You are on page 1of 11

MAKALAH ASSESSMENT DAN DIAGNOSIS FISIOTERAPI

“Transient Ischemic Attack (TIA)”

Dosen Pengampu:
Roikhatul Jannah, SST Ft, MPH

Di Susun Oleh:
Elita Tiara Putri
NIM: P3.73.26.1.21.014

D-IV FISIOTERAPI
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA 3
TAHUN 2023
1. Deskripsi Patologi Transient Ischemic Attack

Definisi TIA menurut Institut Nasional Gangguan Neurologi dan


Stroke (1990), seperti yang dikutip dalam Ellis et al (2011), adalah
kehilangan fungsi otak fokal atau mata dengan gejala yang berlangsung
kurang dari 24 jam. Risiko stroke tertinggi adalah pada 48 jam pertama
setelah TIA. Diagnosis yang akurat dapat dicapai dengan memperoleh
riwayat serangan mendadak gejala negatif yang berasal dari wilayah
vaskular pasien stroke iskemik disertai dengan pemeriksaan normal dan
tidak adanya neuroimaging yang menjadi bukti infark. (Rahma Fadhilah et
al., n.d.)

Transient ischaemic attack atau serangan stroke selintas merupakan


penyakit stroke yang terjadi secara cepat/singkat. Transient ischaemic
attack (TIA) tidak menyebabkan kerusakan otak yang bersifat selamanya.
serangan stroke selintas terjadi secara cepat/singkat dalam hitungan menit
atau jam. Pada tahap ini penyakit stroke Transient ischaemic attack (TIA)
akan banyak menyerang orang dewasa diantara umur 20-45 tahun. Pemicu
serangan stroke selintas ialah penyumbatan dalam pembuluh darah yang
meluaskan darah ke otak. Pemicu penyumbatan ialah plak ataupun
gumpalan udara didalam arteri, sehingga otak kekurangan asupan oksigen
serta nutrisi. (Lestari, 2021)

2. Manifestasi Klinis

Gejala TIA atau stroke ringan hampir serupa dengan stroke.


Perbedaannya, stroke ringan hanya berlangsung beberapa menit dan gejala
akan hilang dengan sendirinya dalam hitungan jam.

Cara terbaik untuk melihat tanda-tanda stroke adalah dengan tes


FAST. Tes ini meliputi beberapa indikator, yaitu :

a. Face, salah satu sisi wajah turun dan menyebabkan penderita sulit
tersenyum dan menggerakkan kelopak mata.
b. Arms, lengan lemah atau mengalami kelumpuhan.
c. Speech, bicara cadel atau tidak jelas.
d. Time, segera hubungi petugas medis agar penanganan dapat segera
dilakukan.
Selain mengamati kondisi penderita dengan metode
FAST, stroke ringan bisa dikenali juga dari beberapa gejala lain, seperti :
a. Mual dan muntah.
b. Sakit kepala hebat atau kepala kesemutan.
c. Sulit menelan
d. Gangguan penglihatan pada salah satu atau kedua mata.
e. Sulit memahami perkataan lawan bicara.
f. Hilangnya keseimbangan dan koordinasi tubuh.
3. Keluhan utama

Hilangnya fungsi fokal SSP secara mendadak. (Ginsberg, 2007)

Keluhan penyerta

Daerah arteri yang terkena akan menentukan gejala yang terjadi.

 Karotis (paling sering)


1. Hemiparesis
2. Hilangnya sensasi hemisensorik
3. Disfascia
4. Kebutaan monocular (amaurosis fugax) yang
disebabkan oleh iskemia retina
 Vertebrobasilar
1. Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau
alternatif
2. Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia
lanjut)
3. Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia- setidaknya 2
dari 3 gejala ini terjadii secara bersamaan.

4. Tes dan Pengukuran Fisioterapi


a. Kekuatan Otot

Pemeriksaan kekuatan otot diukur menggunakan Manual


Muscle Testing. Prosedur pelaksanaan dengan menggunakan
grading system, dengan nilai kekuatan otot 0-5.

Nilai Kekuatan Otot Skor Kualitatif


5 Normal
4 Baik
3 Cukup/sedang
2 Buruk/rendah
1 Aktifitas sedikit
0 Tidak ada aktifitas

Periksa otot yang dituju dengan meminta pasien melakukan


Gerakan. Jika pasien dapat melakukan Gerakan otot dengan beban
maksimal adalah 5, kemudian pasien dapat melakukan Gerakan
dengan beban minimal 4, pasien menggerakan otot dapat melawan
grafitasi 3, ada Gerakan otot namun tidak dapat melawan grafitasi
2, kontraksi otot tanpa ada Gerakan sendi 1, dan tidak adanya
kontraksi 0.
b. Lingkup Gerak Sendi (LGS)

LGS diukur dengan menggunakan goniometer pada sendi


yang diperiksa. Kegunaan pengukuran ini adalah mengetahui ada
atau tidaknya keterbatasan ROM dalam tubuh. Posisi pemeriksaan
LGS sesuai dengan posisi anatomi, kecuali pada posisi pergelangan
kaki (Resse & Bandy, 2002).

Penulisan ROM dapat menggunakan metode ISOM.


Contoh: pemeriksaan shoulder, S 450-0-1800.

c. Spastisitas

Spastisitas timbul pada otot-otot hipertonik (tonus otot meninggi).


Spastisitas terdapat resistensi yang meninggi terhadap gerakan
pasif yang mendadak, setelah resistensi permulaan tersebut timbul
relaksasi otot (Chusid, 1983).

Spastisitas diukur dengan menggunakan skala Asworth.

Nilai Interpretasi
0 Tidak ada peningkatan tonus otot.
1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan
terasanyatahanan minimal pada akhir ROM pada waktu
sendi digerakkanfleksi atau ekstensi.
2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai adanya
pemberhentiangerakan dan diikuti adanya tahanan
minimal sepanjang sisa ROM,tetapi secara umum sendi
mudah digerakkan
3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjan sebagian
besar ROM,tapi sendi masih mudah digerakkan
4 Penigkatan tonus otot sangat nyata, gerakan pasif sulit
dilakukan
5 Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada Gerakan fleksi
atau ekstensi

d. Keseimbangan

Pemeriksaan keseimbangan dilakukan dengan


menggunakan Berg Balance Scale. Penilaian Berg Balance scale
meliputi 14 item yang akan diujikan kepada pasien. Tiap item
memiliki grade 0-4. Skore normalnya adalah 56. (Indra
Cahyadinata, 2020)
No Item Deskripsi
1 Duduk ke berdiri
2 Berdiri tanpa bantuan
3 Duduk tanpa bersandar
4 Berdiri ke duduk
5 Transfer / Berpindah
6 Berdiri dengan mata tertutup
7 Berdiri dengan kedua kaki rapat
8 Meraih kedepan dengan lengan terulur maksimal
dalam posisi berdiri
9 Mengambil barang di lantai
10 Berdiri dan berputar untuk melihat ke belakang
11 Berputar 360°
12 Menempatkan kaki bergantian ke dingklik 4x per
kaki
13 Berdiri dengan satu kaki dan kaki yang lain
diarahkan ke depan
14 Berdiri satu kaki

e. Kognitif

Batasan fungsi kognitif meliputi memori, konsentrasi,


orientasi ruang dan waktu, atensi. Hasil yang diperoleh dari
pemeriksaan kognitif bahwa pasien belum bisa berkonsentrasi
dengan baik, maupun belum bisa berkomunikasi dengan baik
maupun mengikuti instruksi yang terapis berikan saat latihan
dilaksanakan.

f. Intrapersonal

Intrapersonal dapat dilihat dari kondisi pasien dalam


menerima keadaanya dan semangat serta keiinginan pasien dalam
melakukan program terapi. Dari pemeriksaan ini didapatkan hasil :
pasien mempunyai motovasi yang tinggi untuk sembuh dan
kembali beraktifitas seperti sebelum terjadi serangan stroke.

g. Interpersonal

Interpersonal adalah untuk mengetahui hubungan interaksi


dan komunikasi antara pasien denagn terapis atau tim medis
lainnya. Dari pemeriksaan ini diperoleh hasil : pasien sangat
kooperatif dan komunikatif dengan terapis serta mampu melakukan
perintah dengan baik walaupun harus berfikir lama untuk
menjalankan perintah itu. (Hernawati, 2009)

h. Fungsi Motorik Modified Motor Assesment Scale (MMAS)


Pemeriksaan motorik dilakukan untuk mengetahui ada atau
tidaknya gangguan motorik saat pasien melakukan aktifitas.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan Modified Motor
Assesment Scale (MMAS). Pemeriksaan ini dilakukan pada gerak
terlentang ke tidur miring pada sisi sehat, terlentang ke duduk
disamping bed, keseimbangan duduk, duduk ke berdiri.

NILAI ITEM YANG DI UKUR


NORMAL
Telentang ke tidur miring pada sisi sehat.
1 Miring sendiri tanpa bantuan (pasien miring sendiri
dengan lengan sehatnya, kaki sakit digerakkan oleh
kaki sehat, posisi awal harus telentang tanpa kaki
semifleksi)
2 Bisa menggerakkan kaki menyilang secara aktif
dan separuh badan yang bawah mengikuti (posisi
awal sama dengan atas dan lengan mengikuti
belakangan)
3 Lengan mampu diangkat, menyilang badan dengan
lengan satunya, kaki bergerak secra aktif dan badan
mengikuti (posisi awal sama dengan diatas)
4 Lengan bisa digerakkan sendiri secara aktif dan sisi
tubuh/badan yang istirahat mengikuti (posisi awal
sama dengan diatas)
5 Tangan dan kaki bisa berputar kesamping tapi
tidak seimbang (posisi awal sama dengan diatas,
shoulder protraksi dan lengan fleksi ke depan)
6 Mampu miring dalam 3 detik (posisi awal sama
dengan diatas tidak menggunakan tangan)
Telentang keduduk disamping bed
1 Miring, kepala naik tetapi tidak dapat bangun ke
duduk (pasien dibantu untuk ke miring)
2 Miring untuk duduk disamping bed (terapis
membantu pasien dengan gerakan, pasien
mengontrol posisi kepala)
3 Miring untuk duduk disamping bed (terapis siap
memberikan bantuan pada pasien dengan
membantu membawa lutut ke samping bed )
4 Miring ke duduk disamping bed (tanpa bantuan
terapis)
5 Telentang ke duduk disamping bed (tanpa bantuan
terapis)
6 Telentang ke duduk disamping bed selama 10 detik
(tanpa bantuan terapis)
Keseimbangan duduk
1 Duduk dengan support (terapis membantu pasien
untuk duduk)
2 Duduk tanpa support selama 10 detik (tanpa
menahan, lutut & kaki bersamaan, kaki dapat
disupport dengan lantai)
3 Duduk tanpa support dengan berat badan
cenderung kedepan (berat harus cenderung
kedepan dengan baik dengan paha difleksikan,
kepala dan thorak ekstensi, berat harus seimbang di
kedua sisi)
4 Duduk tanpa support, memutar kepala dan trunk
untuk melihat ke belakang (kaki tersangga kedua-
duanya pada lantai) jangan biarkan lutut abduksi
atau telapak kaki bergerak, tangan rileks, jangan
biarkan tangan untuk bergerak, putar tubuh ke
kanan dan kiri)
5 Duduk tanpa support, raih kedepan untuk
menyentuh lantai dan kembali ke posisi awal, kaki
tersangga pada lantai. Jangan biarkan pasien untuk
menahan. Jangan biarkan lutut dan telapak kaki
untuk bergerak. Sangga lengan yang lemah bila
perlu. Tangan harus menyentuh lantai paling tidak
10 cm didepan telapak kaki. Raih dengan masing-
masing lengan.
6 Duduk di stool/kursi kecil , raih kesisi samping
untuk menyentuh lantai, kembali ke posisi semula
(telapak kaki tersangga di lantai) jangan biarkan
pasien untuk menahan. Jangan biarkan lutut dan
telapak kaki untuk bergerak. Sangga lengan yang
lemah jika perlu. Pasien harus meraih kesamping,
bukan ke depan. Raih kedua sisi kanan kiri.
Duduk ke berdiri
1 Dapat berdiri dengan bantuan terapis (berbagai
metode)
2 Dapat berdiri dengan diawasi terapis (berat badan
masih didistribusikan tidak merata dengan
menggunakan bantuan dari tangan)
3 Dapat berdiri (tidak boleh berat sebelah atau
dibantu tangan)
4 Dapat berdiri sendiri dan mampu mempertahankan
dalam 5 detik dengan hip dan knee ekstensi (tidak
boleh berat sebelah)
5 Duduk ke berdiri dan duduk lagi tanpa
dijaga/diawasi (tidak boleh berat sebelah, ekstensi
penuh dari hip dan knee)
6 Mampu duduk ke berdiri tanpa diawasi 3 kali
dalam 10 detik (tidak boleh berat sebelah)

i. Tes Reflek
Tes reflek merupakan informasi penting yang sangat
menentukan maka penilaiannya harus tepat dan secara banding
antara kanan dan kiri. Disamping itu posisi anggota gerak harus
sepadan pada waktu perangsangan dilakukan. Tes reflek meliputi
reflek patologis dan reflek fisiologis. Untuk reflek patologis
bertujuan untuk mengetahui apakah reflek tersebut yang sudah
hilang muncul lagi. Adapun pembagian refleknya antara lain :

 Reflek Patologis meliputi : Babinsky, Chaddock. Adapun


cara pemeriksaanya antara lain : (1) Babinsky cara
memberikan goresan pada telapak kaki bagian lateral
yang sakit, reaksi yang terjadi adalah ekstensi ibu jari
kaki dan pengembangan jari-jari kaki, (2) Chaddock cara
membangkitkan yaitu membangkitkan yaitu memberikan
perangsang terhadap kulit dorsum pedis bagian
latera/sekitar maleolus lateralis, reaksi ekstensi ibu jari
kaki dan pengembangan ibu jari kaki (Sidharta,1999).
 Reflek Fisiologis atau reflek tendon meliputi : Biceps,
Patella, Achiles, Adapun cara pemeriksaanya antara lain :
teknik pengetukan pada reflek tendon boleh dipegang
secara keras. Gagang pada reflek dipegang dengan ibu
jari telunjuk sedemikian rupa sehingga palu dapat
diayunkan bebas. Pengetukan tidak boleh seolah-olah
memotong atau menebas kayu, melainkan menjatuhkan
secara terarah, kepala palu reflek ke tendon/periosteum.
Dalam hal itu, gerakan pengetukan berpangkal pada sendi
pergelangan tangan dan bukanya lengan yang
mengangkat palu reflek. Kemudian tangan menjatuhkan
kepala palu reflek secara lurus ke tendon/periosteum
(Sidharta,1999).

Penderajatan reflek tendon/periosteum didasarkan atas


kecepatan gerakan reflek tendon yang bangkit, amplitudonya
dan lama kontraksinya berlangsung. Reflek tendon yang
dibangkitkan dalam pemeriksaan antara lain : (1) Tendon
biceps caranya yaitu : a. sikap lengan tengah setengah
ditekuk disendi siku, b. stimulasi pada jari pemeriksa yang
ditetapkan pada tendon otot biceps (dimana tendon tersebut
tidak berdasarkan bangunan yang keras), c. respon fleksi
lengan siku; (2) Tendon patella caranya yaitu : a. pasien
berbaring terlentang dengan tungkainya difleksikan disendi
lutut, b. stimulasi pada tendon patella, c. reaksi tungkai
bawah berekstensi; (3) Tendon achilles caranya yaitu : a.
tungkai ditekuk disendi lutut dan kaki di dorsokleksikan , b.
stimulasi ketukan pada tendon Achilles, c. respon plantar
fleksi kaki (Sidharta, 1999).

j. Tes koordinasi Non Equilibrium


Pemeriksaan koordinasi dilakukan untuk mengetahui
tingkat koordinasi pasien saat dilakukan tes koordinasi selain factor
kemampuan melainkan gerakan, factor kecepatan juga harus
dipertimbangkan.

Skala kanan Skala kiri

Jari ke hidung

Jari pasien ke jari terapis

Jari ke jari tangan yang lain

Menyentuh hidung dan jari tangan


bergantian

Gerak aposisi jari tangan

Menggenggam

Pronasi – Supinasi

Rebound tes

Tepuk tangan

Tepuk kaki

Menunjuk

Tumit ke lutut

Tumit ke jari kaki

Jari kaki menunjuk jari tangan


terapis

Tumit menyentuh bawah lutut

Menggambar lingkaran dengan


tangan

Menggambar lingkaran dengan kaki

Mempertahankan posisi anggota


gerak atas

Mempertahankan posisi anggota


gerak bawah
Kriteria Penilaian Koordinasi Non Equlibrium

1. Tidak mampu melakukan aktifitas


2. Keterbatasan berat, hanya dapat mengawali aktifitas tetapi
tidak lengkap
3. Keterbatasan sedang, dapat menyelesaikan aktifitas tetapi
koordinasi tampak menurun dengan jelas, gerakan lambat,
kaku dan tidak setabil
4. Keterbatasan minimal, dapat menyelesaikan aktifitas
dengan kecepatan dan kemampuan lebih lambat sedikit
disbanding normal
5. Kemampuan normal

5. Diagnosa Fisioterapi
a. Body Structure and Function

b1 mental functions

b2 sensory functions and pain

b7 neuromusculoskeletal and movement-related functions

s1 structures of the nervous system

s2 the eye, ear, and related structures

s7 structures related to movement

b. Activity Limitation (-)


c. Participation Restriction (-)

DAFTAR PUSTAKA

Albers GW, C. L. (2002). Transient ischemic attack--proposal for a new definition. Pub
Med.

Ginsberg, L. (2007). Lecture Notes Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gordon, A. L. (2013). Functioning and disability after stroke in children: using theICF-CY
to classify health outcome and inform future clinicalresearch priorities.
DEVELOPMENTAL MEDICINE & CHILD NEUROLOGY, 434-444.

Hernawati, I. Y. (2009). Pelaksanaan Terapi Latihan Pada Pasien Paska Stroke Hemorage
Dextra Stadium Recovery.

Indra Cahyadinata, ,. D. (2020). Gambaran Problematika Fisioterapi pada Pasien Post


Stroke Non Hemoragic di Rumah Sakit X. JURNAL PIKes Penelitian Ilmu
Kesehatan, 7-15.
Klaten, T. P.-R. (2022, Juli 26). Transient Ischemic Attack (TIA). pp.
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/556/transient-ischemic-attack-tia .

Lestari, M. (2021). Sistem Pakar Mendiagnosa Penyakit Stroke Transient Ischaemic


Attack (TIA) Dengan Menggunakan Metode Dempster Shafer. Jurnal Sistem
Informasi dan Teknologi Jaringan, 25-30.

Nadarajan V, P. R. (2014). Transient ischaemic attacks: mimics and chameleons. Pract


Neurol. . Pub Med, 23-31.

Sato S, M. K. (2013). [Transient ischemic attack: past, present, and future]. Brain Nerve.
National Library Of Medicine, 729-738.

Sorensen AG, A. H. (2011). Transient ischemic attack: definition, diagnosis, and risk
stratification. Pub Med, 303-313.

You might also like