You are on page 1of 16

STUDI KASUS PELECEHAN SEKSUAL

DI UNIVERSITAS GADJAH MADA

Dugaan kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta kembali


terkuak ke publik berkat unggahan Instagram Korps Mahasiswa Hubungan Internasional
(Komahi) UGM, pada Sabtu 8 September 2022. Dalam unggahan pernyataan sikap itu,
Komahi menyebut pelaku adalah mahasiswa Departemen Hubungan Internasional dan
anggota Komahi.

“Benar bahwa kami telah menerima laporan kekerasan seksual secara kolektif dan
berturut-turut pada 26 September 2022 dan 5 Oktober 2022,” demikian kutipan dari rilis
Komahi.

Seorang mahasiswa Hubungan Internasional (HI) Fisipol UGM dilaporkan melakukan


kekerasan seksual. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Kepada Masyarakat
dan Alumni, Arie Sujito menyebut kasus ini masih ditangani pihak fakultas.

"Lagi ditangani fakultas, Fisipol. Kami serahkan mereka dan sedang ditangani," kata
Arie kepada wartawan, Selasa (11/10/2022).

Kendati penanganan ada di fakultas, Arie memastikan universitas tidak lepas tangan.
Kampus tetap akan melakukan pendampingan, apalagi korban diduga lebih dari satu orang.

Pelaku kini sudah dicabut keanggotaannya dari Komahi. Organisasi ini juga telah
melalor ke Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Saat ini kasus
ditangani oleh Fisipol Crisis Center (FCC). Menurut perwakilan FCC, jumlah korban lebih
dari satu.

Kasus ini menjadi obrolan panas mahasiswa UGM di media sosial. Pelaku diduga
kuat adalah mahasiswa angkatan 2022 yang cukup dikenal sebagai mahasiswa teladan. Yang
menarik, obrolan ini diselipi imbauan (diduga) dari sesama mahasiswa, agar tidak
mengunggah foto pelaku dan membicarakan kronologi karena dikhawatirkan akan terlihat
oleh korban lalu memicu trauma.

Hal lain yang patut disorot, Fisipol UGM adalah salah satu dari sedikit tempat di
perguruan tinggi Indonesia yang punya panduan pelaporan, penanganan, dan pencegahan
kekerasan seksual oleh dan/atau terhadap warga kampus. Isinya jelas, dilengkapi keterangan
prosedur yang praktis, dan berpusat pada kebutuhan korban.

Kasus pemerkosaan mahasiswa dengan nama samaran Agni itu diangkat pertama kali
oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM. Agni, mahasiswi
Fisipol angkatan 2014, diperkosa oleh teman satu timnya, seorang mahasiswa Fakultas
Teknik UGM berinisial HS, saat menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram,
Maluku, pada Agustus 2017.
Gambar 1. Rilis Pernyataan Sikap dari Komahi UGM

Korban Lebih Dari Satu Orang

Ditanya jumlah korban, Arie mengatakan korban saat ini ada lebih dari satu, meski
pihaknya juga belum bisa mengonfirmasi berapa angka yang tepat.

“FCC masih membuka laporan karena adanya kemungkinan korban lain yang belum
melapor. Pelecehan dilakukan di tempat berbeda, tapi sebagian besar di luar kampus,”
terangnya.

Arie turut mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan lembaga lain di UGM,
seperti DIHI dan Unit Layanan Terpadu (ULT) untuk mengusut kasus ini secara tuntas.

Mengirimkan Pesan Berbau Mesum

Menanggapi hal tersebut, Kepala Divisi Penanganan dan Pelaporan Fisipol Crisis
Center (FCC) UGM, Arie Eka Junia mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan resmi
penyintas kekerasan seksual.
FCC menerima laporan pada pekan lalu dan berjanji akan menindaklanjuti laporan
kekerasan seksual tersebut.

“Betul, pelakunya adalah mahasiswa HI Fisipol UGM. Korbannya sesama


mahasiswa,” ujar Arie.

Kekerasan tersebut, kata dia, berupa sentuhan yang tidak diinginkan dan sexting
(mengirim pesan berbau seks).

Sebelum diberitakan Balairung, kasus ini sudah menjadi gosip di antara mahasiswa.
Dirilisnya kisah Agni mengundang kemarahan mahasiswa. Pasalnya, meski sudah melapor ke
kampus, nasib Agni justru terkatung-katung. Lebih dari itu, kampus justru cenderung
melindungi pelaku dan menyalahkan korban.

Sontak kisah Agni di Balairung viral sampai-sampai Menteri Pemberdayaan


Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) saat itu, Yohana Susana Yembise, berjanji akan
mengawal pengusutannya. VICE sempat mewawancarai tim Balairung tentang kisah di balik
investigasi Agni, yang bisa dibaca di sini.

Tapi usai demonstrasi yang dipicu kisah Agni, tak serta-merta UGM merilis panduan
penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban. Jalan berliku dihadapi mahasiswa
kampus ini hingga akhirnya lembaga seperti FCC beserta panduan kerja mereka bisa lahir.

Kejadian pelecehan seksual di kampus UGM bukan hanya terjadi pada tahun 2022 saja
namun tahun sebelumnya juga ada.

Kejadian Pelecehan Seksual Tahun 2017

Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung


UGM Yogyakarta menuliskan laporan terkait tindak
pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa
UGM.

Dari laporan tersebut, tertulis bahwa seorang


mahasiswi UGM, Agni (bukan nama sebenarnya), yang
melakukan KKN di Pulau Seram, Maluku, mengalami
pelecehan seksual dari rekan sesama kampus berinisial HS.
Peristiwa ini terjadi pada Juni 2017.

Laporan itu menyebutkan, HS yang melakukan


kekerasan seksual pada 30 Juni 2017 di sebuah pondokan.
Setelah kejadian malam itu, korban mengaku menghubungi
rekannya di Yogyakarta dan kemudian menyarankan
melaporkan ke beberapa pihak terkait.
Laporan itu ditanggapi dengan datang beberapa
utusan dilanjutkan dengan sepekan setelah itu HS ditarik dari
lokasi kejadian, pada 16 Juli 2017. Pertengahan Desember
2017, korban memberanikan diri melaporkan ke sejumlah
pejabat dilingkup Fisipol hingga akhirnya laporan masuk
rektorat.

Korban Mendapatkan Nilai C

Agni yang hendak mengungkap terkait pelecehan yang


dialaminya justru tidak mendapat pembelaan. Bahkan ia
mendapat nilai C pada mata kuliah KKN.

Kajian Tentang Kekerasan Seksual dari Kembaga Mahasiswa


Psikologi Universitas Gadjah Mada yang di Publish May, 2022

Digulati selama bertahun-tahun, kekerasan seksual masih menjadi pergumulan bangsa


Indonesia hingga kini. Saat ini, menurut siaran pers Komnas Perempuan tentang Catatan
Tahunan (CATAHU) 2022, tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual yang telah
diadukan pada tahun 2021. Menurut data CATAHU 2021 Komnas Perempuan, dalam kurun
10 tahun terakhir (2010-2020), angka kekerasan seksual terhadap perempuan banyak
mengalami peningkatan, mulai dari 105.103 kasus pada tahun 2010 hingga mencapai 299.911
kasus pada tahun 2020 atau rata-rata kenaikan 19,6% per tahunnya. Hanya pada tahun 2015
dan 2019, angka tersebut mengalami sedikit penurunan, yaitu masing-masing sebanyak
10,7% dan 22,5% kasus.

Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkup pendidikan. Di
antara berbagai jenjang pendidikan, perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal
terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021 (Komnas Perempuan,
2021). Sebagai kota pelajar di Indonesia, Yogyakarta memiliki track-record yang
mengkhawatirkan terkait kekerasan seksual. Dilansir dari Warga Jogja Net (2021), angka
kekerasan seksual yang diterima LBH Yogyakarta sejak Maret 2020 hingga April 2021
sebanyak 42 kasus dan LSM Rifka Annisa WCC, sejak Januari-April 2021, juga menerima
aduan kekerasan seksual sebanyak 350 kasus yang terjadi di DIY. Data tersebut tidak serta
merta menjadi data keseluruhan kekerasan seksual yang terjadi karena, berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek pada tahun 2020 di 29 kota pada 79 kampus,
terdapat 63% kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap
menjaga nama baik kampus (VOA Indonesia, 2022). Bagaimana masyarakat dan pemerintah
menyikapi keadaan ini menjadi pertanyaan yang perlu menjadi perhatian kita untuk
menyelesaikan masalah kekerasan seksual.
Penyebab

Menurut pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), kekerasan seksual dapat terjadi
karena adanya variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan.
Jika ketiga variabel tersebut disatukan, maka dapat menimbulkan suatu intensi terjadinya
kasus kekerasan seksual. Apabila salah satu dari ketiganya ada yang tidak muncul, maka
tindak kekerasan seksual tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terdapat beberapa penyebab
terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, yakni sebagai berikut:

1. Budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia


Adanya budaya patriarki menciptakan stereotip tertentu terhadap perempuan yang
menyebabkan kekerasan seksual dapat terjadi. Dalam paradigma feminisme radikal,
patriarki dianggap sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan yang paling
mendasar. Perempuan dianggap sebagai properti milik laki-laki, yang harus dapat diatur
sedemikian rupa, baik dalam berperilaku maupun berpakaian (Soejoeti & Susanti, 2020).
Ditambah lagi, patriarki juga menempatkan perempuan tidak setara dalam struktur
masyarakat. Pernyataan ini didukung oleh Fushshilat dan Apsari (2020), bahwa sistem
sosial patriarki menimbulkan kerugian bagi perempuan karena dianggap menghalalkan
pelecehan seksual. Dengan kata lain, sudah menjadi tugas perempuan untuk dijadikan
sebagai objek fantasi laki-laki.

2. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual
Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di
perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi
dibanding korban. Salah satu kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah kasus yang
dialami Ritika, tentu bukan nama sebenarnya, yang mendapat perbuatan tidak senonoh
dosen pembimbingnya di taksi online yang mereka tumpangi setelah membicarakan ujian
susulan pada Desember 2019 (Ferdianto, 2021). Adanya relasi kuasa yang timpang
antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat korban memiliki ketakutan untuk
melapor (Elindawati, 2021).

3. Budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya


Menurut Sophia Hage (DW, 2016), direktur kampanye di Lentera Sintas, ada
stigma sosial bahwa isu kekerasan seksual merupakan isu yang tabu untuk dibicarakan.
Hal ini menjadi salah satu sinyal bahwa ketika korban berani melaporkan justru
masyarakat menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming).
Anggapan tersebut juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan Statista pada tahun
2020 tentang faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di Indonesia, yaitu perilaku
genit yang dilakukan oleh korban dan persepsi bahwa penggunaan baju yang cenderung
terbuka oleh korban dapat mendorong terjadinya perilaku pelecehan. Melalui data
tersebut, terlihat bahwa masih adanya budaya victim-blaming yang dilakukan oleh
masyarakat Indonesia.
Kekerasan seksual bukanlah masalah yang hanya dapat dipahami dari penyebab
dan penanganannya, tetapi perlu juga untuk kita mengerti tantangan yang ada dalam
penanganannya. Berikut ini beberapa penyebab kurangnya pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual di kampus:

4. Mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual.


Penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk. (2021) mengungkapkan bahwa sebagian
besar mahasiswa masih berada pada tahap awal dalam kesadaran dan pemikiran kritis
akan isu kekerasan seksual. Salah satu bentuk kekerasan seksual, seperti penggunaan
istilah seksis yang membuat tidak nyaman dan memberi komentar terhadap orang dengan
istilah seksual yang merendahkan, masih cenderung mudah diabaikan atau kurang
dipahami oleh mahasiswa (Alpian, 2022). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Rusyidi dkk. pada tahun 2019 (dalam Alpian 2022), terdapat lima bentuk perilaku
pelecehan seksual yang masih kurang dipahami oleh mahasiswa, yakni bergurau dengan
menggunakan istilah-istilah seksis yang membuat tidak nyaman, memaksa seseorang
menonton tayangan pornografi, memberi komentar terhadap seseorang dengan istilah
seksual yang merendahkan, melakukan masturbasi di hadapan orang lain, dan tatapan
tidak diinginkan ke wilayah kelamin pria. Hal ini mengakibatkan rendahnya potensi
mahasiswa untuk melakukan critical reflection, political efficacy, dan critical action untuk
menghadapi isu kekerasan seksual. Kasus yang lumrah terjadi adalah korban yang tidak
menyadari atau bingung dengan kondisi yang dialaminya tergolong dalam kasus
kekerasan seksual atau bukan (Munir, 2021).

5. Minimnya laporan atas kekerasan seksual.


Fenomena ini akrab disebut dengan istilah fenomena gunung es (iceberg
phenomenon), yakni kasus yang ada di permukaan belum tentu mencerminkan jumlah
kasus sebenarnya yang terjadi karena dapat dipastikan masih banyak kasus yang tidak
terlaporkan atau diadvokasi oleh pihak kampus (BEM BIMA FIKOM UNPAD, 2020).
Dengan demikian, data yang ada cenderung terbatas pada data yang memang dilaporkan
oleh korban pada pihak-pihak tertentu yang menangani kasus kekerasan seksual
(Salampessy dalam VOI, 2021).

6. Pihak kampus yang menutupi kasus kekerasan seksual.


Penelitian yang dilakukan Fitri dkk. (2021) pun mengungkapkan beberapa kasus
atau kejadian kekerasan seksual di kampus, tetapi kasus yang ada cenderung ditutup-
tutupi oleh pihak kampus. Alasan utamanya adalah untuk mempertahankan reputasi yang
dimiliki oleh kampus. Di Indonesia, tendensi suatu institusi melakukan hal tersebut
cenderung dipengaruhi oleh aspek agama dan budaya (Istiadah, dkk., 2020). Alhasil,
institusi tersebut pun cenderung menunjukkan support yang terbatas dan korban pun
cenderung termotivasi untuk diam agar dapat melindungi dirinya dan institusinya. Hal ini
memunculkan kemungkinan terbentuknya kepercayaan atau pola pikir warga kampus
bahwa kekerasan seksual tidak mungkin terjadi di lingkungan kampus karena merasa
bahwa lingkungan tersebut sudah dinilai aman. Akan tetapi, lingkungan kampus yang
justru menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual (Nurmila dalam Dianti, 2021).

Apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual?

Kekerasan seksual adalah semua tindakan seksual, percobaan tindakan seksual, ajakan
tindakan seksual, dan/atau ancaman tindakan seksual, termasuk merendahkan,
menghina, menyerang dan/atau perbuatan lainnya, terhadap tubuh, seksualitas,
identitas gender, dan/atau ekspresi gender seseorang, yang dilakukan secara paksa
karena bertentangan dengan kehendak/keinginan setidaknya salah satu pihak atau
ketidakmampuan salah satu pihak memberikan persetujuan dalam keadaan bebas
karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau
berpotensi mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, dan/atau
seksual, serta kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Ada dua konsep penting yang perlu digarisbawahi dan dipahami dari definisi di atas,
yaitu konsep identitas gender dan persetujuan.

Identitas gender berkaitan dengan persepsi seseorang mengenai gendernya. Identitas


gender tidak bisa dipahami secara hitam putih - perempuan atau laki-laki, karena dalam
banyak kasus, seseorang membentuk dan memahami identitas gendernya berdasarkan
hal-hal mana yang sesuai dengan imaji dan persepsi diri. Dengan kata lain, selain
perempuan dan laki-laki, sebenarnya ada situasi di mana seseorang bisa saja
membayangkan dirinya secara bersamaan sebagai perempuan dan laki-laki.
Selain itu, identitas gender tidak selamanya linear atau berhimpitan dengan jenis
kelamin secara biologis, melainkan juga berkaitan dengan ekspresi gender yang
ditunjukkan lewat perilaku, sikap, cara berpakaian, dan bentuk ekspresi lainnya, maupun
orientasi seksual yang menunjukkan ketertarikan romantis dan/atau seksual terhadap
lawan jenis (heteroseksual) atau sesama jenis (homoseksual).

Persetujuan (consent) merupakan syarat utama dalam setiap hubungan inter-personal,


termasuk hubungan romantis dan seksual. Tanpa persetujuan, sebuah perbuatan
tertentu dapat dikatakan dilakukan dengan paksaan.
Tanpa persetujuan pihak-pihak yang terlibat, sebuah aktivitas seksual dapat
diklasifikasikan sebagai kekerasan seksual. Ada beberapa prinsip terkait
persetujuan yang perlu digarisbawahi:
Diberikan oleh orang dewasa - jika tindakan seksual dilakukan terhadap anak-anak,
maka tindakan tersebut jelas termasuk dalam kekerasan seksual karena anak-anak
dianggap belum memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan. Di Indonesia, UU
Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa yang
disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
Dinyatakan secara jelas, bukan asumsi - persetujuan dan pertanyaan untuk meminta
persetujuan harus dinyatakan secara verbal dengan jelas. Persetujuan tidak boleh
diasumsikan dari gestur tubuh, penampilan, maupun ekspreis no-verbal lainnya. Diam
maupun ketiadaan perlawanan juga bukan ekspresi persetujuan.
DIberikan tanpa paksaan dalam kondisi sepenuhnya sadar - persetujuan untuk
terlibat dalam tindak seksual harus diberikan secara sukarela. Persetujuan tidak
bermakna jika salah satu pihak berada di bawah tekanan atau paksaan, atau sedang
berada dalam kondisi tidak sadar, seperti sedang tidur, pingsan, atau mabuk.
Tekanan atau paksaan dapat berupa intimidasi maupun ancaman secara fisik, psikis,
emosional, bahkan ekonomi. Dalam konteks kampus, tekanan untuk terlibat dalam
tindak seksual juga muncul ketika relasi kuasa yang timpang antara dosenmahasiswa, atasan-
bawahan, atau senior-yunior menghasilkan situasi quid pro quo
atau situasi di mana seseorang "terpaksa" menyetujui melakukan atau dikenai
tindakan seksual tertentu guna menyelamatkan status pekerjaannya, nilai dan
capaian akademiknya, realsi pertemanannya, dsb.

Spesifik - persetujuan untuk satu tindakan seksual bukan berarti persetujuan untuk
tindakan lainnya. Setuju untuk bergandengan tangan, tidak berarti setuju untuk
dipeluk dan dicium.
Tidak berlaku selamanya dan dapat ditarik kembali - persetujuan dapat ditarik
kembali oleh kedua belah pihak kapanpun; persetujuan untuk melakukan tindakan
seksual kemarin bukan berarti persetujuan untuk melakukannya lagi hari ini.
Terlepas dari relasi antar-pelaku - tindak seksual dalam hubungan pacaran maupun
pernikahan pun perlu mendapatkan persetujuan. Ada tidaknya sejarah hubungan di
masa lalu tidak dapat dijadikan penanda persetujuan di masa sekarang.

Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Secara spesifik, menurut Komnas Perempuan, ada 15 (lima belas) bentuk kekerasan
seksual. Dalam konteks kampus, kekerasan seksual mungkin terjadi (tetapi tidak
terbatas) dalam bentuk-bentuk berikut:

Perkosaan
Perkosaan adalah "pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis, atau
dengan jari tangan maupun benda-benda lainnya, ke vagina, anus, atau mulut korban."

Pemerkosaan dapat dilakukan bersama dengan ancaman atau tindak kekerasan


secara fisik, verbal, maupun psikis, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, atau
tipuan. Termasuk di dalam pemerkosaan adalah paksaan untuk melakukan hubungan
seksual dengan cara yang tidak disukai atau dikehendaki korban, guna memenuhi
hasrat seksual, tujuan komersil, atau lainnya.

Intimidasi Seksual, termasuk Ancaman dan Percobaan Perkosaan


Intimidasi seksual, termasuk ancaman dan percobaan perkosaan, adalah "tindakan
menyerang tubuh dan seksualitas korban untuk menimbulkan rasa takut, penderitaan
non-fisik pada korban."
Intimidasi seksual dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung - baik
dengan medium luring (offline) seperti surat dan pesan singkat, maupun daring
(online) seperti email, status media sosial, konten internet, dsb.

Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah tindakan seksual fisik maupun non-fisik yang dilakukan
tanpa persetujuan yang menyasar tubuh, seksualitas, identitas gender, dan/atau
ekspresi gender seseorang sehingga mengakibatkan perasaan tidak nyaman,
terintimidasi, terhina, direndahkan martabatnya, dipermalukan dan mungkin sampai
menyebabkan masalah kesehatan dan mengancam keselamatan seseorang.

Pelecehan seksual secara fisik biasanya terdiri colekan atau sentuhan di bagian
tubuh dengan muatan seksual, seperti menyentuh, meraba, mencubit, memeluk,
menepuk, mencium, membelai, memijat, menggesekkan alat kelamin, yang dilakukan
tanpa persetujuan korban sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung,
merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah
kesehatan dan mengancam keselamatan seseorang.

Pelecehan seksual secara non-fisik biasanya terdiri dan ekspresi lisan dan non-lisan
dengan muatan seksual yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung
dengan medium luring (offline) atau daring (online) yang dilakukan tanpa persetujuan
korban sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan
martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan mengancam
keselematan seseorang. Pelecehan seksual secara non-fisik dapat bersifat lisan
maupun non-lisan, dengan bentuk-bentuk seperti berikut :

Gambar 2. Pelecehan seksual lisan dan non-lisan


Eksploitasi Seksual
Eksploitasi seksual adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kepercayaan,
penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan/atau penggunaan tipu daya
atau rangkaian kebohongan agar seseorang melakukan hubungan seksual atau
tindakan lain yang bertujuan memenuhi hasrat seksual dengan maksud
menguntungan diri pelaku, di mana korban merasa tidak memiliki daya tawar, kecuali
dengan mengikuti kehendak pelaku.

Penyiksaan Seksual
Penyiksaan seksual adalah tindakan khusus yang menyerang tubuh dan seksualitas
korban secara sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan, baik
secara fisik, psikis, dan/atau seksual, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan
dari korban atau orang ketiga, menghalangi korban atau orang ketiga untuk
memberikan keterangan, menghakimi atau memberikan penghukuman atas sesuatu
perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan korban atau orang ketiga, maupun
tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi.

Pemaksaan Kontrasepsi, Kehamilan, dan Aborsi


Pemaksaan kontrasepsi mencakup upaya-upaya untuk "mengatur, menghentikan,
dan/atau merusak organ, fungsi, dan/atau sistem reproduksi biologis seseorang
dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
dan/atau penyalahgunaan kekuasaan sehingga orang tersebut tidak dapat
melanjutkan keturunan dan/atau kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi, dan/atau
sistem reproduksinya,"

Pemaksaan kehamilan mencakup upaya-upaya pemaksaan terhadap perempuan


untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dikehendakinya dengan kekerasan maupun
ancaman kekerasan.

Pemaksaan aborsi mencakup upaya-upaya untuk menghentikan kehamilan secara


paksa dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
atau penyalahgunaan kekuasaan.

Upaya Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Dalam upayanya untuk penghapusan kekerasan seksual di kampus, Universitas Gadjah


Madha telah mengeluarkan panduan khusus penanganan kekerasan seksual. Panduan ini
terdiri dari penanganan dan pencegahan. Pada tulisan ini kita hanya akan menfokuskan pada
mekanisme penanganan khususnya mekanisme pendampingan dan pemulihan.

Dalam Panduan ini, pendamping yang boleh memberikan layanan pendampingan dan
pemulihan adalah orang-orang terlatih yang berperspektif adil gender yang siap
mendampingi, mendengarkan, menguatkan, membantu, dan memberdayakan penyintas
dalam mencari penyelesaian atas kasus kekerasan seksual yang ia alami. Misalnya,
konselor, pendamping psikososial, dan psikolog untuk pendampingan psikologis;
dokter, psikiater, perawat, dan tenaga medis lainnya untuk pendampingan medis;
konselor hukum dan pengacara untuk pendampingan hukum; atau dosen dan konselor
pendidikan untuk pendampingan akademik

Dalam banyak kasus, keberhasilan pendampingan dan pemulihan juga turut ditentukan
oleh keberadaan support system di sekeliling penyintas yang terdiri dari orang-orang
yang memiliki empati kepada penyintas kekerasan seksual, yang terpanggil untuk turut
mendampingi dan membantu penyintas sepanjang proses penanganan kasus hingga
pulih. Support system yang dimaksud dapat berupa teman sebaya (peers), rekan kerja,
dosen, dosen pembimbing, asisten dosen, tenaga kependidikan, petugas keamanan,
anggota keluarga, dsb.

Mekanisme Pendampingan dan Pemulihan Medis

Layanan pendampingan dan pemulihan medis diberikan pada penyintas yang


memerlukan pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis, baik ketika penyintas
pertama kali melaporkan kasusnya maupun ketika penyintas perlu memulihkan luka
fisik yang diderita selama proses penanganan kasus berlangsung, baik dengan rawat
inap maupun rawat jalan. Selain itu, layanan medis juga diperlukan ketika penyintas
ingin melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh dan/atau visum et repertum untuk
keperluan penanganan kasus.

Di Yogyakarta, penyintas kekerasan dibebaskan dari biaya untuk pemeriksaan


kesehatan melalui dua mekanisme: asuransi BPJS atau Surat Keabsahan Peserta (SKP)
yang dapat dimintakan penyintas yang tak memiliki BPJS pada Forum Perlindungan
Korban Kekerasan (FPKK) dan/atau Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat
(BPP) DI Yogyakarta. SKP dapat dipakai untuk melakukan pemeriksaan gratis dalam
jangka waktu 1 x 24 jam, atau 3 x 24 jam untuk RS Sardjito.
Namun yang belum kita ketahui adalah bagaimana jika hal ini diterapkan di Bengkulu.

Karena FCC tidak memiliki fasilitas medis, maka penyintas yang membutuhkan layanan
tersebut akan dirujuk ke lembaga pengada layanan mitra baik yang berada di dalam
atau di luar lingkungan Universitas Gadjah Mada.

Mekanisme Layanan Pendampingan dan Pemulihan Psikologis

Layanan pendampingan dan pemulihan psikologis diberikan pada penyintas yang


memerlukan intervensi psikososial oleh konselor yang bersertifikat, psikolog klinis,
dan/atau psikiater, baik ketika penyintas melaporkan kasusnya untuk pertama kali
maupun ketika penyintas perlu memulihkan luka psikis yang diderita selama proses
penanganan kasus berlangsung. Selain itu, layanan psikologis juga diperlukan ketika
penyintas ingin melakukan pemeriksaan psikologis dan/atau visum et psikiatrikum
untuk keperluan penanganan kasus. Target dari upaya pendampingan dan pemulihan
psikologis adalah membuat penyintas berdaya dalam mengelola dirinya sendiri.
Namun, aktivitas-aktivitas pendampingan psikologis biasanya dilakukan di waktu yang
berbeda dengan intervensi psikologis untuk pemulihan.

Pendampingan psikologis yang diberikan pada penyintas saat yang bersangkutan


melaporkan kasusnya kepada FCC untuk pertama kali merupakan sesi konseling
yang mengikuti alur berikut:

Gambar 3. Alur Konseling

Pendampingan psikologis juga mencakup upaya-upaya untuk memberi tahu penyintas


dan/atau saksi mengenai alternatif-alternatif penyelesaian apa yang dapat diambil
beserta konsekuensi apa yang mungkin akan timbul, termasuk konsekuensi
psikologisnya. Jika penyintas memilih penyelesaian hukum, maka pendamping juga
harus mempersiapkan kondisi psikologis penyintas dalam menghadapi proses hukum.

Berikut beberapa hal yang biasanya dilakukan pendamping dan support system untuk
mendukung penyintas:

Pastikan bahwa penyintas aman – support system harus memastikan penyintas


berada di ruang yang aman dan nyaman untuk bercerita tentang kondisinya.
Jelaskan tentang batas kerahasiaan – menjaga kerahasiaan penting dalam proses
komunikasi dengan penyintas, namun kerahasiaan bersifat terbatas. Pendamping
atau support system harus bisa mengenali kapan mereka perlu bercerita
mengenai kondisi penyintas kepada orang lain. Misalnya, ketika penyintas dalam
kondisi terancam keselamatannya maka pendamping atau support system
diwajibkan untuk bercerita dan mencari bantuan. Batas kerahasiaan dapat
dikatakan, misalnya, dengan cara berikut:
“Semua yang kamu katakan bersifat rahasia kecuali jika aku merasa bahwa keamananmu atau
keamanan orang lain terancam. Jika itu terjadi, aku mungkin perlu untuk bicara dengan orang lain di
kampus untuk memastikan aku bisa membantumu semaksimal mungkin dan memenuhi
tanggungjawabku.”

Tanyakan tentang keinginan penyintas – pendamping atau support system harus


menanyai dan memastikan persetujuan penyintas sebelum melanjutkan proses dan
merencanakan tindak lanjut.
Dengarkan dengan empatik, tanpa menghakimi, dan tunjukkan sikap penerimaan –
ketika mendengar penyintas bercerita tentang pengalaman kekerasan seksual yang
pernah dialaminya, maka:
a) dengarkan ceritanya dengan serius;
b) hargai pengalaman penyintas;
c) pahami bahwa penyintas kekerasan seksual dalam bentuk apapun berhak
menerima dukungan yang sama;
d) bebaskan penyintas untuk menentukan ritme interaksi—kapan berbicara, kapan
diam, biarkan penyintas berbicara tanpa arahan, tanpa intervensi;
e) sadari bahwa proses bercerita bisa jadi menimbulkan trauma sehingga membatasi
kemampuan penyintas dalam mengingat kekerasan yang dialaminya, namun hal ini
tidak menghilangkan validitas pernyataan penyintas;
f) dengarkan penyintas dengan aktif dan perhatikan bias diri sendiri dalam respon
yang diberikan;
g) dengarkan klaim dan tuntutan penyintas, hindari mengeluarkan pernyataan yang
menyerang atau mencegah penyintas untuk bercerita lebih lanjut, seperti pertanyaan
“Mengapa?” atau pertanyaan lain yang terkesan menghakimi atau menyalahkan
penyintas;
h) dengarkan apapun cerita yang diberikan penyintas, jangan paksa penyintas
bercerita hal-hal spesifik terkait kekerasan yang dialami karena berpotensi
menimbulkan trauma baru;
i) hindari membicarakan topik di luar cerita penyintas kecuali atas permintaan
penyintas sendiri;
j) hindari respon-respon yang mendramatisasi kejadian karena berpotensi membuat
penyintas merasa terbeban dan takut membebani orang lain;
k) hindari berkomentar buruk tentang pelaku karena komentar negatif berpotensi
membuat penyintas terlalu fokus pada pelaku dan menghalangi dirinya untuk
meminta bantuan;
l) biarkan penyintas memutuskan terkait perasaannya atas kejadiaan kekerasan yang
dialami.

Petakan bantuan – pastikan pada penyintas bantuan selalu tersedia serta bantu
penyintas memetakan serta menentukan bantuan-bantuan yang akan diakses.

Lanjutkan dan jaga diri – setelah penyintas bersedia mengakses bantuan, pastikan ada
keberlanjutan relasi dan interaksi—jangan ubah sikap terhadap penyintas dan jangan lupa
perhatikan diri sendiri. Membantu penyintas kekerasan seksual untuk mengakses penanganan
dan memulihkan diri memang pekerjaan yang seharusnya dilakukan bersama-sama.
Karenanya, jangan ragu untuk meminta bantuan kepada lembaga profesional maupun support
system lainnya.

Mekanisme Layanan Pendampingan dan Pemulihan Hukum

Pendampingan hukum diberikan bagi penyintas yang ingin menyelesaikan kasusnya


melalui jalur hukum. Layanan ini bertujuan menyiapkan penyintas untuk mencari keadilan
melalui jalur hukum, salah satunya dengan cara memberikan gambaran yang lebih utuh
mengenai proses hukum yang akan dijalani penyintas atau dengan memberikan bantuan
hukum.

Pendamping hukum tidak harus memiliki gelar yang diperoleh dari pendidikan hukum
formal. Pendampingan hukum juga bisa dilakukan oleh “paralegal” atau orang-orang
yang memiliki pengetahuan informal tentang hukum dan proses hukum.

Gambar 4. Alur proses hukum dan proses di kepolisian

Selama proses di atas, berikut pendampingan hukum yang perlu diberikan:


 Memberikan informasi mengenai tahapan proses hukum, mekanisme hukum, dan
konsekuensi dari proses hukum;
Memberikan informasi mengenai proses persidangan, termasuk memberi briefing
mendetail tentang bagaimana proses persidangan akan berlangsung;
Memantau proses perkembangan kasus dalam masing-masing tahap proses hukum;
Melakukan assessment terhadap potensi keberhasilan mekanisme penyelesaian
hukum bagi kasus yang sedang ditangani. Jika potensi keberhasilannya kecil, maka
pendamping wajib memberitahu penyintas dan/atau support system-nya tentang
kesulitan-kesulitan yang akan ditemui sekaligus konsekuensinya;
Melakukan pendekatan kepada penyidik, jaksa, dan hakim guna mengadvokasi
kasus yang ditangani;
Memberi informasi-informasi khusus, seperti: jika penyintas difabel, maka ancaman
hukuman dapat ditambah hingga 1/3 masa hukuman; catatan psikologis dapat
digunakan sebagai bukti pendukung karena catatan psikologis dapat menunjukkan
dampak yang dialami penyintas beserta kerentanannya;
Jika perkara akhirnya diselesaikan ke proses di luar peradilan pidana (diversi), maka
pendamping wajib memastikan terpenuhinya rasa keadilan penyintas;
Memberi bantuan hukum.

Mekanisme Layanan Pendampingan Akademik

FCC harus mengoordinir pemberian layanan pendampingan akademik bagi penyintas


yang masih menjadi mahasiswa aktif di FISIPOL UGM dan membutuhkan bantuan guna
menyelesaikan studinya dengan memuaskan. Karenanya, FCC perlu bekerjasama
dengan Pengurus Departemen atau Program Studi yang terkait, Dosen
Pembimbing Akademik (DPA), atau dosen pembimbing penyintas.

Gambar 5. Alur pendampingan akademik

Berikut beberapa bentuk pendampingan akademik yang bisa dilakukan:


 melakukan konseling terkait permasalahan akademik yang dialami penyintas;
 menyediakan pendamping akademik yang berusia sebaya;
 mendukung dan menyediakan mekanisme agar penyintas dapat mengikuti proses
belajar mengajar dari tempat yang aman dan nyaman, serta tidak mengancam
keselamatan dirinya;
memberi keringanan atau menanggung semua biaya kuliah yang diperlukan
penyintas karena yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan masa studi tepat
waktu;
bantuan akademik terkait keterlambatan pengumpulan tugas, penundaan
pengerjaan tugas akhir, penundaan ujian, pembatalan KRS, maupun situasi serupa
lainnya yang terjadi karena penyintas masih menjalani proses penanganan dan
penyelesaian kasus kekerasan yang dialami;
bantuan akademik berupa sesi-sesi diskusi yang lebih ramah penyintas dengan
dosen pembimbing;
pemakluman bagi penyintas yang mendapatkan beasiswa berbasis IPK, jika IPKnya
menurun karena kasus kekerasan yang dialami;
jika diperlukan, bantuan proses pindah (transfer) ke universitas lain.

You might also like