You are on page 1of 15

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK MENGENAI STUNTING DAN KETERKAITAN

PENERAPAN DI MASYARAKAT DONOWARIH

Disusun oleh:
Nama :
NPP :
Kelas :

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN


INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
2023
KATA PENGANTAR

Stunting merupakan permasalahan yang semakin banyak ditemukan


dinegara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations
InternationalChildren’s Emergency Fund (UNICEF) satu dari tiga anak
mengalamistunting. Sekitar 40% anak di daerah pedesaan mengalami
pertumbuhan yang terhambat. Oleh sebab itu, UNICEF mendukung sejumlah
inisiasi untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi melalui
peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition – SUN) di mana
program ini mencangkup pencegahan stunting.(1) Stunting didefinisikan sebagai
keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di
bawah median panjang atau tinggi badan. Stunting juga sering disebut sebagai
Retardasi. Pertumbuhan Linier (RPL) yang muncul pada dua sampai tiga tahun
awalkehidupan dan merupakan refleksi dari akibat atau pengaruh dari asupan
energidan zat gizi yang kurang serta pengaruh dari penyakit infeksi, karena
dalamkeadaan normal, berat badan seseorang akan berbanding lurus atau linier
dengan tinggi badannya.(2) Ada 178 juta anak didunia yang terlalu pendek
berdasarkan usia dibandingkan dengan pertumbuhan standar WHO. Prevalensi
anak stunting di seluruh dunia adalah 28,5% dan di seluruh negara berkembang
sebesar 31,2%. Prevalensi anak stunting dibenua Asia sebesar 30,6% dan di Asia
Tenggara sebesar 29,4%. Permasalahan stunting di Indonesia menurut laporan
yang dikeluarkan oleh UNICEF yaitu diperkirakan sebanyak 7,8 juta anak
mengalami stunting, sehingga UNICEF memposisikan Indonesia masuk kedalam
5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi. Data Riset
Kesehatan Dasar pada tahun 2013 diketahui bahwa prevalensi kejadian stunting
secara nasional adalah 37,2 %, dimana terdiri dari 18,0 % sangat pendek dan 19,2
% pendek, yang berarti telah terjadi peningkatan sebanyak 1,6 % pada tahun 2010
(35,6 %) dan tahun 2007 (36,8 %).(3-5) Stunting merupakan indikator
keberhasilan kesejahteraan, pendidikan dan pendapatan masyarakat. Dampaknya
sangat luas mulai dari dimensi ekonomi, kecerdasan, kualitas, dan dimensi bangsa
yang berefek pada masa depan anak. Anak usia 3 tahun yang stunting severe (-3 <
z ≤ 2) pada laki-laki memiliki kemampuan membaca lebih rendah 15 poin dan
perempuan 11 poin dibanding yang stunting mild (z > -2). Hal ini mengakibatkan
penurunan intelegensia (IQ), sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan tidak
dapat melanjutkan sekolah. Bila mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara
pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang berakibat
penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak dapat
mencukupi kebutuhan pangan. Karena itu anak yang menderita stunting
berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada
kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa, sehingga akan
menjadi beban negara.(6) Efek jangka panjang stunting berakibat pada gangguan
metabolik seperti penyakit yang terkait dengan obesitas,hipertensi dan diabetes
mellitus. Menurut Walker pemberian zat gizi yang tidak tepat pada perkembangan
janin, saat lahir dan masa bayi dapat memberikan dampak jangka panjang buruk
terhadap kardiovaskulaer dan tekanan darah pada saat dewasa. Retardasi
pertumbuhan postnatal memilik potensi terhadap berat badan sekarang dengan
tekanan darah. Tekanan darah pada memiliki hubungan negatif terhadap berat
lahir. Penelitian di Bali menyebutkan prevalensi dewasa stunting sebesar 22%.
Penelitian lain menyebutkan bahwa dewasa stunting cenderung berkembang untuk
menjadi overweight daripada dewasa non-stunting. (7, 8) Anak dengan status gizi
stunting akan mengalami gangguan pertumbuhan hingga masa remaja sehingga
pertumbuhan anak lebih rendah dibandingkan remaja normal. Remaja yang
stunting berisiko mendapatkan penyakit kronik salah satunya adalah obesitas.
Remaja stunting berisiko obesitas dua kali lebih tinggi dari pada remaja yang
tinggi badannya normal (Riskesdas 2010). Oktarina tahun 2013 mengatakan hal
sama bahwa anak yang mengalami stunting pada dua tahun kehidupan pertama
dan mengalami kenaikan berat badan yang cepat, berisiko tinggi terhadap
penyakit kronis, seperti obesitas.Obesitas merupakan suatu kelainan atau penyakit
yang ditandai oleh penimbunan jaringan lemak dalam tubuh secara berlebihan.
Obesitas terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk
dengan energi yang keluar. (10) Obesitas terutama disebabkan oleh faktor
lingkungan. Faktor genetik meskipun diduga juga berperan tetapi tidak dapat
menjelaskan terjadinya peningkatan prevalensi obesitas. Pengaruh faktor
lingkungan terutama terjadi melalui ketidakseimbangan antara pola makan,
perilaku makan dan aktivitas fisik. Hal ini terutama berkaitan dengan perubahan
gaya hidup yang mengarah pada sedentary life style. (11) Banyak sekali resiko
gangguan kesehatan yang dapat terjadi pada anak atau remaja yang mengalami
obesitas.Anak dengan obesitas dapat mengalami masalah dengan sistem jantung
dan pembuluh darah(kardiovaskuler) yaitu hipertensi dan dislipin media (kelainan
pada kolesterol).Anak juga bisa mengalami gangguan fungsi hati dimana terjadi
peningkatan SGOT dan SGPT serta hati yang membesar. Bisa juga terbentuk hati
empedu dan penyakit kencing manis (diabetes mellitus). Pada sistem pernafasan
dapat terjadi gangguan fungsi paru, mengorok saat tidur, dan sering mengalami
tersumbatnya jalan nafas (obstructive sleep apnea). (10) Anak yang stunting
berisiko dua kali untuk menderita obesitas dibandingkan anak yang tidak stunting.
Strategi untuk mencegah terjadinya obesitas pada remaja stunting salah satunya
adalah dengan memberikan penyuluhan kepada remaja menyangkut obesitas dan
upaya pencegahan yang harus dilakukan, sehingga dapat meningkatkan
pengetahuan remaja tentang upaya pencegahan obesitas.(12) Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu,dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu objektertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia
yakniindra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besarpengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.(12) Penyuluhan di
sekolah membutuhkan media agar penyampaian informasi mudah diterima oleh
para remaja putri. Media dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi dalam penyuluhan atau pelatihan yaitu efektivitas penyampaian
informasi.Media dibutuhkan untuk mengembangkan informasi dalam upaya
mendukung program penyuluhan dan pemahaman di sekolah.(Notoatmodjo,
2003). Media dalam penyuluhan kesehatan dapat diartikan sebagai alat bantu
untuk promosi kesehatan untuk memperlancar komunikasi dan penyebarluasan
informasi. Media yang digunakan dalam penyuluhan adalah leaflet dan slide
share.

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................i

Daftar Isi.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

Latar Belakang.........................................................................................1

Rumusan Masalah...................................................................................1

Tujuan dan Manfaat.................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................8

Gambaran stunting secara Global dan Nasional ...............................8

Problematika stunting Desa Donowarih ............................................13

Anggaran Untuk Pencegahan stunting di Desa Donowarih...............19

Analisis Kesehatan di Desa Donowarih.............................................25

Analisis Sumber Daya........................................................................

BAB III PENUTUP......................................................................................29

Kesimpulan..............................................................................................39

Saran.......................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengkajian kebijakan publik, tentunya akan menyasar pada
beberapa aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
baik dari segi sosial, ekonomi, budaya kesehatan dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, kebijakan publik telah didefinisikan oleh para ahli
dengan melihat konteks penerapannya dalam penciptaan sebuah
regulasi yang berkaitan dengan kepentingan umum. Menurut David
Easton sebagaimana dikutip Leo Agustino (2009: 19) memberikan
definisi kebijakan publik sebagai “The autorative allocation of values for
the whole society”. Selain itu Thomas R Dye sebagaimana dikutip Islamy
(2009: 19) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Is whatever
government choose to do or not to do” (apapun yang dipilih pemerintah
untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Berdasarkan pada definisi
tersebut terakumulasi dalam sebuah kesimpulan bahwa kebijakan publik
adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan
masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk
melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan- ketentuan atau
peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah sehingga
memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.
Secara teoritis dapat dipahami bahwa kebijakan publik memiliki
koherensi yang sangat kompleks, sehingga menuntut adanya standar
yang baku dalam mengukur tentang layak atau tidaknya sebuah
kebijakan publik itu dilahirkan. Sehubungan dengan hal tersebut,
Suharno (2010: 31) memberikan standarisasi kebijakan publik yang
harus memperhatikan beberapa variable antara lain tujuan yang ingin
dicapai dari kebijakan tersebut, preferensi nilai apa yang perlu
dipertimbangkan, sumber daya yang mendukung kebijakan, kemampuan
faktor yang mendukung kebijakan, kemampuan aktor yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan, lingkungan yang mencakup lingkungan sosial,
ekonomi, politik dll, dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan variabel-variabel tersebut, jika dihubungkan dengan
konteks kebijakan pemerintahan saat ini dalam bidang kesehatan,
Indonesia memfokuskan kebijakan pada permasalah stunting. Indonesia
dalam catatan Kementrian Kesehatan berdasarkan pada Riset
Kesehatan Dasar (Riskesda) Indonesia masuk dalam lima besar sebagai
negara dengan status gizi balita yang menderita stunting dengan angka
30.8 % di tahun 2018 yang mengalami penurunan dibandingkan pada
tahun 2013 yang berkisar di angka 37,2 %. Berkaitan dengan hal ini,
pemerintah melalui regulasi telah menjadikan stunting sebagai sebuah
prioritas dalam pengentasannya di masyarakat. Hal ini memang menjadi
penting karena implikasi dari adanya stunting sangat berdampak pada
perkembangan sumber daya manusia Indonesia sehingga harus
diperhatikan sejak dilahirkan.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan Peraturan Presiden No. 42
tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
(GERNAS PPG) yang termaktub dalam RPJMN 2015-2019. Lahirnya
regulasi tersebut memperhatikan berbagai aspek dalam penuntasan
stunting di Indonesia. Kebijakan ini kemudian menjadi ultimatum untuk
desa-desa melalui Permenkeu 61/PMK.07/2019, dana desa untuk
mendukung pelaksanaan kegiatan intervensi pencegahan stunting
terintegrasi. Berkaitan dengan hal tersebut setiap desa harus
mengalokasikan dana untuk perbaikan stunting di desa. Sehubungan
dengan tindakan pelaksanaan teknis di desa, peneliti mengambil studi
kasus di Desa Donowari, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang
untuk mengetahui serapan dana yang diatur berdasarkan regulasi di atas
dalam menuntaskan permasalahan stunting
Hal ini menjadi penting sebagai bentuk upaya dalam melihat
korelasi dan implementasi kebijkan publik tentang stunting dari desa.
Tentunya berdasarkan fakta yang ditemukan bahwa dana desa yang
diperuntukkan untuk penanganan stunting di Desa Donowarih masih
terlampau sedikit walaupun intensitas kasus yang terjadi relative kecil.
Namun menjadi catatan bahwa instruksi pemerintah pusat mewajibkan
adanya penanganan tindak lanjut sehingga tidak stagnan pada
penanganan saja melainkan juga pada pencegahan. Dengan demikian
melalui penelitian ini, peneliti memfokuskan pada aspek relevansi
kebijakan publik dan fakta penerapannya di lapangan guna memberikan
solusi efektif tentang pemanfaatan dana desa yang seharusnya lebih
banyak untuk penanganan stunting

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berikut dapat ditarik dari latar belakang
sebelumnya:
1.Bagaimana upaya yang ditempuh oleh Pememerintah Desa Donowarih
dalam melakukan pencegahan stunting pada warganya?

C. Tujuan dan Manfaat


Makalah ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kebijakan
yang dicanangkan oleh pemerintah desa dan relevansi penerapannya di
masyarakat. Berikutnya, kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah
desa akan ditelaah berdasarkan pada analisis kebijakan publik, indikator
permasalahan yang ditemukan dalam implementasi kebijakan, dan saran
atau rekomendasi kebijakan dalam pencegahan stunting di Desa
Donowarih.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran Stunting Secara Global dan Nasional


a. Situasi Global
Pencegahan stunting merupakan program nasional yang didasarkan
pada dikeluarkan Peraturan Presiden Republic Indonesia No.42
tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Aturan
ini kemudian diterjemahkan oleh setiap instansi terkait sebagai penjabaran
lebih lanjut tentang aturan terkait. Sehubungan dengan hal tersebut,
pemerintah mencanangkan program intervensi pencegahan stunting
terintegrasi yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga. Pada tahun
20181, ditetapkan 100 kabupaten di 34 provinsi sebagai lokasi prioritas
penurunan stunting. Jumlah ini akan bertambah sebanyak 60 kabupaten
pada tahun berikutnya. Dengan adanya kerjasama lintas sektor ini
diharapkan dapat menekan angka stunting di Indonesia sehingga dapat
tercapai target Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2025
yaitu penurunan angka stunting hingga 40%.
Pada tahun 20172 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada
tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia, berasal dari Asia
(55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6
juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan
(58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Berdasarkan
data dari World Health Organization (WHO)3 tahun 2017 tentang data
stunting yang dikumpulkan Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga
dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia
Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun
2005-2017 adalah 36,4%.

b. Situasi Nasional
Berdasarkan sumber yang sama menunjukkan bahwa kasus stunting
(pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)4 selama tiga tahun terakhir
memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti
gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami
peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Berdasarkan data tersebut, pemerintah menggagas sebuah kebijakan
percepatan penanganan stunting dengan beberapa produk kebijakan antara
lain dengan pemerintah 1.000 desa prioritas intervensi stunting yang berada di
100 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Penetapan 100 kabupaten/kota prioritas
ditentukan dengan melihat indikator jumlah balita stunting (Riskesdas 2013),
prevalensi stunting (Riskesdas 2013), dan tingkat kemiskinan (Susenas 2013)
hingga terpilih minimal satu kabupaten/kota dari seluruh provinsi. Sedangkan
untuk pemilihan desa, ditentukan dengan melihat jumlah penduduk desa (data
BPS dan Kemendagri tahun 2015), jumlah penduduk miskin desa (basis data
terpadu BPS/TNP2K), tingkat kemiskinan desa (hasil perhitungan tingkat
kemiskinan tahun 2014), dan penderita gizi buruk di desa selama 3 tahun
terakhir. Dari perhitungan ini dipilih 10 desa di setiap kabupaten/ kota kecuali
Kepulauan Seribu (diambil seluruh desa yaitu 6 desa) dan sisa 4 desa
dialokasikan ke Kabupaten Timor Tengah Selatan, Alor, Lembata, dan
Tambrauw. masing-masing 1 desa.

Dengan demikian untuk bisa menganalisis kebijakan penanganan stunting


di Desa Donowarih sebagai bagian dari program pemerintah untuk
penanganan stunting, perlu dikaji berdasarkan pada kriteria yang telah
dipaparkan dalam kajian teoritis. Kriteria yang dikaji adalah berdasarkan pada
pokok pikiran Edi Suharto dalam menganalisis kebijakan publik. Kriteria yang
ada dispesifikkan lagi menjadi beberapa aspek yang menjadi point kajian ini
adalah dalam hal kesinambungan kebijakan antara pemerintahan pusat dan
daerah. Selanjutnya akan diterjemahkan oleh pemerintahan desa sebagai
bagian dari pemerintah dalam tingkat terendah yang secara langsung
berhubungan dengan masyrakat. Berdasarkan alternatif yang ditemukan dalam
penelitian bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi unsur penting untuk
melihat tingkat efektifitas implementasi dari kebijakan yang ada di desa
Donowarih antara lain berkaitan dengan porsi kebijakan yang dibuat oleh
pemerintahan desa sebagai tindak lanjut dari program pemerintah pusat. Porsi
kebijakan yang masih timpang dilihat dari segi anggaran yang menjadi
pendukung berjalan atau tidaknya program dari desa. Kemudian, kebijakan
tentang kesehatan di desa yang mencakup ketersediaan fasilitas kesehatan
dan juga fasilitator kesehatan seperti bidan desa serta faktor-faktor lain yang
berhubungan dengan kesehatan. Selain itu dilihat juga sumber daya manusia
yang menjadi garda terdepan dalam kaitannya dengan penanganan
pencegahan stunting.

B. Problematika Stunting Desa Donowarih


Dua kebijakan dari Pemerintah yakni Peraturan Presiden No. 42 tahun
2013 dan Permenkeu 61/PMK.07/2019 yang menjadi landasan dasar bagi
desa-desa untuk melakukan upaya pencegahan stunting, termasuk Desa
Donowarih yang menjadi fokus penelitian. Adopsi Kebijakan Pencegahan
Stunting oleh Desa Donowarih berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak
Ari selaku sekertaris Desa Donowarih pada tanggal 6 Maret 2020 lalu, dimana
pemerintah Desa Donowarih sejauh ini belum mengeluarkan kebijakan khusus
terkait masalah pencegahan dan penanganan stunting. Hal ini dikarenakan
pemerintah desa mempertimbangakan banyak faktor dan banyak program
kegiatan lainnya yang juga membutuhkan dana dalam pengalokasiannya.
Hal lain yang juga menyebabkan belum lahirnya kebijakan khusus terkait
stunting ini di Desa Donowarih karena jumlah penderita stunting yang minim,
yakni hanya terdapat satu penderita di Desa Donowarih. Keterbatasan
anggaran dalam APBDes juga menjadi hal utama penyebab belum adanya
kebijakan khusus terkait masalah stunting ini. Narasumber juga menjelaskan
bahwa di anggaran dana desa tahun berikutnya akan dianggarkan secara
khusus terkait pencegahan stunting ini, artinya masih dalam tahap perumusan
kebijakan. Hal ini jika dilihat dari pandangan Dunn (2000:25-29) terkait proses
kebijakan publik, dimana Desa Donowarih masih dalam tahap pertama yakni
tahap penyusunan agenda terkait penanganan stunting. Tahapan ini dilakukan
dalam upaya menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis
penyebab-penyebab stunting, memetakan tujuan dikeluarkannya kebijakan
stunting dan merancang opsi-opsi kebijakan lainnya. Sekertaris Desa
Donowarih juga menjelaskan bahwa sejauhini pengalokasian dana desa lebih
difokuskan pada pembangunan fisik, sehingga untuk penanganan kesehatan
sangat minim khusunya untuk pencegahan stunting belum ada pengalokasian
dana dari pemerintah Desa Donowarih. Namun kedepannya akan
mengeluarkan kebijakan stunting tersebut, dan sejauh ini alokasi dana khusus
yang dirancang untuk masalah stunting masih berkisar di bawah 5% dari dana
desa.
Meskipun pemerintah Desa Donowarih belum mengeluarkan kebijakan
khusus terkait pencegahan stunting, namun sudah ada upaya dalam
meningkatkan kesehatan masyarakat desa secara umum. Kegiatan yang
dimaksud seperti adanya posyandu, sosialisasi terkait kesehatan dan stunting
pada bayi dan ibu hamil dan kegiatan kesehatan lainnya. Pada posyandu akan
dipantau secara berkala terkait kesehatan gizi pada bayi, ini merupakan upaya
pemerintah Desa dalam mencegah adanya bayi stunting.

Pemerintah Desa Donowarih juga pernah mengadakan kegiatan sosialisasi


terkait kesehatan gizi dan stunting. Hal ini dilakukan karena hadirnya angka
stunting di Desa Donowarih walaupun sangat rendah. Sekertaris desa juga
menuturkan bahwa pemerintah desa lewat bidan desa terus meninjau seorang
bayi yang menderita stunting agar kedepannya bisa meningkatkan
kesehatan gizi bayi. Besar harapan dari pemerintah desa agar kebijakan
pencegahan stunting ini cepat terealisasi pada program desa periode
selanjutnya setelah sejauh ini dalam proses perencanaan. Diharapkan setelah
dikeluarkannya kebijakan nanti akan mengurangi ataupun bahkan mampu
mencegah warga desa Donowarih untuk tidak menderita stunting .

A. Anggaran Untuk Pencegahan Stunting di Desa Donowarih


Dalam APBN Kesehatan Presiden Joko Widodo menekankan
pentingnya mengembangkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia menjadi
SDM yang unggul, karena menurut Presiden kunci utama dari lompatan yang
akan dicapai adalah tetap ada pada kekuatan sumber daya manusia. Karena
pentingnya pembangunan SDM itulah makanya tak heran bila anggaran bidang
kesehatan kali ini menjadi lebih besar dari anggaran sebelumnya. Dalam
RAPBN yang sudah disetujui DPR beberapa waktu silam, anggaran
kesehatan sebesar 132,2 triliun. Anggaran yang besar itu diminta Presiden
untuk dikonsentrasikan pada hal-hal yang bisa berdampak langsung kepada
rakyat demi pembangunan SDM yang unggul. Disini ada dua hal yang harus
menjadi fokus perhatian di Kementerian Kesehatan, yakni ketercukupan gizi
dan pencegahan penyakit. Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi,
dalam siaran berita Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian
Kesehatan RI, menjelaskan bahwa 132,2 triliun rupiah anggaran kesehatan
dalam RAPBN 2020 adalah anggaran untuk seluruh fungsi kesehatan.
Sehingga, pengelola anggaran tersebut bukan hanya di Kementerian
Kesehatan melainkan lembaga lain, seperti Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM), serta rumah sakit di luar Kemenkes.

a. APBN Khusus Stunting


Dalam RAPBN 2020, Kemenkes mendapatkan alokasi
anggaran Rp. 57,4 triliun. Salah satu yang menjadi fokus pembenahan
Kemenkes dalam penggunaan anggaran 2020 adalah menurunkan
stunting yang selaras dengan visi misi presiden. Percepatan penanganan
stunting tahun 2020 diperluas ke 260 kabupaten/ kota dari yang
sebelumnya 160 kabupaten/kota pada 2019. Dalam RPJMN 2020-2024
penekanan angka stunting ditargetkan menjadi 19% pada 2024 dari yang
saat ini 30,8% (Riskesdas 2018). Upaya ini harus dilakukan dengan
semaksimal mungkin dengan intervensi gizi spesifik dan sensitif. Ada dua
program penurunan stunting yang akan dilakukan pemerintah dalam
menangani masalah ini. Program pertama adalah pengadaan software
yang berisi program penurunan stunting. Pembuatan software ini
digawangi Direktorat Kesehatan Masyarakat. Program kedua melibatkan
puskesmas, yang fungsinya menjadi preventif dan promotif bukan kuratif.

b. APBD Kesehatan
Pemerintah Kabupaten Malang menganggarkan 624,9 Miliar dalam
APBD tahun 2020 untuk Kesehatan. Pentingnya pembangunan SDM itulah
makanya tak heran bila anggaran bidang kesehatan kali ini menjadi lebih besar
dari anggaran sebelumnya. Pemerintah kabubaten Malang memang
memfokuskan anggaran ke beberapa bidang salah satunya adalah bidang
kesehatan. Pembiayaan Bidang Kesehatan di Kabupaten Malang dikelola oleh
tiga instansi kesehatan, yang meliputi Dinas Kesehatan, RSUD Kanjuruhan
dan RSUD Lawang. Proporsi pembiayaan bidang kesehatan paling besar pada
tiga tahun anggaran adalah yang dikelola oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Malang. Besar anggaran pembiayaan kesehatan yang dikelola oleh Dinas
Kesehatan bersumber APBD Kabupaten Maang, karena anggaran puskesmas
dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dengan anggaran kesehatan kantor
dinas masih bersatu serta cakupan luas kegiatan yang dilaksanakan Dinas
Kesehatan.

a. APBDes Donowarih
Desa Donowarih mempunyai APBDes sebasar 1,8 Miliar rupiah. Alokasi
anggaran terbesar di Desa Donowarih adalah untuk pembangunan Desa.
Berkaitan dengan kesehatan, Desa Donowarih mengalokasikan sekitar 25%
untuk bidang kesehatan. Pemerintah Desa Donowarih baru akan
mengganggarkan dana khusus stunting pada APBDes selanjutnya. Adapun
alokasi dana kesehatan desa sebagai berikut:
1. Air Bersih Berskala Desa.
2. Sanitasi Lingkungan.
3. Bantuan Insentif Kader Kesehatan / UKBM.
4. Transport Kader Kesehatan.
5. Perawatan dan/atau Pendampingan Ibu Hamil, Nifas, dan Menyusui.
6. Pemantauan pertumbuhan dan penyediaan makanan
tambahan/sehat untuk peningkatan gizi bayi, balita dan
anak sekolah.
7. Pengadaan, Pembangunan, Pengembangan, Pemeliharaan,
Pengelolaan dan Pembinaan UKBM (Poskedes/Polindes, Posbindu,
Posyandu, dan pos kesehatan lainnya).
8. Penyelenggaraan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Promosi
Kesehatan dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS).
9. Kampanye dan Promosi Hidup Sehat (Peningkatan PHBS) guna
mencegah Penyakit Menular Seksual HIV/AIDS, Tuberkulosis,
Hipertensi, Diabetes Mellitus dan Gangguan Jiwa.

C. Analisis Kesehatan Di Desa Donowarih


Melihat kondisi stunting di Desa Donowarih, sejauh ini ada temuan satu
bayi yang dinyatakan sebagai anak balita penyandang stunting. Hal ini
diketahui dengan adanya kegiatan pemeriksaan rutin yang dilaksanakan
oleh pihak Posyandu. Di Desa Donowarih ada 8 titik Posyandu, dengan
satu orang bidan Desa, satu orang perawat Desa dan dibantu oleh para
kader-kader Posyandu dalam penanganan stunting. Adapun di Desa
Donowarih terdapat satu kader kesehatan yang bertugas untuk menangani
stunting dimana lingkup kerjanya di 8 titik posyandu. Meski demikian hal ini
masih dalam pertimbangan pemerintah Desa Donowarih, untuk
penambahan kader yang nantinya disebarkan di titik-titik tertentu, hal ini
masih dalam kajian-kajian pemerintah Desa Donowarih.
Untuk penangganan bayi stunting kepada setiap bayi yang lahir di
Desa Donowarih akan terus periksa dan dievaluasi melalui kegiatan rutin
di posyandu. Namun demikian masih ada kendala dari kesadaran orang
tua untuk membawa bayinya ke Posyandu. Akan tetapi, pihak Desa terus
melaksanan kegiatan Sosialisasi terkait penanganan stunting melalui
pengisian table scorecard yang telah disediakan oleh pemerintah. Upaya
untuk meningkatkan kesadaran orang tua juga perlu untuk ditingkatkan.
Petugas posyandu juga perlu untuk melakukan monitoring secara rutin
terhadap suplai gizi balita sebagai upaya untuk mencegah stunting. Melalui
kegiatan tersebut diharapkan kesehatan masyarakat khususnya bayi-bayi
yang ada di Desa Donowarih akan terus terjaga, dan nanti tidak ada lagi
penambahan kasus stunting di Desa Donowarih ini.

D. Analisis Sumber Daya


Potensi Desa untuk penanganan stunting merupakan prioritas
pembangunan nasional melalui Rencana Aksi Nasional Gizi dan Ketahanan
Pangan, Sesuai dengan UU tentang Desa, maka terhadap upaya
penanganan stunting yang sudah menjadi prioritas nasional sangat
memungkinkan bagi Desa untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang relevan
dan yang bersifat skala desa melalui APBDes. Dalam penanganan kasus
stunting pemerintah desa telah melakukan pelatihan Kampanye Pangan
Asuh Desa dengan mengundang ahli gizi dengan petugas puskesmas
lainnya, lalu melakukan pegontrolan disetiap posyandu serta pemberian
bantuan oleh pemerintah desa. Sekertaris desa dan bidan desa juga
mengatakan bahwa stunting bukan hanya karena kekurangan
gizi/kesehatannya, pengaruh dari kesehatannya hanya 40% sedangkan
pengaruh lingkungan 60% yaitu dari jambanisasi, lingkungan, air, dan lain-
lainnya. Pemerintah memiliki peran yang penting untuk menyelenggarakan
program pelatihan dan pemberdayaan masyarakat demi menciptakan
masyarakat mandiri dan terampil khususnya daerah yang sulit terjangkau.
Program Posyandu menjadi salah satu prioritas guna meningkatkan
pelayanan kesehatan ditingkat desa. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran
untuk program-program kesehatan masyarakat, khususnya untuk anak
balita. Salah satu yang menjadi fokus bidan desa Donowarih agar
menyadarkan masyarakat berpartisipasi aktif memeriksakan tumbuh
kembang anak di posyandu yang telah disediakan pemerintah desa
Donowarih. Selain itu, pemerintah desa Donowarih juga memberikan
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran ibu serta anggota
keluarga dalam membina tumbuh kembang balita. Program tumbuh
kembang anak, tidak hanya memeriksa anaknya, tetapi juga memperbaiki
pola asuh keluarga. Keluarga dalam hal ini mempunyai kesadaran
pentingnya kesehatan balita.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkanpadateorianalisiskebijakan yang menjadi patokan dasar dalam
mengkaji tentang kebijakan pencegahan stunting di Desa Donowarih, maka
ditemukan beberapa hal antara lain, dari segi kebijakan, anggaran,
kesehatan dan sumber daya manusia. Keempat faktor tersebut merupakan
akumulasi dari rencana pemerintah desa yang merancang untuk dibuatkan
kebijakan tentang penanganan stunting di Desa Donowarih. Kesimpulan
yang didapat bahwa masih terdapat kendala yang dihadapi oleh
pemerintahan desa dalam mengimplementasikan kebijakan stunting.
Artinya bahwa dari segi kendala dana dan sumber daya manusia menjadi
unsur terpenting yang sampai pada saat ini masih menjadi penghambat
utama dalam pelaksanaan kebijakan penanganan stunting ini. Rancangan
yang ditawarkan oleh pemerintahan desa dalam upaya pencegahan
stunting dimulai dengan program tertib posyandu. Selain itu pemerintahan
desa juga menggagas untuk dibuatkannya pelatihan kader- kader yang
akan memenbantu bidan desa dalam mengatasi stunting yang ada di Desa
Donowarih, dan juga pemberian asupan gizi tambahan bagi ibu yang masih
dalam tahap hamil dan menyusui serta bayinya

B. Saran
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan para pembaca dapat
mengetahui dan memahami mengenai kebijakan publik tentang
penanganan stunting yang kita ketahui hal yang berbahaya serta
merugikan diri sendiri dan orang lain.
REFERENSI

Afiska Prima Dewi, Sugeng Eko Irianto, Ferizal Masra. (2018). Analisis
Faktor Resiko Stunting Balita Usia 1-2 Tahun di Pemukiman Kumuh
Berat (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung). Journal Gizi Aisyah, 70-
86. Retrieved from http://journal.
aisyahuniversity.ac.id/index.php/JGA/
article/view/AfiskaDew/AfiskaDew
Atmarita, Yuni Zahraini, Akim Dharmawan. (2018). Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia. Jakarta: Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan. Retrieved from https://www.kemkes.go.id/download.
php?file=download/pusdatin/buletin/ Buletin-Stunting-2018.pdf
Dahlan Tampubolon. (2020). KEBIJAKAN INTERVENSI PENANGANAN
STUNTING
TERINTEGRASI. Jurnal Kebijakan Publik, 01-58. Retrieved from
https://jkp. ejournal.unri.ac.id/index.php/JKP/article/ view/7886/6787
Doddy Izwardy. (2017). Buku Saku Pemantauan Status Gizi Tahun 2016.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Retrieved from
http://www.kesmas.kemkes.go.id/assets/
upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Buku- Saku-Hasil-PSG-
2016_842.pdf
Eko Setiawan, Rizanda Machmud, Masrul. (2018). Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota
Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 275-
284. Retrieved from http://jurnal.fk.unand.
ac.id/index.php/jka/article/view/813/669
Iman Surya Pratama, Siti Rahmatul Aini, Baiq Fitria Maharani. (2019).
Implementasi Gasing (Gerakan Anti Stunting) Melalui Phbs Dan
Pemeriksaan Cacing. JURNAL PENDIDIKAN DAN PENGABDIAN
MASYARAKAT, 80-83. Retrieved from
https://jurnalfkip.unram.ac.id/index.php/ JPPM/article/view/1019/814
Khoirun Ni’mah, Siti Rahayu Nadhiroh. (2016). FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA.
Media
Gizi Indonesia, 13-19. Retrieved from
http://e-journal.unair.ac.id/MGI/article/ download/3117/2264
Masrul. (2019). Gambaran Pola Asuh Psikososial Anak Stunting dan Anak
Normal di Wilayah Lokus Stunting Kabupaten Pasaman dan Pasaman
Barat Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan Andalas, 112-116. Retrieved from
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index. php/jka/article/view/978/854
Merri Syafrina, Masrul, Firdawati. (2018). Analisis Komitmen Pemerintah
Kabupaten Padang Pariaman dalam Mengatasi Masalah Stunting
Berdasarkan Nutrition Commitment Index 2018. Jurnal Kesehatan Andalas,
233-244. Retrieved from http:// jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/
article/view/997/873
Mohammad Teja. (2019). Stunting Balita Indonesia dan
Penanggulangannya. Jurnal Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan
Strategis XI, 13-18. Retrieved from http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_
singkat/Info%20Singkat-XI-22-II-P3DI- November-2019-242.pdf
Nina Fentiana, Daniel Ginting, Zuhairiah. (2019). Ketahanan Pangan Rumah
Tangga Balita 0-59 Bulan Di Desa Priortas Stunting. JURNAL
KESEHATAN, 24-29. Retrieved from http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.
php/kesehatan/article/view/7847/6452
Nisa, Latifa Suhada. (2018). Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia.
Jurnal Kebijakan Pembangunan, 173-179. Retrieved from
https://jkpjournal.com/ index.php/menu/article/view/78/44
Rahayu, A. W. (2018). Maternal Factors and Their Effects on Stunting in
Indonesia. Atlantis Perss, 131-139. Retrieved from
https://download.atlantis-press.com/ article/125922538.pdf
Rini Archda Saputri. (2019). UPAYA PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENANGGULANGAN STUNTING DI PROVINSI KEPULAUAN
BANGKA BELITUNG. Jurnal Dinamika Pemerintahan, 152-168.
Retrieved from http://jurnal.univrab.ac.id/index.php/jdp/
article/view/947/621
Rini Archda Saputri, Rini Archda Saputri. (2019). HULU-HILIR
PENANGGULANGAN STUNTING DI INDONESIA. JPI: Jurnal
of Political Issues, 2-9. Retrieved from
h t t p s : / / m e d i a . n e l i t i . c o m / m e d i a / pu b li cati o ns /2 8 6 7 4 7 -h
ul u -h i li r - penanggulangan-stunting-di-in-beb0ec40. pdf
Riski Kurnia Ilahi. (2017). Hubungan Pendapatan keluarga, Berat Lahir, dan
Panjang Lahir Dengan Kejadian Stunting Balita 24-59 Bulan di Bangkalan.
Jurnal Manajemen Kesehatan, 01-14. Retrieved from https://media.
neliti.com/media/publications/258449- hubungan-pendapatan-keluarga-
berat- lahir-669eb155.pdf
Satriawan, ELan. (2018). Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting
2018- 2024. Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K). Retrieved from http://www.tnp2k.go.id/
filemanager/files/Rakornis%202018/ Sesi% 201 _ 01 _Rakor
StuntingTNP2 K_ Stranas_22Nov2018.pdf
Umar, Tri Haryanto. (2019). Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga dan
Masalah Stunting Balita di Indonesia. Media Trend, 41-48. Retrieved from
https://journal. trunojoyo.ac.id/mediatrend/article/ view/4736/3462
WHO. (2017). Stunted Growth and Development. Ganeva: who.int. Retrieved
from https:// www.who.int/nutrition/childhood_
stunting_framework_leaflet_en.pdf?ua=1
Wulandari, M. (2019). Analisis Pengaruh Determinan Sosial, Kesehatan,
Lingkungan dan Ketahanan Pangan Terhadap Kejadian Balita Stunting
Menggunakan Metode Rtuctural Equation Modeling (SEM). Bandar
Lampung: digilib.unila. Retrieved from http://digilib.unila.ac.id/60302/18/ T
E S I S % 2 0 T A N P A % 2 0 B A B % 2 0 PEMBAHASAN.pdf

You might also like