You are on page 1of 21

ANALISA KASUS HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perlindungan
Konsumen
Dosen Pengampu : Insan Pribadi S.H, M.H.

Disusun :

1. Riza Amalia Prima Fadhilah (33020180059)


2. Via Aprilia (33020180069)
3. Ghaluh Widyaningsih (33020180073)
4. Anissa Dwi Suci Hildamayanti (33020180092)
5. Erriza Aidatul Choirotunnisa (33020180098)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah pada mata kuliah hukum perlindungan konsumen dengan baik meskipun
banyak kekurangan di dalamnya.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan, kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang hubungan agama dan
negara ini dapat memberikan manfaat dan sedikit wawasan terhadap pembaca.

Salatiga, Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
A. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktik Oleh Tenaga Medis Menurut
Undang-Undang No.8 Th 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.............................................3
1. Kronologi Kasus :................................................................................................................3
2. Analisis Kasus Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.......................................3
B. Perlindungan Hukum bagi Korban Peredaran Vaksin Palsu menurut UU No 36 Tahun
2009 tentang kesehatan dan UU No 8 Th 1999 tentang Perlindungan Konsumen.....................7
1. Kronologi Kasus Peredaran Vaksin Palsu.........................................................................7
2. Analisis Kasus Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.......................................7
3. Standarisasi dan sertifikasi terhadap vaksin sebelum beredar di masyarakat.............10
4. Pembinaan terhadap produsen.........................................................................................11
5. Pengawasan Proses Produksi dan Peredaran Vaksin di Masyarakat............................11
6. Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Produsen) Terhadap Korban Vaksin Palsu..............12
7. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Korban...........................................13
BAB III...............................................................................................................................................16
PENUTUP..........................................................................................................................................16
A. Simpulan.................................................................................................................................16
B. Saran.......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan
kepada masyarakat. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi
oleh hukum. Shidarta berpendapat sebenarnya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik
batasnya. Aspek perlindungannya misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak
konsumen terhadap gangguang pihak lain. Selanjutnya dalam pasal 1 angka 1 UUPK
diberikan definisi perlindungan konsumen adalah : Segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Dalam melaksanakan perlindungan konsumen di Indonesia, dasar hukum


pokok dari perlindungan konsumen yang dipergunakan diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kemudian ditinjau dari
kemajuan peraturan perundang-undangan di Indonesia di bidang perlindungan
konnsumen, sampai saat ini dapat dikatakan masih sangat minim, baik dari kuantitas
peraturannya maupun kedalam materi yang dicakupinya.

Dari inventariasi sampai 1991, pengaturannya yang memuat unsur


perlindungan konsumen tersebar pada 8 bidang yaitu ; 1. Obat-obatan dan bahaya
berbahaya 2. Makanan dan minuman 3. Alat-alat elektronik 4. Kendaraan bermotor 5.
Meterologi dan tera 6. Industri 7. Pengawasan mutu barang 8. Lingkungan hidup.
Adapun jenis peraturan perundang-undangannya pun bervariasi, mulai dari ordonansi
dan UU, PP, Inspres, Kep. Men, Kep bersama beberapa menteri, Kep Dirjen dan lain-
lain. Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang diprakarsai YLKI mencatat
prestasi besar setelah naskah akademik UUPK dibawa ke DPR dan rancangannya di
sahkan menjadi Undang-Undang pada 20 April 1999 dan berlaku effektif satu tahun
kemudian.1

Dalam praktek di bidang kesehatan pun, dapat dijumpai hal-hal yang


menyinggung dan berkaitan erat dengan perlindungan konsumen.

1
Dewa Gede Rudy dkk., Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, (Denpasar : Fakultas Hukum Universitas
Udayana, 2016) hlm. 10-11

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisa kasus mengenai korban malpraktik oleh tenaga medis
berdasarkan UU No.8 Tentang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimana analisa kasus mengenai peredaran vaksin palsu berdasarkan UU No.8
Tentang Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui analisa kasus mengenai korban malpraktik oleh tenaga medis
berdasarkan UU No.8 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Untuk mengetahui analisa kasus mengenai peredaran vaksin palsu berdasarkan
UU No.8 Tentang Perlindungan Konsumen.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktik Oleh Tenaga Medis


Menurut Undang-Undang No.8 Th 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
1. Kronologi Kasus :
Salah mencangkok jantung dan paru-paru sehingga meninggal.Peristiwa
tragis menimpa Jesica, pasien 17 tahun, imigran Meksiko. Dia meninggal 2
minggu setelah menerima cangkok jantung dan paru-paru dari orang lain dengan
golongan darah berbeda. Dokter di Duke University Medical Center gagal
memeriksa kompatibilitas sebelum operasi dimulai.

Jesica yang memiliki jenis darah O, telah menerima organ dari tipe darah
A. Setelah operasi transplantasi ke dua untuk memperbaiki kesalahan, jesica
malah menderita kerusakan otak dan komplikasi lain hingga meningal.

Padahal Jesica sudah 3 tahun datang ke Amerika Serikat untuk mencari


perawatan jantung dan paru-paru. Transplantasi jantung dan paru-paru oleh
dokter Ahli Bedah Rumah sakit di Universitas Duke di Duram diharapkan akan
memperbaiki kondisi ini, namun bukan kesehatan dairaih, tapi kematian.

Kelalain dalam pengechekan golongan darah sebelum atau pra operasi


yang mengalami kegagalan dan kelalaian dokter itu lah yang termasuk dalam
malpraktik.2

2. Analisis Kasus Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan


Malpraktik berasal ari kata lain “mala” artinya salah atau tidak
semestinya, sedangkan praktik adalah proses penanganan kasus pasien dari
seorang profesional (pasien) yang sesuai dengan prosedur kerja yang telah
ditentuan oleh kelompok profesional. Dalam bidang kesehatan malpraktik adalah
penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan sehingga menyebabkan
dampak buruk bagi penderita atau pasien. Bagi tenaga medis atau dokter
malpraktik adalah tindakan kelalaian dokter atau tenaga medis terhadap

2
https://www.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-malpraktik-dalam-dunia-kedokteran.html diakses pada tanggal 17
maret 2020, pukul : 16.00 WIB

3
penanganan pasien. Tindakan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medis
menimbulkan kerugian bagi masyarakat selaku konsumen kesehatan.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap


subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif
maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun yang tidak teertulis.
Perlindungan hukum merupakan gambaran fungsi hukum yaitu konsep dimna
hukum dpat memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan
kedamaian. Perlindungan hukum bagi pasien menyangkut berbagai hal yaitu
masalah hubungan hukum pasien dengan tenaga kesehatan, hak dan kewajiban
para pihak dan pertanggungjawab dan aspek penegakan hukumnya.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, ataupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan pengertian tersebut yang disebut
konsumen adalah konsumen akhir.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen, adapun tujuan diberikan suatu Perlindungan Konsumen
adalah untuk:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian kosumen untuk


melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan/jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam melmilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dlam
berusaha;

4
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen, memasukan pelayanan kesehatan sebagai objek hukum
perlindungan konsumen dan menempatkan penerima layanan kesehatan sebagai
konsumen serta tenaga kesehatan sebagai pelaku usaha dalam hubungan
hukumnya. Tenaga kesehatan yang dimaksudkan disini adalah setiap orang yang
mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan. Sesuai ketentuan
pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang kesehatan
menyebutkan bahwa setiap orang mengebdikan diri di dalam bidng kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
apanya kesehatan.

Hak Pasien Selaku Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) telah dirumuskan


tentang hak-hak pasien adalah sebagai berikut ;

1) Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri dan hak untuk mati secara wajar
2) Hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan
standar profesi kedokteran
3) Hak memperoleh penjelasan tentang dan terapi dari dokter yang
mengobatinya
4) Hak menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan
dapat menarik diri dri kontrak teraupetik
5) Hak memperoleh penjelasan tentang riset kedokteraan yang akan diikutinya
6) Hak menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran
7) Hak dirujuki kepada dokter spesialis, apabia diperlukan dan dikembalikan
kepada dokter yang merujuknya setelah selesai konsultasi atau pengobatan
untuk memperoleh perawatan tindak lanjut
8) Hak kerahasiaan dan rekam medisnya atas hak pribadi
9) Hak memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit.

5
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan Konsumen memamng tidak menyebutkan secara spesifik hak dan
kewajiban konsumen, tetapi karena pasien juga merupakan konsumen yaitu
konsumen jasa kesehatan maka hak dan kewajibannya juga mengikuti hak dan
kewajiban konsumen secara keseluruhan. Adapun hak konsumen adalah sebagai
berikut :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi


barang dan/atau jasa
2. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan /atau jasa
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
5. Hak untuk medapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaiaan
sengketa perlindungan konsumen secara patut
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya,
miskin, dan status sosial lainnya
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dalam kasus yang terjadi diatas, keteledoran dalam pengecekan
golongan darah pasien yang akan di operasi, sehingga menyebabkan pasien
tersebut meninggal. Pihak medis atau tenaga kesehatan (pelaku usaha) telah
melakukan keteledoran dalam bekerja. Hal tersebut sudah jelas melanggar hak
dan kewajiban konsumen maupun pelaku usaha.3

3
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta : Kencana Prenada Media Group: 2011) hlm.

6
B. Perlindungan Hukum bagi Korban Peredaran Vaksin Palsu menurut UU No 36
Tahun 2009 tentang kesehatan dan UU No 8 Th 1999 tentang Perlindungan
Konsumen

1. Kronologi Kasus Peredaran Vaksin Palsu


Beberapa waktu lalu pada tahun 2016 kasus vaksin palsu sempat beredar di
beberapa Rumah Sakit di Indonesia. Diperkirakan ada 14 Rumah Sakit diduga
menjadi tempat diedarkan vaksin palsu, bahaya peredaran vaksin palsu ini kalau
dibiarkan terus-menerus akan menjadi ancaman yang serius di masyarakat. Pemberian
vaksin dimaksudkan sebagai kekebalan atau antibody terhadap suatu penyakit.
Dengan beredarnya vaksin palsu ini maka menyebabkan kegagalan dalam
pembentukan antibody sehingga tidak dapat dilindungi dari serangan penyakit,
sehingga dapat dikatakan dengan beredarnya vaksin palsu ini menyebabkan kerugian
bagi pasien atau konsumen.
Berdasarkan ketentuan umum hukum perdata yang berlaku, pihak konsumen
yang menderita kerugian akibat produk atau barang yang cacat, dapat menuntut pihak
pedagang dari mana barang tersebut dibeli. Tuntutan diajukan berdasarkan telah
terjadi. Perbuatan melawan hukum atau “tort” (seperti yang diatur dalam pasal 1365
KUHPer) oleh produsen atau pihak lain yang berkaitan dengan proses produksi atau
penyebaran dari produk atau barang yang cacat tersebut.
Hal ini juga tidak hanya terkait dengan tindakan penipuan dan pemalsuan
terutama pemalsuan merk sebagaimana diatur dalam KUHP, namun juga melanggar
UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan UU No 8 Th 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.

2. Analisis Kasus Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan


a. Dari UU Mengenai Kesehatan.
Tanggung jawab dari pemerintah dalam pelayanan kesehatan bagi
masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, di atur khusus dalam Pasal 14 yang menjelaskan bahwa:
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.

7
(2) Tanggung jawab pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikhususkan pada pelayanan public.
b. Peraturan Menteri Kesehatan
Adapun peran dan tanggung jawab Menteri Kesehatan terkait dengan
peredaran vaksin palsu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42
tahun 2013 Tentang Penyelenggaran Imunisasi, yang diatur dalam Pasal 14
sebagai berikut:
1.) Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan vaksin yang
diperlukan dalam penyelenggaraan imunisasi wajib.
2.) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap penyediaan Auto Disable
Syringe, safety box, peralatan coldchain, emergency kit dan dokumen
pencatatan status imunisasi sesuai dengan kebutuhan.
3.) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mampu memenuhi tanggung
jawab
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah bertanggung jawab
untuk membantu penyediaan Auto Disable Syringe, safety box,
peralatan
coldchain dan dokumen pencatatan status imunisasi.
4.) Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota
bertanggung jawab terhadap penyediaan unit logistik imunisasi untuk
menyimpan dan merumat vaksin dan logistik imunisasi lainnya pada
instalasi farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan teknis
penyimpanan.
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang
perbuatanyang dilarang pelaku usaha yang tercantum dalam Pasal 8 sebagai
berikut:
1.) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/jasa yang:
a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

8
b) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
c) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan atau/jasa tersebut;
f) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjulan barang dan/atau jasa tersebut;
g) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama, barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/buat.
j) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
2.) pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
atas barang yang dimaksud;
3.) pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dengan benar.
4.) pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut wajib
menariknya dari peredaran.

9
d. Peran Badan POM Dalam Melakukan Pengawasan Vaksin
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan lembaga
pemerintah pusat yang dibentuk presiden untuk melaksanakan tugas di bidang
pengawasan obat dan makanan yang berbentuk lembaga pemerintah non
departemen(LPND).
Pengawasan terhadap peredaran vaksin merupakan salah satu tanggung
jawab BPOM dibidang pengawasan obat dan makanan dengan tugas pokok
melakukan penilaian dan registrasi produk, serta pengawasan terhadap
peredaran produk, penandaan, periklanan, dan penegakan hukum.
Dalam pengawasan peredaran vaksin palsu yang beredar di masyarakat
Balai POM menerapkan dua tahapan pengawasan, yaitu :
1.) Pengawasan pre-market adalah pengawasan yang dilakukan sebelum
produk beredar di pasaran, antara lain melakukan standarisasi, pembinaan
dan audit cara pembuatan vaksin yang baik (CPOTB) serta penilaian dan
pengujian atas mutu keamanan sebelum produk
diedarkan.
2.) Pengawasan post-market yaitu merupakan pengawasan yang
dilakukan saat obat beredar di pasaran.
3. Standarisasi dan sertifikasi terhadap vaksin sebelum beredar di
masyarakat

Badan Standarisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga pemerintah non


departemen, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 102 tahun 2000 Tentang
Standarisasi Nasional, mendapat mandat untuk mengembangkan dan membina
kegiatan di bidang standarisasi nasional. Standarisasi mempunyai tujuan untuk
memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kepada konsumen,
tenagakerja, dan masyarakat, mewujudkan jaminan mutu produk dan/atau jasa
sertameningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha untuk mencapai
pertumbuhanekono mi yang tinggi dan mantap, tercapainya persaingan yang
sehatdalamperdagangan serta menunjang kelestarian lingkungan hidup.
Dengan demikian, standarisasi harus dapat mendorong para produsen
untuk meningkatkan mutu dan daya saing produksinya, baik untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor dan tercapainya persaingan yang
sehat dalam perdagangan serta menunjang kelestarian hidup.

10
Sedangkan sertifikasi pada ayat (11) adalah rangkaian kegiatan penerbitan
sertifikat terhadap barang atau jasa. Sertifikat sendiri dijelaskan pada ayat (12)
adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboraturium yang telah
diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem, atau personel
telah memenuhi yang dipersyaratkan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka untuk dapat melakukan sertifikasi,
suatu perusahaan harus terlebih dahulu melaksanakan standarisasi. Tolak ukur
yang dapat dipakai lembaga sertifikasi untuk menerbitkan sertifikat yang
diminta oleh suatu perusahaan adalah keberhasilan perusahaan tersebut dalam
menerapkan standar mutu yang dipilihnya secara benar. Dengan demikian,
dapatdijamin bahwa produk yang dihasilkan adalah produk yang memenuhi
persyaratan standar mutu tersebut.

4. Pembinaan terhadap produsen


Perlindungan terhadap konusmen yang dilakukan oleh pemerintah dalam
hal pembinaan dan pengawasan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 58 tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen meliputi upaya untuk:

a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen;
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen.4

5. Pengawasan Proses Produksi dan Peredaran Vaksin di Masyarakat


Pengawasan terhadap perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen sebagai berikut:

4
Bayan, Perlindungan Konsumen Terhadap Keberadaan Tingkat Kualitas Barang Dari
Perspektif Sistem Hukum Di Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Mataram, hlm. 42

11
a. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya
masyarakat;
b. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait;
c. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/jasa yang beredar
dipasar;
d. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menyimpang dari peraturan perundang-undagan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebar luaskan kepada
masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis;
f. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
6. Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Produsen) Terhadap Korban Vaksin Palsu

Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab :

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on


fault)
Prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption
of liability) Yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap
bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak
bersalah, jadibeban pembuktian ada pada tergugat. Pembuktian
semacam ini lebih dikenaldengan sistem pembuktian terbalik.

12
c. Prinsip praduga untuk tidak selalu
bertanggung jawab (presumption of non liability) Prinsip ini
merupakan
kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab,
dimana tergugatselalu dianggap tidak bertanggungjawab sampai
dibuktikan, ia bersalah.
d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) Adalah prinsip
tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang
menetukan.

Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk


dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Prinsip ini dalam
hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku
usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang
merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product
liability. Menurut asas ini produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.

7. Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Korban


a. Tanggung Jawab Administrasi

Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum dibidang industri


farmasi yang terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia, akan
dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri
Farmasi yaitu:

1.) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan


sanksi administratif berupa;
- Peringatan secara tertulis;
- Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah
untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi
obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
- Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

13
- Penghentian sementara kegiatan.
2.) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dapat dikenakan untuk seluruh kegiatan atau sebagian kegiatan.
b. Tanggung Jawab Perdata

Bentuk Tanggung jawab pelakau usaha atas kerugain konsumen dalam


Undang-Undang Konsumen No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
diatur khusus dalam Pasal 19 yaitu:

1.) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas


kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2.) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau pengganti barang dan/jasa yang sejenis atau
setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan
yang sesuia dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3.) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari
setelah tanggal transaksi
4.) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan
5.) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
c. Tanggung Jawab Pidana

Pemberlakuan ketentuan pidana dalam hal kesalahan yang dilakukan oleh


pelaku usaha terhadap produk vaksin palsu yang diperdagangkan, maka
berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen mengatur tentang sanksi pidana bagi pelaku usaha yang
memproduksi barang tidak memenuhi standar, cacat atau rusak yg dimana itu
termasuk dalam perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagai berikut;

14
1.) Pelaku usaha yang melangar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2.) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan pasal 17
ayat (1) huruf d, huruf f, dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
3.) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,
cacat atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

15
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktik Oleh Tenaga Medis
Menurut Undang-Undang No.8 Th 1999 Tentang Perlindungan Konsumen studi kasus
atas kesalahan mencangkok jantung dan paru-paru sehingga meninggal. Dalam kasus
yang menimpa Jessica, Imigran Meksiko Dokter di Duke University Medical Center
gagal memeriksa kompatibilitas sebelum operasi dimulai. Studi Kasus dan kaitannya
dengan Hukum Perlindungan Konsumen ialah, bahawa dalam bidang kesehatan
malpraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan sehingga
menyebabkan dampak buruk bagi penderita atau pasien. Perlindungan hukum adalah
suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat
hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Dikuatkan kedalam UU mengenai perlindungan konsumen,
yaitu: Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, ketentuan pasal 1
angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dan menurut Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999. Dalam kasus yang terjadi diatas, keteledoran dalam pengecekan golongan
darah pasien yang akan di operasi, sehingga menyebabkan pasien tersebut meninggal.
Pihak medis atau tenaga kesehatan (pelaku usaha) telah melakukan keteledoran dalam
bekerja. Hal tersebut sudah jelas melanggar hak dan kewajiban konsumen maupun pelaku
usaha.

Perlindungan Hukum bagi Korban Peredaran Vaksin Palsu menurut UU No 36


Tahun 2009 tentang kesehatan dan UU No 8 Th 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dengan Kasus, Peredaran Vaksin Palsu. Beberapa waktu lalu pada tahun 2016 kasus
vaksin palsu sempat beredar di beberapa Rumah Sakit di Indonesia. Diperkirakan ada 14
Rumah Sakit diduga menjadi tempat diedarkan vaksin palsu, bahaya peredaran vaksin
palsu ini kalau dibiarkan terus-menerus akan menjadi ancaman yang serius di masyarakat.
Perbuatan melawan hukum atau “tort” (seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPer)
oleh produsen atau pihak lain yang berkaitan dengan proses produksi atau penyebaran
dari produk atau barang yang cacat tersebut. Hal ini juga tidak hanya terkait dengan
tindakan penipuan dan pemalsuan terutama pemalsuan merk sebagaimana diatur dalam

16
KUHP, namun juga melanggar UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan UU No 8
Th 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Analisis Kasus Berdasarkan UU diantaranya,
UU Mengenai Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu diharuskan adanya peran Badan POM
Dalam Melakukan Pengawasan Vaksin. Standarisasi dan sertifikasi terhadap vaksin
sebelum beredar dimasyarakat Badan Standarisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga
pemerintah non-departemen, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 102 tahun 2000. Serta
dirasakan perlu untuk melakukan pembinaan terhadap produsen, dengan perlindungan
terhadap konusmen yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 200. Pengawasan proses produksi dan peredaran
vaksin di masyarakat. Mengenai Pengawasan terhadap perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 30 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 serta juga mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha
(Produsen) Terhadap Korban Vaksin Palsu dengan Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab.
Dalam Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Korban: 1.Tanggung Jawab
Administrasi, 2.Tanggung Jawab Perdata, dan 3.Tanggung JawabPidana.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah karya ilmiah ini masih


jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, saran
dan kritik yang membangun perbaikan makalah karya ilmiah ini sangat penulis
harapkan dari pembaca, guna untuk memperbaiki dan meningkatkan pembuatan
makalah atau tugas yang lainnya pada waktu mendatang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bayan. Skripsi : Perlindungan Konsumen Terhadap Keberadaan Tingkat Kualitas Barang


Dari Perspektif Sistem Hukum di Indonesia. Mataram: Fakultas Hukum Universitas
Mataram, n.d.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Rudy, Dewa Gede and dkk. Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen. Denpasar: Fakultas
Hukum Universitas Udayana, 2016. Berkas PDF.

Taufik, Mohamad. 11 April 2013. 17 Maret 2020. <https://www.merdeka.com/peristiwa/5-


kasus-malpraktik-dalam-dunia-kedokteran.html>.

18

You might also like