You are on page 1of 23

ANALISIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN ANGGARAN RESPONSIF

GENDER SEBAGAI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN


PADA PROGRAM PEMERINTAH DI KOTA SURABAYA

MEGA A. UNO
243222016

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2023

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pilihan kebijakan publik berupa penempatan keadilan dan kesetaraan gender,


serta pemberdayaan perempuan sebagai isu strategis nasional tidak serta merta
membuat kebijakan public tersebut mudah diimplementasikan. Untuk mempercepat
tercapainya kesetaraan gender, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk anggaran
responsif gender (ARG) pada 7 kementerian/departemen teknis di Indonesia tahun
2020, dimana setiap Kementerian/Lembaga pemerintah harus menjamin terwujudnya
keadilan dan kesetaraan gender melalui penyusunan perencanaan dan penganggaran
responsif gender. Belum optimalnya pencapaian pembangunan responsif gender
dikarenakan kebijakan publik tidak berlangsung dalam ruang yang vakim. Birokrasi
public sebagai implementor kebijakan public seringkali memiliki nilai yang
bertentangan dengan itu strategis tersebut, sehingga mereka tidak cukup mempunyai
energi untuk melakukan berbagai upaya inovatif dan kreatif dalam menangani isu
strategis tersebut. Terlebih isu-isu gender dalam pembangunan seringkali diabaikan
dan menempati posisi marginal sebagai akibat dari masih kuatnya budaya patriarki.
Pada pemerintah daerah, Pemerintah Kota Surabaya memutuskan tentang
pelaksanaan peraturan daerah No.4 Tahun 2019 tentang Pengarusutamaan Gender.
Tujuan ditetapkannya peraturan ini sebagai pedoman untuk meningkatkan kerja
Perangkat Daerah dalam Menyusun perencanaan penganggaran, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan pembangunan yang responsif gender.
Maksud dan tujuan dengan ditetapkannya peraturan ini yaiut:

Pasal 2: (1) Maksud ditetapkannya Peraturan Walikota ini sebagai panduan


bagi Pemerintah Daerah dalam meremuskan dan melaksanakan PUG, (2) Tujuan
ditetapkannya Peraturan Walikota ini sebagai pedoman untuk meningkatkan
pemahaman, kemampuan dan keterampilan kerja Perangkat Daerah dalam Menyusun
perancanaan penganggaranm pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan kegiatan
pembangunan yang responsive gender.
Selanjutnya, dikeluarkan kebijakan yang berpihak kepada gender dalam
perencanaan dan penganggaran yang responsive gender pada Pasal 4:
a. Penyusunan PPRG dalam dokumen perencanaan dan dalam RKA/DPA sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2
b. Penyusunan PPRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
mengintegrasikan gender dan menggunakan metode Analisis gender yang
berupa GAP.
c. Perangkat Daerah dapat bekerjasama dengan Lembaga perguruan tinggi atau
pihak lain yang memiliki kapabilitas dibidangnya dalam penyusunan PPRG.
d. Perangkat Daerah yang membidangi perencanaan mengkoordinasikan,
mensinergikan, dan mengharmonisasikan penyusunan PPRG.
e. Perangkat Daerah yang membidangi pemberdayaan perempuan melakukan
pendampingan dalam penyusunan PPRG.
f. Format dan Langkah penyusunan PPRG sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Dinas Pengendalian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak.

Adapun pelaksanaan kegiatan responsif gender pada pasal 17:


a. Pelaksanaan kegiatan responsif gender merupakan bagian dari pelaksanaan
kegiatan regular yang biasa dilaksanakan oleh Perangkat Daerah
b. Pelaksanaan kegiatan responsif gender harus memperhatikan GAP, GBS,
Kerangka Acuan Kerja dan RKA/DPA yang saling berkaitan dan tidak dapat
terpisahkan satu sama lainnya.
c. Teknik pelaksanaan kegiatan responsive gender diterjemahkan dengan rencana
aksi yang tertuang dalam GAP, GBS dan Kerangka Acuan Kerja sesuai
kemampuan keuangan yang tersedia.
d. Rencana aksi daerah yang tertuang dalam GAP, GBS dan Kerangka Acuan
Kerja diimplementasikan dengan Menyusun rencana kegiatan.
Anggaran responsif gender adalah tentang penentuan hal-hal terdapat
perbedaan dan hal-hal mana persamaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan.
Ketika kebutuhan berbeda maka seharusnya terdapat alokasi anggaran yang berbeda
(Sodani dan Sharma, 2008:228). Anggaran nasional mempunyai dampak yang
berbeda bagi laki-laki dan perempuan, namun anggaran tersebut sering disatukan
tanpa mempertimbangkan kesetaraan gender. Pernyataan anggaran dengan kesadaran
gender dapat menunjukkan sejauh mana anggaran monitor alokasi dan luaran sumber
daya (Elson, 1998:929-930).
Hasil studi Ismi (2011) menujukan faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas
implementasi ARG yaitu adanya variable-variabel yang berpengaruh terhadap
implementasi Kebijakan ARG oleh Lembaga. Sedangkan untutk studi Sali (2015)
pertama, pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang terkait
3
dengan PPRG di Provinsi Papua dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah
cukup baik. Kedua provinsi tidak menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No.050/6199/SJ yang memerintahkan pembentukan Sekretariat PPRG Daerah
dengan alasan bahwa sebelum surat edaran tersebut dikeluarkan, telah terbentuk
Pokja PUG yang memiliki tugas dan fungsi hampir sama dengan Sekretariat PPRG
Daerah.
Pada studi Dwi (2018) menujukkan hasil Berdasarkan FGD yang dilakukan,
Kankemenag Kabupeten Tulungagung memang memerlukan pendampingan terkait
penyusunan dokumen PPRG apalagi hal tersebut merupakan himbauan dari
Kementrian Agama agar satker dibawahnya menyusun dokumen PPRG yang menjadi
dokumen pendukung dalam anggaran yang diajukan. Setelah dilakukan FGD,
sosialisasi terkait PPRG dilakukan dengan dihadiri oleh Kepala dan sekretaris kantor
kemenag Tulungagung beserta perencana yang terkait langsung dengan PPRG.
Dalam sosialisasi yang dilakukan terlihat bahwa pemahaman peserta sosialisasi
terkait PPRG masih belum tinggi, hal tersebut terbukti dengan ketidaktahuan mereka
apa itu PPRG dan ARG. Sebagian dari mereka bahkan masih bias gender, karena
menganggap bahwa laki-laki itu adalah pemimpin bagi perempuan sehingga tidak
mungkin akan ada kesetaraan antara laki-laki dan Pendampingan terkait penyusunan
PPRG yang berupa dokumen GAP dan GBS memang sangat diperlukan oleh Kantor
Kemenag khususnya di Tulungagung yang memang kesulitan dalam menyusun
dokumen tersebut. Dengan adanya himbauan dari Kementrian Agama pada satker
dibawahnya untuk menyusun dokumen PPRG, maka kantor kementrian agama di
kabupaten dan kota juga harus ikut andil dalam mensukseskan program tersebut.
Hasil dari pendampingan PPRG ini adalah tersusunya 7 dokumen GAP dan 7 GBS
yang disusun tahun 2017 untuk menjadi pendamping dokumen bagi tahun anggaran
2018. perempuan.
Untuk studi Faizal (2017) Hasil penelitian dalam program pemberdayaan 100-
0-100 terkait masalah air, lingkungan kumuh, dan sanitasi dapat dikatakan program
sudah terlaksana dengan baik. Tetapi, walaupun program ini berbasis pemberdayaan,
dalam pelaksanaan masyarakat masih sangat bergantung terhadap pemerintah baik
dari segi program maupun dana. Sehingga dapat dikatakan masyarakat belum
sepenuhnya berdaya. Terkait penerapan responsif gender dapat dikatakan belum
sepenuhnya terlaksanakan dengan baik. Hal ini dikarenakan masyarakat masih
menganggap responsif gender dari segi keterlibatan perempuan saja tanpa melihat
aspek lainnya. Selain itu keterlibatan perempuan juga masih sekedar pemenuhan
kuota ketentuan 30% keterlibatan perempuan.
Dalam studi Yusnaini (2012) Hasilnya menunjukkan bahwa semakin rendah
tingkat pendidikan dan pendapatan perempuan, maka pilihan persalinan semakin
banyak ke dukun; Semakin banyak anak, pilihan persalinan semakin banyak ke
4
dukun; semakin jauh dan semakin sulit jarak tempuh mengakses fasilitas dan tenaga
kesehatan, dukun menjadi alternatif pilihan utama. Walaupun ada jaminan pelayanan
kesehatan gratis, tidak serta merta mengurangi pilihan perempuan miskin untuk ke
dukun seperti
di Lebak, Lampung Utara dan Sumba Barat karena sosialisasi layanan gratis tidak
merata dan dukun mudah di akses. Pilihan masyarakat ke dukun dipengaruhi oleh
jarak tempuh, pelayanan perawatan bayi dan ibu paska melahirkan, flesibilitas
pembayaran (innatura) dan kepercayaan dan tradisi masyarakat yang masih kuat.
Belum ada kebijakan khusus berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan
khususnya penekanan implementasi bidan tinggal di desa. Biaya bersalin yang
dianggap mahal masih menjadi alasan masyarakat untuk melahirkan di dukun. Ada
peningkatan pendidikan berkala kesehatan reproduksi bagi bidan agar mampu
memberikan pelayanan persalinan, KB dan pemeriksaan gejala infeksi menular
seksual yang memadai dan dipercaya masyarakat. Secara umum alokasi anggaran
kesehatan masih rendah berkisar antara 4%-7% dari total APBD. Secara umum
Alokasi anggaran Kespro sangat kecil yaitu kurang dari 3% dari total alokasi
anggaran langsung dinas kesehatan.
Kebijakan anggaran pembangunan, baik itu APBN maupun APBD yang netral
gender terjadi karena rendahnya partisipasi perempuan dalam kegiatan politik
ekonomi, social, budaya dan agama sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan.
Selain itu, keputusan di legislative mengenai APBD hanya di tangan laki-laki,
sehingga mereka tidak tahu kebutuhan perempuan. Masalah, kebutuhan dan
kepentingan perempuan dan laki-laki tidaklah sama. Dampak dari kondisi ini adalah
perempuan tidak bisa menikmati kebijakan anggaran pembanguna yang telah
ditetapkan pemerintah.
Dalam melakukan analisis terhadap APBD terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), serta Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) yang berkaitan erat dengan kebijakan-kebijakan.
Pemerintah daerah secara resmi melaksanakan APBD responsif gender di tingkat
provinsi, kabupaten, dan kota pada tahun 2004. Pelaksanaan kegiatannya yaitu
melalui proyek percontohan dengan membuat program-program responsif gender di
satu daerah yang ditunjuk.
Berdasarkan pada latar belakang, maka penulis mengangkat judul “Analisis
Efektivitas Kebijakan Anggaran Responsif Gender Sebagai Perencanaan dan
Penganggaran Dalam Program Pemerintah Di Kota Surabaya”

1.2 Identifikasi Masalah

5
Berdasarkan pada latar belakang, maka identifikasi masalah yang berkaitan
dengan kebijakan anggaran responsif gender sebagai berikut:

6
1. Efektivitas kebijakan anggaran responsif gender sebagai perencanaan dan
penganggaran dalam program pemerintah di Kota Surabaya.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah maka yang menjadi masalah pokok dalam


penulisan ini adalah Bagaimana Efektivitasnya Kebijakan Anggaran Responsif
Gender sebagai Perencanaan dan Penganggaran Dalam Program Pemerintah
di Kota Surabaya ?
1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan ini adalah untuk


mengetahui ke efektivitasnya kebijakan anggaran responsif gender sebagai
perencanaan dan penganggaran dalam program pemerintah di Kota Surabaya.
1.5 Manfaat Penelitian

 Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya


secara teoritis maupun praktis.
 Manfaat Teoritis, bisa dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman,
penerapan dan pengembangan konsep ilmu administrasi publik khususnya
kebijakan publik, yang belum memperhatikan issue gender yang
menyebabkan perempuan menjadi tidak terlihat dalam analisis proses
kebijakan publik.
 Manfaat Praktis, bisa dapat memberikan solusi apa yang harus dilakukan
agar dapat membuat prioritas program, proyek atau kegiatan yang tepat
sasaran.

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi tentang Pendahuluan, latar belakang


masalah, mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah,
tujuannya penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penelitian.
BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN SEBELUMNYA

Pada bab ini berisi menjelaskan tentang teori-teori dan jurnal


7
terdahulu yang menggunakan sebagai dasar dalam keterangan

8
tambahan yang diperlukan serta pembahasan masalah yang
dihadapi dalam penelitian yang berdasar pada teori.
BAB III METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi tentang jenis penelitian, subjek dan
objek penelitian, teknik pengumpulan data, dana Teknik
analisis data.

9
BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN TERDAHULU

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Kebijakan Politik

Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sector
swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum
dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang
mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman
Tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan (Agustion, 2008,
hal.7).
Menurut Miriam Budiarjo (2008, hal.20), kebijakan (policy) adalah suatu
kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok, dalam usaha
memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Dari beberapa pengertian diatas,
dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah seperangkat Tindakan yang diusulkan
boleh seseorang, kelompok atau pejabat, tindak tersebut berkaitan dengan
pengambilan keputusan dan mengandung tujuan politik serta dilaksanakan oleh
apparat birokrasi.
2.2.2 Konsep Kesetaraan Gender

Istilah “gender” pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (Nugroho,


2008, hal. 2) untuk memisahkan pencirian manusia di dasarkan pada pendefinisiannya
yang bersifat social budaya dengan pendifinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik
biologis. Menurut Ann Oakley (Nugroho, 2008, hal. 3) mengartikan gender sebagai
konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh
kebudayaan manusia. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan perilaku)
antara laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial, yaitu perbedaan yang
bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan
kultural yang panjang.
Menurut Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000, gender adalah konsep yang
mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat
dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender tidak
bersifat universal namun bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang
10
lain dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua elem gender yang bersifat
universal, yaitu: Gender tidak bersifat universal namun bervariasi dari masyarakat
yang sat uke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu. Sekalipun demikian, ada dua
elemen gender yang bersifat universal, yaitu: (Gallery dalam Nugroho, 2008, hal. 6).
1. Gender tidak identik dengan jenis kelamin 2. Gender merupakan dasar dari pem-
bagian kerja di semua masyarakat.
Disimpulkan bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang
sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah tergantung dari
tempat, waktu atau zaman, suku, ras, atau bangsa, budaya, status sosial, pemahaman
agama, ideology, negara, politik, hukum, dan ekonomi. Oleh karenanya, gender
bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan
memiliki sifat relatif.
2.2.3 Keandilan dan Kesetaraan Gender

Keadilan Gender (Gender Equity) menurut Faqih adalah suatu kondisi dan
perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki (2008; 12). Agar perlakuan
yang adil terhadap perempuan dan laki-laki dapat terwujud, maka diperlukan
langkah-langkah untuk menghentikan hal-hal yang secara psikis, politik dan sosial
budaya dapat menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan
menikmati hasil dari perannya tersebut. Keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan maupun laki-laki. Kesetaraan Gender (Gender Equality) adalah
kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh
kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan,
pertahanan dan keamanan nasional serta kesamaan dalam menikmati pembangunan
tersebut (2008; 12). Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan
ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Terwujudnya
kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara
dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang
atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut.
Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan
atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama
dari pembangunan.

11
2.2.4 Permasalahan Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencer-minkan masih adanya ketidakadilan dan


ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat
dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Perbedaan gender dengan pemilahan
sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan, tetapi Kenya-taannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.
Pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki
dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu
peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai
ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat.
Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin.
Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang
peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi
demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga
terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila
dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan
dibandingkan laki- laki. Faqih (2008; 12) menyatakan, ketidakadilan gender adalah
suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai
korban dari sistem tersebut. Selanjutnya Achmad M. (dalam Faqih, 2008;13),
menyatakan ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi, subordinasi,
stereotipe/pe-labelan negatif sekaligus perlakuan diskri-minatif, kekerasan terhadap
perempuan, beban kerja lebih banyak dan panjang. Manisfestasi ketidakadilan
gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisahkan, saling terkait dan berpengaruh
secara dialektis.
Menurut Riant Nugroho (2008;9), ketidakadilan gender dapat berupa:
1. Marginalisasi. Proses marginalisasi (peminggiran/ pemiskinan) yang
mengakibatkan kemis-kinan, banyak terjadi dalam masyarakat di negara
berkembang seperti penggusuran dari kampung halaman dan eksploitasi.
Pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin
merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Contohnya,
banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program
pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani
laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan
industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak
dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa
yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin
12
yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Di Jawa misalnya, revolusi
hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya menggunakan sabit.
Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru dilakukan oleh laki-
laki; pekerjaan memotong padi dengan peralatan sabit dan mesin yang hanya
membutuhkan tenaga dan keterampilan yang diasumsikan dimiliki oleh laki-laki,
dan hal ini menyebabkan tergantikannya tenaga dan keterampilan perempuan
dalam pertanian dengan alat panen ani-ani. Oleh karena itu tenaga perempuan
diasumsikan lebih tepat digunakan untuk usaha konveksi dan pelng menjadi
pembantu rumah tangga.
2. Sub-ordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah
sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran
perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran
ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum
perempuan sebagai sub-ordinasi dari kaum laki-laki. Kenya-taan
memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang
gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang
istri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri
harus mendapat izin suami, tetapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu
mendapat izin dari istri.
3. Stereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang
tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum
selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang
berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin,
yaitu perempuan. Hal ini mengakibatkan terjadinya diskri-minasi dan berbagai
ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan
terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan
yang berkaitan dengan pekerjaan domestik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak
hanya terjadi dalam lingkup ru-mah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja
dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-
laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung
dianggap emosi-onal dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap
perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak
menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu
rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti
berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah
utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan
dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4. Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat
13
perbedaan, muncul dalam berbagai bentuk. Kata kekerasan merupakan
terjemahan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan tidak hanya menyangkut
serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga
yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional
terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di
dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam
masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami atau ayah, keponakan, sepupu,
paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, atau majikan.
5. Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja
ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara
berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan
dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Bagi perempuan
yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan
pekerjaan rumah tangga. Perempuan dengan ekonomi lemah memiliki peran
ganda yang mereka emban, yaitu sebagai seseorang yang mengurus rumah
tangga dan sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Selain itu, penghasilan
perempuan hanya dianggap sebagai “penghasilan tambahan” bagi rumah
tangganya. Perempuan dengan ekonomi lemah juga kesulitan dalam mengakses
fasilitas publik, karenan fasilitas publik di pedesaan masih minim dan bagi
mereka yang tinggal di perkotaan juga harus mengeluarkan biaya yang mahal
untuk mendapatkannya.
2.2.5 Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender

Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) merupakan


serangkaian cara dan pendekatan untuk mengintegrasikan perspektif gender di dalam
proses perencanaan dan penganggaran. Perencanaan yang responsif gender adalah
perencanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, yang dilakukan
melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian
per-masalahan perempuan dan laki-laki. Sedangkan Anggaran Responsif Gender
(ARG) adalah anggaran yang mengakomodasi keadilan bagi perempuan dan laki-laki
dalam memperoleh akses, manfaat, partisipasi, pengambilan keputusan, dan
mengontrol sumber-sumber daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan peluang
dalam menikmati hasil pembangunan. Penyusunan PPRG mempunyai tujuan, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pengambil keputusan
tentang pentingnya isu gender dalam kebijakan pembangunan dan
mempercepat terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender.
b. Memberikan manfaat yang adil bagi kesejahteraan laki-laki dan
perempuan, termasuk anak laki-laki dan anak perempuan dari penggunaan
14
belanja/pengeluaran pembangunan.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran, serta
membangun transparansi anggaran dan akuntabilitas pemerintah daerah.
d. Membantu mengurangi kesenjangan gender dan menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan dalam pembangunan.
e. Meningkatkan partisipasi masyarakat, baik laki-laki dan perempuan dalam
penyusunan perencanaan anggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi.
f. Menjamin agar kebutuhan dan aspirasi laki-laki dan perempuan dari
berbagai kelompok sosial (berdasarkan jenis kelamin, usia, ras, suku, dan
lokasi) dapat diakomodasikan ke dalam belanja/ pengeluaran.

2.2.6 Penganggaran yang responsif gender menganut prinsip-prinsip:

a. ARG pada penganggaran dilepaskan pada output kegiatan. Relevansinya


adalah komponen input, dan output kegiatan yang akan dihasilkan harus
jelas dan terukur.
b. Kriteria kegiatan dan output yang menjadi fokus ARG.

c. ARG yang diterapkan untuk menghasilkan output kegiatan, yaitu: (i)


Penugasan prioritas pembangunan nasional dan daerah, (ii) Pelayanan
kepada masyarakat (service delivery), dan/atau (iii) Pelembagaan
Pengarusutamaan Gender (PUG) yang di dalamnya termasuk capacity
building, advokasi gender, kajian sosialisasi, desiminasi, dan/atau
pengumpulan data terpilah.
d. ARG merupakan penyusunan anggaran guna menjawab secara adil
kebutuhan setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan sebagai
upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
e. ARG bukan fokus pada penyediaan anggaran dengan jumlah tertentu
untuk PUG, tetapi lebih luas lagi, bagaimana anggaran keseluruhan dapat
memberikan manfaat yang adil untuk laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan hal tersebut, maka anggaran responsif gender dibagi atas
3 kategori, yaitu:
(a) Anggaran khusus target gender, adalah alokasi anggaran yang
diperuntukkan guna memenuhi kebutuhan dasar khusus perempuan
atau kebutuhan dasar khusus laki-laki berdasarkan hasil analisis
15
gender.
(b) Anggaran kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk mengatasi
masalah kesenjangan gender. Berdasarkan analisis gender dapat
diketahui adanya kesenjangan dalam relasi antara laki- laki dan
perempuan dalam akses terhadap sumber daya, partisipasi, dan kontrol
dalam pengambilan keputusan, serta manfaat dari semua bidang
pembangunan.
(c) Anggaran pelembagaan kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran
untuk penguatan kelembagaan PUG, baik dalam hal pendataan
maupun capacity building
2.3 Penelitian Terdahulu

Hasil studi Dwi Oktaria (2015), dengan judul Efektivitas Implementasi


Kebijakan Anggaran Responsif Gender, menunjukkan bahwa dengan
implementasi anggaran responsive gender dapat mempercepat dan memperluas
cakupan program menuju keadilan dan kesetaraan gender.
Hasil studi Darwanis (2015), dengan judul Analisis Anggaran Responsif
Gender Sebagai Percepatan Pencapaian Target MDGs, menunjukkan bahwa;
(1) Komitmen terhadap peraturan masih sangat lemah dan menandakan bahwa
belum adanya kesadaran akan pentingya PPRG, (2) Kelembagaan masih hanya
sekedar membentuk kelompok kerja saja tetapi untuk rencana dan laporannya sangat
minim sekali, (3) Masih sangat kurang ketersediaan sumberdaya manusia yang sudah
mengikuti capacity building PPRG dan Training of Trainer (TOT), (4) Profil gender
dan data terpilah masih sangat kurang, (5) Partisipasi masyarakat untuk masih
kurang diikutsertakan dalam proses PPRG.
Hasil studi Puji Astuti (2016), dengan judul Analisis Anggaran Responsif
Gender Pada APBD Kota Semarang Tahun 2010-2013, menunjukkan bahwa
analisis alokasi anggaran melalui Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) di empat
SKPD yaitu Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Bapermasper KB, dan Kantor
Kesbangpolinmas menunjukkan bahwa kota Semarang sudah mengalokasikan
anggaran berdimensi gender sebagaimana parameter dari Cedaw dan MDGs. Akan
tetapi besaran anggaran yang dialokasikan belum mencerminkan transformasi
komitmen gender ke dalam komitmen anggaran. Hal ini ditunjukan dengan
menurunnya alokasi anggaran untuk program-program yang sesungguhnya sangat
penting untuk merealisasikan kesetaraan. Khususnya kesetaraan akses dalam
meningkatkan keterampilan politik dan sumber daya politik. Oleh karena itu, ke
depan upaya untuk membangun anggaran yang berdimensi gender sebaiknya
berbasis kebutuhan nyata dari masing-masing gender, misalnya dengan

16
memanfaatkan forum musrenbang, memanfaatkan basis data yang tersedia di
masing-masing SKPD, dan juga data relevan dari berbagai hasil penelitian.
Hasil studi Wewen (2016, dengan judul Analisis Pengarusutamaan Gender
dalam Kebijakan Publik (Studi Kasus di BP3AKB Provinsi Jawa Tengah),
menunjukkan bahwa kebijakan PUG yang dilaksanakan oleh BP3AKB Provinsi
Jawa Tengah masih belum bisa mengatasi permasalahan gender. Hal-hal cenderung
mempengaruhi PUG diantaranya tata nilai adat istiadat, kemauan dan memapuan
perempuan dalam mewujudkan kesetaraan gender, dan keberadaan media massa.
Sebagai masukan untuk mensukseskan pelaksanaan PUG oleh BP3AKB adalah
melakukan pendekatan khususnya kepada perempuan untuk berfikir lebih luas dan
tidak terlalu terkekang oleh nilai-nilai tradisi. Selain itu juga harus dilakukan
Kerjasama dengan semua pihak, termasuk tokoh masyarakat seperti tokoh adat dan
agama.

17
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian


kualitatif. Menurut Moleong (2017:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, Tindakan dan lai-lain secara holistic
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan Bahasa, pada suatu kontek
khusus.
3.2 Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek, BAPPEDA, BP3AKB serta biro keuangan sebagai informan yang


ditetapkan secara purposive sampling yaitu orang yang sudah pernah
menangani secara langsung minimal 2 tahun dalam proses penyusunan
anggaran responsif gender.
2. Objek, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Surabaya.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian merupakan tahapan yang memerlukan


waktu dan biaya yang cukup banyak. Sering kali penelitian gagal karena sulitnya
mengumpulkan data (Suliyanto, 2018:163). Sementara menurut Sugiyono (dalam
Saidah, 2017:88) teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan observasi
(pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi, dan gabungan
keempatnya. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian itu memperoleh data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data
yang sesuai dengan standardisasi riset yang telah ditetapkan. Pada riset kualitatif
dikenal metode pengumpulan data: observasi (field observations), focus group
discussion, wawancara mendalam (intensive/depth interview), dan studi kasus
(Kriyantono, 2014:95).
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi,
focus group discussion¸dan wawancara.

3.4 Teknik Analisis Data

18
Analisis data dalam penelitian pada hakikatnya merupakan proses mengolah
data yang telah diperoleh di lapangan agar menjadi informasi. Hasil akhir dalam
penelitian disamping tergantung kepada data yang diperoleh di lapangan kuga akan
sangat tergantung pada bagaimana menganalisis data (Suliyanto, 2018:169). Menurut
Sugiyono (2016:89) analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Teknik analisis data dalam penelitian
ini yaitu:
1. Dokumentasi, dilakukan dengan menganalisis dokumen kebijakan yang ada
relevansinya dengan anggaran responsif gender seperti RPJM serta berbagai
keputusan pemerintah.

2. Focus Group Discussion, dilakukan dengan mengundang sejumlah orang


yang tahu dan pernah terlibat tentang efektivitas kebijakan ARG pada SKPD.

3. Wawancara, dilakukan dengan mewawancarai orang-orang kunci yang


bertangungg jawab dalam kebijakan ARG.

19
DAFTAR PUSTAKA

Astuti Puji (2016). Analisis Anggaran Responsif Gender Pada APBD Kota Semarang Tahun

2010-2013. POLITIKA Vol.7, No.1 April 2016.

Darwanis (2015). Analisis Anggaran Responsif Gender Sebagai Percepatan Pencapaian

Target MDGs. Jurnal Akuntansi Multiparadigma (JAMAL) Vol.6, No.3 Desember

2015, Hal.341-511.

Gainau Paskanova (2022). Does Local Governement Bugdeting Accomodation Gender

Quality. Jurnal Akuntansi Multiparadigma Vo.12, No.1, Hal.128-142.

Haryanto Faizal dan Hidayah Nur (2020). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program 100-

0-100 yang Responsif Gender di Kelurahan Jaraksari Kota Wonosobo. Jurnal

Pendidikan Sosiologi (EDU SOCIATA), Hal.2-21.

Ilham Teguh dan Velianto Adam (2022). Belajar Dari Yang Terbaik: Evaluasi Pengaruh

Pengarusutamaan Gender di Kota Surabaya, Indonesia. Jurnal Ilmu Pemerintahan

Widya Praja Vol.48, No.1 Juni 2022, Hal.127-140.

Lestari Puji dan Dewi Macha (2010). Model Komunikasi dalm Sosialisasi Pengarusutamaan

Gender dan Anggaran Responsif Gender di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.8, No.2 Mei 2010, Hal.191-203.

Masrullah Intan, Sunarko dan Purwanto Agung (2021). Pengarusutamaan Gender di Jepang

untuk Mencapai SDG’s (Sustainable Development Goals) Dalam Perspektif Feminism

Liberal. Journal of Feminism and Gender Studies Vol.1, No.2 Juli-Desember 2021,

Hal.132-147.

Nurhaeni Ismi, Habsari Kusumo dan Tyasari Siany (2011). Efektivitas Implementasi

Kebijakan Anggaran Responsif Gender. Jurnal Ilmu Administrasi Negara Vol.11, No.1

20
Januari 2011, Hal.74-86.

Oktaria Dwi (2015). Analisis Anggaran Responsif Gender di Provinsi Sumatera Selatan.

Akuntanbilitas: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Akuntansi Vol.9, No.1 Januari

2015, Hal.13-26.

Rahayu Wewen (2016). Analisis Pengarusutamaan Gender Dalam Kebijakan Publik (Studi

Kasus di BP3AKB Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Analisis Kebijakan dan Pelayanan

Publik, Vo.2, No.1 Juni 2016, Hal.93-108.

Rismawati Dewi (2014). Legal Culture of Women in Gender Budgeting (Review of Contect

Bumirejo Pekalongan). Jurnal Hukum Islam Vol.12, Desember 2014.

Silalahi Oberlin (2016). Model Musyawarah Rencana Aksi Perempuan (MUSRENA)

Responsif Gender di Kota Banda Aceh. PALASTREN: Jurnal Studi Gender Vol.9,

No.1 Juni 2016, Hal.161-188.

Sulistiani Dwi (2018). Pendampingan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di

Kantor Kementerian Agama Kabupatem Tulungagung. EGALITA: Jurnal Kesetaraan

dan Keadilan Gender Vol.13, No.1 Tahun, Tahun 2018, Hal.14-23.

Siswiraningtyas Anggareini Nur (2021). Implementation Gender-Responsive-Budget: The

Contraints and Their Coping Strategies. Journal of Public Sector Innovations (JPSI)

Vol.6, No.1 November 2021, Hal.10-19.

Sodani, P.R, Sharma, dan Shilpi (2008). Budgeting. Journal of Health Management Vol.10,

No.2.

Soleha Sitti dan Afriyani (2021). Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG)

Kota Pekanbaru. Jurnal Sorot Vol.16, No.2 Oktober 2021, Hal.71-84.

Susiana Sali (2015). Penerapan Konsep Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender

21
(PPRG) Dalam Pembangunan Daerah (Studi Kasus di Provinsi Papua dan Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta). Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial Vol.6 No.1

Juni 2015, Hal.1-12.

Taneo Juniarto dan Angi Yohana (2022). Penerapan Anggaran Responsif Gender pada Dinas

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Dinas Kesehatan Provinsi Nusa

Tenggara Timur Tahun Anggaran 2018-2020. Jurnal Perempuan dan Anak Indonesia

Vol.3, No.2 Maret 2022, Hal.26-32.

Widowati Galu, Ludigdo Untu dan Kasmayanti Ari (2016). Persepsi Penyusunan Anggaran

Mengenai Konsep Kebijakan Anggaran Responsif Gender. Jurnal Riste dan Aplikasi:

Akuntansi dan Manajemen Vol.2, No1 September 2016, Hal.31-42.

Yunarti Sri (2017). Pemberdayaan Lembaga Bundo Kanduang di Nagari Melalui Kebijakan

yang Responsif Gender. Journal of Gender Studie (KAFA’AH).

Yusnaini & Saftiana Yulia (2012). Akomodasi Kepentingan Perempuan Melalui Anggaran

Berkeadilan Gender. Akuntabilitas: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Akuntansi

Vol.6, No.1 Januari 2012, Hal.40-53.

22
23

You might also like