun Pasal 1 angka 2
UU PHAM menegaskan, bahwa : ”Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat” adalah
”Pelanggaran HAM sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Menurut Pasal 7 UU

13Pasal 42 merupakan delik ommisi, menganut prinsip “pertanggungjawaban individual”. Artinya,

siapapun ia, apakah seorang pemimpin pemerintahan, komandan militer (polisi) atau pejabat sipil lainnya,
apabila ia membiarkan bawahannya melakukan kejahatan HAM berat, maka dipandang sama berdosanya
dengan mereka yang melakukan langsung perbuatan tersebut. Oleh karena itu ia pun tetap dianggap telah
bersalah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH), dan sebagai konsekuensinya tetap dapat dimintakan
PJPnya. (KUHP tidak mengatur “crime by ommision”, yang diatur hanya PMH yang dilakukan secara langsung,
atau perencanaan untuk melakukan PMH.
14Pasal 27 SR 1998 mentapkan: 1. The Statute shall apply equally to all persons without any distinction

based on official capacity. In particular, official capacity as a Head of State or Government, a member of a
Government or parliament, an elected presentative or a government official shall in no case exempt a person
from criminal responsibility under this Statute, nor shall it, in and of itself, constitute a ground for reduction of
sentence. 2. Immunities or special procedural rule which may attack to the official capacity of a person, wether
under national or international law, shall not bar the Court from excercising its jurisdiction over such a person.
15
Pelanggaran HAM dapat juga dikatakan sebagai : ”Suatu pelanggaran terhadap kewajiban negara yang
lahir dari instrumen-instrumen Internasional HAM”. (Pelanggaran negara terhadap kewajibannya itu dapat
berupa acts of commission maupun acts of ommssion. Lihat Rohana K.M. Smith at.all, Hukum Hak Asasi
Manusia, Kata Pengantar Philip Alston dan Franz Magnis Suseno, PUSHAM UII Yogyakarta, 2008, hlm. 69.
16
Menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Th. 1999 tentang HAM, Pelanggaran HAM adalah :”Setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesiaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku”.
17
Menurut Penjelasan pasalnya, “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan
masal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial
killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perebudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis (systematic discrimination)”. (Kursif, Pen.).

5
PHAM, PBH meliputi ”kejahatan genosida” dan ”kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Menurut Pasal 8 UU PHAM Kejahatan genosida adalah :
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara :
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagian;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan memaksakan kelahiran di dalam
kelompok; dan
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sedangkan menurut Pasal 9 UU PHAM, ”Kejahatan terhadap Kemanusiaan” (KtK),


dirumuskan secara tegas dan limitatif, sebagai berikut :
”Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin,
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid. (Kursif, Pen.).18
k.
2. Unsur-unsur PBH
PBH dikualifikasikan sebagai IC, khususnya KtK, karena :

18
KtK di atas, oleh pembentuk UU PHAM diakui sesuai dengan rumusan Pasal 6 dan 7 SR 1998 (Lihat
Penjelasan Pasal 7 UU PHAM). Menurut Article 7 SR Crimes Against Humanity meliputi : 1. murder; 2.
extermination; 3. enslavement; 4. deportation or forcible transfer of population; 5. imprisonment or other severe
deprivation of phisical liberty in violation of fundamental rules of international law; 6. torture; 7. rape, sexual
slavery, enforced prostitution, enforced pregnancy, enforced sterilization, or any other form of sexual violence of
comparable gravity; 8. persecution against any identifiable group or collectivition political, racial, national, ethnic,
cultural, religious, gender as defined in paragraph 3 or other grounds that are universally recogniced as
impermissible under international law, in conection with any act refferred to in this paragraph or any crime within
the jurisdiction of the court; 9. enforced disappearence of persons; 10. the crime of apartheid; 11. other inhuman
acts of simlar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or phisical
health.

6
Pertama, KtK di dalamnya melekat unsur TP berupa serangan yang meluas dan
dilakukan secara sistematik (seperti dieksplisitkan dalam ketentuan Pasal 9 UU PHAM (SR
menggunakan istilah widespread and sistematic attack)), yang ditujukan langsung kepada
penduduk sipil. Mengenai kedua unsur ini, Prof. Romli Atmasasmita mengatakan :
“Pelanggaran HAM Berat (PHAMB) merupakan tindakan yang bersifat sistematis dan
meluas. Kedua kata tersebut merupakan kata kunci dari PHAMB, khusus dalam
kaitannya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Kedua
kata kunci tersebut merupakan unsur-unsur yang bersifat melekat dan mutlak
harus ada pada setiap tindakan PHAMB, dan oleh karenanya harus diajukan dan
dibuktikan dalam proses pembuktian di muka sidang pengadilan HAM. Kedua
unsur itu merupakan faktor penting dan signifikan yang membedakan antara PHAMB
dan tindak pidana biasa menurut KUHP atau perundang-undangan pidana lainnya.19

Kedua, unsur ”serangan secara meluas dan sistematis”, seperti pembunuhan


sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan,
diskriminasi secara sistematis, pembasmian, deportasi, pemenjaraan, pemerkosaan dan
perbuatan lainnya yang tidak berperikemanusiaan”. PBH demikian oleh dunia internasional
sangat dikutuk, dan dipandang sangat membahayakan ketertiban dan perdamaian dunia
yang harus dimusuhi oleh seluruh umat manusia, sehingga dinilai sebagai bukan perbuatan
biasa (ordinary crimes). Oleh HI dan HPI, PBH ini dikualifikasikan sebagai extra ordinary
crimes yang memiliki jurisdiksi internasional dan sekaligus jurisdiksi universal.
Ketiga, memiliki nuansa khusus berupa alasan politis, etnis, ras dan kelompok
agama, dan atau penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa, perbuatannya
menghinakan dan/atau menistakan martabat manusia, serta mengakibatkan penderitaan
phisik, mental, kerugian secara materiil atau immateriil, dan perasaan tidak aman, baik
terhadap perseorangan maupun masyarakat.

3. UU PHAM Menganut Retroaktif


Politik hukum dalam UU PHAM menetapkan PHB adalah extra ordinary crimes, baik
yang terjadi setelah UU ini diundangkan, maupun yang terjadi sebelum UU tersebut
diundangkan. Ini berarti UUPHAM menganut retroaktif. Tujuannya agar UU PHAM
fungsional mengadili PHB yang terjadi sebelum UU PHAM diundangkan. Namun di dalam
SR sendiri, provisinya tidak di-retroaktif-kan, karena dinilai sangat bertentangan dengan
legality principle yang juga diakui oleh HI (HPI). Di dalam Pasal 24 SR ditetapkan,
”kewenangan ICC tidak berlaku surut”. Demikian pula dalam sistem HP Indonesia, retroaktif
sangat diharamkan oleh asas legalitas (vide Pasal 1 ayat (1) KUHP. Bahkan secara
konstitusional dilarang ”keras” oleh Pasal 28I UUD 1945 (Amandemen kedua), yakni ”... dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

19
Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm.2.

7
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Namun dalam UUD 1945
pada Pasal 28J ayat (2)-nya ditetapkan :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Bahan untuk diskusi:
Apakah cukup Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 digunakan untuk meng”halal”kan
retroaktf? Permasalahan mendasarnya, ‘apakah dibenarkan UU di-retroaktif-kan’?
‘Bagaimana dengan kesakralan dari asas legalitas itu sendiri’?

4. Pengadilan HAM Ad.Hoc


Menurut UUPHAM Pelaksanaan retroaktif dilakukan melalui Pengadilan HAM ad hoc
yang dibentuk atas usul DPR, dan jurisdiksi kriminalnya berada pada lingkungan peradilan
umum. Pasal 43 UU PHAM menegaskan :
(1) Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
(2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden.
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan
Peradilan Umum.

Pengadilan HAM ad hoc dalam memberlakusurutkan PBH yang terjadi dimasa


lampau dilakukan secara terbatas, baik berkait locus delicti maupun tempus delictinya,
mengingat sangat sulitnya pengungkapan bukti-bukti dari PBH yang terjadi dimasa lampau,
termasuk dalam teknik penyelidikan dan penyidikannya. Terbatas di sini meliputi pula
penerapan retroaktif hanya pada pengadilan yang tidak bersifat permanen, atau
pengadilan yang bersifat khusus.
Menurut penulis, pembentuk UUPHAM memberlakukan kebijakan retroaktif melalui
pengadilan ad.hoc, karena terinspirasi dari diadilinya pelaku PBH pada masa PD II oleh
International Militery Tribunal (IMT) pada th. 1946 untuk Jerman dan 1948 untuk Jepang.
Apalagi retroaktif dan pembentukan pengadilan ad.hoc diperkenankan oleh MI, asalkan
limitasi berlaku surutnya dideterminasi dengan tegas, seperti yang ditetapkan pada kasus
bekas jajahan Yugoslavia, Rwanda dan Kamboja. Eksistensi Pengadilan HAM ad hoc yang
dinilai bertentangan dengan asas legalitas juga UUD 1945 (Pasal 28I ayat (1))20, menurut
putusan MK No. 065/PUU-II/2004 justru dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945.

20
Asas berlaku surut yang dianut dalam UU Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud di atas, oleh Abilio
Jose Osorio Soares (menjabat sebagai Gubernur Timor Timur pada tahun 2004) diajukan permohonan judicial
review kepada MK, dengan argumentasi hukum, bahwa asas retroaktif (vide Pasal 43 UU Pengadilan HAM)
dinilai bertentangan dengan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maupun Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Namun MK menolak permohonan judicial review tersebut melalui Putusan MK No. 065/PUU-II/2004.

8
Pengadilan HAM ad hoc dikatakan sebagai pengenyampingan terhadap asas nonretroaktif
yang dilakukan dengan sangat hati-hati. Pertimbangan hukum MK adalah sebagai berikut :
1. Pembentukannya hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti
dan tempus delicti yang terbatas, bukan untuk semua peristiwa secara umum; dan
2. Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usul DPR, karena menurut
UUD 1945 DPR adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada
dasarnya rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat
sebelum pembentukan UU Pengadilan HAM telah terjadi yang penyelesaiannya
membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

E. Pengadilan HAM dan Hukum Acaranya


Sebagai implementasi Pasal 104 UU HAM telah disahkan dan diundangkan UU
PHAM. UU ini diharapkan dapat melindungi HAM seseorang dari PHB. Pembentukan UU ini
menurut Penjelasan Umum dari UU aquo didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:
1. Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra ordinary crimes” dan berdampak
secara luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan
merupakan TP yang diatur di dalam KUHP serta menimbulkan kerugian baik
materiil maupun immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik
terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan
dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketenteraman,
keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia;
2. Terhadap pelanggaran HAM yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus;
3. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat adalah :
a. diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut
umum ad hoc dan hakim ad hoc;
b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM
sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan
sebagaimana diatur dalam KUHAP;
c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan;
d. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi;
e. diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kedaluarsa bagi pelanggaran
HAM yang berat.

1. Pengadilan HAM sebagai Pengadilan Khusus dan Kewenangannya


a. Pengadilan HAM sebagai Pengadilan Khusus
Pasal 2 UU PHAM dengan tegas menentukan : “Pengadilan HAM merupakan
pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. Pengadilan HAM ber-
kedudukan di setiap kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah pengadilan
negeri (PN) yang bersangkutan. Khusus mengenai DKI Jakarta, “Pengadilan HAM
berkedudukan di setiap wilayah PN yang bersangkutan” (PN Jakarta Pusat, PN Jakarta

9
Barat, PN Jakarta Timur, PN Jakarta Utara, dan PN Jakarta Selatan (vide Pasal 3 ayat (2)
UU PHAM)). Pasal 45 UU PHAM menetapkan, bahwa :
a. Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang meliputi wilayah Daerah Khusus Ibu Kota
Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah;
b. Pengadilan HAM Surabaya yang meliputi Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur;
c. Pengadilan HAM Makasar yang meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Irian Jaya
(Papua);
d. Pengadilan HAM Medan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa
Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatera Barat.

b. Wewenang Pengadilan HAM


Pengadilan HAM berwenang memeriksa dan memutus perkara PHB yang dilakukan di
dalam negeri (Pasal 4 UU PHAM), juga yang dilakukan di luar batas territorial wilayah
Negara RI oleh WNI (Pasal 5 UU PHAM). Tujuan untuk melindungi WNI yang melakukan
PHB di luar batas territorial. Namun menurut Pasal 6 UU PHAM tidak memiliki jurisdiksi
kriminal terhadap seorang anak yang usianya di bawah 18 tahun. Dengan demikian,
Pengadilan HAM tidak berwenang untuk mengadili perkara demikian.21

2. Hukum Acara Pengadilan HAM


Di muka telah dieksplanasi, untuk HAP HAM berlaku KUHAP, terkecuali ditentukan lain
oleh UU PHAM sebagai lex specialis dari KUHAP. (vide Pasal 10 UU PHAM). Hal-hal
penting berkait HAP dalam UU PHAM adalah sebagai berikut :
a. Penyelidikan.
Menurut Pasal 1 angka 5 UU PHAM, Penyelidikan adalah “serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga
merupakan pelanggaran HAM yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”
Penyelidikan terhadap PHB dilakukan oleh Komnas HAM, dan Komnas HAM dalam
melakukan penyelidikannya dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komnas
HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 18 UU PHAM).
b. Penyidikan
Penyidikan terhadap PHB dilakukan oleh Jaksa Agung, dan dalam pelaksanaan
tugasnya dapt mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan
masyarakat. Penyidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung dari sejak tanggal
hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Penyidik dapat
mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan selama 90 hari kepada

21
Ketentuan di atas sejalan dengan Pasal 26 SR 1998 yang menentukan : “The Court shall have no
jurisdiction over any person who was under the age of 18 at the time of the alleged commission of crime”. Ini
berarti, ICC tidak memiliki yurisdiksi criminal terhadap individu berusia demikian.

10
Ketua Pengadilan HAM sesuai daerah hukumnya, dan dapat diperpanjang lagi selama
60 hari. Jika dalam waktu tersebut, penyidikan juga tidak dapat diselesaikan, maka
dikeluarkan SP penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.
c. Penangkapan
Setelah penyidik menerima laporan dari Komnas HAM tentang telah terjadi peristiwa
PHB dengan bukti-bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat mengeluarkan SP
penangkapan terhadap tersangka. Pasal 11 UU PHAM menentukan :
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk
kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan
pelanggaran HAM yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Pelaksanaan tugas penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan
kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas
tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan
pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat yang
dipersangkakan.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
(4) Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah
dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap
beserta barang bukti yang ada pada penyidik.
(5) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan untuk paling lama
1 (satu) hari.
(6) Masa penangkapan dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan.

d. Penahanan
Sebagai kelanjutan dari penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras telah
melakukan PHB, terhadap tersangka dapat dilakukan penahanan.
1) Penahan untuk Kepentingan Penyidikan
Penahanan untuk kepentingan penyidikan ketentuannya diatur dalam Pasal 12
UU PHAM, selengkapnya ditentukan sebagai berikut :
(1) Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan pemeriksaan di
siding pengadilan.
(2) Hakim Pengadilan HAM dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan.
(3) Perintah penahanan atau penahan lanjutan dilakukan terhadap tersangka
atau terdakwa yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM yang berat
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal terdapat keadaan yang
menimbulkan kekhawatian bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan
diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi
pelanggaran HAM yang berat.
Penahanan dapat dilakukan paling lama 90 hari, dan dapat diperpanjang untuk
waktu paling lama 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah
hukumnya. Namun jika jangka waktu perpanjangan penahanan itu habis, dan
penyidikan belum dapat diselesaikan, penahanannya dapat diperpanjang paling
lama 60 hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya, (vide
Pasal 13 UU PHAM).
2) Penahan untuk Kepentingan Penuntutan

11
Sedangkan untuk kepentingan penuntutan penahanan dapat dilakukan untuk
paling lama 30 hari, dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Namun dalam hal
jangka waktu setelah dilakukan perpanjangan penahanan habis, dan penuntutan
belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 20
hari oleh Ketua Pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya (Pasal 14 UU
PHAM).
3) Penahanan untuk Kepentingan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di siding Pengadilan HAM dapat
dilakukan paling lama 90 hari, dan dapat diperpanjang lagi selama 30 hari oleh
Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (vide Pasal 15 UU
PHAM).
4) Penahanan untuk Kepentingan Pemeriksaan di PT dan MA
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi (PT)
dapat dilakukan paling lama 60 hari, dan dapat diperpanjang lagi selama 30 hari
oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya (vide Pasal 16
UU PHAM).
Sedangkan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di di MA dapat
dilakukan paling lama 60 hari, dan dapat diperpanjang lagi selama 30 hari oleh
Ketua MA (vide Pasal 17 UU PHAM).

e. Penuntutan
Penuntutan terhadap pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung, dan
dalam pelaksanaan tugasnya dapat mengangkat penuntut umum ad hocyang terdiri
atas unsure pemerintah dan masyarakat. Penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat
70 hari terhitungdari sejak tanggal penyidikan diterima. (vide Pasal 23 jo Pasal 24 UU
Pengadilan HAM).
Menurut Pasal 25 UU PHAM, Komnas HAM sewaktu-waktu dapat meminta
keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai perkembangan penyidikan
dan penuntutan perkara HAM yang berat.
f. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
PHB diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 UU PHAM, dan pemeriksaan tersebut dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5
orang, terdiri atas 2 orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3
orang hakim ad hoc. Sedangkan majelis hakimnya diketuai oleh hakim dari Pengadilan
HAM yang bersangkutan. (vide Pasal 27 UU PHAM).
Sedangkan lama waktu pemeriksaan sampai dengan putusan di sidang Pengadilan
HAM paling lama 180 hari terhitung dari sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan
HAM. (vide Pasal 31 UU PHAM).
Dalam hal perkara dimohonkan banding ke PT, maka perkara HAM berat tersebut
diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung dari sejak perkara
dilimpahkan ke PT. Susunan majelis hakim di PT berjumlah 5 orang, terdiri atas 2
orang hakim PT yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc. (vide Pasal 32 UU
PHAM). Dan dalam hal perkara dimohonkan kasasi ke MA, maka perkara HAM
berat tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari terhitung dari
sejak perkara dilimpahkan ke MA. Susunan majelis hakim di MA berjumlah 5 orang,

12
terdiri atas 2 orang hakim agung dan 3 orang hakim ad hoc. (vide Pasal 33 UU
PHAM).
g. Peninjauan Kembali (PK)
PK tidak diatur dalam UU PHAM, namun berdasarkan Pasal 10 UU PHAM yang telah
disitasikan di atas, untuk PK dapat mengunakan ketentuan dan tata cara upaya hukum
PK yang ada dalam KUHAP. Permintaan PK kepada MA dapat dilakukan oleh
terpidana atau ahli warisnya terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum (vide Pasal 263 ayat (1) KUHAP). Menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP)
permintaan PK dilakukan atas dasar:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti,
akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan
telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata.

Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada Pasal 263 ayat (2)
KUHAP, PK dapat diajukan apabila dalam putusan itu perbuatan yang didakwakan
telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan (vide Pasal
263 ayat (3). Jika pada upaya hukum banding dan kasasi pengajuanya dibatasi oleh
jangka waktu, maka pada upaya hukum PK tidak dibatasi oleh jangka waktu.

__________

Literatur
M. Cherif Bassiouni, International Criminal Law, Vol. 1. Crimes, Transnational Publishsers,
New York, 1986.
H. Hata, Individu Dalam Hukum Internasional, STHB Press, Bandung, 2005.
Ian Brownlie,Principle of Public International Law, Claredon Press, Oxford, 1979.
Robert Cryer at.al., An Introduction to International Criminal Law and Procedure, Cambridge
University Press, Cambridge, 2010.
Rohana K.M. Smith at.all, Hukum Hak Asasi Manusia, Kata Pengantar Philip Alston dan
Franz Magnis Suseno, PUSHAM UII Yogyakarta, 2008.
Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Dan HAM RI, Jakarta, 2002.
Widiada Gunakaya, Hukum Hak Asasi Manusia, Andi, Yogyakarta, 2017.

13
___________

14

You might also like