You are on page 1of 3

TUGAS 2

Susi Pudjiastuti menyesap kopi hitamnya santai sesaat sebelum menuju lokasi
penenggelaman 13 kapal Vietnam di perairan Pulau Datuk, Kalimantan Barat, Sabtu
(04/05). Kapal-kapal itu akan ditenggelamkan karena kedapatan menangkap ikan di
perairan Indonesia.

1. Keterkaitan antara kasus di atas dengan yurisdiksi ekstra teritorial laut adalah
Penerapan kebijakan penenggelaman kapal asing yang melakukan tindak pidana
illegal fishing di wilayah perairan Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 69 ayat
(4) Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, berdasarkan bukti permulaan yang cukup
adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana dapat berupa kapal
tersebut tidak memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Ijin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan
ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).
Kebijakan penenggelaman ini juga tidak melanggar ketentuan dalam UNCLOS 1982,
dimana negara pantai diberi kewenangan melakukan penegakan illegal fishing di
kawasan laut yang tunduk dibawah kedaulatannya.
Prosedur dilakukannya penenggelaman ada 2 yaitu Pertama, upaya memberhentikan
dan memeriksa terhadap kapal yang diduga melakukan tindak pidana illegal fishing.
Upaya ini dilakukan oleh pengawas dan/atau penyidik perikanan dengan cara
memberikan isyarat berupa suara peringatan, berhenti dan di tarik ke dermaga
terdekat untuk proses hokum melalui Pengadilan Perikanan yang berkedudukan di
pengadilan negeri. Kedua, sudah diberi isyarat, kapal itu tidak berhenti atau
melakukan perlawanan dapat dilakukan penembakan peringatan sampai kapal
ditenggelamkan. Penenggalaman kapal dapat dibenarkan tanpa terlebih dahulu
dilakukan proses hukum sepanjang peristiwa tersebut didukung minimal dua alat
bukti yang sah seperti yang tertuang dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dokumentasi,
baik berupa foto atau kamera maupun audio visual (video), begitu juga ikan hasil
tangkapan yang disisihkan, serta membuat berita acara pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal.

2. Keberlakukan yurisdiksi ekstra teritorial di wilayah pelabuhan atau laut pedalaman


adalah
Kapal yang memasuki wilayah perairan pedalaman suatu negara. Maka keadaan
kapal tersebut berada di bawah yurisdiksi negara yang bersangkutan. Sebenarnya
terhadap kapal asing itu sendiri mempunyai suatu perluasan yurisdiksi atau ekstra
yurisdiksi yang berlaku penuh di atas kapal itu sendiri. Namun dengan masuknya
kapal ke teritorial suatu negara yaitu di pelabuhan dan di perairan pedalaman, maka
yurisdiksi ekstra teritorial yang dimiliki oleh suatu kapal asing berubah menjadi
yurisdiksi semu atau dikenal dengan istilah “kuasi teritorial”. Dengan masuknya
suatu kapal asing ke perairan pedalaman suatu negara atau ke pelabuhan suatu
negara, maka di sini timbul dua yurisdiksi yang saling bertentangan kedudukannya,
yaitu negara pantai mempunyai yurisdiksi teritorial penuh sedangkan negara
bendera kapal mempunyai yurisdiksi kuasi teritorial. Dengan demikian yurisdiksi di
perairan pedalaman dan di pelabuhan, otoritas tertinggi ada pada negara pantai. Hal
yang menjadi dasar pertimbangannya yaitu kedudukan negara pantai lebih kuat
karena dapat menerapkan hukumnya. Yurisdiksi negara bendera kapal atau
yurisdiksi kuasi teritorial yang dimiliki kapal asing karena berlakunya asas ekstra
teritorial dapat diterapkan terhadap keadaankeadaan sebagai berikut: 1) Masuknya
kapal di perairan pedalaman karena keadaan darurat (entry in distress); 2) Tindak
pidananya merupakan pelanggaran disiplin.

3. Landasan hukum yang menjadi dasar benar atau salahnya perbuatan berdasar
kutipan peristiwa di atas adalah
Adapun pasal soal penenggelaman kapal asing dapat kita temukan dalam Pasal 69
ayat (4) UU Perikanan yang berbunyi:
(1) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan
hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.
(2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dilengkapi dengan senjata api.
(3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan
menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk
pemrosesan lebih lanjut.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik
dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa
pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing
berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Dengan demikian, penenggelaman kapal perikanan berbendera asing merupakan
tindakan khusus yang dilakukan oleh kapal pengawas perikanan dalam menjalankan
fungsinya sekaligus sebagai penegak hukum di bidang perikanan. Yang dimaksud
dengan “kapal pengawas perikanan” adalah kapal pemerintah yang diberi tanda
tertentu untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan
(lihat Penjelasan Pasal 69 ayat (1) UU Perikanan).
Namun, hal penting yang perlu diperhatikan terkait penenggelaman kapal asing ini
adalah penenggelaman itu tidak boleh dilakukan sewenang-wenang dan harus
berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan
berbendera asing, misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki Surat
Izin Penangkapan Ikan (“SIPI”) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (“SIKPI”), serta
nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini menunjukkan
bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang,
tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa
kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di
bidang perikanan. Demikian yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 69 ayat (4) UU
Perikanan.

You might also like