You are on page 1of 48

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan


2.1.1 Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Belajar merupakan suatu penjelasan mengenai bagaimana informasi
diperoleh, diproses dalam pikiran peserta didik yang di harapkan dapat
meningkatkan pemahaman siswa sebagai hasil belajar. (Fajar, 2009, hlm. 9).
Menurut Gagne (1985) terjadinya belajar diperlukan adanya kondisi internal dan
eksternal. Sehingga terbentuklah hasil belajar yang terdiri dari kemampuan
intelektual, kognitif strategi, komunikasi verbal, keterampilan motorik dan sikap
atau perilaku yang baik. “Pendidikan kewarganegaraan membelajarkan anak didik
guna mengetahui apa saja hak dan kewajibannya menjadi warga negara yang baik.
Pembelajaran sendiri didefinisikan sebagai suatu upaya dalam memandu peserta
didik secara terencana, dipraktikan, dan memberikan penilaian supaya peserta
didik dapat memperoleh tujuan pembelajaran dengan hasil yang maksimal”
(Lestari Nur, 2014, hlm. 7). Dengan itu pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan di kelas hendaknya dapat membentuk akhlak atau budi pekerti
yang sesuai prinsip kewarganegaraan yang akan di implementasikan dalam
kehidupan mereka di masyarakat (Sapriya, 2011). Maka dengan itu warga negara
telah memiliki tanggung jawab serta sudah menjadi kewajiban untuk berperilaku
terhadap aturan yang berlaku.
“Definisi aturan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu suatu
perilaku untuk mengatur tindakan yang dijalankan sesuai dengan adat dan sopan
santun untuk terciptaya ketertiban, serta cara ketentuan patokan, petunjuk dan
perintah yang telah di tetapkan untuk dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Diantaranya berasal dari berbagai macam sumber seperti pekerjaan, sekolah, dan
hukum dalam suatu negara maupun prinsip moral. Dari penjelasan tersebut
sebagaimana yang kita ketahui dimanapun kita hidup dan berada pada suatu
tempat maka tak bisa terlepas oleh aturan yang ditetapkan. Kemudian sebagai
warga negara kita juga mempunyai wewenang. Wewenang adalah kekuasaan yang
dipadukan dengan hak agar dapat menggunakan suatu kekuasaan” (Sapriya,
2011). Sebagai contoh wewenang yang dapat dirasakan dalam kehidupan sehari -
hari terdapat dalam peran sebagai Orang Tua, Guru, Polisi, dan Pejabat
Pemerintah. Misalnya seorang Guru yang memiliki wewenang untuk memimpin
kelas dan mempertahankan tata tertib di kelas.
Selain itu menurut Kerr, 1999 (dalam halimah, 2018, hlm. 2) “Citizenship
or Civics Education is construed broadly to encompass the preparation of young
people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of
education (through schooling, teaching and learning) in that preparatory
process”. Pendapat ini mengandung penjelasan bahwasannya Pendidikan
kewaranegaraan dalam arti luas melibatkan prosedur untuk mempersiapkan
generasi muda agar mampu mepersiapkan diri dalam proses menyiapkan warga
negara yang baik diantranya paham akan peran beserta tanggung jawabnya
sebagai warga negara, dan dalam arti khusus diataranya dengan sekolah, dalam
pengajaran, dan belajar.
Hal ini, bertautan dengan teori pendidikan kewarganegaraan Azra (dalam
halimah, 2018, hlm. 2) memandang bahwa selain mendidik generasi muda
menjadi tahu mengenai hak dan kewajibannya untuk membangkitkan persiapan
menjadi warga negara yang global. Menurut Winaputra (dalam halimah, 2018,
hlm. 2) secara ideal Pendidikan Kewarganegaraan mempunyaitiga domain yakni
1) domain akademik; 2) domain kurikuler; dan 3) aktivitas sosial kultural. Hal
yang sama diutarakan oleh Sudjana (dalam halimah, 2018, hlm. 4) Pendidikan
kewarganegaraan adalah suatu mata pelajaran yang bermanfaat untuk membangun
pribadi yang baik dari segi agama, sosial budaya dan bahasa agar kelak tumbuh
sebagai warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter sebagaimana
landasan yang tesemat ada didalam Undang Undang Dasar 1945.
Kemudian termuat dalam Sistem pendidikan nasional yang tertera dalam
pasal 31 UUD 1945 disertai peraturan perundang-undangan dibawahnya yakni
alat guna memanifestasikan kewajiban nasional. Dalam tingkatan kurikulum
pendidikan kewarganegaraan dari mulai esensi, proses pembelajaran maupun
akibat sosioal budayanya telah di persiapkan dan di rancang guna melahirkan
pendidikan yang berdemokrasi dan bertujuan pada pengembangan karakter bangsa
Indonesia. Karena tujuan utamanya yaitu memupuk kepribadian bangsa Indonesia
baik secara mandiri, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan apresiasi
terhadap harkat dan martabat manusia dari tiap orang, maupun kepribadian dalam
publik, misalnya rasa peduli sebagai warga negara, sopan santun, mengindahkan
aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan mau untuk mendengar, negosiasi dan
kompromi Winaputra dan Budimansyah (dalam halimah, 2018, hlm. 72).
Memperkuat pernyataan di atas, Kosasih Djahiri (2007) (dalam Yuni
Astuti, 2015, hlm. 13) mengatakan bahwa “pembelajaran secara terstruktur
dipandang melalui komponen instrumental yakni proses interaksi antara aktivitas
belajar siswa dengan aktivitas mengajar guru dan sinkronisasi bersama
lingkungan belajarnya.” Dengan itu dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan saling berkaitan antara Peserta didik,
Guru maupun Lingkungan belajarnya.
2.1.2 Landasan Pendidkan Kewarganegaraan
Sebagaimana diketahui sekolah Indonesia telah diamanhi tanggung jawab
dalam proses membangun karakter bangsa yakni dari awal kemerdekaan dengan
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang masuk ke dalam kurikulum
sekolah pada tahun 1962 sampai saat ini, Pendidikan Kewarganegaraan juga
mengalami banyak perubahan baik dari nama, orientasi, substansi, maupun
pendekatan pembelajaran.
Pendidikan kewarganegaraan menjadi orentasi mata pelajaran dalam
pembentukan sikap peserta didik dengan strategi memadukan pembelajaran moral
ke dalam kegiatan sehari – hari serta menjalin interaksi dan kolaborasi antara
sekolah dengan orang tua anak didik. Jadi secara konseptual Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai bidang studi yang bersifat multifaset melalui
kedudukan lintas bidang keilmuan yang disebut interdisipliner dan
multidimensional berasaskan pada teori sosial, yang secara struktural berpijak
pada disiplin ilmu politik khsusunya konsep demokrasi politik untuk aspek hak
dan kewajiban. Sebagaimana yang dikatakan oleh Durkheim (dalam Aziz Wahab
dan Sapriya, 2011, hlm. 267) dalam teori anomi di jelaskan bilamana kekuatan
moral kehidupan sosial ambruk, individu akan berada di lautan tanpa gagasan
apapun tentang tujuan yang harus dicapai seperti kehilangan jati dirinya, perasaan
akan kedudukan, komitmen terhadap apa yang mereka percaya.
Kemudian menurut yuridis formal, landasan Pendidikan
Kewarganegaraan yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
menjadi landasan konstitusional di Indonesia, sebagaimana kita tahu dalam
pembukaan alinea ke empat mengenai harapan negara yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa yang memberikan pesan bagi seluruh rakyat indonesia
mengenai pendidikan terutama anak bangsa supaya mampu bepikir, berkarakter
dan bertindak secara cendekia dan sopan dalam pemecahan suatu konflik dan juga
dalam mengambil putusan yang bersifat kenegaraan, kebangsaan maupun
kemasyarakatan. Hal ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai landasan operasional dan peraturan
Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar Isi dan Nomor 23 tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan sebagai landasan kurikuler.
Ketetapan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan sudah ditentukan
dalam Undang Undang Sisdiknas sebagai mata pelajaran wajib di tingkat
pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang sudah termuat dalam pasal 37 ayat
(1) dan (2) dengan bunyi “Pendidikan Kewarganegaraan direncanakan untuk
mengembangkan peserta didik agar menjadi manusia yang mempunyai dan
menerapkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.” Dari adanya pasal ini
menunjukan bahwasannya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
menduduki posisi yang berhubungan dalam meraih cita cita pendidikan nasional
di negara ini. Dalam standar isi diuraikan pula bahwa mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang berfokus pada peningkatan warga
negara supaya paham akan hak dan kewajibannya agar menjadi warga negara
Indonesia yang didelgasikan oleh Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 guna
mencapai tujuan tersebut, maka peran pendidikan kewarganegaraan amat
istimewa. Mengingat strategi pendidikan yakni memikul bangsa ini agar menjadi
maju, sejahtera dan baik dalam peraturan internasional. Dengan itu seyogyianya
pendidikan ini terbebas dari kesenjangan yang telah terjadi selama ini.

2.1.3 Objek Kajian Pendidikan Kewarganegaraan


Konsep Pendidikan Kewarganegaraan ini menjadi peran bagi orang
dewasa/para orang tua untuk meneruskan nilai - nilai budaya yang di anggap baik
kepada generasi mudanya. Sebab Guru atau orang tua dianggap sudah paham
mengenai maksud dari warga negara yang baik dan upayanya untuk meneruskan
gagasan tentang nilai – nilai tersebut. Johanna Kasin Lemlech (dalam Aziz Wahab
dan Sapriya, 2011, hlm. 301). Kemudian konsep Pendidikan Kewarganegaraan
juga dirancang untuk mempersiapkan warga negara dalam memecahkan masalah
dan pengambilan keputusan. Numan Somantri (dalam Aziz Wahab dan Sapriya,
2011, hlm. 311) mengemukakan bangsa yang baik ialah warga negara yang paham
dan cakap untuk melaksanakan hak serta kewajibannya menjadi pribadi dan
masyarakat yang memiliki rasa peka beserta tanggung jawab sosial, dalam
menyelesaikan permasalahanya dengan mandiri dan juga permasalahan
kemasyarakatan dengan cerdas bertepatan terhadap fungsi dan perannya melalui
sikap yang disiplin, kritis dalam berpikir, dan inovatif agar mencapai kapabilitas
diri dan perbuatan warga negara maupun warga masyarakat yang baik.
Tak luput dari itu, makdu dari baik ialah warga negara yang menyadari
dan mematuhi aturan yang di anutnya serta pelaksanaan hukum yang sesuai
dengan pedoman Undang – Undang dengan rasa penuh tanggung jawab, tanpa
meruntuhkan hal -hal yang lainnya. (Aziz Wahab, 1996). Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan pembelajaran proses kehidupan, bukan sekedar
penyampaian masalah melainkan bertujuan sebagai upaya yang dilakukan dalam
mengimbangi suatu kondisi yang sedang berubah secara kreatif. Robinson
mengemukakan bahwa civic education hendaknya meliputi “a knowledgeable,
analytic and committed citizenry, effectively participating in society”. Maka
rumusan tujuan ini pada hakikatnya menuntun warga negara agar mampu
menghadang tantangan kehidupan yang dinamis saat ini, yakni era globalisasi.
Dengan itu hendaknya warga negara dapat berpikir secara cerdas dan analitis serta
mempunyai loyalitas dan cakap berkontribusi dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara juga dalam dunia internasional.
Maka dari itu, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan didambakan sesuai
akan desakan perkembangan zaman, maksudnya yaitu selain membangun warga
negara yang baik melainkan sebagai warga negara yang cerdas agar dapat
menyambangi lingkungan kehidupannya. Penjelasan tersebut memperoleh
perhatian penting mengingat tantangan hidup sekarang. Kecerdasan yang
sebaiknya dicapai oleh seorang dengan meliputi beragam kemampuan yaitu
kecerdasan dalam intelektual, kecerdasan dalam emosional, serta kecerdasan
sosial dan spiritual. Individu tiap negara hendaknya bermanfaat dalam berpikir
serta menganalisis beraneka macam masalah. Dengan itu tiap warga negara patut
menyandang sejumlah keterampilan atau kecakapan, diantaranya terampil dalam
berpikir, komunikasi, partisipasi, dan juga meneliti dalam menanggulangi
permasalahan yang dijumpainya. Segenap kecerdasan yang dimiliki dan
keterampilan yang dikuasinya didambakan dapat mempertanggungjawabkan
segala bentuk perbuatan dan tindakan yang dilakukan baik kepada anggota
masyarakat lain, sesama warga negara serta bangsa yang lain dan juga terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuan Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan pada tingkatan SD,
SMP, SMA DAN SMK tak jauh berbeda. Seluruhnya berkiblat terhadap eskalasi
kompetensi peserta didik yang sesuai dengan susunan rangkaian intelektual,
emosional, dan sosial. Dari pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan supaya peserta didik dapat menggali
kemampuan sebagai berikut:
1. Melatih berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif, dalam mengimbangi isu
kewarganegaraan
2. Aktif dan bertanggung jawab dalam berpartisipasi dan bertindak cerdas
didalam urusan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, juga anti korupsi.
3. Mengembangkan diri secara positif dan demokratis
4. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan bangsa lain guna
menjalin jaringan dalam peraturan dunia secara langsung maupun tidak
langsung.
Sehingga kemampuan tersebut wajib dikuasai oleh peserta didik secara
umum yaitu sudah terakomodasi sesuai dengan kurikulum berdasar kompetensi
dan berfokus futur masa kini. Oleh karena itu objek kajian Pendidikan
Kewarganegaraan yaitu akhlak budi pekerti warga negara. (Sapriya, 2011a,b).
Pada lokakarya metodologi Pendidikan Kewarganegaraan tahun 1973 diutarakan
objek studi Civics adalah : a) Perilaku, b) Tumbuhnya erpikir, c) Kemampuan atau
bakat yang ada dalam setiap diri warga negara, d) Hak serta Kewajiban, e) Cita-
Cita dan harapan yang membuahkan hasil dari tujuan, f) Rasa patriotisme,
nasionalisme, saling pengertian internasional, moral pancasila, dan g) Upaya,
aktivitas, partisipasi, dan bertanggung jawab.
Maka bidang kajian Pendidikan Kewarganegaraan ini ialah konteks warga
negara dapat menunjukan perannya sebagai individu yang berperilaku baik dalam
menjalani hidup sebagai warga negara yang berkelakukan baik dan cerdas.
Apabila ia di rumah ia merupakan anggota keluarga, seperti hal nya saat individu
sedang berpikir, bekerja yaitu berperan sebagai anggota masyarakat. Mengingat
menjadi masyarakat yang baik yaitu tercapainya perilaku madani, demokratis dan
toleransi antar agama suku ras dan budaya. (Sapriya dan Aziz Wahab, 2011, hlm.
318)
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa objek kajian Pendidikan
Kewarganegaraan area ulasannya sangtlah matang, tidak hanya bertaut oleh
tingkah laku warga negara melainkan diperhatikan beraneka perspektif yang lebih
khusus atau partikular. Diantaranya yaitu dalam segi psikologis, sosial, politik,
normatif, antropologis, dan segi yang lain yang telah diterangkan pancamuka.
Sebagai contoh nyata yaitu kondisi manusia Asia saat sebelum merdeka yang
terdiri dari berbagai macam etnis dan karakter yang berbeda menampakan sudut
pandang sosiologis dan psikologis historis sebagai amatan ontologi PKn yang
diterima dan dijadikan bagi pembentukan pengetahuan, sikap dan perilaku warga
negara yang mengakomodasi untuk pembangunan bangsa.
Selain itu dalam kajian PKN, unsur spiritual menjadi bagian yang tidak
kecil kontribusinya dalam pembelajaran PKN. Sebagai ilustrasi, apabila seseorang
niat beramal, artinya orang tersebut telah kehilangan uangnya padal dibalik hal
yang terlihat nyata orang tersebut yakin dalam hati nuraninya bahwa beramal
merupakan sebuah investasi yang bernilai pahala untuk kehidupan di akhirat
kelak. Dari ilustrasi di atas dapat diketahui terdapat ontologi nilai dalam
Pendidikan Kewarganegaraan yakni kebajikan yang dipupuk bagi seorang warga
negara terhadap yang lainnya secara mufakat tanpa imbalan apapun. Dasar tanpa
imbalan adalah keihklasan, tak harap balas budi ataupun balas jasa, karena ini
bukanlah sebuah bisnis melainkan amal kebaikan. Semua tindakan atau perilaku
tersebut adalah perilaku moral, moral metafisika. (Poespoprodjo, 2017, hlm. 5)
mengemukakan bahwa diperlukan orang – orang yang mampu menguraikan dan
menjelaskan dasar kehidupan moral. Karena bila manusa tidak bersusila, tidak
mungkin ada negara teratur, begitu pula tidak mungkin ada demokrasi, dan tidak
ada ekonomi sehat, serta tidak mungkin ada manusia berbudaya apalagi
membudaya. Karena integritas merupakan taraf ketika perilaku dan tindakan
individu yang menentukan hingga suatu perangai itu benar atau janggal, baik atau
buruk. Oleh karena itu ontologi Pendidikan Kewarganegaraan dalam bentuk
perilaku moral akan efektif apabila dikaitakn dengan nilai-nilai keyakinan yang
telah menyatu dalam diri warga negara.
Secara filosofis, landasan berpikir objek kajian pendidikan
kewarganegaraan dalam kedudukan di Indonesia meliputi:
1. Tanah air Indonesia
Yaitu dari Sabang sampai Merauke. Karena sudah menjadi zona bagi seluruh
rakyat Indonesia agar hidup dan bertempat tinggal kepada semua penguhinya.
Karena semua orang perlu tempat untuk hidup dan memiliki tempat untuk di
huni. Dan ini adalah ontologi natural anugerah dari Allah SWT.
2. Manusia sebagai Pribadi
Manusia merupakan diri pribadi adalah manusia yang unik, atau khas sebagai
makhluk hidup yang memiliki corak kepribadiannya sendiri, arti kata individu
tersebut berawal dari bahasa latin individuum yang mempunyai makna tak
terbagi atau menjadi satu kesatuan, sementara dalam bahasa inggris, individu
bermula dari kata in dan divided yakni manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yang di takdirkan sebagai makhluk yang paling istimewa dengan titipan
akal yang dimilikinya. Manusia sebagai makhluk inidividu juga mempunyai
peran untuk mewujudkan segala hal yang diinginkannya serta melindungi
harkat dan martabatnya. Lalu manusia sebagai pribadi juga berikhtiar dalam
melengkapi hak - hak dasarnya yaitu dengan cara melaksanakan seluruh
kapasitas diri (karya, cipta dan karsa) baik dari segi jasmani dan rohani demi
kepentingan dan keselamatan hidup yang dijalaninya. Peningkatan diri sebagai
manusia memerlukan proses yang panjang. Salah satu upaya pengembangan
manusia sebagai individu yaitu dengan pendidikan, karena dengan cara itu
manusia akan berkembang secara optimal. Dengan pendidikan yang baik
dapat menolong manusia memupuk segenap ide yang terdapat dalam pikiran
dan mengamalkannya untuk keseharian hidup. Pendidikan telah dirancang
untuk meningkatkan akhlak budi pekerti manusia dari satu taraf hingga ke
taraf perkembangan selanjutnya (Khodijah, 2016). Maka dengan itu, manusia
sebagai pribadi akan meningkatkan kapabilitas pribadinya.
3. Kekayaan Indonesia
Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan meliputi dua aspek yakni
alam dan budaya dan bahasa lokal daerah, adat istiadat, budaya, sastra, karya
seni, tarian, dan berbagai rupa hasil kerajinan kreativitas. Dengan beraneka
ragam serta kekhasan yang berbeda satu sama lain. Kekayaan natural meliputi
bahan tambang, laut, hutan sehingga dapat menghidupi bangsa Indonesia
terlahir jadi komoditas ekspor.
4. Kesadaran manusia Indonesia atas ke-Indonesiaannya
Manusia Indonesia yang sadar pada negara dan daerahnya, adalah sebuah
ontologi dan merupakan suatu kekayaan walaupun tak terlalu tampak namun
tetap ada. Kesadaran itu berwujud intensitas nasionalisme yang
berkesinambungan dan kontinu dari generasi satu pada generasi selanjutnya.
5. Identitas sebagai bangsa Indonesia
Ontologi ini semakin rawan dan mendekati runtuh dikarenakan lemahnya
pendidikan nasionalisme kewarganegaraan. Separuh orang Indonesia ekstrem
mengarah atau ikut turut reformis liberal, Justru demokrasi pun terkesan
bukan berasaskan pancasila, tetapi merujuk pada demokrasi liberal. Lalu
berkurangnya kepedulian dalam hidup berbangsa dan benergara bahkan sudah
luntur. Khusunya generasi muda saat ini yang selalu mengikuti gaya dan
perilaku westernisasi. Sifat dan sikap Individualisme atau etnosentris
modernisasi sudah mulai dirasakan oleh diri sendiri. Jati diri manusia
Indonesia sudah mulai hilang seiring berkembangnya peradaban zaman. Hal
ini menjadi permasalahan dan keprihatinan yang sudah semestinya mendapat
perhatian sehingga masalahan jati diri ini masuk ke dalam ontologi PKn.
Permasalahan identitas atau jati diri ini semakin pudar karena dominasi
kehidupan bangsa luar yang kuat oleh pengaruh teknologi dan informasi.
Maka di dirikanlah Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia sebagai
penggerak kesadaran dalam menghadapi dampak dari arus liberalisme dan
globalisme yang terjadi di Indonesia. Dari pernyataan tersebut tertangkap
landasan konseptual ontologis PKn mengantongi dimensi sebagai
pembangunan karakter bangsa atau warga negara yang baik. Kemudian
selanjutnya ontologi PKn Psikologis dan konteks menjadi aspek yang kedua
dalam mempengaruhi perkembangan warga negara muda karena berkaitan erat
dengan psikologis dan konteks yang berbeda. Makna kata perkembangan yaitu
transfigurasi keadaan mental seseorang untuk lanjutan dari upaya kedewasaan
fungsi kebatinan dan jasmani pada anak yang dibantu oleh keadaan
lingkungan yang bermanfaat saat pengejawantahan prosedur aktif secara
berkepanjangan (Kartono, 1990). Maksudnya adalah tak semua indivdu
mempunyai psikologis serta konteks yang setara pada kesehariannya. Adapun
seorang warga negara muda yang tinggal di kota akan sangat jauh berbeda
gaya hidup, tutur bahasa dan perilakunya dengan warga negara yang tinggal di
desa. Inilah yang di maksud landasan ontologi PKn Psikologis dan konteks.
Arti psikologis sendiri menurut KBBI yaitu berkenaan dengan psikologi
atau bersifat kejiwaan. Psikologi asal kata dari bahasa Inggris yakni
Psychology yang bermula pada dua kata dari bahasa Yunani, yaitu : psyche
yang bermakna jiwa, dan logos yang bermakna ilmu. Tentu secara prosais
psikologi bermakna disiplin bidang ilmu jiwa. Woodworth dan Marquis
(1957) mengemukakan bahwasannya psikologi merupakan ilmu mengenai
kegiatan individu yang melingkupi aktivitas motorik, kognitif, beserta
emosional. Namun perbedaan pengertian menurut Knight and Knight (1981)
ia mengemukakan psikologi merupakan bidang ilmu terstruktur mengenai
pengetahuan dan tingkah laku manusia, hewan, normal, abnormal, individu
dan juga sosial. Kemudian Morgan dkk. (1986) juga mendefiniskan ilmu
psikologi merupakan ilmu berkenaan dengan tingkah laku manusia dan
hewan, tetapi aplikasi ilmu temaktub pada manusia.
Sehubungan pengertian yang diutarakan oleh pakar psikologi dapat di raih
kesimpulan ternyata perspektif para ahli bervariasi, tetapi bila di cermati
secara terus menerus terlihat pokok persamaanya, yaitu:
1. Ilmu
2. Kajian aktivitas personalitas atau psikis
3. Tampak tatkala tingkah laku hewan & manusia
4. Penerapan untuk menanggulangi problem yang di alami pada manusia.
Sedangkan dalam khasanah keilmuan islam, psikis dikatakan sebagai ilmu
nafs yang meninjau perangai manusia tak jua sebagai hakikat kejiwaan saja,
sebaliknya dibahas juga dalam kedudukan tatanan kerohanian pada sudut
pandang Al-Quran & As-Sunnah. (Khodijah, 2016, hlm. 3). Seperti yang
tersingkap, manusia meniti daya upaya pendidikan dan pembelajaran
membutuhkan kacamata psikologis yang terlampau berlaku dalam menetapkan
kesuksesan daya guna pendidikan yang telah terlalui. Oleh sebab itu,
penafsiran mengenai orientasi psikologis yang tampak dalam kepribadian
pembelajar adalah faktor yang signifikan disandang bagi tiap pendidik dan
calon pendidik. Menimbang esensi mendalami psikologi untuk seorang guru
atau calon guru menurut Muhibbin Syah (dalam Khodijah, 2016. Hlm 24)
menyatakan ditengah pengetahuan dan kecakapan yang mesti dimiliki
pendidik dan calon pendidik yakni wawasan psikologi terapan yang terpaut
didalam kegiatan belajar mengajar agar para anak didik menjadi terarahkan
dengan baik.

2.2 Pendekatan, Strategi dan Metode Pembelajaran PKn


2.2.1 Pengertian Pendekatan dan Ragam Macam Pendekatan PKn
Ketika akan memulai proses pembelajaran seorang Guru perlu melakukan
pendekatan terlebih dahulu agar tercapainya tujuan pembelajaran dengan tepat,
oleh karena itu Pendekatan pembelajaran menjadi hal yang tidak boleh dihiraukan
untuk seorang pendidik maupun calon guru yang akan mengajar peserta didiknya
sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Pendekatan Pembelajaran
menurut pendapat Gulo (dalam Suprihatingrum, 2013, hlm. 146) yakni perspektif
ketika meninjau permasalahan yang timbul saat pembelajaran berlangsung.
Pandangan tersebut merepresentasikan kiat berpikir dan perangai seorang guru
dalam menangani perkara yang dijumpai dalam proses belajar mengajar.
Sementara itu (Sapriya, 2009) pendekatan diartikan sebagai suatu trik menuju
suatu polemik. Pada saat situasi pembelajaran, pendekatan dilaksanakan oleh guru
agar tercapainya tujuan pembelajaran dengan mendekati suatu persoalan, objek
dan unsur – unsur kegiatan belajar mengajar. Bila siswa hendak cakap
berkomunikasi lisan saat berdiskusi, dengan itu Guru patut berupaya bergerak
dekat dengan siswa melalui informasi yang di gali tentang apa saja yang
mencorakkan kegemarann, hobi, keinginan dan tekad atau cita - cita siswa
tersebut. Pendekatan pembelajaran dimaksud laksana titik pangkal atau prospek
guru mengenai daya dan upaya pembelajaran, yang mengacu berdasarkan sudut
pandang bekenaan suatu perihal yang substansinya sudah terbiasa. (Wati, 2010,
hlm. 7). Pendekatan menadahi, memotivasi, meneguhkan serta menjadi latar suatu
cara atau langkah yang ada dalam pembelajaran melalui spektrum teoritis tertentu.
Pendapat lain menjelaskan yaitu jalan yang akan ditempuh dan dipergunakan oleh
pendidik agar siswa belajar sesuai dengan tujuan eksplisit. (Rahmawati, 2011,
hlm. 74). Dapat disimpulkan pendekatan pembelajaran yakni
pengamatan/perspektif berbentuk rancangan dalam menetapkan konkretisasi
proses pembelajaran untuk merealisasikan tindakan kelas yang diterapkan untuk
pembelajaran. Menurut penjelasan dari definisi berikut dapat ditetapkan unsur
penting apa saja yang ada dalam pendekatan pembelajaran yakni 1. Merupakan
sebuah prinsip/tumpuan, 2. Merupakan konstituen/perspektivisme, 3. Setaraf ide
akan harapan yang jitu, 4.Cara yang di tempuh dalam menyajikan suatu materi
yang akan diajarkan.
Dapat digarisbawahi pendekatan pembelajaran dibedakan dalam dua jenis,
yakni: teacher centered guru merupakan seseorang yang berpusat memegang
kontrol sepanjang kegiatan pembelajaran dalam aspek struktur organisasi,
rancangan materi serta efesiensi dan efektifitas waktu. Kemudian student centered
siswa diberikan dorongan untuk melaksanakan sesuatu sesuai praktiknya dalam
menumbuhkan faedah atas pengalaman yang ditemukannya. Terdapat beraneka
macam pendekatan pembelajaran yaitu:
1. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan yang mengaitkan materi belajar melalui keadaan real siswa
sebagai halnya yang dinyatakan Johnson (dalam Siregar & Nara, 2011, hlm.
117) yakni keteguhan, ketangkasan, serta kecerdikan tak terlepas oleh
pengaruh lingkungannyaa/suatu kondisi, dikarenakan adanya tampilan atau
penghubung antar situasi ruang lingkup yang ada. Bagian – bagian yang
menyusun dan menjadi ciri dari pendekatan kontekstual diantaranya menurut
(Siregar & Nara, 2011, hlm. 117)
a. Mewujudkan tautan untuk mendapatkan makna
b. Melaksanakan komoditas yang bermanfaat
c. Mandiri dalam belajar
d. Berpartisipasi
e. Bertindak Kreatif dan Bepikir Kritis
f. Meningkatkan Kapasitas diri
g. Tolak ukur capaian yang tinggi
h. Penilaian, penaksiran dan evaluasi yang tepat
2. Pendekatan Ekpositori
Pendekatan ini mengutamakan penyajian dari keterangan yang diungkapkan
sumber belajar pada peserta didik. Didalam pendekatan ini sumber belajar bisa
menyajikan materi hingga selesai, yang berarti bahwa pembelajaran dilakukan
dengan holistik dan tidak khusus. Pendekatan ini berorientasi kepada sumber
belajar, serta mempunyai ciri khas diantaranya :
a. Terdapat pengaruh sumber belajar ketika pembelajaran.
b. Bahan belajar mencakup ide atau konsep dasar dari materi yang baru bagi
belajar,
c. Fokus materi bersifat pengetahuan informasi,
d. Sarana pembelajaran yang terbatas.
3. Pendekatan Induktif
Pendekatan Induktif Menurut Purwanto dalam Rahmawati (2011, hlm. 75)
yaitu dimulai dengan cara menerangkan segenap periode khusus lalu
disimpulkan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan. Setelah itu kegiatan
pembelajaran diawali dengan memberikan contoh spesifik hingga pada
generalisasinya.
4. Pendekatan Deduktif
Deduktif yakni cara berpikir yang berangkat dari ungkapan yang sifatnya
umum kemudian mengambil simpulan bersifat khusus (Busrah, 2012, hlm. 5)
Oleh sebab itu pembelajaran melalui pendekatan deduktif adakalanya kerap
disebut pembelajaran tradisional karena guru mengawali dengan ide atau
konsep teori dan meningkat ke penerapan contoh dari teori. Dapat diketahui
Pembelajaran dengan pendekatan deduktif menegaskan pada guru juga
menyuplai pengetahuan atau pemahaman wawasan pada siswa.
5. Pendekatan Kontruktivisme
Pendekatan Kontruktivisme menurut (Huda dan Sagala, 2003, hlm. 68) Dalam
pendekatan ini peran seorang Guru begitu esensial dalam menyediakan
perangkat dan metode demi tercapainya kebutuhan murid, maka dari itu dalam
pembelajaran ini guru tak hanya mengajarkan murid bagaimana menuntaskan
persoalan semata, namun menyalurkan gagasan tiap masalah yang terjadi serta
memacu peserta didik untuk menciptakan caranya sendiri guna menyelesaikan
suatu masalah. Pendekatan tersebut tak mengharuskan peserta didik bisa
menjawab pertanyaan secra tepat dengan yang terdapat dalam sumber belajar.
Peserta didik juga tak mengutarakan atau menilai jawaban siswa benar
ataupun salah tetapi lebih memprioritaskan peningkatakan daya kritis siswa
untuk menghadapi beragam pilihan jawaban yang ada. Guru patut
membangkitkan peserta didik untuk menyepakati atau bahkan menampik ide
seseorang hingga bergilir mengemukakan pendapat sampai diraihnya
kesepakatan. Peserta didik dikukuhkan oleh wawasan menrut kehendak
dirinya serta silih memberi strategi, dan solusinya dengan bersama peserta
didik lain yang ditilik dan diawasi oleh guru.
6. Pendekatan Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Pada pendekatan Problem Solving murid dianjurkan agar mendapatkan
pengalaman melalui pengetahuan dan keterampilan yang telah dimilikinya
agar diaplikasikan pada pemecahan masalah yang sifatnya tak awam atau
kaprah dijumpai. Bila suatu persoalan dibagikan pada peserta didik kemudian
peserta didik tersebut dapat segera menangkap solusi dalam memecahkannya,
artinya permasalahan yang sudah diberikan tak bisa diungkapkan sebagai
suatu permasalahan karena seharusnya terdapat ketimpangan diantara harapan
beserta kenyataan. Menurut Dewey (dalam Sanjaya, 2011, hlm. 217) cara
yang optimal didalam pendekatan penyelesaian masalah yaknit:
a. Perumusan masalah
b. Analisis masalah. Memecahkan masalah menitibneratkan pada fokusnya
mengidentifikasi masalah dalam menetapkan beraneka cara penangananya,
maka dari itu analisis merupakan kiat yang sudah pasti dilakukan.
c. Mengoptimalkan pengembangan sejumlah hipotesis. Karena hipotesis
merupakan opsi dalam pengendalian dari pemecahan dan penyelesaian
masalah.
d. Menelaah sebagian hipotesis. Meninjau dan menilai kelebihan dan
kekurangan dari hipotesis.
e. Menguraikan estimasi penyelesaian masalah.
7. Pendekatan Open-Ended
Pendekatan ini menurut Shimada (Nuryadi, 2014, hlm. 1) menerangkan guru
meletakkan suatu situasi perkara pada murid yang kemudian penyelesaiannya
dapat ditemukan dengan berbagai cara, pendekatan ini mempunyai prinsip
yang selaras pendekatan pemecahan masalah namun berbeda, yakni bermula
melalui menyematkan suatu persoalan perkara pada siswa, perbedaanya
masalah yang disuguhkan ialah masalah yang memuat beraneka ragam
jawaban yang tepat. Masalah yang ditemui mempunyai beberapa jawaban
dikatakan sebagai masalah tak rampung atau masalah terbuka.
Ciri dari pendekatan Open-Ended yaitu:
a. Aktivitas murid wajib terbuka, maksudnya tak hanya salah dan benar saja.
b. Aktivitas materi mempunyai variasi pandangan, pendapat serta pikiran
yang berbeda.
c. Aktivitas siswa dan kegiatan materi atau suatu masalah merupakan satu
koherensi yang utuh.
8. Pendekatan Saintifik
Menurut Rusman (2015), pendekatan saintifik adalah pendekatan
pembelajaran yang melabuhkan kesempatan kepada siswa secara signifikan
agar melaksanakan pencarian secara tekun dan cermat mengenai materi yang
dikaji, kemudian saat proses pembelajaran didesain supaya murid antusias
membangun konsep, prosedur, hukum atau prinsip dengan tahap saintifik,
yaitu:
a. Meninjau
b. Merumuskan masalah
c. Mencetuskan hipotesis
d. Mengumpulkan data
e. Menelaah data
f. Mengikat kesimpulan
g. Mengomunikasikan
Beriringan atas pendapat tersebut, menurut (Hosnan, 2014, hlm. 34) bertujuan
untuk menyajikan pengetahuan pada siswa agar mengetahui, paham mengenai
ragam materi melalui pendekatan ilmiah, dengan informasi yang bermula dari
mana saja, kapan saja, dan tak bertopang terhadap keterangan satu arah dari
guru. Pembelajaran menggunakan pendekatan ini ditujukan supaya peserta
didik cakap dalam merumuskan masalah dengan aktif bertanya, tidak hanya
menjawab saja, melainkan diharapkan mampu mengasah berpikir analitis serta
peserta didik dibimbing untuk belajar memustukan suatu hal, bukan berpikir
mekanitis atau kerap hanya menghafalkan dan mendengarkan semata (Majid,
2014, hlm. 194)
9. Pendekatan Inquiry
Pendekatan ini menggunakan strategi yang berpangkal pada peserta didik
yaitu tiap kelompok siswa diarahkan pada suatu pembahasan lalu menjawab
pertanyaan sesuai dengan prosedur dan struktur kelompok yang disyaratkan
dengan konkret (Oemar, Malik. 2012, hlm. 63) Pendekatan ini berusaha
memberi rentang waktu untuk peserta didik agar mampu belajar dengan
mengungkap atau menyelidiki suatu masalah. Melalui pendekatan inquiry
materi yang disediakan bukan diulas hingga rampung, sehingga adanya
kesempatan untuk peserta didik agar dapat mandiri menemukannya melalui
beragam versi oleh dorongan atau stimulus Guru. Sedangkan Rusyan dkk
(1992) mengemukakan cara yang dapat dilalsanakan dalam mempraktikan
pendekatan inquiry yakni:
a. Stimulasi
Yaitu bermula melalui aktif bertanya dan mengutarakan pembahasan atau
memberikan kesempatan pada peserta didik untuk membaca
b. Pernyataan Masalah
Peserta didik berpeluang mengindentifikasi beragam masalah. Kemudian
masalah dipilih yang selanjutnya harus dicetuskan ke dalam wujud
pertanyaan maupun hipotesis.
c. Pengumpulan Data
Agar dapat menjawab pertanyaan serta terbukti benar atau tidaknya suatu
hipotesis, maka peserta didik diberi peluang untuk mengumpulkan
beragam data dan fakta yang penting dengan cara pembacaan literatur,
pengamatan objeknya, wawancara narasumber, uji coba mandiri, dan lain -
lain.
d. Pengolahan Data
Kemudian seluruh data yang diperoleh selanjutnya digarap, diselidiki,
dikelompokan, disusun sesuai dengan penyajian data atau mungkin
dihitung dengan langkah tertentu serta ditafsirkan menurut acuan kaidah
tertentu.
e. Verifikasi
Menurut hasil pengolahan data dari mengkaji dan telaah informasi yang
ada tersebut, pertanyaan atau hipotesis yang telah dirumuskan selanjutnya
dicek terbukti atau tidaknya.
f. Generalisasi
Menurut hasil dari verifikasi kemudian peserta didik menguraikan
generalisasi atau kesimpulan tertentu.

Setelah memahami penjelasan mengenai Pendekatan pembelajaran dan


juga macam-macamnya, selanjutnya terdapat inovasi pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dalam komponen pendekatan. Mengapa demikian,
karena sebagaimana halnya seorang Praktisi Pendidikan maupun Guru harus
senantiasa melakukan pendekatan dalam pembelajaran PKn guna memenuhi
sasaran sebagai orientasi kepada maksud dan tujuan pada indikasi yang lebih
mengedepankan terhadap prosedur dan juga inovasi kompetensi. Hal ini bertujuan
agar pembelajaran PKn membangun warga negara yang demokratis, baik, cerdas,
partisipatif dan tanggung jawab. Langkah berikutnya yaitu melalui perwujudan
suasana serta keadaan yang menguatkan indvidu berkeinginan memupuk beragam
bakat yang ada dalam dirinya dengan mewujudkan asosiasi mendidik di kelas
melalui situasi dan kondisi yang bersifat terbuka, komunikatif, kondusif, dan
konstruktif dan suasana itu patut memberi pengaruh secara reflektif antara guru
dan peserta didik. Dengan itu Pendekatan field psychology yang sejalan dengan
filsafat pendidikan John Dewey menekankan pada pembelajaran yang
mengoptimalkan peserta didik dalam menanamkan konsepsi dan daya upaya
penanganan masalah (Hunt dan Metcalf, 1955) mulai mempengaruhi
pembelajaran civics. Pendekatan ini dinilai relevan dengan prinsip pembelajaran
PKn mengingat ciri yang menonjol pada pengembangan nilai – nilai demokratis,
egaliter, interaktif, dan partisipatif, Numan Somantri, 2001 (dalam Sapriya dan
Aziz Wahab, 2011, hlm. 335) mengemukakan kontribusi dari aliran field
psychology terhadap pengembangan pembelajaran PKn terutama dalam
orientasinya: (1) mendorong partisipasi siswa secara aktif, (2) memiliki sifat
inkuiri, dan (3) mendorong siswa untuk memecahkan masalah. Hingga saat ini
pendekatan dari aliran tersebut lebih banyak dianjurkan untuk diterapkan dalam
proses pembelajaran di kelas PKn karena banyak mendukung untuk pencapaian
tujuan PKn.
2.2.2 Strategi Pembelajaran PKn
Dalam melaksanakan pembelajaran yang benar, tentu saja patut
menyandang strategi saat berlangsungnya proses pembelajaran. Oleh karena itu
penerapan strategi yang bagus dan penting menjadi modal yang wajib. Bila
Strategi Pembelajaran dilaksanakan dengan tepat, maka akan mengembangkan
peserta didik menjadi berfikir mandiri, kreatif, dan adaptif dalam menghadapi
segala sesuatu yang belum dan akan terjadi (Asrori, 2013). Secara umum strategi
mempunyai pengertian, berdasarkan pencarian dalam KBBI adalah rencana yang
otentik berkenaan dengan aktivitas untuk tercapainya tujuan spesifik. Oleh karena
itu seorang pendidik mempunyai tugas utuk melawan suatu penjajah ataupun
segala rintangan yang ada dalam bidang pendidikan agar tercapai kemenangan.
Definisi pembelajaran terdiri dari dua kata yakni belajar adan mengajar
dan pembelajaran adalah Kegiatan Belajar Mengajar. Menurut T. Raka Joni
(dalam Gulo, 2008, hlm. 2), ialah susunan atau teknik biasanya gerak gerik Guru
kepada Murid untuk menciptakan suatu pembelajaran. Strategi pembelajaran
adalah unsur penting bagi kontinuitas kemajuan pendidikan dimasa yang akan
datang. Terdapat lima elemen utama selama pembelajaran yakni: Kegiatan Pra
Pembelajaran, Penyajian Informasi, Partisipasi Siswa, Ujian, dan Tindak Lanjut.
(Dick and Carey, 1978, hlm. 110). Tata pra pembelajaran seyogianya
dintroduksikan lebih dulu pada peserta didik sebagai pemanasan. Kedua,
penyampaian Informasi seyogianya pendidik memaparkan secara tuntas terkait
materi supaya peserta didik dapat menyerap atau menerima materi saja. Ketiga,
partisipasi aktif memang mengakomodasi pembelajaran sebagaimana yang
dinyatakan pada teori behaviorisme. Kegiatan belajar dinyatakan sukses bila
ditemukan respons dari stimulus yang telah diterima. Keempat, ujian diperlukan
agar diketahui barometer kemampuan peserta didik. Kelima, langkah selanjutnya
apa saja harus dibangun setelah meninjau penilaian tersebut. Apabila penilaian
tersebut tergolong rendah, maka pembelajaran sebaiknya diperbaiki dengan
metode yang lain. Contohnya demonstransi, berdiskusi, ceramah dan sebagainya.
(Sanjaya,Wina 2007) mengemukakan bahwa Strategi pembelajaran adalah
rangkaian bentuk atau desain umum prosedur Pendidik kepada peserta didik
dalam pengaktualan pembelajaran. Sedangkan Menurut (Dick and Carey, 1990)
makna strategi pembelajaran yaitu segenap konstituen materi pembelajaran serta
rencana atau hierarki pembelajaran yang dipergunakan oleh pendidik yang
bertujuan mendukung peserta didik menggapai tujuan tertentu. Sehingga strategi
pembelajaran tak semata -mata sampai pada rencana atau tahap dari kegiatan
belajar saja, namun tercantum pada penyajian materi atau distribusi program
pembelajaran yang nantinya dikemukakan pada peserta didik. Kemudian menurut
(J.R David, 2008) dalam strategi pembelajaran mengandung arti perencanaan,
maka strategi pembelajaran dapat dimaknai sebagai perencanaan mengenai
susunan kegiatan yang dirancang agar terwujudnya tujuan pendidikan. Sangatlah
jelas strategi pembelajaran adalah cara yang digunakan seorang pendidik agar
dapat menggapai suatu tujuan pembelajaran yang di dambakan.
Agar tercapainya tujuan pembelajaran pendidik berusaha mewujudkan
perencanaan dengan sebagus dan sebaik mungkin baik dalam pelaksanaan
pembelajaran, dan penilaian hasil belajar untuk dapat diketahui mengenai tujuan
yang sudah di rencanakan tersebut sudah terlaksana. Sebagaimana di ungkapkan
oleh (Alim Sumarno, 2011) pengertiaan dari strategi pembelajaran yaitu tatanan
aktivitas yang ditunjuk oleh Guru dalam kegiatan pembelajaran supaya dengan
mudah menyajikan sarana dan prasarana kepada peserta didik menuju pada
tercapainya tujuan pembelajaran yang sudah di tentukan. Menyusun strategi
pembelajaran yang baik sebaiknya diawali dari proses pengumpulan dan analisis
data/infromasi mengenai beragam faktor yang menjadi pengaruh pada proses
pembelajaran siswa (Sapriya dan Aziz Wahab, 2011). Strategi pembelajaran
dibagi dalam beraneka macam. Menurut (Sanjaya, 2007, hlm. 177-286) terdapat
berbagai bentuk strategi pembelajaran yang dapat dilaksanakan oleh pendiidk,
diantaranya sebagai berikut:
1. Strategi Pembelajaran Ekspositori
Yakni memprioritaskan pada upaya penyampaian materi secara lisan maupun
tulisan dari pendidik pada peserta didik dengan berkelompok dengan tujuan
agar peserta didik dapat paham materi pelajaran dengan optimal. Pada sistem
ini guru telah mempersiapkan secara rapi, tersturktur dan menyeluruh hingga
peserta didik hanya mendengarkan dan memperhatikan dengan fokus dan
tertib.
2. Strategi Pembelajaran Inkuiri (SPI)
Yakni merupkan rancangan aktivitas pembelajaran yang menitikberatkan
terhadap progres berfikir kritis dan analitis untuk menelusuri jawaban secara
independen suatu masalah yang dikemukakan. Strategi ini dapat dilaksanakan
melalui tanya jawab antar guru dan peserta didik. SPI ialah strategi yang
bertujuan memperkuat pengembangan intelektual. Diantaranya pengembangan
mental itu menurut Piaget dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu maturation,
pshysical experience, social experience dan equilibration.
3. Strategi pembelajaran berbasis masalah (SPBM)
Strategi ini dapat dimaknai rancangan kegiatan belajar mengajar yang
menitikberatkan terhadap progres penyelasaian masalah yang dilakukan secara
ilmiah. Dipandang dari aspek psikologi belajar SPBM bersandar pada
psikologi kognitif yang bermula atas asumsi bahwasanya belajar merupakan
upaya perbaikan perilaku yang disebabkan oleh adanya pengalaman. Atas
dasar tersebut, belajar bukanlah usaha menghafal segenap ilmu maupun fakta,
melainkan proses interaksi atas kesadaran antar pribadi dan lingkungannya.
Melalui proses ini sedikit demi sedikit siswa dapat mengembangkan dirinya
dengan utuh. Hal ini bermakna perkembangan siswa bukan hanya terjadi pada
aspek kognitif, melainkan juga aspek afektif dan psikomotor dengan
pendalaman secara internal terhadap masalah yang nanti di hadapi. Proses
pembelajaran SPBM ini dihendaki dapat memberi latihan dan kecakapan tiap
individu agar bisa menuntaskan masalah yang ditemuinya.
4. Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB)
Ialah strategi pembelajaran yang menitikberatkan pada kemampuan berpikir
siswa. Dalam pembelajaran ini materi pelajaran tak diterangkan secara belaka
saja pada siswa, melainkan siswa dituntun untuk berproses mendaptkan
sendiri konsep yang patut dikuasai dengan proses dialogis yang
berkepanjangan dengan memanfaatkan pengalaman pada siswa. Strategi
pembelajaran ini berpijak pada perkembangan kemampuan berpikir peserta
didik dengan menelaah fakta atau pengalaman anak sebagai bahan untuk
menyelesaikan masalah yang dididik.
5. Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK)
Strategi ini menerapkan sistem pengelompokan/tim kecil, yakni antara empat
sampai enam orang yang memiliki latar belakang kemampuan akademik, jenis
kelamin, ras atau suku yang beragam. Sistem penilaian dilaksanakan pada
kelompok. Tiap kelompok akan menerima penghargaan/reward, bilamana
kelompok tersebut membuktikan prestasi yang dirsyaratkan.
6. Strategi pembelajaran kontekstual (CTL)
Strategi ini menolong guru menautkan antara materi pembelajaran dengan
situasi dunia nyata peserta didik, serta memacu peserta didik menciptakan
tautan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan implementasinya dalam
keseharian hidupnya.
7. Strategi Pembelajaran Afektif (SPA)
Afektif berhubungan dengan nilai (value) yang sukar diukur karena berkaitan
pada rasa sadar individu yang berkembang dari diri siswa. Dalam batas
tertentu, afeksi dapat bermula dari perilaku atau kebiasaan. Namun agar dapat
sampai pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan memerlukan
kecermatan dan pengamatan yang berkepanjangan, dan hal tersebut tak mudah
untuk dilaksanakan.
8. Strategi Pembelajaran Quantum
Strategi ini dimaknai sebagai orkestrasi beraneka macam interaksi yang ada
didalam dan disekitar momen belajar. Interaksi ini melingkupi unsur untuk
belajar efektif yang berpengaruh pada kebberhasilan peserta didik. Interaksi
ini meningkatkan kemampuan dan bakat alamiah peserta didik menjadi cahaya
yang akan berfaedah bagi dirinya sendiri dan bagi manusia lain. Strategi
pembelajaran ini diciptakan atas dasar teori pendidikan seperti Accelerated
Learning, Multiple Intelegence, Experential Learning, dan Cooperative
Learning. Strategi pembelajaran Quantum bersandar dan berlandaskan pada
konsep : Bawalah dunia mereka, ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke
dunia mereka. Inilah asas atau landasan yang menjadi sebab alasan utama di
balik segala strategi, model, dan keyakinan Quantum Teaching. Semua hal
yang dilaksanakan dalam kerangka Quantum, Teaching setiap berinteraksi
dengan peserta didik, setiap merancang kurikulum, dan setiap metode
instruksional di bangun atas prinsip bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan
antarkan dunia kita ke dunia mereka (DePorter, 2003, hlm 6). Prinsip ini
menasihati kita untuk mengetahui pentingnya mencampuri dunia peserta didik
sebagai langkah yang pertama. (Nur Nasution, 2017, hlm. 139).
Saat ini, konsep pembelajaran yang dikembangkan PKn telah menghilir
dari pendekatan faculty psychology menjadi field psychology yang berarti bahwa
strategi pembelajaran patut dikembangkan sesuai pendekatan field psychology
yaitu strategi pembelajaran kontinum atau pembelajaran yang mengkombinasikan
antara sudut ekstrem inkuiri dan sudut ekstrem, ekspositori. Dengan begitu,
pembelajaran lebih bersifat humanis karena mengamati perspektif sifat manusia
yang pada dasarnya sejak lahir sudah mempunyai potensi untuk berkembang.
(Aziz Wahab dan Sapriya, 2011, hlm, 343)
Strategi yang hendak dikembangkan dalam pembelajaran PKn adalah
strategi pembelajaran yang bersifat dialog kritis, pengalaman langsung,
kolaboratif, kooperatif, dan pembelajaran aktif. Strategi pembelajaran ini
mengutamakan pada tiga ranah pembelajaran yaitu kognitif, afektif dan
psikomotorik. (Murdiono, 2021, hlm. 37). Strategi yang terbilang baru dalam
pembelajaran PKn adalah strategi pembelajaran aktif. Strategi ini dikemukakan
oleh Melvin L. Silberman. Pembelajaran aktif memerlukan kerja sama yaitu
dengan menempatkan peserta didik menjadi beberapa kelompok kemudian
memberinya tugas dengan itu pada saat kegiatan pembelajaran aktif berlangsung
peserta didik melakukan sebagian besar kegiatan belajar mereka, sehingga mereka
dapat mempelajari hal yang baru, memecahkan masalah dan menerapkannya
dalam kehidupan mereka. Salah satu cara pembelajaran aktif yang bisa
dilaksanakan ketika proses pembelajaran PKn yaitu melalui strategi pembelajaran
aktif model college ball, yakni untuk menguatkan kembali, mengklarifikasi dan
meringkas kata kunci atau poin prnting pada saat pembelajaran di kelas. Menurut
strategi pembelajaran ini siswa bisa lebih paham materi pembelajaran PKn.
Pengembangan strategi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan
berbasis kearifan lokal juga dapat mengantarkan peserta didik pada pembelajaran
kontekstual. Peserta didik ditantang untuk berpartisipasi aktif dalam proses
pembelajaran, sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan jelas
esensinya. Dengan begitu pembelajaran PKn tak lagi menjadi pelajaran yang di
pandang jenuh, bosan atau bikin mengantuk melainkan akan menjadi sebuah
proses pembelajaran yang menarik dan digemari oleh para peserta didik.
Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu langkah
usaha yang dirancang oleh pendidik agar mencapai tujuan secara maksimal. Oleh
karena itu tiap pendidik wajib memiliki strategi yang bervariasi dalam mengajar.
Dengan itu, pendidik patut menentukan strategi yang tepat bagi peserta didik yang
berimbang pada situasi dan kondisi. Berikut strategi yang dapat dikembangkan
diantaranya:
1. Strategi pembelajaran ekpositori, yakni pendidik lebih memprioritaskan
bercerita didepan kelas dan dilanjutkan dengan tanya jawab menuju akhir
pelajaran. Strategi ini dapat disebut ceramah plus.
2. Strategi pembelajaran information search, yakni pendidik memberi tugas pada
peserta didik untuk mengerjakan tugas tersebut secara sendiri yang berakhir
dengan dikoreksi dan dinilai oleh pendidik.
3. Strategi pembelajaran reading a loud, yakni peserta didik membaca modul
yang ada dengan berani dan bersuara lantang guna meningkatkan kemampuan
membaca dan dengan mudah memahami materi dengan pemahamannya
sendiri.
4. Strategi pembelajaran heuristik, yakni peserta didik mencerna atau
menerjemahkannya sendiri pada materi pelajaran yang sudah disajikan oleh
Guru.
Dengan menguraikan beberapa strategi diatas peserta didik tak akan jenuh
terhadap pelajaran yang akan disampaikan.

Pada strategi pembelajaran juga terdapat empat poin penting yaitu : Belajar
untuk mengetahui Learning to know, pengetahuan merupakan jendela dunia yang
kelak akan bermanfaat bagi anak cucu atau generasi bangsa di kemudian hari.
Demikian daripada itu adanya pembelajaran pendidikan kewarganegaraan,
seyogyianya megejewantahkan peserta didik agar mengetahui sejarah
kemerdekaan Indonesia sebagai rasa cinta nasionalisme terhadap tanah air
Indonesia. Kemudian Belajar untuk Berbuat Learning To Do, Tindak selanjutnya
yaitu mengaplikasikan wawasan yang dimiliki selaras dengan perbuatan. Sebagai
contohnya pada hari ulang tahun Indonesia tanggal 17 Agustus diwajibkan bagi
seluruh warga negara Indonesia untuk mengibarkan bendera merah putih.
Sedangkan belajar untuk menjadi Learning To Be, ketika waktu kecil kita sudah
pernah ditanya mengenai cita-cita, dengan itu semenjak kecil kita sudah diajarkan
untuk bisa menjadi apa yang kita inginkan sebagai tujuan hidup dan motivasi di
kemudian hari serta berharap dan juga berusaha untuk mewujudkannya menjadi
kenyataan. Selanjutnya yaitu Belajar untuk Bersama sebagai Makhluk Sosial
Learn to Live Together, yakni dapat diketahui bahwa manusia ialah makhluk
sosial yang tak dapat hidup sendiri namun membutuhkan orang lain. Maka, untuk
menjadi insan yang sosial hendaknya saling bersosialisasi dan hidup rukun dan
saling membantu antar sesama. Contohnya dalam bermasyarakat harus saling
membantu walaupun terdapat keanekaragaman Suku, Agama, Ras dan Budaya.
Pada hakikatnya tak akan ada strategi pembelajaran yang dinilai paling
baik, karena tiap strategi pembelajaran saling mempunyai keunggulannya masing
- masing. Strategi pembelajaran yang diungkaokan baik dan tepat dalam mencapai
tujuan pembelajaran tertentu belum tentu baik dan tepat diaplikasikan dalam
mencapai tujuan pembelajaran yang lain. Itulah sebabnya, seorang pendidik
hendaknya memiliki kepiawaian untuk menetapkan dan mengimplementasikan
beragam variasi strategi pembelajaran, supaya dalam memanifestasikan tugasnya
dapat menentukan alternatif startegi yang dirasa sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang sudah ditentukan. Berikut ini diuraikan beraneka ragam
strategi pembelajaran yang dapat dipergunakan dalam pelaksanaan pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (Sanjaya, 2008, hlm. 5) :
1. Jigsaw
Strategi ini dipergunakan apabila materi yang akan dipelajari dapat dibagi
menjadi beberapa bagian. Materi tersebut tak harus dijelaskan secara berurut.
Strategi ini dapat menyertakan semua peserta didik dalam pembelajaran dan
melatih peserta didik untuk mengajarkan sesuatu pada orang lain.
2. Startegi Reading (Membaca Buku Ajar)
Strategi ini digunakan apabila waktu yang ada dalam mengulas suatu materi
sangatlah terbatas. Para peserta didik diatur untuk membaca materi yang akan
dibahas dengan diberikan dan dibuatkan kisi – kisi panduan.
3. Information Search (Mencari Informasi)
Strategi ini dapat diimplementasikan pada materi yang padat, monoton dan
menjenuhkan. Materi dapat dipetik dari beragam sumber seperti koran,
majalah, tabloid dan sebagainya.
4. Critical Incident (Pengalaman Penting)
Strategi ini pada umumnya diterapkan untuk memulai pembelajaran. Tujuan
penggunaan strategi ini yaitu untuk menyertakan peserta didik sejak awal
dengan mendorong peserta didik mengutarakan pengalamannya. Strategi ini
juga sesuai apabila diterapkan dengan tujuan pembelajarannya yang
mengajarkan peserta didik untuk berempati atau merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain.
5. Seeing How It Is (Melihat Kejadian Sebenarnya)
Strategi ini dimaksudkan untuk memahami suatu kondisi tidak lazim yang
terjadi atau dihadapi seseorang. Dengan strategi ini, peserta didik diminta
membayangkan bagaimana dan apa yang dilakukan oleh orang yang
mengalami kondisi tersebut.
6. Brainstorming (Curah Gagasan)
Strategi ini adalah tindakan inventarisasi ide melalui curah pendapat tentang
topik tertentu dengan bebas tanpa adanya seleksi.
7. Small Group Discussion (Diskusi Kelompok Kecil)
Strategi ini bermaksud untuk mendirikan kerja sama individu maupun
kelompok., kemampuan analitis, kepekaan sosial, serta tanggung jawab antar
individu didalam kelompok.
8. Point Counterpoint (Adu Argumen)
Strategi ini bermaksud untuk memajukan diskusi, melatih argumentasi dan
menumbuhkan pemahaman yang lebih dalam berkenaan terhadap isu yang
kompleks.
9. Active Debate (Debat Aktif)
Adalah strategi yang dapat memberikan dorongan kepada peserta didik guna
berpikir kritis, argumentatif dan reflektif. Strategi ini secara aktif menyertakan
seluruh peserta didik didalam kelas, tidak hanya para pelaku debatnya atau
presenternya saja.
10. Role Playing (Bermain Peran)
Penerapan dari starategi ini bertujuan untuk mengajari peserta didik cara
berempati. Startegi ini dapat merangsang peserta didik untuk menautkan
dirinya dalam suatu peran atau keadaan tertentu hingga peserta didik dapat
memahami, mendalami dan mengerti tindakan sosial yang dilaksanakan oleh
orang lain di lingkungan sosial.
11. Poster Comment (Mengomentari Poster atau Gambar)
Strategi ini bertujuan untuk memberi stimulus dan menumbuhkan kreativitas
dan mendorong penghayatan peserta didik pada suatu masalah yang terjadi.
Dalam strategi ini peserta didik dilatih agar dapat mengemukakan
pendapatnya secara lisan mengenai suatu poster tau gambar.
12. Concept Map/Maping (Peta Konsep)
Strategi ini melatih daya kreativitas dan kemampuan tingkat analisa tinggi.
Dalam pelaksanaannya peserta didik diarahkan untuk membuat sintesis atau
diagram dari konsep utama yang saling berhubungan dengan memberi tanda
panah atau garis yang mempunyi arti dan berkaitan antar konsep tersebut.
Strategi ini bermula dari psikologi kognitif guna memperoleh pemahaman
yang lebih baik dan mudah dengan cara menautkan atau menghubungkan
antara satu konsep dengan konsep yang lain.

2.2.3 Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan


Definisi Metode pembelajaran yakni cara terstruktur dalam bentuk nyata
berupa langkah - langkah dalam mendukung pelaksanaan suatu pembelajaran.
Metode secara harfiah berawal dari bahasa Yunani methodos, yang bermakna
jalan atau cara. Sedangkan menurut (Sagala, 2003) metode pembelajaran
merupakan daya upaya yang di perlukan oleh pendidik dalam mengolah informasi
berupa fakta, data, dan konsep pada proses pembelajaran yang mungkin terjadi di
dalam strategi. Dalam proses belajar mengajar, metode yang digunakan sangatlah
bervariasi Sebagai pendidik, hendaknya pandai dalam menentukan atau memilih
metode yang tepat dan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik. (Moh.
Murtadho, dkk., 2009, hlm. 7). Bila Strategi pembelajaran adalah rangkaian
kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan sedangkan metode adalah cara
yang digunakan untuk mencapai tujuan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
pendapat (Iskandarwassid dan Sunendar, 2011, hlm. 56) yang mengemukakan
bahwa metode pembelajaran merupakan cara kerja yang terprogram untuk
menyederhanakan pelaksanaan beraneka ragam kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan yang dinginkan.
Sementara itu, (Sutikno, 2014, hlm, 33) berpendapat bahwa definisi
metode secara harfiah berarti cara, atau prosedur yang dilasanakan guna mencapai
tujuan tertentu. Ini berarti bahwa metode pembelajaran adalah suatu langkah
untuk mengatasi masalah dalam mencapai target yang mempermudah pelaksanaan
pembelajaran berupa penerapan yang spesifik serta langkah-langkah nyata agar
proses pembelajaran berlangsung secara efektif guna mencapai suatu tujuan
tertentu seperti perubahan positif pada peserta didik. Metode pembelajaran
merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mewujudkan rencana yang sudah
dirancang dalam kegiatan yang konkret agar tujuan yang telah dirangkai dapat
terlaksana secara optimal (sanjaya, 2016, hlm. 147). Selanjutnya Menurut
(Ginting, 2014, hlm. 42) metode pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu pola
yang unik dalam mendayagunakan berbagai prinsip dasar pendidikan serta
beragam teknik dan sumber daya lainnya agar terjadi proses pembelajaran pada
diri peserta didik. Kemudian Metode pembelajaran adalah teknik yang patut
dikuasai oleh pendidik atau guru guna menyampaikan materi pelajaran pada
peserta didik di kelas, baik secara individu maupun kelompok supaya materi
pelajaran bisa diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh peserta didik dengan baik
(Ahmadi dan Prasteya, 2015, hlm. 52). Sedangkan (Hamiyah dan Jauhar. 2014,
hlm. 49) mendefinisikan bahwa metode adalah cara untuk mengimplementasikan
rencana yang sudah dirangkai dalam bentuk kegiatan konkret dan konklusif agar
tercapainya tujuan pembelajaran. Sama halnya dengan (Sani, 2019, hlm. 158).
Sedangkan menurut (Amri, 2013, hlm. 113) metode belajar mengajar dimaknai
sebagai tata cara yang dilakukan untuk menerangkan atau menamakan
pengetahuan kepada subjek didik, atau anak melalui sebuah kegiatan belajar
mengajar, baik di sekolah, rumah, kampus, pondok, dan lain-lain. Menurut
(Komalasari, 2017, hlm. 56) mengemukan bahwa metode pembelajaran dapat
dimaknai sebagai salah satu cara yang dipraktikan oleh pendidik dalam
menerapkan metode secara eksplisit. Dari pengertian diatas dapat terdapat
beragam macam metode Pembelajaran PKn diantaranya (Maridjo, 2010, hlm. 13):
a. Metode Ceramah
Metode ini dalam menyampaikan bahan ajar dengan menjelaskan dan
menuturkan lisan pendidik terhadap peserta didik. Metode ini lebih sesuai
diterapkan jika bahan ajar banyak mengandung informasi baru dan membutuhkan
penjelasan spesifik dari pendidik. Kemampuan metode ini bila diterpakan dengan
metode lain seperti tanya jawab atau diskusi yang saat ini lebih dikenal dengan
ceramah bervariasi, hingga peserta didik tak hanya mendengarkan melainkan
berupaya berbicara dalam kegiatan pembelajarannya.
b. Metode Cerita
Metode ini adalah prrosedut menumbuhkan suatu nilai atau moral pada peserta
didik dengan mengemukakan segala karakter kepribadian tokoh tertentu melalui
cerita hikayat, legenda atau dongeng sejarah lokal. Metode ini sesuai diterapkan
dalam meningkatkan penghayatan nilai dan moral serta sikap peserta didik.
c. Metode Tanya Jawab
Metode ini menyampaikan bahan ajar dengan beragam pertanyaan dari
pendidik, terutama bilamana dalam proses pembelajaran, pendidik menerapkan
Teknik Klarifikasi Nilai. Oleh sebab itu pendidik harus menguasai teknik bertanya
Questioning. Metode ini akan sesuai diiterapkan didalam pembelajaran yang
menitikberatkan pada peserta didik atau kegiatan peserta didik.
d. Metode Diskusi
Metode ini diterapkan bertujuan agar dalam proses pembelajaran terjadi
komunikasi banyak arah Multiway Trafict Communication. Komunikasi banyak
arah yang terdiri dari pendidik dan peserta didik, peserta didik dan pendidik serta
peserta didik dan peserta didik sangat disyaratkan pada pembelajaran yang
berorientasi pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun saat menerapkan
metode ini salah satu diantara hal yang tak boleh dihiraukan yaitu wajib
mempunyai masalah yang di diskusikan.
e. Metode Penugasan
Metode ini berupaya melatih peserta didik untuk melakukan tugas atas dasar
petunjuk langsung yang sudah disiapkan oleh pendidik. Tujuan penerapan dari
metode ini yaitu agar peserta didik memperoleh pengalaman langsung, nyata,
disertai bekerja secara jujur dan mandiri.
f. Metode Permainan atau Kompetesi
Metode ini sangat memikat peserta didik dan membangkitkan motivasi
belajarnya, berlatih dalam pengambilan keputusan dan yang utama dalam
menciptakan suasana bahagia dalam pembelajaran Joyful Learning. Dengan
suasana senang maka materi pembelajaran akan mudah diterima oleh peserta
didik. Oleh sebab itu metode ini berupaya dalam menyampaikan bahan ajar
melalui bentuk permainan yang berkompetensi. Permainan yang dimaksud yakni
permainan yang dibuat sendiri oleh pendidik berupa teka - teki, papan bergambar
(sejenis ular bertangga), kotak rahasia, kartu bergambar dan lain sebagainya.
Amanat yang terdapat dalam permainan ini hendaknya tetap berupa nilai, moral
dan norma sesuai dengan karakteristik atau visi misi Pendidikan
Kewarganegaraan.
g. Metode Simulasi
Metode ini adalah cara menguji bahan ajar yang dilaksanakan secara langsung
melalui kegiatan praktek mengenai pelaksanaan nilai dan moral. Melalui metode
tersebut peserta didik dibimbing untuk memahami dan menghayati nilai - nilai
yang hidup dan berada di masyarakat.
h. Metode Portofolio
Metode pembelajaran berbasis portofolio bertujuan untuk membentuk warga
negara demokratis, yakni cara mengajarkan peserta didik dengan meningkatkan
kecerdasan warga negara civic intelligence dalam dimensi spiritual, rasional,
emosional dan sosial, menumbuhkan rasa tanggung jawab sebagai warga negara
civic responsibility, dan membiasakan peserta didik berkontibusi aktif sebagai
warga negara civic participation guna mengakomodasi tumbuh dan
berkembangnya warga negara yang baik. Metode pembelajaran ini
mengumpulkan informasi/data yang disusun dengan baik yang mengilustrasikan
rencana kelas peserta didik mengenai suatu isu kebijakan publik yang sudah
diputuskan untuk dikaji secara berkelompok baik kelompok kecil ataupun kelas
secara keseluruhan.

2.3 Tinjauan Mengenai Fatwa Pendidikan Ki Hajar Dewantara


Untuk membangun masa depan bangsa yang kuat, tentunya hal penting
yang harus wajib dilakukan adalah memberikan pendidikan yang bermutu bagi
anak bangsa. Tanpa membeda-bedakan masyarakat bawah maupun atas. Semua
berhak mendapat pendidikan. Ki Hajar Dewantara (dalam Macaryus, 2009, hlm
29), melalui pendidikan yang baik maka generasi bangsa Indonesia akan mampu
menghidupi dirinya sendiri, keluarganya, yang pada akhirnya akan menciptakan
kekuatan bagi tiap individu dan juga kekuatan bangsa. Pendidikan harus
diupayakan sampai ke tahap pendidikan tinggi karena bertambah tinggi
pendidikan seseorang maka bertambah besar pengaruhnya kepada kehidupan yang
akan ia jalani sepanjang hidupnya.
Namun dapat kita ketahui bahwa situasi dan kondisi pendidikan di
Indonesia pada era saat ini masih mengutamakan pada intelektualitas serta
kurangnya menyoroti perspektif pembenahan karakter personal, pendidikan nilai,
dan kepekaan serta tanggung jawab sosial Tarpin (dalam Samho, 2013, hlm. 13).
Bukti yang dijumpai oleh rakyat Indonesia sekarang ini ditandai oleh maraknya
kekerasan, konflik vertikal dan horizontal, tidak dapat mengendalikan emosi,
fanatisme, koruptif, sikap tidak peduli antar sesama, sikap ketidakadilan, sikap
menghalalkan segala cara, sikap pragmatis, penindasan pihak yang lemah oleh
pihak yang kuat. Alhasil sejumlah lulusan semata - mata menyandang keunggulan
akademis belaka, namun miskin karakter, buta nurani, dan tak mempunyai rasa
kepedulian akan apa yang terlaksana di wilayah setempat sehingga mudah di
provokasi, berwawasan sempit, memandang manusia lain laksana musuh dan
tandingan yang mesti dibinasakan. Menurut Tarpin dalam (Samho, 2013, hlm.
13).
Mengenai akar pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan
merupakan fokus utama dalam mencapai kebahagiaan hidup setinggi-tingginya.
Maka dari itu Ki Hajar Dewantara (dalam Rahardjo, 2020, hlm. 68) kerap
menegaskan pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia. Menurut pandangan
beliau pendidikan ampuh memperbaiki akhlak, budi pekerti dan perbuatan warga
negara menjadi warga negara yang memiliki kedudukan tinggi yang setara dengan
warga negara lain. Bangsa merupakan basis potensi yang patut memperoleh
pembelajaran supaya cakap menyelenggarakan ikhtiar untuk kemakmuran negeri.
Pendidikan patut memerdekan manusia dari keterlibatan pada orang lain dan
bertumpu pada kemampuan sendiri. Oleh karena itu pendidikan adalah suatu
tuntutan esensial dalam hidup tumbuhnya generasi bangsa. Sebagaimana halnya
Menteri Pendidikan kita saat ini Bapak Nadiem Anwar Makarim menghidupakan
kembali konsep pendidikan dari pemikiran Ki Hajar Dewantara, yakni program
kebijakan merdeka belajar. Adapun substansi kemerdekaan berpikir mesti diawali
oleh para Guru sebelum mereka menerangkannya pada peserta didik. Kebijakan
Program Merdeka belajar ini diharapkan dapat berdampak baik dalam aspek
kehidupan. Mulai dari fisik, mental, jasmani dan rohani dalam dunia pendidikan.
Sesuai dengan permendikbud No 1 Tahun 2022 mengenai kebijakan merdeka
belajar dalam penentuan kelulusan peserta didik dan pelaksanaan penerimaan
peserta didik baru, juga No 56 Tahun 2022 mengenai Pedoman Penerapan
Kurikulum dalam rangka Pemulihan Pembelajaran (Kurikulum Merdeka),
Kemudian yangg sudah didahulu oleh perguruan tinggi dengan ditetapkankannya
Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 mengenai Kebijakan Merdeka Belajar
Kampus Merdeka tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Jadi, kebijakan
mengenai Merdeka belajar sudah direncanakan dan diputuskan dari jauh hari
dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
22 Tahun 2020 Tentang Rencana Strategis Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 2020-2024. Namun Tugas pendidik yaitu menjadi fasilitator
dan motivator bagi peserta didik tanpa merubah atau menyalahi kodrat dari
peserta didik agar mereka dapat memperbaiki tingkah lakunya. Artinya, bahwa
hidup dan berkembangnya anak berposisi diluar kapabilitas para pendidik. Maka
dai itu anak merupakan manusia yang hidup dan tumbuh berdasarkan kodratnya
sendiri. Ki Hajar Dewantara (dalam Joesoef , 2009, hlm. 3)
Beliau juga mengemukakan dalam Pengukuhan Dr HC UGM 1956 (dalam
Tan-Sri Zulfikar, 2015, hlm. 68) bahwa pendidikan nasional adalah letak dimana
cikal bakal kebudayaan yang tumbuh dan berada pada masyarakat kebangsaan dan
kebudayaan dilestarikan supaya unsur-unsur adat istiadat dari kebudayaan tersebut
dapat tumbuh secara baik dan dapat dilanjutkan pada generasi berikutnya. Begitu
pula Pendidikan merupakan pembinaan buah budi manusia yang beradab dan hasi;
perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengitari hidup manusia
yaitu kodrat alam dan zaman juga masyarakat. Pendidikan bertaut upaya dalam
memerdekakan hidup lahir dan batin manusia agar manusia selalu sadar akan
kewajiban dan haknya sebagai segmen dari masyarakat hingga manusia tak
bergantung terhadap manusia yang lain dan bisa berdiri sendiri, dapat memimpin
dirinya sendiri, dan mengarahkan ketertiban hidupnya dalam berhubungan dengan
kemerdekaan manusia lain. Pendidikan mempunyai spirit dalam meneggerakan
perubahan demi membangun bangsa dengan sistemis dan sistemik ke jalan yang
lebih baik dengan upaya memandang dalam keadaan yang tidak diinginkan
sekarang ini dan menetapkan tujuan serta langkah yang dibutuhkan guna
mewujudkan masyarakat yang dikehendaki di masa depan sebagai perbaikan
terhadap kesalahan yang telah dibuat di masa lampau dan harapan yang
disandarkan supaya kehidupan di masa mendatang lebih membahagiakan, lebih
demokratis, lebih merakyat, dan lebih manusiawi. (Dewantara I, 2004).
Tiga butir penting pendidikan yang harus diperhatikan menurut Ki Hajar
Dewantara (dalam Tan-Sri Zulfikar, 205, hlm. 66) :
1. Semangat kemuliaan budi manusia, oleh karena itu senantiasa mengutamakan
segala nilai kebatinan dan menghidupkan semangat idealisme.
2. Kecerdasan budi pekerti, yaitu maksudnya jiwa seutuhnya atau character
building.
3. Kekeluargaan, yaitu sadar akan hidup bersama-sama susah maupun senang,
serta bertanggung jawab yang diawali dari lingkungan terkecil, yakni
keluarga. Jangan sampai sistem sekolah umum menhindarkan anak dari alam
keluarganya dan alam rakyatnya.
Seperti diibaratkan dengan seorang petani yang dalam hakikatnya sama
komitmennya dengan seorang pendidik, ketika seorang petani sedang menanam
padi ia hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, yaitu dengan memperbaiki
kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat
atau jamur yang menganggu hidup tanaman padi, dan lain sebagainya. Meskipun
tanaman padi dapat diperbaiki namun petani tak bisa mengganti kodratnya padi,
yakni ia tak akan bisa menjadikan padi yang ditanamnya tumbuh sebagai jagung
dan ia tak bisa memelihara tanaman padi tersebut sama haknya dengan
memelihara tanaman kedelai atau yang lainnya. Demikian halnya dengan
pendidikan walaupun hanya dapat membimbing peserta namun faedahnya untuk
peserta didik sangatlah besar.
Walaupun kendatinya pendidikan hanya sebagai tuntutan dalam hidup,
namum pendidikan juga berkaitan melalui kodrat dan keadaan setiap anak. Bila
ada anak yang tak baik atau kurang baik asalnya, tentu anak tersebut mesti
memperoleh bimbingan supaya kian baik budi pekertinya, kalau dibiarkan begitu
saja maka anak tersebut akan terpengaruh menjadi orang jahat. Begitu pula
dengan anak yang telah baik dasarnya masih memerlukan bimbingan karena ia
akan menjadi lebih cerdas dan berwawasan luar, ia pun akan terhindar dari hal-hal
yang membawa dirinya pada pengaruh jahat. Menurut Ki Hajar Dewantara terjadi
kemungkinan anak yang awalnya baik karena pengaruh kondisi dan situasi yang
tidak baik maka ia pun menjadi manusia yang jahat. Seumpama jika anak hidup
dalam keadaan serba kekurangan perhatian, kemiskinan, serta tidak mendapat
ajaran agama dan moral di dalam keluarganya mengakibatkan anak boleh jadi
terjerat dampak buruk.
Sebagaimana diketahui ilmu pendidikan, sangkut paut mengenai dasar dan
keadaan itu terletak adanya konvergensi, artinya, keduanya silih andil, sehingga
garis dasar dan garis keadaan itu senantiasa bersimpul dan alhasil menjadi satu. Ki
Hajar Dewantara (dalam Aziz Sefudin dan Solehudin, Joesoef, 2009, hlm. 5).
Megenai perlu tidaknya tuntutan Pendidikan dalam hidup, sama halnya dengan
persoalan butuh tidaknya perawatan pada perkembangan tanaman. Seumpama,
jika sebutir jagung yang baik dasarnya ditanam pada tanah yang subur, banyak
airnya, dan terpapar sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari petani
tentu akan memupuk baiknya keadaan tanaman. Kalau tak ada pemeliharaan,
sedangkan keadaan tanahnya tak baik, atau tempat biji jagung itu tidak terpapar
sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu walaupun dasarnya baik,
tak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Kiranya bila sebutir jagung
tak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan perawatan yang paling baik oleh
petani, maka biji itu akan menjadi tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang
tak baik dasarnya.
Berkaitan dengan hal diatas Ki Hajar Dewantara memiliki 11 nasihat yang
senatiasa harus diamalkan, direfleksikan dan dijewantahkan dalam kehidupan,
yaitu Fatwa akan Sendi Hidup Merdeka karena semua pengetahuan, pesan dan
cita – cita hidup membutuhkan pemahaman kesadaran, dan keteguhan
pelaksanaanya. Siapa saja mesti paham apa maksud dan mau ke mana tujuan
hidupnya. Ia harus mengerti apa maksud dan mau ke mana tujuan hidupnya. Ia
patut merasa dan sadar akan makna cita – cita dan kebutuhan untuk dirinya, untuk
masyarakat dan yang terpenting senantiasa bisa memanifestasikan ilmunya.
Ibaratnya Ilmu tanpa amal seperti pohon yang tidak berbuah. Berikut yang
menjadi sorotan fatwa untuk hidup merdeka, yaitu :
1. Lawan Sastra Ngesti Mulya, yang artinya Melalui Ilmu Kita Mendekati
Kemuliaan. Inilah yang diharapkan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu kemulian
nusa, bangsa dan rakyat Indonesia. Karena Ilmu adalah jalan untuk menuju
derajat yang setinggi-tingginya.
2. Sastra Herdjendrajuningrat Pangruwating Dyu, yang artinya Ilmu yang
Luhur akan Menopang Dunia serta Membinasakan Kebiadaban. Fatwa ini
menyimpan arti Ilmu merupakan bekal untuk diri agar selamat hidup di dunia
maupun di akhirat. Dengan Ilmu kita dapat mengindar perbuatan buruk atau
jahat.
3. Suci Tata Ngesti Tunggal, yang artinya Suci Batinnya, Damai Lahirnya
Mendekati Kesempurnaan. Fatwa ini menitahkan manusia agar selalu
membenahi kesucian batin dan teraturnya hidup lahiriah untuk menjalani
kesempurnaan hidup.
4. Hak Diri untuk Menuntut Salam dan Bahagia.
Tiap Manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mendapatkan
kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin maupun menganut agama yang
diyakininya, namun dalam mengejar lahir harus selaras dengan mencari dan
menanamkan kebahagiaan batin.
5. Salam Bahagia Diri Tidak Boleh Menyalahi Damainya Masyarakat
Maksudnya adalah sebuah nasihat untuk rakyat Indonesia yang mencakup dari
beragam suku bangsa agar senantiasa menjaga toleransi dalam hal apapun.
Jangan sama individu menjadi apatis atau mementingkan dirinya sendiri tanpa
memikirkan hak hak orang lain yang membutuhkan, seyogianya kita sebagai
bangsa indonesia senantiasa menjunjung tinggi kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi maupun golongan.
6. Kodrat Alam itulah Petunjuk untuk Hidup Sempurna
Dari fatwa ini menyadarkan kita sebagai manusia yang membutuhkan
pedoman dalam hidup, tanpa kita pungkiri bahwa diri kita sebagai manusia
lemah tanpa kekuatan dari Tuhan, maka kita sebagai manusia haruslah hidup
sesuai dengan kodrat yang telah menjadi aturan dan kuasa Tuhan. Baik hidup
sebagaimana Individu, bangsa sekalipun anggota dari alam kemanusiaan.
7. Alam Hidup Manusia adalah Alam Berbulatan
Dalam fatwa ini dijelaskan bahwa kita sebagai manusia hidup berdampingan
dengan lingkungan berbagai alam khusus yaitu alam diri, alam kebangsaan
dan alam kemanusiaan yang kemudian saling berpengaruh antara satu sama
lain diantaranya terdapat dalam sanubari kita rasa diri, rasa bangsa dan rasa
kemanusiaan.
8. Dengan Bebas dari segala Ikatan dan Suci Hati Berdedikasi kepada Sang Anak
Dalam fatwa ini memberi peringatan dan dorongan bagi pendidik untuk
senantiasa Ikhlas dan Tulus dalam mengabdi bagi bangsa dan negara
khusunya dalam mendidik anak murid.
9. Tetep Mantep Antep
Dalam Fatwa ini Tetep berarti prinsip hati dan tak tergoyahkan, antep berarti
berbobot, bermutu dan mantep berarti tetap pada pilihannya. Ini merupakan
nasihat yang harus dijalani dalam kehidupan kita agar senantiasa bersungguh
sungguh dalam memilih apapun yang sudah kita pilih dalam hidup seperti
halnya pekerjaan maupun menetapkan keputusan, agar tidak gampang
dihambat, ditahan ataupun dilawan oleh orang lain.
10. Ngandel Kandel Kendel Bandel
Dalam fatwa ini Ngandel bermakna percaya, yakin pada Tuhan dan kekuatan
diri, Kandel berarti tebal kepercayaan atau tebal iman, Kendel berarti berani
karena benar, tidak ketakutan, was was ataupun berprasangka buruk, Bandel
berarti tahan uji lahir dan batin, tidak mudah putus asa atau tawakal. Guna
berjuang demi cita – cita dan tujuan hidup sebagai manusia. Karena empat
tabiat ini saling berkaitan satu sama lain, barang siapa dapat percaya kepada
kemampuan diri sendiri lalu yakin kepada Tuhan maka ia akan berani dalam
mengikuti dan membela kebenaran, kemudian akan bertawakal atau bertahan
dalam segala ujian yang menimpa hidup tanpa berputus asa dari rahmat
Tuhan.
11. Neng Ning Nung Nang
Dalam Fatwa ini Neng berarti “Meneng: yaitu tentram batinnya, Ning dari
kata “Wening” yaitu bening, jernih pikiran, Nung dari kata “Hanung” yaitu
kuat sentosa, punya kemauan, Nang dari kata “menang” atau wewenang” yaitu
berwenang dan kuasa mengenai usaha kita. Empat sifat ini silih berkaitan satu
sama lain siapaun yang berfikiran hening, tenang, diam tidak emosial, dan
memiliki mempunyai kemauan yang kuat maka akan mendapat kemenangan.
Dengan fatwa yang disampaikan Ki Hadjar Dewantara maka sudah jelas
bahwa kita sebagai generasi penerus bangsa sepatutnya konsisten mengingat dan
meneladani fatwa tersebut dalam kehidupan kita sehari – hari. Supaya kita dapat
mengoptimalkan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan yang seimbang dengan
alam dan masyarakatnya. Karena itulah kita harus memerangi pengaruh baru yang
berdampak tidak baik bagi kelangsungan hidup kita. Kita harus selalu waspada
dalam menentukan apa saja hal yang positif agar menambah kebaikan hidup dan
apa saja yang menghambat kita melalui cara senantiasa merenungkan bahwasanya
segala perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah karunia Tuhan
untuk manusia di dunia, walaupun takdir hidup tiap manusia telah ditentukan
berdasarkan ketetapan Tuhan, namun tugas manusia jangan sampai berputus asa
dari rahmatnya karena manusia sudah diberi akal serta hati nurani untuk
keberlangsungan hidupnya di dunia. Sebab kita perlu memhami secara baik dan
benar lazimnya orang mengira bahwasannya pendidikan bermakna tentang
tuntutan hidup manusia dan tak ada hubungannya pada kebahagiaan batin,
sedangkan walaupun keselamatan hidup lahir perlu diperjuangkan oleh tiap orang,
tetapi yang pertama adalah kebahagiaan kehidupan batin manusia.

2.4 Metode Pembelajaran Ki Hajar Dewantara


Dalam metode pembelajaran Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa
tujuan dari pendidikan yaitu pengendalian diri, lantaran dari sinilah pendidikan
berangkat untuk humanisasi atau memanusiakan manusia. Pengendalian diri
adalah metode untuk terwujudnya pendidikan yang humanis. Pada saat peserta
didik piawai menguasai dirinya, dengan itu manusia secara konsisten dapat teguh
dalam menentukan sikap dan tindakannya. Dengan begitu tertanamnya sikap
yang mandiri dan dewasa. Ki Hadjar menunjukan dengan hajat diwujudkannya
pendidikan yaitu menunjang peserta didik agar jadi manusia yang merdeka. Maka
daripada itu manusia merdeka yakni tak hidup terperintah, berdiri tegak dengan
keteguhan diri sendiri, dan pandai mengatur hidupnya secara tertib. “Dengan kata
lain, pendidikan membuahkan seseorang menjadi taat pada aturan, namun tak bisa
diperintah sesuka hati, melainkan menuju kedewasaan berfikir dalam bersikap dan
bertindak, hingga berpegang pada nilai – nilai keadilan, kesetaraan, dan nilai tali
persaudaraan yang berbudaya dan berakal budi serta bermanfaat baik untuk
dirinya sendiri, juga orang lain.” (Tan-Sri Zulfikar, 2015, hlm. 174). Pendidikan
merupakan suatu proses, tidak semata - mata melaksanakan transfer ilmu
pengetahuan belaka, namun juga mantransfer nilai atau Value. “Pendidikan juga
berhajat untuk meningkatkan potensi dan kreatifitas manusia supaya dapat
bertahan hidup di masa depan.” (Noviani, Rajab dan Hashifah, 2017, hlm. 160).
Memandang perkembanan anak bangsa yang semakin hari semakin menjadi
perhatian sesama lantaran sudah kehilangan kepribadian pribuminya. Akibatnya
banyak pengaruh internal maupun eskternal yang membuat anak bangsa tidak
mencintai budaya bangsanya.
Maka metode pembelajaran Ki Hajar Dewantra (dalam Rahardjo, 2020,
hlm 82) meskipun terlihat klasik namun sangat memadai sampai zaman saat ini
sesuai dengan amanat serta sila Pancasila dan juga Undang Undang Dasar 1945.
Ki Hajar menepis gaya mengajar dan mendidik yang tidak berlandaskan dasar
kehidupan bangsa indonesia. Menurutnya Pendidikan dan Pengajaran itu harus
membentuk generasi penerus bangsa yang bangga akan kebudayaannya sendiri,
hingga dengan demikian akan tumbuh rasa cinta akan jati dirinya sebagai sebuah
bangsa yang unik, otonom, dan satu.
Paham tersebut menunjukan bahwa Ki Hajar Dewantara berpikir dan
bertekad serta berdaya prediksi ke masa depan, futuristik. Secara jelas juga
dinyatakan agar pendidikan dan pengajaran di Indonesia selalu mengupayakan
perbaikan. Sementara itu dalam instruksinya sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang ditujukan kepada kepala kepala sekolah di
Jawa, tanggal 29 September 1945 di Jakarta (Macaryus, 2010, hlm. 28) beliau
mengemukakan “Dasarkanlah segala usaha pendidikan dan pengajaran pada
dasar kebangsaan Indonesia dalam arti yang luas, tinggi, dan dalam, dan hanya
terbatas oleh syarat-syarat Adab Kemanusiaan seperti yang dimaksudkan oleh
segala pengajaran agama.” Hal ini berarti pemikiran Ki Hajar Dewantara telah
menjadi tokoh dan citra dalam sejarah bagi pendidikan Indonesia. Meskipun
upaya dalam menghadapi persoalan pendidikan saat ini tidaklah mudah namun
konsep, fatwa maupun metode pendidikan dan pengajarannya lah yang tidak boleh
dihiraukan sebagai acuan bagi kita generasi penerus bangsa. Terdapat banyak
saran, solusi dan contoh dalam menghadapi permasalahan pendidikan seperti
halnya pemikiran pendidikan tempo dulu yang masih relevan untuk dijadikan
pedoman bagi pendidikan Indonesia saat ini. Jika zaman dahulu dan zaman
sekarang kita bandingkan, maka akan diperoleh perbedaan yang pokok. Dahulu
kala orang memprioritaskan pengetahuan, sedangkan sekarang orang mulai
memprioritaskan kebutuhan hidup anak. Selain itu, pada zaman dahulu,
kebijaksanaan menjadi tujuan terakhir, sedangkan sekarang hanya menjadi alat
saja untuk menyempurnakan kehidupan. Pendidikan dan pengajaran yang baik
mesti terdapat kodrat alam, agar mengetahui kodrat alam itu, tiap manusia patut
memupuk kebijaksanaan atau kebersihan budi, yang mesti diterapkan menajdi
tujuan untuk berpikir, halusnya perasaan, dan tekadnya kemauan, atau dengan
kata lain yaitu kesempurnaan cipta-rasa-karsa.
Kemudian daripada itu tujuan dari pendidikan yakni sebagai integritas
hidup manusia agar dapat menangkup semua kebutuhan lahir dan batin yang di
peroleh atas kodrat alam. Segala ketentuan, upaya dan cara pendidikan mesti
berimbang dengan kodratnya keadaan. Kodratnya keadaan terkandung melalui
adat istiadat tiap daerah dengan suku bangsa yang beraneka ragam sehingga
menjadi sebuah bangsa Indonesia. Dengan sifat yang berbeda beda antara satu
adat stiadat dan budaya lainnya menjadikan tercampurnya segala bentuk daya
upaya agar hidup tertib damai. Adat istiadat, merupakan sifat daya upaya untuk
hidup tertib dan damai, walaupun tak luput dari pengaruh “zaman” juga “alam”.
Untuk menginterprestasikan garis hidup yang tetap dari suatu bangsa, kita perlu
memahami zaman yang sudah lalu, mempelajarinya mengidentifikasi zaman itu,
untuk diramalkan ke dalam zaman saat ini, guna menyimpulkan zaman yang
berlaku ini, lalu dapat menyadarkadan kita akan zaman mendatang. Adanya
pengaruh baru dapat bermula dari berhimpunnya antar bangsa satu dengan yang
lainnya, yang pada dasarnya pergaulan saat ini mudah sekali, untuk terbawa dari
adanya modernisasi. Dengan demikian patut kita waspadai agar selalu memilah
dan memilih apapun sesuatu hal yang baik dalam memperoleh kemuliaan hidup,
dan juga apa saja hal yang mana akan mendiskreditkan diri kita. Ki Hajar
Dewantara (dalam Joesoef, 2009, hlm. 2010)
Untuk itu pendapat Ki Hajar Dewantara, metode pendidikan yang sesuai
dengan kepribadian dan budaya orang Indonesia yakni tidak adanya unsur
paksaan. Sebab rakyat Indonesia tergolong ke dalam bangsa timur, Bangsa yang
senantiasa hidup dalam nilai – nilai yang terdiri dari halusnya rasa, hidup penuh
kasih sayang, mencintai kedamaian, persaudaraan yang erat, tertib, jujur dan
sopan bertutur kata dan bertindak, juga menghargai kesetaraan derajat manusi
antar sesamanya. Nilai tersebut dipupuk sejak pendidikan anak usia dini. Itu
berarti, peserta didik diberikan wadah untuk melaksanakan eksplorasi, potensi
diri, dan berekspresi secara kreatif, mandiri dan juga bertanggung jawab.
Sementara itu, pendidik atau pamong merupakan orang yang membimbing
prosedur dan realisasi dari penggalian potensi diri peserta didik supaya melekat
dan tidak destruktif bagi dirinya juga sesamanya.
Ki Hajar Dewantara percaya bahwa pendidikan Indonesia sebaiknya khas
bepedoman pada wujud nilai budaya Indonesia, maka ia meembuar tiga semboyan
pendidikan yang menunjukan kekhasan Indonesia, yakni, pertama Ing Ngarsa
Sang Tuladha, bermakna seorang pendidik senantiasa berada di depan untuk
memberikan teladan, yakni pemimpin yang memberikan contoh dalam hal
perkataan dan perbuatan hingga pantas diteladani oleh para muridnya. Kedua, Ing
Madya Mangun Karsa, bermakna seorang pendidik selalu berada di tengah –
tengah para murid dan berkelanjutan memprakarsai atau memotivasi peserta didik
agar berkarya, membangun niat, semangat, dan menumbuhkan ide supaya peserta
didik dapat produktif dalam berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, bermakna
seorang pendidik senantiasa mendukung dan menopang (mendorong) para
muridnya berkarya ke arah yang baik dan benar bagi hidup masyarakat. Pendidik
mendampingi para muridnya dari belakang, memberikan kemerdekaan bergerak
dan mempengaruhi mereka dengan kemampuannya, kalau perlu dengan ketegasan
apabila kebebasan yang diberikan pada para murid itu dipergunakan untuk
menyelewengkan dan membahayakan hidupnya. Ki Hajar Dewantara (dalam
Tauhid, 1963, hlm. 36-37).
Sejalan menurut tiga semboyan pendidikan, metode pendidikan yang
sesuai guna membangun karakter dan jati diri generasi penerus bangsa Indonesia
yakni yang selaras dengan arti “pedagogik”, yaitu Momong, Among dan
Ngemong, itu bermaksud bahwasannya pendidikan sejatinya mengasuh, mendidik
anak menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, merdeka
tenaganya. Sedangkan Ngemong anak bermakna memberikan kebebasan anak
untuk bergerak atas keinganannya, namun pamong akan bertindak, bila perlu
dengan ketegasan, bilamana kemauan anak menjadi potensi yang berbahaya bagi
keselamatan dirinya. Sementara upaya mendidik dalam metode among
diantaranya :
1. Memberi Contoh: Pendidik memberikan contoh atau teladan yang baik dan
bermoral pada peserta didiknya.
2. Pembiasaan: Tiap peserta didik melatih diri melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang pelajar; anggota masyarakat secara seimbang dengan aturan
hidup bermasyarakat
3. Pengajaran: Pendidik memberikan ajaran guna meningkatkan pengetahuan
peserta didik hingga menjadi generasi yang pintar, cerdas, benar dan bermoral
baik.
4. Perintah, dan hukuman: Dinobatkan pada peserta didik apabila dianggap perlu
adaikata peserta didik menyalahgunakan kebebasannya yang berakibat
membahayakan kehidupan dirinya.
5. Laku (perilaku): berkaitan dengan sikap rendah hati, jujur, dan taat pada
peraturan yang terekspresi dalam perkataan dan tindakan
6. Pengalaman lahir dan batin: pengalaman kehidupan sehari – hari yang diresapi
dan direfleksikan sehingga mencapai tataran “rasa” dan menjadi kekayaan
serta sumber inspirasi untuk menata kehidupan yang membahagiakan diri dan
sesama.
Keenam upaya pendidikan dalam metode among dan dalam konstruksi ketiga
semboyan pendidikan dapar disimpulkan secara tegas bahwasannya mendidik dan
mengajar merupakan usaha memerdekakan peserta didik serta mengeuhkan agar
hidup mereka terhindar dari ancaman yang bekemampuan merampas keberadaan
diri secara individual dan sosial. Praksis pendidikan dalam sudut pandang
“mengasuh” ini secara bertahap atas usia peserta didik yang dipercaya
berpengaruh pada jenjang intelektualnya. Masa kanak – anak (sampai 7 tahun),
masa intelektual (7 – 14 tahun) dan massa sosial (14-21 tahun). Pendidikan bagi
Taman – Anak (TK) dan permulaan Taman – Muda (SD) mempriorotaskan
pembiasaan anak melalui ketertiban serta menjaga tingkah laku dan aturan lahir
yang disebut metode wiraga (ragawi). Sementara bagi kelas tinggi atau sekolah
menengah pertama disebut Taman Dewasa yang menanamkan masa terbentuknya
budi pekerti serta mengutamakan keteriban dan keteguhan batin, yakni
menyempurnakan wirama. Pelajaran yang diberikan kepada anak dibagi ke dalam
dua tingkatan, yakni pertama, yang memberian pengetahuan atau kepandaian yang
berpengaruh untuk kemajuan batin (mendewasakan pikiran, rasa, dan kemauan).
Kedua, pelajaran yang memberikan bekal untuk anak agar hidupnya kelak dalam
dunia pergaulan umum, yakni mata pelajaran yang melingkupi bidang kultural
dan kemasyarakatan.
Penguraian tersebut berdasarkan fase di mana masing-masing menuntut peran
pendidik dengan isi dan nilai yang berbeda – beda. Metode Ngemong, Momong,
Among dan semboyan Ing ngarsa sung tuludha, Ing Madya mangun karsa, dan
Tut wuri handayani bukan bemula dari sebuah pemikiran Ki Hajar Dewantara
yang terpisah. Pendidikan bukan hanya masalah bagaimana membangun budi
yang luhur melainkan juga pekerti (tenaga) anak Indonesia, supaya mereka kelak
mampu menjadi pemimpin bangsa yang cintai dan mempunyai kekhasan
Indonesia.
Suatu Upaya pendidikan menurut metode Ki Hajar Dewantara di atas
menugaskan guru laksana pengasuh yang dewasa dalam penggalian dan
pengaktualan nilai sosiokultural dan religius Indonesia. Maka dari itu pendidikan
yakni upaya mengasuh anak agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia
dewasa yang berintelektual, bermoral, bersosialitas, dan berspiritualitas. Dengan
demikian seorang guru tak menetapkan metode paksaan, melainkan memberi
penangkapan hingga anak dapat mengerti dan paham apa saja yang utama bagi
dirinya, lingkungan dan masyarakatnya serta memberi suri teladan hingga peserta
didik menjadi personal yang dapat tanggung jawab akan tugasnya di dalam
maupun di luar kelas. Kemudian pendidik dapat segera terjun bilamana kehidupan
anak dilihat tatkala ada pada jalan yang keliru atau tak baik. Namun pada
kaidahnya tak bercorak memaksa. Kontribusi pendidik pada hidup anak sudah
tentu ada di ranah pembinaan dan atas asas kepercayaan bahwasannya anak adalah
individu yang mesti dihargai haknya. Sehingga dapat tumbuh berdasarkan kodrat
nya.
Cara mengamalkan metode among untuk memperteguh perbedaan metode
pendidikan beliau dari pendidikan Belanda, Ki Hajar Dewantara mengemukakan
pentingnya “tritunggal” fatwa pendidikan agar hidup merdeka, yaitu pertama,
tetep, antep, dan mantep. Yang berarti, pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana dalam mendirikan ketetapan pikiran dan batin peserta didik. Untuk itu
sangat esesnial bagi peserta didik agar beranjak dewasa dan berkedudukan
sungguh -sungguh mantep (kokoh). Kedua, pendidikan bermaksud guna
membangun mental atau personalitas yang berkarakter ngandel, kandel, kendel,
bandel dalam diri peserta didik. Maknanya, pendidikan yang mengutamakan
penggarapan maturitas batiniah memupuk rasa percaya diri (ngandel) dan
membangun pendirian yang teguh (kandel) pada peserta didik hingga mereka
menjadi individu yang berani (kendel) dan tawakal, tak pantang menyerah
(bandel). Ketiga, pendidikan itu dilakukan guna menumbuhkan kondisi neng,
ning, nung, dan nang dalam keinsafan pribadi peserta didik. Maknanya, ikhtiar
mendidik sebagai usaha membangun kejernihan pikiran dan batiniah peserta didik
(neng). Bilamana kompetensi ini memayungi aktivitas pendidikan, peserta didik
akan mendapati ketenangan hati (ning), yang kemudian membuatnya pandai
mengendalikan diri atau mempunyai “kekuasaan atas diri sendiri” (nung).
Bilamana peserta didik telah menyandang ketiga nasihat itu, maka dengan
sebenarnya sudah sampai pada “kemenangan” (nang) dirinya, yakni kemenangan
atas ego diri yang menjurus congkak dan angkara dan ketamakan.
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan ikhtiar
mendewasakan manusia dengan metode among (mengemong) dengan tidak
melupakan tiga fatwa pendidikan di atas. Proses pendewasaan peserta didik secara
lahir dan batin adalah asal mula atau dasar untuk mereka bersiap dalam meniti
hidup bermasyarakat dengan penuh rasa bertanggung jawab.

2.5 Penelitian Terdahulu


Penelitia ini, peneliti akan menguraikan penelitian terdahulu yang relevan,
penelitian terdahulu ini menjadi sebagai batu loncatan untuk melaksanakan
penelitian. Peneliti mengambil penelitian terdahulu ini untuk daftar bacaan dalam
memambah bahan tinjauan yang akan dikaji terhadap penelitian ini. Beberapa
bahan bacaan peneliti terdahulu yang peneliti temukan mempunyai segenap
persamaan antara variabel X dan juga variabel Y dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan, namun ada beberapa perbedaan antara peneliti terdahulu dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan. Penelitian terdahulu yang akan peneliti
kemukakan yakni peneltian yang telah dilakukan oleh Lusy Dwi Desia (2018)
dalam skripsinya yang berjudul “PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG
INTERNASIONALISME DALAM PANCASILA”, dalam skripsi Lusy menerapkan
variabel X yang relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu Pemikiran
Soekarno Tentang Internasionalisme sedangkan Penelitian yang peneliti lakukan
adalah mencari tahu lebih mendalam untuk menganalisis Fatwa Pendidikaan Ki
Hajar Dewantara “Ngandel, Kandel, Kenedel, Bandel” dalam pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, begitu terdapat persamaan yang relevan pada
variabel Y, penelitian yang dibuat oleh Lusy yaitu apa saja konsep
Internasionalisme dari Soekarno dalam Pancasila pada sidang umum PBB ke –
XV sedangkan penelitian yang peneliti lakukan yaitu mencari tau lebih kompleks
bagaimana pengembangan yang terjadi pada Pendidikan Indonesia khususnya
dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap relevansinya dalam
fatwa pendidikan Ki Hajar Dewantara. Kemudian Penelitian terdahulu yang
peneliti uraikan yakni penelitian yang dilakukan oleh Gina Elgawaty (2020)
dalam skripsinya yang berjudul “PENERAPAN METODE SOCRATES DALAM
PEMBELAJARAN PPKN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR
KRITIS PESERTA DIDIK (Penelitian Tindakan Kelas Terhadap kelas XI IPS 2
SMA Pasundan 8 Bandung”, dalam skripsi Gina menggunakan Variabel X yang
berbeda dengan peneliti, penelitian yang peneliti lakukan yaitu meganalisis Fatwa
Pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam Pembelajaran PPKn sedangkan penelitian
Gina yaitu Implementasi dari Penerapan metode Socrates kemudian terdapat
variabel Y yang berhubungan dengan peneltian yang akan peneliti lakukan yaitu
mencari tau mengenai relevansi Variabel X dalam Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan ,namun perbedaannya terletak pada penelitian yang Gina
lakukan terkait Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis yaitu lebih fokus pada
satu upaya yang di realisasikan dalam pembelajaran Pendidikan
Kewarganegarraan, sedangkan penelitian yang akan peneliti lakukan membahas
seluruh kaitan dari Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap fatwa
Pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Begitu juga dengan Penelitian terdahulu yang lain yaitu dilakukan oleh Siti
Shafa Marwah, Makhmud Syafe’i, Elan Sumarna, 2018 dalam Jurnal yang
berjudul Relevansi Konsep Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara Dengan
Pendidikan Islam. Dari hasil penelitian tersebut di simpulkan bahwasannya
konsep pendidikan ini relevan, yang menimbulkan pemahaman peneliti bahwa
kegentingan pendidikan Indonesia saat ini yaitu berupa krisisnya akhlak siswa
tidak disebabkan pada konsep pendidikannya yang tak mempunyai nilai
keagamaan di dalamnya, melainkan dikarenakan pelaksanaan pendidikannya yang
belum bisa mengaktualisasikan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara bertepatan
dalam menekuni pendidikan Islam yang seharusnya. Implikasi dalam penelitian
tersebut yaitu, Pemerintah Indonesia sebaiknya menata ulang performa seluruh
pemangku pendidikan supaya berimbang dengan konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara. Kemudian daripada itu, hasil dari penelitian ini dapat menjadi sebuah
evaluasi serta meningkatkan pengetahuan seluruh pendidik di Indonesia, hingga
dapat memajukan keunggulan kemampuan mengajar.
Dalam beberapa Rujukan yang peneliti baca memberikan suatu
ide/gagasan dari sebuah permasalahan yang ingin peneliti cari terkait dengan judul
ini yaitu Analisis Fatwa Pendidikan Ki Hajar Dewantara “Ngandel, Kandel,
Kendel, Bandel” dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

2.6 Kerangka Berfikir Penelitian


Dalam proses kegiatan belajar mengajar upaya guru dalam memberi
penguatan, stimulus hingga evaluasi menjadi sangatlah penting bagi peserta didik
dalam mengingat informasi yang sudah Pendidik sampaikan. Pendidik mendidik
peserta didik agar tercapainya tujuan pembelajaran yang di harapkan, namun
tujuan pembelajaran ini harus mampu menyeluruh pada ranah kognitif, afektif
maupun psikomorik nya. Maka Pendidik yang menjadi fasilitator bagi siswa
dalam mengamalkan ilmu yang sudah ia pelajari pada kehidupan sehari harinya.
Pembelajaran PPKn adalah bentuk nyata dalam upaya mengatasi masalah
pendidikan yang terjadi di Indonesia yang di sesuaikan dengan Fatwa Pendidikan
ki Hajar Dewantara karena permasalahan pendidikan pada zaman dahulu hingga
zaman sekarang itu sama hanya saja tantangannya yang berbeda, juga tak dapat di
pungkiri bila perkembangan kemajuan teknologi dan informasi serta arus
globalisasi dan westrenisasi akan mempengaruhi moralitas peserta didik dalam
masa yang akan datang.
Kesadaran moral serta berpegang teguh dalam pendirian yaitu salah satu
aspek penting yang bisa menguatkan tinkah laku manusia untuk senantiasa
menanamkan moralitas dan bertindak susila, serta bertanggung jawab serta pada
setiap tindakannya akan selalu bertepatan atas nilai dan norma yang otentik
tersebut. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai capaian untuk
warga negara yakni Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu
menunjukkan sikap religius. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam
menjalankan tugas berdasarkan agama, moral dan etika. Berkontribusi dalam
peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
berdasarkan Pancasila. Signifikansi moral ini didasari pada nilai yang sangat
prinsipil dan hakiki. Seseorang yang berperilaku sesuai dengan kesadaran moral,
akan selalu bertindak sebagaimana seharusnya hal tersebut baik direalisasikan
dimana kapan saja dan kapan saja. Dengan itu kerangka berfikir yang peneliti
lakukan yaitu :
Skema 1 :

Studi kasus menyatakan bahwa Di negara Indonesia telah cukup banyak orang
yang “pintar”, namun sulit menjumpai orang yang “benar”. Yang pertama
bersangkutan pada kualitas kognitif, sementara yang kedua berkaitan dengan
kualitas nilai integrasi antara potensi kognitif, afektif, psikomotor, sosial dan juga
spiritual.

Skema 2 :

Permasalahan tersebut menjadi ancaman bagi moral bangsa indonesia yang


seharusnya berpedoman pada pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
indoneisa
Skema 3:

Pencegahannya yakni melalui Revitalisasi nilai moral dan juga pancasila yang ada
dalam Pembelajaran pendidikan Kewarganegaraan atas dasar pengalaman dan
permasalahan yang berada di masyarakat secara tegas di setiap pertemuan pada
kegiataan belajar mengajar yang dilakukan dalam pembelajaran PKN terhadap
peserta didik sebagai suatu hal yang sangat penting. Serta di terapkannya
kebiasaan – kebiasaan posistif agar Peserta Didik selalu berjuang, disiplin,
Tanggung Jawab dalam segala hal seperti yang di maksud dalam Fatwa
Pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Skema 4:

Dampak yang dilakukan dalam penilitian ini yaitu menjadi solusi untuk dapat
mempertahankan identitas dan karakter bangsa Indonesia dengan pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan yang merupakan ada kaitannya berdasarkan
pernyataan atau fatwa pendidikan yang diamanatkan Ki Hajar Dewantara sebagai
Tokoh atau Bapak sejarah pendidikan Indonesia agar berkembang dengan seiring
zaman untuk generasi muda yang akan datang supaya tidak luntur karena
pengaruh arus globalisasi, westrenisasi dan pekembangan tekonologi informasi
yang semakin cangggih.

Pendidik PKN dalam


menyikapi
permasalahan
Pendidikan Indonesia

Pembelajaran Habitusi
oleh Pendidik kepada
Peserta Didik (VCT
Inovatif)

Pandangan Hidup
Himbauan Positif oleh Revitalisasi Nilai - Peserta didik
Pendidik pada Peserta Nilai Pancasila dengan berpedoman pada Nilai
Didik bahwa metode problem based - Nilai Pancasila yang
Pendidikan itu penting learning dikaitkan dengan fatwa
Ki Hajar Dewantara
Skema Kerangka Berfikir 2.6
Dengan demikian diharapkan setelah siswa menerima materi pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, maka akan menjadi good citizenship dalam
menghadapi permasalahan pendidikan di Indonesia karena Pancasila sebagai
karakter bangsa Indonesia. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam
pembelajarannya mempunyai kapasitas dan kedudukan untuk menjadikan peserta
didik yang menjadi bermoral serta berkarakter dan sesuai dengan nilai-nilai dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
memiliki suatu dimensi dan hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek
dalam pembentukan moralitas warga negara terutama dalam hal ini adalah peserta
didik. Dalam penelitian ini peneliti mengkaji Analisis Fatwa Pendidikan Ki Hajar
Dewantara “Ngandel, Kandel, Kendel, Bandel” dalam Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang dapat mengakibatkan peserta didik bertindak sesuai
dengan nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara seperti mengatasi permasalahan
penggunaan bahasa kasar, tidak sopan kepada orang yang lebih tua, bolos, dan
gaya hidup yang tidak sesuai kepribadian bangsa maka perlu ditinjau dalam segi
pendidikan moral yang dalam hal merupakan bagian dari Pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan berpartisipasi untuk membangun peserta didik agar
mempunyai moralitas tinggi serta berkeyakinan sebagai mahkluk yang selalu
bergantung dan diawasi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

You might also like