You are on page 1of 123

Kajian Fiskal Regional Tahunan

(Annual Regional Fiscal Report)


Provinsi Kepulauan Riau
Tahun 2015
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, kita panjatkan kepada Allah SWT
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan Kajian
Fiskal Regional Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015 dengan baik.
Kajian Fiskal Regional diterbitkan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Nomor 30/PB/2013 tanggal 1 Agustus 2013 dan Surat Edaran
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-43/PB/2014 sebagai sarana untuk
membangun komunikasi dua arah dalam pertukaran data dan informasi baik dengan
stakeholders internal maupun eksternal. Dengan demikian para pemangku kepentingan
dalam hal ini satuan-satuan kerja, pelaku usaha di Provinsi Kepulauan Riau dan
terutama Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau diharapkan
dapat memperoleh masukan dalam merumuskan kebijakan pengembangan ekonomi
daerah, sehingga bisa memberikan manfaat untuk pembangunan daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang.
Adapun beberapa aspek yang menjadi bahasan utama dalam kajian adalah
perkembangan ekonomi regional, perkembangan keuangan baik pusat maupun daerah,
keunggulan dan potensi daerah, dan tantangan fiskal yang dihadapi daerah.
Dalam penyusunan Kajian Fiskal Regional Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015
ini kami banyak memperoleh dukungan dari instansi-instansi pemerintah pusat,
khususnya BPS, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, Regional Economist
Kementerian Keuangan, serta satuan kerja BLU/BLUD di Provinsi Kepulauan Riau.
Oleh karena itu, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada
semua pihak, semoga kerjasama yang telah terjalin selama ini dapat lebih ditingkatkan
di masa yang akan datang.
Kami menyadari penyusunan Kajian Fiskal Regional ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dalam meningkatkan kualitas
Kajian Fiskal Regional ini agar dapat memberikan manfaat yang optimal, terutama untuk
kemakmuran masyarakat Kepulauan Riau.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


i
TIM PENYUSUN

KAJIAN FISKAL REGIONAL TAHUN 2015


KANWIL DITJEN PERBENDAHARAAN PROVINSI
KEPULAUAN RIAU

Penanggungjawab:
Kepala Kanwil DItjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau
Didyk Choiroel

Ketua Tim
Kepala Bidang PPA II
Taufiq Widyantoro

Wakil Ketua:
Haryando Anil

Penulis:
Muhamad Ameer Noor
Didi Setyopurwanto

Desain Cover dan Layout:


Dhika Habibi Zakaria

Kontributor:
Suprapto
Jaruli Simanullang

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


ii
Ringkasan Eksekutif
Kajian Fiskal Regional (KFR) digunakan untuk melihat keterkaitan antara kondisi
ekonomi dengan kebijakan fiskal pemerintah berdasarkan potensi ekonomi regional dan
tantangan fiskal daerah. Oleh karena itu harus dapat menggambarkan kondisi fiskal
regional, kesinambungan fiskal, dan resiko fiskal yang terjadi di Provinsi Kepulauan
Riau. KFR menggunakan metode analisis deskriptif dengan data sekunder yang berasal
dari Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau, Badan Pusat Statistik, Bank
Indonesia, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Kementerian Keuangan, dan sumber lainnya.
Perekonomian Provinsi Kepulauan Riau memiliki karakteristik pertumbuhan
ekonomi yang digerakkan lapangan usaha industri dari free trade zone Batam, Bintan,
Karimun (FTZ BBK) dan kebijakan fiskal pemerintah yang diprioritaskan pada
pembangunan infrastruktur. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mendorong pendapatan
masyarakat yang besar dengan pendapatan per kapita di Provinsi Kepulauan Riau pada
tahun 2015 lebih dari dua kali lipat nasional. Didukung oleh perkembangan tingkat suku
bunga yang stabil, tingkat inflasi daerah yang rendah, dan nilai tukar rupiah yang relatif
stabil semakin mendorong perekonomian Kepulauan Riau. Pembangunan di Kepulauan
Riau telah mendorong peningkatan pembangunan manusia hingga di atas nasional,
semakin menurunnya tingkat kemiskinan, dan relatif stabilnya ketimpangan pendapatan
dan turut meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Tabel Indikator Makroekonomi dan Pembangunan Kepulauan Riau


Indikator 2011 2012 2013 2014 2015
Indikator Makro & Pembangunan
Pertumbuhan Ekonomi (yoy) 6,96% 7,63% 7,11% 7,32% 6,02%
PDRB ADHK 2010 (Rp.triliun) 118,96 128,03 137,26 143,36 155,16
Share PDRB: Industri Pengolahan 38,23% 38,40% 38,74% 39,70% 38,81%
Share PDRB: Konstruksi 16,34% 16,90% 17,34% 18,10% 17,32%
Share PDRB: Pertambangan & Penggalian 17,13% 16,72% 16,11% 15,55% 14,80%
Kemiskinan 6,79% 6,83% 6,35% 6,40% 5,78%
Tingkat Pengangguran 7,80% 4,93% 5,63% 6,69% 6,20%
Kebijakan Fiskal Daerah
Penerimaan Pajak Daerah (Rp.miliar) 1.036,21 1.150,66 1.327,22 2.078,14 1.267.67
Penerimaan Retribusi Daerah(Rp. miliar) 89,16 88,94 102,00 122,22 72,72
Penerimaan Perpajakan Pusat (Rp. miliar) n/a n/a 5.856,81 6.039,56 6.141,22
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, pemda lingkup Provinsi Kepulauan Riau, Monev PA DJPBN,

Kebijakan APBN di Provinsi Kepulauan Riau lebih memprioritaskan fungsi


ekonomi dan pelayanan umum serta didukung belanja barang dan belanja modal untuk
mendorong perekonomian. APBD pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Riau lebih

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


iii
memprioritaskan kebijakan pada fungsi pelayanan umum dan pendidikan yang
didukung belanja barang dan belanja pegawai yang lebih dominan dalam
mensejahterakan masyarakatnya. Sinkronisasi prioritas kebijakan pemerintah dapat
lebih mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Tabel Realisasi Kebijakan Fiskal Kepulauan Riau 2015 (dalam miliar rupiah)
Jenis Belanja Pem. Daerah Pem. Pusat Pemerintah Total Porsi
Belanja Pegawai 2.792,29 1.193,43 3.985,72 26,66%
Belanja Barang 3.361,09 2.143,11 5.504,20 36,82%
Belanja Modal 1.741,71 2.174,71 3.916,42 26,20%
Bantuan Sosial 143,45 42,11 185,56 1,24%
Belanja Lain-lain 1.298,90 58,73 1.357,63 9,08%
Total Belanja 9.337,44 5.612,11 14.949,55 100,00%
Porsi Belanja 62,46% 37,54% 100,00%
Fungsi Pem. Daerah Pem. Pusat Pemerintah Total Porsi
Pelayanan Umum 3.775,95 1.224,48 5.000,43 33,21%
Pertahanan - 360,79 360,79 2,40%
Ketertiban dan Keamanan 149,24 428,12 577,36 3,84%
Ekonomi 994,31 2.619,52 3.613,83 24,00%
Lingkungan Hidup 192,06 78,21 270,28 1,80%
Perumahan dan Fasilitas Umum 1.556,35 199,31 1.755,66 11,66%
Kesehatan 875,35 109,96 985,31 6,54%
Pariwisata dan Budaya 99,44 2,84 102,28 0,68%
Agama - 43,91 43,91 0,29%
Pendidikan 1.642,83 532,78 2.175,61 14,45%
Perlindungan Sosial 157,13 12,25 169,39 1,13%
Sumber: PA Perbendaharaan, Pemerintah Daerah. (diolah)

Analisis SWOT terhadap kondisi Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan bahwa


Provinsi Kepulauan Riau yang terletak di perbatasan dan di tengah-tengah jalur
perdagangan sangat terekspos terhadap kondisi perekonomian global sebagaimana
tercermin dalam perlambatan pertumbuhan yang lebih dalam dibandingkan dengan
perlambatan pertumbuhan nasional, penurunan signifikan pada PPN Impor, dan
penurunan kapasitas fiskal
Gambar Jalur Perdagangan Selat Malaka
pemerintah daerah pada
tahun 2015. Namun, kondisi
tersebut juga menyimpan
potensi besar yang masih
belum tergali secara optimal.
Dikaitkan dengan
analisis sektor, terdapat satu
sektor dan lima subsektor
yang layak menjadi prioritas
pengembangan yakni sektor
konstruksi (khususnya Sumber: marinevesseltrafic (diolah)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


iv
konstruksi bangunan sipil), sub sektor industri Information and Communication
Technology (ICT), sub sektor industri alat angkutan (khususnya alat angkutan perairan),
sub sektor ketenagalistrikan (khususnya dengan pembangkit listrik tenaga surya), sub
sektor angkutan laut, dan sub sektor penyediaan akomodasi (perhotelan/pariwisata).

Gambar Matriks SWOT Provinsi Kepulauan Riau

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau (diolah)

Adapun untuk mengembangkan sektor dan subsektor tersebut pemerintah


dapat memberikan insentif fiskal untuk perusahan perintis dan/atau yang membangun
proses produksi dari hulu ke hilir, mendesain wilayah industri bertema, mendorong
Kementerian Ketenagakerjaan atau instansi setempat lainnya untuk memprioritaskan
pelatihan terkait industri tersebut, Mendorong BKPM atau instansi serupa untuk
bertindak proaktif dalam menggandeng kerjasama perusahaan-perusahan yang
terdepan di industri tersebut, mendorong Kementerian ESDM atau instansi terkait untuk
melakukan feasibility study tentang pengembangan tenaga surya di provinsi bercirikan
kepulauan, menciptakan promosi pariwisata yang tepat sasaran, menggandeng negara
tetangga untuk konservasi wilayah perairan selat malaka yang keindahan alamnya
rawan tercemar lalu lintas kapal, serta meningkatkan belanja modal pemerintah dengan
fokus pembangunan pada infrastruktur FTZ Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun yang
masih kurang kompetitif dibandingkan infrastruktur FTZ Batam dan pembangunan
infrastruktur untuk membuka wilayah pariwisata baru.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


v
Terkait dengan pengembangan infrastruktur, kebijakan pemerintah pusat untuk
meningkatkan belanja modal secara signifikan di tahun 2015 sudah sejalan dengan
urgensi pembangunan infrastruktur, namun eksekusi atas kebijakan tersebut masih
terhambat di tahun 2015. Pemerintah dapat mengoptimalkan fungsi pendampingan dari
TP4D dan BPKP serta melakukan sosialisasi tentang urgensi pembangunan
infrastruktur untuk menyamakan visi para eksekutor anggaran di Provinsi Kepulauan
Riau.
Selain itu, untuk mendorong pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Provinsi Kepulauan Riau, pemerintah perlu mendorong penyerapan
anggaran yang ideal (proporsional dan countercyclical). Pola penyerapan yang ideal
berpotensi untuk meningkatkan efek multiplier dari belanja pemerintah terhadap
pertumbuhan perekonomian sehingga manfaat yang akan dirasakan masyarakat akan
semakin besar.

Gambar Potensi Penerapan Pola Penyerapan Anggaran yang Ideal


terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Penerapan Masyara- Lebih


Belanja pe- Lapangan Masyara-
pola pe- kat cepat banyak
merintah pekerjaan kat cepat PDRB
nyerapan mendapat transaksi
terserap tercipta meng- meningkat
anggaran peng- dalam
lebih awal lebih cepat konsumsi
yang ideal hasilan setahun

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

Terkait dengan implementasi perdana Dana Desa di tahun 2015, sebaiknya


dilakukan pengkategorian ulang Provinsi Kepulauan Riau ke wilayah delapan yang
bernuansa kelautan. Saat ini Provinsi Kepulauan Riau dikategorikan ke dalam wilayah
tiga (Sumatera) dengan persyaratan pembentukan desa sebesar 4.000 orang penduduk
atau 800 kepala keluarga sehingga banyak desa-desa di kepulauan yang tidak
terakomodir karena jumlah penduduk/kepala keluarganya kurang. Selain itu, sebaiknya
Kementerian Keuangan, Kemendes PDTT, dan Kemendagri meningkatkan intensitas
pendampingan Pemerintah Daerah untuk menghindari keterlambatan penyaluran yang
terus terjadi di tahun 2015 dan mengoptimalkan manfaat Dana Desa secara umum.
Implementasi Dana Desa yang lebih efektif juga diharapkan dapat mengurangi
kesenjangan pendapatan (Gini Ratio) yang terus meningkat hingga hanya terpaut 1
basis poin dengan tingkat nasional di tahun 2015, khususnya karena penduduk miskin
lebih terkonsentrasi di daerah perdesaan.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


vi
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ----------------------------------------------------------------------------I
RINGKASAN EKSEKUTIF ------------------------------------------------------------------- III
DAFTAR ISI ----------------------------------------------------------------------------------- VII
DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------------------- XI
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------------ XV
BAB I PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------------ 1
1.1. LATAR BELAKANG --------------------------------------------------------------------------------------------1
1.2. TUJUAN ----------------------------------------------------------------------------------------------------------2
1.3. RUANG LINGKUP ----------------------------------------------------------------------------------------------3
1.4. METODE PENELITIAN ----------------------------------------------------------------------------------------3
1.5. SISTEMATIKA PENULISAN ----------------------------------------------------------------------------------3
BAB II PERKEMBANGAN DAN ANALISIS EKONOMI REGIONAL PROVINSI
KEPULAUAN RIAU ------------------------------------------------------------------- 5
2.1. INDIKATOR MAKROEKONOMI FUNDAMENTAL -----------------------------------------------------5
2.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ----------------------------------------------------------5
2.1.2 Suku Bunga-------------------------------------------------------------------------------------------------8
2.1.3 Inflasi --------------------------------------------------------------------------------------------------------9
2.1.4 Nilai Tukar ------------------------------------------------------------------------------------------------ 10
2.2. INDIKATOR PEMBANGUNAN ---------------------------------------------------------------------------- 12
2.2.1. Indeks Pembangunan Manusia --------------------------------------------------------------------- 12
2.2.2. Kemiskinan ----------------------------------------------------------------------------------------------- 13
2.2.3. Ketimpangan -------------------------------------------------------------------------------------------- 14
2.2.4. Kondisi Ketenagakerjaan ----------------------------------------------------------------------------- 15
BAB III PERKEMBANGANDANANALISISPELAKSANAANAPBN DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ----------------------------------------------------------------------------------- 17
3.1. APBN TINGKAT PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------------------------------------------ 17
3.2. PENDAPATAN PEMERINTAH PUSAT ------------------------------------------------------------------ 17
3.2.1. Penerimaan Perpajakan ------------------------------------------------------------------------------ 18
3.2.2. Penerimaan Negara Bukan Pajak ------------------------------------------------------------------ 19
3.2.3. Pendapatan Hibah ------------------------------------------------------------------------------------- 20
3.3. BELANJA PEMERINTAH PUSAT-------------------------------------------------------------------------- 20
3.3.1. Belanja Pemerintah Berdasarkan Organisasi --------------------------------------------------- 20
3.3.2. Belanja Pemerintah Berdasarkan Fungsi --------------------------------------------------------- 22
3.3.3. Belanja Pemerintah Berdasarkan Jenis Belanja ------------------------------------------------ 23
3.4. TRANSFER KE DAERAH ------------------------------------------------------------------------------------ 24

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


vii
3.5. PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM ---------------------------------------------------------- 25
3.5.1. Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum ----------------------------- 25
3.5.2. Perkembangan Pengelolaan Aset dan Pagu Dana Badan Layanan Umum ------------- 27
3.5.3. Kemandirian Badan Layanan Umum -------------------------------------------------------------- 27
3.5.4. Profil dan Jenis Layanan Satker PNBP ------------------------------------------------------------ 28
3.5.5. Potensi Satker PNBP Menjadi Satker BLU ------------------------------------------------------- 28
3.6. PENGELOLAAN MANAJEMEN INVESTASI------------------------------------------------------------ 29
3.6.1. Penerusan Pinjaman ---------------------------------------------------------------------------------- 29
3.6.2. Kredit Program ----------------------------------------------------------------------------------------- 31
BAB IV PERKEMBANGAN DAN ANALISIS PELAKSANAAN APBD DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU ----------------------------------------------------------------- 33
4.1. APBD TINGKAT PROVINSI KEPULAUAN RIAU --------------------------------------------------- 33
4.2. PENERIMAAN PEMERINTAH DAERAH ---------------------------------------------------------------- 34
4.3. BELANJA PEMERINTAH DAERAH----------------------------------------------------------------------- 35
4.3.1. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Urusan --------------------------------------------- 35
4.3.2. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Fungsi ---------------------------------------------- 37
4.3.3. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis Belanja ------------------------------------- 37
4.4. PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH --------------------------------------------- 38
4.4.1. Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum Daerah ------------------ 38
4.4.2. Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah ------------------------ 39
4.4.3. Analisis Legal Badan Layanan Umum Daerah -------------------------------------------------- 40
4.5. PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH ------------------------------------------------------------------ 40
4.5.1. Bentuk Investasi Daerah ----------------------------------------------------------------------------- 40
4.5.2. Profil dan Jenis BUMD -------------------------------------------------------------------------------- 41
4.6. DEFISIT DAN PEMBIAYAAN PEMERINTAH DAERAH ---------------------------------------------- 41
4.6.1. Perkembangan Defisit APBD ------------------------------------------------------------------------ 41
4.6.2. Pembiayaan Daerah ----------------------------------------------------------------------------------- 42
4.7. ANALISIS APBD LAINNYA -------------------------------------------------------------------------------- 43
4.7.1. Analisis Horizontal dan Vertikal -------------------------------------------------------------------- 43
4.7.2. Kesehatan Keuangan Daerah ----------------------------------------------------------------------- 46
BAB V KEUNGGULAN DAN POTENSI EKONOMI REGIONAL ----------------------- 57
5.1. SEKTOR UNGGULAN DAN POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU BERDASARKAN
ANALISIS LQ, MRP, DAN SS-EM ------------------------------------------------------------------------ 57
5.2. ANALISIS SWOT KONDISI PROVINSI KEPULAUAN RIAU----------------------------------------- 59
5.2.1. Kekuatan (Strengths) Provinsi Kepulauan Riau ------------------------------------------------ 60
5.2.2. Kelemahan (Weaknesses) Provinsi Kepulauan Riau ------------------------------------------ 63
5.2.3. Peluang (Opportunities) Provinsi Kepulauan Riau --------------------------------------------- 66
5.2.4. Ancaman (Weaknesses) Provinsi Kepulauan Riau --------------------------------------------- 68
5.3. SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU -------------------------------------------- 69
5.4. SUB SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU -------------------------------------- 71
5.5. ANOMALI SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ----------------------------- 78

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


viii
BAB VI ANALISIS TANTANGAN FISKAL DAERAH/REGIONAL --------------------- 79
6.1. PERKEMBANGAN CASH FLOW KEPULAUAN RIAU ------------------------------------------------ 79
6.2. PENGARUH PERKEMBANGAN EKONOMI REGIONAL TERHADAP FISKAL ------------------- 81
6.3. PENGARUH BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN REGIONAL PROVINSI
KEPULAUAN RIAU DAN URGENSI POLA PENYERAPAN ANGGARAN YANG IDEAL ------- 84
6.3.1. Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Provinsi Kepulauan Riau dari
sisi PDRB -------------------------------------------------------------------------------------------------- 85
6.3.2. Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kepulauan
Riau dari sisi Penyerapan Tenga Kerja ------------------------------------------------------------ 86
6.3.3. Urgensi Penerapan Pola Penyerapan Ideal di Provinsi Kepulauan Riau ----------------- 86
6.4. PERKEMBANGAN DANA DESA DI WILAYAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU ---------------- 88
6.5. URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ----------- 90
BAB VII PENUTUP ---------------------------------------------------------------------------- 95
8.1. KESIMPULAN ------------------------------------------------------------------------------------------------- 95
8.2. REKOMENDASI ---------------------------------------------------------------------------------------------- 97
DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------------------- 99

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


ix
Daftar Gambar
GAMBAR I-1 HUBUNGAN ANTARA EKONOMI DENGAN FISKAL ----------------------------------------3
GAMBAR II-1 PERTUMBUHAN PDRB KEPULAUAN RIAU DAN INDONESIA (YOY) ---------------5
GAMBAR II-2 PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (PDRB
ADHB SISI PENAWARAN) ------------------------------------------------------------------------------7
GAMBAR II-3 STRUKTUR EKONOMI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DALAM PDRB ADHB
SISI PERMINTAAN TAHUN 2015 --------------------------------------------------------------------8
GAMBAR II-4 PERKEMBANGAN PDRB PER KAPITA KEPULAUAN RIAU (JUTAAN RUPIAH) 8
GAMBAR II-5 PERKEMBANGAN SUKU BUNGA KREDIT ------------------------------------------------------8
GAMBAR II-6 INFLASI DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DAN NASIONAL, 2014-2015 (YOY) -9
GAMBAR II-7 PERGERAKAN NILAI TUKAR MATA UANG ASING TERHADAP RUPIAH TAHUN
2015 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 10
GAMBAR II-8 EKSPOR IMPOR PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2015 --------------------------------------- 11
GAMBAR II-9 HEAD COUNT INDEX OF POVERTY (HCI-P0) PROVINSI KEPULAUAN RIAU -- 14
GAMBAR II-10 INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU ----------- 14
GAMBAR II-11 INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU ----------- 14
GAMBAR II-12 PERKEMBANGAN KOEFISIEN GINI KEPULAUAN RIAU------------------------------ 15
GAMBAR II-13 INDIKATOR KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU MENURUT
STATUS PEKERJAAN (DALAM RIBUAN) ----------------------------------------------------- 16
GAMBAR II-14 INDIKATOR KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU MENURUT
PENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN (DALAM RIBUAN) -------------- 16
GAMBAR II-15 INDIKATOR KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU MENURUT
LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA (DALAM RIBUAN) ----------------------------------- 16
GAMBAR II-16 INDIKATOR KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU MENURUT
JUMLAH JAM KERJA PERMINGGU (DALAM RIBUAN) --------------------------------- 16
GAMBAR III-1 PERKEMBANGAN TAX TO GDP RATIO ------------------------------------------------------- 18
GAMBAR III-2 SKEMA PENERUSAN PINJAMAN ---------------------------------------------------------------- 29
GAMBAR III-3 PENYALURAN KKP-E DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU HINGGA 2015
(DALAM RIBUAN RUPIAH) -------------------------------------------------------------------------- 32
GAMBAR IV-1 INDIKATOR PENDAPATAN DAERAH PER KAPITA DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 47
GAMBAR IV-2 INDIKATOR KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 48
GAMBAR IV-3 INDIKATOR RUANG FISKAL DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ----- 49
GAMBAR IV-4 INDIKATOR PENINGKATAN PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU----------------------------------------------------------------------------------------- 50

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


xi
GAMBAR IV-5 INDIKATOR KEMAMPUAN MENDANAI BELANJA DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 51
GAMBAR IV-6 INDIKATOR BELANJA MODAL DAERAH DI WILAYAH PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 52
GAMBAR IV-7 INDIKATOR BELANJA PEGAWAI TIDAK LANGSUNG DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 53
GAMBAR IV-8 INDIKATOR OPTIMALISASI SILPA DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 54
GAMBAR IV-9 INDIKATOR KEMAMPUAN PEMBAYARAN POKOK HUTANG DAN BUNGA
DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ---------------------------------------------------- 55
GAMBAR IV-10 SKOR KESEHATAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 56
GAMBAR V-1 MATRIKS SWOT PROVINSI KEPULAUAN RIAU -------------------------------------------- 59
GAMBAR V-2 CADANGAN GAS DI INDONESIA ----------------------------------------------------------------- 61
GAMBAR V-3 POTENSI PERIKANAN DI INDONESIA (DALAM RIBUAN TON/TAHUN) ---------- 62
GAMBAR V-4 POTENSI TENAGA SURYA BERDASARKAN GARIS KHATULISTIWA ------------- 62
GAMBAR V-5 TINGKAT KEDATANGAN WISATAWAN MANCANEGARA PROVINSI
KEPULAUAN RIAU -------------------------------------------------------------------------------------- 63
GAMBAR V-6 KONEKTIVITAS ANTARWILAYAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU --------------- 64
GAMBAR V-7 POHON INDUSTRI KAPAL --------------------------------------------------------------------------- 65
GAMBAR V-8 JALUR PERDAGANGAN SELAT MALAKA ---------------------------------------------------- 66
GAMBAR V-9 PERBANDINGAN PDB / PDRB PER KAPITA SIJORI TAHUN 2013 (DALAM
USD) ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- 67
GAMBAR V-10 INDUSTRI PRIORITAS DALAM PP 14/2015 -------------------------------------------------- 68
GAMBAR V-11 JUMLAH PEKERJA TETAP SEKTOR KONSTRUKSI ------------------------------------- 69
GAMBAR V-12 NILAI KONSTRUKSI MENURUT BIDANG PEKERJAAN DAN
PERKEMBANGAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR (RP. TRILIUN) ---- 70
GAMBAR V-13 INDEKS INFRASTRUKTUR FISIK --------------------------------------------------------------- 71
GAMBAR V-14 PERBANDINGAN EKSPOR / IMPOR ICT TERHADAP TOTAL EKSPOR /IMPOR
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 72
GAMBAR V-15 TARGET DIVERSIFIKASI SUMBER ENERGI LISTRIK INDONESIA --------------------- 75
GAMBAR V-16 KUNJUNGAN WISMAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM JUTAAN)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 77
GAMBAR V-17 KONTRIBUSI WISMAN BERDASARKAN NEGARA DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU DAN BALI 2014 ---------------------------------------------------------------------------------- 77
GAMBAR V-18 REALISASI APBN SUBFUNGSI PERIKANAN DAN PROPORSINYA TERHADAP
FUNGSI EKONOMI -------------------------------------------------------------------------------------- 78
GAMBAR VI-1 CASH FLOW 2015 DI WILAYAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------------- 79
GAMBAR VI-2 KONDISI EKONOMI DAN FISKAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ------------ 83

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


xii
GAMBAR VI-3 SIKLUS PEREKONOMIAN DAN FISKAL ------------------------------------------------------ 84
GAMBAR VI-4 PERTUMBUHAN PDRB DAN REALISASI APBN DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU TAHUN 2014 --------------------------------------------------------------------------------------- 87
GAMBAR VI-5 :POTENSI PENERAPAN POLA PENYERAPAN ANGGARAN YANG IDEAL
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI ------------------------------------------------------- 88
GAMBAR VI-6 PERKEMBANGAN PROPORSI FDI PER NEGARA DI ASEAN ------------------------- 91
GAMBAR VI-7 SEBARAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU TAUN 2015 ----------------------------------------------------------------------------------------- 93
GAMBAR VI-8 PERKEMBANGAN ALOKASI VS REALISASI BELANJA INFRASTRUKTUR
(DALAM MILIARAN RUPIAH) ---------------------------------------------------------------------- 94

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


xiii
Daftar Tabel
TABEL II-1 PDRB ADHK MENURUT LAPANGAN USAHA PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN
DASAR 2010 ............................................................................................................................ 6
TABEL II-2 PERTUMBUHAN PDRB MENURUT PENGGUNAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU
TAHUN DASAR 2010 ............................................................................................................. 7
TABEL II-3 TREN PERGERAKAN IPM .............................................................................................. 12
TABEL II-4 IPM PROVINSI KEPULAUAN RIAU ............................................................................... 13
TABEL II-5 KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ........................................................ 14
TABEL II-6 INDIKATOR KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU: JENIS KEGIATAN
UTAMA................................................................................................................................. 15
TABEL III-1 PAGU DAN REALISASI APBN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN
RUPIAH) ............................................................................................................................. 17
TABEL III-2 PENERIMAAN PERPAJAKAN PEMERINTAH PUSAT DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
(DALAM MILIARAN RUPIAH) ...................................................................................... 18
TABEL III-3 PENERIMAAN PNBP PEMERINTAH PUSAT DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
BERDASARKAN JENIS PNBP (DALAM MILIARAN RUPIAH) ................................. 19
TABEL III-4 PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK UMUM DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU .................................................................................................................................. 20
TABEL III-5 PERKEMBANGAN PAGU DAN REALISASI APBN DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU 2013-2015 BERDASARKAN BAGIAN ANGGARAN (DALAM MILIARAN
RUPIAH) ............................................................................................................................ 21
TABEL III-6 PAGU REALISASI APBN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU BERDASARKAN FUNGSI
(DALAM MILIARAN RUPIAH) ........................................................................................... 22
TABEL III-7 PAGU REALISASI APBN DI KEPULAUAN RIAU 2015 BERDASARKAN JENIS
BELANJA (DALAM MILIARAN RUPIAH) ............................................................................ 23
TABEL III-8 PERKEMBANGAN DANA PERIMBANGAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU
(DALAM MILIARAN RUPIAH) ...................................................................................... 24
TABEL III-9 PROFIL SATUAN KERJA BLU DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2015 (DALAM MILIARAN
RUPIAH).............................................................................................................................. 25
TABEL III-10 PERKEMBANGAN PENGELOLAAN ASET DAN PAGU DANA SATUAN KERJA
BADAN LAYANAN UMUM DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM
MILIARAN RUPIAH) ....................................................................................................... 27
TABEL III-11 KEMANDIRIAN SATKER BLU DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM
MILIARAN RUPIAH) ....................................................................................................... 27
TABEL III-12 PROFIL SATUAN KERJA PNBP DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2015 (DALAM
MILIARAN RUPIAH) ......................................................................................................... 28

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


xv
TABEL III-13 SATUAN KERJA PNBP YANG BERPOTENSI MENJADI BLU (DALAM MILIARAN
RUPIAH) ............................................................................................................................ 29
TABEL III-14 PROFIL PENERUSAN PINJAMAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ................... 30
TABEL III-15 PENERUSAN PINJAMAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU HINGGA 31 DESEMBER
2015 (DALAM JUTAAN RUPIAH) ................................................................................. 31
TABEL III-16 PENYALURAN KKP-E PROVINSI KEPULAUAN RIAU HINGGA 2015 (DALAM
RIBUAN RUPIAH) ........................................................................................................... 32
TABEL IV-1 APBD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN RUPIAH) .............. 33
TABEL IV-2 PENDAPATAN APBD 2015 DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN
RUPIAH) ............................................................................................................................. 34
TABEL IV-3 INDIKATOR KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU .................................................................................................................................. 35
TABEL IV-4 BELANJA APBD 2015 DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU BERDASARKAN URUSAN
PEMERINTAHAN (DALAM JUTAAN RUPIAH) ......................................................... 36
TABEL IV-5 BELANJA APBD 2015 DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU BERDASARKAN FUNGSI
(DALAM JUTAAN RUPIAH) .......................................................................................... 37
TABEL IV-6 BELANJA APBD 2015 DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU MENURUT JENIS
BELANJA (DALAM JUTAAN RUPIAH) ....................................................................... 38
TABEL IV-7 PROFIL SATUAN KERJA BLUD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM JUTAAN RUPIAH)
............................................................................................................................................ 38
TABEL IV-8 DAFTAR TARIF RSUD PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2015 ........................................ 39
TABEL IV-9 PERKEMBANGAN PENGELOLAAN ASET BADAN LAYANAN UMUM DAERAH
DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU 2014 (DALAM JUTAAN RUPIAH) ..................... 39
TABEL IV-10 INVESTASI DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN
RUPIAH) ............................................................................................................................ 41
TABEL IV-11 BUMD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU.................................................................. 41
TABEL IV-12 RASIO DEFISIT APBD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ...................................... 42
TABEL IV-13 KESEIMBANGAN PRIMER APBD DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIAR
RUPIAH) .............................................................................................................................. 43
TABEL IV-14 ANALISIS HORIZONTAL REALISASI APBD 2015 DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU (DALAM MILIAR RUPIAH) ................................................................................ 43
TABEL IV-15 PERKEMBANGAN PORSI REALISASI PENDAPATAN DAN BELANJA APBD 2015
DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ................................................................................ 44
TABEL IV-16 ANALISIS VERTIKAL REALISASI PENDAPATAN APBD 2015 DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU................................................................................................................................... 45
TABEL IV-17 ANALISIS VERTIKAL REALISASI BELANJA APBD 2015 DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU .................................................................................................................................. 45
TABEL IV-18 PEMBOBOTAN SKOR KESEHATAN KEUANGAN DAERAH DI PROVINSI KEPULAUAN
RIAU................................................................................................................................... 56

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


xvi
TABEL V-1 HASIL ANALISIS POTENSI EKONOMI PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN
2008-2014........................................................................................................................... 58
TABEL V-2 WILAYAH SEGITIGA SIJORI/IMS-GT ............................................................................. 66
TABEL V-3 NERACA DAYA PROVINSI KEPULAUAN RIAU TAHUN 2014 (DALAM MW) .......... 74
TABEL VI-1 CASH FLOW 2015 DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU (DALAM MILIARAN
RUPIAH) ............................................................................................................................ 80
TABEL VI-2 INDIKATOR EKONOMI DAN KEBIJAKAN FISKAL DAERAH DI PROVINSI
KEPULAUAN RIAU ........................................................................................................... 81
TABEL VI-3 SIMULASI PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA DARI POLA PROCYLICAL VS
COUNTERCYCLICAL ..................................................................................................... 87
TABEL VI-4 DANA DESA SETIAP KABUPATEN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU ................ 89
TABEL VI-5 REALISASI TRANSFER DANA DESA DARI RKUD KE RKDESA............................. 89
TABEL VI-6 REALISASI TRANSFER DANA DESA DARI RKUD KE RKDESA............................. 90
TABEL VI-7 NILAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) KE NEGARA-NEGARA ASEAN
(JUTAAN USD) ................................................................................................................. 91
TABEL VI-8 PERKEMBANGAN ALOKASI BELANJA INFRASTRUKTUR PEMERINTAH PUSAT
(DALAM JUTAAN RUPIAH) ......................................................................................... 93
TABEL VI-9 PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI BELANJA INFRASTRUKTUR ............... 94

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


xvii
BAB I Pendahuluan
Kajian Fiskal Regional
digunakan untuk melihat keterkaitan
kondisi ekonomi dengan kebijakan fiskal
pemerintah berdasarkan potensi ekonomi
regional dan tantangan fiskal daerah.

1.1. LATAR BELAKANG


Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki berbagai macam
keragaman budaya dan keragaman potensi di setiap pulaunya. Berdasarkan amanat
UUD 1945, Negara bertanggung jawab mensejahterakan seluruh warganya. Untuk
menuju masyarakat yang sejahtera diperlukan perekonomian yang baik sebagai dasar
untuk menyokong aspek-aspek sosial politik yang menjadi prasyarat kesejahteraan
masyarakat. Pemerintah melaksanakan kebijakan publik untuk membantu
mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan publik dengan instrumen fiskal dilakukan dengan mempengaruhi
penerimaan dan belanja negara. Penerimaan dapat ditingkatkan dengan
memaksimalkan potensi yang dimiliki sedangkan belanja akan sangat bermanfaat bila
dilakukan untuk menunjang potensi yang dimiliki. Karena adanya keberagaman antar
daerah di Indonesia maka kebijakan akan lebih tepat jika berdasarkan kekhasan dan
potensi daerah masing-masing. Dan untuk membantu melihat potensi yang dimiliki tiap
daerah diperlukan suatu kajian yang dapat memberikan gambaran daerah tersebut baik
dari sisi perkembangan ekonomi regional, perkembangan pelaksanaan kebijakan fiskal
regional, keunggulan dan potensi ekonomi regional, serta tantangan fiskal daerah.
Dengan demikian, kajian fiskal regional ini diharapkan dapat memberikan masukan
yang komprehensif untuk dan feedback atas pengambilan kebijakan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah khususnya di lingkup Provinsi Kepulauan Riau.
Selain itu, dalam rangka pelaksanaan tugas pembinaan pelaksanaan anggaran
daerah oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Bidang
Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II, sebagai realisasi dari fungsi pembinaan,
koordinasi, dan supervisi, serta sebagai representasi Kementerian Keuangan di daerah

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


1
selaku pengelola fiskal, maka perlu dilakukan penyusunan kajian seperti yang
dibutuhkan diatas melalui Kajian Fiskal Regional (KFR). Penyusunan KFR ini mengacu
pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-30/PB/2013 tentang
Pedoman Pembinaan Pelaksanaan Anggaran Daerah oleh Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor
SE-43/PB/2014 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Kajian Fiskal Regional.

1.2. TUJUAN
Kajian Fiskal Regional diarahkan pada analisis fiskal dan makroekonomi untuk
pencapaian tujuan kebijakan fiskal. Kajian Fiskal Regional memiliki tujuan antara lain:
1. Mendukung pencapaian tujuan kebijakan fiskal dengan pencapaian tujuan
makroekonomi seperti:
a. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan;
b. Mencapai keseimbangan internal yaitu tingkat permintaan agregat sama
dengan tingkat penawaran agregat;
c. Menekan angka pengangguran;
d. Menjaga agar angka inflasi sesuai dengan target;
e. Mengentaskan kemiskinan;
f. Mengurangi kesenjangan pendapatan;
g. Mendorong pengelolaan fiskal pemerintah yang berkesinambungan;
h. Mencapai keseimbangan eksternal dimana terjadi kesinambungan neraca
transaksi berjalan.
2. Mendukung pencapaian fungsi APBN terkait alokasi, distribusi, dan stabilisasi
seperti:
a. Menyediakan informasi untuk penyusunan kerangka ekonomi makro yang
menjadi dasar penyusunan kebijakan fiskal/penyusunan APBN/APBD;
b. Sebagai alat analisis dan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana kebijakan
fiskal telah sesuai dengan tujuan makroekonomi yang telah ditetapkan;
c. Menjadi bahan masukkan terkait kesesuaian antara alokasi anggaran yang
telah dilakukan dengan karakteristik dan kebutuhan pembangunan di tingkat
regional Provinsi Kepulauan Riau.
3. Agar informasi yang terkandung dalam KFR dapat dimanfaatkan oleh para
pemangku kepentingan seperti penyusun dan pelaksana kebijakan baik dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, akademisi, mahasiswa, investor dan
masyarakat pada umumnya.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


2
1.3. RUANG LINGKUP
Kajian Fiskal Regional digunakan untuk menggambarkan interaksi antara fiskal
dengan perekonomian. Oleh karena itu kajian harus dapat menggambarkan kondisi
fiskal regional, kesinambungan fiskal, dan resiko fiskal yang terjadi di Provinsi
Kepulauan Riau.

1.4. METODE PENELITIAN


Penulisan menggunakan pendekatan kuantitatif dalam menggambarkan
keterkaitan antara kondisi fiskal dan makroekonomi terhadap kebijakan fiskal di Provinsi
Kepulauan Riau. Pengumpulan data menggunakan jenis data sekunder yang
bersumber dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Pemerintah Daerah lingkup
Provinsi Kepulauan Riau, Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik. Metode penelitian
menggunakan penelitian deskriptif sehingga gambaran informasi dijelaskan secara
sistematis.

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN


Kajian ini menggambarkan interaksi antara fiskal dengan ekonomi. Fiskal dii
Provinsi Kepulauan Riau merupakan dampak pelaksanaan kebijakan pemerintah baik
pusat maupun daerah yang tentunya direncanakan berdasarkan kondisi makro
ekonominya. Melihat interaksi keduanya, dapat kita lihat potensi ekonomi yang terdapat
di Provinsi Kepulauan Riau dan juga tantangan yang dihadapi pemerintah di daerah
Provinsi Kepulauan Riau itu sendiri.

Gambar I-1 Hubungan antara Ekonomi dengan Fiskal

PEREKONOMIAN REGIONAL

Tantangan Potensi
Fiskal Ekonomi
Daerah Regional

Sumber: 7seasons.wordpress.com (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


3
Kajian disajikan dalam tujuh bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan sebagai acuan pelaksanaan kajian. Bab ini berisi mekanisme
penelitian secara berurutan dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metode
penelitian, dan ditutup dengan sistematika penulisan.

Bab II Perkembangan dan Analisis Ekonomi Regional menjelaskan perkembangan


ekonomi terkini Provinsi Kepulauan Riau yang mencakup indikator
makroekonomii fundamental (PDRB, pertumbuhan ekonomi dan ekspor-impor,
suku bunga, inflasi, serta nilai tukar Rupiah) dan indikator pembangunan (Indeks
pembangunan manusia atau human development index, tingkat kemiskinan,
ketimpangan pendapatan, dan ketenagakerjaan).

Bab III Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBN di Provinsi Kepulauan


Riau memaparkan gambaran fiskal di Provinsi Kepulauan Riau yang bersumber
dari APBN. Gambaran tersebut berupa APBN dalam bentuk I account,
pendapatan dan belanja pemerintah pusat di Kepulauan Riau, dana transfer ke
Provinsi Kepulauan Riau, satker-satker PNBP, pengelolaan Badan Layanan
Umum, dan pengelolaan manajemen investasi pusat.

Bab IV Perkembangan dan Analisis Pelaksanaan APBD di Provinsi Kepulauan


Riau memaparkan gambaran fiskal di Provinsi Kepulauan Riau yang bersumber
dari APBD. Gambaran tersebut berupa APBD dalam bentuk I account,
pendapatan dan belanja pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Riau,
pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), pengelolaan investasi
daerah, SILPA dan pembiayaan, dan analisis keuangan daerah.

Bab V Keunggulan dan Potensi Ekonomi Regional menggambarkan keunggulan


yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau. Keunggulan tersebut dijelaskan dalam
gambaran sektor dan sub sektor ekonomi unggulan, analisis SWOT, dan
keterkaitannya dengan kebijakan fiskal yang digunakan dalam pembangunan
Provinsi Kepulauan Riau.

Bab VI Analisis Tantangan Fiskal Daerah/Regional menganalisa tantangan yang


dihadapi dengan memperlihatkan perkembangan cashflow, analisis pengaruh
belanja pemerintah terhadap perekonomian regional Provinsi Kepulauan Riau,
analisis perkembangan dana desa, dan posisi Provinsi Kepulauan Riau di era
persaingan negara-negara ASEAN.

Bab VII Penutup memberikan kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan pembahasan


pada bab-bab sebelumnya.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


4
BAB II Perkembangan DAN
ANALISIS Ekonomi Regional
Provinsi Kepulauan Riau

Pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau masih


berada di atas Nasional dan tertinggi di Sumatera,
namun perlambatan pertumbuhan ekonomi yang
diakibatkan ketidakstabilan ekonomi global lebih terasa
di Provinsi Kepulauan Riau karena letak geografisnya
yang berada di tengah-tengah jalur perdagangan
internasional.

2.1. INDIKATOR MAKROEKONOMI FUNDAMENTAL


Indikator ekonomi fundamental merupakan indikator yang bersifat dasar (pokok/
utama) dalam perekonomian. Perubahan indikator tersebut menandakan terjadinya
pergeseran dalam kondisi perekonomian.

2.1.1. Produk Domestik Regional Gambar II-1 Pertumbuhan PDRB Kepulauan Riau
dan Indonesia (yoy)
Bruto (PDRB)
PDRB adalah jumlah nilai
tambah barang jasa dari seluruh
kegiatan pekonomian di daerah
dalam periode tertentu. Terdapat 2
metode penghitungan PDRB, yaitu
harga berlaku (ADHB) dan harga Sumber: BPS Pusat dan BPS Provinsi Kepulauan Riau

konstan (ADHK). PDRB ADHB


menghitung nilai tambah barang dan jasa menggunakan harga yang pada tahun
tersebut, sementara PDRB ADHK dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar. PDRB
ADHB digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi sedangkan PDRB
ADHK digunakan untuk mengetahui prestasi pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya.
Pada tahun 2015, PDRB ADHK Kepulauan Riau mencapai Rp.155,16 triliun dan PDRB
ADHB mencapai Rp.203,28 triliun atau Rp.103,03 juta per kapita. PDRB tersebut
menyumbang sebesar 1,76% terhadap PDB Indonesia (kenaikan 3 basis poin).

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


5
Pertumbuhan perekonomian Kepulauan Riau lebih baik dibanding nasional. Hal
tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya yang selalu di atas nasional dalam
kurun waktu enam tahun terakhir. Namun demikian, ekspos terhadap jalur perdagangan
internasional juga menjadikan Provinsi Kepulauan Riau lebih rentan terhadap pengaruh
perekonomian global, hal tersebut terlihat dari perlambatan pertumbuhan yang lebih
dalam di tahun 2015, yakni sebesar 130 basis poin dibandingkan perlambatan di tingkat
nasional sebesar 23 basis poin dari pertumbuhan tahun sebelumnya.

2.1.1.1. PDRB Sisi Penawaran


PDRB sisi penawaran disusun melalui pendekatan produksi yang menjelaskan
bagaimana PDRB dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi dalam suatu wilayah dalam
jangka waktu tertentu berdasarkan jumlah nilai produk barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi. PDRB sisi penawaran digunakan untuk
mengetahui peranan sektor tertentu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi regional.

Tabel II-1 PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha Provinsi Kepulauan Riau Tahun Dasar 2010
Lapangan Usaha Porsi dalam Struktur Ekonomi (%) Pertumbuhan (yoy,%)
2012 2013 2014 2015 2012 2013 2014 2015
1. Pertanian 3,64 3,56 3,55 3,57 2,36 4,29 7,58 8,57
2. Pertambangan dan 16,54 15,95 15,01 14,27 5,07 3,23 0,81 3,03
Penggalian
3. Industri Pengolahan 38,57 38.98 38,83 38,63 8,07 8,17 7,03 5,82
4. Pengadaan Listrik, Gas 1,19 1,18 1,12 1,09 7,20 7,24 8,65 5,36
5. Pengadaan Air 0,13 0,12 0,12 0,11 5,11 4,02 2,03 2,85
6. Konstruksi 17,58 18,00 18,29 17,93 11,31 9,98 9,04 3,53
7. Perdagangan 6,86 6,77 7,41 8,03 6,91 9,98 9,04 12,67
8. Transportasi dan 2,70 2,82 2,98 3,22 7,10 6,13 7,20 9,70
Pergudangan
9. Penyedia Akomodasi 1,86 1,89 1.99 2,16 8,67 7,72 10,39 13,56
10. Informasi dan Komunikasi 1,84 1,76 1,79 1,87 7,02 6,45 7,04 10,53
11. Jasa Keuangan 2,71 2,67 2,66 2,60 6,56 6,07 5,79 3,03
12. Real Estate 1,49 1,45 1,45 1,48 4,94 5,67 6,39 3,54
13. Jasa Perusahaan 0,00 0,00 0,00 0,00 9,31 7,36 2,02 2,77
14. Adm.Pemerintahan, dan 2,20 2,28 2,29 2,45 6,16 4,72 6,98 11,37
Jaminan Sosial
15. Jasa Pendidikan 1,35 1,30 1,26 1,26 12,39 3,07 4,27 6,15
16. Jasa Kesehatan dan 0,90 0,85 0,84 0,85 8,05 1,68 4,84 7,15
Kegiatan Sosial
17. Jasa Lainnya 0,44 0,42 0,41 0,45 3,02 0,72 5,00 13,07
Agregat 100 100 100 100 7,63 7,11 7,32 6,02
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

Sumber utama pertumbuhan di Provinsi Kepulauan Riau pada 2015 sama


dengan sumber utama pertumbuhan di tingkat Nasional yakni pertumbuhan usaha
industri pengolahan. Pertumbuhan ekonomi yang mengalami naik turun didukung oleh
perubahan di semua lapangan usaha. Pada tahun 2015, laju pertumbuhan terbesar
terjadi pada lapangan usaha penyedia akomodasi dan makan minum yang mencapai
13,56%, sedangkan perlambatan terbesar terjadi pada lapangan usaha konstruksi yang

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


6
melambat 551 basis poin menjadi
Gambar II-2 Perubahan Struktur Ekonomi Provinsi
3,53%. Lapangan usaha dengan
Kepulauan Riau (PDRB ADHB sisi Penawaran)
pertumbuhan yang selalu
meningkat pada periode tahun
2012-2015 adalah pertanian,
kehutanan, dan perikanan
sedangkan selain lapangan usaha
tersebut pertumbuhannya fluktuatif
bahkan menurun. Dilihat dari
struktur perekonomian lapangan
usaha yang mendominasi, sektor Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

Industri Pengolahan, Konstruksi,


dan Pertambangan dan Penggalian merupakan tiga sektor terbesar sejak tahun 2011.
Namun demikian, porsi sektor Pertambangan dan Penggalian terus menurun di saat
porsi sektor industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan meningkat.

2.1.1.2. PDRB Sisi Permintaan


PDRB sisi permintaan disusun melalui pendekatan pengeluaran yang
menjelaskan bagaimana PDRB suatu wilayah digunakan baik untuk memenuhi
kebutuhan permintaan di dalam wilayah maupun untuk memenuhi kebutuhan di luar
wilayah. PDRB sisi permintaan digunakan untuk mengetahui peran atau kontribusi
sumber pengeluaran/penggunaan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Tabel II-2 Pertumbuhan PDRB Menurut Penggunaan Provinsi Kepulauan Riau Tahun Dasar 2010
Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Sumber
Distribusi
Sumber Penggunaan/Pengeluaran Tw. IV 2015 Tw IV 2015 2015 Pertumbuh-
2015
(q-to-q) (y-on-y) (c-to-c) an 2015
1. Konsumsi Rumah Tangga 1,77% 6,29% 36,50% 7,09% 2,58%
2. Konsumsi LNPRT 32,32% 37,46% 0,24% 7,44% 0,02%
3. Konsumsi Pemerintah 79,73% 3,27% 6,09% 3,25% 0,18%
4. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto 7,18% 3,99% 41,69% 3,25% 1,30%
5. Perubahan Inventori -6,27% -0,98% -72,85% -1,28%
6. Ekspor Barang dan Jasa Luar Negeri -5,67% -18,27% -41,02% 30,57%
15,47%
7. Impor Barang dan Jasa Luar Negeri -1,08% -2,31% -2,40% -1,82%
8. Net Ekspor Antar Wilayah 1,03% -57,49% -168,14% -29,18%
PDRB 2,44% 5,20% 100% 6,02% 6,02%
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau (data diolah)

Ketidakstabilan perekonomian global di tahun 2015 telah berdampak signifikan


terhadap penurunan komponen ekspor, impor, perubahan inventori, dan net ekspor
antar wilayah dari PDRB sisi pengeluaran di Provinsi Kepulauan Riau. Efek neto dari
kondisi itu terlihat dari distribusi keempat komponen yang menurun 141 basis poin dari
16,88% di tahun 2014. Di sisi lain, empat komponen PDRB sisi pengeluaran lainnya

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


7
menunjukkan peningkatan dimana laju
Gambar II-3 Struktur Ekonomi Provinsi
pertumbuhan tertinggi (7,44%) dicatatkan
Kepulauan Riau dalam PDRB ADHB sisi
oleh komponen konsumsi LNPRT sebagai Permintaan Tahun 2015

dampak konsumsi partai politik pada pilkada


serentak di tahun 2015. Komponen sumber
pengeluaran terbesar adalah pembentukan
modal tetap domestik bruto (PMTB) dengan
porsi 41,69%, disusul oleh pengeluaran
konsumsi rumah tangga dengan porsi
sebesar 36,50%. Konsumsi Rumah Tangga Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
menjadi sumber pertumbuhan ekonomi
yang paling dominan di Provinsi Kepulauan Riau maupun di tingkat Nasional.

2.1.1.3. PDRB Per Kapita Gambar II-4 Perkembangan PDRB Per Kapita
Kepulauan Riau (Jutaan Rupiah)
PDRB per kapita
menggambarkan rata-rata pendapatan
penduduk suatu daerah selama satu
tahun. PDRB per kapita diperoleh
berdasarkan pembagian PDRB
terhadap jumlah penduduknya. PDRB
per kapita menggambarkan ukuran
tingkat kemakmuran suatu daerah. Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, (data diolah)
PDRB per kapita Kepulauan
Riau menunjukkan tingkat kemakmuran Kepulauan Riau jauh di atas tingkat kemakmuran
nasional. Dukungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan PDRB per kapita yang besar
menunjukkan keberhasilan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Namun untuk menyingkirkan bias kesimpulan maka perlu
dilihat indikator lain seperti distribusi pendapatan di Provinsi Kepulauan Riau.

2.1.2 Suku Bunga Gambar II-5 Perkembangan Suku Bunga Kredit

Suku bunga merupakan bagian


yang berdasarkan pokok hutang yang
dibayarkan sebagai imbal jasa selama
periode tertentu. Perubahan tingkat
suku bunga memiliki keterkaitan
dengan laju inflasi dan kondisi *Suku Bunga Bank Umum
perekonomian. Suku bunga kredit pada Sumber: BPS Pusat dan Bank Indonesia

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


8
bank umum mengalami kecenderungan menurun pada semua jenis kredit. Namun ketika
Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan moneter dengan meningkatkan BI rate untuk
menjaga inflasi maka ketiga suku bunga kredit (kredit modal kerja, investasi, dan
konsumsi) mengalami kenaikan tingkat bunga. Perubahan suku bunga kredit sesuai
atau sejalan dengan perubahan BI rate. Suku bunga kredit meningkat pada triwulan
pertama di tahun 2015 karena BI merespon depresiasi rupiah dengan meningkatkan BI
Rate di sebesar 25 basis point menjadi 7,75 pada akhir tahun 2014. Penurunan BI Rate
menjadi 7,5% pada tanggal 17 Februari 2015 baru berdampak terhadap penurunan
suku bunga kredit mulai bulan April hingga akhir tahun.

2.1.3 Inflasi
Inflasi merupakan kenaikan harga secara umum dan terus menerus sejumlah
barang jasa yang merupakan kebutuhan pokok rumah tangga. Inflasi menyebabkan
penurunan daya beli masyarakat dan penurunan nilai uang secara riil. Inflasi dihitung
berdasarkan perubahan indeks harga konsumen (IHK) yang merupakan data harga
konsumen yang diperoleh dari 82 kota mencakup 225-462 barang jasa yang
dikelompokkan dalam tujuh kelompok pengeluaran pada 33 ibukota provinsi dan 49 kota
besar di seluruh Indonesia. Inflasi Provinsi Kepulauan Riau merupakan gabungan inflasi
Kota Batam dengan inflasi Kota Tanjungpinang berdasarkan IHK masing-masing kota.
Adapun mengacu pada perhitungan yang dibuat oleh Bank Indonesia, pembobotan
inflasi kota untuk membentuk inflasi provinsi adalah 86% untuk Kota Batam dan 14%
untuk Kota Tanjungpinang sehingga inflasi Provinsi Kepulauan Riau cenderung sejalan
dengan inflasi Kota Batam.

Gambar II-6 Inflasi di Provinsi Kepulauan Riau dan Nasional, 2014-2015 (yoy)

Sumber: BPS Pusat, BPS Provinsi Kepulauan Riau, dan BI (diolah)

Tren inflasi di Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015 berkebalikan dengan
tahun 2014. Pada periode tahun 2014, inflasi di Provinsi Kepulauan Riau hampir selalu
di bawah tingkat inflasi nasional (Indonesia). Namun, sampai dengan akhir tahun 2015
inflasi di Provinsi Kepulauan Riau lebih sering berada di atas rata-rata nasional. Pada
akhir tahun 2015, inflasi di Provinsi Kepulauan Riau mencapai 4,41% sedangkan inflasi

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


9
nasional berada di tingkat yang lebih rendah sebesar 3,35%. Hal tersebut menunjukkan
target inflasi Bank Indonesia sebesar ±4% berhasil tercapai baik di tingkat nasional
maupun di tingkat regional Provinsi Kepulauan Riau.
Kelompok komoditas dengan tingkat inflasi tertinggi di Provinsi Kepulauan Riau
selama tahun 2015 adalah kelompok bahan makanan dengan tingkat inflasi 9,47%
disusul oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dengan tingkat
inflasi 6,07%. Penyebab utama inflasi di kedua kelompok tersebut adalah
ketergantungan Provinsi Kepulauan Riau akan pasokan bahan makanan dari provinsi
lain atau dari negara lain sedangkan impor bahan-bahan makanan tersebut sempat
dihentikan pada tahun 2015. Sementara itu, penurunan harga minyak dunia pada
umumnya dan harga BBM di Indonesia pada khususnya membantu mengurangi
tekanan inflasi di Provinsi Kepulauan Riau sehingga target inflasi dapat tercapai.

2.1.4 Nilai Tukar


Nilai tukar adalah nilai suatu mata uang yang dipertukarkan dengan mata uang
negara lain. Nilai tukar dalam hal ini Rupiah selalu berfluktuasi tiap periodenya.
Ketidakstabilan nilai tukar tersebut mempengaruhi perdagangan internasional dan arus
modal investasi Indonesia. Negara Singapura, Malaysia, China, Australia, Amerika
Serikat, dan Jepang secara berturut-turut adalah negara yang memiliki nilai
perdagangan dengan Provinsi Kepulauan Riau tertinggi. Nilai perdagangan Singapura
dengan Provinsi Kepulauan Riau mencapai 9.561 juta Dollar AS atau 47,43% dari
seluruh nilai perdagangan internasional Provinsi Kepulauan Riau di tahun 2015.
Sementara itu, apabila negara-negara eropa yang tergabung dalam Uni Eropa dihitung
sebagai satu entitas, maka persatuan tersebut menduduki peringkat kedua dalam nilai
perdagangannya dengan Provinsi Kepulauan Riau. Pergerakan nilai tukar dari ketujuh
mata uang negara/wilayah tersebut terhadap Indonesia dapat dilihat pada grafik berikut:
Gambar II-7 Pergerakan Nilai Tukar Mata Uang Asing terhadap Rupiah Tahun 2015
10/21/15

11/12/15
11/24/15

12/17/15
12/31/15
5/18/15

8/11/15
1/20/15
1/30/15
2/11/15
2/24/15

3/18/15
3/30/15
4/10/15
4/22/15

5/28/15
6/10/15
6/22/15

7/14/15
7/30/15

8/24/15

9/15/15
9/28/15
10/8/15

11/2/15

12/4/15
1/8/15

3/6/15

5/5/15

7/2/15

9/3/15

Rp17.000 Rp8.000

Rp15.000 Rp6.000

Rp13.000 Rp4.000

Rp11.000 Rp2.000

Rp9.000 Rp0
SGD AUD USD JPY (100)
Euro MYR CNY Expon. (USD)
*Ringgit Malaysia (MYR) dan Renminbi China (CNY) menggunakan sumbu kedua, lainnya menggunakan sumbu pertama
Sumber: Bank Indonesia (diolah)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


10
Sepanjang tahun 2015 nilai tukar Rupiah bergerak fluktuatif khususnya terhadap
Dollar AS dimana nilainya sempat menyentuh 14.728 Rupiah per satu Dollar AS
(depresiasi 18,07% dibandingkan posisi akhir tahun 2014) dan terhadap Yen dimana
nilainya sempat menyentuh 122,99 Rupiah per satu Yen (depresiasi 18,71%
dibandingkan posisi akhir tahun 2014). Depresiasi tersebut disebabkan oleh
ketidakstabilan perekonomian global akibat kenaikan Federal Fund Rate, penurunan
harga komoditas dunia, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, kebangkrutan
Yunani dan devaluasi Renminbi terhadap Dollar AS. Di sisi lain, Rupiah juga mengalami
kecenderungan menguat terhadap Ringgit Malaysia karena konflik politik yang mendera
negara tersebut di tahun 2015. Sementara itu, nilai tukar terhadap lima mata uang
negara/wilayah lainnya yang menjadi mitra dagang utama Provinsi Kepulauan Riau
cenderung stabil dengan perubahan setahun berada di bawah ±5%. Pada tanggal 31
Desember 2015, nilai tukar terhadap satu unit Dollar Singapura, Ringgit Malaysia,
Renminbi China, Dollar Australia, Dollar AS, Yen Jepang, dan Euro (SGD, MYR, CNY,
AUD, USD, JPY, EURO) masing-masing sebesar Rp.9.761, Rp.3.210, Rp.2.124,
Rp.10.064, Rp.13.795, Rp.114,52, dan Rp.15.070.
Secara umum, pelemahan mata uang akan merangsang ekspor dan membuat
mahal impor sehingga mengurangi defisit perdagangan (meningkatkan surplus),
menguatnya mata uang akan menekan ekspor dan merangsang impor yang kemudian
diikuti nilai mata uang akan bergerak kembali sebagai penyesuaian. Tapi sebelumnya,
sektor industri yang sangat berorientasi pada ekspor dapat hancur terlebih dahulu
karena nilai uang yang terlalu kuat. Dari hal tersebut dapat dijelaskan bahwa ekspor
memiliki hubungan terbalik dengan kekuatan mata uang domestik.
Provinsi Kepulauan Riau
Gambar II-8 Ekspor Impor Provinsi
Kepulauan Riau 2015 sepanjang tahun 2015 memiliki total
ekspor, impor dan net ekspor sebesar
Jepang 723 Dalam Jutaan USD
254
11.661, 8.496, dan 3.164 juta Dollar AS
420 dimana masing-masing mencerminkan
AS 595
penurunan sebesar 22,59%, 23,30%,
102
Australia 1.036
dan 20,63% dibandingkan dengan
886 Tahun 2014. Penurunan tersebut
China 260
menunjukkan bahwa ketidakstabilan
594
Malaysia 623 ekonomi global sebagaimana telah
Singapura 3.374 dijelaskan sebelumnya memberikan
6.187
Impor dampak yang signifikan di Provinsi
Ekspor - 1.500 3.000 4.500 6.000 7.500
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau (diolah) Kepulauan Riau. Dikaitkan dengan

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


11
fluktuasi nilai tukar, depresiasi terhadap Dollar AS berpotensi untuk meningkatkan net
ekspor dengan Amerika Serikat yang pada tahun 2015 bernilai 175,16 juta Dollar AS.
Di sisi lain depresiasi terhadap Yen juga berpotensi untuk meningkatkan surplus
perdagangan dengan mengurangi net impor terhadap Jepang yang mencapai 185%
dari nilai ekspor ke Jepang di tahun 2015. Sementara itu, apresiasi terhadap Ringgit
Malaysia dapat mengurangi daya saing komoditas Provinsi Kepulauan Riau di Malaysia
dan meningkatkan daya tarik barang Malaysia di Provinsi Kepulauan Riau sehingga net
ekspor di tahun 2015 beresiko menipis.
Selain dapat mempengaruhi perdagangan internasional, nilai tukar juga dapat
mempengaruhi sisi arus modal dari neraca pembayaran dan cadangan devisa. Arus
modal seperti investasi asing langsung (FDI; Foreign Direct Investment). FDI
merupakan sumber dana yang sangat penting untuk perekonomian negara berkembang
yang pertumbuhannya sangat bergantung pada ketersediaan modal.
Depresiasi Rupiah terhadap Dollar AS yang memuncak pada pertengahan tahun
2015 sempat menimbulkan kekhawatiran. Akan tetapi, menjelang penutupan tahun
Federal Reserve telah menaikkan suku bunganya sehingga nilai tukar Rupiah kembali
ke nilai fundamentalnya. Kepastian tersebut dan rencana kenaikan suku bunga secara
perlahan pada tahun 2016 diharapkan akan memberikan iklim perekonomian global
yang lebih kondusif sehingga perekonomian Provinsi Kepulauan Riau dimana sebagian
besar industrinya bergantung pada perdagangan internasional akan bertumbuh baik.

2.2. INDIKATOR PEMBANGUNAN


Indikator pembangunan digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pem-
bangunan sesuai kebijakan fiskal pemerintah. Kajian ini menggunakan empat indikator
pembangunan dalam melihat keberhasilan pencapaian tinjauan kebijakan fiskal.
Tabel II-3 Tren Pergerakan IPM
2.2.1. Indeks Pembangunan Manusia
4 75
Dalam Triliunan Rupiah
Kesejahteraan secara lebih luas
dapat dilihat berdasar Indeks 001
3 001 70
Pembangunan Manusia (IPM) selain dari
001
PDRB. IPM merupakan indeks yang 2 001 65
001 002 002
memberikan ukuran pencapaian 002 002
001
pembangunan berdasar perbandingan 1 60
2010 2011 2012 2013 2014
aspek dasar pembangunan manusia yang Alokasi Kesehatan Alokasi Pendidikan
IPM Kepri IPM Nasional
terdiri dari kesehatan (panjang umur dan
Sumber: BPS Pusat BPS Provinsi Kepulauan Riau, KFR Tahun
menjalani hidup sehat diukur dengan usia 2014 Kanwil DJPBN Provinsi Kepulauan Riau

harapan hidup), pendidikan (terukur dalam kemampuan baca tulis dan tingkat

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


12
pendaftaran sekolah), dan standar hidup Tabel II-4 IPM Provinsi Kepulauan Riau
Wilayah 2010 2011 2012 2013 2014
layak (diukur dari paritas daya beli,
Karimun 66,40 66,82 67,67 68,52 68,72
penghasilan). Oleh karena itu Bintan 69,87 70,47 71,01 71,31 71,65
Natuna 66,29 67,76 68,80 70,06 70,06
IPM digunakan untuk mengukur
Lingga 57,36 58,51 59,38 60,13 60,75
pengaruh kebijaksanaan pemerintah Batam 76,98 77,82 78,39 78,65 79,13
Tanjungpinang 73,76 74,86 75,91 76,70 77,29
terhadap kualitas hidup masyarakatnya.
Kep. Anambas 63,03 63,71 64,32 64,86 65,12
Semakin tinggi nilai IPM maka semakin Kepulauan Riau 71,13 71,61 72,36 73,02 73,40
Indonesia 66,53 67,09 67,70 68,31 68,90
baik pencapaian pembangunan
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau
manusianya (besaran indeks 0 s.d.1).
Unsur pendidikan sendiri mengalami revisi pada tahun 2015 dimana kemampuan baca
tulis yang direpresentasikan oleh Angka Melek Huruf (AMH) diganti dengan Rata-rata
Lama Sekolah. AMH dianggap sudah tidak dapat merepresentasikan perkembangan di
bidang pendidikan. Revisi tersebut diaplikasikan pada IPM tahun 2010 sampai 2014 dan
berakibat pada penurunan IPM di seluruh daerah pada periode tersebut.
Per tahun 2014, terdapat 3 Kabupaten/Kota yang memiliki IPM di bawah
Nasional Terdapat tiga daerah di Kepulauan Riau yang nilai IPM dibawah nasional yakni
Kabupaten Karimun, Lingga, dan Kepulauan Anambas. Dari ketiga Kabupaten tersebut,
Lingga memiliki IPM terendah (60,75) sedangkan Karimun (68,72) hanya terpaut 0,18
poin dibandingkan dengan nasional (68,90).
Di sisi lain, Kabupaten Natuna menunjukkan perkembangan IPM yang sangat
baik selama periode tahun 2010 sampai 2014. Pada tahun 2010 IPM Kabupaten
Natuna masih berada 0,24 poin di bawah Nasional. Di akhir tahun 2014 IPM tersebut
telah mengungguli rata-rata nasional dengan selisih sebesar 1,16 poin.
Provinsi Kepulauan Riau sendiri, dengan IPM sebesar 73,40 menduduki
peringkat empat se-Indonesia, dua peringkat di atas Provinsi Riau sebagai induk daerah
pemekaran yang memiliki IPM 70,33. Hal tersebut mengindikasikan keberhasilan
percepatan pembangunan di Provinsi Kepulauan Riau, khususnya dalam
pengalokasian di bidang pendidikan, kesehatan, dan stimulus pendorong ekonomi.

2.2.2. Kemiskinan
Kesejahteraan dapat juga diukur dari kemiskinan. Penurunan kemiskinan
merupakan keberhasilan pencapaian kebijakan pemerintah. Kemiskinan dapat diartikan
sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Indikator
kemiskinan terdiri dari head count index of poverty (HCI-P0), indeks kedalaman
kemiskinan (P1), indeks keparahan kemiskinan (P2), dan jumlah penduduk miskin. Pada
periode September 2015 sampai September 2015, Provinsi Kepulauan Riau berkinerja

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


13
lebih baik dalam mengurangi tingkat kemiskinan dibandingkan Nasional, terlihat dari
HCI-P0 yang menurun menjadi 5,78% di saat terjadi peningkatan sebesar 0,17 poin di
tingkat Nasional. Bahkan, apabila dilihat dari performa secara keseluruhan, HCI-P0 di
Provinsi Kepulauan Riau hanya sekitar setengah dari HCI-P0 di Indonesia sebesar
11,13% yang menunjukkan bahwa performanya jauh lebih baik.
Tabel II-5 Kemiskinan di Provinsi Gambar II-9 Head Count Index of Poverty
Kepulauan Riau (HCI-P0) Provinsi Kepulauan Riau
Garis Jumlah 16%
Periode Kemiskinan Penduduk
(Rp/Kapita/Bln) Miskin
Maret 2008 262.232 136.400 jiwa
12%
Maret 2009 283.965 128.210 jiwa
Maret 2010 295.095 129.670 jiwa
Maret 2011 340.581 129.557 jiwa
September 2011 353.379 122.500 jiwa 8%
Maret 2012 356.873 131.222 jiwa
September 2012 363.450 131.215 jiwa
Maret 2013 372.941 126.667 jiwa
September 2013 398.903 125.021 jiwa 4%
Mar-08

Mar-09

Mar-10

Mar-11

Mar-12

Mar-13

Mar-14

Mar-15
Sep-10

Sep-14
Sep-08

Sep-09

Sep-11

Sep-12

Sep-13

Sep-15
Maret 2014 415.800 127.800 jiwa
September 2014 425.967 124.171 jiwa
Maret 2015 448.652 122.398 jiwa Perkotaan Perdesaan
September 2015 480.812 114.834 jiwa Kep.Riau Indonesia
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

Selain dilihat dari indikator tersebut, keberhasilan kebijakan pengentasan


kemiskinan juga harus dilihat dari indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan. Indeks
kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau
menunjukkan penurunan dalam kurun waktu Maret 2007 hingga September 2015. Hal
tersebut mengindikasi-kan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin di Kepulauan
Riau semakin menjauh dari kondisi extreme poverty, dan ketimpangan antar
pendapatan penduduk miskin semakin rendah.
Gambar II-11 Indeks Keparahan Kemiskinan Gambar II-10 Indeks Kedalaman Kemiskinan
Provinsi Kepulauan Riau Provinsi Kepulauan Riau
01 3
Indeks Indeks
01
2
01
1
00
-
-
Sep-07

Sep-08

Sep-09

Sep-10

Sep-11

Sep-12
Mar-13
Sep-13

Sep-14

Sep-15
Mar-07

Mar-08

Mar-09

Mar-10

Mar-11

Mar-12

Mar-14

Mar-15
Sep-07

Sep-08

Sep-09

Sep-10

Sep-11

Sep-12
Mar-13
Sep-13

Sep-14

Sep-15
Mar-07

Mar-08

Mar-09

Mar-10

Mar-11

Mar-12

Mar-14

Mar-15

Kota Desa Kep.Riau Kota Desa Kep.Riau


Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

2.2.3. Ketimpangan
Distribusi pendapatan merupakan aspek penting ukuran pemerataan
pendapatan dalam masyarakat merupakan tujuan kebijakan pembangunan dalam
pengentasan kemiskinan. Koefisien gini mencerminkan tingkat ketimpangan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


14
pendapatan dalam masyarakat dengan nilai berkisar antara 0 (sangat merata) hingga 1
(sangat timpang).
Koefisien gini di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan peningkatan walaupun
nilainya masih terpaut 1 poin di bawah nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pemerataan pendapatan di Provinsi Kepulauan Riau fluktuatif namun mengindikasikan
akan terjadi peningkatan ketimpangan yang hingga 2013 telah menunjukkan koefisien
sebesar 0,36 dalam kategori sedang. Sedangkan koefisen gini nasional hingga 2013
semakin mendekati kategori tinggi/sangat timpang mencapai 0,41.

Gambar II-12 Perkembangan Koefisien Gini Kepulauan Riau


001

000

000

000

000

000

000
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Nasional Kep.Riau Karimun Bintan Natuna
Lingga Kep.Anambas Batam Tanjungpinang
*Data Karimun, Anambas, Batam dan Tanjungpinang tahun 2013-2014 adalah hasil prognosis dan data Anabas tahun 2008-2009
adalah hasil backcasting karena BPS belum merilis data pada periode tahun tersebut.
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

2.2.4. Kondisi Ketenagakerjaan


Perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah sangat berpengaruh
terhadap kondisi ketenagakerjaan di wilayah tersebut. Beberapa permasalahan dalam
ketenagakerjaan yang ditemui antara lain terkait dengan tingginya tingkat
pengangguran, terbatasnya penyediaan lapangan kerja, serta rendahnya produktivitas
tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja
baru sehingga mengurangi tingkat pengangguran, namun kenyataannya pertumbuhan
ekonomi yang kurang berkualitas dapat menyebabkan masalah ketenagakerjaan.
Indikator untuk mengukur kesejahteraan angkatan kerja adalah jenis kegiatan utama
angkatan kerja, jumlah jam kerja, sumber penghasilan utama, dan status pekerjaan.

Tabel II-6 Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Riau: Jenis Kegiatan Utama
Indikator 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Angkatan Kerja (jiwa) 666.000 681.769 826.535 847.997 844.393 854.150 878.415 891.988
Bekerja 612.667 626.456 769.486 781.824 802.795 806.073 819.656 836.670
Penganggur 53.333 55.313 57.049 66.173 41.598 48.077 58.759 55.318
TPAK (%) 66,09 64,75 68,85 67,48 67,18 65,92 65,95 65,07
Tk.PengangguranTerbuka (%) 8,01 7,81 6,90 7,80 4,93 5,63 6,69 6,20
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


15
Angkatan kerja adalah penduduk yang sudah memasuki usia kerja (15 tahun ke
atas), baik yang sudah bekerja maupun belum bekerja atau sedang mencari pekerjaan.
Angkatan kerja di Kepulauan Riau menunjukkan peningkatan sejak 2008 hingga 2015
namun, tingkat angka partisipasi angkatan kerja (TPAK) mengalami penurunan sejak
2010 yang menunjukkan pertumbuhan penduduk bukan angkatan kerja tidak sebanding
dengan pertumbuhan angkatan kerja. Akan tetapi tingkat pengangguran terbuka yang
cenderung mengalami penurunan menunjukkan pembangunan di Kepulauan Riau
mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup memadai bagi penduduknya.
Berdasarkan angkatan kerja yang bekerja, sebanyak 85,70% penduduk bekerja
penuh waktu (full time worker) dengan bekerja lebih dari 35 jam seminggu. Jumlah full
time worker terus meningkat menunjukkan semakin banyaknya pekerja yang bekerja
penuh. Penyerapan tenaga kerja hingga 2015 masih didominasi oleh lulusan SMA
(31,79%) diikuti oleh lulusan SD ke bawah (22,70%). Pada tahun 2015, Penyerapan
pekerja lulusan SMP dan SMK mengalami penurunan sedangkan yang lain mengalami
peningkatan. Berdasarkan status pekerjaan, sebanyak 68,49% pekerja bekerja sebagai
buruh dengan sektor industri, perdagangan dan jasa secara berurutan masih menjadi
penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Provinsi Kepulauan Riau

Gambar II-15 Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Gambar II-13 Indikator Ketenagakerjaan Provinsi
Kepulauan Riau Menurut Lapangan Pekerjaan Kepulauan Riau Menurut Status Pekerjaan
Utama (Dalam Ribuan) (Dalam Ribuan)
500 451 600 528 513 540 524 573
476
400 500
353
234 400
300 222 225
198 199 300
200 140 153 177 152 150 153
200 139 141
100 100
- -
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pertanian Pertambangan Industri BerusahaSendiri DibantuBuruhTT
Listrik,Gas,Minum Konstruksi Perdagangan DibantuBuruhTetap Buruh/Karyawan
Transportasi Keuangan Jasa PekerjaBebas PekerjaKeluarga
Gambar II-16 Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Gambar II-14 Indikator Ketenagakerjaan Provinsi
Kepulauan Riau Menurut Jumlah Jam kerja Kepulauan Riau Menurut Pendidikan Tertinggi yang
Perminggu (Dalam Ribuan) Ditamatkan (Dalam Ribuan)
750 300 266
236 224 230 228
250 214
600 695 707 717
664 674 677 200 159
450 522 542 150
1-34 jam 35+ jam 100
300 50
105 108 108 129 113 119 -
150 90 84
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
SD ke bawah SMP
0 SMA SMK
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Diploma Universitas
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


16
BAB III Perkembangan DAN
ANALISIS Pelaksanaan APBN di
Provinsi Kepulauan Riau
Sebagai bentuk komitmen dalam memprioritaskan
pembangunan infrastruktur khususnya di
wilayah laut dan wilayah terluar, Pemerintah
Pusat meningkatkan alokasi belanja modal
APBN TA 2015 di Provinsi Kepulauan Riau
hingga 77,16%.

3.1. APBN TINGKAT PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan kebijakan fiskal
pemerintah yang terkait dengan pengaturan belanja dan pendapatan pemerintah. APBN
digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah pusat yang dalam hal ini berada di
lingkup Provinsi Kepulauan Riau. Kegiatan dijalankan oleh satuan-satuan kerja
kementerian/lembaga berdasarkan jenis kewenangan sesuai alokasi dana dalam DIPA.

Tabel III-1 Pagu dan Realisasi APBN di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
2013 2014 2015
Uraian
Pagu Realisasi % Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
A.Pendapatan 7.253,39 6.247,05 86,13% 6.351,19 7.157,46 112,69% 9.112,56 7.487,03 82,16%
Penerimaan Pajak 6.498,87 5.856,81 90,12% 5.653,38 6.039,56 107,59% 8.192,52 6.141,22 74,96%
Penerimaan Bukan
754,52 1.300,08 172,31% 697,81 1.114,62 159,73% 919,87 1.162,63 126,39%
Pajak
Hibah - 22,40 - - 3,28 - - 183,18 -
B.Belanja Negara 10.839,63 10.127,84 93,47% 12.788,44 11.430,59 89,38% 12.384,74 11.553,87 93,29%
Belanja Pemerintah
3.553,23 3.220,85 90,65% 4.652,10 4.023,25 86,48% 6.477,50 5.612,25 86,64%
Pusat
Transfer ke Daerah 7.286,41 6.906,98 94,79% 8.136,34 7.407,34 91,04% 5.907,24 5.941,62 100,58%
C.Surplus
(3.586,24) (3.880,79) 108,21% (6.437,25) (4.273,13) 66,38% (3.272,18) (4.066,71) 124,28%
(Defisit) (A-B)
Sumber: Monev PA dan OM SPAN DJPBN, dashboard Penerimaan Pajak DJP, DJBC (per 11 Februari 2016), dan LK BP BATAM
(diolah)

3.2. PENDAPATAN PEMERINTAH PUSAT


Penerimaan pendapatan pemerintah pusat di Provinsi Kepulauan Riau hanya
bertambah tipis (4,60%) di tengah ketidakstabilan perekonomian global pada tahun
2015 yang turut mempengaruhi perekonomian Provinsi Kepulauan Riau. Kontribusi
penerimaan perpajakan mengalami sedikit penurunan namun tetap yang paling

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


17
signifikan dengan porsi sebesar 82,02% dari total penerimaan pemerintah pusat di
Provinsi Kepulauan Riau. Pada tahun sebelumnya kontribusi tersebut mencapai
84,38%.

3.2.1. Penerimaan Perpajakan


Penerimaan Perpajakan di Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari penerimaan
pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan
(PBB), pajak lainnya dan bea cukai.

Tabel III-2 Penerimaan Perpajakan Pemerintah Pusat di Provinsi Kepulauan Riau


(dalam miliaran Rupiah)
2013 2014 2015*
Jenis Pendapatan
Target Realisasi % Target Realisasi % Target Realisasi %
Pendapatan Pajak Dalam Negeri 5.037,50 4.565,42 90,64% 5.104,88 5.492,31 107,59% 7.841,60 5.879,74 78,53%
Pajak Penghasilan (PPh) 4.226,35 3.788,28 89,63% 4.304,78 4.652,41 108,08% 6.627,69 5.079,68 76,64%
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 700,37 690,37 98,57% 748,55 763,43 101,99% 1.088,50 711,63 65,38%
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 48,47 35,79 73,83% 2,49 28,841.158,93% 28,67 24,41 85,16%
Cukai 1,05 1,55 147,42% 1,75 0,76 43,14% 0,58 0,27 46,50%-
Pajak Lainnya 60,82 49,43 81,27% 47,31 46,88 99,09% 96,17 63,75 66,29%
Pendapatan Pajak
1.461,39 1.291,38 88,34% 548,50 547,25 99,77% 351,09 261,48 74,48%
Perdagangan Internasional
Bea Masuk 451,64 481,83 106,68% 502,07 500,90 99,77% 351,09 261,48 74,48%
Bea Keluar 1.010,18 809,56 80,41% 46,43 46,35 99,83% - - -
Total Penerimaan Perpajakan 6.498,87 5.856,81 90,12% 5.653,38 6.039,56 106,83% 8.192,69 6.141,22 74,96%
*Tidak ada target maupun realisasi Bea Keluar pada TA 2015
Sumber: Monev PA DJPBN, dashboard Penerimaan Pajak DJP, dan DJBC (per 11 Februari 2016) (diolah)

Penerimaan perpajakan secara keseluruhan mengalami kenaikan tipis sebesar


1,68%. Berdasarkan jenis pajaknya, Pajak Dalam Negeri mengalami kenaikan yang
cukup signifikan sebesar 7,05% dengan Pajak Penghasilan (PPh) yang meningkat
9,18% menjadi pendorong utamanya. Namun demikian peningkatan tersebut belum
dapat mendorong penerimaan pajak secara keseluruhan sebagai akibat dari Pajak
Perdagangan Internasional (PPI) yang menurun dalam sampai -35,99% dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang menurun sebesar -6,79%.
Sebagai provinsi yang Gambar III-1 Perkembangan Tax to GDP Ratio
terletak di jalur perdagangan 4%
internasional, Provinsi Kepulauan 3%
Riau memiliki volume 2%
perdagangan yang tinggi dan
1%
sangat terekspos pada kondisi
0%
perekonomian dunia. 2013 2014 2015
Total 3,590% 3,330% 3,020%
Ketidakstabilan ekonomi global
PPh 2,320% 2,560% 2,500%
telah mengakibatkan anjloknya
PPN ,420% ,420% ,350%
volume perdagangan Provinsi PPI ,790% ,300% ,130%
Kepulauan Riau di tahun 2015 Sumber: Monev PA DJPBN, dashboard Penerimaan Pajak DJP (per 11
Februari 2016), dan BPS Provinsi Kepulauan Riau (diolah)
sehingga berdampak signifikan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


18
pada penurunan pajak khususnya PPI (bea masuk dan bea keluar) dan PPN (PPN
Impor).
Dilihat dari sisi rasio pajak, rasio pajak di Provinsi Kepulauan Riau memang
berada jauh di bawah rasio pajak nasional sebesar ±11%, hal tersebut disebabkan oleh
pemberian insentif fiskal berupa pembebasan pajak khususnya di area Free Trade Zone
Batam. Namun demikian, rasio pajak di Provinsi Kepulauan Riau juga terus mengalami
penurunan dari 3,59% di tahun 2013 menjadi 3,02% di tahun 2015. Dilihat dari jenis
pajaknya, hanya rasio Pajak Penghasilan (PPh) yang mengalami peningkatan pada
periode tahun 2013-2015. Rasio jenis pajak lainnya menurun pada periode tersebut
dengan penurunan terdalam sebesar 66 basis poin pada rasio Pajak Perdagangan
Internasional (PPI).

3.2.2. Penerimaan Negara Bukan Pajak


Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan seluruh penerimaan
Pemerintah pusat selain dari penerimaan perpajakan yaitu dari sumber daya alam
(SDA), bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya dan pendapatan
Badan Layanan Umum (BLU). PNBP dibedakan menjadi dua yaitu PNBP umum dan
fungsional. PNBP umum yaitu penerimaan yang berlaku umum di semua kementerian
negara/lembaga (K/L), tidak berasal dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
PNBP fungsional yaitu penerimaan dari hasil pungutan atas jasa yang diberikan
sehubungan dengan tupoksi dalam fungsi pelayanan kepada masyarakat.

Tabel III-3 Penerimaan PNBP Pemerintah Pusat di Provinsi Kepulauan Riau Berdasarkan Jenis PNBP
(dalam miliaran Rupiah)
2013 2014 2015
Jenis PNBP
Realisasi Realisasi Perubahan Realisasi Perubahan
Penerimaan Sumber Daya Alam 122,03 17,20 (85,91%) 1,84 (89,30%)
Bag.Pemerintah atas Laba BUMN 0,09 0,38 322,22% - (100,00%)
Pendapatan PNBP Lainnya 245,73 184,84 (24,78%) 174,51 (5,59%)
Pendapatan BLU 932,24- 912,19 (2,15%)- 986,27 8,12%
Total PNPB 1.300,08 1.114,61 (14,27%) 1.162,63 4,31%
Sumber: KFR Tahun 2014 Kanwil DJPBN Provinsi Kepulauan Riau, Monev PA dan OM SPAN DJPBN (diolah), dan LK BP BATAM

PNBP BLU yang dalam hal ini berasal dari satu-satunya BLU di Provinsi
Kepulauan Riau, yakni Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), meningkat sebesar 8,12% dan menjadi
kontributor satu-satunya kenaikan PNBP pada tahun 2015. PNBP BLU sendiri
merupakan komponen utama PNBP di Provinsi Kepulauan Riau dengan porsi sebesar
84,83% dari keseluruhan PNBP. Porsi tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 299
basis poin dari porsi pada tahun sebelumnya sebesar 81,84%. Sementara itu, PNBP

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


19
SDA menurun drastis karena adanya penurunan pendapatan pertambangan umum
yang merupakan komponen utama PNBP SDA.

Tabel III-4 Penerimaan Negara Bukan Pajak Umum di Provinsi Kepulauan Riau
Realisasi 2014 Realisasi 2015
PNBP
Rp.(miliaran) % PNBP Rp.(miliaran) % PNBP
PNBP Umum
1.Pendapatan dari Pengelolaan BMN 16,37 1,47% 17,60 1,51%
2.Pendapatan Iuran dan Denda 2,45 0,22% 0,65 0,06%
3.Pendapatan Lain-Lain 14,78 1,33% 10,41 0,89%
Total PNBP Umum 33,59 3,01% 28,66 2,46%
PNBP Fungsional
1.Pertambangan Umum 15,75 1,40% 1,53 0,13%
2.Kehutanan 1,51 0,14% 0,29 0,03%
3.Perikanan 0,06 0,01% 0,02 0,00%
4.Jasa 112,75 10,12% 114,08 9,81%
5.Kejaksaan dan Peradilan 2,56 0,23% 6,37 0,55%
6.Pendidikan 30,73 2,76% 15,27 1,31%
7.Pendapatan Gratifikasi 5,59 0,50% 10,14 0,87%
8.Badan Layanan Umum 912,19 81,84% 986,28 84,83%
Total PNBP Fungsional 1.081,02 96,99% 1.162,63 100%
Sumber: KFR Tahun 2014 Kanwil DJPBN Provinsi Kepulauan Riau, Monev PA dan OM SPAN DJPBN(diolah), dan LK BP BATAM

Berdasarkan klasifikasi fungsional, PNBP BLU mendominasi, selain karena


peningkatan penerimaan PNBP BLU itu sendiri, penurunan PNBP lainnya, khususnya
PNBP yang berbasiskan SDA berkontribusi terhadap pergeseran struktur porsi PNBP.
Penurunan harga komoditas dan larangan ekspor bahan mentah menjadi faktor
penurunan PNBP SDA seperti pendapatan pertambangan umum yang menurun sampai
90,29%. Di sisi lain, terdapat anomali pada PNBP Perikanan yang tidak signifikan.
Padahal, Provinsi Kepulauan Riau memiliki wilayah 95% lautan dan berdekatan dengan
perbatasan sehingga baik pasar maupun sumber daya perikanan sangat terbuka.

3.2.3. Pendapatan Hibah


Penerimaan hibah di Provinsi Kepulauan Riau yang mencapai Rp.183,18 miliar
sebagian besar merupakan pendapatan hibah dalam negeri dari pemerintah daerah.
Penerimaan tersebut meningkat drastis dibandingkan tahun sebelumnya karena
Pilkada serentak yang diselenggarakan pada tahun 2015. Pada kegiatan tersebut
pemda setempat memberikan hibah pada satker-satker Komisi Pemilihan Umum (KPU).

3.3. BELANJA PEMERINTAH PUSAT

3.3.1. Belanja Pemerintah Berdasarkan Organisasi


Penerima alokasi APBN di Provinsi Kepulauan Riau Tahun Anggaran (TA) 2015
adalah 47 Kementerian/Lembaga Negara (K/L) dan 1 Bagian Anggaran Bendahara
Umum Negara (BA-BUN) sehingga terdapat total 48 Bagian Anggaran (BA).

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


20
Tabel III-5 Perkembangan Pagu dan Realisasi APBN di Provinsi Kepulauan Riau 2013-2015
Berdasarkan Bagian Anggaran (dalam miliaran Rupiah)
2013 2014 2015
Bagian Anggaran
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
004 Badan Pemeriksa Keuangan 16,29 92,24% 15,95 91,98% 16,90 93,59%
005 Mahkamah Agung 59,86 92,60% 61,11 89,30% 72,24 91,70%
006 Kejaksaan Republik Indonesia 57,73 85,13% 45,37 84,24% 61,16 85,78%
010 Kementerian Dalam Negeri 70,29 90,51% 65,43 84,58% 16,20 79,82%
012 Kementerian Pertahanan 250,14 95,97% 248,03 101,20% 371,14 97,21%
013 Kementerian Hukum dan HAM RI 125,29 89,02% 144,37 93,13% 132,00 91,21%
015 Kementerian Keuangan 233,77 96,59% 280,40 97,08% 340,40 95,02%
018 Kementerian Pertanian 69,91 81,65% 49,45 83,93% 55,75 86,57%
019 Kementerian Perindustrian 2,65 99,50% 3,10 87,47% 3,00 89,52%
020 Kementerian ESDM 47,03 94,02% 50,05 85,00% 65,00 93,97%
022 Kementerian Perhubungan 494,27 86,94% 419,43 86,34% 1.262,99 75,89%
023 Kemendikbud 183,74 84,01% 184,94 80,06% 72,01 90,15%
024 Kementerian Kesehatan 207,73 82,85% 136,09 85,87% 149,53 75,13%
025 Kementerian Agama 197,45 87,88% 221,90 87,40% 302,48 87,19%
026 Kementerian Ketenagakerjaan 10,01 83,21% 8,57 77,32% 13,77 77,54%
027 Kementerian Sosial 14,89 84,76% 12,42 94,13% 13,15 96,27%
029 Kementerian Kehutanan 56,36 81,28% 38,62 74,89% 31,07 88,81%
032 KKP 40,75 94,08% 40,38 88,94% 66,74 84,44%
033 Kementerian Pekerjaan Umum 705,06 96,54% 649,77 98,48% 904,28 97,87%
040 Kementerian Pariwisata 2,10 96,53% 0,50 95,56% 3,08 92,22%
042 Kementerian Ristek dan PT n/a n/a n/a n/a 294,83 91,44%
043 Kementerian Lingkungan Hidup 2,80 85,66% 2,40 78,86% 0,01 0,00%
044 Kementerian Koperasi dan UKM 4,18 98,71% 4,46 96,53% 6,74 89,79%
047 Kementerian P3A n/a n/a n/a n/a 0,50 97,58%
054 Badan Pusat Statistik 35,70 75,98% 40,95 94,23% 44,04 95,28%
055 Kementerian PPN 0,96 89,68% 0,96 85,37% 0,96 84,50%
056 Badan Pertanahan Nasional 36,81 79,13% 36,51 85,47% 52,00 83,61%
059 Perpustakaan Nasional RI 2,83 95,62% 0,32 99,36% 0,34 99,63%
059 Kemenkominfo 12,39 77,13% 10,79 79,55% 10,56 67,50%
060 Kepolisian Negara RI 312,82 98,09% 355,23 99,50% 419,09 108,86%
063 BPOM 10,03 87,35% 12,01 85,02% 12,90 93,31%
065 BKPM 0,50 97,76% 0,50 79,02% 0,86 85,72%
066 Badan Narkotika Nasional 9,49 99,25% 9,29 88,59% 10,43 88,97%
067 Kementerian Desa PDTT n/a n/a n/a n/a 14,31 42,34%
068 BKKBN 18,63 93,53% 21,71 84,36% 31,57 81,31%
075 BMKG 8,08 96,01% 11,10 95,71% 10,92 92,58%
076 Komisi Pemilihan Umum 70,24 72,07% 109,45 73,84% 144,67 66,90%
087 Arsip Nasional RI 0,16 94,65% n/a n/a 0,18 93,50%
089 BPKP 6,46 96,63% 10,79 97,80% 32,59 95,40%
090 Kementerian Perdagangan 12,13 99,37% 2,70 92,47% 2,00 95,78%
092 Kemenpora 3,68 93,02% 5,08 90,58% 9,85 93,06%
104 BNP2TKI 5,80 83,16% 4,67 82,11% 5,58 84,07%
107 Badan SAR Nasional 16,00 96,44% 19,04 81,67% 20,31 90,03%
111 BNP2 7,21 70,28% 0,60 92,84% 0,75 95,71%
112 Badan Pengusahaan Batam n/a n/a 1.211,31 73,21% 1.247,28 81,42%
115 Bawaslu 9,82 75,12% 34,30 79,57% 64,13 16,19%
116 LPP RRI 22,70 89,97% 18,46 76,16% 16,79 95,45%
999 Bendahara Umum Negara 98,49 87,99% 54,00 70,38% 70,41 83,40%
Total 3.553,23 90,65% 4.652,50 88,80% 6.477,50 86,64%
Sumber: Monev PA Perbendaharaan

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


21
Pada TA 2015 terdapat penambahan 4 K/L karena perubahan nomenklatur
sehingga muncul BA 042 (Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi), BA 047
(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan BA 067
(Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi). Selain itu,
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) kembali mendapatkan alokasi di TA 2015.
Pada TA 2015 juga terjadi kenaikan alokasi dana yang sangat signifikan
(39,23%) dibanding tahun sebelumnya. Penyebab utamanya adalah kebijakan
pemerintah pusat dalam mempercepat pembangunan infrastruktur khususnya di
wilayah kepulauan dan wilayah terluar. Kebijakan tersebut tercermin dalam
penambahan pagu BA 022 sebesar 843,56 miliar atau penambahan 201,12% dan
penambahan pagu BA 033 sebesar 254,51 miliar Rupiah atau 39,17% dibandingkan
tahun sebelumnya. Hampir seluruh dari penambahan pagu tersebut dialokasikan untuk
belanja modal berupa infrastruktur pelabuhan, bandara, jalan dan jembatan. Pada saat
yang sama pula, BA 022 menggeser BA 112 sebagai BA dengan pagu terbesar.
Penurunan terbesar dialami BA 023 dengan nilai penurunan sebesar 112,93 miliar
rupiah atau -61,06% sebagai akibat dari realokasi dana pendidikan tinggi ke BA 042.
Sejak TA 2014, persentase penyerapan APBN terus menurun. Penyerapan
menurun sebesar 185 basis poin menjadi 88,80% sebagai akibat penerapan kebijakan
penghematan keuangan negara pada semester II 2014. Sedangkan pada TA 2015
penyerapan menurun lagi sebesar 216 basis poin menjadi 86,64% sebagai akibat
perubahan nomenklatur dan kebijakan optimalisasi anggaran di akhir tahun.

3.3.2. Belanja Pemerintah Berdasarkan Fungsi


Belanja Pemerintah di Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan fungsi adalah
belanja Pemeritah Pusat untuk menjalankan sebelas fungsi.

Tabel III-6 Pagu Realisasi APBN di Provinsi Kepulauan Riau Berdasarkan Fungsi
(dalam miliaran Rupiah)
2013 2014 2015
Fungsi
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
01 Pelayanan Umum 1.348,22 89,89% 1.294,29 90,01% 1.407,29 87,01%
02 Pertahanan 250,14 95,97% 248,03 101,20% 371,14 97,21%
03 Ketertiban dan Keamanan 244,48 93,98% 288,23 97,89% 447,26 95,72%
04 Ekonomi 966,57 91,29% 2.056,39 80,62% 3.153,77 83,06%
05 Lingkungan Hidup 92,87 85,71% 86,89 86,10% 96,05 81,43%
06 Perumahan dan Fasilitas
192,74 96,75% 167,01 95,23% 203,25 98,06%
Umum
07 Kesehatan 70,19 79,36% 114,32 85,75% 146,56 75,03%
08 Pariwisata dan Budaya 2,10 96,53% 0,5 95,56% 3,08 92,22%
09 Agama 34,98 88,79% 30,86 93,69% 53,69 81,79%
10 Pendidikan 336,62 86,09% 353,99 83,28% 582,97 91,39%
11 Perlindungan Sosial 14,32 84,48% 11,99 94,01% 12,73 96,26%
Total 3.553,23 90,65% 4.652,50 88,80% 6.477,50 86,64%
Sumber: Monev PA Perbendaharaan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


22
Alokasi dana terbesar diberikan pada fungsi ekonomi yang mencapai 48,69%
persen kemudian fungsi pelayanan umum yang mencapai 21,72%. Namun demikian,
kedua fungsi tersebut memiliki tren yang berbeda dimana sejak tahun 2013 proporsi
fungsi ekonomi telah meningkat 2.149 basis poin sedangkan proporsi fungsi pelayanan
umum telah menurun sebesar 1.622 basis poin.
Fungsi yang mendapatkan alokasi dana terkecil adalah fungsi pariwisata dan
budaya sama dengan tahun sebelumnya walaupun telah terjadi peningkatan proporsi
sebesar 4 basis poin atau peningkatan nilai alokasi sebesar 516% dibandingkan tahun
2014. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pariwisata dan budaya sudah
mendapat perhatian lebih namun masih tetap kurang terprioritaskan. Padahal, potensi
pariwisata dan budaya di wilayah Kepulauan Riau sangat besar, bahkan sektor tersebut
dicanangkan untuk menjadi salah satu andalan dalam menggerakan perekonomian di
Provinsi Kepulauan Riau.
Jumlah fungsi dengan penyerapan diatas 90% menurun menjadi hanya 6 fungsi
dibandingkan 7 fungsi di tahun sebelumnya. Fungsi kesehatan dan fungsi lingkungan
hidup adalah fungsi yang penyerapannya belum pernah menembus angka 90% sejak
tahun 2013. Fungsi perumahan dan fasilitas umum merupakan fungsi dengan
penyerapan tertinggi sedangkan fungsi kesehatan menjad fungsi dengan penyerapan
terendah.

3.3.3. Belanja Pemerintah Berdasarkan Jenis Belanja


Belanja pemerintah pusat berdasarkan jenisnya terdiri dari belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain. Alokasi
dana untuk tiap jenis belanja APBN di Provinsi Kepulauan Riau antara tahun 2015
mengalami peningkatan kecuali belanja bantuan sosial yang menurun karena alokasi
pada BA 025 dan 010 menurun. Peningkatan alokasi terbesar pada alokasi belanja
modal (77,16%) terjadi karena prioritas pembangunan infrastruktur dan peningkatan
terkecil terjadi pada alokasi belanja pegawai (23,22%).

Tabel III-7 Pagu Realisasi APBN di Kepulauan Riau 2015 Berdasarkan Jenis Belanja
(dalam miliaran Rupiah)
2013 2014 2015
Jenis Belanja
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
Belanja Pegawai 914,73 94,82% 976,94 96,81% 1.203,78 99,14%
Belanja Barang 1.102,71 84,78% 2.004,57 82,04% 2.511,26 85,34%
Belanja Modal 1.343,60 92,03% 1.493,57 85,61% 2.645,96 82,19%
Belanja Bantuan Sosial 93,71 96,15% 123,42 94,20% 46,10 91,34%
Belanja Lain-Lain 98,49 93,55% 54,00 70,38% 70,41 83,41%
Total 3.553,23 90,65% 4.652,50 88,80% 6.477,50 86,64%
Sumber: Monev PA Perbendaharaan

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


23
Penyerapan selama 2015 mengalami penurunan dibandingkan penyerapan
2014 walaupun terjadi perbaikan penyerapan pada belanja pegawai, belanja barang,
dan belanja lain-lain. Penurunan tersebut disebabkan oleh peningkatan pagu yang
besar pada belanja modal namun tidak diiring dengan penyerapan yang optimal
sehingga penyerapan secara keseluruhan menjadi menurun. Hanya dua jenis belanja
yang penyerapan di atas 90 persen yakni belanja pegawai dan bantuan sosial.
Penyerapan terendah terjadi pada jenis belanja modal (82,19%).

3.4. TRANSFER KE DAERAH


Transfer ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan merupakan
dana APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. Dana perimbangan bertujuan
mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan
antar-pemerintah daerah. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana
alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana penyesuaian (termasuk dana
desa yang pertama kali disalurkan pada TA 2015) dan dana otonomi khusus. DBH
dialokasikan pada daerah untuk mendanai kebutuhan dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi yang bersumber dari bagi hasil atas penerimaan perpajakan, penerimaan
dari sumberdaya alam, dan penerimaan cukai. DAU dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
dan sesuai prioritas nasional. Dana penyesuaian digunakan untuk bantuan operasional
sekolah, tunjangan profesi dan tunjangan tambahan guru PNS daerah, insentif daerah
dan khusus untuk dana desa, merupakan pengejawantahan dari kebijakan baru untuk
membangun Indonesia dari pinggiran.

Tabel III-8 Perkembangan Dana Perimbangan di Provinsi Kepulauan Riau


(dalam miliaran Rupiah)
2013 2014 2015
Dana Perimbangan
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi
Dana Bagi Hasil 3.780,13 90,65% 4.327,17 84,06% 1.948,39 103,54%
Dana Alokasi Umum 2.838,22 100,00% 2.966,84 100,00% 2.778,88 100,00%
Dana Alokasi Khusus 272,15 94,43% 277,90 100,00% 523,52 95,84%
Dana Penyesuaian 395,90 97,29% 564,43 93,05% 656,45 98,04%
Dana Desa n/a n/a n/a n/a 79,20 100,00%
Sumber: Monev PA Perbendaharaan

Alokasi dana perimbangan untuk Provinsi Kepulauan Riau secara agregat pada
TA 2015 menurun -27,40%. Hal tersebut disebabkan oleh penurunan DBH yang
merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan TA 2014 dengan kontribusi
yang mencapai 53,18% pada TA tersebut. Penurunan harga komoditas dunia telah

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


24
menggerus pendapatan dari sektor migas yang merupakan kontributor utama DBH di
Provinsi Kepulauan Riau sehingga di TA 2015, DBH menurun -54,97% dan hanya
berporsi 32,98% dari keseluruhan dana perimbangan.

3.5. PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM


Badan Layanan Umum (BLU) merupakan instansi pemerintah yang
menyelenggarakan pelayanan publik dan memiliki karakter khusus dalam penyediaan
barang dan jasa kepada masyarakat tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dalam
pelaksanaan kegiatan berdasar prinsip efisiensi dan produktivitas. BLU bertujuan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, serta penerapan
praktek bisnis yang sehat. Satuan kerja (Instansi Pemerintah) menjadi BLU ketika
menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU (PPK-BLU) yaitu pola pengelolaan
keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan penerapan praktek bisnis
yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

3.5.1. Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Batam atau kemudian disebut BP Batam merupakan BLU satu-satunya di Provinsi
Kepulauan Riau. BP Batam resmi menjadi satuan kerja yang menerapkan PPK-BLU
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2011 tanggal 4 Februari 2011.

Tabel III-9 Profil Satuan Kerja BLU di Provinsi Kepulauan Riau 2015 (dalam miliaran Rupiah)
Jenis BLU / Nama BLU Nilai Aset* Pagu BLU Pagu RM Pagu PHLN Total Pagu
Pengelola Kawasan / BP Batam 26.960,39 909,05 214,68 123,568 1.123,73
*Nilai aset per semester I 2015
Sumber: Monev PA Perbendaharaan dan LK BP Batam

Dalam operasionalnya, BP Batam diberikan fleksibilitas lebih dibandingkan BLU


lainnya, dimana seluruh PNBP dapat digunakan secara langsung. Berdasarkan DIPA
2015, BP Batam menjadi satuan kerja pada wilayah kerja Kanwil Ditjen Perbendaharaan
Provinsi Kepulauan Riau dan wilayah pembayaran KPPN Batam. BP Batam merupakan
BLU dengan jenis layanan pengelola kawasan, bersifat non-sruktural/non-eselon,
bertindak sebagai regulator kawasan sekaligus sebagai operator.
BP Batam memiliki delapan jenis layanan penghasil PNBP yaitu:
a. Pelabuhan Laut; wilayah kerja sepanjang pantai Pulau Batam-Rempang-Galang
dengan sembilan pelabuhan laut terdiri dari pelabuhan umum, terminal internasional,
terminal domestik dan beberapa pelabuhan khusus.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


25
b. Bandara Internasional Hang Nadim; merupakan pelabuhan udara internasional yang
mulai dioperasikan tahun 1983. Bandara memiliki landasan pacu 4.025 m, apron
130.500 m2 mampu menampung 18 pesawat berbadan lebar jenis Boeing 747, luas
terminal 35.112 m2 dilengkapi empat buah jembatan boarding. Pergerakan jumlah
penumpang mencapai 4,77 juta orang tahun 2014, dan frekuensi pergerakan
pesawat udara mencapai 39.797 setahun.
c. Pengelolaan Air Baku dan Limbah; Pengelolaan air baku melayani 175.470 satuan
sambungan dengan fasilitas Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) berkapasitas
33 liter/detik. Transfer Depo Limbah Industri (TDLI) dibangun 1997, ditingkatkan
menjadi Kawasan Pengelola Limbah Industri (KPLI) B3 pada 2007 sehingga dapat
mengolah limbah industri. Untuk limbah yang belum dapat diolah, ditampung
sementara sebelum dikirim ke instalasi pengolahan di Cileungsi.
d. Rumah Sakit Otoritas Batam; adalah Rumah Sakit (RS) kelas B plus non pendidikan.
RSOB merupakan RS rujukan untuk Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau
dengan 17 pelayanan spesialis serta dilengkapi dengan sarana untuk pengelolaan
limbah/incinerator.
e. Pengelolaan Lahan; Berdasarkan Keppres No.41 Tahun 1973 ditindaklanjuti dengan
Kepmendagri No.43 Tahun 1977 dan Kepmen Agraria/Kepala BPN No.9-VIII Tahun
1993, maka hak pemanfaatan, penggunaan, dan perijinan lahan seluruh areal tanah
yang terletak di Pulau Batam dan lima pulau di sekitarnya diberikan kepada Ketua
Otorita Batam/Kepala BP Batam. Ijin penggunaan lahan diberikan untuk 30 tahun
pertama, kemudian dapat diperpanjang selama 20 tahun, serta dapat diperbaharui
selama 30 tahun. Sehingga total waktu untuk penggunaan tanah menjadi 80 tahun.
f. Balai Pengelolaan Agribisnis; Sesuai Keputusan Ketua Otorita Batam No.
03/KPTS/KA/I/2003 dan persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, Balai Pengelolaan Agribisnis melaksanakan tugas pengelolaan
dan pengusahaan industri pertanian terpadu. Dalam prakteknya, lingkup kegiatan
yang dilaksanakan dan dapat dikerjasamakan (KSO) dengan investor meliputi
pengembangan dan pelatihan di bidang Pertanian, Perikanan, dan Peternakan.
Sarana dan prasarana yang dimiliki Balai Pengelolaan Agribisnis BP Batam untuk
mendukung kegiatan tersebut meliputi lahan pertanian di Kawasan Industri Pertanian
Terpadu Sei-Temiang (KIPTS) seluas 60-80 Ha, instalasi peternakan di Sei-
Temiang, pusat hatchery di Tanjung Riau, pusat pengembangan budidaya dengan
sistem jaring apung di Pulau Galang, dan pusat diklat di Tanjung Riau.
g. IT Center; Dikembangkan sebagai bagian dari proyek e-Government yang dimulai
Desember 2007. IT Center BP Batam memberikan pelayanan teknologi informasi
seperti hosting dan menyediakan pelatihan bersertifikat tentang teknologi informasi.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


26
h. Rumah Susun; dibangun untuk menunjang kebutuhan rumah bagi tenaga kerja di
kawasan industri sehingga diharapkan dapat menekan biaya hidup. Lokasi rumah
susun terdapat di Sekupang, Muka Kuning, Batu Ampar dan Kabil.

3.5.2. Perkembangan Pengelolaan Aset dan Pagu Dana Badan Layanan


Umum
Badan layanan umum memperoleh imbalan dari masyarakat dalam proporsi
signifikan sehubungan dengan layanan yang diberikan, dan juga memperoleh dana
APBN. BLU diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan
pelayanan yang diberikan. Dengan PPK-BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka
pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan
kas, dan pengadaan barang/jasa.

Tabel III-10 Perkembangan Pengelolaan Aset dan Pagu Dana Satuan Kerja Badan Layanan Umum di
Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
2014 2015
Satuan Kerja
Aset Pagu BLU Pagu RM Aset* Pagu BLU Pagu RM
BP Batam 26.912,88 950,22 261,09 26.960,39 909,05 214,68
*Nilai aset per semester I 2015
Sumber: Monev PA Perbendaharaan dan LK BP Batam

Pada tahun 2015 BP Batam mengalami perkembangan aset namun alokasi


dana (PNBP dan APBN) menurun sebesar 7,23%. Penurunan alokasi tersebut sebagai
konsekuensi adanya penurunan alokasi belanja modal BP Batam pada tahun 2015 yang
salah satu penyebabnya adalah penyerapan belanja modal yang kurang baik di tahun
2014. Aset BP Batam tahun 2015 mencapai Rp.26.960,39 miliar meningkat 0,18%
dibandingkan tahun sebelumnya. Alokasi dana pada tahun 2015 mencapai Rp.1.247,28
miliar sedangkan penyerapannya mencapai Rp.1.015,48 miliar atau 81,42%.

3.5.3. Kemandirian Badan Layanan Umum


BLU ditujukan untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta pada pemerintah
(enterprising the government). Oleh karenanya entitas BLU didorong untuk mandiri yang
dapat dilihat dari rasio jumlah alokasi rupiah murni (RM) atau dana yang berasal dari
selain PNBP, pinjaman dan hibah terhadap alokasi BLU.

Tabel III-11 Kemandirian Satker BLU di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
2014 2015
Satuan Kerja
Pagu BLU % Pagu RM % Pagu BLU % Pagu RM %
BP Batam 950,22 78,45 261,09 21,55 909,05 80,90 214,68 19,10
Sumber: Monev PA Perbendaharaan

Terlepas dari penurunan total pagu belanja maupun masing-masing pagu yang
bersumber dari PNBP dan pagu yang bersumber dari RM, Jumlah alokasi sumber dana

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


27
pada tahun 2015 menunjukkan tren peningkatan kemandirian BP masih berlanjut
sebagaimana terlihat dari porsi pagu BLU yang meningkat 2,45%.

3.5.4. Profil dan Jenis Layanan Satker PNBP


Di Provinsi Kepulauan Riau terdapat 77 satuan kerja PNBP dengan total alokasi
dana PNBP tahun 2015 mencapai Rp.158,32 miliar atau meningkat 18,04%. Dari 77
satuan kerja tersebut terdapat 30 satuan kerja PNBP dengan alokasi diatas Rp.1 miliar
dengan total pagu PNBP sebesar Rp.139,26 miliar (87,96%dari total pagu PNBP).

Tabel III-12 Profil Satuan Kerja PNBP di Provinsi Kepulauan Riau 2015 (dalam miliaran Rupiah)
Pagu Pagu Porsi
Satuan Kerja Layanan
PNBP RM PNBP
Politeknik Negeri Batam Pendidikan 18,24 126,18 12,63%
Universitas Maritim Raja Ali Haji Pendidikan 15,32 132,26 10,38%
KSO Pelabuhan Pulau Sambu Ekonomi 12,52 2,56 83,00%
Kantor Pertanahan Kota Batam Lingkungan Hidup 11,96 3,60 76,86%
Kantor Imigrasi Batam Ketertiban dan Keamanan 10,22 16,75 37,89%
Kantor Pelabuhan Batam Ekonomi 6,70 7,89 45,94%
Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio Kelas II Batam Ekonomi 6,47 4,10 61,22%
KSO Pelabuhan Tanjung Balai Karimun Ekonomi 5,34 50,06 9,65%
Unit Penyelenggara Pelabuhan Tarempa Ekonomi 4,17 268,20 1,53%
Polresta Barelang Ketertiban dan Keamanan 3,69 69,82 5,03%
Dit Lantas Polda Kepri Ketertiban dan Keamanan 3,59 7,01 33,84%
Politeknik Kesehatan Tanjung Pinang Pendidikan 3,28 6,36 34,00%
Rosarpras Polda Kepri Ketertiban dan Keamanan 3,15 28,90 9,83%
Kantor Pertanahan Kota Tanjung Pinang Lingkungan Hidup 3,03 2,84 51,59%
Kantor Imigrasi Tanjung Pinang Ketertiban dan Keamanan 2,94 4,85 37,75%
Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Batam Kesehatan 2,73 9,57 22,19%
Kantor Kementerian Agama Kota Batam Agama 2,60 53,01 4,67%
Unit Penyelenggara Pelabuhan Tanjung Uban Ekonomi 2,56 13,44 16,00%
Balai Pengelolaan Das Kepulauan Riau Lingkungan Hidup 2,45 12,03 16,90%
Kantor Imigrasi Tanjung Balai Karimun Ketertiban dan Keamanan 2,33 3,43 40,48%
Kantor Kesyahbandaran Dan Otoritas Pelabuhan Kijang Ekonomi 2,29 14,03 14,01%
Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan HAM Kepri Ketertiban dan Keamanan 2,23 15,57 12,53%
Polres Tanjung Pinang Ketertiban dan Keamanan 2,18 38,75 5,32%
Polres Karimun Ketertiban dan Keamanan 1,95 32,57 5,66%
Rumah Detensi Imigrasi Pusat Di Tanjung Pinang Ketertiban dan Keamanan 1,53 4,75 24,34%
Polres Bintan Ketertiban dan Keamanan 1,26 24,81 4,84%
Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi Kepulauan Ekonomi 1,18 9,07 11,50%
Riau
Kantor Imigrasi Tanjung Uban Ketertiban dan Keamanan 1,16 3,11 27,18%
Unit Penyelenggara Pelabuhan Tanjung Batu Kundur Ekonomi 1,15 4,07 21,98%
Polres Natuna Ketertiban dan Keamanan 1,05 24,79 4,06%
Sumber: Monev PA Perbendaharaan

Sebesar 92,04% alokasi pada satuan kerja PNBP di Provinsi Kepulauan Riau
masih berasal dari RM. Satuan kerja dengan dana PNBP terbesar adalah Politeknik
Negeri Batam yang mencapai Rp.18,24 miliar, sedangkan alokasi RM terbesar satuan
kerja PNBP adalah Bandar Udara Dabo Singkep dengan pagu Rp.268,32 miliar.

3.5.5. Potensi Satker PNBP Menjadi Satker BLU


Di Provinsi Kepulauan Riau terdapat 6 satuan kerja yang berpotensi
menerapkan PPK-BLU dimana 3 satuan kerja bergerak di bidang layanan pendidikan
dan 3 satuan kerja lainnya bergerak di bidang layanan ekonomi sub-bidang transportasi.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


28
3 satuan kerja yang bergerak di bidang layanan ekonomi sub-bidang tersebut
merupakan kantor-kantor pelabuhan dengan kriteria memiliki porsi pagu PNBP di atas
20%. Pengkategorian kantor pelabuhan sebagai satker yang berpotensi menjadi BLU
juga sesuai dengan usulan Kementerian Perhubungan di tahun 2015.

Tabel III-13 Satuan Kerja PNBP yang Berpotensi menjadi BLU (dalam miliaran Rupiah)
Pagu 2014 Pagu 2015
Satuan Kerja Porsi Porsi
PNBP RM PNBP RM
PNBP PNBP
Politeknik Negeri Batam 15,41 31,25 33,03% 18,24 126,18 12,63%
Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) 12,04 36,71 24,70% 15,32 132,26 10,38%
Politeknik Kesehatan Tanjungpinang 3,19 5,13 38,34% 3,28 6,36 34,00%
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Pulau Sambu 1,45 1,79 44,75% 12,52 2,56 83,00%
Kantor Pelabuhan Batam 6,43 8,03 44,47% 6,70 7,89 45,94%
Unit Penyelenggara Pelabuhan Tanjung Batu Kundur 1,77 2,68 39,77% 1,15 4,07 21,98%
Sumber: Monev PA Perbendaharaan

Porsi PNBP pada satuan kerja berpotensi yang memiliki layanan pendidikan
menurun drastis di TA 2015 karena dampak pengalokasian belanja modal yang besar
untuk peningkatan pelayanan pendidikan. Di sisi lain, ketiga kantor pelabuhan yang
berpotensi untuk menjadi BLU memiliki porsi PNBP yang cukup tinggi, bahkan untuk
KSOP Pulau Sambu, porsi tersebut mencapai 83%.

3.6. PENGELOLAAN MANAJEMEN INVESTASI


Investasi Pemerintah Pusat di Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari dua jenis yaitu
penerusan pinjaman dan kredit program. Kedua investasi tersebut ditata usahakan oleh
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau.

3.6.1. Penerusan Pinjaman


Penerusan pinjaman (Subsidiary Loan Agreement-SLA) merupakan pinjaman
yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan diteruspinjamkan oleh Pemerintah
kepada BUMN/ Pemerindah Daerah/BUMD. Skema penerusan pinjaman dapat dilihat
pada bagan:

Gambar III-2 Skema Penerusan Pinjaman

Sumber: Dit..SMI Ditjen Perbendaharaan

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


29
Pelaksanaan SLA dimulai saat terjadi penandatanganan perjanjian pinjaman
luar negeri (Loan Agreement-LA) antara Pemerintah Republik Indonesia diwakili
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (Sekarang Direktorat Jenderal Pembiayaan dan
Pengelolaan Resiko/DJPPR) Kementerian Keuangan dengan Lender (negara donor).
Pinjaman tersebut diteruspinjamkan kepada BUMN/BUMD/Pemerindah Daerah melalui
Direktorat Sistem Manajemen Investasi (Dit.SMI) Direktorat Jenderal Perbendaharaan
ke debitur dengan Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman atau Subsidiary Loan
Agreement (SLA) yang berisi ketentuan dan persyaratan pinjaman. Kemudian Dit.SMI
menganggarkan dalam DIPA Penerusan Pinjaman seluruh rencana penarikan dana
SLA dalam satu tahun dan dilaporkan di Laporan Keuangan Kuasa Pengguna
Anggaran/Pembantu Bendahara Umum Negara BA 999.04. Berdasar alokasi anggaran
dalam DIPA tersebut, debitur dapat membuat perikatan dengan pihak ketiga pelaksana
proyek-proyek yang dibiayai SLA. Dit.SMI membuat Surat Permintaan Membayar
(SPM) kepada KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah berdasarkan tagihan debitur dengan
dokumen debitur sesuai progres pekerjaan.
Penatausahaan pinjaman Pemerintah kepada Pemda/BUMN/BUMD terdiri dari
dua yaitu penerusan pinjaman luar negeri (SLA) dan penerusan pinjaman dalam negeri
(RDI/RPD). SLA adalah penerusan pinjaman yang berasal dari pinjaman/hibah dari
dalam/luar negeri kepada BUMN/PDAM/Pemda dan penerima lainnya. RDI/RPD adalah
rekening Pemerintah di Bank Indonesia untuk penampungan hasil pengembalian
pinjaman dari Pemda/BUMN/BUMD yang tidak disetorkan ke Kas Negara namun dapat
dipinjamkan kembali kepada debitur untuk keperluan pembiayaan investasi dan tujuan
lain dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah. Namun sejak 2007, semua
pengeluaran Negara harus melalui mekanisme APBN, oleh karenanya Pemerintah tidak
menggunakan mekanisme RDI/RPD, sehingga pinjaman dalam negeri yang ada
sekarang adalah pinjaman yang diberikan sebelum tahun 2007.
Hanya terdapat satu Penerusan Pinjaman Dalam Negeri di Provinsi Kepulauan
Riau yang sumber dananya berasal dari Rekening Pembangunan Daerah (RPD).

Tabel III-14 Profil Penerusan Pinjaman di Provinsi Kepulauan Riau


Loan ID Nomor Pinjaman Debitur Jumlah Pinjaman Tk.Bunga
2071501 RDA-259/DP3/1996 (23 Mei 1996) PDAM Tirta Janggi 15,71 miliar rupiah 11,50 %
Sumber: Aplikasi SLIM, Direktorat SMI, DJPBN

PDAM Tirta Janggi sejak diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan


Riau dari Provinsi Riau berganti nama menjadi PDAM Tirta Kepri pada 12 Agustus 2008.
Penerusan pinjaman tersebut ditujukan untuk pembangunan sistem penyediaan air
bersih dengan bank penata usaha Kementerian Keuangan. Pembayaran kewajiban
PDAM Tirta Kepri dilakukan melalui rekening nomor 519.000.102.980 Bank Indonesia.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


30
Tingkat bunga sebesar 11,5 persen, denda pokok 6,5 persen, dan denda bunga 18
persen bersifat fixed.

Tabel III-15 Penerusan Pinjaman di Provinsi Kepulauan Riau hingga 31 Desember 2015
(dalam jutaan Rupiah)
Saldo setelah Pembayaran Pokok Biaya Hak Tagih
Denda
cut off Pinjaman Pinjaman Administrasi Pemerintah
8.095,37 0,00 7.251,53 2.750,60 4.236,94 22.334,45
Sumber: Aplikasi SLIM, Direktorat SMI, DJPBN

Pada akhir tahun 2015, hak tagih pemerintah terhadap PDAM Tirta Kepri mencapai
Rp.22,33 miliar. Hak tagih tersebut terdiri dari jumlah saldo setelah restrukturisasi pada
2008 (PMK 120/PMK.05/2008) dan kewajiban debitur yang terdiri dari kewajiban pokok,
biaya administrasi, dan denda. Besarnya hak tagih pemerintah tersebut karena PDAM
selama kurun waktu pembayaran hutang baru sekali melakukan pembayaran hutang
sebesar Rp.2,42 miliar sebelum restrukturisasi sehingga kewajiban terus membesar.
Adapun jumlah hak tagih sebesar Rp.22,33 miliar tersebut tidak bertambah dari
semester I 2015 karena kebijakan pemerintah pusat untuk menghentikan penambahan
denda. Kebijakan tersebut sebagai awal dari pelaksanaan rencana penghapusan
tunggakan non pokok PDAM Tirta Kepri yang mungkin akan dilanjutkan dengan
penghapusan tunggakan pokok dengan pertimbangan kesehatan keuangan PDAM
sangat krusial bagi peningkatan pelayanan penyediaan air bersih untuk masyarakat.

3.6.2. Kredit Program


Kredit program merupakan kredit yang disediakan pemerintah dalam rangka
membiayai berbagai program dengan memberikan fasilitas pemerintah berupa subsidi
sebagai pembiayaan UMKM. Hal ini dilatarbelakangi bahwa ketika krisis ekonomi 1998
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tetap resilien dan menjadi penyokong
perekonomian.
Kredit program terdiri dari dua penyaluran dana yakni melalui dana bank dan
dana pemerintah. Fasilitas pemerintah dalam kredit program melalui dana bank berupa
subsidi bunga, subsidi imbal jasa, dan risk sharing. Subsidi bunga adalah subsidi yang
diberikan kepada pelaku usaha untuk menutup selisih antara bunga komersil dengan
bunga lebih rendah yang ditetapkan pemerintah atau disebut kredit lunak bersubsidi,
dengan tujuan mendorong debitur secara bertahap hingga akhirnya dapat mengakses
kredit komersial. Subsidi imbal jasa penjaminan adalah subsidi berupa keringanan
agunan antara 70-80 persen atau disebut kredit komersil berpenjaminan, dengan tujuan
mendorong debitur hingga akhirnya dapat mengakses kredit komersial penuh. Risk
sharing adalah pemisahan resiko atau pembagian resiko.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


31
Terdapat 7 Skema kredit program dengan subsidi bunga di Indonesia yang
meliputi Subsidi Resi Gudang (SSRG), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Usaha
Pembibitan Sapi (KUPS), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi
Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Pemberdayaan Pengusaha NAD dan Nias, Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), dan Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK).
Untuk lingkup Provinsi Kepulauan Riau, hanya terdapat penyaluran KKPE yang
disalurkan melalui penyalur tunggal yaitu Bank Riau Kepri. Jumlah penyaluran sebesar
Rp.1.890 juta dilakukan oleh empat kantor
Gambar III-3 Penyaluran KKP-E di
Kantor Cabang (KC) Bank Riau Kepri yakni
Provinsi Kepulauan Riau hingga 2015
KC Kijang sebesar Rp.1.225 juta, KC (dalam ribuan rupiah)

Tanjungpinang Rp.145 juta, KC Bintan


Center Rp. 270 juta, dan KC Ranai Rp. 250
juta.. KKPE di Kepulauan Riau disalurkan
dalam empat komoditi dengan perikanan
memperoleh bagian terbesar mencapai
43,92% kemudian disusul oleh
pengembangan tanaman pangan 25,93%,
pengembangan tanaman hortikultura
Sumber: Dit.SMI Ditjen Perbendaharaan
19,58% dan peternakan 10,58%. Jumlah
penyaluran kredit KKPE hingga 2015
sebagai berikut: (1) dalam penyaluran KKPE di Provinsi Kepulauan Riau yang mencapai
Rp.1,89 miliar sebanyak 53,30% telah dibayar kembali dan sisanya sebesar 46,70%
masih outstanding; (2) berdasarkan kantor cabangnya, pengembalian KKP-E di KC
Ranai tergolong tinggi mencapai 89,74% sedangkan pada KC Bintan Center baru
mencapai 17,95%.

Tabel III-16 Penyaluran KKP-E Provinsi Kepulauan Riau hingga 2015


(dalam ribuan Rupiah)
Bank Penyalur Komoditi Debet Kredit Saldo
Pengembangan Tanaman Pangan 490.000.000 332.638.852 157.361.148
Pengembangan Tanaman Hortikultura 370.000.000 153.333.331 216.666.669
Bank Riau Kepri
Perikanan 830.000.000 494.339.669 335.660.331
Peternakan 200.000.000 27.083.331 172.916.669
Jumlah 4 Komoditi 1.890.000.000 1.007.395.183 882.604.817
Sumber: KPPN Investasi, DJPBN

Berdasarkan jenis komoditinya, pengembalian KKP-E terbesar adalah komoditi


peternakan yang mencapai 41,76%, sedangkan komoditi lainnya yakni perikanan
mencapai 39,31%, hortikultura 29,37% dan perikanan tangkap 21,32%.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


32
BAB IV Perkembangan
DAN analisis Pelaksanaan APBD
di Provinsi Kepulauan Riau
APBD Provinsi Kepulauan Riau
memprioritaskan kebijakan pada fungsi
pelayanan umum dan pendidikan
didukung belanja barang dan belanja
pegawai dalam mensejahterakan
masyarakatnya.

4.1. APBD TINGKAT PROVINSI KEPULAUAN RIAU


APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas
dan disetujui bersama oleh pemda dan DPRD, ditetapkan dengan peraturan daerah.
Secara umum struktur APBD terdiri dari pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah.
Di Provinsi Kepulauan Riau terdapat delapan APBD yang disusun oleh
pemerintah daerah yang terdiri dari satu pemerintah provinsi, lima pemerintah
kabupaten, dan dua pemerintah kota. Pemerintah Provinsi yakni Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau. Pemerintah Kabupaten terdiri dari Pemerintah Kabupaten Bintan,
Karimun, Natuna, Lingga, dan Kepulauan Anambas. Pemerintah Kota meliputi
Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Batam.

Tabel IV-1 APBD di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran rupiah)


2013 2014 2015
Uraian
Pagu/Est. Realisasi Pagu/Est. Realisasi Pagu/Est. Realisasi
A.PENDAPATAN 9.405,41 92,44% 11.139,45 95,18% 10.694,79 68,35%
PAD 1.652,50 74,98% 2.232,04 114,83% 2.670,28 62,96%
Dana Perimbangan 6.890,50 94,65% 7.571,91 90,89% 7.016,19 71,26%
LLPD yang Sah 862,41 108,21% 1.335,50 86,69% 1.008,31 40,22%
B.BELANJA 10.743,80 91,35% 12.750,14 89,57% 11.362,78 83,10%
Belanja Tidak Langsung 4.266,91 92,18% 5.308,83 91,91% 4.970,97 87,31%
Belanja Langsung 6.476,89 90,80% 7.441,31 87,91% 7.441,31 79,83%
C.SURPLUS(DEFISIT) A-B (1.120,05) 83,69% (1.610,69) 50,79% (667,99) 319,26%
D.PEMBIAYAAN 1.128,84 102,69% 1.550,75 38,52% 539,65 14,90%
Penerimaan Pembiayaan 1.260,64 98,58% 1.667,35 42,43% 570,08 18,64%
Pengeluaran Pembiayaan 131,800 63,33% 116,59 94,41% 30,43 85,01%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: Monev PA DJPBN, seluruh Pemda di Kepulauan Riau, (diolah).

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


33
Estimasi/pagu baik pendapatan maupun belanja daerah pada APBD pemerintah
daerah di Provinsi Kepulauan Riau menurun sebagai akibat dari penurunan harga
minyak dan gas dunia yang berdampak negatif terhadap dana perimbangan. Mengikuti
penurunan pendapatan tersebut, pagu belanja diturunkan untuk menjaga agar defisit
APBD tidak terlalu melebar. Namun demikian, pemerintah daerah masih
mempertahankan defisit APBD yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah. Kenaikan pendapatan dipengaruhi oleh terlampauinya estimasi PAD.
Defisit anggaran dicanangkan sebesar Rp.667,99 miliar namun pada realisasinya
mencapai Rp.2.132,61 miliar.

4.2. PENERIMAAN PEMERINTAH DAERAH


Penerimaan pemerintah daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. PAD adalah pendapatan
daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai peraturan perundangan
dengan tujuan memberikan kewenangan Pemerintah Daerah untuk mendanai pelak-
sanaan otonomi daerah sesuai potensi daerah. Dana Perimbangan merupakan dana
dari APBN yang dialokasikan pada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Lain-
lain pendapatan daerah yang sah bertujuan memberi potensi kepada Daerah untuk
memperoleh pendapatan selain dari PAD maupun dana perimbangan.

Tabel IV-2 Pendapatan APBD 2015 di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran rupiah)
2014 2015
Pendapatan %Porsi
Est.Total %Real %Porsi Est.Total %Real %Porsi
Pendapatan Asli Daerah 2.232,04 114,83% 25,33% 2.670,28 62,96% 24,38%
Pajak Daerah 1.809,29 114,86% 20,54% 2.183,33 58,06% 18,38%
Retribusi Daerah 109,29 111,83% 1,21% 120,72 60,24% 1,05%
HPKD yang Dipisahkan 24,98 108,59% 0,27% 29,38 100,39% 0,43%
Lain-Lain PAD yang Sah 288,47 116,30% 3,32% 311,44 92,46% 4,18%
Dana Perimbangan 7.571,91 90,89% 68,02% 7.016,19 74,99% 76,29%
Dana Bagi Hasil (DBH) 4.327,17 84,06% 35,95% 3.130,56 63,98% 29,04%
DAU (Dana Alokasi Umum) 2.966,84 100,00% 29,32% 2.793,98 63,69% 25,80%
DAK (Dana Alokasi Khusus) 277,90 100,00% 2,75% 530,61 73,87% 5,68%
Dana Penyesuaian 564,43 93,05% 5,19% 561,04 82,84% 6,74%
LL Pendapatan Daerah yang Sah 1.335,50 86,69% 11,44% 1.008,31 36,45% 5,33%
Hibah 31,76 84,46% 0,27% 48,50 57,87% 0,41%
DBH dari Provinsi 407,15 72,01% 2,90% 586,85 37,98% 3,23%
Bantuan Keuangan dari Provinsi 69,06 95,53% 0,65% 133,67 95,53% 1,85%
Lain-Lain 263,11 93,70% 2,44% 239,29 36,64% 1,27%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: DJPK, Pemda di Kepulauan Riau, (diolah),*Rp.21,32 miliar

Estimasi pendapatan daerah Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015 menurun


dibanding tahun sebelumnya dikarenakan penurunan Dana Perimbangan dan LLPD.
Estimasi dan realisasi PAD Provinsi Kepulauan Riau. Sementara itu, seluruh komponen

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


34
pendapatan mengalami penurunan dibanding tahun 2014 kecuali hasil pengelolaan
kekayaan daerah (HPKD) yang dipisahkan, DAK, hibah, dan bantuan keuangan.
Terdapat beberapa indikator kesehatan keuangan daerah seperti pendapatan
daerah per kapita yang menunjukkan jumlah pendapatan pemerintah daerah untuk
melayani sejumlah penduduk daerah tersebut sehingga merupakan ukuran rill dari
pendapatan daerah. Pada tahun 2015, pendapatan daerah per kapita menurun sampai
di bawah level tahun 2013. Indikator PAD terhadap PDRB yang mencerminkan
kemampuan daerah mengkonversi potensi pendapatan (berdasarkan PDRB) menjadi
PAD pun turut menurun dari 1,40% menjadi 0,83%, namun masih lebih baik 7 basis poin
dibandingkan tahun 2013. Indikator kemandirian.

Tabel IV-3 Indikator Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau


Pendapatan Daerah Kemandirian Ketergantungan
PAD terhadap PDRB
Per kapita Keuangan Daerah Daerah
Tahun
Pendapatan/Jumlah Pajak+Retribusi/
PAD/PDRB PAD/Pendapatan PAD/Belanja
Penduduk PDRB
2013 Rp4.670.938,80 0,76% 0,65% 14,25% 12,62%
2014 Rp5.529.772,12 1,40% 1,20% 24,17% 22,44%
2015 Rp3.704.902,92 0,83% 0,71% 23,00% 17,80%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, DJPK, Pemerintah Daerah; (diolah)

Berdasarkan indikator kemandirian keuangan daerah maka pemerintah daerah di


Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan penurunan kemandirian dengan menurunnya
kontribusi PAD dalam pendapatan daerah. Selain hal tersebut, perbandingan PAD
terhadap belanja daerah juga menurun yang menunjukkan ketergantungan terhadap
transfer pemerintah pusat meningkat. Namun demikian, kedua indikator tersebut
menunjukkan pola yang serupa dengan indikator PAD terhadap PDRB yakni masih lebih
baik dibandingkan tahun 2013. Penurunan-penurunan yang disebabkan oleh turunnya
harga minyak dan gas tersebut diharapkan membaik di tahun 2016 ketika masa
penyesuaian harga migas yang baru sudah berlalu.

4.3. BELANJA PEMERINTAH DAERAH

4.3.1. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Urusan


Belanja pemerintah daerah dalam APBD di Provinsi Kepulauan Riau digunakan
untuk membiayai tiga puluh empat urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan terdiri
dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib merupakan urusan sangat mendasar
yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara, sedangkan urusan
pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai kekhasan dan potensi unggulan daerah.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


35
Tabel IV-4 Belanja APBD 2015 di Provinsi Kepulauan Riau Berdasarkan Urusan Pemerintahan
(dalam jutaan Rupiah)
2014 2015
Urusan Pemerintahan Porsi
Pagu Pagu Realisasi
Belanja
Urusan Wajib
1.Pendidikan 2.242.762,03 1.760.196,97 84,55% 15,491%
2.Kesehatan 1.219.756,80 1.091.432,15 78,94% 9,605%
3.Pekerjaan Umum 1.891.588,72 1.835.841,50 81,31% 16,157%
4.Perumahan 149.585,87 73.625,50 83,74% 0,648%
5.Penataan Ruang 53.711,74 34.899,64 87,28% 0,307%
6.Perencanaan Pembangunan 247.970,03 200.207,29 79,51% 1,762%
7.Perhubungan 355.901,79 380.222,80 83,04% 3,346%
8.Lingkungan Hidup 244.145,15 167.509,35 85,96% 1,474%
9.Pertanahan 41.010,57 28.665,00 60,54% 0,252%
10.Kependudukan dan Catatan Sipil 68.495,64 48.348,03 84,23% 0,425%
11.Pemberdayaan Perempuan 48.351,82 36.402,40 87,65% 0,320%
12.Keluarga Berencana & Keluarga Sejahtera 10.480,76 16.219,94 87,45% 0,143%
13.Sosial 118.770,58 98.033,08 86,23% 0,863%
14.Tenaga Kerja 76.082,36 61.425,03 84,28% 0,541%
15.Koperasi dan UKM 64.178,91 46.196,79 88,17% 0,407%
16.Penanaman Modal 54.303,65 42.467,87 82,08% 0,374%
17.Kebudayaan 84.905,44 38.346,53 83,43% 0,337%
18.Pemuda dan Olahraga 118.333,57 122.511,46 85,63% 1,078%
19.Kesatuan Bangsa & Politik Dlm.Negeri 232.428,21 175.456,61 85,04% 1,544%
20.Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum 4.350.290,98 4.199.022,81 84,41% 36,954%
21.Ketahanan Pangan 22.079,36 19.358,48 84,83% 0,170%
22.Pemberdayaan Masy. dan Desa 73.336,82 65.775,99 86,58% 0,579%
23.Statistik 2.548,75 1.681,47 86,39% 0,015%
24.Kearsipan 5.901,14 19.505,38 85,87% 0,172%
25.Komunikasi dan Informatika 59.365,17 64.758,21 85,96% 0,570%
26.Perpustakaan 42.472,27 57.170,88 88,52% 0,503%
Urusan Pilihan
1.Pertanian 129.993,45 118.873,85 77,77% 1,046%
2.Kehutanan 30.977,93 20.141,48 70,86% 0,177%
3.Energi dan SD Mineral 120.367,31 112.920,21 73,30% 0,994%
4.Pariwisata 101.188,99 77.510,17 87,81% 0,682%
5.Kelautan dan Perikanan 248.602,35 209.473,51 84,56% 1,844%
6.Perdagangan 55.062,49 79.247,07 73,50% 0,697%
7.Perindustrian 41.996,14 59.246,69 85,93% 0,521%
8.Transmigrasi 332,55 84,47 93,50% 0,001%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: DJPK, Pemda di Kepulauan Riau, (diolah)

Hampir semua urusan mengalami penurunan alokasi dengan rata-rata penurunan


25,10% Secara agregat, terdapat empat urusan pemerintahan yang mendapatkan porsi
besar di Kepulauan Riau. Urusan yang mendapat porsi terbesar merupakan urusan
wajib diantaranya urusan otda dan pemerintahan umum diikuti urusan pendidikan,
urusan pekerjaan umum, dan urusan kesehatan. Selain urusan tersebut, sebanyak 30
urusan lainnya memiliki porsi masing-masing dibawah 3% dengan total mencapai 23,01%.
Dilihat klasifikasi urusan pemerintahan, kebijakan pemda di Provinsi Kepulauan Riau
menitikberatkan pada pelayanan pada masyarakat, pembangunan sumberdaya

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


36
manusia melalui pendidikan dan kesehatan, dan pembangunan infrastruktur untuk
menunjang perekonomian.

4.3.2. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Fungsi


Belanja pemda dalam APBD di Provinsi Kepulauan Riau digunakan untuk
membiayai sembilan fungsi pemerintahan dengan tren alokasi yang terus meningkat.

Tabel IV-5 Belanja APBD 2015 di Provinsi Kepulauan Riau Berdasarkan Fungsi
(dalam jutaan Rupiah)
2014 2015
Fungsi
Pagu Pagu Realisasi Porsi Belanja
01 Pelayanan Umum 4.666.076,07 4.485.175,16 84,19% 39,47%
02 Ketertiban dan Keamanan 232.428,21 175.456,61 85,06% 1,54%
03 Ekonomi 1.272.882,57 1.215.434,26 81,81% 10,70%
04 Lingkungan Hidup 338.867,47 231.073,98 83,12% 2,03%
05 Perumahan dan Fasilitas Umum 2.041.174,59 1.909.467,00 81,51% 16,80%
06 Kesehatan 1.230.237,56 1.107.652,09 79,03% 9,75%
07 Pariwisata dan Budaya 186.094,43 115.856,70 85,83% 1,02%
08 Pendidikan 2.403.567,86 1.939.879,31 84,69% 17,07%
09 Perlindungan Sosial 235.950,58 182.783,52 85,97% 1,61%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: DJPK, Pemda di Kepulauan Riau, (diolah).

Secara agregat, terdapat lima fungsi pemerintahan yang mendapatkan porsi


besar di Kepulauan Riau. Fungsi yang mendapat porsi terbesar adalah fungsi
pelayanan umum diikuti fungsi pendidikan, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi
ekonomi, dan fungsi kesehatan. Selain fungsi tersebut, memiliki porsi masing-masing
dibawah 3% dengan total mencapai 6,20%. Dilihat dari jenis fungsinya, kebijakan
pemda di Provinsi Kepulauan Riau menitikberatkan pada pelayanan pada masyarakat,
pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.

4.3.3. Belanja Pemerintah Daerah Berdasarkan Jenis Belanja


Dalam APBD di Provinsi Kepulauan Riau terdapat sembilan jenis belanja yang
dikelompokkan ke dalam belanja langsung dan tidak langsung. Sebagian besar jenis
belanja mengalami penurunan alokasi dengan rata-rata penurunan -13,32% dengan
penurunan terbesar terjadi pada belanja subsidi yang menurun -20,28%. Di sisi lain,
terdapat 3 jenis belanja yang mengalami peningkatan alokasi di tahun 2015 dipimpin
oleh belanja tidak terduga yang meningkat hingga 18 kali lipat. Secara agregat, terdapat
tiga jenis belanja yang mendapatkan porsi besar di Kepulauan Riau yaitu belanja
barang, belanja pegawai, dan belanja modal. Selain jenis belanja tersebut, memiliki
porsi masing-masing dibawah 9% dengan total mencapai 24,17%. Dilihat dari porsi
belanja, kebijakan pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Riau menitikberatkan pada
belanja sektor produktif dengan porsi belanja langsung yang lebih besar dari belanja
tidak langsungnya.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


37
Tabel IV-6 Belanja APBD 2015 di Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jenis Belanja
(dalam jutaan Rupiah)
Jenis Belanja 2014 2015
Pagu Realisasi Pagu Realisasi Porsi
Belanja Tidak Langsung 4.879.287,93 91,91% 4.970.968,98 83,10% 43,75%
Belanja
Belanja Pegawai 3.196.406,20 92,09% 3.198.132,43 87,31% 28,15%
Belanja Subsidi 62.400,63 90,67% 49.745,47 54,51% 0,44%
Belanja Hibah 668.777,30 85,86% 796.648,26 84,32% 7,01%
Bantuan Sosial 283.481,55 94,41% 228.132,39 62,88% 2,01%
Bagi Hasil Ke Pemda Lain 664.614,56 98,44% 632.426,18 89,35% 5,57%
Belanja Tidak Terduga 3.607,69 24,47% 65.884,25 53,09% 0,58%
Belanja Langsung 6.541.643,12 87,91% 6.391.809,65 79,83% 56,25%
Belanja Pegawai 439.255,12 91,74% 973.402,06 90,05% 8,57%
Belanja Barang 3.504.166,56 90,09% 3.065.066,76 81,06% 26,97%
Belanja Modal 2.598.221,45 84,55% 2.353.340,83 74,01% 20,71%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: DJPK, Pemda di Kepulauan Riau, (diolah)

4.4. PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH

4.4.1. Profil dan Jenis Layanan Satuan Kerja Badan Layanan Umum Daerah
Rumah sakit umum daerah (RSUD) Provinsi Kepulauan Riau merupakan rumah
sakit kelas B non pendidikan sebagai rujukan dari kabupaten/kota se-Provinsi
Kepulauan Riau. RSUD tersebut berdiri sejak 29 Februari 2012 (soft opening)
berdasarkan surat penetapan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Nomor 2012 yang
bersifat sementara dan berlaku sampai 2013. Struktur organisasi dan tata kerja RSUD
ditetapkan melalui peraturan daerah Provinsi Kepulauan Riau Nomor 5 Tahun 2011
tanggal 11 Juli 2011. Pendirian RSUD ditujukan untuk mempercepat penurunan angka
kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) dalam rangka mempercepat
pencapaian MDG's, meningkatkan jaminan masyarakat terutama penduduk miskin, dan
pelayanan kesehatan rujukan yang komprehensif.

Tabel IV-7 Profil Satuan Kerja BLUD di Provinsi Kepulauan Riau (dalam jutaan rupiah)
Pagu Total
Jenis BLUD; Nama BLUD Nilai Aset
PNBP RM Pagu
KESEHATAN
Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Kepulauan Riau 9.257,47 4.652,08 3.000,00 7.652,08
*Data BLUD adalah tahun 2014 , data tahun 2015 N/A
Sumber: RSUD Provinsi Kepulauan Riau

Pada tahun 2014 alokasi dana untuk RSUD Provinsi Kepulauan Riau mencapai
Rp.7,65 triliun yang sebagian besar berasal dari PNBP sebesar 60,79% atau mencapai
Rp.4,65 triliun. Nilai aset pada 2014 mencapai Rp.9,26 triliun.
RSUD Provinsi Kepulauan Riau memiliki tujuh jenis layanan yakni instalasi
gawat darurat, instalasi rawat inap, instalasi rawat jalan, laboratorium, radiologi,
rehabilitasi medis, dan medical check up. Berdasarkan peraturan daerah nomor 01
tahun 2012 maka RSUD menetapkan tarif dalam pelayanannya sebagai berikut:

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


38
Tabel IV-8 Daftar Tarif RSUD Provinsi Kepulauan Riau 2015
Pelayanan Rawat Jalan Persalinan
- Pemeriksaan Dokter Umum/Gigi Rp. 25.000 - Persalinan Normal
- Pemeriksaan Dokter Spesialis Rp. 35.000 1. Ditolong Bidan Rp. 300.000
Pelayanan Gawat Darurat 2. Ditolong Dokter Umum Rp. 400.000
- Pemeriksaan Dokter Umum Rp.28.000 3. Ditolong Dokter Spesialis Rp. 500.000
- Konsultasi Dokter Spesialis Rp.35.000 - Persalinan Dengan Penyulit Rp. 850.000
Rawat Inap Operasi
-Kelas III/hari Rp. 100.000 Operasi Kecil (*) Rp. 500.000
-Kelas II/hari Rp. 120.000 Operasi Sedang(*) Rp. 2.450.000
-Kelas I/hari Rp. 200.000 Operasi Besar(*) Rp. 3.675.000
-ICU/hari Rp. 450.000 Operasi Khusus (*) Rp. 4.150.000
-NICU/hari Rp. 450.000 * Harga belum termasuk anestesi yang tergantung pada
-Perinatologi/hari Rp. 200.000 kondisi pasien
Medical Check Up Standar Rp. 275.000 Medical Check Up Calon
Rp. 440.000
Medical Check Up Lengkap Rp. 542.300 Karyawan
Sumber: RSUD Provinsi Kepulauan Riau

4.4.2. Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah


RSUD Provinsi Kepulauan Riau selalu berupaya untuk meningkatkan kinerja
melalui peningkatan fasilitas dan kualitas pelayanan demi kenyamanan pasien. Salah
satu upaya dalam meningkatkan kinerja pelayanan, kinerja keuangan dan kinerja
manfaat adalah melalui mekanisme badan layanan umum daerah (BLUD) seperti
diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. UU
tersebut menegaskan bahwa syarat umum bagi rumah sakit yang didirikan pemerintah
daerah harus menjadi BLUD dengan tujuan memberikan pelayanan umum secara lebih
efektif dan efisien.
RSUD Provinsi Kepulauan Riau mulai menjadi BLUD tanggal 1 Januari 2015
dengan menjalankan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah (PPK-
BLUD). Penetapan RSUD sebagai BLUD dengan status penuh berdasarkan Keputusan
Gubernur Nomor 953 Tahun 2013.

Tabel IV-9 Perkembangan Pengelolaan Aset Badan Layanan Umum Daerah


di Provinsi Kepulauan Riau 2014 (dalam jutaan Rupiah)
BLUD Januari Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV
RSUD Provinsi Kepulauan Riau 8.934,53 8.934,53 9.031,07 9.257,47 9.723,63
*Data BLUD adalah tahun 2014 , data tahun 2015 N/A
Sumber: RSUD Provinsi Kepulauan Riau

Pada awal pelaksanaan PPK-BLUD, RSUD memiliki aset sebesar Rp.8,9 triliun.
Perkembangan aset pada tahun 2014 menunjukkan bahwa penambahan aset terjadi
selama 2014 dengan total peningkatan aset mencapai 8,83%.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


39
4.4.3. Analisis Legal Badan Layanan Umum Daerah
Penyusunan peraturan daerah Provinsi Kepulauan Riau nomor 9 tahun 2010
tentang pelayanan kesehatan RSUD Provinsi Kepulauan Riau sebagai BLUD telah
sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 61 tahun 2007 tanggal 7
November 2007 tentang pedoman teknis PK-BLUD, dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 23 tahun 2005 tanggal 13 Juni 2005 jo. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2012 tentang PK-BLU. Penetapan
status PPK-BLUD RSUD ditetapkan oleh Gubernur yang dituangkan dalam Perda.
Kesesuaian penyusunan peraturan daerah diatas. dapat dilihat dari analisis legal
meliputi analisis kelembagaan, tata kelola, SDM, dan pengendalian. Dalam analisis
kelembagaan, PPK-BLUD RSUD Provinsi Kepulauan Riau ditetapkan dengan
peraturan daerah setelah memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administratif.
Tata kelola PPK-BLUD RSUD Provinsi Kepulauan Riau menunjukan adanya fleksibilitas
dalam pengeluaran biaya dengan mempertimbangkan volume kegiatan pelayanan.
Selanjutnya dalam analisis SDM, pengelola PPK-BLU RSUD Provinsi Kepulauan Riau
terdiri dari pemimpin BLUD, pejabat keuangan, dan pejabat teknis. Dilihat dari aspek
pengendalian, PPK-BLUD RSUD Provinsi Kepulauan Riau telah melakukan evaluasi
dan penilaian kinerja yang dilakukan oleh kepala daerah/badan pengawas.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.01/2012 tanggal 6
November 2012 tentang organisasi dan tata kerja instansi vertikal Direktorat Jenderal
Perbendaharaan pasal 13 dan 14 ditetapkan bahwa tugas dan fungsi Bidang PPA II
antara lain menyiapkan bahan pembinaan dan bimbingan teknis PK-BLUD. Namun
demikian dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-83/PB/2011
tanggal 5 Desember 2011 tentang pedoman pembinaan PK-BLU pada bagian ketiga,
kewenangan dan tugas Kanwil Ditjen Perbendaharaan pasal 8 dan 9 belum
mengakomodir petunjuk teknis mengenai pembinaan tersebut.

4.5. PENGELOLAAN INVESTASI DAERAH

4.5.1. Bentuk Investasi Daerah


Investasi pemerintah daerah merupakan penempatan sejumlah dana dan/atau
barang milik daerah dalam jangka panjang dengan tujuan investasi dengan harapan
akan mendapatkan manfaat dalam jangka waktu tertentu. Investasi daerah di Provinsi
Kepulauan Riau berupa investasi langsung melalui penyertaan modal daerah dan
pemberian pinjaman yang alokasinya menurun sampai dengan 56,95% pada 2015.
Hipotesis penyebab penurunan investasi tersebut adalah bagian dari pemotongan
pengeluaran oleh pemerintah daerah karena penerimaan pemda menurun.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


40
Selama 2015, Tabel IV-10 Investasi Daerah di Provinsi Kepulauan Riau (dalam
miliaran rupiah)
penyertaan modal daerah 2014 2015
Investasi Langsung
sebagian besar digunakan Pagu Realisasi Pagu Realisasi
1.Penyertaan Modal 66,24 91,70% 26,50 90,57%
untuk penyertaan modal
2.Pemberian Pinjaman 4,37 93,93% 3,90 47,95%
BUMD mencapai 96,89%, Jumlah Investasi 70,61 91,84% 30,40 85,10%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
sisanya digunakan untuk Sumber: Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau

dana bergulir. Sedang pinjaman daerah diberikan kepada perusahaan daerah sebesar
57,27%, dan sisanya untuk lembaga.

4.5.2. Profil dan Jenis BUMD


Pemerintah daerah melakukan investasi langsung dengan cara melakukan
penyertaan modal ke badan usaha milik daerah (BUMD). Selain sebagai bentuk
investasi, BUMD berperan dalam mewujudkan prioritas kebijakan pemerintah daerah
dan perintis kegiatan yang kurang mendapat perhatian swasta.

Tabel IV-11 BUMD di Provinsi Kepulauan Riau


Modal
Nama BUMD Jenis Usaha Berdiri Dasar Hukum
(jutaan rupiah)
1.PT.Pembangunan Kepri Multi usaha 2006 Perda no.2/2006 10.000,00-
2.PT Bintan Inti Sukses Investasi 2007 Perda no.2/2007 27.755,19,-
3.PDAM Tirta Kepri Penyediaan air minum 2008 Perda no.4/2008 31.764,77,-
4.PT.Pelabuhan Kepri Transportasi laut 2013 Perda no.2/2013 100.000,00,-
Sumber: Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau

Di Provinsi Kepulauan Riau terdapat empat BUMD yang memiliki jenis usaha
yang berbeda-beda. PT Pembangunan Kepri dimiliki Pemerintah Provinsi Kepulauan
Riau memiliki jenis usaha lebih dari satu yakni eksplorasi dan eksploitasi SDA, distribusi
perdagangan, agrobisnis dan sektor primer, industri manufaktur, pariwisata,
telekomunikasi, energi, dan jasa keuangan. PT Bintan Inti Sukses dimiliki Pemerintah
Kabupaten Bintan memiliki jenis usaha investasi dalam pengembangan kawasan
Bintan. PDAM Tirta Kepri dimiliki Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau bertugas
menyediakan air minum dan air bersih bagi masyarakat Provinsi Kepulauan Riau. PT
Pelabuhan Kepri dimiliki Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau bertugas menyediakan
jasa pelabuhan dan kepelabuhan di Kepulauan Riau.

4.6. DEFISIT DAN PEMBIAYAAN PEMERINTAH DAERAH

4.6.1. Perkembangan Defisit APBD


Kebijakan anggaran pada APBD di Provinsi Kepulauan Riau adalah kebijakan
ekspansif dengan defisit anggaran yang ditujukan untuk menggerakkan perekonomian.
Perkembangan defisit APBD dapat dilihat menggunakan empat rasio sebagai berikut:

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


41
Tabel IV-12 Rasio Defisit APBD di Provinsi Kepulauan Riau
Defisit terhadap Defisit terhadap Defisit Terhadap SILPA terhadap
Tahun Pendapatan Realisasi Dana Transfer PDRB Alokasi Belanja
Defisit/Pendapatan Defisit/Dana Transfer Defisit/PDRB SILPA/Belanja
2013 0,1288 0,1622 0,0226 0,1249
2014 0,0772 0,1104 0,0158 0,0615
2015 0,2917 0,4054 0,0105 0,0489
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: BPS, DJPK, Pemerintah Daerah; (diolah)

Rasio defisit APBD terhadap total pendapatan daerah mencerminkan performa


fiskal pemerintah daerah dalam menghimpun pendapatan untuk menutup belanja dalam
kondisi pendapatan tertentu. Rasio defisit tersebut menunjukkan peningkatan di tahun
2015 sehingga mencerminkan penurunan kinerja fiskal karena kemampuan pendapatan
untuk membiayai defisit menurun.
Rasio defisit APBD terhadap realisasi dana transfer digunakan untuk
mengetahui proporsi defisit terhadap salah satu sumber pendapatan daerah yakni dana
transfer. Rasio yang meningkat menunjukkan peningkatan ketergantungan pemerintah
daerah terhadap dana transfer sebagai penopang belanja daerah.
Rasio defisit APBD terhadap PDRB menggambarkan kesehatan ekonomi
regional, semakin kecil rasio berarti daerah tersebut mampu memproduksi barang dan
jasa yang cukup baik untuk membiayai hutang akibat defisit anggaran. Rasio semakin
kecil dan nilainya sangat kecil dibawah 3% (defisit yang terjaga) menunjukkan Provinsi
Kepulauan Riau sangat mampu dalam membiayai defisit anggarannya.
Rasio SILPA terhadap alokasi Belanja APBD mencerminkan proporsi belanja
atau kegiatan yang tidak digunakan dengan efektif oleh pemerintah daerah. Rasio
SILPA yang menurun memperlihatkan bahwa Provinsi Kepulauan Riau semakin efektif
dalam melakukan realisasi belanja daerah.

4.6.2. Pembiayaan Daerah


Pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan
pengeluaran pembiayaan. Pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit. Realisasi
penerimaan pembiayaan di Kepulauan Riau terdiri dari 99,22% berupa SiLPA dan
sisanya berupa penerimaan kembali pemberian pinjaman. Sedangkan pengeluaran
pembiayaan terdiri dari 92,77% penyertaan modal dan sisanya pemberian pinjaman
daerah.
Dalam APBD Provinsi Kepulauan Riau pinjaman daerah sangat terbatas, oleh
karena itu perkembangan pembiayaan hanya dapat dilihat berdasarkan keseimbangan
primer. Keseimbangan primer mencerminkan indikasi likuiditas tanpa dipengaruhi
belanja terkait hutang, semakin besar surplus keseimbangan primer semakin baik
kemampuan dalam membiayai defisit.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


42
Tabel IV-13 Keseimbangan Primer APBD di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliar rupiah)
Keseimbangan Primer 2012 2013 2014 2015
Pendapatan – (Belanja - Belanja Bunga) -1.502,81 -1.120,05 -808,10 -2.131,61
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: BPS, DJPK, Pemerintah Daerah; (diolah)

Keseimbangan primer APBD di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan negatif


walaupun tanpa dipengaruhi belanja bunga. Hal tersebut menunjukkan bahwa defisit
fiskal di Provinsi Kepulauan Riau bukan akibat dari akumulasi hutang tahun-tahun yang
lalu tetapi akibat lain dari kebijakan ekspansif pemerintah daerah. Peningkatan defisit
pada keseimbangan primer tahun 2015 selain disebabkan oleh faktor penurunan DBH
SDA karena turunnya harga minyak dan gas dunia juga dipengaruhi oleh pencatatan
pendapatan pemerintah daerah yang sampai dengan tanggal 27 Februari 2016 belum
selesai mengkompilasi pendapatannya secara komprehensif.

4.7. ANALISIS APBD LAINNYA

4.7.1. Analisis Horizontal dan Vertikal


Analisis ini digunakan untuk menggambarkan informasi dan menilai kinerja
pelaksanaan APBD di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

4.7.1.1.Analisis Horizontal
Analisis horizontal merupakan analisis yang membandingkan angka-angka
dalam laporan realisasi pemerintah daerah satu dengan lainnya dalam satu provinsi.
Selain itu juga merupakan analisis yang membandingkan perubahan keuangan dalam
satu pos APBD yang sama pada satu lingkup pemerintah daerah. Analisis ini bertujuan
untuk menyajikan informasi utuh terkait kinerja suatu pos antar pemerintah daerah dan
perkembangannya dari waktu ke waktu.

Tabel IV-14 Analisis Horizontal Realisasi APBD 2015 di Provinsi Kepulauan Riau
(dalam miliar Rupiah)
Kep. Tanjung
Uraian Provinsi Bintan Karimun Natuna Lingga Batam
Anambas pinang
Pendapatan 2.018,54 781,03 969,06 796,28 571,39 636,70 697,65 839,41
PAD 517,61 185,90 364,02 30,65 19,37 14,60 123,24 425,94
Dana Perimbangan 1.500,31 526,94 501,29 726,65 518,11 576,91 525,31 385,64
LL-PAD Sah 0,63 68,19 103,75 38,97 33,91 45,19 49,10 27,83
Belanja 2.601,16 886,75 947,95 874,41 577,56 645,22 755,99 2.153,62
Tidak Langsung 1.219,90 500,97 505,50 407,55 297,02 303,54 387,94 717,62
Langsung 1.381,26 385,78 442,45 466,86 280,54 341,68 368,05 1.436,00
Surplus/Defisit -582,62 -105,72 21,11 -78,13 -6,17 -8,52 -58,34 -1.314,21
Pembiayaan -15,00 0,00 -0,50 16,25 0,69 6,13 73,85 -1,00
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: BPS, DJPK, Pemerintah Daerah; (diolah)

Pendapatan terbesar adalah pendapatan Pemerintah Provinsi (Pemprov)


Kepulauan Riau mencapai diatas Rp.2 triliun, sedangkan pendapatan terkecil adalah

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


43
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lingga dibawah Rp.600 miliar. PAD terbesar oleh
Pemprov yang didukung oleh penerimaan pajak daerah yang besar. Dana perimbangan
terbesar diterima oleh Pemprov dan Pemkab Natuna yang kaya akan minyak dan gas.
Belanja terbesar baik belanja langsung maupun tidak langsung terbesar dilakukan oleh
Pemprov. Defisit fiskal hampir terjadi di semua pemerintah daerah kecuali Pemkab
Karimun Pembiayaan hampir semua surplus kecuali Pemprov, Pemkab Karimun, dan
Pemkot Batam. Selain itu pemda dengan pembiayaan neto yang dapat menutupi defisit
fiskalnya hanya Pemkot Tanjungpinang

Tabel IV-15 Perkembangan Porsi Realisasi Pendapatan dan Belanja APBD 2015
di Provinsi Kepulauan Riau
Porsi Pendapatan Porsi Belanja
80% 80%
60% 60%
40% 40%
0%
20% 20%
0%

2012 PAD
2013 2014 Dana Perimbangan
2015 2012
B.Pegawai 2013B.Barang2014 2015
B.Modal
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: BPS, DJPK, Pemerintah Daerah; (diolah)

Kontribusi dana perimbangan terhadap pendapatan daerah di Provinsi


Kepulauan Riau masih sangat dominan, perkembangan kontribusi PAD yang semakin
meningkat akan menurunkan kontribusi dana perimbangan dalam pendapatan daerah
di Provinsi Kepulauan Riau. Kemandirian semakin menguat dengan penurunan dana
perimbangan disertai peningkatan PAD dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dari
sisi belanja, porsi belanja modal masih kecil (24,33%) namun meningkat sehingga
mencerminkan bahwa kebijakan sudah mengarah pada pembangunan infrastruktur
sebagaimana di pemerintah pusat.

4.7.1.2.Analisis Vertikal
Analisis vertikal merupakan analisis yang membandingkan setiap pos terhadap
total dalam satu komponen APBD yang sama. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
besarnya kontribusi suatu pos sehingga diketahui pengaruhnya.
Kontribusi PAD terhadap pendapatan agregat di Provinsi Kepulauan Riau
sebesar 23,00% dibawah kontribusi dana perimbangan yang mencapai 71,97%. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa ketergantungan terhadap dana perimbangan masih
besar. Bahkan di tiga pemerintah daerah, yakni Pemkab Kepulauan Anambas, Natuna,
dan Lingga porsinya diatas 90%. Hanya Pemkot Batam yang memiliki porsi PAD lebih
besar dari dana perimbangannya di mana PAD berporsi 50,74% dan dana perimbangan
berporsi 45,94%. Hal tersebut menunjukkan bahwa Pemkot Batam memiliki tingkat
kemandirian yang paling tinggi.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


44
Tabel IV-16 Analisis Vertikal Realisasi Pendapatan APBD 2015 di Provinsi Kepulauan Riau
Kep. Tanjung
Uraian Provinsi Bintan Karimun Natuna Lingga Batam
Anambas pinang
PAD 25,64% 23,80% 37,56% 3,85% 3,39% 2,29% 17,67% 50,74%
Pajak dan Retribusi 23,57% 18,77% 31,24% 1,34% 1,75% 0,99% 10,67% 37,39%
HPKD dan LLPAD 2,07% 5,03% 6,32% 2,51% 1,64% 1,30% 7,00% 13,35%
Dana Perimbangan 74,33% 67,47% 51,73% 91,26% 90,68% 90,61% 75,30% 45,94%
DBH 25,15% 18,30% 15,32% 61,92% 24,70% 43,75% 19,36% 18,61%
DAU 34,48% 37,13% 30,89% 15,22% 54,02% 28,94% 46,62% 21,06%
DAK 2,11% 8,29% 5,52% 11,95% 3,73% 13,81% 0,00% 3,19%
Dana Penyesuaian 12,59% 3,75% 0,00% 2,17% 8,22% 4,11% 9,31% 3,09%
LL Pendapatan Sah 0,03% 8,73% 10,71% 4,89% 5,93% 7,10% 7,04% 3,32%
Hibah 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00% 4,41% 0,00% 0,00%
DBH Pemda lain 0,00% 7,91% 2,93% 3,10% 3,77% 2,69% 5,95% 3,32%
Bantuan Keuangan 0,00% 0,00% 0,00% 1,13% 2,17% 0,00% 1,09% 0,00%
Lain-Lain 0,03% 0,82% 7,78% 0,67% 0,00% 0,00% 0,00% 0,00%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: BPS, DJPK, Pemerintah Daerah; (diolah)

Penyusun pendapatan daerah di Pemprov tertinggi adalah pajak dan retribusi


daerah begitu juga halnya di Pemkot Batam. Pemkab Bintan porsi terbesar pendapatan
adalah DAU begitu juga halnya dengan Pemkab Karimun, Lingga, dan Pemkot
Tanjungpinang. Sedangkan untuk Pemkab Natuna dan Pemkab Kepulauan Anambas
yang terbesar adalah porsi DBH terutama DBH SDA karena kedua daerah tersebut
merupakan penghasil minyak bumi dan gas bumi di Kepulauan Riau.

Tabel IV-17 Analisis Vertikal Realisasi Belanja APBD 2015 di Provinsi Kepulauan Riau
Kep. Tanjung
Uraian Provinsi Bintan Karimun Natuna Lingga Batam
Anambas pinang
Bel.Tidak Langsung 46,90% 56,50% 53,33% 46,61% 51,43% 47,04% 51,32% 33,32%
B.Pegawai 10,82% 49,38% 41,80% 32,86% 34,68% 38,16% 49,92% 31,16%
Subsidi 0,00% 0,05% 0,00% 2,80% 0,00% 0,07% 0,24% 0,00%
Hibah 18,69% 2,75% 7,27% 1,89% 2,36% 2,81% 0,50% 1,87%
Bantuan Sosial 2,23% 0,34% 4,26% 1,27% 3,26% 0,57% 0,49% 0,21%
Bagi Hasil ke Pemda 15,14% 3,98% 0,00% 3,91% 11,13% 5,43% 0,14% 0,06%
B.Tidak Terduga 0,02% 0,00% 0,00% 3,88% 0,00% 0,00% 0,02% 0,01%
Bel.Langsung 53,10% 43,50% 46,67% 53,39% 48,57% 52,96% 48,68% 66,68%
B.Pegawai 6,23% 0,00% 12,00% 7,25% 7,77% 0,00% 12,39% 18,52%
B.Barang 33,76% 25,19% 24,79% 21,84% 21,11% 17,60% 27,55% 23,83%
B.Modal 13,12% 18,31% 9,88% 24,30% 19,69% 35,35% 8,74% 24,33%
*Data pemerintah daerah bersifat sementara per 27 Februari 2016
Sumber: BPS, DJPK, Pemerintah Daerah; (diolah)

Belanja di Provinsi Kepulauan Riau secara agregat sebagian besar digunakan


untuk belanja langsung mencapai 66,68%, meningkat dari 58,36% di tahun
sebelumnya. Hal tersebut mengindikasikan kebijakan fiskal diarahkan pada sektor
produktif untuk mendorong perekonomian. Jika dilihat per pemda, Pemkab Bintan,
Karimun, Lingga dan Pemkot Tanjungpinang memiliki porsi belanja langsung lebih kecil
dibandingkan belanja tidak langsungnya. Sebagian besar belanja langsung di pemda
didominasi oleh belanja barang dan jasa, namun untuk Pemkab Natuna, Pemkab
Kepulauan Anambas, dan Pemkot Batam, porsi terbesar adalah pada belanja modal.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


45
4.7.2. Kesehatan Keuangan Daerah
Untuk menganalisis dan mengukur kinerja pengelolaan keuangan daerah dapat
dilakukan dengan menggunakan metode sederhana yaitu analisis indikator kesehatan
keuangan daerah yang mengadopsi teori ten point test untuk mengetahui tingkat kondisi
kesehatan keuangan masing-masing daerah dengan melihat skor akhir dari masing-
masing daerah. Ten point test memotret kondisi kesehatan fiskal antar pemerintah
daerah berdasarkan beberapa rasio sederhana, yang setiap rasionya terfokus pada
empat aspek kesehatan fiskal yaitu pendapatan, pengeluaran, posisi operasi dan
struktur utang. Ten point test yang dikembangkan oleh Kenneth W. Brown (1993) adalah
the ten-point test of fiscal condition yang dimuat dalam jurnal “Fiscal Health for Local
Governments: An Introduction to Concept, Practical Analysis, and Strategies” yang
disusun oleh Honadle, James, dan Beverly pada tahun 2004 (DJPK, 2012).
Untuk memotret kesehatan keuangan daerah di Indonesia maka metode ten
point test tersebut dimodifikasi untuk disesuaikan dengan perbedaan standarisasi data
dan informasi keuangan daerah yang ada di Indonesia menjadi sembilan indikator.
Indikator keuangan yang dapat digunakan dalam memotret kesehatan keuangan
daerah oleh DJPK adalah indikator pendapatan daerah per kapita, indikator
kemandirian keuangan daerah, indikator rasio ruang fiskal daerah, indikator
peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah, indikator kemampuan mendanai belanja
daerah, indikator belanja modal, indikator belanja pegawai tidak langsung, indikator
optimalisasi SILPA, dan indikator kemampuan pembayaran pokok hutang dan bunga
daerah. Untuk menilai kesehatan keuangan daerah, hasil perhitungan sembilan rasio
tersebut diberi skor untuk dibandingkan antar pemerintah daerah lingkup Provinsi
Kepulauan Riau dan dengan skor rata-rata nasional.

4.7.2.1.Indikator Pendapatan Daerah Per kapita


Indikator pendapatan daerah per kapita dilihat berdasarkan rasio pendapatan
daerah terhadap jumlah penduduk daerah tersebut. Rasio tersebut menunjukkan
besarnya jumlah pendapatan pemerintah daerah yang dapat digunakan untuk melayani
sejumlah penduduk daerah tersebut sehingga merupakan ukuran rill dari pendapatan
daerah. Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan bertambahnya beban
pemerintah daerah sehingga harus diiringi oleh peningkatan pendapatan daerah.
Indikator pendapatan daerah per kapita dihitung berdasarkan formula sebagai
berikut:

Indikator Pendapatan Daerah Per kapita = ℎ

Rasio pendapatan daerah per kapita secara nasional (akumulasi pemerintah


daerah seluruh Indonesia) sebesar 2,51 yang dapat diartikan bahwa kemampuan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


46
daerah dalam melayani per-satu jiwa penduduknya sebesar Rp.2,51 juta dalam satu
tahun. Untuk rasio pendapatan daerah per kapita di Provinsi Kepulauan Riau secara
agregat mencapai Rp.3,81 juta/penduduk jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rasio
secara nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas Provinsi Kepulauan Riau
untuk melayani masyarakatnya berada di atas rata-rata nasional.

Gambar IV-1 Indikator Pendapatan Daerah Per kapita di Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 003
Ak.Prov/Kab./Kota 004
Pemprov.Kep.Riau 001
Pemko.Tanjungpinang 003
Pemko.Batam 001
Pemkab.Bintan 005
Pemkab.Karimun 004
Pemkab.Natuna 011
Pemkab.Lingga 006
Pemkab.Kep.Anambas 016
Rasio Pendapatan Daerah terhadap Jumlah Penduduk (dalam jutaan rupiah)
Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau, (diolah)

Rasio pendapatan daerah per kapita pada delapan pemerintah daerah di


Provinsi Kepulauan Riau yang paling tinggi adalah rasio pada Pemkab Kepulauan
Anambas sedangkan yang terendah adalah rasio pada Pemprov Kepulauan Riau.
Terdapat dua rasio pemerintah daerah yang berada dibawah rasio nasional yakni rasio
pada Pemprov Kepulauan Riau dan Pemkot Batam, sedangkan enam pemerintah
daerah lainnya memiliki rasio diatas rasio nasional. Berdasarkan rasio pendapatan
daerah per kapita pada Provinsi Kepulauan Riau secara agregat, terdapat empat
pemerintah daerah yang berada di bawah rasio tersebut yakni rasio pada Pemkab
Karimun, Pemkot Tanjungpinang, Pemkot Batam, dan Pemprov Kepulauan Riau.

4.7.2.2.Indikator Kemandirian Keuangan Daerah


Indikator kemandirian keuangan daerah dilihat berdasarkan rasio PAD terhadap
total pendapatan. Kemandirian keuangan daerah menunjukkan local taxing power suatu
daerah, serta seberapa besar kemampuan PAD mendanai belanja daerah untuk
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Rasio menunjukkan tingkat
kesehatan semakin baik bila terus meningkat, akan tetapi perlu diperhatikan bila terjadi
kenaikan secara kontinyu atas pendapatan bunga, karena dapat diartikan peningkatan
dana pemerintah daerah yang disimpan dalam bank dan tidak dibelanjakan.
Indikator kemandirian keuangan daerah dihitung berdasarkan formula sebagai
berikut:

Indikator Kemandirian Keuangan Daerah = ℎ

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


47
Rata-rata tingkat kemandirian daerah yang dicerminkan kemampuan mendanai
belanja menggunakan sumber PAD adalah 23,08%, sedangkan sisanya menggunakan
dana perimbangan dan LLPD yang sah. Semakin besar rasio PAD terhadap
pendapatan daerah maka daerah tersebut semakin mandiri. Rasio PAD terhadap
pendapatan daerah di Provinsi Kepulauan Riau secara agregat mencapai 23,00%,
sedikit di bawah rasio nasional. Namun demikian, nilai tersebut belum mencerminkan
penerimaan daerah yang belum tercatat secara komprehensif per 26 Februari 2015
sehingga sangat dimungkinkan bahwa kemandirian keuangan sebenarnya dari pemda
di lingkup Provinsi Kepulauan Riau lebih tinggi dari akumulasi pemda nasional.

Gambar IV-2 Indikator Kemandirian Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau


Ak.Nasional 23,078%
Ak.Prov/Kab./Kota 23,000%
Pemprov.Kep.Riau 25,640%
Pemko.Tanjungpinang 17,670%
Pemko.Batam 50,740%
Pemkab.Bintan 23,800%
Pemkab.Karimun 37,560%
Pemkab.Natuna 3,850%
Pemkab.Lingga 3,390%
Pemkab.Kep.Anambas 2,290%
Rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah
Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau, (diolah)

Tingkat kemandirian keuangan pemda yang tertinggi dan berada di atas rata-
rata nasional di Provinsi Kepulauan Riau adalah Pemkot Batam, diikuti oleh Pemkab
Karimun dan Pemprov Kepulauan Riau dan Pemkab Bintan. Sedangkan kemandirian
keuangan terendah adalah Pemkab Kepulauan Anambas. Terdapat 3 pemda dengan
tingkat kemandirian di bawah 4% yakni Pemkab Natuna, Pemkab Lingga, dan Pemkab
Kepulauan Anambas yang menunjukkan bahwa pemda-pemda tersebut sangat
bergantung pada dana perimbangan dari pemerintahan pusat untuk menjalankan roda
pemerintahannya.

4.7.2.3.Indikator Ruang Fiskal Daerah


Indikator ini menunjukkan seberapa besar keleluasaan dalam menggunakan
dana untuk belanja prioritas. Kalkulasi indikator berdasarkan rasio antar ruang fiskal
terhadap pendapatan daerah. Ruang fiskal merupakan pendapatan daerah selain DAK,
hibah, dana penyesuaian dan otsus, dan dana darurat yang ada untuk membiayai
belanja selain belanja pegawai tidak langsung dan belanja bunga. Semakin besar ruang
fiskal, semakin leluasa pemda menyesuaikan dana dengan prioritas daerah.
Indikator ruang fiskal daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

Indikator Ruang Fiskal Daerah = ℎ

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


48
Rasio ruang fiskal terhadap pendapatan daerah secara nasional (akumulasi
pemda seluruh Indonesia) sebesar 47,51% yang menunjukkan tingkat keleluasaan
daerah dalam menggunakan dana untuk belanja. Semakin besar nilai rasio ruang fiskal
terhadap pendapatan daerah maka daerah tersebut semakin leluasa menggunakan
dana untuk prioritas pembangunan. Rasio ruang fiskal terhadap pendapatan daerah di
Provinsi Kepulauan Riau secara agregat mencapai 62,03% lebih tinggi dibandingkan
dengan rasio secara nasional sehingga Provinsi Kepulauan Riau lebih leluasa dalam
menggunakan dana APBD dibanding pemerintah daerah secara nasional.

Gambar IV-3 Indikator Ruang Fiskal Daerah di Provinsi Kepulauan Riau


Ak.Nasional 47,513%
Ak.Prov/Kab./Kota 62,026%
Pemprov.Kep.Riau 83,557%
Pemko.Tanjungpinang 50,458%
Pemko.Batam 50,328%
Pemkab.Bintan 43,706%
Pemkab.Karimun 49,210%
Pemkab.Natuna 64,800%
Pemkab.Lingga 53,916%
Pemkab.Kep.Anambas 67,873%
Rasio Fiskal terhadap Pendapatan Daerah
Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau, (diolah)

Indikator ruang fiskal pemda di Provinsi Kepulauan Riau yang paling tinggi
adalah Pemprov Kepulauan Riau sedangkan yang terendah adalah Pemkab Bintan.
Hanya ada satu pemda di Provinsi Kepulauan Riau yang tingkat keleluasaannya di
bawah nasional yakni Pemkab Bintan. Sedangkan berdasarkan indikator ruang fiskal
Provinsi Kepulauan Riau secara agregat, terdapat tiga pemda yang tingkat keleluasaan
penggunaan dana berada di atas agregat provinsi yakni Pemprov Kepulauan Riau,
Pemkab Kepulauan Anambas, dan Pemkab Natuna.

4.7.2.4.Indikator Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


Indikator peningkatan pajak dan retribusi daerah merupakan indikator untuk
melihat tingkat kemampuan daerah dalam menggali potensi pajak dan retribusi daerah,
berdasarkan rasio pajak dan retribusi daerah terhadap PDRB. Semakin besar rasio
peningkatan pajak dan retribusi daerah terhadap PDRB maka kemampuan daerah
tersebut dalam mengkonversi seluruh potensi penerimaan pajak daerah menjadi pajak
daerah yang bisa dipungut juga semakin besar.
Indikator peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah dihitung berdasarkan
formula sebagai berikut:
Indikator Peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah =
ℎ ℎ
��

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


49
Rasio peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PDRB secara
nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 5,038% yang
menunjukkan tingkat kemampuan pemerintah daerah dalam menggali potensi pajak
dan retribusi daerah. Semakin besar nilai rasionya maka daerah tersebut semakin
mampu menggali potensi pajak dan retribusi daerah menjadi penerimaan daerah. Rasio
peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PDRB di Provinsi Kepulauan
Riau secara agregat mencapai 0,659% lebih rendah dibandingkan dengan rasio secara
nasional sehingga Provinsi Kepulauan Riau belum optimal dalam menggali potensi
penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah dibandingkan dengan pemerintah
daerah secara nasional. Peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah
tidak sebanding dengan peningkatan PDRB-nya.

Gambar IV-4 Indikator Peningkatan Pajak dan Retribusi Daerah di Provinsi Kepulauan Riau

Ak.Nasional 5,038%
Ak.Prov/Kab./Kota 0,659%
Pemprov.Kep.Riau 0,234%
Pemko.Tanjungpinang 0,037%
Pemko.Batam 0,154%
Pemkab.Bintan 0,072%
Pemkab.Karimun 0,149%
Pemkab.Natuna 0,005%
Pemkab.Lingga 0,005%
Pemkab.Kep.Anambas 0,003%
Rasio Pajak dan Retribusi Daerah terhadap PDRB
Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau, (diolah)

Rasio peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PDRB di delapan
pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Riau yang paling tinggi adalah rasio pada
Pemprov sedangkan yang terendah adalah rasio pada Pemkab Kepulauan Anambas.
Semua pemerintah daerah di Kepulauan Riau nilai rasionya dibawah nilai rasio baik
nasional maupun agregat provinsi.

4.7.2.5. Indikator Kemampuan Mendanai Belanja Daerah


Indikator kemampuan mendanai belanja daerah merupakan tingkat kemampuan
keuangan daerah dalam mendanai belanja dan pengeluaran daerah. Indikator tersebut
tercermin dalam rasio total pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap
total belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan. Kemampuan keuangan daerah
tercermin dalam seluruh penerimaan daerah baik pendapatan daerah maupun
penerimaan pembiayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang digunakan untuk mendanai seluruh belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan
yang direncanakan. Semakin besar rasio penerimaan daerah dan penerimaan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


50
pembiayaan terhadap pengeluaran daerah dan pengeluaran pembiayaan, maka
kemampuan mendanai belanja daerah semakin besar pula.
Indikator kemampuan mendanai belanja daerah dihitung berdasarkan formula
sebagai berikut:
Ind. Kemampuan Mendanai Belanja Daerah =
ℎ �
ℎ �

Rasio penerimaan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran


daerah dan pengeluaran pembiayaan secara nasional (akumulasi pemerintah daerah
seluruh Indonesia) sebesar 99,95% yang menunjukkan tingkat kemampuan dalam
mendanai belanja daerah masih kurang karena penerimaan daerah dan penerimaan
pembiayaan masih belum mencukupi untuk mendanai belanja daerah dan pengeluaran
pembiayaan.

Gambar IV-5 Indikator Kemampuan Mendanai Belanja Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 99,952%
Ak.Prov/Kab./Kota 78,330%
Pemprov.Kep.Riau 77,160%
Pemko.Tanjungpinang 102,040%
Pemko.Batam 38,960%
Pemkab.Bintan 88,080%
Pemkab.Karimun 102,170%
Pemkab.Natuna 92,950%
Pemkab.Lingga 99,050%
Pemkab.Kep.Anambas 99,630%
Rasio Pendapatan dan Penerimaan Pembiayaan terhadap Belanja dan Pengeluaran Pembiayaan

Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau, (diolah)

Rasio penerimaan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran


daerah dan pengeluaran pembiayaan di Provinsi Kepulauan Riau secara agregat
mencapai 78,33% lebih rendah dibandingkan dengan rasio secara nasional sehingga
Provinsi Kepulauan Riau kurang mampu mendanai semua belanja daerah dibanding
pemerintah daerah secara nasional.
Rasio penerimaan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap pengeluaran
daerah dan pengeluaran pembiayaan di delapan pemerintah daerah di Provinsi
Kepulauan Riau yang paling tinggi adalah rasio pada Pemkab Karimun sedangkan yang
terendah adalah rasio pada Pemkot Batam. Hanya terdapat dua pemerintah daerah di
Provinsi Kepulauan Riau yang tingkat kemampuan mendanai belanja daerah di atas
nasional dan Provinsi Kepulauan Riau secara agregat yakni Pemkab Karimun dan
Pemkot Tanjungpinang

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


51
4.7.2.6. Indikator Belanja Modal
Indikator belanja modal merupakan salah satu ukuran kualitas belanja
berdasarkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah. Porsi belanja modal
yang besar diharapkan akan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan
ekonomi di daerah dan pada akhirnya meningkatkan potensi penerimaan daerah yang
baru. Rasio belanja modal terhadap keseluruhan belanja yang semakin besar, maka
kemampuan keuangan daerah untuk mengalokasikan porsi belanjanya pada belanja
modal semakin besar sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara efektif.
Indikator belanja modal daerah dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:

Indikator Belanja Modal =


Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah secara nasional (akumulasi
pemda seluruh Indonesia) sebesar 24,83% yang menunjukkan besaran daerah
mengalokasikan seluruh belanjanya untuk belanja modal dalam hal ini berarti secara
nasional, dan sisanya untuk belanja lainnya. Rasio belanja modal terhadap total belanja
daerah di Provinsi Kepulauan Riau secara agregat mencapai 18,44% lebih rendah
dibandingkan dengan rasio secara nasional karena Provinsi Kepulauan Riau kurang
mengalokasikan belanja modal dibanding pemerintah daerah secara nasional. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah di lingkup Provinsi Kepulauan Riau,
meskipun sudah meningkatkan proporsi belanja modalnya dalam beberapa tahun
terakhir, namun belum cukup untuk mengejar orientasi pembangunan infrastruktur yang
saat ini dilaksanakan oleh sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia.

Gambar IV-6 Indikator Belanja Modal Daerah di Wilayah Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 24,827%
Ak.Prov/Kab./Kota 18,440%
Pemprov.Kep.Riau 13,120%
Pemko.Tanjungpinang 8,740%
Pemko.Batam 24,330%
Pemkab.Bintan 18,310%
Pemkab.Karimun 9,880%
Pemkab.Natuna 24,300%
Pemkab.Lingga 19,690%
Pemkab.Kep.Anambas 35,350%
Rasio Belanja Modal terhadap Belanja Daerah
Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau, (diolah)

Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah pemda di Provinsi Kepulauan
Riau yang paling tinggi adalah Pemkab Kepulauan Anambas sedangkan yang terendah
adalah Pemkot Tanjungpinang. Selain itu, Pemkab Kepulauan Anambas merupakan
satu-satunya pemda di lingkup Provinsi Kepulauan Riau yang mengalokasikan belanja
modal diatas nasional dan Provinsi Kepulauan Riau secara agregat.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


52
4.7.2.7. Indikator Belanja Pegawai Tidak Langsung
Indikator belanja pegawai tidak langsung dapat dilihat melalui rasio belanja
pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah. Kualitas belanja daerah semakin
baik dilihat dari semakin menurunnya porsi belanja pegawai tidak langsung dalam
APBD yang menunjukkan semakin sedikit porsi APBD yang digunakan untuk belanja
aparatur, sehingga APBD lebih terkonsentrasi pada belanja yang langsung terkait
dengan pelayanan publik. Asumsinya jika belanja pegawai tidak langsung semakin
berkurang maka dana APBD dapat direalokasikan ke belanja modal dan belanja barang
jasa yang lebih efektif dalam mendorong roda perekonomian daerah.
Indikator belanja pegawai tidak langsung dihitung berdasarkan formula sebagai
berikut:

Indikator Belanja Pegawai Tidak Langsung = ℎ

Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah secara
nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 33,82% yang
menunjukkan besaran dana yang dialokasikan dalam belanja pegawai tidak langsung
sebesar 33,82% dan sisanya untuk belanja lainnya. Rasio belanja pegawai tidak
langsung terhadap total belanja daerah di Provinsi Kepulauan Riau secara agregat
mencapai 30,69% lebih rendah dibandingkan dengan rasio secara nasional sehingga
Provinsi Kepulauan Riau lebih baik kualitas pengelolaan keuangan daerahnya
dibanding pemerintah daerah secara nasional.

Gambar IV-7 Indikator Belanja Pegawai Tidak Langsung di Provinsi Kepulauan Riau
Ak.Nasional 33,823%
Ak.Prov/Kab./Kota 30,690%
Pemprov.Kep.Riau 10,820%
Pemko.Tanjungpinang 49,920%
Pemko.Batam 31,160%
Pemkab.Bintan 49,380%
Pemkab.Karimun 41,800%
Pemkab.Natuna 32,860%
Pemkab.Lingga 34,680%
Pemkab.Kep.Anambas 38,160%
Rasio Belanja Pegawai TL terhadap Belanja Daerah
Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau, (diolah)

Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah pemda di
Provinsi Kepulauan Riau yang paling tinggi adalah Pemkot Tanjungpinang sedangkan
yang terendah adalah rasio pada Pemprov Kepulauan Riau. Terdapat tiga pemda di
Provinsi Kepulauan Riau yang kualitas belanja daerahnya lebih baik dibandingkan
nasional karena rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


53
nilainya di bawah nasional yakni Pemprov Kepulauan Riau, Pemkot Batam dan Pemkab
Natuna.

4.7.2.8.Indikator Optimalisasi SiLPA


Indikator optimalisasi SiLPA dilihat berdasarkan rasio SiLPA tahun sebelumnya
terhadap belanja daerah. SiLPA adalah sisa lebih perhitungan anggaran yaitu selisih
lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode anggaran. Jumlah
SiLPA pada akhir tahun menjadi salah satu sumber pembiayaan pada tahun berikutnya.
Daerah mampu mengoptimalkan penggunaan SiLPA jika SiLPA tahun sebelumnya
mampu dimanfaatkan untuk belanja pada tahun berkenaan. Semakin besar rasio
optimalisasi SiLPA, maka kemampuan pengoptimalan SiLPA juga semakin besar.
Indikator optimalisasi SiLPA dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
�� ℎ �
Indikator optimalisasi SiLPA =

Rasio SiLPA tahun sebelumnya terhadap belanja daerah secara nasional


(akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 7,89% yang merupakan
proporsi optimalisasi SiLPA tahun sebelumnya terhadap belanja daerah tahun berjalan.
Rasio SiLPA tahun sebelumnya terhadap belanja daerah di Provinsi Kepulauan Riau
secara agregat mencapai 1,12% lebih rendah dibandingkan rasio secara nasional
sehingga Provinsi Kepulauan Riau kurang optimal dalam memanfaatkan SiLPA tahun
sebelumnya untuk membiayai belanja daerahnya dibanding rata-rata nasional.

Gambar IV-8 Indikator Optimalisasi SiLPA Daerah di Provinsi Kepulauan Riau


Ak.Nasional 7,886%
Ak.Prov/Kab./Kota 1,120%
Pemprov.Kep.Riau ,000%
Pemko.Tanjungpinang 10,430%
Pemko.Batam ,000%
Pemkab.Bintan ,000%
Pemkab.Karimun ,000%
Pemkab.Natuna 2,260%
Pemkab.Lingga ,120%
Pemkab.Kep.Anambas ,960%
Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah
Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau, (diolah)

Pada 2015 hanya terdapat empat pemerintah daerah yang memanfaatkan


SILPA tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai belanja daerahnya. Rasio SiLPA
tahun sebelumnya terhadap belanja daerah di 4 pemda di Provinsi Kepulauan Riau yang
paling tinggi adalah rasio pada Pemkot Tanjungpinang sedangkan yang terendah
adalah rasio pada Pemkab Lingga. Hanya Pemkot Tanjungpinang pengguna SILPA di
Provinsi Kepulauan Riau yang tingkat optimalisasi penggunaan SiLPA di atas tingkat
optimalisasi nasional. Sedangkan berdasar rasio SiLPA tahun sebelumnya terhadap
belanja daerah pada Provinsi Kepulauan Riau secara agregat, hanya dua pemerintah

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


54
daerah yang tingkat optimalisasi penggunaan SiLPA kurang optimal daripada agregat
provinsi/kabupaten/kota yakni Pemkab Lingga dan Pemkab Kepulauan Anambas

4.7.2.9.Indikator Kemampuan Pembayaran Pokok Hutang dan Bunga Daerah


Indikator kemampuan pembayaran pokok hutang dan bunga daerah dilihat
berdasarkan rasio pembayaran pokok utang dan bunga terhadap total pendapatan
daerah yang menunjukkan porsi pendapatan daerah yang digunakan untuk membayar
pokok pinjaman beserta bunganya dalam satu periode waktu tertentu. Semakin kecil
rasionya maka daerah semakin mampu untuk menjamin pengembalian hutang-
hutangnya melalui pendapatan yang diterimanya.
Indikator kemampuan pembayaran pokok hutang dan bunga daerah dihitung
berdasarkan formula sebagai berikut:
Ind. Kemampuan Pembayaran Pokok Hutang & Bunga Daerah =
� ℎ

Rasio pembayaran pokok hutang dan bunga terhadap total pendapatan daerah
secara nasional (akumulasi pemerintah daerah seluruh Indonesia) sebesar 0,32%
merupakan proporsi pembayaran pokok hutang dan bunga yang harus dibayar dari
pendapatan daerah dalam satu periode. Sedangkan di Provinsi Kepulauan Riau, rasio
pembayaran pokok hutang dan bunga terhadap total pendapatan daerah tersebut hanya
0,00% karena tidak ada pemerintah daerah yang membayarkan pokok hutang maupun
bunga daerah di tahun 2015. Nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan rasio secara
nasional tersebut dapat diartikan bahwa pemda di lingkup Provinsi Kepulauan Riau lebih
mampu untuk menjamin pengembalian hutang-hutangnya melalui pendapatan yang
diterimanya dibanding pemerintah daerah secara nasional.

Gambar IV-9 Indikator Kemampuan Pembayaran Pokok Hutang dan Bunga Daerah di Provinsi Kepulauan
Riau
Ak.Nasional ,324%
Ak.Prov/Kab./Kota ,000%
Pemprov.Kep.Riau ,000%
Pemko.Tanjungpinang ,000%
Pemko.Batam ,000%
Pemkab.Bintan ,000%
Pemkab.Karimun ,000%
Pemkab.Natuna ,000%
Pemkab.Lingga ,000%
Pemkab.Kep.Anambas ,000%
Rasio Pembayaran Pokok Hutang dan Bunga terhadap Pendapatan Daerah
Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


55
4.7.2.10. Gambaran Tingkat Kesehatan Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi
Kepulauan Riau
Berdasarkan indikator-indikator kesehatan keuangan daerah sembilan indikator
(4.7.2.1.1. hingga 4.7.2.1.9.) tersebut, dapat dibuat penilaian dengan memberikan
pembobotan terhadap setiap pemerintah daerah sebagai berikut:

Tabel IV-18 Pembobotan Skor Kesehatan Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Kep. Tanjung
Uraian Provinsi Bintan Karimun Natuna Lingga Batam
Anambas pinang
Indikator I -1 +2 +2 +2 +2 +2 +1 -1
Indikator II +1 +1 +2 -1 -1 -1 0 +2
Indikator III +2 0 +1 +1 +1 +1 +1 +1
Indikator IV -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1
Indikator V 0 0 +1 0 0 0 +1 -1
Indikator VI 0 0 -1 0 0 +1 -1 0
Indikator VII +2 0 0 1 0 0 0 1
Indikator VIII -1 -1 -1 -1 -1 -1 +2 -1
Indikator IX +2 +2 +2 +2 +2 +2 +2 +2
Total Skor 4 3 5 3 2 3 5 2

Pemerintah daerah yang memiliki skor tertinggi adalah pemerintah daerah


dengan kesehatan keuangan terbaik di Provinsi Kepulauan Riau yakni Pemkot Batam
dan Pemkab Karimun dengan skor 5. Pada urutan ketiga dengan skor 4 adalah
Pemprov Kepulauan Riau,. Tingkat kesehatan keuangan daerah terendah di Provinsi
Kepulauan Riau adalah Pemkot Tanjungpinang dan Pemkab Lingga dengan skor 2.

Gambar IV-10 Skor Kesehatan Keuangan Daerah di Provinsi Kepulauan Riau


Pemko.Tanjungpinang 2
Pemko.Batam 5
Pemkab.Kep.Anambas 3
Pemkab.Lingga 2
Pemkab.Natuna 3
Pemkab.Karimun 5
Pemkab.Bintan 3
Pemerintah Provinsi 4
0 3 6

Sumber: DJPK, Pemda se-Provinsi Kepulauan Riau (diolah))

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


56
BAB V Keunggulan dan
Potensi Ekonomi Regional

Provinsi Kepulauan Riau memiliki keunggulan di


sektor konstruksi, tiga kategori subsektor industri,
subsektor ketenagalistrikan, subsektor perdagangan
mobil dan motor, subsektor angkutan laut, dan
subsektor penyediaan akomodasi

5.1. SEKTOR UNGGULAN DAN POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN


RIAU BERDASARKAN ANALISIS LQ, MRP, DAN SS-EM
Pembangunan (ekonomi) daerah merupakan proses dimana pemerintah daerah
bersama masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk pola kemitraan
untuk membentuk lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan
ekonomi daerah (Arsyad dalam BPS, 2014). Dalam pencapaian tujuan tersebut
dibutuhkan kebijakan pembangunan berdasarkan kekhasan daerah (endogenous
development) yang menggunakan potensi sumberdaya lokal/daerah itu sendiri. BPS
Provinsi Kepulauan Riau membuat kajian penentuan sektor ekonomi potensial di
Provinsi Kepulauan Riau yang dapat digunakan dalam penentuan strategi menghadapi
pasar bebas terutama sebagai kawasan berikat BBK (Batam, Bintan, dan Karimun).
Alat analisis yang digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ), analisis
Model Rasio Pertumbuhan (MRP), analisis Shift-Share Modifikasi Estaban Marquillas
(SS-EM), dan analisis Overlay. LQ mengidentifikasikan keunggulan komparatif suatu
sektor di Provinsi Kepulauan Riau terhadap Nasional, MRP melihat potensi sektor
ekonomi berdasarkan kriteria rasio pertumbuhan, SS-EM mengidentifikasi keunggulan
kompetitif dari suatu sektor dalam suatu wilayah dan menggambarkan kinerja sektor
ekonomi dengan menambahkan pengukuran pengaruh spesialisasi perekonomian
wilayah pada analisis Shift Share. Analisis overlay menggabungkan analisis lainnya
dalam mengidentifikasi sektor dan sub sektor ekonomi potensial di Provinsi Kepulauan
Riau dengan melihat dari sisi pertumbuhan, keunggulan komparatis, spesialisasi dan
keunggulan kompetitif untuk menghasilkan analisis yang lebih komprehensif. Analisis

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


57
dilakukan menggunakan PDRB Provinsi Kepulauan Riau dan PDB Indonesia yang
dibagi berdasarkan sektor dan sub sektor dengan periode observasi tahun 2008-2014.

Tabel V-1 Hasil Analisis Potensi Ekonomi Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2008-2014
MRP Analisis SS-EM Overlay
Sektor/Sub Sektor Ekonomi LQ
RPs RPr rij-rin Eij-Eij* 1234
1.Pertanian 0,40 0,51 0,33 0,03 -15.819.606 - - + -
1.a. Perikanan 0,58 1,19 1,36 -0,15 1.006.483 - + - +
2.Pertambangan 0,36 0,42 1,87 0,26 10.448.020 - + + +
2.a.Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 0,30 -0,19 3,21 0,66 12.372.256 - + + +
3.Industri Pengolahan 0,97 0,82 2,49 0,66 17.874.993 - + + +
3.a.Industri Logam Dasar 1,00 0,90 7,35 0,20 5.430.626 + + + +
3.b.Industri Barang dari Logam, Komputer, 1,38 1,11 8,66 0,33 14.989.063 + + + +
Barang Elektronik, Optik dan Peralatan Listrik
3.c.Industri Alat Angkutan 1,01 1,29 1,41 0,11 1.829.834 + + + +
4.Listrik & Gas 0,76 0,61 3,59 0,78 570.715 - + + +
4.a. Ketenagalistrikan 1,29 1,13 1,31 0,53 27.170 + + + +
5.Pengadaan Air 0,56 0,74 1,77 0,02 72.256 - + + +
6.Konstruksi 1,30 1,19 2,01 0,25 6.719.923 + + + +
7.Perdagangan & Reparasi 1,06 1,14 0,61 0,22 -4.364.958 + - + -
7.a. Perdagangan Mobil, Sepeda Motor dan 1,01 1,29 1,3 0,05 920.559 + + + +
Reparasinya
8.Transportasi & Pergudangan 0,93 1,37 0,89 -0,33 -381.897 - - - -
8.a.Angkutan Laut 1,06 1,23 3,16 0,11 563.726 + + + +
9.Akomodasi & Restoran 1,19 1,18 0,75 0,24 -592.744 + - + -
9.a.Penyediaan Akomodasi 1,34 1,69 1,94 0,08 459.030 + + + +
10.Informasi & Komunikasi 1,05 2,22 0,61 -0,30 -807.832 + - - -
11.Jasa Keuangan 0,96 1,25 0,86 -0,64 -264.781 - - - -
12.Real Estate 0,75 1,22 0,63 -0,07 -834.277 - - - -
13.Jasa Pendidikan 0,84 1,45 0,52 -0,11 -957.389 - - - -
14.Jasa Kesehatan & Sosial 0,72 1,36 1,09 -0,14 147.333 - + - +
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, Analisis Sektor Unggulan Kepulauan Riau Tahun 2015.
Keterangan tabel:
a. RPs adalah rasio pertumbuhan suatu sektor/sub sektor di Provinsi Kepulauan Riau terhadap terhadap pertumbuhan sektor/sub
sektor yang sama di Indonesia. RPs>1 berarti laju pertumbuhan sektor/sub sektor tersebut di Provinsi Kepulauan Riau lebih
menonjol dibanding di tingkat nasional;
b. RPr adalah rasio pertumbuhan suatu sektor/sub sektor di Indonesia terhadap rata-rata pertumbuhan di Indonesia. RPr>1 berarti
pertumbuhan sektor/sub sektor tersebut menonjol di tingkat Nasional;
c. (rij-rin) adalah tingkat keunggulan kompetitif sektor (i) di Provinsi Kepulauan Riau;
d. (Eij-Eij*) adalah tingkat spesialiasi sektor (i) di Provinsi Kepulauan Riau;
e. Jika nilai RPs > 1, maka overlay 1 bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut pertumbuhannya menonjol;
f. Jika nilai LQ > 1, maka overlay 2 bertanda (+) berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif;
g. Jika nilai (rij-rin) > 0, maka overlay bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki keunggulan kompetitif;
h. Jika nilai (Eij-Eij*) > 0, maka overlay bertanda (+) yang berarti sektor/sub sektor tersebut memiliki spesialisasi.

Berdasarkan hasil analisis overlay yang menggabungkan hasil analisis LQ,


MRP, dan SS-EM, dapat disimpulkan bahwa sektor potensial di Provinsi Kepulauan
Riau yang memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dan spesialisasi
hanya sektor konstruksi. Berdasarkan sub sektor, sub sektor potensial adalah sub
sektor industri logam dasar, sub sektor industri barang dari logam, komputer, barang
elektronik, optik dan peralatan listrik, sub sektor industri alat angkutan, sub sektor
ketenagalistrikan, subsektor perdagangan mobil, sepeda motor dan reparasinya, sub
sektor angkutan laut, dan subsektor penyediaan akomodasi. Sementara itu, terdapat

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


58
anomali dimana sub sektor perikanan dan sub sektor pertambangan migas tidak
termasuk sektor unggulan, padahal sumber daya alam perikanan dan migas melimpah.

5.2. ANALISIS SWOT KONDISI PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk
mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities),
dan ancaman (threats) dalam suatu kondisi. Keempat faktor itulah yang membentuk
akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). Teknik yang dibuat
oleh Albert Humphrey dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah
berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam
gambar matriks SWOT, di mana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan mampu
mengambil keuntungan dari peluang yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan
yang mencegah keuntungan dari peluang yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan
mampu menghadapi ancaman yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara
mengatasi kelemahan yang mampu membuat ancaman menjadi nyata atau
menciptakan sebuah ancaman baru. Dalam konteks memakmurkan masyarakat
Provinsi Kepulauan Riau melalui percepatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkelanjutan, faktor-faktor SWOT tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar V-1 Matriks SWOT Provinsi Kepulauan Riau

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


59
Dengan menggunakan analisis SWOT, potret kondisi yang inheren pada
Provinsi Kepulauan Riau seperti adanya free trade zone, sumber daya alam yang
melimpah, dan wilayah yang terdiri dari ribuan pulau dapat tergambarkan. Gambaran
tersebut digunakan untuk melengkapi analisis kuantitatif pada sub bab sebelumnya
yang baru memotret Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan PDB, PDRB, dan
pertumbuhannya sehingga analisis regional Provinsi Kepulauan Riau menjadi lebih
komprehensif.
Pada intinya, Provinsi Kepulauan Riau memiliki potensi yang sangat besar
karena lokasinya yang berada di tengah jalur perdagangan internasional dan
kedekatannya dengan negara-negara yang lebih kaya seperti Singapura dan Malaysia.
Namun, potensi tersebut tidak akan teroptimalisasi tanpa adanya dukungan
perencanaan dan regulasi dari pihak pemerintah mengingat adanya kemungkinan
dimana potensi tersebut terlebih dahulu dimanfaatkan oleh negara pesaing. Penjabaran
dari masing-masing faktor SWOT tersebut dapat dilihat pada sub sub bab berikut.

5.2.1. Kekuatan (Strengths) Provinsi Kepulauan Riau


Sebagai bagian dari negara Indonesia yang sedang mengalami proses
industrialisasi, Provinsi Kepulauan Riau memiliki kekuatan tersendiri dalam
mempercepat industrialisasi dimana sebagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Riau di
Kota Batam, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Karimun telah ditetapkan sebagai Free
Trade Zone. Penetapan tersebut disertai dengan pemberian insentif fiskal berupa
pembebasan berbagai macam pajak sehingga penanaman modal baik dari dalam
maupun luar negeri pada sektor industri melimpah.
Berdasarkan observasi pertumbuhan populasi kota-kota di dunia dari organisasi
internasional Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dipublikasi oleh Demographia
pada tahun 2015, Kota Batam memiliki pertumbuhan populasi tercepat di dunia.
Pertumbuhan yang didorong urbanisasi tersebut membuktikan bahwa pemberian
insentif fiskal di Kota Batam cukup berhasil dalam menarik investasi dan menciptakan
pusat perekonomian yang pada akhirnya menjadi magnet urbanisasi.
Hal kedua yang menjadi faktor kekuatan di Provinsi Kepulauan Riau adalah
sumber daya alamnya yang melimpah. Sumber daya alam Provinsi Kepulauan Riau
yang melimpah tersebut diantaranya adalah:
1. Gas Bumi
Berdasarkan data cadangan gas, potensi shale gas, dan sumber Coal Bed
Methane (CBM) tahun 2012 dari Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Provinsi
Kepulauan Riau, merupakan daerah dengan cadangan gas bumi terbesar di
Indonesia.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


60
Gambar V-2 Cadangan Gas di Indonesia

Sumber: Bloomberg Businessweek

Pada gambar di atas terlihat bahwa cadangan gas Provinsi Kepulauan Riau
sebesar 50,94 TSCF (triliun kaki kubik gas) terkonsentrasi di Kabupaten Natuna.
Cadangan gas tersebut mencapai 48,65% atau hampir setengah dari seluruh
cadangan gas di Indonesia sebesar 104,71 TSCF. Kelimpahan cadangan gas
tersebut menunjukkan bahwa Provinsi Kepulauan Riau berpotensi mendorong
sektor gas di Indonesia, khususnya apabila harga migas mulai pulih.
2. Perikanan
Sebagai Provinsi kepulauan, Provinsi Kepulauan Riau memiliki wilayah laut yang
mencapai dari 95% dengan luas wilayah seluruhnya sebesar 252.601 km2. Wilayah
laut yang luas berarti Provinsi Kepulauan Riau memiliki lebih banyak area yang
berpotensi untuk dimanfaatkan perikanannya. Hal tersebut diperkuat dengan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor: Kep-45/MEN/2011 tentang
Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI.
Dalam keputusan yang membagi potensi perikanan menajadi 11 Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) tersebut, WPP-711 meliputi wilayah Selat Karimata,
Laut Natuna dan Laut Cina Selatan yang sebagian besar merupakan wilayah
Provinsi Kepulauan Riau. WPP-711 memiliki potensi perikanan sebesar 1.059 ribu

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


61
ton/tahun atau16,24% dari keseluruhan potensi perikanan di Indonesia dan
merupakan yang terbesar diantara 11 WPP.
Gambar V-3 Potensi Perikanan di Indonesia (dalam ribuan ton/tahun)

WPP 571
WPP 714
WPP 717
WPP 716
WPP 573
WPP 572
WPP 715
WPP 712
WPP 718
WPP 713
WPP 711

- 250 500 750 1.000

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan Dalam Angka Tahun 2014

3. Tenaga Surya
Tenaga surya merupakan sumber daya alam yang masih jarang dilirik di negara
Indonesia, khususnya dalam konteks pemanfaatannya sebagai sumber energi.
Pengunaan tenaga surya sebagai energi masih sangat terbatas pilot project
berskala kecil. Penurunan harga minyak dan gas di tahun 2015 menjadikan
penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, ombak dan panas bumi
kurang diminati karena menjadi relatif lebih mahal. Padahal, negara tropis seperti
Indonesia seharusnya lebih berpotensi untuk menggunakan tenaga surya karena
periode bersinarnya matahari relatif lebih panjang dan stabil sepanjang tahun
dibandingkan dengan negara non tropis. Jurnal penelitian Salman Ahmad dari
Universiti Malaysia Pahang yang berjudul ”Selection of renewable energy sources
for sustainable development of electricity generation system using analytic
hierarchy process: A case of Malaysia” menkonfirmasi bahwa Provinsi Kepulauan
Riau memiliki kelebihan potensi tenaga surya. Hasil penelitian dalam jurnal tersebut
Gambar V-4 Potensi Tenaga Surya Berdasarkan Garis menemukan bahwa potensi tenaga
Khatulistiwa
surya berada pada titik optimalnya
pada 0 sampai dengan 30 derajat
garis khatulistiwa dimana Provinsi
Kepulauan Riau termasuk didalam
wilayah tersebut.
Selain adanya FTZ dan
Sumber Daya Alam yang
Sumber: Salman Ahmad, Selection of renewable energy sources for
sustainable development of electricity generation system using analytic melimpah, Provinsi Kepulauan
hierarchy process: A case of Malaysia
Riau juga memiliki keindahan alam

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


62
yang menjadi kekuatannya. Modal tersebut menjadi sumber pendapatan daerah dan
pendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor pariwisata. Indikator perkembangan
sektor pariwisata dapat dilihat dari peningkatan kedatangan wisatawan dan peningkatan
hunian hotel. Perkembangan kunjungan wisatawan mancanegara ke Provinsi
Kepulauan Riau selama tahun 2015 menunjukkan pertumbuhan yang meningkat baik
melalui Kota Batam dan Tanjungpinang, maupun Kabupaten Bintan dan Karimun.
Sebagian besar wisatawan (75,86%) masuk melalui Batam. Bila dibandingkan dengan
tingkat kedatangan wisatawan mancanegara secara nasional, Kepulauan Riau berada
pada urutan ketiga dengan kontribusi yang meningkat 127 basis poin menjadi sebesar
22,19% tingkat kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia, di bawah Bali
melalui Bandara Ngurah Rai dan DKI Jakarta melalui Bandara Soekarno-Hatta.

Gambar V-5 Tingkat Kedatangan Wisatawan Mancanegara Provinsi Kepulauan Riau


jiwa
150.000 200.000

100.000 150.000

50.000 100.000

- 50.000
Jan'15 Feb'15 Mar'15 Apr'15 Mei'15 Jun'15 Jul'15 Agu'15 Sep'15 Okt'15 Nov'15 Des'15
Batam Tanjungpinang Bintan Karimun Kepulauan Riau
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau

Saat ini, sarana penghubung beberapa wilayah yang sangat potensial untuk
dijadikan tempat wisata seperti Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna
belum memadai untuk dapat menghasilkan biaya perjalanan yang kompetitif. Sehingga,
keindahan alam Provinsi Kepulauan Riau belum sepenuhnya termanfaatkan dan masih
sangat berpotensi dalam meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara.

5.2.2. Kelemahan (Weaknesses) Provinsi Kepulauan Riau


Provinsi Kepulauan Riau berkarakteristik kepulauan memerlukan sarana
konektivitas untuk menghubungkan antar pulau tersebut. Dengan kondisi demikian,
pembangunan tidak hanya memperhatikan daratan, tetapi juga harus berorientasi pada
kelautan. Oleh karena itu, pembangunan harus dalam konteks satu kesatuan pulau
yang saling terhubung (interconnectivity) satu sama lain. Pembangunan dimulai dari
darat kemudian kelautan sebagai satu kesatuan pulau per pulau yang saling terintegrasi
dengan pulau-pulau di sekitarnya, sehingga antar pulau, terutama pulau-pulau utama
dengan kawasan pulau-pulau yang ada di sekitarnya menjadi satu kesatuan ekonomi.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


63
Lemahnya konektivitas menimbulkan ekonomi biaya tinggi, dan melemahkan daya
saing sehingga menghambat pembangunan dan pengentasan kemiskinan

Gambar V-6 Konektivitas Antarwilayah Provinsi Kepulauan Riau


Kab.Natuna
Internasional -Pelabuhan Domestik
-Bandara Domestik
-Jalan 92,10 km

Kab.Kep.Anambas
-Pelabuhan Domestik
-Bandara Domestik
Kota Batam -Jalan 45 km
Kab.Karimun -Pelabuhan Internasional
-Pelabuhan Internasional -Bandara Internasional Daerah
-Bandara Domestik -Jalan 215,81 km
Kalimantan
-Jalan 254 km
Daerah
Kab.Bintan Jawa
-Pelabuhan Domestik
Kota Tanjungpinang -Bandara Domestik
-Pelabuhan Internasional -Jalan 173,48 km
-Bandara Domestik
-Jalan 83,84 km
Kab.Lingga
Daerah -Pelabuhan Domestik
-Bandara Domestik
Sumatera
- - - Penerbangan -----Pelayaran -Jalan 1089 km
Sumber: BPS Prov.Kepri, Dinas PU Prov.Kepri, Kemenhub, Wonderful Kepri, Pemda, (diolah)

Konektivitas di Provinsi Kepulauan Riau sendiri sebenarnya sudah cukup baik


untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi. Daerah-daerah terdepan dan
perbatasan telah terhubung dengan pusat-pusat pertumbuhan. Penghubung utama di
Provinsi Kepulauan Riau yakni pelabuhan udara dan pelabuhan laut yang didukung oleh
fasilitas jalan raya. Kota Tanjungpinang sebagai ibukota Provinsi dan Kota Batam
sebagai pusat bisnis (Free Trade Zone) merupakan pusat pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Kepulauan Riau. Dengan semua daerah terkoneksi dengan pusat ekonomi
maka percepatan pembangunan ekonomi dapat terlaksana di semua daerah di Provinsi
Kepulauan Riau. Konektivitas di Provinsi Kepulauan Riau sesuai dengan tiga prinsip
konektivitas Bappenas dengan menjadi satu kawasan ekonomi sehingga pertumbuhan
ekonomi meluas dan inklusif. Namun, kondisi inheren dari wilayah Provinsi Kepulauan
Riau dimana daratannya tersegregasi menjadi ribuan pulau menciptakan kebutuhan
pembiayaan yang lebih besar untuk membangun infrastruktur penghubung yang cukup
memadai. Hal tersebut menjadi kelemahan interkoneksi wilayah di Provinsi Kepulauan
Riau, khususnya dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


64
Berkaitan dengan karakteristik kepulauan dan interkonektivitas itu pula, sub
sektor transportasi laut dan industri angkutan laut yang seharusnya menjadi dominan di
Provinsi Kepulauan Riau belum memaksimalkan peranannya. Sub sektor transportasi
laut di Provinsi Kepulauan Riau memang bertumbuh lebih baik dibandingkan nasional
dengan RPs1,06. Akan tetapi, hal tersebut tidak mencerminkan potensi yang
sewajarnya mengingat meskipun Indonesia dan Provinsi Kepulauan Riau sama-sama
bercirikan kepulauan, proporsi wilayah lautan di Provinsi Kepulauan Riau masih jauh
lebih tinggi. Sementara, industri angkutan laut masih bergantung pada pasokan impor
untuk komponen pembuatan kapal. Hal tersebut menjadi kelemahan karena daya jual
dari kapal produksi Provinsi Kepulauan Riau menjadi rentan terhadap fluktuasi harga
komponen di luar negeri.

Gambar V-7 Pohon Industri Kapal

a. Hijau: Sudah ada industri & sudah kuat


b. Kuning: Sudah ada industri namun belum kuat
c. Merah: Belum ada industri
Sumber: Kementerian Perindustrian

Alasan yang sama berlaku untuk kelemahan pada industri barang kebutuhan
dasar di Provinsi Kepulauan Riau sehingga bahan-bahan makanan dan bahan
konstruksi banyak didatangkan dari provinsi lain atau luar negeri. Hal tersebut telah
menyebabkan inflasi di Provinsi Kepulauan Riau beberapa kali melambung tinggi di atas
tingkat inflasi nasional pada beberapa tahun yang lalu.
Masih berkaitan dengan lemahnya industri barang kebutuhan dasar di Provinsi
Kepulauan Riau, hal tersebut sebagian disebabkan oleh kelemahan dari terbatasnya
wilayah daratan yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau. Keterbatasan wilayah daratan
menciptakan tantangan dalam membangun daerah yang memproduksi agrikultur atau
bahan bangunan karena pada umumnya membutuhkan lahan yang luas.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


65
5.2.3. Peluang (Opportunities) Provinsi Kepulauan Riau
Menurut The
Gambar V-8 Jalur Perdagangan Selat Malaka
World Economic Forum,
perairan Selat Malaka
merupakan Jalur
perdagangan tersibuk
kedua di dunia. Kondisi
tersebut membuka
peluang bagi Provinsi
Kepulauan Riau untuk
mengambil bagian dalam
industri jasa perkapalan,
Sumber: marinevesseltrafic (diolah)
industri pelabuhan
transhipment, dan rantai produksi manufaktur. Berdasarkan penelitian dari Deutsche
Bank Research tentang Container Shipping, Pelabuhan Singapura di Negara
Singapura, Pelabuhan Tanjung Pelepas dan Pelabuhan Kelang di Malaysia merupakan
pelabuhan transhipment tersibuk nomor 1, 6, dan 13 di dunia. Ketiga pelabuhan tersebut
terletak di jalur perdagangan Selat Malaka dan sangat berdekatan dengan wilayah
Provinsi Kepulauan Riau. Hal tersebut menggambarkan kepadatan lalu lintas
perdagangan dan potensi yang dapat dimanfaatkan oleh Provinsi Kepulauan Riau dari
jalur perdagangan tersebut. Namun, sampai dengan saat ini Provinsi Kepulauan Riau
masih belum dapat memanfaatkan peluang tersebut dengan baik. Bahkan pelabuhan-
pelabuhan di Kota Batam yang diandalkan sebagai alternatif dari pelabuhan-pelabuhan
di Singapura dan Malaysia pun belum ada yang termasuk dalam pelabuhan
transhipment tersibuk di dunia. Pada satu sisi, kondisi tersebut dapat diartikan bahwa
Provinsi Kepulauan Riau masih memiliki peluang besar untuk memanfaatkan potensi
perekonomian dari jalur perdagangan internasional Selat Malaka.
Segitiga SIJORI (Singapura, Tabel V-2 Wilayah Segitiga Sijori/IMS-GT
Johor, Riau yang dalam hal ini adalah Wilayah
Wilayah Administrasi Populasi
(km2)
sebagian wilayah dari Provinsi Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia 3.386,43 1.696.080
Kepulauan Riau) yang telah dimulai Kota Tanjungpinang 144,60 187.359
Kota Batam 1.010,88 1.153.860
sebagai Segitiga Pertumbuhan Kabupaten Bintan 1.318,20 142.300
Kabupaten Karimun 912,75 212.561
SIJORI pada tahun 1989, dan
Singapura 716,00 5.399.000
ditetapkan dengan MoU IMS-GT Negara Bagian Johor Bahru, Malaysia 1.822,00 1.638.219
(Indonesia – Malaysia - Singapore Distrik Johor Bahru 1.066,00 1.386.569
Distrik Kulaijaya 757,00 251.650
Growth Triangle) pada 18 Desember SIJORI 6.891,00 8.733.299
Sumber: BPS, Department of Statistics Malaysia, Statistics Singapore
1994 oleh ketiga negara. Sebagai

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


66
bagian dari Provinsi Kepulauan Riau memiliki ikatan ekonomi dan hubungi saling
melengkapi di antara ketiga wilayah tersebut. Singapura sebagai salah satu negara
industri dihadapkan pada ekonomi biaya tinggi, akibat adanya peningkatan upah tenaga
kerja dan sewa lahan. Dengan pertimbangan keunggulan komparatif, secara logis Johor
dan Kepulauan Riau muncul sebagai lokasi yang paling ekonomis untuk dijadikan mitra
Singapura. Kemitraan tersebut sejalan dengan skema regionalisasi Singapura untuk
melakukan relokasi industri padat karya ke wilayah sekitar yang tergabung di dalam
Segitiga SIJORI atau IMS-GT. Perkembangan penerapan IMS-GT telah menjadi motor
percepatan pertumbuhan ekonomi di ketiga wilayah selama bertahun-tahun. Dewasa
ini, Negara Bagian Johor Bahru telah menjadi wilayah yang paling diuntungkan karena
adanya Johor-Singapore Causeway yang membuka akses darat di antara kedua
wilayah sehingga Johor Bahru, selain mendapat limpahan industri padat karya dan
limpahan perdagangan juga bisa berfungsi sebagai kota satelit. Di sisi lain, Provinsi
Kepulauan Riau yang masih tertinggal
Gambar V-9 Perbandingan PDB/PDRB per
dalam konteks rata-rata penghasilan Kapita SIJORI Tahun 2013 (dalam USD)
masyarakat yang tinggi (PDB/PDRB per
Kapita) dibandingkan Malaysia dan
Singapura, memiliki peluang besar untuk
mendapatkan limpahan lebih banyak dari
Singapura. Namun, Provinsi Kepulauan
Riau perlu dukungan infrastruktur yang
dapat bersaing dengan Distrik Johor Bahru
dalam kemudahan aksesnya ke Singapura
untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari sisi regulasi, Undang Undang Sumber: BPS Pusat, BPS Provinsi Kepulauan Riau,
BPS Kota Batam, World Bank, Department of Statistics
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Malaysia (diolah)

Batu Bara dan Peraturan Pemerintah


Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-
2035 turut membuka kesempatan berkembang bagi Provinsi Kepulauan Riau. UU
Nomor 4 Tahun 2009 yang mulai diterapkan pada tahun 2014 mewajibkan industri
pertambangan untuk memproses mineral mentah sebelum diekspor. Provinsi
Kepulauan Riau yang terletak di pintu gerbang perdagangan internasional menawarkan
keuntungan dalam biaya logistik apabila industri-industri pemrosesan tersebut dibangun
di Provinsi Kepulauan Riau sehingga hasil pertambangan yang dikumpulkan di Provinsi
Kepulauan Riau dapat segera diekspor setelah diproses. Di sisi lain, apabila industri-

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


67
industri prioritas pada PP 14
Tahun 2015 dikembangkan di Gambar V-10 Industri Prioritas dalam PP 14/2015

Provinsi Kepulauan Riau,


keuntungan insentif fiskal dan
kedekatan dengan jalur
perdagangan internasional
dapat membantu industri-
industri tersebut untuk
berkembang pesat. Pada PP
tersebut juga, Batam dan
Bintan telah ditetapkan sebagai
Wilayah Pusat Pertumbuhan
Industri (WPPI) yang akan
berperan sebagai penggerak
utama (prime mover) ekonomi Sumber: Kementerian Perindustrian

dalam Wilayah Pengembangan


Industri (WPI) Sumatera Bagian Utara. Selain itu, target program pemerintah untuk
menciptakan 35.000 MW bagi Indonesia turut membuka peluang khususnya di bidang
ketenagalistrikan di Provinsi Kepulauan Riau karena dengan pesatnya pertumbuhan
ekonomi Provinsi Kepulauan Riau, kebutuhan listrik di masa depan akan mengikuti.

5.2.4. Ancaman (Threats) Provinsi Kepulauan Riau


Sebagai provinsi yang memiliki beberapa wilayah khusus untuk menarik
investasi, ancaman utama bagi Provinsi Kepulauan Riau adalah negara-negara ASEAN
yang semakin bersaing untuk menggaet investasi asing ke negaranya seperti Vietnam,
Kamboja, dan Myanmar. Ketiga negara telah membenahi stabilitas sosial-politik,
bergabung dalam perjanjian-perjanjian perdagangan bebas seperti sperti Trans-Pacific
Partnership (Vietnam), dan memberikan berbagai macam insentif seperti pembebasan
pajak dan sewa tanah. Selain itu, karena negara tersebut baru berkembang setelah
Indonesia, maka upah buruh yang ditawarkan pun lebih kompetitif. Namun demikian,
negara Indonesia, khususnya di Provinsi Kepulauan Riau, dapat tetap bersaing karena
memiliki kelebihan dalam infrastruktur terintegrasi yang lebih dulu dikembangkan dan
hubungan investor yang lebih dahulu dibangun. Apabila dikelola dengan baik oleh
pemerintah, maka keunggulan tersebut dapat menjadi modal untuk mempertahankan
posisi Provinsi Kepulauan Riau sebagai daerah dengan iklim investasi yang kondusif.
Selain itu, ancaman lainnya adalah banjir barang-barang impor melalui Provinsi
Kepulauan Riau sebagai pintu gerbang perdagangan internasional. Pada dasarnya, di

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


68
era globalisasi dimana sebagian besar perusahaan multinasional memproduksi
barangnya melalui rantai produksi yang tersebar di beberapa daerah, masuknya barang
impor akan mendorong penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Namun
hal tersebut terjadi karena sebagian besar barang impor tersebut adalah barang
perantara yang akan diproses lebih lanjut sehingga menciptakan nilai tambah ketika
diekspor kembali. Namun, apabila kontrol pemerintah terhadap arus barang di Provinsi
Kepulauan Riau tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka sangat dimungkinkan
bahwa Provinsi Kepulauan Riau akan menjadi pintu masuk barang-barang impor
konsumtif yang akan menyebar juga ke wilayah Indonesia lainnya.
Ancaman ketiga datang dari status Provinsi Kepulauan Riau sebagai bagian dari
rantai produksi internasional. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan fluktuasi
perekonomian yang tajam, searah dengan ketidakstabilan pada perekonomian global,
khususnya ketika konsumsi domestik kurang baik untuk menjadi penyokong ketika
perekonomian global melemah.

5.3. SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Berdasarkan analisis overlay pada Sub Bab 5.1. hanya ada satu sektor potensial
di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki keunggulan komparatif, keunggulan
kompetitif, spesialisasi, dan pertumbuhan menonjol yakni sektor konstruksi. Kinerja
sektor konstruksi yang unggul di Provinsi Kepulauan Riau sejalan dengan porsi
komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang dominan pada PDRB
Provinsi Kepulauan Riau dimana porsi
Gambar V-11 Jumlah Pekerja Tetap
Sektor Konstruksi tersebut mencapai 41,69% di tahun 2015.
Sektor konstruksi merupakan sektor
yang menghasilkan bangunan/konstruksi
tetap pada suatu lahan. Hasil akhir dari
kegiatan ekonomi pada sektor konstruksi
dapat berupa gedung, jalan, jembatan, rel,
terowongan, bangunan air, drainase,
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, Statistik
Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015
bangunan sanitasi, bandara, jaringan listrik,
komunikasi dan lain sebagainya.
Pada tahun 2014, jumlah perusahaan konstruksi di Provinsi Kepulauan Riau
mengalami penurunan dari 1.519 perusahaan di tahun sebelumnya menjadi 1.476.
Namun demikian, jumlah pekerja tetap meningkat dengan rata-rata pertumbuhan
sebesar 3,86% pada periode tahun 2012-2014, sejalan dengan pertumbuhan yang
terjadi di sektor tersebut.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


69
Berdasarkan bidang
pekerjaannya, sektor konstruksi Gambar V-12 Nilai Konstruksi Menurut Bidang
Pekerjaan dan Perkembangan Alokasi Belanja
dapat dibagi menjadi kontruksi Infrastruktur (Rp. Triliun)
bangunan gedung yang
mencakup pekerjaan bangunan
tempat tinggal, perkantoran, dan
pertokoan. Konstruksi bangunan
sipil yang mencakup pekerjaan
fasilitas industri, proyek
infrastruktur dan sarana umum,
Sumber: Monev PA DJPBN & BPS Provinsi Kepulauan Riau,
sistem pembuangan dan irigasi, Statistik Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015 (diolah)

saluran pipa dan jaringan listrik,


fasilitas olahraga di tempat terbuka dan lain-lain. Dan konstruksi khusus yang mencakup
kegiatan penyelesaian gedung, instalasi pendingin, listrik, pemanas, pipa, alarm dari
bangunan, lift, tangga berjalan, sistem penerangan dan pemberian tanda isyarat untuk
jalan raya, rel kereta api, bandar udara, pelabuhan dan lain-lain.
Nilai konstruksi bidang sipil mengalami peningkatan sebesar 14,43% menjadi
4,52 triliun rupiah, didorong oleh alokasi belanja infrastruktur dari APBN yang meningkat
18,18% menjadi 1,30 triliun rupiah. Sementara itu, peningkatan tertinggi terjadi pada
bidang bangunan khusus yang meningkat 15,96%. Berdasarkan proporsinya bidang
bangunan sipil mendominasi dengan porsi 49,08% disusul oleh bidang bangunan
gedung dan bangunan khusus dengan porsi masing-masing 39,09% dan 11,83%.
Berkembangnya sektor konstruksi di Provinsi Kepulauan Riau, khususnya di
bidang konstruksi bagian sipil yang sebagian besar didorong oleh belanja infrastruktur
pemerintah, merupakan prasyarat utama dalam menciptakan iklim investasi yang
kondusif dan menarik investasi asing (FDI). Dikaitkan dengan analisis SWOT pada sub
bab 5.2. sektor konstruksi menjadi kunci dalam memaksimalkan peluang dari kedekatan
Provinsi Kepulauan Riau dengan jalur perdagangan internasional, memitigasi
kelemahan interkoneksi wilayah kepulauan dan memenangkan persaingan
mendatangkan investasi dengan negara-negara ASEAN.
Berdasarkan indeks infrastruktur fisik dari Political and Economic Risk
Consultancy (PERC), Provinsi Kepuluan Riau, khususnya di Kota Batam yang menjadi
pusat industri provinsi, telah memiliki infrastruktur fisik yang lebih baik dari negara-
negara ASEAN yang bersaing seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam. Bahkan, nilai
indeks infrastruktur Kota Batam dengan nilai 5,69 dari skala 10, berada jauh di atas rata-
rata nasional dengan nilai 2,59. Pada satu sisi, hal tersebut menunjukkan komitmen
pemerintah akan pembangunan infrastruktur industri yang terintegrasi di wilayah

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


70
Provinsi Kepulauan Riau dan menjadi
Gambar V-13 Indeks Infrastruktur Fisik
daya tarik bagi investor asing.
Namun, seiring dengan semakin
ketatnya persaingan antar negara
ASEAN, sebaiknya pemerintah tetap
memberi prioritas pada sektor
konstruksi khususnya di bidang
bangunan sipil untuk wilayah Provinsi
Kepulauan Riau. Hal tersebut bisa
dilakukan dengan memperbanyak Sumber: Political and Economic Risk Consultancy (diolah)

program Public-Private Partnership


(PPP) untuk mengurangi beban fiskal dan memberikan lebih banyak stimulus bagi
sektor konstruksi yang menjadi sektor potensial unggulan di Provinsi Kepulauan Riau.

5.4. SUB SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Berdasarkan analisis overlay pada sub bab 5.1. beberapa sub sektor potensial
di Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki keunggulan komparatif, keunggulan
kompetitif, spesialisasi, dan pertumbuhan menonjol sebagai berikut:

1. Sub sektor industri logam dasar dari sektor industri pengolahan.


Industri yang memproduksi komoditas hasil pemrosesan seperti besi baja,
alumunium, tembaga, nikel, dan lain sebagainya ini merupakan industri yang
sangat berpotensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya mengingat Indonesia saat ini
masih banyak mengekspor bahan mineral mentah untuk industri tersebut.
Dikaitkan dengan analisis SWOT pada sub bab 5.2, industri logam dasar
didukung oleh regulasi UU Nomor 4/2009 yang sejak penerapannya di tahun 2014
melarang ekspor mineral mentah dan PP 45/2015 yang memasukkan industri
logam dasar sebagai prioritas. Dengan mempertimbangkan keadaan sumber daya
mineral di Indonesia yang berlimpah dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan
pemanfaatannya selama ini masih dalam ekspor bahan mentah, letak Provinsi
Kepulauan Riau yang berada di pintu gerbang perdagangan internasional dapat
dimanfaatkan untuk dijadikan pusat industri logam dasar. Dengan pemusatan
industri logam dasar di Provinsi Kepulauan Riau, sumber daya mineral akan
dikumpulkan, diproses, dan dapat segera diekspor sehingga biaya logistik dapat
ditekan dan hasil produksi semakin kompetitif. Pemerintah dapat membantu
pembentukan pusat industri logam dasar tersebut dengan memberikan fasilitas tax
holiday khusus untuk perusahaan yang bergerak di bidang industri logam dasar

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


71
dan/atau menciptakan PPP untuk membangun kawasan industri khusus industri
logam dasar. Namun, perlu juga dipertimbangkan resiko dari spesialisasi industri
logam dasar tersebut yakni penurunan harga komoditas yang terjadi sepanjang
tahun 2015 dan kemungkinan recovery harganya yang belum dapat diprediksi yang
dapat menjadikan prospek industri logam dasar menjadi turun.

2. Sub sektor industri barang dari logam, komputer, barang elektronik, optik dan
peralatan listrik dari sektor industri pengolahan.
Sub sektor dengan tingkat teknologi menengah-tinggi ini berpotensi untuk
menciptakan nilai tambah yang besar dan transfer knowledge yang signifikan
apabila pemrosesan dari hulu ke hilir dapat dilakukan di Indonesia. Dikaitkan
dengan analisis SWOT pada sub bab 5.2, industri barang dari logam, komputer,
barang elektronik, optik dan peralatan listrik juga termasuk industri prioritas dalam
PP 14/2015 (industri elektronika dan telematika/ICT). Adanya kawasan-kawasan
yang ditetapkan sebagai Free Trade Zone apabila didukung dengan pasokan
sumber daya manusia dengan keahlian yang cukup memadai dan promosi yang
terarah dari pemerintah berpotensi besar untuk mengembangkan industri tersebut
di Provinsi Kepulauan Riau menjadi jauh lebih besar lagi.
Industri yang berkaitan dengan Information and Communication Technology
(ICT) memiliki urgensi tersendiri untuk lebih diprioritaskan dibandingkan industri-
industri lainnya karena Indonesia belum memiliki basis industri ICT yang baik
sementara tren penggunaan barang-barang berteknologi tinggi terus meningkat.
Sebagaimana tercermin dari data perbandingan ekspor/impor ICT terhadap total
ekspor/impor dimana tren perbandingan ekspor ICT terhadap total ekspor dalam
tren menurun sedangkan tren perbandingan impor ICT terhadap total impor dalan
tren menaik. Hal tersebut menyebabkan Indonesia menjadi ketergantungan pada
pasokan impor barang-barang berteknologi tinggi.
Guna mendorong pertumbuhan
Gambar V-14 Perbandingan Ekspor/Impor industri ICT di Provinsi Kepulauan Riau,
ICT terhadap total Ekspor/Impor
pemerintah dapat melakukan hal serupa
dengan memberikan tax holiday dan
menyediakan kawasan industri khusus
untuk industri ICT. Karena karakteristik
industri ICT yang membutuhkan teknologi
tingkat menengah-tinggi, pemerintah juga
perlu membangun basis sumber daya
Sumber: World Bank (diolah)
manusia yang memiliki kemampuan

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


72
seperti dengan mengembangkan Technology Center seperti Sillicon Valley atau
Bandung Techno Park. Selain itu, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi dapat mengarahkan Perguruan Tinggi Negeri di Provinsi Kepulauan Riau
untuk memprioritaskan jurusan-jurusan yang berhubungan dengan ICT,
Kementerian Ketenagakerjaan dapat mengembangkan pelatihan-pelatihan yang
bertema ICT, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dapat bersikap
proaktif dengan membuat proposal untuk menggaet kerjasama dari perusahaan
ICT ternama dalam membentuk PPP seperti yang telah dilakukan oleh Investment
Promotion Agency (IPA) Costa Rica dengan Intel.
Adapun industri berteknologi cenderung lebih resilien karena karakteristiknya
yang mengikuti perkembangan teknologi. Oleh karena itu, prospek jangka panjang
dari industri ICT sangat baik khususnya bila dibandingkan industri-industri lain
seperti industri berbasis komoditas yang rawan terkena dampak perubahan
teknologi.

3. Sub sektor industri alat angkutan dari sektor industri pengolahan.


Sebagai provinsi yang memiliki 2.408 pulau dan 95% lautan dalam wilayahnya,
Provinsi Kepulauan Riau mengandalkan moda transportasi laut sebagai sarana
utama dalam meningkatkan interkonektivitas wilayah. Bertumbuhnya industri alat
angkutan di Provinsi Kepulauan Riau didorong oleh tingginya kebutuhan terhadap
produk industri alat angkutan laut seperti kapal dan perahu. Sebagaimana dua sub
sektor sebelumnya, sub sektor alat angkutan juga termasuk industri prioritas dalam
PP Nomor 14/2015. Pemenuhan kebutuhan alat angkutan laut selama ini masih
banyak didatangkan dari luar negeri, dukungan terhadap sub sektor ini di Provinsi
Kepulauan Riau akan mengurangi ketergantungan impor alat transportasi laut bagi
Provinsi Kepulauan Riau yang bercirikan kepulauan.
4. Sub sektor ketenagalistrikan dari sektor listrik dan gas.
Sub sektor ketenagalistrikan yang mencakup kegiatan pembangkitan, transmisi
dan pendistribusian energi listrik kepada konsumen akhir telah menjadi industri
prioritas pemerintah sesuai amanat PP Nomor 14/2015 (Industri Pembangkit
Energi) dan target peningkatan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW.
Hasil analisis sub bab 5.1. menunjukkan bahwa ketenagalistrikan merupakan
sektor unggulan dan potensial dari sudut pandang pertumbuhan dan kontribusinya.
Namun, terlepas dari kinerja yang baik, sektor ketenagalistrikan di Provinsi
Kepulauan Riau belum dapat memenuhi kebutuhan listrik masyarakatnya
sebagaimana terlihat dari frekuensi pemadaman listrik dan data neraca daya dari
PLN dimana pada kondisi beban puncak, Provinsi Kepulauan Riau dapat

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


73
mengalami defisit listrik Tabel V-3 Neraca Daya Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014
(dalam MW)
sebesar 112,37% dari Kapasitas Daya Beban
Satuan PLN
kapasitas terpasang di PLN. Terpasang *) Mampu Puncak
PLN Wilayah Riau
85,30 53,55 53,12
Pada satu sisi, hal tersebut (Bagian Kepulauan Riau)
PLN Batam 132,33 94,02 339,00
menunjukkan bahwa sub Total 217,63 147,57 392,12
sektor ini memiliki ruang yang *belum termasuk kapasitas yang dihasilkan selain PLN
Sumber: PLN, Statistik PLN 2014
sangat luas untuk
berkembang karena masih banyak permintaan yang belum terpenuhi. Di sisi lain,
hal tersebut dapat diartikan bahwa masih banyak industri di Provinsi Kepulauan
Riau yang belum terpenuhi kebutuhan listriknya, hal tersebut dapat mengurangi
daya saing dalam menarik investasi.
Provinsi Kepulauan Riau masih banyak menggunakan pembangkit listrik yang
menggunakan mesin diesel atau batu bara dalam memenuhi kebutuhan
masyarakatnya. Padahal berdasarkan analisis SWOT, Provinsi Kepulauan Riau
memiliki dua jenis sumber daya alam lokal yang dapat menjadi alternatif.
Alternatif yang pertama adalah gas dimana hampir setengah dari cadangan gas
yang sudah ditemukan di Indonesia berada di di Kabupaten Natuna. Selama ini,
sebagian besar pemanfaatan gas di Natuna baru berupa ekspor. Apabila
pemerintah memilih pembangkit listrik tenaga gas untuk pengembangan
berikutnya, Provinsi Kepulauan Riau dapat mengurangi ketergantungan akan
pasokan sumber energi dari wilayah lain dan berpotensi untuk meningkatkan
efisiensi. Selain itu, apabila pasokan energi melimpah, maka perencanaan
pembangunan pembangkit listrik barupun akan lebih fesibel. Tentunya pemerintah
harus terlebih dahulu bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang
mengekstraksi gas untuk dapat memanfaatkan keberlimpahan gas tersebut.
Alternatif kedua adalah pemanfaatan tenaga surya karena lokasi yang berdekatan
dengan garis khatulistiwa. Pemilihan tenaga surya sebagai pembangkit listrik
tentunya jauh lebih baik dibandingkan sumber-sumber lainnya yang berbahan
dasar fosil dalam konteks berkelanjutan (sustainability) dan polusi yang
ditimbulkan. Selain itu, penggunaan tenaga surya sebagai sumber utama listrik di
Provinsi Kepulauan Riau juga akan membantu pemerintah mencapai target
pengurangan emisi gas efek rumah kaca dan target diversifikasi sumber daya listrik.
Potensi yang lebih besar lagi timbul dari kemungkinan efisiensi biaya yang dapat
diciptakan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) apabila dikaitkan dengan
konteks ciri kepulauan yang dimiliki. Dengan kondisi geografis kepulauan yang
terpisah lautan satu sama lainnya, pembangkit listrik yang memiliki dasar
economies of scale membutuhkan biaya pembangunan jaringan listrik untuk

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


74
Gambar V-15 Target Diversifikasi Sumber Energi Listrik Indonesia menyambungkan antar
pulau. Di sisi lain, PLTS
dapat dibangun secara
kecil-kecilan dan tidak
perlu tersambung ke
jaringan luas, sehingga
PLTS sebagai alternatif
akan memotong biaya
pembangunan jaringan
yang membebani
daerah kepulauan.
Dalam skala nasional,
Sumber: Dewan Energi Nasional (DEN)
pemilihan PLTS
sebagai alternatif juga dapat membantu negara Indonesia dalam mencapai target
diversifikasi sumber energi listrik dimana porsi New and Renewable Energy (NRE)
atau energi baru dan terbarukan harus mencapai 25,9% pada tahun 2025, 30,9%
pada tahun 2030, dan 39,5% pada tahun 2050.

5. Sub sektor perdagangan mobil, sepeda motor dan reparasinya dari sektor
perdagangan dan reparasi.
Sub sektor perdagangan mobil, sepeda motor dan reparasinya dari sektor
perdagangan dan reparasi mencakup seluruh kegiatan (kecuali industri dan
penyewaan) yang berhubungan dengan mobil dan sepeda motor.
Dikaitkan dengan analisis SWOT, pertumbuhan pesat sub sektor ini didorong
oleh adanya pembebasan PPN, PPNBM, dan Bea Masuk atas kendaraan di
wilayah FTZ BBK. Dalam konteks ekonomi, kinerja tersebut turut berkontribusi
terhadap kekuatan perekonomian Provinsi Kepulauan Riau. Namun, sub sektor
perekonomian yang cenderung konsumtif ini membawa resiko dimana volume
impor akan meningkat dan tidak diimbangi oleh volume ekspor sehingga tujuan
awal untuk membangun export-oriented zone menjadi melenceng.

6. Sub sektor angkutan laut dari sektor transportasi dan pergudangan


Sub sektor angkutan laut meliputi usaha pengangkutan atau barang pada kapal
yang beroperasi pada perairan laut atau pesisir. Termasuk didalamnya adalah
penarik atau pendorong tongkang (tug and barge), kapal minyak dan lain
sebagainya, kecuali pengoperasian bangunan struktur terapung, kegiatan rumah

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


75
makan dan bar di atas kapal yang disediakan unit terpisah dan pengoperasian
tempat berjudi di atas kapal.
Pada dasarnya, pertumbuhan di sub sektor angkutan laut bergantung dari arus
barang dan penumpang antar atau di dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Arus
barang dan penumpang sendiri lebih banyak ditentukan oleh kinerja dari sektor atau
sub sektor lainnya sedangkan fungsi dari sub sektor angkutan laut adalah sebagai
pendukung dari sektor atau sub sektor lain tersebut. Sektor atau sub sektor yang
sangat mempengaruhi sub sektor angkutan lautnya diantaranya, namun tidak
terbatas pada sektor industri pengolahan, sektor pariwisata dan penyediaan
infrastruktur pelabuhan.
Dikaitkan dengan analisis SWOT di sub bab 5.2, Provinsi Kepulauan Riau yang
bercirikan kepulauan, berada di jalur perdagangan internasional, memiliki
pariwisata yang potensial, dan merupakan wilayah industri pengolahan seyogyanya
memiliki sub sektor angkutan laut yang kuat. Namun, RPs sub sektor angkutan laut
di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan bahwa pertumbuhannya hanya lebih
cepat 1,06 kali dibandingkan pertumbuhan nasional. Hal tersebut menunjukkan
bahwa masih banyak sekali potensi yang belum digali dari sub sektor angkutan laut
di Provinsi Kepulauan Riau. Akan tetapi, untuk mengoptimalkan potensi tersebut,
pemerintah sebaiknya berfokus pada hal-hal di luar industri angkutan laut itu sendiri
yakni penguatan industri pengolahan dan pariwisata di Provinsi Kepulauan Riau,
serta pembangunan infrastruktur pelabuhan yang kompetitif. Sedangkan untuk sub
sektor angkutan laut sendiri, pemberlakuan kebijakan cabotage yang
mengharuskan pengangkutan jalur laut domestik untuk dikerjakan perusahaan
pelayaran Indonesia sudah cukup membantu pertumbuhannya.

7. Sub sektor penyediaan akomodasi dari sektor akomodasi dan restoran


Sub sektor penyediaan akomodasi mencakup akomodasi jangka pendek untuk
pengunjung dan pelancong (berkaitan dengan pariwisata) seperti perhotelan,
home stay, youth hostel, guesthouse, bumi perkemahan, persinggahan karavan,
dan apartemen hotel. Selain itu, sub sektor ini juga mencakup penyediaan
akomodasi yang lebih lama untuk pelajar, pekerja dan sejenisnya seperti tempat
tinggal pelajar, asrama sekolah, asrama atau pondok kerja dan rumah kost.
Penyediaan akomodasi sebagaimana dimaksud juga dapat disertai penyediaan
makanan dan minuman dan/atau fasilitas rekreasi.
Sebagaimana telah dibahas pada analisis SWOT di sub bab 5.2, pariwisata di
Provinsi Kepulauan Riau didukung oleh kekayaan dan keindahan alam yang dimiliki
seperti pantai yang indah dan alami di semua kabupaten/kota. Tidak hanya pantai

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


76
nan elok, pesona kehidupan bawah laut,
Gambar V-16 Kunjungan Wisman di
keindahan panorama, dan Provinsi Kepulauan Riau
keanekaragaman seni dan budaya yang (dalam jutaan)

didominasi kekayaan budaya leluhur


bangsa melayu serta bangunan
peninggalan sejarah juga memiliki daya
tarik yang sangat besar.
Sejalan dengan pertumbuhan pesat
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, Statistik
sub sektor penyediaan akomodasi, Daerah Provinsi Kepulauan Riau 2015

kunjungan wisatawan mancanegara


(wisman) di Provinsi Kepulauan Riau terus meningkat dengan rata-rata
peningkatan pada periode tahun 2012-2014 sebesar 5,67%. Sementara itu, pada
periode yang sama, Provinsi Bali sebagai destinasi utama wisman dan benchmark
pariwisata di Indonesia mencatatkan rata-rata peningkatan sebesar 13,02%.
Mengingat utilisasi daerah pariwisata di Provinsi Kepulauan Riau baru
terkonsentrasi di pulau Batam dan Bintan, dapat disimpulkan bahwa dengan
pembangunan infrastruktur dan promosi pariwisata yang tepat sasaran, sub sektor
penyediaan akomodasi di Provinsi Kepulauan Riau dapat bertumbuh lebih cepat
lagi bahkan mungkin menyaingi pertumbuhan di Provinsi Bali.
Gambar V-17 Kontribusi Wisman Berdasarkan Negara di Dalam konteks menciptakan
Provinsi Kepulauan Riau dan Bali 2014
promosi pariwisata yang efektif dan
Australia orang (ribuan) efisien, pada dasarnya sektor
991.923
pariwisata memiliki keterbatasan
KoreaSelatan RRC
pasar dimana walaupun jumlah
586.300 wisman terus bertambah seiring
dengan bertumbuhnya
India Malaysia
perekonomian dunia, akan tetapi
masing-masing wisman memiliki
1.042.730
Singapura Jepang waktu yang terbatas sehingga
Bali Kepulauan Riau ketika seorang wisman memilih
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau dan BPS Provinsi Bali satu destinasi, wisman tersebut
(diolah)
tidak dapat mengunjungi destinasi
lainnya yang berjauhan dengan destinasi pilihan. Koordinasi dalam promosi antara
Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Bali dengan melihat perbandingan kontribusi
wisman berdasarkan negara asal di masing-masing provinsi dapat membantu
menciptakan strategi promosi yang efektif dan tidak saling menciptakan opportunity

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


77
cost. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa Provinsi Bali sebaiknya
memfokuskan promosi pariwisata di negara Australia, RRC, dan Jepang dimana
Bali sudah memiliki keunggulan dan reputasi. Di sisi lain, untuk wisman korea
selatan, malaysia, dan india dapat diarahkan ke Provinsi Kepulauan Riau karena
Provinsi Kepulauan Riau sedikit lebih berpotensi untuk dikembangkan.

5.5. ANOMALI SEKTOR POTENSIAL DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU


Berdasarkan faktor kekuatan dalam analisis SWOT di sub bab 5.2 dan
keterkaitannya dengan sub sektor pada analisis overlay di sub bab 5.1, sub sektor
perikanan menunjukkan kinerja yang lemah terlepas dari status Provinsi Kepulauan
Riau sebagai pemilik potensi perikanan terbesar di Indonesia. Kinerja sub sektor
perikanan masih jauh dari potensinya dengan RPs yang hanya sebesar 0,58 ketika di
tingkat nasional kinerja sektor tersebut sedang baik dengan RPr sebesar 1,19.
Nilai LQ sub sektor perikanan mencapai 1,36 yang dapat diartikan bahwa sektor
perikanan sendiri sudah terkonsentrasi dalam perekonomian Provinsi Kepulauan Riau.
Hal tersebut dapat menjadi faktor penyebab lambatnya pertumbuhan sub sektor
tersebut karena basisnya sendiri sudah
Gambar V-18 Realisasi APBN Subfungsi
terlalu besar. Realisasi APBN subfungsi Perikanan dan Proporsinya terhadap Fungsi
Ekonomi
pertanian, kehutanan, perikanan dan
kelautan sebesar 93,66 miliar rupiah
mengalami rata-rata peningkatan 22,57%
per tahun 22,57% sejak tahun 2009.
Namun demikian, proporsi subfungsi
tersebut terhadap fungsi diatasnya (fungsi
ekonomi) mengalami penurunan drastis Sumber: Monev PA DJPBN (diolah)
dari 13,08% pada tahun 2009 menjadi
hanya 2,97% pada tahun 2015 sehingga
dapat diartikan bahwa sub sektor perikanan kurang mendapat prioritas dari pemerintah.
Dalam rangka memaksimalkan potensi Provinsi Kepulauan Riau, pemerintah dapat
membantu dengan meningkatkan alokasi pada subfungsi perikanan. Program yang
dapat digunakan adalah dengan modernisasi peralatan penangkapan ikan sehingga
batasan dari basis subsektor perikanan yang sudah cukup besar dapat teratasi dengan
peningkatan kualitas penangkapan ikan dengan teknologi.
Selain sub sektor perikanan, sub sektor pertambangan migas juga merupakan
sub sektor yang berdasarkan analisis SWOT memiliki potensi besar namun kinerjanya
melemah. Untuk sub sektor pertambangan migas, penyebab penurunan tersebut adalah
anjloknya harga minyak dunia.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


78
BAB VI ANALISIS Tantangan
Fiskal Daerah/REGIONAL
Perkembangan kondisi fiskal di Provinsi Kepulauan Riau
menunjukkan adanya defisit fiskal dan urgensi untuk
menerapkan pola penyerapan ideal, mengevaluasi
implementasi Dana Desa, dan mempercepat pembangunan
infrastruktur

6.1. PERKEMBANGAN CASH FLOW KEPULAUAN RIAU


Keseimbangan fiskal pemerintah pusat di Provinsi Kepulauan Riau dilihat dari
selisih cash flow antara pendapatan dan belanja pemerintah pusat. Berdasarkan
monitoring penerimaan pada KPPN Batam dan Tanjungpinang dan data penerimaan
dari Kanwil DJP Provinsi Riau dan Kepulauan Riau dan Kanwil DJBC Khusus Provinsi
Kepulauan Riau, penerimaan di Provinsi Kepulauan Riau mencapai Rp.7,49 triliun
sepanjang 2015. Sementara itu, total belanja negara mencapai Rp. 11,55 triliun.
Berdasarkan cash inflow dan cashout flow, di wilayah Provinsi Kepulauan Riau
2015 terdapat selisih defisit yang cukup besar senilai Rp.4,07 triliun atau 35% dari total
belanja. Defisit tersebut menjadikan Provinsi Kepulauan Riau sebagai penerima cross
subsidi dari daerah lain yang mengalami surplus cash flow.

Gambar VI-1 Cash Flow 2015 di Wilayah Provinsi Kepulauan Riau

Belanja Pemerintah Pusat: Rp.11,55t


 KP+KD+DK+TP+UB: Rp.5,61t
 Transfer ke Daerah: Rp.5,94t
APBN

out flow > in flow


defisit Rp.4,07t
Penerimaan: Rp.7,49t
 PPh: Rp.5,08t
 PPN: Rp.0,71t
 Pajak Lainnya:Rp.0,09t
Provinsi  Cukai: Rp.0,0003t
Kepulauan Riau  Bea Masuk: Rp.261,48t
 Bea Keluar: Rp. -t
 PNBP: Rp.1,161t
 Hibah: Rp.0,18t
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


79
Pada sisi penerimaan, penerimaan perpajakan berporsi 82,02%, PNBP berporsi
15,52% terhadap keseluruhan penerimaan pemerintah pusat sedangkan sisanya
disumbangkan oleh komponen penerimaan hibah. Komponen penerimaan perpajakan
terbesar adalah PPh yang berporsi 82,71% diikuti oleh PPN yang menyumbang porsi
11,59% terhadap penerimaan perpajakan sebesar 6,14 triliun rupiah. Penerimaan cukai,
bea masuk, dan bea keluar hanya berporsi 4,26% sebagai dampak dari pemberian
insentif fiskal di Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun. Di sisi lain, komponen PNBP
yang paling besar adalah PNBP BLU yang berasal dari satu-satunya BLU di Provinsi
Kepulauan Riau (BP Batam) berporsi 84,83% dari keseluruhan PNBP. Adapun
penerimaan tersebut belum. Adapun PNBP tersebut belum termasuk PNBP yang
diterima oleh Kementerian ESDM dan Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan yang
pada akhirnya akan menjadi dasar untuk transfer DBH ke Pemerintah Daerah sehingga
masih terdapat kemungkinan bahwa defisit cashflow bisa bergeser, atau bahkan
menjadi positif.
Pada sisi pengeluaran, transfer daerah menjadi paling dominan dengan porsi
51,43%, terpaut 2,86% dari belanja pemerintah pusat yang dialokasikan pada
kementerian/lembaga (K/L). Komposisi komponen transfer daerah terbesar adalah DAU
yang berporsi 49,51%, bergeser dari dominasi DBH yang berkontribusi 49,11% di tahun
2014 sebagai akibat dari penurunan harga minyak bumi dunia yang merupakan andalan
dalam DBH Provinsi Kepulauan Riau. Di sisi lain, komponen belanja K/L didominasi oleh
belanja dengan kewenangan Kantor Daerah (KD) yang berporsi 51,75% diikuti dengan
belanja berkewenangan Kantor Pusat (KP) yang berporsi 44,70%.

Tabel VI-1 Cash Flow 2015 di Provinsi Kepulauan Riau (dalam miliaran Rupiah)
Sumbangan Penerimaan Provinsi Kepulauan Riau Pengeluaran Nasional
terhadap Penerimaan Nasional untuk Provinsi Kepulauan Riau
A.Penerimaan Perpajakan I.Belanja Pemerintah Pusat
 PPh Rp. 5.079,68  Kantor Pusat Rp. 2.508,52
 PPN Rp. 711,63  Kantor Daerah Rp. 2.904,14
 Pajak Lainnya Rp. 88,17  Dekonsentrasi Rp. 114,30
 Cukai Rp. 0,27  Tugas Pembantuan Rp. 81,81
 Bea Masuk Rp. 261,48  Urusan Bersama Rp. 3,48
 Bea Keluar Rp. - Total Belanja (I) Rp. 5.612,25
Total Perpajakan (A) Rp. 6.141,22

B.Penerimaan Negara Bukan Pajak II.Transfer Daerah


 Sumberdaya Alam Rp. 1,84  DBH Rp. 2.017,40
 PNBP Lainnya Rp. 174,51  DAU Rp. 2.778,88
 Bag.atas Laba BUMN Rp. -  DAK Rp. 501,76
 BLU Rp. 986,27  Dana Penyesuaian Rp. 643,57
Total PNBP (B) Rp. 1.162,63 Total Transfer (II) Rp. 5.941,62
C.Penerimaan Hibah Rp. 183,31
D.Total Penerimaan (A+B+C) Rp. 7.487,16 III.Total Belanja (I+II) Rp. 11.553,87
Penerimaan – Belanja (C-III) Rp. -4.066,71
Sumber: Monev PA dan OM SPAN DJPBN, dashboard Penerimaan Pajak DJP, dan DJBC per 11 Februari 2016 (diolah)

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


80
6.2. PENGARUH PERKEMBANGAN EKONOMI REGIONAL TERHADAP
FISKAL
Pengaruh perkembangan ekonomi regional terhadap fiskal di Provinsi
Kepulauan Riau dapat dilihat dari perubahan indikator makroekonomi dan
pembangunan terhadap penerimaan baik penerimaan perpajakan pusat maupun pajak
daerah dan retribusi daerah dalam pendapatan asli daerah. Indikator makroekonomi
dan pembangunan mencerminkan kondisi perekonomian dan demografis masyarakat
yang dapat mempengaruhi kebijakan fiskal pemerintah daerah. Indikator makroekonomi
dilihat berdasarkan pertumbuhan ekonomi sedangkan Indikator pembangunan dilihat
berdasarkan perkembangan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran di Provinsi
Kepulauan Riau. Kenaikan PDRB mencerminkan kenaikan pendapatan masyarakat
yang akan meningkatkan kemampuan daya beli, investasi, dan mendorong
pertumbuhan ekonomi sehingga perubahan tersebut akan meningkatkan potensi
penerimaan. Dalam kurun waktu 2011 hingga 2015, perekonomian Provinsi Kepulauan
Riau menunjukkan pertumbuhan yang selalu diatas nasional meskipun perlambatan
perekonomian di tahun 2015 berdampak lebih besar di Provinsi Kepulauan Riau.
Pada tahun 2011, Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan
(PDRB ADHK) Provinsi Kepulauan Riau sebesar Rp.118,96 triliun meningkat menjadi
Rp.155,16 triliun pada tahun 2015 dengan laju pertumbuhan 6,02% (yoy) dari tahun
2014. Sedangkan PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) pada tahun 2011 sebesar
Rp.126,91 triliun meningkat menjadi Rp.203,28 triliun pada 2015. Indikator
pembangunan yang salah satunya dicerminkan oleh tingkat kemiskinan dan tingkat
pengangguran masing-masing sebesar 5,78% dan 6,20%. PDRB ADHK dominan
disusun oleh sektor industri pengolahan (38,81%), sektor konstruksi (17,32%), dan
sektor pertambangan dan penggalian (14,80%) dengan porsi ketiganya mencapai lebih
dari dua pertiga PDRB di Provinsi Kepulauan Riau.

Tabel VI-2 Indikator Ekonomi dan Kebijakan Fiskal Daerah di Provinsi Kepulauan Riau
Indikator 2011 2012 2013 2014 2015
Indikator Makro & Pembangunan
Pertumbuhan Ekonomi (yoy) 6,96% 7,63% 7,11% 7,32% 6,02%
PDRB ADHK 2010 (Rp.triliun) 118,96 128,03 137,26 143,36 155,16
Share PDRB: Industri Pengolahan 38,23% 38,40% 38,74% 39,70% 38,81%
Share PDRB: Konstruksi 16,34% 16,90% 17,34% 18,10% 17,32%
Share PDRB: Pertambangan & Penggalian 17,13% 16,72% 16,11% 15,55% 14,80%
Kemiskinan 6,79% 6,83% 6,35% 6,40% 5,78%
Tingkat Pengangguran 7,80% 4,93% 5,63% 6,69% 6,20%
Kebijakan Fiskal Daerah
Penerimaan Pajak Daerah (Rp.miliar) 1.036,21 1.150,66 1.327,22 2.078,14 1.267.67
Penerimaan Retribusi Daerah(Rp. miliar) 89,16 88,94 102,00 122,22 72,72
Penerimaan Perpajakan Pusat (Rp. miliar) n/a n/a 5.856,81 6.039,56 6.141,22
Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, DJPK, Pemda. (data diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


81
Peran industri pengolahan hingga 2015 sangat signifikan dalam menopang
PDRB walaupun kontribusinya menunjukkan penurunan di tahun 2015. Demikian pula
halnya dengan sektor konstruksi dan sektor pertambangan dan penggalian.
Berdasarkan Analisis Sektor Unggulan 2015 dari BPS Provinsi Kepulauan Riau, sektor
industri pengolahan dan sektor pertambangan dan penggalian yang pada tahun
sebelumnya merupakan sektor unggulan menunjukkan performa yang menurun
sehingga hanya tinggal sektor konstruksi yang merupakan sektor unggulan. Namun
demikian, pengamatan lebih detail menunjukkan bahwa 3 sub sektor industri
pengolahan yakni sub sektor industri logam dasar, sub sektor industri barang dari
logam, komputer, barang elektronik, optik dan peralatan listrik, dan sub sektor industri
alat angkutan masih termasuk dalam kategori unggulan. Selain itu, terdapat 4 sub sektor
lain yakni sub sektor ketenagalistrikan, sub sektor perdagangan mobil, sepeda motor
dan reparasinya, sub sektor angkutan laut dan sub sektor penyediaan akomodasi yang
merupakan sub sektor kategori unggulan. Dikaitkan dengan analisis SWOT kondisi
Provinsi Kepulauan Riau, 1 sektor unggulan dan 5 sub sektor unggulan (selain sub
sektor industri logam dasar dan sub sektor perdagangan mobil) tersebut layak untuk
dikembangkan di Provinsi Kepulauan Riau.
Ketidakstabilan perekonomian global yang sangat mempengaruhi volume
perdagangan di Provinsi Kepulauan Riau menyebabkan sektor industri pengolahan
yang sebagian besar berorientasi ekspor mengalami perlambatan sebagaimana
dicerminkan oleh penurunan porsi sebesar 89 basis poin. Sementara itu, penurunan
harga komoditas dunia, khususnya minyak dan gas, menjadi penyebab utama
penurunan kinerja sektor pertambangan di Provinsi Kepulauan Riau yang sebagian
besar dibentuk produksi minyak dan gas, sehingga porsinya menurun 75 basis poin.
Dalam kurun waktu 2011-2015, tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran
terbuka selalu mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan selalu mengalami penurunan
tiap tahunnya dengan penurunan terakhir di tahun 2015 sebesar 0,62%. Di sisi lain,
tingkat pengangguran yang mengalami peningkatan pada periode tahun 2012-2014
menutup tahun 2015 dengan penurunan sebesar sebesar 0,49%.
Dalam sisi kebijakan fiskal daerah, penerimaan pajak daerah dan retribusi
daerah mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2011 hingga 2015. Dalam periode
5 tahun penerimaan pajak dan retribusi daerahtelah meningkat 19,10%. Namun
demikian, dibandingkan dengan tahun 2014 hal tersebut menunjukkan penurunan yang
signifikan. Adapun penyebab utamanya adalah Pemkot Batam yang belum mencatat
seluruh penerimaannya secara komprehensif. Sementara itu, dari kebijakan fiskal
pemerintah pusat, penerimaan perpajakan di Provinsi Kepulauan Riau dalam kurun
waktu 2013 hingga 2015 meningkat sebesar 4,86%.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


82
Berdasarkan tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan dalam
indikator ekonomi yakni pertumbuhan ekonomi yang meningkat didukung dengan
pertumbuhan PDRB terutama dari sektor industri pengolahan, sektor perdagangan
besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor, dan sektor konstruksi. Ditambah
dengan perbaikan dalam indikator pembangunan yang dicerminkan oleh penurunan
tingkat kemiskinan dan penurunan tingkat pengangguran terbuka, pertumbuhan
ekonomi tersebut akan mengembangkan fiskal pemerintah baik pusat maupun daerah
di Provinsi Kepulauan Riau melalui sisi penerimaan baik pendapatan daerah maupun
pendapatan pemerintah pusat.

Gambar VI-2 Kondisi Ekonomi dan Fiskal di Provinsi Kepulauan Riau

2014 2015

Ekonomi dan Pembangunan: Ekonomi dan Pembangunan:


PDRB meningkat Rp.147,17 triliun PDRB meningkat Rp.155,16 triliun
 Sektor dominan Industri pengolahan,  Sektor dominan Industri pengolahan,
Konstruksi, dan Pertambangan dan Konstruksi, dan Pertambangan dan
Penggalian Penggalian
 Kemiskinan 6,40%  Kemiskinan menurun menjadi 5,78%
 Pengangguran 6,69%  Pengangguran menurun menjadi 6,20%
Belanja Pemerintah: Belanja Pemerintah: Menurun
 Belanja APBN+APBD Rp.15,44 triliun  Belanja APBN+APBD Rp.15,05 triliun
 Fungsi: 35,20% Pelayanan Umum,  Fungsi: 33,23% Pelayanan Umum,
18,21% Ekonomi; 24,01% Ekonomi;
 Jenis Belanja: 36,16% Belanja barang,  Jenis Belanja: 36,57% Belanja barang,
26,83% Belanja pegawai 26,48% Belanja pegawai.

Penerimaan: Penerimaan: Menurun


Pendapatan Daerah Rp.8,69 triliun Pendapatan Daerah Rp.7,31 triliun
Pendapatan Pemerintah Pusat Rp.7,16 triliun Pendapatan Pemerintah Pusat Rp.7,49 triliun

Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, Pemda di Kepulauan Riau, (data diolah).

Penerimaan pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Riau pada 2015 menurun


dibandingkan tahun 2014 sebagai akibat penurunan harga minyak dan gas yang
menjadi andalan DBH Provinsi Kepulauan Riau. Di sisi lain, Pendapatan pemerintah
pusat meningkat didorong oleh peningkatan penerimaan perpajakan seiring dengan
bertumbuhnya perekonomian. Pendapatan tersebut digunakan untuk membiayai
belanja pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat di wilayah
Provinsi Kepulauan Riau yang setelah dikonsolidasikan mengalami penurunan di Tahun
2015 karena pemerintah daerah mengantisipasi penurunan penerimaan dengan

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


83
pemotongan belanja. Dalam struktur belanja pemerintah terjadi perubahan prioritas
kebijakan fiskal prioritas ada pada fungsi pelayanan umum dan fungsi ekonomi seperti
tahun sebelumnya, namun proporsi fungsi ekonomi semakin meningkat.
Perubahan fiskal pemerintah di atas berperan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Perkembangan indikator-indikator tersebut memiliki dampak positif terhadap
perekonomian 2015. Pada 2015 PDRB meningkat dengan dukungan oleh sektor dan
lapangan usaha yang sama dengan tahun sebelumnya dan terjadi perbaikan tingkat
kemiskinan dan tingkat pengangguran.

6.3. PENGARUH BELANJA PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN


REGIONAL PROVINSI KEPULAUAN RIAU DAN URGENSI POLA
PENYERAPAN ANGGARAN YANG IDEAL
Kebijakan fiskal memiliki hubungan saling mempengaruhi dengan
pembangunan perekonomian di daerah. Semakin baik perekonomian di suatu daerah,
semakin tinggi penerimaan yang akan didapat pemerintah. Semakin tinggi penerimaan,
semakin tinggi belanja pemerintah yang akan menjadi stimulus bagi perekonomian.

Gambar VI-3 Siklus Perekonomian dan Fiskal

Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

Kondisi ideal dimana perekonomian dan fiskal saling mendorong satu sama lain
tersebut pada kenyataannya tidak selalu terjadi. Pajak yang dikenakan pada
masyarakat akan menarik uang yang seharusnya beredar dalam perekonomian.
Semakin lama pajak tersebut tidak dikeluarkan kembali sebagai belanja pemerintah
pada perekonomian, semakin tinggi opportunity cost dari situasi dimana pajak tersebut
tidak pernah dikenakan. Hal serupa juga dapat terjadi apabila. Timbulnya opportunity
cost juga terjadi pada kondisi dimana pajak yang ditarik dijadikan belanja pemerintah

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


84
yang lebih banyak bersifat konsumtif, alih-alih menjadi stimulus, yang terjadi hanya
penundaan dan pergeseran belanja konsumtif dari masyarakat ke pemerintah. Hal
serupa juga berlaku untuk belanja pemerintah yang dibiayai dari pembiayaan.
Berdasarkan nilainya, stimulus yang disuntikkan ke perekonomian akan bertambah
dalam jangka pendek namun, dalam jangka panjang timbul kewajiban untuk membayar
denda dan pokok hutang. Oleh karena itu, dalam kasus pembiayaan idealnya terdapat
perhitungan yang matang untuk memastikan bahwa stimulus yang dihasilkan dari
pembiayaan lebih besar dari kewajiban yang akan timbul dalam jangka panjang.
Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau telah berusaha untuk
menghitung pengaruh tersebut dalam Kajian yang berjudul “Pengaruh Belanja
Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional Provinsi Kepulauan Riau”. Materi yang
diteliti dalam kajian tersebut meliputi pengaruh belanja pemerintah terhadap
perekonomian regional dari sisi pdrb dan dari sisi penyerapan tenaga kerja, serta
urgensi adanya pola penyeraan yang ideal dalam mendorong perekonomian.

6.3.1. Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Provinsi


Kepulauan Riau dari sisi PDRB
Hasil analisis regresi dengan APBN per Kabupaten/Kota sebagai variabel
independen dan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB
ADHB) per Kabupaten/Kota lingkup Provinsi Kepulauan Riau sebagai variabel
dependen pada Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau mengindikasikan bahwa belanja pemerintah
berdampak positif di Provinsi Kepulauan Riau. Dengan menggunakan fixed effect,
terdapat 7 model yang digunakan untuk menghitung PDRB ADHB di Kota/Kabupaten
masing-masing. Gabungan dari 7 model tersebut menghasilkan model yang dapat
digunakan untuk menghitung PDRB ADHB Provinsi Kepulauan Riau sebagai berikut:

PDRB_PROVINSI = Ʃαi+ Ʃα0 + β*APBN_PROVINSI


PDRB_PROVINSI = 77.165.536.333.900 + 23,267079424*APBN_PROVINSI

β yang merupakan koefisien regresi menunjukkan bahwa efek multiplier dari


APBN terhadap perekonomian adalah 23,267079424 untuk setiap rupiah yang
dibelanjakan. Mengingat trend perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang
berdampak signifikan terhadap Provinsi Kepulauan Riau, hasil penelitian tersebut dapat
menjadi salah satu bahan pertimbangan pemerintah untuk menstimulus perekonomian
yang kurang bergairah dengan belanja pemerintah.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


85
6.3.2. Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional
Provinsi Kepulauan Riau dari sisi Penyerapan Tenga Kerja
Pada Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional
Provinsi Kepulauan Riau, data negara Amerika Serikat berupa Federal Government
Spending (FGS) sebagai variabel independen dan Employment sebagai variabel
dependen digunakan untuk melakukan analisis regresi menghasilkan gambaran umum
bahwa belanja pemerintah berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja.
Dengan mengunakan Purchasing Power Parity Conversion Factor (PPP Conversion
Factor) Indonesia Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh The World Bank dimana angka
pengalinya adalah 3.939,56, koefisien regresi dari analisis tersebut dikonversi sehingga
menghasilkan koefisien sebesar 2,41377849324e-09. Koefisien regresi tersebut dapat
diartikan bahwa setiap belanja pemerintah sebesar 414.937.759 Rupiah/Setara Rupiah
akan menghasilkan 1 lapangan pekerjaan.

E = α + β*FGS
E = 79876040.2591 + 2,41377849324e-09*FGS
Adapun pemodelan serupa untuk tingkat regional Provinsi Kepulauan Riau
dengan menggunakan data Penyerapan Tenaga Kerja per sektor sebagai variabel
dependen dan data APBN per output terkait sebagai variabel independen tidak
menunjukkan pengaruh yang positif dari belanja pemerintah terhadap penyerapan
tenaga kerja. Hipotesis penyebab hasil yang tidak positif tersebut adalah
ketergantungan Provinsi Kepulauan Riau akan barang kebutuhan dasar seperti bahan
makanan dan bahan bangunan sehingga penciptaan lapangan pekerjaan dari belanja
pemerintah banyak yang mengalir menjadi penciptaan lapangan pekerjaan di wilayah
lain. Ketergantungan tersebut dapat dilihat dari komponen net ekspor antar wialyah
yang mencapai negatif (-) 5,99 triliun rupiah atau sekitar 11,5% dari PDRB Provinsi
Kepulauan Riau di Triwulan III 2015. Untuk Bahan Makanan, ketergantungan tersebut
tercermin juga dari hasil analisis LQ di sub bab 5.1 yang menunjukkan bahwa LQ sektor
Pertanian hanya 0,33.

6.3.3. Urgensi Penerapan Pola Penyerapan Ideal di Provinsi Kepulauan Riau


Permasalahan penyerapan anggaran yang tidak proporsional dan optimal
sebagaimana dikemukakan sebelumnya selalu muncul setiap tahun anggaran. Pada
tahun 2015, permasalahan tersebut kembali mengemuka dan menjadi isu nasional
karena Pemerintah baru Kabinet Kerja Presiden Jokowi memberikan peran sangat
besar kepada belanja negara untuk menyediakan sarana prasarana publik dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pengurangan anggaran subsidi
energi. Dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, penyerapan APBN cenderung

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


86
memiliki pola yang serupa yakni
meningkat di akhir tahun sehingga Gambar VI-4 Pertumbuhan PDRB dan realisasi
APBN di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2014
cenderung bersifat procyclical.
Padahal, menurut teori keynesian,
belanja pemerintah idealnya
bersifat countercyclical atau
menjadi stimulus ketika
pertumbuhan menurun dan
menjadi rem ketika pertumbuhan
meningkat.
Berdasarkan latar Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau,
Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
belakang tersebut, Kanwil Ditjen Regional Provinsi Kepulauan Riau

Perbendaharaan Provinsi
Kepulauan Riau telah membuat
pemetaan pola penyerapan ideal berdasarkan karakteristik belanja. Hasil pemetaan
tersebut menunjukkan bahwa penyerapan tidak akumulatif per triwulan dari mulai
Triwulan I sampai dengan Triwulan IV berada pada kisaran 20,00%, 27,50%, 30,00%,
22,50% secara berturut-turut.
Dikaitkan dengan model hasil penelitian pengaruh belanja pemerintah terhadap
penyerapan tenaga kerja (PTK), dapat dibuat perbandingan antara pola procyclical dan
countercyclical dengan menggunakan pagu dan realisasi tahun anggaran 2014.

Tabel VI-3 Simulasi Penciptaan Lapangan Kerja dari Pola Procylical vs Countercyclical
Pola Procyclical Pola Countercyclical
Selisih
Periode PTK Tidak PTK PTK Tidak PTK
(d-b)
Akumulatif*(a) Akumulatif*(b) Akumulatif*(c) Akumulatif*(d)
T1 932 932 2.277 2.277 1.345
T2 2.391 3.323 3.131 5.408 2.085
T3 2.838 6.161 3.416 8.824 2.663
T4 3.951 10.112 2.562 11.386 1.274
*Dibulatkan
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian
Regional Provinsi Kepulauan Riau

Penyerapan tenaga kerja terserap lebih awal sebagaimana tergambarkan dari


Penyerapan Tenaga Kerja yang lebih tinggi sebesar 1.345 orang di Triwulan I, 740
orang di Triwulan II, dan 578 orang di Triwulan III. Mengingat hasil simulasi tersebut
belum mencerminkan efek penciptaan lapangan pekerjaan, maka efek penciptaan
lapangan pekerjaan dari pola penyerapan anggaran yang ideal pada aplikasinya dapat
menjadi jauh lebih besar. Sehingga pada akhirnya optimalisasi penyerapan tenaga kerja
yang dihasilkan oleh penyerapan anggaran ideal tersebut pada akhirnya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam suatu daerah.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


87
Gambar VI-5 :Potensi Penerapan Pola Penyerapan Anggaran yang Ideal
terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Sumber: Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian

Penerapan Masyara- Lebih


Belanja pe- Lapangan Masyara-
pola pe- kat cepat banyak
merintah pekerjaan kat cepat PDRB
nyerapan mendapat transaksi
terserap tercipta meng- meningkat
anggaran peng- dalam
lebih awal lebih cepat konsumsi
yang ideal hasilan setahun

Regional Provinsi Kepulauan Riau

Pada gambar di atas, diilustrasikan bahwa penerapan pola penyerapan


anggaran yang ideal akan menjadikan anggaran belanja pemerintah terserap lebih
cepat. Anggaran belanja pemerintah yang terserap lebih cepat akan menciptakan
lapangan pekerjaan lebih cepat. Semakin cepat masyarakat mendapatkan pekerjaan,
semakin cepat pula masyarakat yang bekerja tersebut mendapatkan penghasilan.
Semakin cepat masyarakat mendapatkan penghasilan, semakin cepat masyarakat
mengkonsumsi barang dengan penghasilannya. Semakin cepat masyarakat
mengkonsumsi, maka perekonomian yang dalam lingkup Provinsi Kepulauan Riau
dihitung dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) akan semakin besar di akhir
tahun. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pola ideal yang menciptakan
penyerapan proporsional akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada akhirnya.

6.4. PERKEMBANGAN DANA DESA DI WILAYAH PROVINSI


KEPULAUAN RIAU
Sebagai bentuk komitmen Pemerintah Pusat untuk membangun Indonesia dari
pinggiran, pada tahun 2015 Dana Desa untuk pertama kalinya diimplementasikan di
Indonesia. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau telah melakukan
monitoring dan evaluasi (monev) atas pelaksanaan Dana Desa. Hasil monev yang
dituangkan pada kajian berjudul Analisis Perkembangan Dana Desa Pada Wilayah
Provinsi Kepulauan Riau memuat sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengkategorikan Provinsi
Kepulauan Riau ke dalam Wilayah 3 (Sumatera) yang didominasi oleh Provinsi-
Provinsi bernuansa daratan dimana untuk pembentukannya, sebuah Desa minimal
memiliki 4.000 jiwa penduduk atau 800 kepala keluarga. Padahal, Provinsi
Kepulauan Riau bernuansa kelautan dimana terdapat banyak desa-desa di pulau
yang hanya memiliki sedikit penduduk sehingga Provinsi Kepulauan Riau lebih
serumpun dengan Wilayah 8 (Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur) yang

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


88
juga bernuansa kelautan sehingga persyaratan minimal pembentukan sebuah
Desa hanya 1.000 penduduk atau 200 kepala keluarga.
2. Besaran Dana Desa Provinsi
Tabel VI-4 Dana Desa setiap Kabupaten
Kepulauan Riau merupakan yang di Provinsi Kepulauan Riau
Jumlah Besaran Dana Desa
terkecil karena jumlah Desanya No. Kabupaten
Desa per Kabupaten
paling sedikit (275) di antara 34 1 Lingga 75 21.165.423.997
2 Natuna 70 19.765.951.000
Provinsi Indonesia. Dalam 3 Anambas 52 15.188.644.000
konteks regional Sumatera, porsi 4 Karimun 42 12.272.922.000
5 Bintan 36 10.806.783.000
Provinsi Kepulauan Riau hanya Total 275 79.199.723.997
Sumber: DPJK( diolah)
sebesar 1,27%.
3. Penyaluran mengalami keterlambatan dengan rata-rata 27 hari kerja pada tahap
pertama dan 50 hari kerja pada tahap III. Penyebab utama keterlambatan Dana
Desa dari RKUN ke RKUD tersebut adalah keterlambatan penyampaian Peraturan
Bupati tentang Tata Cara Pembagian dan Penetapan Rincian Dana Desa Setiap
Desa yang merupakan persyaratan direalisasikannya penyaluran.

Tabel VI-5 Realisasi Transfer Dana Desa dari RKUD ke RKDesa


Jumlah Realisasi
Kabupaten Pagu Total %
Desa Tahap I Tahap II Tahap III
Lingga 75 21.165,42 8.466,17 8.466,17 4.233,08 21.165,42 100
Natuna 70 19.765,95 7.906,38 7.906,38 3.953,19 19.765,95 100
Anambas 52 15.188,64 6.075,46 6.075,46 3.037,73 15.188,64 100
Karimun 42 12.272,92 4.909,17 4.909,17 2.454,58 12.272,92 100
Bintan 36 10.806,78 4.322,71 4.322,71 2.161,36 10.806,78 100
Total 275 79.199,72 31.679,89 31.679,89 15.839,94 79.199,72 100
Sumber: DPJK( diolah)

4. Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai kebijakan penggunaan Dana Desa
adalah kebijakan untuk menggunakan Dana Desa dalam Bidang Prioritas, yaitu
Bidang Pembangunan Desa, dan Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa. Sesuai
dengan data realisasi penggunaan Dana Desa yang diperoleh menunjukkan bahwa
sebagian besar penggunaan Dana Desa telah digunakan untuk Bidang Prioritas.
5. Berdasarkan hasil analisa terhadap monitoring dan evaluasi Dana Desa pada
Provinsi Kepulauan Riau, dapat disimpulkan bahwa penerapan Dana Desa
memerlukan perhatian yang lebih mendalam.. Beberapa hal yang perlu untuk
diperhatikan dalam pelaksanaan Dana Desa pada tahun 2015 yaitu pertama,
penentuan besaran Dana Desa masih perlu untuk ditinjau kembali. Kedua, realisasi
transfer Dana Desa dari RKUD ke RKDesa pada tahun pertama belum sesuai
dengan peraturan.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


89
Tabel VI-6 Realisasi Transfer Dana Desa dari RKUD ke RKDesa
Rata-Rata Realisasi Penggunaan Dana Desa (% dari pagu)
Kabupaten Pembangunan Pemberdayaan Penyelenggaraan Pembinaan
Desa Masyarakat Desa Pemerintahan Desa Kemasyarakatan Desa
Karimun 66,56 26,16 1,09 0,00
Natuna 75,18 1,82 4,14 6,64
Bintan 44,66 5,45 0,00 40,22
Sumber: DPJK( diolah)

6.5. URGENSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PROVINSI


KEPULAUAN RIAU
Pada tahun 1973, Kota Batam ditetapkan sebagai area industri dengan Otorita
Batam (saat ini bernama BP Batam) sebagai eksekutor pembangunan utama. Sejak
saat tersebut, populasi Kota Batam telah meningkat dari 6.000 orang (1973) menjadi
1.035.280 orang (2015). Pertumbuhan yang tinggi tersebut mencerminkan rata-rata
pertambahan jumlah penduduk di Kota Batam mencapai 401% per tahun. bahkan
berdasarkan laporan tahunan Demographia World Urban Areas tahun 2015,
pertumbuhan populasi Kota Batam masih merupakan yang tertinggi di dunia.
Pertumbuhan populasi di Kota Batam disebabkan oleh tingkat urbanisasinya yang
sangat tinggi. Tingkat urbanisasi sendiri dapat dijadikan indikator bahwa dalam kota
tersebut tercipta lapangan pekerjaan sehingga menjadi magnet bagi para pencari kerja
dari daerah lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembangunan Kota
Batam selama lima dekade tersebut berhasil menciptakan pusat perekonomian dan
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Keberhasilan pembangunan
kota batam tersebut ditindaklanjuti dengan penetapan Batam, Bintan, dan Karimun
(BBK) sebagai FTZ pada tahun 2007 dan pembentukan BP Tanjungpinang, BP Bintan,
dan BP Karimun. Tindak lanjut tersebut dicanangkan sebagai sarana untuk mengulang
keberhasilan pembangunan Kota Batam dengan membentuk wilayah serupa di Kota
Tanjungpinang, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Karimun.
Dilihat dari indikator perekonomian, tingginya kontribusi wilayah Free Trade
Zone tersebut tercermin dalam sektor Industri Pengolahan yang berkontribusi 38,63%
terhadap PDRB menurut lapangan usaha dan kontribusi Penanaman Modal Tetap Bruto
yang mencapai 41,69% terhadap PDRB menurut pengeluaran Provinsi Kepulauan Riau
tahun 2015. Dengan porsi yang sangat signifikan tersebut, industri dan investasi ibarat
darah yang menghidupkan perekonomian di Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu,
keberhasilan pembangunan FTZ BBK sebagai wilayah industri dan investasi baru dapat
menjadi penentu keberhasilan kinerja perekonomian Provinsi Kepulauan Riau dalam
beberapa dekade yang akan datang.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


90
Sebagai negara berkembang yang memiliki banyak potensi namun kekurangan
modal untuk mengembangkan perekonomiannya, Indonesia membutuhkan suntikan
modal asing atau yang biasa dikenal dengan Foreign Direct Investment (FDI) atau
Penanaman Modal Asing (PMA). Kondisi yang serupa juga dapat menggambarkan
negara-negara berkembang lain, khususnya sebagian besar negara di wilayah Asia
Tenggara sehingga terlepas dari kerjasama ekonomi, sosial, dan politik yang dinaungi
organisasi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), terdapat persaingan yang
cukup ketat di antara negara-negara ASEAN. Dampak dari persaingan tersebut sangat
dirasakan oleh Provinsi Kepulauan Riau seperti ketika iklim investasi di Provinsi
Kepulauan Riau kurang kondusif, investor-investor berlarian memindahkan produksinya
ke negara-negara di wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Tabel VI-7 Nilai Foreign Direct Investment (FDI) ke Negara-Negara ASEAN (Jutaan USD)
Negara 2011 2012 2013 2014
Singapura 46774,30 60980,30 56138,30 72098,30
Indonesia 19241,60 19137,90 18443,80 22276,30
Thailand 3861,10 10699,20 12999,80 11537,90
Malaysia 12000,90 9400,00 12297,40 10714,00
Vietnam 7519,00 8368,00 8900,00 9200,10
Filipina 1816,00 2797,00 3859,80 6200,50
Myanmar 2058,20 1354,20 2620,90 946,20
Kamboja 891,70 1557,10 1274,90 1726,50
Brunei Darussalam 1208,30 864,80 725,50 568,20
Laos 466,80 294,40 426,70 913,20
Sumber: ASEAN Secretariat

Terlepas dari persaingan tersebut, pengintegrasian ASEAN sebagai satu pasar


dan peningkatan upah buruh di negara-negara maju telah meningkatkan daya tarik
negara-negara ASEAN sebagai tempat
penanaman modal. Indikator dari Gambar VI-6 Perkembangan Proporsi FDI per
Negara di ASEAN
fenomena tersebut dapat dilihat dari
peningkatan Penanaman Modal Asing
ke wilayah ASEAN yang terus
meningkat dengan rata-rata 14,03%
setiap tahunnya pada periode tahun
2011-2014. Peningkatan PMA yang
tinggi tersebut layak dijadikan dasar
optimisme bahwa perekonomian
negara-negara ASEAN akan terus
bertumbuh pesat dalam beberapa
dekade ke depan.
Sumber: ASEAN Secretariat (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


91
Bagi negara Indonesia sendiri, peningkatan PMA ke ASEAN tersebut disertai
munculnya tantangan baru yang berasal dari persaingan antar negara ASEAN dalam
menarik PMA. Dilihat dari sisi rata-rata pertumbuhan PMA ke Indonesia, pada periode
yang sama hanya sebesar 5,26%, jauh di bawah rata-rata regional ASEAN. Dilihat dari
perkembangan proporsi PMA per negara dari seluruh PMA yang masuk ke regional
ASEAN, Indonesia mencatatkan penurunan proporsi dari 20,08% menjadi 16,36% di
saat beberapa negara lainnya mencatatkan kenaikan. Bahkan, peningkatan proporsi
negara Thailand yang memiliki karakteristik serupa dengan Indonesia meningkat lebih
dari dua kali lipat pada periode yang sama.
Dikaitkan dengan perekonomian Provinsi Kepulauan Riau yang mengandalkan
investasi dalam pertumbuhannya, tantangan tersebut, sebagaimana telah dibahas pula
pada faktor ancaman Provinsi Kepulauan Riau di Sub Bab 5.2 merupakan fenomena
yang harus mendapatkan perhatian khusus. Salah satu imbas dari persaingan tersebut
dapat dilihat di Kawasan Industri Lobam di Bintan. Pada puncaknya, Kawasan Industri
Lobam memiliki lebih dari 40 perusahaan yang memperkerjakan lebih dari 16.000
pekerja. Jumlah tersebut menurun menjadi kurang dari 10 perusahaan yang
memperkerjakan sekitar 7.000 buruh di tahun 2012 karena banyaknya investor yang
hengkang sebagaimana dilansir media Haluan Kepri dan Batam Today. Sampai dengan
tahun 2015 tidak ada tanda-tanda perbaikan atau investor-investor baru yang
menanamkan modal di Kawasan Industri Lobam, sehingga sudah sewajarnya
pemerintah segera mengambil tindakan untuk membalikkan pola negatif tersebut.
Apabila terjadi keterlambatan dalam pengambilan tindakan, maka potensi besar
sebagai jalur perdagangan internasional dan pusat industri yang dimilik Provinsi
Kepulauan Riau khususnya di FTZ BBK akan direbut oleh negara-negara kompetitor.
Ditambah dengan fakta bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau Asean
Economic Community (AEC) akan segera diberlakukan, kecepatan dalam bertindak
sangat krusial bagi Provinsi Kepulauan Riau dalam menentukan apakah wilayahnya
akan menjadi penyumbang ekspor yang sangat signifikan bagi Indonesia atau malah
menjadi pintu masuk banjirnya barang-barang impor dari negara-negara di wilayah Asia
Tenggara.
Pada umumnya, magnet investasi suatu daerah ditentukan oleh ketersediaan
infrastruktur, buruh yang kompetitif, perizinan yang mudah dan insentif fiskal. Pada
kasus Provinsi Kepulauan Riau, penyebab penurunan performa dalam menarik investor
adalah tingkat upah yang sudah relatif tinggi dan pelayanan perizinan belum optimal
sebagai imbas dari adanya dualisme otoritas antara Pemkot Batam dan BP Batam
(untuk wilayah FTZ Batam). Untuk mengembalikan magnet investasi Provinsi

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


92
Kepulauan Riau, pemerintah harus membenahi kedua masalah tersebut dan/atau
memperbaiki elemen-elemen lainnya yang juga dapat mempengaruhi daya saing.

Tabel VI-8 Perkembangan Alokasi Belanja Infrastruktur Pemerintah Pusat (dalam jutaan rupiah)
Pagu Perubahan
No. Jenis Pembangunan
2014 2015 (%)
1 Gedung dan Bangunan 204.711 223.232 9,05%
2 Jalan dan Jembatan 382.718 386.438 0,97%
3 Bandar Udara 79.745 318.059 298,85%
4 Pelabuhan 281.503 435.694 54,77%
5 Listrik 49.233 51.441 4,48%
6 Peralatan dan Mesin 108.142 303.917 181,04%
TOTAL 1.108.066 1.720.795 55,30%
Sumber: Monev PA DJPBN (diolah)

Dari sisi infrastruktur, Pemerintah Pusat berada pada jalur yang tepat untuk
meningkatkan daya saing Provinsi Kepulauan Riau dengan peningkatan alokasi belanja
infrastruktur dengan rata-rata kenaikan 39,39% pada periode tahun 2011-2015. Adapun
belanja tersebut diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur bandara dan pelabuhan
sebagaimana tercermin dari kenaikan alokasinya yang paling signifikan di tahun 2015
dibandingkan dengan jenis infrastruktur lainnya. Prioritas tersebut sangat sesuai
dengan Provinsi Kepulauan Riau yang bercirikan kepulauan sehingga interkonektivitas
antar pulau akan semakin membaik dan daya tarik investasi di mata investor juga akan
turut meningkat.

Gambar VI-7 Sebaran Alokasi Belanja Infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau Taun 2015

Kab. Natuna
Rp. 113,67 miliar (6,61%)

Kab. Kep. Anambas


Rp.223,53 miliar (13,01%)

Kota Batam
Rp.804,21 miliar (46,79%)

Kab. Karimun
Kab. Bintan
Rp.91,89 miliar (5,35%)
Rp.34,67 miliar (2,02%)

Kota Tanjungpinang
Kab. Lingga Rp. 208,04 miliar (12,10%)
Rp.242,75 miliar (14,12%)

Sumber: Monev PA DJPBN (diolah)

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


93
Berdasarkan lokasinya, pembangunan infrastruktur di tahun 2015 masih
terkonsentrasi di Batam dengan porsi yang mencapai 46,79%. Dikaitkan dengan indeks
fisik infrastruktur di sub bab 5.2., hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan
infrastruktur masih terkonsentrasi di FTZ Batam yang kualitas infrastrukturnya sudah
dapat bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sementara itu, wilayah FTZ
Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun yang masih harus mengejar ketertinggalan
kualitas infrastruktur belum mendapatkan perhatian yang maksimal dari pihak
pemerintah. Dalam konteks kesejahteraan regional Provinsi Kepulauan Riau, hal
tersebut dapat menghambat terbentuknya wilayah investasi kompetitif baru yang akan
menarik lebih banyak FDI dan meningkatkan pemerataan pembangunan.
Di sisi lain, kenaikan
Gambar VI-8 Perkembangan Alokasi vs Realisasi
alokasi yang signifikan tersebut Belanja Infrastruktur (dalam miliaran rupiah)
tidak sejalan dengan persentase
realisasi belanja infrastruktur yang
cenderung menurun. Realisasi
yang tidak optimal dapat menjadi
hambatan dalam mencapai visi
wilayah Provinsi Kepri yang Sumber: Monev PA DJPBN (diolah)
business-friendly. Hal tersebut
disebabkan oleh permasalahan-permasalahan yang terjadi saat eksekusi. Adapun
identifikasi permasalahan dan rekomendasi pemecahannya adalah sebagai berikut:

Tabel VI-9 Permasalahan dan Rekomendasi Belanja Infrastruktur


Permasalahan Rekomendasi
1. Perencanaan yang kurang 1. Peningkatan koordinasi antara pihak
komprehensif akan fesibilitas suatu perencana, regulator, dan eksekutor
proyek dan kurangnya pemahaman pembangunan infrastruktur dalam
atas urgensi pembangunan infrastruktur rangka penyamaan visi akan adanya
di kepri dimana terdapat kekhususan urgensi pembangunan infrastruktur
dalam sisi persaingan yang ketat di kepri sehingga tercipta
dengan negara asia tenggara lainnya perencanaan, aturan, dan
dalam menarik investor sehingga pelaksanaan yang mempermudah
terdapat potential loss yang besar bagi percepatan pembangunan.
provinsi kepri apabila terjadi
keterlambatan eksekusi belanja
infrastruktur penunjang iklim investasi.

2. Kurangnya kompetensi pejabat-pejabat 2. Peningkatan intensitas sosialisasi


instansi eksekutor pembangunan dalam dan pelatihan yang bermutu pada
perencanaan, eksekusi sampai dengan pihak eksekutor tentang
pertanggungjawaban penganggaran penganggaran dan prioritasi
sehingga menimbulkan ketakutan yang penempatan pejabat yang
tidak perlu akan timbulnya perkara berkompetensi tinggi dalam posisi-
yuridis di kemudian hari. posisi strategis di instansi eksekutor
Sumber: Kanwil DJPBN Provinsi Kepulauan Riau

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


94
BAB VII Penutup
Terdapat urgensi percepatan pembangunan
infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau
untuk mempertahankan iklim investasi dalam
era persaingan negara-negara ASEAN
memperebutkan FDI

8.1. KESIMPULAN
Hasil pengkajian terhadap perkembangan fiskal dan makroekonomi di Provinsi
Kepulauan Riau pada tahun 2015 menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sebagai provinsi yang terletak di jalur perdagangan internasional, Provinsi
Kepulauan Riau terkena dampak yang lebih besar dari ketidakstabilan
perekonomian global sebagaimana tercermin dari perlambatan pertumbuhan
perekonomian sebesar 130 basis menjadi 6,02% di tahun 2015. Sementara, di
tingkat nasional perekonomian hanya melambat sebesar 23 basis poin.
2. Realisasi penerimaan pajak tahun 2015 meningkat 1,68% namun meleset 25,04%
dari target. Penyebabnya adalah agregasi dari peningkatan target yang sangat
tinggi (44,91%) dan dampak ketidakstabilan perekonomian global yang signifikan
terhadap volume perdagangan internasional sehingga PPN Impor menurun drastis.
3. Anjloknya harga komoditas dunia (khususnya minyak dan gas) yang merupakan
salah satu sumber penerimaan andalan di Provinsi Kepulauan Riau berdampak
besar terhadap penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) Pemerintah Daerah yang
menurun hingga 44,54%. Kapasitas fiskal pemda juga mengalami penurunan
drastis karena di tahun sebelumnya penerimaan DBH berkontribusi sebesar
48,91% terhadap keseluruhan penerimaan dana perimbangan.
4. Analisis sektor unggulan dan subsektor unggulan tahun 2015 dari BPS Provinsi
Kepulauan Riau mengidentifikasikan 1 sektor unggulan dan 7 subsektor unggulan.
Dikaitkan dengan analisis SWOT dari kondisi Provinsi Kepulauan Riau, sektor dan
subsektor tersebut dapat dikerucutkan menjadi 1 sektor dan 5 sub sektor yang
layak diproritaskan. Sektor yang layak diprioritaskan adalah sektor Konstruksi
khususnya pada jenis Bangunan Sipil (Infrastruktur) karena akan mendukung iklim
investasi, sedangkan 5 Sub sektor yang layak diprioritaskan adalah:

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


95
a. Sub sektor industri Information and Communication Technology (ICT) karena
prospek jangka panjang yang baik, karakteristik resilien terhadap pasang surut
industri akibat perubahan teknologi, ketergantungan Indonesia akan impor
produk ICT yang tinggi, dan termasuk industri prioritas dalam PP 14/2015
b. Sub sektor industri alat angkutan khususnya alat angkutan perairan karena
Provinsi Kepulauan Riau mengandalkan moda transportasi laut dalam
meningkatkan interkonektivitas wilayah. Selain itu, sub sektor industri alat
angkutan juga termasuk industri prioritas dalam PP 14/2015
c. Sub sektor ketenagalistrikan khususnya untuk pembangkit listrik tenaga surya
karena potensi energi surya di daerah tropis yang tinggi, sistem jaringan listrik
tidak perlu terhubung satu sama lain (cocok untuk kepulauan), dan kesesuaian
dengan konsep hijau dan berkelanjutan (green and sustainable)
d. Sub sektor angkutan laut karena provinsi yang bercirikan kepulauan
membutuhkan sektor angkutan laut yang kuat untuk menekan biaya logistik,
meningkatkan interkonektivitas wilayah dan menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang inklusif.
e. Sub sektor penyediaan akomodasi karena potensi keindahan alam Provinsi
Kepulauan Riau dan tingkat kunjungan wisatawan yang tinggi (nomor 3 setelah
Bali dan Jakarta).
5. Defisit cash flow mencapai 4,07 triliun atau 35,24% dari total pengeluaran
Pemerintah Pusat di Provinsi Kepulauan Riau. Penyebabnya adalah target
perpajakan yang meleset 25,04% dan peningkatan alokasi belanja modal hingga
77,16% sebagai implikasi dari komitmen Pemerintah Pusat untuk memprioritaskan
wilayah bercirikan maritim dan wilayah terluar seperti Provinsi Kepulauan Riau.
6. Penerapan pola countercyclical berpotensi mendorong perekonomian karena
manfaat lebih cepat dirasakan masyarakat dan inisiasi efek multiplier terhadap
perekonomian yang muncul lebih awal.
7. Hasil monev implementasi perdana Dana Desa di Provinsi Kepulauan Riau
menemukan bahwa pengkategorian Provinsi Kepulauan Riau yang bernuansa
kelautan ke dalam Wilayah 3 (Sumatera) yang bernuansakan terrestrial masih
kurang sesuai. Selain itu, terdapat keterlambatan penyaluran dari RKUN ke RKUD
karena penyampaian Peraturan Bupati terlambat.
8. Terdapat urgensi percepatan pembangunan infrastruktur untuk mempertahankan
daya saing Provinsi Kepulauan Riau, khususnya pada Free Trade Zone Batam,
Bintan, Karimun (FTZ BBK) yang membutuhkan investasi besar dalam
mengembangkan industrinya. Urgensi tersebut didorong oleh persaingan negara-
negara ASEAN dalam menarik Penanaman Modal Asing (PMA) yang semakin

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


96
ketat. Pengalokasian dana untuk infrastruktur sendiri sudah meningkat dengan
signifikan, namun eksekusi proyek-proyek infrastruktur tersebut masih banyak yang
terhambat di Tahun Anggaran 2015.

8.2. REKOMENDASI
Berdasarkan kesimpulan dari kajian terhadap kondisi fiskal dan makrekonomi,
maka Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Provinsi Kepulauan Riau perlu
melakukan sinkronisasi untuk memberikan perhatian lebih terhadap hal-hal berikut:
1. Terkait urgensi pembangunan infrastruktur, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi
Kepulauan Riau dapat membuka dialog dengan pihak perencana, regulator, dan
eksekutor pembangunan infrastruktur dalam rangka membangun kesadaran akan
adanya urgensi pembangunan infrastruktur di Provinsi Kepulauan Riau di tengah
era persaingan negara-negara ASEAN dalam menarik Penanaman Modal Asing
(PMA). Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau juga dapat
menyelenggarakan pelatihan untuk membantu meningkatkan kemampuan pejabat
perbendaharaan di satker-satker lingkup Provinsi Kepulauan Riau. Selain itu Tim
TP4D dan BPKP dapat menggiatkan pendampingan untuk proyek-proyek
infrastruktur strategis di lingkup Provinsi Kepulauan Riau.
2. Antisipasi terhadap ketidakstabilan kondisi perekonomian global yang mungkin
masih berlanjut dan berdampak terhadap penerimaan negara maupun penerimaan
daerah. Untuk itu, belanja pemerintah harus diprioritaskan ke pembangunan
infrastruktur yang akan meningkatkan iklim investasi dan menarik banyak PMA di
era persaingan negara-negara ASEAN sebelum potensi dari letak geografis di jalur
perdagangan internasional dimanfaatkan terlebih dahulu oleh negara lain.
3. Dalam rangka mengoptimalkan manfaat dari belanja pemerintah dengan
menerapkan pola penyerapan anggaran yang ideal, Ditjen Perbendaharaan dapat
mengusulkan mekanisme dimana target penyerapan berdasarkan rencana
pencairan dana per triwulan dijadikan Indikator Kinerja Utama (IKU) Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Perbendaharaan di satker terkait. Sistem
reward and punishment diberikan bagi satker-satker yang dapat atau tidak dapat
mencapai target yang dibuat. Selain itu, kantor vertikal Ditjen Perbendaharaan dapat
mensosialisikan bahwa pola penyerapan anggaran yang ideal dapat membantu
mensejahterakan masyarakat, mempercepat penyaluran kembali pajak kepada
masyarakat dan mengoptimalkan manfaat dari keputusan pemerintah untuk menarik
hutan dengan harapan terbentuknya kesamaan visi di antara eksekutor anggaran di
lapangan.

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


97
4. Untuk memaksimalkan manfaat Dana Desa bagi masyarakat desa, khusus untuk
Provinsi Kepulauan Riau sebaiknya dilakukan pengkategorian ulang ke wilayah 8
yang bernuansa kelautan. Terkait dengan keterlambatan penyaluran, Kementerian
Keuangan, Kemendes PDTT, dan Kemendagri sebaiknya berkoordinasi dan
meningkatkan intensitas pendampingan Pemerintah Daerah dalam implementasi
dana desa. Kebijakan Dana Desa yang lebih tepat sasaran juga diharapkan dapat
menekan kesenjangan pendapatan (gini ratio) yang terus meningkat.
5. Memberikan prioritas terhadap satu sektor dan lima sub sektor yang merupakan
sektor unggulan dan searah dengan analisis SWOT kondisi Provinsi Kepulauan
Riau dengan cara:
a. Mendorong sektor konstruksi khususnya bangunan sipil berupa infrastruktur
dengan meningkatkan belanja modal pemerintah. Fokus pembangunan dapat
diarahkan ke infrastruktur FTZ Tanjungpinang, Bintan, dan Karimun yang masih
kurang kompetitif dibandingkan infrastruktur FTZ Batam.
b. Sub sektor industri ICT dan alat angkutan dapat didorong dengan memberikan
insentif fiskal untuk perintis dan untuk perusahaan yang melakukan proses
produksi dari hulu ke hilir. Pemerintah Pusat juga dapat mendesain wilayah-
wilayah industri bertema dan didukung oleh satker-satker kementerian
ketenagakerjaan setempat yang memberikan pelatihan khusus industri tersebut.
Selain itu, BKPM dapat bertindak proaktif dengan mengajukan kerja sama ke
perusahaan-perusahaan ternama untuk merintis industri dan melatih SDM
seperti IPA Costa Rica yang mengajukan proporsal kerja sama dan berhasil
membujuk Intel untuk membangun industri IT di negaranya.
c. Penerapan energi surya dengan jaringan terpisah untuk membangun sub sektor
ketenagalistrikan secara efisien dan efektif di Provinsi Kepulauan Riau yang
bercirikan kepulauan dapat dimulai dengan mendorong Kementerian ESDM
untuk melakukan feasibility study. Apabila hasil studi mengkonfirmasi efisiensi
biaya yang dapat diciptakan, pemerintah dapat menggandeng perusahaan-
perusahaan asing yang memproduksi solar cell untuk membangun industri
tersebut di Provinsi Kepulauan Riau dan menjamin pembelian atas hasil
produksinya.
d. Sub sektor penyediaan akomodasi dapat didorong dengan promosi yang tepat
sasaran, pengembangan infrastruktur untuk menjangkau wilayah pariwisata
tertentu, dan menggandeng Singapura dan Malaysia untuk konservasi wilayah
perairan selat malaka yang keindahan alamnya rawan tercemar lalu lintas kapal.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


98
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. 2015. Analisis Sektor Unggulan
Kepulauan Riau Tahun 2015. Tanjungpinang: Badan Pusat Statistik Provinsi
Kepulauan Riau.

--------------. 2016. Statistik Daerah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015.


Tanjungpinang: Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau.

Badan Pusat Statistik Kota Batam. 2015. Statistik Daerah Kota Batam Tahun 2015.
Batam: Badan Pusat Statistik Kota Batam.

Badan Pusat Statistik. 2015. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 2015. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2015. Statistik Daerah Provinsi Bali Tahun 2015.
Denpasar: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2013. Buku III: Rencana Pembangunan


Berdimensi Kewilayahan. Jakarta: Bappenas.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Kelautan dan Perikanan dalam Angka
Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kementerian Perindustrian. 2015. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional


2015-2035. Jakarta: Kementerian Perindustrian.

Perusahaan Listrik Negara (PLN). April 2015. Statistik PLN 2014. Jakarta: PT
Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau. 2014. Perkembangan Terkini


Makro Ekonomi Regional Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau.

Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kepulauan Riau. Potensi Migas Wilayah Kerja
Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.
(www.dpekepri.org diakses tanggal 20 Februari 2016).

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. 2013. Analisis


Realisasi APBD Tahun Anggaran 2012. Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan Kementerian Keuangan.

Brown, Ken W. 1993. The 10-Point Test of Financial Condition: Toawrd an Easy-to-Use
Assessment Tool for Smaller Cities. Government Finance Review, Desember
1993

Broadfoot, C. Robert. 2003. Final Batam Report. Hong Kong: Political and Economic
Risk Consultancy, Ltd.- PERC

Demographia. 2015. Demographia World Urban Areas 11th Annual Edition: 2015:01.
Belleville: Demographia

Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau


99
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau. Januari
2016. Kajian Pengaruh Belanja Pemerintah Terhadap Perekonomian Regional
Provinsi Kepulauan RIau. Tanjungpinang: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau.

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau. Januari


2016. Analisis Perkembangan Dana Desa pada Wilayah Provinsi Kepulauan Riau.
Tanjungpinang: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi
Kepulauan Riau.

Nor-Afidah. 2005. Growth Triangle. Singapura: Singapore National Library Board.

Marinevesseltraffic: Malacca Strait Marine Traffic. Juli 2013.


(http://www.marinevesseltraffic.com/ diakses tanggal 21 Februari 2016)

The World Economic Forum: The World’s Most Important Trade Route. Mei 2014.
(http://www.weforum.org/ diakses tanggal 21 Februari 2016)

Deutsche Bank Research: Container Port. 25 April 2006. (http://www.dbresearch.com/


diakses tanggal 21 Februari 2016)

The World Economic Forum: Why Foreign Investment in Vietnam is Booming. Mei 2014.
(http://www.weforum.org/ diakses tanggal 22 Februari 2016)

Council for the Development of Cambodia, Cambodian Investment Board, & Cambodian
Special Economic Zone Board: Investment Incentives. 2015.
(http://www.cambodiainvestment.gov.kh/ diakses tanggal 22 Februari 2016)

Haluan Kepri. 14 Agustus, 2012. 17 Perusahaan Hengkang,


http://haluankepri.com/bintan/32666-17-perusahaan-hengkang-.html

Batam Today. 27 Agustus, 2013. Kawasan Industri Lobam Terus Alami Kemunduran,
http://www.batamtoday.com/berita32548-Kawasan-Industri-Lobam-Terus-Alami-
Kemunduran.htmsl

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batu Bara. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 4959. Sekretariat Negara.
Jakarta

Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 tentang


Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan
Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah
Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Lembaran Negara RI Tahun 2012, No. 5277. Sekretariat Negara. Jakarta

Moran, Theodore H. 2016. Who’s Investing?, GeorgetownX, Washington, United States


of America. 8 mins.

Moran, Theodore H. 2016. Attracting Foreign Direct Investment: The Case of Costa Rica,
GeorgetownX, Washington, United States of America. 6 mins.

Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II


100
Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau
101

You might also like