You are on page 1of 37

LAPORAN KASUS KOMPERHENSIF

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 9 TAHUN DENGAN SKABIES

Diajukan guna melengkapi tugas Pendidikan Komperhensif


Puskesmas Welahan II
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun Oleh:
Yudha Hasya Ardana
22010120220179

Instruktur Pendamping Klinis:


dr. Veransa Arizona

Dosen Pembimbing:
dr. Zulfah Kusdiyanti, M.M

PROGRAM PENDIDIKAN KOMPERHENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Yudha Hasya Ardana


NIM : 22010120220179
Bagian : Pendidikan Komperhensif
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Diponegoro
Judul : Seorang Anak Laki-Laki Usia 9 Tahun
dengan Scabies
Instruktur Pendamping Klinis : dr. Veransa Arizona
Dosen Pembimbing : dr. Zulfah Kudiyanti, M.M

Jepara, 13 Oktober 2022


Instruktur Pendamping Klinis Dosen Pembimbing,

dr. Veransa Arizona dr. Zulfah Kudiyanti, M.M

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa karena atas
berkah dan nikmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus
yang berjudul “Seorang Anak Laki-Laki Usia 9 Tahun dengan Scabies” tepat pada
waktunya. Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu persyaratan untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Komprehensif dan Kedokteran Keluarga di
Puskesmas Welahan II, Kabupaten Jepara.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini tidak akan selesai tepat waktu tanpa
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis menyelesaikan laporan kasus ini:
1. dr. Zulfah Kusdiyanti, M.M., selaku kepala Puskesmas Welahan II dan
pembimbing yang telah memberi masukan dan saran serta memberikan
bimbingan dalam penyusunan laporan kasus ini selama penulis menempuh
kepaniteraan klinik di Puskesmas Welahan II Kabupaten Jepara.
2. dr. Asih Ernawati, dr. Zuliani, dr. Veransa Arizona, dan dr. Dika Fahmi yang
telah senantiasa membimbing, memberi arahan, dan telah bersedia meluangkan
waktu serta tenaga selama penulis menempuh kepaniteraan klinik di
Puskesmas Welahan II Kabupaten Jepara.
3. Teman-teman yang turut memberikan masukan dan membantu penyelesaian
laporan kasus ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna. Atas semua keterbatasan yang penulis miliki, maka semua saran dan
kritik yang membangun akan penulis terima untuk perbaikan diwaktu yang akan
datang. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Jepara, 13 Oktober 2022
Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................v

PENDAHULUAN....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1


1.2 Tujuan ........................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ......................................................................................................... 2
PENYAJIAN KASUS ..............................................................................................3

2.1 Identitas Pasien.............................................................................................. 3


2.2 Data Dasar ................................................................................................ 3
2.2.1 Anamnesis .............................................................................................. 3
2.2.2 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 6
2.4 Diagnosis Kerja ............................................................................................. 9
2.5 Rencana Pemecahan Masalah (Initial Planning) .......................................... 9
2.6 Prognosis ....................................................................................................... 9
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................11

3.1 Scabies......................................................................................................... 11
3.1.1 Definisi Scabies.................................................................................... 11
3.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko Scabies ...................................................... 11
3.1.3 Epidemiologi Scabies ........................................................................... 15
3.1.4 Patofosiologi Scabies ........................................................................... 16
3.1.5 Manifestasi Klinis Scabies ................................................................... 18
3.1.6 Diagnosis Sacbies................................................................................. 19
3.1.7 Diagnosis Banding Scabies .................................................................. 23
3.1.8 Tatalaksana Scabies ............................................................................ 24
3.1.9 Komplikasi Scabies .............................................................................. 25
3.1.10 Prognosis Scabies ............................................................................... 26
PEMBAHASAN ....................................................................................................27

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Riwayat Imunisasi ..................................................................................... 5


Tabel 2. Diagnosis Banding Skabies ..................................................................... 23
Tabel 3. Modalitas Terapi Skabies ........................................................................ 25

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penampang Dorsal Sarcoptes Scabiei Betina...................................... 12


Gambar 2. Penampang Ventral Sarcoptes Scabiei Jantan .................................... 12
Gambar 3. Larva dan Telur Sarcoptes Scabiei...................................................... 13
Gambar 4. Prevalensi Skabies dalam Komunitas: ................................................... 16
Gambar 5. Daur Hidup Sarcoptes Scabiei ............................................................ 17
Gambar 6. Lokasi Predileksi Skabies.................................................................... 18
Gambar 7. Presentasi Klinis Infeksi Skabies ........................................................ 19
Gambar 8. Kunikulus pada Sela Jari: .................................................................... 21
Gambar 9. Papul dan Kunikulus pada Area Lateral Punggung Tangan ............... 21
Gambar 10. Tungau Skabies pada Biopsi Kulit .................................................... 22
Gambar 11. Kunikulus pada Pemeriksaan Ink Burrow Test ................................. 23

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skabies atau kudis, gudig, dan budug, adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh infestasi parasite Sarcoptes scabiei varietas hominis betina yang termasuk dalam
kelas Arachnida .1 Skabies terjadi lebih banyak terjadi di negara berkembang, terutama
di daerah endemis dengan iklim tropis dan subtropis, seperti Afrika, Amerika Selatan,
dan Indonesia.2,3 Kemenkes RI 2016 menyebutkan bahwa dari 261,6 juta penduduk pada
tahun 2016, prevalensi skabies di Indonesia sebesar 4,60%-12,95% dan menduduki urutan
ketiga dari 12 penyakit kulit tersering.4
Faktor risiko terjadinya skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis
kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi bersama-sama kepadatan
penghuni, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang scabies serta budaya setempat.1
Tingkat prevalensi skabies lebih tinggi pada anak-anak atau usia muda, dewasa muda
yang aktif secara seksual, penghuni rumah jompo, penghuni fasilitas kesehatan jangka
panjang, penghuni sekolah berasrama, penghuni tempat lain yang keadaannya ramai
dengan kebersihan rendah, orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, dan
pendapatan keluarga yang rendah.5,6
Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan menemukan dua dari empat gejala
kardinal, yaitu gatal-gatal hebat yang memburuk pada malam hari, infeksinya
menyerang manusia secara kelompok, lesi berupa terowongan berbentuk garis lurus
atau berkelok dengan rerata panjang 1 cm dan yang ujung terowongan itu ditemukan
papul atau vesikel, serta ditemukan tungau. Penemuan tungau merupakan gold
standard untuk mendiagnostik scabies.7
Penatalaksanaan skabies dilakukan kepada penderita dan seluruh anggota
keluarga atau orang yang dekat dengan penderita meskipun tidak menimbulkan gejala.
Syarat obat yang ideal harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak

1
menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau atau kotor serta tidak mewarnai atau
merusak pakaian, dan mudah diperoleh serta murah.8,9
Pada tulisan ini akan disajikan kasus “Seorang Anak Laki-Laki Usia 9 Tahun
dengan Skabies” yang datang ke Poli Umum Puskesmas Welahan II Jepara.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui cara menegakkan
diagnosis dan mengelola pasien secara komprehensif dan holistik berdasarkan data
yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang serta
kepustakaan pada pasien anak dengan scabies.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus besar ini diharapkan dapat menjadi media pembelajaran
dalam menegakkan diagnosis dan mengelola pasien secara komprehensif dan holistik
pada pasien anak dengan dengan scabies.

2
BAB II
PENYAJIAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. AS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 9 Tahun
Alamat : Teluwetan 03/01
Agama : Islam
Intalasi : Poli Umum Puskesmas Welahan II
Tanggal Masuk : 26 September 2022
Jenis Pembiayaan : BPJS
Identitas Orang Tua
Nama Ayah : Tn. S Nama Ibu : Ny. M
Usia : 47 tahun Usia : 44 tahun
Pendidikan : SD Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Buruh Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
2.2 Data Dasar
2.2.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ibu pasien di Poli Umum
Puskesmas Welahan pada tanggal 26 September 2022 pukul 09.15 WIB
a. Keluhan utama : Gatal pada kaki kiri
b. Riwayat penyakit sekarang:
3 Hari sebelum datang ke Puskesmas Welahan II (23/09/22), pasien
mengeluhakan gatal gatal pada kaki kiri pasien. Awalnya gatal dirasakan pada sela
sela jari III-IV dan sela jari IV-V. Keluhan gatal kemudian dirasakan pasien pada
punggung kaki pasien 1 hari kemuadian (24/09/22). Keluhan gatal memberat pada
malam hari, dan berkurang pada siang hari. Pasien sebelumnya sudah
mengkonsumsi obat erba, namun keluhan tidak membaik. Keluhan gatal juga

3
disertai terbentuknya benjolan berawana putih. Pasien sering menggaruk kulit
yang gatal. Ketika digaruk, benjolan pecah berisi cairan transparan dengan
konsistensi cair. Keluhan demam (-), mual (-), muntah (-). BAB dan BAK dalam
batas normal.
± 1 minggu sebelum timbulnya keluhan, pasien sempat tidur bersama kakak
pasien yang berusia 15 tahun. Kakak pasien merupakan siswa pondok pesantren
yang sedang berkunjung ke rumah. Kakak pasien juga mngeluhkan keluhan yang
sama pada sela sela jari tangan. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu sebelum
bertemu pasien hingga saat bertemu pasien. Beberapa teman kakak pasien di
pondok juga mengeluhkan hal yang serupa. Ibu pasien tidak pernah mencuci
ataupun menjemur kasur tidur sebelumnya.

c. Riwayat penyakit dahulu:


 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (gatal dan terbetuk benjolan berisi cairan)
disangkal
 Riwayat sakit kulit sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga:


 Riwayat keluhan serupa pada keluarga (+). Kakak pasien mengeluhkan gatal gatal
pada sela sela jari tangan
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat hipertensi, DM dalam keluarga disangkal
 Riwayat penyakit jantung bawaan pada keluarga disangkal

e. Riwayat sosial ekonomi:


 Ayah pasien bekerja sebagai buruh dan ibu sebagai Ibu rumah tangga. Pasien
merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Saat ini pasien menduduki kelas 4 SD,

4
serta tinggal bersama orang tua. Orang tua pasien menanggung biaya dua anak
yang belum mandiri. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS. Kesan sosial
ekonomi kurang.

f. Riwayat perinatal:
1) Riwayat prenatal:
Ibu berusia 35 tahun pada saat hamil An. AS. Ibu melakukan ANC rutin di bidan
lebih dari 4 kali. Keluhan selama hamil disangkal, demam (-), hipertensi (-), dan DM
(-). Selama hamil ibu tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, tidak pernah minum
jamu dan obat di luar resep dokter. Ibu rutin minum vitamin dan tablet penambah darah
yang diberikan oleh bidan.
2) Riwayat natal:
Lahir satu bayi laki-laki dari ibu berusia 35 tahun dengan status paritas P2A0. Usia
kehamilan 37 minggu, lahir secara pervaginam, di Praktek Bidan Mandiri. Bayi lahir
langsung menangis, biru (-), kuning (-). Berat lahir 3500 gram, panjang lahir lupa.
3) Riwayat postnatal:
Tidak ada permasalahan kesehatan pada bayi dalam 40 hari pertama. Bayi
diberikan ASI eksklusif. Imunisasi dasar lengkap

g. Riwayat imunisasi:
Tabel 1. Riwayat Imunisasi
No. Vaksinasi Kali Usia
1. Hepatitis B 4 kali 0, 2, 3, 4 bulan
2. BCG 1 kali 1 bulan
3. Polio 4 kali 0, 2, 3, 4 bulan
4. DPT 4 kali 2, 3, 4, 18 bulan
5. HiB 3 kali 2, 3, 4 bulan
6. MR 2 kali 9, 18 bulan

5
Kesan : Imunisasi dasar dan lanjutan lengkap

h. Riwayat makanan:
 0 – 6 Bulan : ASI Eksklusif
 6 – 12 Bulan : ASI + MPASI
 12 – 18 Bulan : Makanan lembek + ASI
 18 Bulan – Sekarang : Makanan keluarga

2.2.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 26 September 2022 pukul 09.15 WIB
di Poli Umum Puskesmas Welahan II dengan hasil sebagai berikut:
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : E4V5M6 (Composmentis)
 Tanda Tanda Vital
Frekuensi Nadi : 90 x/menit, regular isi & tegangan cukup
Suhu : 36,7oC
Frekuensi napas : 23 x/menit
SpO2 : 99 % room air
BB : 21 Kg
TB : 125 cm
IMT : 13.4 Kg/m²

 Status internus
 Kepala : mesosefal, UUB datar
 Mata : konjungtiva anemis -/-, mata cowong -/-, ikterik -/-
 Hidung : discharge (-/-), nafas cuping (-/-)
 Telinga : discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
 Mulut : sianosis (-), mukosa kering (-), tonsil T1-1, faring

6
hiperemis (-)
 Leher : pembesaran nnll (-)
 Kulit : pucat (-), turgor cukup, petekie (-)
 Sistem Respirasi (Pulmo)
o Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
o Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri
o Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru
o Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan hantaran (-/-),
rokhi (-/-), wheezing (-/-)

Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Paru Paru
depan belakang

 Sistem Kardiovaskuler (Cor)


o Inspeksi : ictus cordis tak tampak
o Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V, 2 cm medial linea
midklavikularis sinistra
o Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
o Auskultasi : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
 Sistem Gastrointestinal (Abdomen)
o Inspeksi : datar,
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Perkusi : timpani
o Palpasi : Supel, turgor kembali cepat, hepar tidak teraba, lien
S0

7
 Sistem Muskuloskeletal
Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Edema (-/-) (-/+)
CRT (<2”/<2”) (<2”/<2”)
Clubbing finger (-/-) (-/-)

Status Dermatologis
Lokasi : interdigiti, dorsum pedis
Regio : Pedis
Effloresensi : Pustul dan papul eritem, disertai dengan skuama halus, krusta, dan
ekskoriasi karena sering menggaruk

Daftar Masalah
 Gatal pada kaki kiri
 Benjolan berisi cairan pada kaki kiri

8
 Pustul dan papul eritem, disertai dengan skuama halus, krusta, dan ekskoriasi
karena sering menggaruk

2.4 Diagnosis Kerja


 Scabies

2.5 Rencana Pemecahan Masalah (Initial Planning)


IpDx : S : -
O : Tes kerokan kulit, Ink burrow test

IpTx :
 Topikal :
Salep Permethrin 5%
 Peroral :
Vitamin B Kompleks

IpMx : Keadaan umum, tanda tanda vital


IpEx :
 Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa pasien terdiagnosis infeksi scabies
 Menjelaskan kepada keluarga mengenai kondisi pasien
 Menjelaskan kepada keluarga mengenai pengobatan pasien
 Memberikan edukasi kepada orang tua pasien mengenai PHBS
 Mengdukasi orang tua pasien untuk menjaga kebersihan dan tetap
memperhatikan kebutuhan nutrisi pasien.

2.6 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam

9
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Scabies
3.1.1 Definisi Scabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
parasit Sarcoptes scabiei var. hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda,
kelas Arachnida, ordo Acarina, family Sarcoptidae. Sarcoptes scabiei merupakan
tungau berukuran kecil yang hidup didalam kulit. Tungau yang tersebar luas diseluruh
dunia ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Tungau ini berukuran
200-450 mikron, berbentuk lonjong, bagian dorsal konveks sedangkan bagian ventral
pipih.10 Penyakit skabies disebut juga the itch, seven year itch, Norwegian itch,
gudikan, gudig, gatal agogo, budukan dan penyakit ampera. 5

3.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko Scabies


Sarcoptes scabiei varietas hominis adalah parasit yang termasuk kelas
Arachnida, subkelas Acarina, ordo Astigmata, dan family Sarcoptidae. Selain varietas
hominis, S. scabiei juga mempunyai varietas hewan, namun tidak menular, hanya
menimbulkan dermatitis sementara serta tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada
manusia.1
Skabies ditularkan melalui kontak fisik yang erat dengan orang lain yang
menderita penyakit ini. Penularan penyakit ini seringkali terjadi saat berpegangan
tangan dalam waktu yang lama dan dapat di katakan penyebab umum terjadinya
penyebaran penyakit ini.5
S.scabiei berbentuk lonjong dan gepeng, berwarna putih kotor, punggungnya
cembung, bagian dadanya rata, dan tidak memiliki mata. Tungau betina berukuran
lebih besar dibandingkan tungau jantan, yakni 0,3-0,45mm sedangkan tungau jantan
berukuran 0,2-0,25mm. S.scabiei memiliki dua segmen tubuh yaitu bagian anterior
yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut notogaster. Larva

11
mempunyai tiga pasang kaki sedangkan nimfa memiliki empat pasang kaki. Tungau
dewasa mempunyai empat pasang kaki, dua pasang kaki di bagian depan dan 2 pasang
kaki di bagian belakang. Dua pasang kaki bagian belakang tungau betina dilengkapi
dengan rambut dan pada tungau jantan hanya pasangan kaki ketiga saja yang berakhir
dengan rambut sedangkan pasangan kaki keempatnya dilengkapi dengan ambulakral
(perekat). Alat reproduksi tungau betina berbentuk celah di bagian ventral
sedangkan pada tungau jantan berbentuk huruf Y yang terletak di antara pasangan kaki
keempat.1

Gambar 1. Penampang Dorsal Sarcoptes Scabiei Betina11

Gambar 2. Penampang Ventral Sarcoptes Scabiei Jantan11

12
Gambar 3. Larva dan Telur Sarcoptes Scabiei11

Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis kelamin,
tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi bersama-sama kepadatan penghuni,
tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang scabies serta budaya setempat.1
a) Usia

Skabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering menginfestasi anak-
anak dibandingkan orang dewasa. Anak-anak lebih mudah terserang skabies karena
daya tahan tubuh yang lebih rendah dari orang dewasa, kurangnya kebersihan, dan
lebih seringnya mereka bermain bersama anak-anak lain dengan kontak yang erat.
Skabies juga mudah menginfestasi orang usia lanjut karena imunitas yang menurun
dan perubahan fisiologi kulit menua. Selain itu, orang usia lanjut juga mengalami
perubahan fisiologi kulit yaitu atrofi epidermis dan dermis, hiperkeratosis, menurunnya
fungsi sawar kulit terhadap serangan dari luar, dan proses penyembuhan yang lebih
lambat.12
b) Jenis Kelamin

Skabies dapat menginfestasi laki-laki maupun perempuan, tetapi laki-laki lebih


sering menderita skabies. Hal tersebut disebabkan laki-laki kurang memerhatikan
kebersihan diri dibandingkan perempuan. Perempuan umumnya lebih peduli terhadap
kebersihan sehingga lebih merawat diri dan menjaga kebersihan.1

13
c) Tingkat Kebersihan
Skabies menimbulkan rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari dan pada
suasana panas atau berkeringat. Karena rasa gatal yang hebat, penderita skabies akan
menggaruk sehingga memberikan kenyamanan dan meredakan gatal walau untuk
sementara. Akibat garukan, telur, larva, nimfa atau tungau dewasa dapat melekat di
kuku dan jika kuku yang tercemar tungau tersebut menggaruk daerah lain maka
skabies akan menular dengan mudah dalam waktu singkat. Oleh karena itu, mencuci
tangan dan memotong kuku secara teratur sangat penting untuk mencegah skabies.
Mandi dua kali sehari memakai sabun sangat penting karena pada saat mandi tungau
yang sedang berada di permukaan kulit terbasuh dan lepas dari kulit.1
d) Penggunaan Alat Pribadi Bersama
Tungau dewasa dapat keluar dari stratum korneum, melekat di pakaian dan dapat
hidup di luar tubuh manusia sekitar tiga hari; masa tersebut cukup untuk menularkan
skabies. Oleh karena itu, tidak boleh saling meminjam pakaian dan peralatan shalat
terutama pakaian yang telah digunakan dan belum dicuci. 13
e) Kepadatan Penghuni
Faktor utama risiko skabies adalah kepadatan penghuni rumah dan kontak yang
erat. Prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di pemukiman kumuh perkotaan yang
padat penduduk dibandingkan di kampung nelayan yang tidak padat.14
f) Tingkat Pendidikan
Pengetahuan merupakan hal penting dalam memengaruhi perilaku seseorang
terhadap penyakit termasuk skabies. Apabila seseorang memiliki pengetahuan
kesehatan dan kebersihan yang tinggi diharapkan dapat berperilaku baik dalam
menjaga kesehatannya termasuk dalam menghindari penyakit scabies. 1
g) Budaya Setempat

Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit di suatu daerah. Di


daerah tertentu, orang sakit tidak boleh dimandikan karena kuatir akan memperparah
penyakitnya. Oleh karena itu, jika seseorang menderita skabies, maka tidak boleh

14
mandi dan cuci tangan bahkan tidak boleh terkena air sama sekali. Budaya seperti itu
perlu dihentikan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat. 1

3.1.3 Epidemiologi Scabies


Berdasarkan data WHO tahun 2020, skabies dapat menjangkit setidaknya 200 juta
orang setiap saat. Hal tersebut berhubungan dengan laporan tahunan yang menyatakan
bahwa terdapat 300 juta kasus skabies setiap tahunnya.15 Kemenkes RI 2016 menyebutkan
bahwa dari 261,6 juta penduduk pada tahun 2016, prevalensi skabies di Indonesia sebesar
4,60%-12,95% dan menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. 4
Skabies berhubungan erat dengan kebersihan personal dan lingkungan
tempat tinggal sehingga sering terjadi pada orang yang tinggal bersama di pemukiman
padat penghuni misalnya di perkampungan padat penduduk atau di pondok pesantren
dengan kepadatan penghuni yang tinggi. Skabies sering dijumpai di lingkungan padat
penghuni dengan kontak kulit yang erat dan lama seperti di tempat penitipan anak,
panti asuhan, tempat perawatan orang usia lanjut, penjara, pengungsian, dan pesantren
bahkan di rumah sakit.16
Skabies memiliki masa inkubasi yang lama sehingga orang yang terpajan
skabies tidak menyadarinya sebelum timbul lesi klinis yang jelas dan dapat
didiagnosis sebagai skabies. Pada orang tua atau orang dengan imunitas rendah,
skabies sering tidak terdiagnosis karena lesi mirip penyakit lain. Oleh karena itu
skabies sering terlambat didiagnosis, pengobatannya tidak adekuat atau salah, dan
tindak lanjutnya tidak memadai sehingga sering menimbulkan wabah serta terus
menerus endemis di daerah yang memiliki faktor risiko tinggi untuk terinfestasi
scabies.1

15
Gambar 4. Prevalensi Skabies dalam Komunitas17

3.1.4 Patofosiologi Scabies


Ketika tungau masuk ke dalam lapisan kulit seseorang, maka ia mulai
mengalami gejala skabies. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada
umumnya berupa terowongan yang berisi tungau Sarcoptes scabiei, telur, dan hasil
metabolisme/ekskresinya. Terowongan berwarna putih abu-abu, tipis dan kecil seperti
benang dengan struktur linear atau berkelok-kelok kurang lebih 1-10 mm, yang
merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Terowongan dapat
ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Ketika menggali terowongan, tungau
mengeluarkan sekret yang dapat melisiskan stratum korneum. Sekret dan produk
eksresi tersebut akan menyebabkan sensitisasi sehingga menimbulkan lesi sekunder,
berupa papul, vesikel, yang dapat dan bula. Selain itu, dapat pula terbentuk lesi tersier
berupa ekskoriasi, eksematisasi, dan pioderma. Namun, tungau hanya dapat ditemukan
pada lesi primer.

16
Siklus hidup Sarcoptes scabiei sepenuhnya terjadi pada tubuh manusia sebagai
host, namun tungau ini mampu hidup di tempat tidur, pakaian, atau permukaan lain
pada suhu kamar selama 2-3 hari dan masih memiliki kemampuan untuk berinfestasi
dan menggali terowongan. Penularan skabies dapat terjadi melalui kontak dengan
obyek terinfestasi seperti handuk, selimut, atau lapisan furnitur dan dapat pula melalui
hubungan langsung kulit ke kulit. Berdasarkan alasan tersebut, skabies terkadang
dianggap sebagai penyakit menular seksual. Ketika satu orang dalam rumah tangga
menderita skabies, orang lain dalam rumah tangga tersebut memiliki kemungkinan
yang besar untuk terinfeksi. Seseorang yang terinfeksi Sarcoptes scabiei dapat
menyebarkan skabies walaupun ia tidak menunjukkan gejala. Semakin banyak jumlah
parasit dalam tubuh seseorang, semakin besar pula kemungkinan ia akan menularkan
parasit tersebut melalui kontak tidak langsung.5,18

Gambar 5. Daur Hidup Sarcoptes Scabiei19


Sarcoptes scabiei mudah menular karena kontak kulit yang sering terjadi,
terutama bila tinggal di tempat tinggal yang sama. Tingkat prevalensi skabies lebih

17
tinggi pada anak-anak atau usia muda, dewasa muda yang aktif secara seksual,
penghuni rumah jompo, penghuni fasilitas kesehatan jangka panjang, penghuni sekolah
berasrama, penghuni tempat lain yang keadaannya ramai dengan kebersihan rendah,
orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, dan pendapatan keluarga yang
rendah. Selain itu, pasien dengan presepsi sensori yang menurun seperti pada orang
yang menderita kusta, orang dengan imunokompromais, dan orang berusia tua
memiliki risiko tersendiri untuk penyakit kulit ini. Individu yang mengalami
hiposensitisasi ketika terinfestasi parasit seringkali tidak menimbulkan keluhan klinis,
namun menjadi pembawa (karier) bagi individu lain. 1,5,6

3.1.5 Manifestasi Klinis Scabies


Tungau menyukai daerah kulit yang tipis dan memiliki banyak lipatan seperti
pada pergelangan tangan, siku, kulit diantara jari jemari tangan, kaki, penis dan
skrotum, lipatan ketiak, daerah pusar, kelamin luar pada laki-laki dan pada wanita
skabies juga dapat ditemukan didaerah payudara dan puting, sedangkan pada anak-
anak yang kulitnya relatif masih lembut, serangan tungau ini dapat dijumpai dibagian
wajah.20

Gambar 6. Lokasi Predileksi Skabies21

18
Gejala klinis akibat tungau skabies ini adalah timbulnya rasa gatal-gatal pada
kulit yang terkena, terutama pada malam hari (pruritus noktura) sehingga mengganggu
ketenangan tidur. Rasa gatal timbul akibat dari reaksi alergi terhadap eksresi dan
sekresi yang keluar dari tubuh tungau, biasanya gejala ini muncul satu bulan setelah
serangan tungau didahului dengan munculnya bintik-bintik merah pada kulit (rash).
Diagnosis dilakukan dengan menemukan parasit tungau skabies ini pada kulit melalui
kerokan kulit. Kerokan kulit yang diperiksa dibawah mikroskop akan menunjukkan
adanya parasit Sarcoptes scabiei yang spesifik bentuknya.20

Gambar 7. Presentasi klinis infeksi skabies ; papul (a), burrow (b), burrows pada
pamerikaan dermatoskopi (c), Krusta hiperkeratotik (d), tungau dan telur sarcoptes
scabiei pada perbesaran× 10 microskop (e)22

3.1.6 Diagnosis Sacbies


Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan adanya 2 dari 4 tanda kardinal
(tanda utama) yaitu:23
1. Gejala gatal pada malam hari (pruritusnokturna), disebabkan aktivitas tungau
skabies yang lebih tinggi pada suhu lebihlembap dan panas.
2. Gejala yang sama pada satu kelompok manusia. Penyakit ini menyerang
sekelompok orang yang tinggal berdekatan, seperti sebuah keluarga,
perkampungan, panti asuhan, atau pondok pesantren.

19
3. Terbentuknya terowongan atau kunikulus di tempat-tempat predileksi,
terowongan berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya 2 cm,
putih atau keabu-abuan. Predileksi di bagian stratum korenum yang tipis, yaitu:
sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat
ketiak bagian depan, umbilikus, bokong, perut bagian bawah, areola mammae
pada wanita dan genitalia eksterna pada laki-laki.
4. Ditemukan tungau Sarcoptes scabiei, dapat ditemukan satu atau lebih
stadium hidup.
Gejala klinis pada infeksi kulit akibat scabies disebabkan oleh respons alergi
tubuh terhadap tungau.24 Setelah tungau melakukan kopulasi (perkawinan) di atas kulit,
tungau jantan akan mati dan tungau betina akan menggali terowongan dalam stratum
korneum sambil meletakkan sebanyak 2 hingga 50 telur. Aktivitas S. scabiei di dalam
kulit akan menimbulkan rasa gatal yang umumnya mulai timbul 4-6 minggu setelah
infestasi pertama; bila terjadi re-infestasi tungau, gejala dapat muncul lebih cepat
dalam 2 hari. Rasa gatal biasa memburuk pada malam hari disebabkan aktivitas tungau
lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas.25
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kelainan kulit menyerupai dermatitis, yaitu
lesi papul, vesikel, urtika, dan bila digaruk timbul lesi sekunder berupa erosi, eksoriasi,
dan krusta. Dapat ditemukan lesi khas berupa terowongan (kunikulus) putih atau
keabu-abuan berupa garis lurus atau berkelok, panjang 1-10 mm ditempat predileksi.
Kunikulus umumnya sulit ditemukan karena pasien biasa menggaruk lesi, sehingga
berubah menjadi ekskoriasi luas. Pada dewasa, umumnya tidak terdapat lesi di area
kepala dan leher; tetapi pada bayi, lansia, dan pasien imunokompromais dapat
menyerang seluruh permukaan tubuh.23,25

20
Gambar 8. Kunikulus pada Sela Jari

Gambar 9. Papul dan kunikulus pada area lateral punggung tangan

Pada varian skabies berkrusta (Skabies Norwegia), ditemukan lesi kulit berupa
plak hiperkeratotik di tangan dan kaki, kuku jari tangan dan kaki distrofik, serta skuama
generalisata. Pada kasus berat dapat ditemukan lesi fisura dalam. Berbeda dari varian
skabies umumnya, skabies berkrusta dapat tidak gatal. Rasa gatal dapat memberi
dampak nyata karena mengganggu tidur yang dapat berdampak pada aktivitas sekolah
dan kerja.23,25
Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:26
a) Kerokan kulit
Dilakukan dengan menempatkan setetes minyak mineral di atas terowongan
dan kemudian menggoreskan longitudinal menggunakan skapel no 15.
Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi kaca penutup, dan dengan
mikroskop pembesaran 20X atau 100X dapat dilihat tungau, telur atau skibala.
b) Pengambil tungau dengan jarum

21
Jarum dimasukan ke dalam bagian yang gelap dan digerakan tangensial.
Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.
c) Epidermal shave biopsi
Temukan terowongan atau papul yang dicurigai diantara ibu jari dan jari
telenjuk, dengan hati-hati diiris puncak lesi dengan skapel no 15 yang
dilakukan sejajar dengan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga
tidak terjadi pendarahandan tidak perlu anastesi spesimen diletakan pada gelas
objek lalu ditetesi minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop.

Gambar 10. Tungau Skabies pada Biopsi Kulit27


d) Ink Burrow Test
Papul scabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu dibiarkan selama 20-
30 menit kemudian dihapus dengan alcohol. Burrow ink test bisa di lihat
hasilnya jika tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambar khas
berupa garis zig zag. Tetapi pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan untuk
mendekteksi terowongan bukan mendekteksi tungau dan produknya.

22
Gambar 11. Kunikulus pada Pemeriksaan Ink Burrow Test26

3.1.7 Diagnosis Banding Scabies


Karena lesi skabies dapat menyerupai berbagai lesi penyakit kulit lain, hampir
semua penyakit kulit yang memiliki gejala gatal dianggap sebagai diagnosis banding
skabies. Diagnosis banding skabies adalah prurigo, impetigo, folikulitis, pioderma,
tinea korporis, sifilis, pedikulosis pubis, gigitan serangga, urtikaria papular, reaksi
alergi, psoriasis, eksem, dermatitis atopik, dematitis seboroik, dermatitis kontak,
dermatitis eksematoid infeksiosa, lupus eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa,
papulosis limfomatoid, dermatitis herpetiformis, liken planus, ekskoriasi-neurotik,
langerhans cell histiositosis, penyakit darier, sezary syndrome, mastositosis,
akropustulosis infantil, pruritus karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada
kehamilan, dan vaskulitis.28
Tabel 2. Diagnosis Banding Skabies24
Gigitan Serangga Infeksi Dermatitis Reaksi Imun

Nyamuk Folikulitis Dermatitis Kontak Utrikaria Papuler

Kutu Impetigo Eksim Pemfigoid Bulosa

Bedbugs Tinea Pitiriasis Rosea

Eksantema Viral

23
3.1.8 Tatalaksana Scabies
Untuk mengobati tungau scabies, pasien harus meningkatkan kebersihan
pribadi, dengan mengganti pakaian setiap hari, seprei dan sarung bantal dicuci setiap
hari, sampai semua skabies musnah.23
Cara pengobatan secara farmakolgi ialah seluruh anggota keluarga harus
diobati (termasuk penderita yang hiposensitisasi) Jenis obat topical :
a. Belerang endap dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim. Preparat
ini karena tidak efektif stadium telur, maka penggunaannya tidak boleh kurang dari tiga
hari. Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang
menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
b. Emulsi benzyl-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan
setiap malam selama setiap hari. Obat ini sulit diperoleh, sering menyebabkan iritasi
dan kadang-kadang makin gatal setelah pemakaian.
c. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan=gammexane) kadarnya 1% dalam
krim atau losion, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan dan jarang memberikan iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak dibawah
6 tahun dan wanita hamil, karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberiannya
cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian.
d. Krotamiton 10% dalam krim atau losio, merupakan skabisid yang efektif.
Dapat menimbulkan iritasi apabila digunakan dalam jangka waktu lama atau pada kulit
yang menunjukkan iritasi akut.
Untuk pengobatan Non Farmakologi ialah : Menjaga kebersihan tubuh sangat
penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta
menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular
pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak
membahayakan nyawa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari
infeksi ulang, langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

24
1. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di
cairan antiseptik.
2. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan
seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
3. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
4. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab.1,18,28
Tabel 3. Modalitas Terapi Skabies24

3.1.9 Komplikasi Scabies


Komplikasi skabies tidak hanya perasaan tidak nyaman dan tidur yang tidak
nyenyak karena gatal, namun terdapat keadaan lain yang lebih berbahaya. Di kulit yang
mengalami ekskoriasi, dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Bakteri juga dapat
berasal dari tungau itu sendiri karena Staphylococcus aureus dan Streptococcus grup A
dapat diisolasi dari tungau dan feses tungau.1
Komplikasi infeksi sekunder oleh bakteri harus diperhatikan terutama di daerah
iklim tropis dan jarang turun hujan. Apabila telah dicurigai infeksi bakteri, maka
pemberian antibakteri topikal atau sistemik harus diberikan secepatnya. Hal tersebut
disebabkan pioderma akibat infeksi bakteri dapat meluas, invasif bahkan fatal. Dapat
terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis bahkan sepsis. 1
Kerusakan epidermis pada infeksi skabies, memudahkan infeksi Streptococcus
pyogenes (Group A Streptococcus [GAS]) atau Staphylococcus aureus.24 Keduanya

25
dapat menyebabkan infeksi lokal jaringan seperti impetigo, selulitis, dan abses, serta
dapat menyebar sistemik lewat aliran darah dan limfe (terutama pada skabies berkrusta
dapat terjadi limfadenitis dan septikemia). 25 Infeksi kulit pada GAS dapat
menimbulkan komplikasi akhir berupa post-streptococcal glomerulonephritis yang
dapat berkembang menjadi gangguan ginjal kronis.24,25

3.1.10 Prognosis Scabies


Prognosis skabies sangat baik jika diagnosis dan terapi tepat, namun pada
penderita immunocompromised atau penderita yang tinggal di panti asuhan atau
asrama, angka kejadian infestasi ulang tinggi khususnya pada penderita yang kembali
ke lingkungan asalnya yang belum dilakukan eradikasi skabies. 1

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien yang dipresentasikan dalam laporan kasus berjenis kelamin laki-laki, usia
9 tahun. Pasien datang ke Poli Umum Puskesmas Welahan dengan keluhan gatal gatal
pada kaki kiri. Dari anamnesis didapatkan gatal dirasakan pada sela sela jari III-IV dan
sela jari IV-V serta punggung kaki. Keluhan gatal memberat pada malam hari, dan
berkurang pada siang hari. Keluhan gatal disertai benjolan berawana putih. Ketika
digaruk, benjolan pecah berisi cairan transparan dengan konsistensi cair. Kakak pasien
yang menginap di kamar pasien juga mengeluhkan keluhan yang sama pada sela sela
jari tangan. Dari keluhan pasien didaptkan 2 cardinal sign scabies yaitu, gejala gatal
pada malam hari (pruritusnokturna), disebabkan aktivitas tungau skabies yang lebih
tinggi pada suhu lebih lembap dan panas serta gejala yang sama pada satu kelompok
manusia. Penyakit ini menyerang sekelompok orang yang tinggal berdekatan, seperti
sebuah keluarga, perkampungan, panti asuhan, atau pondok pesantren
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pustul dan papul eritem, disertai dengan skuama
halus, krusta, dan ekskoriasi karena sering menggaruk. Hal ini mendukung diagnosis
kea rah scabies dimana pada scabies biasa didapatkan kelainan kulit menyerupai
dermatitis, yaitu lesi papul, vesikel, urtika, dan bila digaruk timbul lesi sekunder berupa
erosi, eksoriasi, dan krusta pada pemeriksaan fisik. Pasien tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis scabies
adalah tes kerokan kulit ataupun ink burrow test
Tatalaksana pada pasien ini, diberikan tatalaksana secara topikal dan peroral.
Terapi topikal yang diberikan yaitu salep permethrin 5%, sedangkan untuk terapi
peroral, pasien diberikan vitamin B kompleks. Pasien dan keluarga juga diedukasi
untuk meningkatkan kebersihan pribadi, dengan mengganti pakaian setiap hari, seprei
dan sarung bantal dicuci setiap hari.

27
Prognosis pada pasien ini untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah ad bonam,
untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah ad bonam, dan untuk fisiologi tubuh (quo
ad fungsionam) adalah ad bonam.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sungkar S. Skabies: Etiologi, patogenesis, pengobatan, pemberantasan, dan


pencegahan. Badan Penerbit FKUI. 2016;
2. Steer AC, Jenney AWJ, Kado J, Batzloff MR, La Vincente S, Waqatakirewa L,
et al. High burden of impetigo and scabies in a tropical country. PLoS Negl Trop
Dis. 2009;
3. Walton SF, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies, a global disease in
human and animal populations. Clinical Microbiology Reviews. 2007.
4. Ministry of Health of the Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia
2016. Profil Kesehatan Provinsi Bali. 2017.
5. Harahap M. ILMU PENYAKIT KULIT. Hipokrates. 2000.
6. Hussain AH, Hussain NM, Ali S. An overview of the epidemiology,
transmission, pathogenesis and treatment of scabies. Br Student Dr J. 2021;
7. Oktaviani DJ, Widiyastuti S, Maharani DA, Amalia AN, Ishak AM, Zuhrotun
A. ARTIKEL REVIEW: DIAGNOSIS DAN REGIMEN PENGOBATAN
SKABIES. Farmaka. 2020;
8. Boediardja PD dr. SA, dr. Ronny P. Handoko S. ILMU PENYAKIT KULIT
DAN KELAMIN Edisi Ketujuh (Cetakan Kedua 2016). Huisarts en
Wetenschap. 2016.
9. Gunning K, Pippitt K, Kiraly B, Sayler M. Pediculosis and scabies: A treatment
update. Am Fam Physician. 2012;
10. Soedarto. Pengobatan Penyakit Parasit. Segung Seto. 2009;
11. Cho BK. Reemerging skin disease caused by arthropods I: Scabies. J Korean
Med Assoc. 2011;
12. Montoya A, Mody L. Common infections in nursing homes: A review of current
issues and challenges. Aging Health. 2011.
13. Wahdini S, Sudarmono P, Wardhana AW, Irmawati FP, Haswinzky RA,
Dwinastiti YA, et al. Parasitic Diseases in A Boarding School Children in Bogor
Regency. eJournal Kedokt Indones. 2019;
14. Gilmore SJ. Control strategies for endemic childhood scabies. PLoS One. 2011;
15. Engelman D, Marks M, Steer AC, Beshah A, Biswas G, Chosidow O, et al. A
framework for scabies control. PLoS Negl Trop Dis. 2021;
16. Los Angeles County Department of Public Health Acute Communicable Disease
ControlProgram. Scabies prevention and control guidelines acute and sub-acute
care facilities. 2019;
17. Heukelbach J, Feldmeier H. Scabies. Lancet. 2006.
18. Thadchanamoorthy V, Dayasiri K. Diagnosis and management of scabies in
children. Sri Lanka J Child Heal. 2020;
19. Currier RW, Walton SF, Currie BJ. Scabies in animals and humans: history,
evolutionary perspectives, and modern clinical management. Annals of the New

29
York Academy of Sciences. 2011.
20. Sucipto DC. Vektor Penyakit Teropis. J Dis Vector. 2011;
21. Marsha Kurniawan, Michael Sie shun Ling F. Diagnosis dan Terapi Skabies.
Cermin Dunia Kedokt. 2020;
22. Cassell JA, Middleton J, Nalabanda A, Lanza S, Head MG, Bostock J, et al.
Scabies outbreaks in ten care homes for elderly people: a prospective study of
clinical features, epidemiology, and treatment outcomes. Lancet Infect Dis.
2018;
23. Linuwih S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin 7th ed.
Jakarta: Fakultas kedokteran universitas Indonesia; 2018. Journal of Chemical
Information and Modeling. 2018.
24. Hardy M, Engelman D, Steer A. Scabies: A clinical update. Aust Fam Physician.
2017;
25. Grover S, Grewal R. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Med J
Armed Forces India. 2008;
26. Leung V, Miller M. Detection of scabies: A systematic review of diagnostic
methods. Canadian Journal of Infectious Diseases and Medical Microbiology.
2011.
27. Siddig EE, Hay R. Laboratory-based diagnosis of scabies: A review of the
current status. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and
Hygiene. 2022.
28. Golant AK, Levitt JO. Scabies: A review of diagnosis and management based
on mite biology. Pediatrics in Review. 2012.

30
31

You might also like