You are on page 1of 2

Hukum dan Hak Asasi Manusia

1. Jaminan Hak untuk bebas dari penghilangan nyawa tercamtum dalam UU 39 tahun 1999
tentang HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Selain hak asasi, manusia juga
mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap
masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disahkan Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie pada tanggal 23 September 1999 di Jakarta. UU 39 tahun 1999
tentang HAM diundangkan Menteri Sekretaris Negara Muladi pada tanggal 23 September
1999 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
diundangkan dan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor
165. Penjelasan Atas UU 39 tahun 1999 tentang HAM ditempatkan pada Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886. Agar setiap orang mengetahuinya.Undang-undang
ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak kehilangan paksa
dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak
mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa
aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan
hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai
kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi
manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Pasal 33 :
a. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang
kejam,
tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Jaminan untuk Bebas dari Penyiksaan dalam KUHAP terdapat pada Pasal 52 KUHAP
menyatakan : “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”
DanPasal 117 KUHAP menyatakan bahwa “keterangan tersangka dan atau saksi kepada
penyidik
diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”.
Pasal 52 dan 117 KUHAP dapat dikaitkan dengan prinsip universal tentang non self
incrimination dari tersangka/terdakwa (hak untuk tidak mempersalahkan dirinya sendiri),
sebagaimana tercermin secara tak langsung dan implicit sifatnya pada Pasal 66 KUHAP
(tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian) dan Pasal 189 ayat (3)
KUHAP yaitu keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri. Dalam
hal
ini, keterangan tersangka atau terdakwa harus bersumber pada freewill kehendak bebas)
sehingga hakim maupun penyidik tidak diperbolehkan untuk mencari keterangan yang tidak
diberikan secara bebas. Tidak dipenuhi persyaratan ini menimbulkan persoalan pembuktian
yang diperoleh secara tidak sah. Meskipun KUHAP memiliki inovasi dalam persfektif HAM,
namun tidak terdapat akibat hukum. Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1998 yang mengatur bahwa
“Segala pernyataan yang diperoleh sebagai akibat kekerasan, penyiksaan tidak boleh diajukan
sebagai bukti”. Ketentuan ini, tidak diatur dalam KUHAP. Namun penggunaan pasal 15 ini
pernah dijadikan tolak ukur dalam memutus perkara Kasus Marsinah (Putusan MA
No.Reg.117/Pid/1994 atas nama Ny.Mutiari, SH)

2. Dalam peristiwa ini, korban menghadapi pelanggaran hak untuk mendapatkan perlakuan
yang sama di depan hukum. Prinsip ini mendasarkan pada prinsip kesetaraan di hadapan
hukum, di mana setiap individu memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara adil dan
setara tanpa diskriminasi.

Dasar hukum terkait adalah Konstitusi atau perundang-undangan yang melindungi hak asasi
manusia dan prinsip kesetaraan. Misalnya, dalam banyak negara, Konstitusi atau Undang-
Undang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama di
depan hukum dan tidak boleh didiskriminasi berdasarkan ras, agama, gender, atau faktor
lainnya.

Pada tingkat internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB juga menegaskan
prinsip kesetaraan di depan hukum dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa "semua orang
sama di hadapan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan yang sama dari hukum tanpa
diskriminasi apa pun."

Dalam analisis peristiwa ini, penting untuk mengevaluasi apakah korban telah diperlakukan
secara tidak adil atau tidak setara berdasarkan hukum yang berlaku. Jika terdapat pelanggaran
terhadap hak-hak korban, maka langkah-langkah hukum dapat diambil untuk
memperjuangkan keadilan dan perlindungan hak-hak mereka, termasuk melalui proses
hukum, pengadilan, atau lembaga perlindungan hak asasi manusia yang berwenang.

You might also like