Professional Documents
Culture Documents
Studi Kasus Pelecehan Seksual - Mela Emsiana
Studi Kasus Pelecehan Seksual - Mela Emsiana
“Benar bahwa kami telah menerima laporan kekerasan seksual secara kolektif dan
berturut-turut pada 26 September 2022 dan 5 Oktober 2022,” demikian kutipan dari rilis
Komahi.
"Lagi ditangani fakultas, Fisipol. Kami serahkan mereka dan sedang ditangani," kata
Arie kepada wartawan, Selasa (11/10/2022).
Kendati penanganan ada di fakultas, Arie memastikan universitas tidak lepas tangan.
Kampus tetap akan melakukan pendampingan, apalagi korban diduga lebih dari satu orang.
Pelaku kini sudah dicabut keanggotaannya dari Komahi. Organisasi ini juga telah
melalor ke Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Saat ini kasus
ditangani oleh Fisipol Crisis Center (FCC). Menurut perwakilan FCC, jumlah korban lebih
dari satu.
Kasus ini menjadi obrolan panas mahasiswa UGM di media sosial. Pelaku diduga
kuat adalah mahasiswa angkatan 2022 yang cukup dikenal sebagai mahasiswa teladan. Yang
menarik, obrolan ini diselipi imbauan (diduga) dari sesama mahasiswa, agar tidak
mengunggah foto pelaku dan membicarakan kronologi karena dikhawatirkan akan terlihat
oleh korban lalu memicu trauma.
Hal lain yang patut disorot, Fisipol UGM adalah salah satu dari sedikit tempat di
perguruan tinggi Indonesia yang punya panduan pelaporan, penanganan, dan pencegahan
kekerasan seksual oleh dan/atau terhadap warga kampus. Isinya jelas, dilengkapi keterangan
prosedur yang praktis, dan berpusat pada kebutuhan korban.
Kasus pemerkosaan mahasiswa dengan nama samaran Agni itu diangkat pertama kali
oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM. Agni, mahasiswi
Fisipol angkatan 2014, diperkosa oleh teman satu timnya, seorang mahasiswa Fakultas
Teknik UGM berinisial HS, saat menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram,
Maluku, pada Agustus 2017.
Gambar 1. Rilis Pernyataan Sikap dari Komahi UGM
Ditanya jumlah korban, Arie mengatakan korban saat ini ada lebih dari satu, meski
pihaknya juga belum bisa mengonfirmasi berapa angka yang tepat.
“FCC masih membuka laporan karena adanya kemungkinan korban lain yang belum
melapor. Pelecehan dilakukan di tempat berbeda, tapi sebagian besar di luar kampus,”
terangnya.
Arie turut mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan lembaga lain di UGM,
seperti DIHI dan Unit Layanan Terpadu (ULT) untuk mengusut kasus ini secara tuntas.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Divisi Penanganan dan Pelaporan Fisipol Crisis
Center (FCC) UGM, Arie Eka Junia mengatakan, pihaknya sudah menerima laporan resmi
penyintas kekerasan seksual.
FCC menerima laporan pada pekan lalu dan berjanji akan menindaklanjuti laporan
kekerasan seksual tersebut.
Kekerasan tersebut, kata dia, berupa sentuhan yang tidak diinginkan dan sexting
(mengirim pesan berbau seks).
Sebelum diberitakan Balairung, kasus ini sudah menjadi gosip di antara mahasiswa.
Dirilisnya kisah Agni mengundang kemarahan mahasiswa. Pasalnya, meski sudah melapor ke
kampus, nasib Agni justru terkatung-katung. Lebih dari itu, kampus justru cenderung
melindungi pelaku dan menyalahkan korban.
Tapi usai demonstrasi yang dipicu kisah Agni, tak serta-merta UGM merilis panduan
penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban. Jalan berliku dihadapi mahasiswa
kampus ini hingga akhirnya lembaga seperti FCC beserta panduan kerja mereka bisa lahir.
Kejadian pelecehan seksual di kampus UGM bukan hanya terjadi pada tahun 2022 saja
namun tahun sebelumnya juga ada.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, termasuk dalam lingkup pendidikan. Di
antara berbagai jenjang pendidikan, perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal
terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021 (Komnas Perempuan,
2021). Sebagai kota pelajar di Indonesia, Yogyakarta memiliki track-record yang
mengkhawatirkan terkait kekerasan seksual. Dilansir dari Warga Jogja Net (2021), angka
kekerasan seksual yang diterima LBH Yogyakarta sejak Maret 2020 hingga April 2021
sebanyak 42 kasus dan LSM Rifka Annisa WCC, sejak Januari-April 2021, juga menerima
aduan kekerasan seksual sebanyak 350 kasus yang terjadi di DIY. Data tersebut tidak serta
merta menjadi data keseluruhan kekerasan seksual yang terjadi karena, berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek pada tahun 2020 di 29 kota pada 79 kampus,
terdapat 63% kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan semata-mata untuk tetap
menjaga nama baik kampus (VOA Indonesia, 2022). Bagaimana masyarakat dan pemerintah
menyikapi keadaan ini menjadi pertanyaan yang perlu menjadi perhatian kita untuk
menyelesaikan masalah kekerasan seksual.
Penyebab
Menurut pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), kekerasan seksual dapat terjadi
karena adanya variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan.
Jika ketiga variabel tersebut disatukan, maka dapat menimbulkan suatu intensi terjadinya
kasus kekerasan seksual. Apabila salah satu dari ketiganya ada yang tidak muncul, maka
tindak kekerasan seksual tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terdapat beberapa penyebab
terjadinya kasus kekerasan seksual di kampus, yakni sebagai berikut:
2. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual
Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di
perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi
dibanding korban. Salah satu kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah kasus yang
dialami Ritika, tentu bukan nama sebenarnya, yang mendapat perbuatan tidak senonoh
dosen pembimbingnya di taksi online yang mereka tumpangi setelah membicarakan ujian
susulan pada Desember 2019 (Ferdianto, 2021). Adanya relasi kuasa yang timpang
antara pelaku dan korban kekerasan seksual membuat korban memiliki ketakutan untuk
melapor (Elindawati, 2021).
Kekerasan seksual adalah semua tindakan seksual, percobaan tindakan seksual, ajakan
tindakan seksual, dan/atau ancaman tindakan seksual, termasuk merendahkan,
menghina, menyerang dan/atau perbuatan lainnya, terhadap tubuh, seksualitas,
identitas gender, dan/atau ekspresi gender seseorang, yang dilakukan secara paksa
karena bertentangan dengan kehendak/keinginan setidaknya salah satu pihak atau
ketidakmampuan salah satu pihak memberikan persetujuan dalam keadaan bebas
karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau
berpotensi mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, dan/atau
seksual, serta kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Ada dua konsep penting yang perlu digarisbawahi dan dipahami dari definisi di atas,
yaitu konsep identitas gender dan persetujuan.
Spesifik - persetujuan untuk satu tindakan seksual bukan berarti persetujuan untuk
tindakan lainnya. Setuju untuk bergandengan tangan, tidak berarti setuju untuk
dipeluk dan dicium.
Tidak berlaku selamanya dan dapat ditarik kembali - persetujuan dapat ditarik
kembali oleh kedua belah pihak kapanpun; persetujuan untuk melakukan tindakan
seksual kemarin bukan berarti persetujuan untuk melakukannya lagi hari ini.
Terlepas dari relasi antar-pelaku - tindak seksual dalam hubungan pacaran maupun
pernikahan pun perlu mendapatkan persetujuan. Ada tidaknya sejarah hubungan di
masa lalu tidak dapat dijadikan penanda persetujuan di masa sekarang.
Secara spesifik, menurut Komnas Perempuan, ada 15 (lima belas) bentuk kekerasan
seksual. Dalam konteks kampus, kekerasan seksual mungkin terjadi (tetapi tidak
terbatas) dalam bentuk-bentuk berikut:
Perkosaan
Perkosaan adalah "pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis, atau
dengan jari tangan maupun benda-benda lainnya, ke vagina, anus, atau mulut korban."
Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah tindakan seksual fisik maupun non-fisik yang dilakukan
tanpa persetujuan yang menyasar tubuh, seksualitas, identitas gender, dan/atau
ekspresi gender seseorang sehingga mengakibatkan perasaan tidak nyaman,
terintimidasi, terhina, direndahkan martabatnya, dipermalukan dan mungkin sampai
menyebabkan masalah kesehatan dan mengancam keselamatan seseorang.
Pelecehan seksual secara fisik biasanya terdiri colekan atau sentuhan di bagian
tubuh dengan muatan seksual, seperti menyentuh, meraba, mencubit, memeluk,
menepuk, mencium, membelai, memijat, menggesekkan alat kelamin, yang dilakukan
tanpa persetujuan korban sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung,
merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah
kesehatan dan mengancam keselamatan seseorang.
Pelecehan seksual secara non-fisik biasanya terdiri dan ekspresi lisan dan non-lisan
dengan muatan seksual yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung
dengan medium luring (offline) atau daring (online) yang dilakukan tanpa persetujuan
korban sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan
martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan mengancam
keselematan seseorang. Pelecehan seksual secara non-fisik dapat bersifat lisan
maupun non-lisan, dengan bentuk-bentuk seperti berikut :
Penyiksaan Seksual
Penyiksaan seksual adalah tindakan khusus yang menyerang tubuh dan seksualitas
korban secara sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan, baik
secara fisik, psikis, dan/atau seksual, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan
dari korban atau orang ketiga, menghalangi korban atau orang ketiga untuk
memberikan keterangan, menghakimi atau memberikan penghukuman atas sesuatu
perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan korban atau orang ketiga, maupun
tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi.
Dalam Panduan ini, pendamping yang boleh memberikan layanan pendampingan dan
pemulihan adalah orang-orang terlatih yang berperspektif adil gender yang siap
mendampingi, mendengarkan, menguatkan, membantu, dan memberdayakan penyintas
dalam mencari penyelesaian atas kasus kekerasan seksual yang ia alami. Misalnya,
konselor, pendamping psikososial, dan psikolog untuk pendampingan psikologis;
dokter, psikiater, perawat, dan tenaga medis lainnya untuk pendampingan medis;
konselor hukum dan pengacara untuk pendampingan hukum; atau dosen dan konselor
pendidikan untuk pendampingan akademik
Dalam banyak kasus, keberhasilan pendampingan dan pemulihan juga turut ditentukan
oleh keberadaan support system di sekeliling penyintas yang terdiri dari orang-orang
yang memiliki empati kepada penyintas kekerasan seksual, yang terpanggil untuk turut
mendampingi dan membantu penyintas sepanjang proses penanganan kasus hingga
pulih. Support system yang dimaksud dapat berupa teman sebaya (peers), rekan kerja,
dosen, dosen pembimbing, asisten dosen, tenaga kependidikan, petugas keamanan,
anggota keluarga, dsb.
Karena FCC tidak memiliki fasilitas medis, maka penyintas yang membutuhkan layanan
tersebut akan dirujuk ke lembaga pengada layanan mitra baik yang berada di dalam
atau di luar lingkungan Universitas Gadjah Mada.
Berikut beberapa hal yang biasanya dilakukan pendamping dan support system untuk
mendukung penyintas:
Petakan bantuan – pastikan pada penyintas bantuan selalu tersedia serta bantu
penyintas memetakan serta menentukan bantuan-bantuan yang akan diakses.
Lanjutkan dan jaga diri – setelah penyintas bersedia mengakses bantuan, pastikan ada
keberlanjutan relasi dan interaksi—jangan ubah sikap terhadap penyintas dan jangan lupa
perhatikan diri sendiri. Membantu penyintas kekerasan seksual untuk mengakses penanganan
dan memulihkan diri memang pekerjaan yang seharusnya dilakukan bersama-sama.
Karenanya, jangan ragu untuk meminta bantuan kepada lembaga profesional maupun support
system lainnya.
Pendamping hukum tidak harus memiliki gelar yang diperoleh dari pendidikan hukum
formal. Pendampingan hukum juga bisa dilakukan oleh “paralegal” atau orang-orang
yang memiliki pengetahuan informal tentang hukum dan proses hukum.