Professional Documents
Culture Documents
Ruang Lingkup Hukum Islam
Ruang Lingkup Hukum Islam
NPM : 41151010210047
Semester :2
Kelas : A1
NPM : 41151010210047
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. yang sudah melimpahkan
rahmat, dan kebaikan- Nya sehingga makalah ini bisa tersusun dengan baik serta tepat
waktu. Seperti yang sudah kita tahu“Hukum Islam” itu sangat berperan dan berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Maka dalam makalah ini kita dapat memahami
bagaimana Ruang Lingkup Hukum Islam itu.
Semoga dengan mempelajarinya dapat menambah pengetahuan kita jadi lebih luas lagi.
Masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini, kritik dan saran serta anjuran yang
sifatnya membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu HANA KRISNAMURTI, S.H., M.H. sebagai
Dosen Pengampu mata kuliah Hukum Islam dan kepada pihak yang sudah menolong turut
dan dalam penyelesaian makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan
banyak terima kasih
19 Mei 2022
1. Latar Belakang
Secara dalam arti sempit Hukum diartikan sebagai perintah dan larangan untuk
melakukan dan tidak melakukan suatu hal yang karenanya melahirkan hak dan kewajiban
bagi setiap masyarakat hukum, deskripsi hukum dalam lingkup Islam di Indonesia yang
disebut hukum Islam yang merupakan terjemahan dari kata syariat dan fikih, sebagaimana
kalangan ahli hukum Barat menyebut syariat dengan sebutan Islamic Law dan fikih dengan
Islamic Jurisprudance.
Syariat bersifat luas ia mencakup seluruh tatanan nilai dan norma dalam
kehidupan Islam yang menyangkut keimanan atau akidah yang benar, amal perbuatan
manusia, maupun akhlak yang menggambarkan keseluruhan tatanan norma ajaran Islam.
Fikih merupakan penafsiran terhadap syariat, khususnya mengenai amal perbuatan manusia
yang bersumber dari dalil-dalil terperinci dari al-Qur’an dan hadis yang kemudian
dirumuskan dalam hukum-hukum, seperti wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Hukum
Islam adalah segala macam ketentuan atau ketetapan mengenai sesuatu hal yang telah diatur
dan ditetapkan oleh agama Islam yang berisi perintah dan larangan untuk berbuat atau tidak
berbuat dan jika dilanggar telah ditetapkan sanksinya.
2. Rumusan Masalah
Jinayat adalah suatu hukum terhadap bentuk perbuatan kejahatan yang berkaitan dengan
pembunuhan, perzinahan, menuduh zina, pencurian, mabuk, dan berbuatan-perbuatan
kejahatan lainnya di wilayah berlakunya.
3. Tujuan penelitian
1. Mengetahui dan memahami Jinayat
2. Memahami dan mengaplikasikan
BAB III
OBJEK PENELITIAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hukum Islam di Indonesia utamanya terdapat di provinsi Aceh. Aceh telah melahirkan sebuah KUHP
versi Aceh yang lumrah disebut Qanun Jinayat Aceh pada 2014 silam, di tengah pembicaraan
tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Nasional. Sebagai bagian dari
wilayah Indonesia, keadaan demikian menimbulkan polemik terjadinya perbedaan (dualisme)
hukum antara Aceh dan wilayah lain di Indonesia dalam menanggulangi kejahatan.
Dinamika pemidanaan itulah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Penelitian ini
menunjukkan adanya keunikan dalam Qanun Jinayat Aceh yang patut dijadikan stimulus
bagi pembangunan hukum pidana nasional. Di samping itu, reorientasi pemidanaan
di Aceh patut menjadi agenda lain demi terintegrasinya Aceh ke dalam sistem hukum
pidana nasional. Keistimewaan tidak harus dimaknai sebagai pembeda, melainkan
penguat bagi kesatuan sistem hukum di mana Qanun Jinayat Aceh merupakan bagian
dari sub-sistem hukum pidana tersebut.
Qanun Jinayat
Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi
Aceh. pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang.
Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan
Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umunya
fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut
syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan
sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan
yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan
ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’
yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Jarimah
adalah perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam yang di ancam dengan berbagai hukuman.
Jarimah berasal dari bahasa Arab جریمةyang berarti perbuatan dosadan atau tindak pidana.
Dalam terminologi hukum Islam, jarimahdiartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh menurut syaradan ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam bentuk
sanksi-sanksiyang sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum
jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta'zi> r).1Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan yang
dianggap sebagai tindak pidana, apabila bertentangan dengan undang-undang dan diancam
dengan hukuman. Apabila perbuatan itu tidak bertentangan dengan
hukum (undang-undang), artinya hukum tidak melarangnya dan tidak ada
hukumannya dalam undang-undang maka perbuatan itu tidak dianggap
sebagai tindak pidana
BAB IV
PEMBAHASAN
1. JINAYAT DI INDONESIA (Aceh)
Syari’at Islam merupakan bentuk keistimewaan Aceh yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Manifestasi syari’at Islam antara lain ditetapkannya hukum jinayat,
yang diatur dalam qanun Aceh.
Namun, penerapan hukum jinayat mendapatkan kritikan dari pegiat HAM yang menilai
substansi dari qanun tersebut bertentangan dengan aturan lebih tinggi, dan mendiskriminasi
hak warga. Tulisan ini mengkaji implikasi pengesahan qanun tentang hukum jinayat
dikaitkan
dengan aspek keadilan dan HAM bagi masyarakat di Aceh dan menyoroti peran pemerintah
Aceh dalam mengaktualisasikan hukum jinayat.
Melalui metode yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, hasil kajian menunjukan
bahwa ketentuan hukum jinayat yang tertuang dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 telah
mereduksi nilai-nilai syari’at Islam sehingga diyakini sudah mengakomodir nilai HAM dan
prinsip keadilan. Dalam penegakan hukum jinayat Pemerintah Aceh bekerjasama dengan
Majelis Permusyawaratan Ulama khususnya dalam penguatan kapasitas aparat penegak
hukum. Disarankan kepada pemerintah Aceh dalam melaksanakan ketentuan jinayat agar
memperhatikan juga aturan lebih tinggi dan perlunya
sosialisasi kepada masyarakat secara berkala agar penerapan hukum jinayat
terealisasi dengan baik.
Cakupan nilai keistimewaan yang diatur dalam undang-undang tersebut mencakup 4 (empat)
hal yaitu bidang syari’at Islam, bidang adatistiadat, bidang pendidikan dan bidang peran
ulama dalam struktur pemerintahan.
Atas keberlakuan undang-undang tersebut juga berdampak atas terbentuknya beberapa
lembaga keistimewaan di Aceh seperti Dinas Syari’at Islam-Mahkamah Syar’iyah,
dan Wilayatul Hisbah (WH) dalam konteks kelembagaan syari’at Islam. Kemudian
dibentuk juga Majelis Adat Aceh (MAA) sebagai representasi lembaga adat istiadat,
Majelis Pendidikan Aceh sebagai bagian bidang pendidikan, dan Majelis Permusyawaratan
Ulama (MPU) sebagai kelembagaan ulama di Aceh.
Konsepsi pertahanan muncul karena adanya kepentingan nasional dan tujuan nasional.
Kepentingan nasional NKRI adalah tetap tegaknya NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD
1945, serta terjaminnya kelancaran dan keamanan pembangunan nasional yang
berkelanjutan guna mewujudkan tujuan pembangunan dan tujuan nasional. Sementara itu
tujuan nasional adalah tujuan yang sesuai UUD 1945, dimana membentuk
pemerintahannegaraIndonesiayangmelindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan
bangsa; serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi,dan keadilan sosial.
negara. Terwujudnya negara yang aman dan damai merupakan upaya menciptakan suatu
kondisi yang bebas dari bahaya dan segala gangguan atau ancaman baik dari dalam negeri
maupun luar negeri. Rasa aman dan damai tercermin dari keadaan tenteram, tidak ada rasa
takut ataupun khawatir, tidak terjadi konflik antar individu atau kelompok,tidak ada
kerusuhan, serta hidup rukun dalam suatu sistem hukum.
Agar kondisi tersebut dapat terwujud, harus ada aktivitas yang dilakukan oleh
pemerintahan. Aktivitas ini merupakan fungsi pemerintahan yang disebut sebagai fungsi
keamanan nasional. Dalam hal ini, keamanan nasional dapat dipahami sebagai kondisi dan
juga fungsi keamananan. Keamanan nasional sebagai fungsi bertujuan memberikan
perlindungan keamanan yang perlindungan keamanan negara, keamanan publik dan
keamanan warga negara dari segala bentuk ancaman dan atau tindakan yang dipengaruhi
faktor eksternal atau internal. Keamanan nasional sebagai kondisi merujuk pada situasi yang
bebas dari berbagai bentuk ancaman dan gangguan.
Ketika berbicara penegakan hukum, maka harus dipahami lebih dahulu apa
yang dimaksud dengan penegakan hukum dan factor yang mempengaruhi untuk
menganalisisnya. Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana
rekayasa sosial (law as a tool of social engineering).
Pada tataran hukum di Indonesia, fungsi hukum oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan
sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. Sebagai sarana untuk
mendorongpembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan
perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas
konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan
peraturan perundang-undangan itu.
Berdasarkan konsep yang telah dijelaskan diatas, dipahami bahwa Qanun Nomor 6
Tahun2014 merupakan sebuah wahana baru dalamsystem politik di Aceh yang
berorientasikansyari’at Islam.
Agar dapat dipahami dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, maka Pemerintah Aceh
dapat melakukan sosialisasi secaraberkala ke tingkat kabupaten/kota di Aceh keberlakuan
Qanun Nomor 6 Tahun 2014. Harapannya adalah agar masyarakat siap dan menerima
seluruh substansi qanundan bersama-sama pemerintah turut berperan menjaga serta
menjalankan ketentuan yang ada dalam qanun jinayat. Pemerintah Aceh, dalam hal ini
Dinas Syar’at Islam dapat berkoordinasi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
dalam melakukan sosialisasi tersebut. Serta memberikan pelatihan kepada seluruh penegak
hukum yang telah ditentukan dalam qanun agar pengetahuan dari penegak hukum dapat
terakomodir dan mampu terkordisasir secara baik dalam tahap pelaksanaan hukum jinayat
di Aceh.
BAB V
KESIMPULAN
Atas dasar kajian di atas maka disarankan kepada Pemerintah Aceh dalam melaksanakan
ketentuan hukum jinayat yang termuat dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, agar dapat
memperhatikan ketentuan yang lebih tinggi, khususnya penyesuaian aturan hukum dengan KUHP dan
KUHAP. Serta melakukan koordinasi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam
sosialisasi secara berkala kepada masyarakat, dan memberikan bimbingan, pelatihan, serta pendidikan
kepada seluruh aparat penegak hukum yang telah ditentukan dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun
2014. Sehingga penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
Daftar Pustaka
Indonesia, 2008)
1990)
Nusamedia, 2009)
business-law.binus.ac.id
uin-suska.ac.id
rechtsvinding.bphn.go.id