You are on page 1of 48

https://kongsihadith.blogspot.com/2019/04/riyadus-solihin-bab-4-kebenaran.

html

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 4. Kejujuran.

Allah ‫ ﷻ‬berfirman:

۞‫ِين‬
َ ‫صا ِدق‬
َّ ‫ع ال‬
َ ‫ه َوكُو ُنوا َم‬ َ ‫۞يَا َأيُّ َها الَّذ‬
َ َّ‫ِين آ َم ُنوا اتَّ ُقوا الل‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang
benar.” (QS. At-Taubâh: 9: 119)

Allah ‫ ﷻ‬berfirman:

۞ِ‫صا ِد َقات‬
َّ ‫ِين َوال‬
َ ‫صا ِدق‬
َّ ‫۞ َوال‬

“...lelaki dan perempuan yang benar.”

(QS. Al-Ahzâb: 3: 35)

Allah ‫ ﷻ‬berfirman:

ْ ‫خ ْي ًرا لَ ُه‬
۞‫م‬ َ َ‫ه ل‬
َ َ‫كان‬ َ ‫۞ َفلَ ْو‬
َ َّ‫ص َدقُوا الل‬

“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.”
(QS. Muhammad: 47: 21)

Penjelasan.

Jujur (ash-shidq) adalah kesesuaian antara informasi dengan realita. Jujur juga berlaku dalam memberikan
informasi; jika kamu menginformasikan sebuah berita, sedang berita yang kamu sampaikan sesuai dengan
realita, maka informasi tersebut disebut berita yang akurat (baca: jujur).

Misalnya, kamu menginformasikan tentang hari ini, “Hari ini adalah hari Ahad.” Maka, informasi yang kamu
sampaikan adalah berita yang benar. Namun, jika kamu mengatakan bahwa hari ini adalah Senin, maka
informasi tersebut adalah berita dusta. Dengan demikian, berita yang sesuai dengan realita disebut berita
benar, tapi jika tidak sesuai maka disebutkan berita dusta.

Jujur meliputi ucapan dan perbuatan. Seseorang bisa disebut jujur jika batinnya sesuai dengan lahirnya;
perbuatan yang dia lakukan sesuai dengan apa yang terbersit dalam hatinya.

Orang yang beribadah dengan riya, misalnya, tidak bisa dikatakan jujur, kerana dia menampakkan kepada
orang lain bahwa dia seorang yang ahli ibadah namun ternyata bukan seperti itu. Orang musyrik juga bukanlah
orang yang jujur, kerana dia menampakkan ketauhidan, tapi kenyataannya tidak demikian. Orang munafik juga
tidak dikatakan jujur, kerana dia menampakkan keimanan, meski kenyataannya dia bukan orang mukmin.
Pelaku bid'ah tidak disebut orang jujur, kerana dia menampakkan diri sebagai orang yang mengikuti sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal dia tidak termasuk orang yang mengikuti sunnah baginda.

Yang perlu digarisbawahi, kejujuran itu adalah kesesuaian berita dengan realita. Kejujuran merupakan bagian
dari karakteristik orang-orang yang beriman. Antonim (lawan kata) daripada kejujuran adalah kebohongan.
Bohong merupakan salah satu karakteristik orang-orang munafik.

Kemudian penulis (Imam An-Nawawi) menyebutkan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kejujuran.

Allah Ta'ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu
dengan orang-orang yang benar.”

(QS. At-Taubah: 9: 119)


Menurut Imam An-Nawawi rahimahullah, ayat ini diturunkan setelah ayat yang menegaskan tentang kisah tiga
orang yang absen (tidak ikut serta) dari perang Tabuk, di antara mereka adalah Ka'ab bin Malik, yang akan
kami uraikan kisahnya berikut ini.

Tentang tiga orang yang absen dari perang Tabuk, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari perang
Tabuk, mereka memberitahukan kepada baginda bahwa mereka tidak memiliki satu alasan pun atas
ketidakhadiran mereka, maka baginda pun meninggalkan mereka.

Makna, “Tiga orang yang ditinggalkan.”

(QS. At-Taubah: 9: 118) Yakni ditinggalkan penerimaan taubatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menghiraukan mereka. Kerana orang-orang munafik ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari
perang Tabuk, mereka menjumpai baginda, dan menyebutkan alasan-alasan (yang mereka buat-buat) dan
mereka bersumpah demi Allah bahwa mereka benar-benar berhalangan untuk ikut berperang.

Tentang mereka ini, Allah Ta'ala berfirman:

“Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu
berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; kerana sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan
tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan
bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka,
Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.”

(QS. At-Taubah: 9: 95-96)

Adapun tiga orang tersebut berkata jujur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka
memang tidak memiliki halangan apa pun untuk ikut berperang. Kemudian baginda mendiamkan mereka
selama lima puluh malam, hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa
mereka pun telah terasa sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari
(siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka.

Setelah itu, Allah Ta'ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan
bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 9: 119)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang mukmin agar bertakwa kepada-Nya dan hendaknya
mereka bersama orang-orang yang jujur, bukan bersama orang-orang yang gemar berdusta. Allah Ta'ala
berfirman, “Laki-laki dan perempuan yang benar.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 35)

Allah Ta'ala menyebutkan laki-laki dan para perempuan yang benar dalam konteks pujian dan dalam konteks
di mana mereka mendapatkan pahala yang besar.

Allah Ta'ala berfirman, “Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih
baik bagi mereka.”

(QS. Muhammad: 47: 21) Yakni, jika mereka bermuamalah dengan Allah dengan jujur, niscaya hal itu lebih baik
bagi mereka. Tapi, mereka bermuamalah terhadap Allah dengan dusta. Maka, mereka bersikap munafik dan
mereka menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang terbesit dalam hati mereka.

Mereka bermuamalah terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dusta; mereka menampakkan diri
mereka seolah-olah mengikuti sunnah baginda, padahal mereka adalah orang-orang yang menentang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jikalau mereka jujur kepada Allah, baik dengan hati, perbuatan-perbuatan dan
ucapan-ucapan mereka, maka yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Akan tetapi, mereka bermuamalah
terhadap Allah dengan kedustaan, maka keburukanlah bagi mereka.

Allah Ta'ala berfirman:


“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu kerana kebenarannya, dan menyiksa
orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 24)

Hal ini menunjukkan bahwa kejujuran itu merupakan perkara yang besar, dan merupakan sarana untuk
mendapatkan balasan dari Allah Ta'ala.

Oleh kerana itu, hendaklah kita berperilaku dan berkata jujur, selalu berterus terang dan hendaknya tidak
menyembunyikan sesuatu kepada orang lain dengan maksud melakukan penipuan atau riya.

Banyak orang jika ditanya tentang sesuatu yang sudah dilakukannya, sedang orang yang menanyakannya tidak
mengetahui apakah orang tersebut sudah melakukannya atau belum, maka kemudian dia berdusta seraya
berkata, “Aku belum melakukannya.”

Mengapa bisa demikian? Apakah kamu malu kepada makhluk sehingga berani berdusta kepada sang Khalik?
Katakanlah dengan jujur dan jangan sampai seseorang pun mempengaruhimu, dan kamu jika membiasakan
diri dengan kejujuran maka keadaanmu akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika kamu mengatakan sesuatu
yang dusta maka kamu akan terus menyembunyikannya dari manusia dan terus mendustai mereka, akan terus
terjadi dalam setiap keadaanmu. Tetapi, jika kamu berperilaku jujur maka kamu telah meluruskan perjalanan
dan prinsip hidupmu.

Maka hendaklah kamu berperilaku jujur, baik dalam hal yang membawa manfaat bagimu mahupun tidak,
sehingga kamu bisa bersama orang-orang yang jujur yang Allah perintahkan kepadamu agar kamu senantiasa
bersama mereka.

Adapun kisah Ka'ab bin Malik ini adalah berkenaan dengan kisah mangkirnya dari perang Tabuk -yang terjadi
pada tahun ke-9 Hijriyah yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Romawi yang
notabene penduduknya pemeluk agama Nasrani.

Ketika Rasulullah mendengar informasi bahwa orang-orang Romawi mengumpulkan pasukan untuk
memerangi baginda, maka baginda juga bersiap-siap untuk melawan mereka seraya menempati Tabuk selama
dua puluh malam. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat sesuatu yang mencurigakan dan
tidak melihat satu musuh pun yang datang, dan akhirnya baginda memutuskan untuk pulang.

Perang ini terjadi pada hari yang sangat panas ketika buah-buahan dan kurma berbuah sehingga membuat
orang-orang munafik lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Maka, orang-orang munafik mangkir dari
perang ini, dan memilih untuk berteduh dan menikmati kurma dan buah-buahan, sehingga mereka tidak
bersentuhan dengan kesulitan perang.

Sementara orang-orang mukmin yang ikhlas, mereka ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Aral yang membentang dan ranumnya buah-buahan tidak menyurutkan semangat mereka.

Kecuali Ka'ab bin Malik radhiyallahu anhu, dia mangkir dari perang Tabuk tanpa udzur, sementara dia
termasuk orang-orang mukmin yang ikhlas. Oleh kerananya dikatakan, “Ka'ab tidak pernah absen dari
peperangan yang diikuti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ka'ab salah satu mujahid fi sabilillah.

“Kecuali perang Badar.” Ka'ab dan beberapa sahabat lainnya absen dari perang Badar, kerana pada waktu itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kota Madinah tidak untuk berperang. Oleh kerananya,
sahabat yang ikut serta bersama baginda hanya tiga ratus tujuh belas orang, kerana mereka hendak
mengambil barang dagangan -yaitu barang dagangan yang dibawa oleh kabilah Quraisy- yang membawa
barang dagangan yang datang dari Syam menuju Mekah dan melewati daerah sekitar kota Madinah. Maka
keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kota Madinah untuk menghalangi kabilah tersebut
sekaligus mengambil barang dagangan yang dibawa oleh mereka. Hal ini dilakukan kerana penduduk Mekah
telah mengusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dari rumah-rumah mereka dan
merampas harta-harta mereka.

Oleh kerana itu, harta orang-orang Quraisy tersebut termasuk ghanimah (rampasan perang) bagi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Halal bagi baginda untuk keluar dari kota Madinah dan mengambil barang
dagangan tersebut. Tindakan tersebut bukan sebagai bentuk permusuhan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta para sahabatnya. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh baginda bersama para sahabatnya
semata-mata untuk mengambil sebagian hak-hak mereka.

Yang terpenting, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar bersama tiga ratus tujuh belas orang
hanya membawa tujuh puluh unta dan dua ekor kuda saja. Mereka tidak membawa persiapan yang cukup, dan
jumlah mereka hanya sedikit. Akan tetapi, Allah mengumpulkan mereka dan musuh mereka tanpa ada
perjanjian sebelumnya, demi untuk menunaikan apa yang dikehendaki oleh Allah.

Abu Sufyan, pemimpin rombongan kabilah Quraisy, mendengar informasi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam keluar dari kota Madinah untuk mengambil barang dagangan mereka. Kerana Abu Sufyan
membelokkan arah perjalanannya ke pinggiran pantai dan dia mendelegasikan seseorang kepada kaum
Quraisy untuk meminta pertolongan kepada mereka, seraya berkata, “Selamatkanlah kabilah yang membawa
barang dagangan.”

Seketika, orang-orang Quraisy berkumpul. Dan keluarlah pemuka, pembesar dan pimpinan-pimpinan Quraisy
bersama sekitar sembilan ratus hingga seribu orang. Mereka keluar, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta'ala
dalam Al-Qur'an, dalam keadaan sombong dan riya serta menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah.

Ketika mereka di tengah jalan dan mengetahui bahwa kabilah yang membawa barang dagangan telah selamat,
mereka hendak kembali ke Mekah. Mereka berkata, “Kabilah yang membawa barang dagangan sudah selamat,
maka untuk apa kita berperang?”

Abu Jahal berkata, “Demi Allah kita tidak akan kembali sampai kita mencapai Badar dan bermukim di sana
selama tiga hari, kita akan menyembelih kambing, meminum khamer dan makan makanan sehingga orang-
orang Arab akan mendengar kita, maka mereka akan takut kepada kita selama-lamanya.”

Demikianlah mereka berkata dengan menentang kebenaran, sombong dan angkuh. Akan tetapi ternyata
orang-orang Arab membicarakan tentang kekalahan-kekalahan mereka yang menghinakan yang tidak pernah
dirasakan oleh orang-orang Arab sebelumnya. Kekalahan itu terjadi setelah mereka bertempur dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah.

Mereka bertempur, kemudian Allah Ta'ala berfirman kepada para malaikat,

“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman. Kelak akan
Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Anfâl: 8: 12)

Perhatikanlah! Dalam ayat ini Allah meneguhkan pendirian orang-orang mukmin dan menimbulkan rasa takut
di hati orang-orang kafir.

Maka siapa yang lebih dekat dengan kemenangan dalam keadaan seperti ini? Allah meneguhkan pendirian
orang-orang mukmin dengan kekokohan yang luar biasa dan menurunkan rasa takut di hati orang-orang kafir.

Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang
telah beriman. Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Anfâl: 8: 12)

Dengan pertolongan Allah, kaum Muslimin dapat mengalahkan mereka. Dari kalangan mereka terbunuh tujuh
puluh orang dan tertawan tujuh puluh orang. Dan orang-orang yang terbunuh itu bukan rakyat biasa, tetapi
para pembesar dan pemimpin mereka.

Sementara dari kalangan umat Islam, ada dua puluh empat orang yang terbunuh dan dimakamkan di Badar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di dekat para pahlawan muslim yang gugur di perang Badar seraya
bersabda, “Ya Fulan bin Fulan -baginda menyebutkan nama lengkap mereka beserta nama bapak-bapak
mereka- apakah kalian mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kalian itu benar adanya? Sungguh, aku
mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhanku itu benar adanya.” [Shahih Muslim no. 2875]

Mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana engkau berbicara dengan mayat yang terbujur kaku?” Baginda
menjawab, “Demi Allah, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku ucapkan, meski
mereka tidak bisa menjawab.” Kerana mereka telah meninggal. Hal ini merupakan nikmat dari Allah. Kita harus
mensyukurinya setiap kali kita mengingat nikmat tersebut.
Allah Ta'ala menolong Nabi-Nya, dan menyebutkan hari terjadinya peristiwa ini dengan Furqan, yaitu hari
bertemunya dua pasukan.

Pada hari ini, Allah telah membedakan antara yang hak dan yang batil dengan perbedaan yang sangat
mencolok.

Perhatikan kekuasaan Allah Ta'ala pada hari ini. Ketika Dia memenangkan tiga ratus tujuh belas orang
berhadapan dengan seribu orang pasukan yang lebih kuat dan membawa persiapan lebih lengkap daripada
mereka. Sementara pasukan unta dan pasukan kuda yang mereka bawa hanya sedikit. Akan tetapi, Allah Ta'ala
memberikan pertolongan kepada mereka, sehingga mereka memenangkan pertempuran tersebut.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan sungguh Allah telah menolong kamu dalam perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. Kerana
itu bertakwalah kepada Allah, agar kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 123)

Ketika kaum muslimin menaklukkan kota Mekah mereka keluar dengan jumlah dua belas ribu orang pasukan,
sedang di hadapan ada dua kabilah menghadang mereka, yaitu Hawazin dan Tsaqib. Kaum muslimin merasa
takjub dengan banyaknya jumlah mereka seraya berkata, “Pada hari ini kami tidak akan dikalahkan oleh
pasukan yang berjumlah sedikit.” Namun mereka dikalahkan oleh tiga ribu lima ratus orang! Pasukan kaum
muslimin yang berjumlah dua belas ribu orang, yang dipimpin langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dikalahkan oleh jumlah yang lebih sedikit. Kenapa? Kerana mereka telah merasa takjub dengan jumlah mereka
yang banyak sehingga mereka berkata, “Hari ini, kami tidak akan dikalahkan oleh pasukan yang berjumlah
sedikit.”

Kemudian Allah Ta'ala memperlihatkan kepada mereka bahwa jumlah yang banyak itu tidak berfaedah bagi
mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

“Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain,
ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak
berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari
tunggang langgang.” (QS. At-Taubah: 9: 25)

Yang perlu digarisbawahi di sini, Ka'ab bin Malik radhiyallahu anhu tidak menyaksikan perang Badar, namun
ketidakhadirannya di Perang Badar itu kerana pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari
Madinah bukan untuk berperang, melainkan untuk mengambil barang dagangan. Namun, Allah Ta'ala
mempertemukan antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan musuhnya tanpa perjanjian sebelumnya.

Apakah kalian tahu, keistimewaan apa yang diberikan kepada pelaku perang Badar? Allah menegaskan kepada
mereka, “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.”

Setiap perbuatan maksiat yang mereka lakukan, mendapatkan ampunan dari Allah, kerana “harga”nya sudah
mereka bayar terlebih dulu.

Pertempuran ini menjadi sebab segala kebaikan. Hingga tersingkapnya surat Hatib bin Abi Balta'ah. Hatib
menulis surat yang akan dia kirimkan kepada penduduk Mekah, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ingin memerangi mereka, pada penaklukan kota Mekah. Hatib menulis surat kepada penduduk Mekah untuk
memberita-hukan mereka, namun Allah membukakan rahasia itu kepada Nabi-Nya.

Hatib bin Abi Balta'ah menitipkan surat tersebut kepada seorang perempuan, Rasulullah mengetahui hal itu
melalui wahyu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib bersama seorang
sahabat untuk menemui perempuan tersebut. Mereka berdua berhasil mengejar perempuan tersebut dan
menangkapnya di sebuah taman yang dikenal dengan nama Raudhah Khakh. Mereka berdua “menahan”
perempuan tersebut seraya bertanya, “Di mana surat itu?” Perempuan itu berkata, “Aku tidak membawa
surat.” Mereka berkata kepadanya, “Demi Allah, kami tidak berdusta dan tidak bisa dibohongi, di mana surat
itu? Kamu keluarkan surat itu atau kami lepas bajumu?”
Melihat adanya ancaman mereka yang serius, perempuan itu pun akhirnya memberikan surat yang dibawanya.
Ternyata surat itu ditulis oleh Hatib bin Abi Balta'ah kepada Quraisy Mekah. Mereka berdua mengambil surat
itu.

Alhamdulillah surat itu tidak sampai ke tangan orang-orang Quraisy. Hal ini merupakan nikmat dari Allah
kepada orang-orang Islam dan kepada Hatib, kerana apa yang dia inginkan tidak terjadi.

Setelah surat ini ditunjukkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda berkata, “Ya Hatib, mengapa
kamu berbuat demikian?”

Hatib meminta maaf kepada Rasulullah atas kesalahan yang telah dia lakukan. Kemudian Umar berkata, “Ya
Rasulullah, biar aku menebas lehernya, sesungguhnya dia telah munafik.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar, “Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah
Ta'ala telah menegaskan kepada Ahlul Badar seraya berfirman, “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki,
sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.”[Shahih Al-Bukhari no. 3983]

Hatib radhiyallahu anhu termasuk Ahlul Badar.

Alhasil, perang ini tidak dihadiri oleh Ka'ab. Akan tetapi peperangan ini bukanlah peperangan pertama yang
terjadi kecuali dengan dua keadaan tadi. Dan jadilah perang ini sebagai perang yang berkah. Kemudian dia
berbai'at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Al-Aqabah (sepuluh Dzulhijah) di Mina
bersama para sahabat yang lain mengucapkan sumpah setia untuk menegakkan Islam.

Setelah pengucapan sumpah setia, Ka'ab mengatakan bahwa dia tidak ingin sumpah setia yang baru
dilaksanakan sebagai ganti perang Badar. Yakni, dia lebih mencintai sumpah setia tersebut daripada perang
Badar, kerana itu merupakan bai'at yang agung.

Namun demikian, Ka'ab berkata, “Tetapi, perang Badar itu lebih di ingat oleh manusia daripada Bai'atul
'Aqabah, kerana perang Badar adalah perang yang terkenal, berbeda dengan Bai'atul 'Aqabah.”

Bagaimanapun, seolah-olah Ka'ab hendak membela dirinya, bahwa meski dia tidak mengikuti perang Badar,
tetapi dia mengikuti Bai'atul 'Aqabah. Kerananya, Allah meridhai Ka'ab dan seluruh sahabat radhiyallahu
anhum.

Kemudian Ka'ab radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya aku bukanlah orang yang tidak kuat dan aku tidak
dalam kesusahan ketika tidak mengikuti peperangan itu (perang Tabuk).”

Pada saat itu, fisiknya dalam kondisi prima dan kondisi keuangannya sedang menggembirakan, bahkan dia
memiliki dua kendaraan. Padahal, pada peperangan sebelumnya dia belum pernah mengumpulkan dua
kendaraan dalam satu peperangan.

Sebenarnya, Ka'ab sudah bersiap untuk berperang dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
jika menginginkan peperangan, baginda menyembunyikan maksud peperangan tersebut. Yakni menampakkan
sesuatu yang berbeda dari apa yang baginda inginkan. Inilah hikmah dan siasat baginda dalam peperangan.
Kerana jika baginda memperlihatkan maksudnya maka akan jadi jelas bagi musuh dan bisa jadi mereka akan
mempersiapkan diri lebih besar, atau bisa jadi mereka akan kabur dari tempat yang dituju oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Misalnya, jika baginda ingin keluar menuju selatan, maka baginda menyembunyikannya seakan-akan baginda
ingin keluar ke utara atau ke timur, yakni memutar-balikan keadaan. Atau jika beliau ingin ke timur maka
baginda menyembunyikannya, seakan-akan baginda ingin pergi ke barat sehingga musuh tidak mengetahui
rahasia baginda. Kecuali di perang Tabuk. Baginda menjelaskan perkaranya, menerangkan sejelas-jelasnya
kepada para sahabat. Hal ini kerana beberapa faktor:

Pertama, kerana ini terjadi pada musim yang sangat panas, ketika buah-buah telah berbuah baik dan hati telah
tertarik untuk bermalas-malasan dan bersenang-senang.
Kedua, jarak kota Madinah dengan Tabuk sangatlah jauh. Di situ ada gurun pasir, ada kehausan dan ada
matahari yang terik.

Ketiga, musuh yang dihadapi sangat besar. Mereka adalah pasukan Romawi yang telah bersiap-siap dengan
jumlah yang sangat besar, berdasarkan informasi yang diterima oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kerananya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan perkara perang ini, dan memberitahukan bahwa
baginda akan keluar ke Tabuk untuk menghadapi musuh yang banyak, ke tempat yang jauh, sehingga umat
Islam bisa bersiap-siap.

Kaum muslimin bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju ke Tabuk. Tidak ada yang
tersisa, kecuali orang-orang yang direndahkan oleh Allah dengan kemunafikan dan tiga orang saja yaitu Ka'ab
bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi' dan Hilal bin Umayyah.

Tiga orang ini sebenarnya orang-orang mukmin yang ikhlas, akan tetapi mereka tidak ikut rombongan perang,
kerana satu perkara yang diinginkan oleh Allah Ta'ala. Adapun selain mereka yang tidak ikut perang, maka
mereka itu adalah orang-orang munafik yang tenggelam dalam kemunafikannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam pergi menuju ke Tabuk dengan jumlah yang
cukup banyak, sehingga mereka menetap di sana. Akan tetapi, Allah tidak mempertemukan antara baginda
dan musuhnya, bahkan baginda menetap selama dua puluh hari di tempat tersebut, setelah itu pulang tanpa
ada peperangan.

Ka'ab berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersiap-siap dan orang-orang
muslim pun keluar dari Kota Madinah.” Adapun yang membuat Ka'ab terlambat, dia selalu berputar-putar di
setiap pagi menunggangi kendaraannya serata berkata, “Aku ingin menyusul mereka.” Akan tetapi, dia tidak
melakukan sesuatu pun. Begitulah yang dia lakukan setiap hari, hingga dia benar-benar tidak menyusul ke
Tabuk.

Dalam kisah ini, terdapat dalil bahwa seseorang jika tidak segera melakukan amal shalih, maka peluang untuk
tidak melakukannya sangat besar. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman
kepada (Al-Qur'an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan.” (QS. Al-An'âm: 6: 110)

Jika seseorang mengetahui kebenaran kemudian dia tidak segera melakukannya, maka bisa jadi dia terlambat
untuk melakukannya atau tidak melakukannya sama sekali. Sebagaimana jika seseorang tidak bersabar pada
kesempatan pertama, maka bisa jadi dia tidak mendapatkan pahala kesabaran berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya kesabaran itu terdapat pada awal terjadinya (musibah).”

Oleh kerana itu, hendaklah kamu, wahai saudaraku, segera melakukan amal-amal shalih, jangan sampai
terlambat dan membiarkan hari-hari berlalu begitu saja. Kemudian kamu menjadi lemah, malas dan akhirnya
setan dan hawa nafsu mengalahkanmu, sehingga kamu menjadi terlambat.

Ka'ab setiap hari berkata, “Aku akan pergi ke Tabuk.” Hal itu berulang begitu saja dan dia tidak keluar. Dia
berkata, “Sesungguhnya hatiku terasa teriris ketika aku keluar ke pasar Madinah ternyata di Madinah tidak ada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada Abu Bakar, tidak ada Umar, tidak ada Utsman, tidak ada Ali,
tidak ada orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshar kecuali orang-orang yang tenggelam dalam kemunafikan.”

Mereka telah ditenggelamkan oleh kemunafikan sehingga tidak keluar untuk berperang. Atau orang-orang
yang udzur yang telah Allah terima udzurnya. Sehingga Ka'ab berguman kepada dirinya sendiri, “Bagaimana di
kota Madinah hanya tinggal orang-orang itu, apakah aku harus duduk bersama mereka?” Sementara,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyinggung dan menanyakan Ka'ab hingga baginda
bersama rombongan tiba di Tabuk.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk bersama para sahabatnya di Tabuk, baginda menanyakan Ka'ab,
“Di mana Ka'ab bin Malik?” Salah seorang sahabat dari Bani Salamah menceritakan tentang Ka'ab seraya
menjelek-jelekkannya. Sementara Mu'adz bin Jabal membela Ka'ab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam;
Tidak melontarkan jawaban apa pun, baik kepada sahabat yang menjelek-jelekkan Ka'ab mahupun sahabat
yang membelanya.

Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang
berpakaian putih yang tampak bayang-bayangnya dari jauh. Kemudian baginda bersabda, “Seperti itu Abu
Haitsamah Al-Anshari.” Ternyata, memang Abu Haitsamah. Ini adalah bentuk ketajaman firasat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kekuatan pandangannya. Tidak diragukan lagi bahwa baginda adalah orang
yang paling kuat pandangannya, pendengarannya, ucapannya, dan dalam segala sesuatu. Baginda diberikan
kekuatan tiga puluh laki-laki melakukan hubungan badan dengan istrinya.

Abu Haitsamah inilah orang yang bersedekah dengan satu sha' ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memotivasi untuk bersedekah. Maka, kaum muslimin bersedekah berdasarkan kemampuan masing-masing.
Dan jika ada orang yang bersedekah dengan jumlah yang banyak, maka orang-orang munafik mengatakan,
“Orang ini riya.” Padahal, sebanyak apa pun sedekah yang diberikan itu benar-benar ikhlas kerana Allah.

Tiba-tiba seseorang laki-laki yang fakir yang bersedekah dengan jumlah yang sedikit, seketika orang-orang
munafik berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan satu sha' ini.”

Perhatikanlah, mereka mencela orang-orang yang beriman ke sana ke mari, sebagaimana dijelaskan dalam
firman Allah Ta'ala:

“(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan
sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar
kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka,
dan mereka akan mendapat adzab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 9: 79)

Demikianlah orang-orang munafik itu berbahaya bagi orang-orang muslim. Jika mereka melihat orang-orang
yang baik maka mereka mencacinya, jika mereka melihat orang-orang yang lalai, mereka juga mencacinya.
Mereka adalah seburuk-buruk hamba Allah, mereka menempati tingkatan neraka yang paling bawah.

Orang-orang munafik di zaman kita sekarang ini jika melihat orang-orang yang baik, orang-orang yang
berdakwah, melakukan aktivitas amar makruf dan nahi mungkar, mereka akan berkata, “Mereka itu orang-
orang yang konservatif, radikal, kaku, dan fundamentalis (penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot).”
Atau ungkapan yang senada.

Semua karakter tersebut merupakan warisan orang-orang munafik, mulai dari masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam hingga hari ini. Oleh kerananya, jangan sekali-kali kalian mengatakan, bahwa di tengah-
tengah kita tidak ada lagi orang-orang munafik. Justru, di antara kita banyak orang-orang munafik, mereka
mempunyai banyak indikasi.

Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Madarij As-Salikin, juz pertama, menyebutkan pelbagai karekter
dan tanda-tanda orang munafik, yang semuanya disebutkan dalam Al-Qur'an.

Jika kamu melihat seseorang yang mencaci orang-orang mukmin dari berbagai aspek, berarti orang tersebut
adalah orang munafik.

Kemudian kita dapat memetik dua faedah yang besar.

1. Seseorang tidak pantas untuk mengakhirkan perbuatan baik, bahkan dia harus selalu terdepan, tidak
meremehkan dan tidak juga bermalas-malasan.

Ada sebuah hadits yang menegaskan tentang orang-orang yang disuruh maju ke shaf pertama di masjid, akan
tetapi mereka tidak mahu maju ke shaf yang pertama, bahkan tetap berada di shaf terakhir. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ال َي َزا ُل َق ْو ٌم َي َتَأ َّخر‬


ُ ‫ُون َح َّتى ُيَؤ ِّخ َر ُه ْم هَّللا‬

“Suatu kaum masih saja bersikap lambat (dalam ketaatan kepada Allah -pent) sehingga Allah akan
memperlambat mereka (dari rahmat-Nya).”[Shahih Muslim no. 662]
Jika seseorang membiasakan dirinya terlambat dalam melakukan sesuatu, maka Allah akan mengakhirkannya.
Oleh kerananya, segeralah melakukan amal-amal shalih pada saat diperintahkan oleh Allah.

2. Orang-orang munafik senantiasa mencaci orang-orang mukmin, seperti yang diuraikan di atas.

Abu Haitsamah inilah orang yang bersedekah dengan satu sha'. Menyikapi perbuatannya, orang-orang munafik
berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan satu sha' yang diberikan orang ini.” Akan tetapi mereka
adalah orang-orang munafik, mereka tidak beriman.

Ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Barangsiapa yang bersedekah
dengan sesuatu yang senilai dengan sebutir kurma dari usaha yang halal, sedangkan Allah tidaklah menerima
kecuali yang thayyib (yang baik), maka Allah akan menerima sedekahnya dengan tangan kanan-Nya kemudian
mengembangkannya untuk pemiliknya seperti seorang di antara kalian membesarkan kuda kecilnya hingga
sedekah tersebut menjadi besar seperti gunung.”[Shahih Al-Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014]

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Takutlah kalian terhadap neraka, meskipun dengan cara menyedekahkan separuh kurma.” [Shahih Al-Bukhari
no. 639 Muslim no. 1016]

Allah Ta'ala berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
(QS. Az-Zalzalah: 99: 7-8)

Allah tidak menyia-nyiakan amal seseorang yang berbuat baik.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, baginda langsung masuk ke masjid. Di
antara kebiasaan baginda, ketika pulang dari perjalanan, yang baginda lakukan pertama kali adalah melakukan
shalat di masjid.

Yakni, dia hendak menyampaikan satu pembicaraan kepada Nabi, meski bohong, agar Nabi dapat mengampuni
ketidakhadirannya dalam perang.

Ka'ab berkonsultasi kepada orang-orang yang mempunyai gagasan di lingkungan keluarganya tentang apa
yang harus dia katakan kepada Rasulullah. Akan tetapi, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di
Madinah, lenyaplah semua kebatilan yang dia rencanakan, kini dia bertekad untuk menjelaskan yang
sebenarnya, tanpa harus berbohong.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, baginda langsung masuk ke masjid. Di antara
kebiasaan baginda, ketika pulang ke negerinya, maka yang dilakukan pertama oleh baginda mendirikan shalat
di masjid baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula baginda memerintahkan Jabir radhiyallahu anhu sebagaimana yang akan saya paparkan nanti.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masjid lalu mendirikan shalat, kemudian baginda menerima orang-
orang yang hendak menghadapnya. Tidak lama kemudian, orang-orang munafik yang tidak ikut berperang
tanpa alasan apa pun, mereka bersumpah kepada baginda bahwa mereka tidak ikut berperang kerana
mempunyai alasan yang menghalangi mereka untuk ikut serta dalam peperangan. Baginda membaiat dan
mengampuni mereka.

Tetapi, pengampunan itu tiada berguna bagi mereka kerana Allah Ta'ala berfirman:

“(Sama saja) engkau (Muhammad) memohon bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka,
walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan
kepada mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 80)

Ka'ab berkata, “Sementara aku bertekad untuk berkata jujur kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku
masuk ke masjid seraya mengucapkan salam kepada baginda dan baginda tersenyum sinis kepadaku.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemarilah.” Aku memenuhi panggilan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika aku sudah berada di hadapannya, baginda bersabda, “Kenapa kamu tidak
ikut berperang?” Ka'ab berkata, “Ya, Rasulullah, aku tidak ikut berperang bukan kerana udzur, dan aku belum
pernah memiliki dua kendaraan sebelum perang ini. Sesungguhnya, seandainya aku berhadapan dengan salah
seorang raja di dunia ini, niscaya aku tahu bagaimana bisa bebas dari dia, kerana aku dianugerahi kemampuan
berdebat. Akan tetapi, aku tidak akan berbicara kepada engkau pada hari ini dengan satu pembicaraan yang
membuatmu ridha kepadaku, namun dapat membuat Allah murka kepadaku.”

Perhatikan keimanan Ka'ab ini!

Ka'ab memberitahu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ketidakikutsertaannya dalam
perang Tabuk dengan jujur. Kemudian baginda menangguhkan pemberian ampunan terhadap Ka'ab.

Faedah Hadits.

Dalam hal ini terdapat beberapa faedah:

Pertama, sesungguhnya Allah Ta'ala melimpahkan anugerahnya kepada seorang hamba, sehingga menjaganya
dari perbuatan maksiat, jika dalam hatinya terbesit niat baik. Sesungguhnya Ka'ab ketika hendak berkata
bohong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah menghilangkan niat buruk itu dari hatinya,
kemudian dia bertekad untuk berkata jujur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, ketika seseorang sampai di negerinya, hendaklah dia menuju ke masjid sebelum masuk ke rumahnya
seraya mendirikan shalat dua rakaat. Kerana yang demikian itu merupakan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik secara ucapan mahupun secara perbuatan.

Adapun sunnah baginda dalam hal ini yang berupa perbuatan, yaitu seperti hadits Ka'ab bin Malik ini.

Sementara yang berupa ucapan, yaitu seperti hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma ketika dia menjual
untanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pertengahan jalan tetapi dia meminta pengecualian, dia
akan menungganginya sampai ke Madinah. Rasulullah menyetujui syarat tersebut. Maka sampailah Jabir di
Madinah sedang Rasulullah sudah tiba di Madinah sebelum Jabir. Jabir langsung mendatangi Rasulullah.
Setibanya dihadapan baginda, Jabir diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk ke
masjid dan mendirikan shalat dua rakaat.

Menurut hemat saya, tidak banyak orang yang mengamalkan sunnah ini, yang disebabkan oleh ketidaktahuan
orang-orang terhadap ajaran ini. Kerana jika mereka mengetahui, niscaya mereka melakukan sunnah ini sangat
mudah.

Shalat sunnah ini bisa kamu lakukan di masjid yang dekat dengan rumahmu, yang biasa dijadikan tempat
shalat sehari-hari atau di masjid yang kamu jumpai pertama kali di saat kamu memasuki kampung halamanmu.

Ketiga, Ka'ab bin Malik terkenal sebagai orang yang mempunyai hujjah yang kuat dan berbicara dengan fasih.
Akan tetapi, ketakwaannya kepada Allah mencegahnya untuk berdusta. Justru, dia memberitahukan yang
sebenarnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keempat, orang yang sedang marah kadang-kadang tersenyum. Jika ada yang mengatakan bagaimana kamu
tahu apakah senyum itu tulus atau sinis? Kita katakan, bahwa hal tersebut bisa diketahui dari roman wajahnya
atau indikasi yang lainnya.

Kelima, orang yang sedang berdiri boleh mengucapkan salam kepada orang yang sedang duduk. Kerana Ka'ab
mengucapkan salam dalam keadaan berdiri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian baginda
memanggilnya untuk mendekat.

Keenam, pembicaraan dari jarak dekat lebih baik daripada pembicaraan jarak jauh. Padahal, ketika itu, bisa
saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada Ka'ab dari jarak jauh, tapi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mendekat. Kerana hal ini lebih mudah untuk mengiyakan,
menyangkal, atau mengkritik lawan bicara. oleh kerana itu, baginda berkata kepada Ka'ab, “Kemarilah.”
Ketujuh, mantapnya keyakinan Ka,ab bin Malik radhiyallahu anhu. Di mana dia berkata, “Sebenarnya aku bisa
pergi dari hadapan Rasulullah dengan mendapatkan ampunan dari baginda Akan tetapi, aku tidak mungkin
pergi dari hadapan baginda dengan sebuah alasan yang bisa membuat Rasulullah berkenan mengampuniku
hari ini, kemudian besok Allah murka kepadaku.”

Kedelapan, sesungguhnya Allah Ta'ala mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Sesungguhnya Ka'ab
khawatir Allah akan mendengar pembicaraannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga Allah
Ta'ala menurunkan Al-Qur'an kepadanya, sebagaimana Allah menurunkan wahyu yang berkaitan dengan kisah
seorang perempuan yang datang kepada Rasulullah untuk mengadukan tentang suaminya yang bersumpah
zhihar kepadanya, kemudian Allah menurunkan ayat mengenai perempuan tersebut,

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang
suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah dan Allah mendengar soal-jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mujâdilah: 58: 1)

Ka'ab berkata, “Sesungguhnya aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan
kata-kata yang jujur, dan aku memberitahukan kepada baginda bahwa aku tidak memiliki udzur apa pun, baik
yang berkaitan dengan kondisi fisik atau harta. Bahkan, aku belum pernah punya dua kendaraan sebelum
peperangan ini.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang ini (Ka'ab) berkata jujur.” Ungkapan
baginda sudah cukup membuat Ka'ab senang, kerana baginda menyebut Ka'ab orang yang jujur. Kemudian
baginda bersabda, “Pergilah, hingga Allah memutuskan urusanmu, sesuai kehendak-Nya.”

Ka'ab pergi dari hadapan baginda dengan pasrah sepenuhnya terhadap keputusan Allah Ta'ala dan percaya
sepenuhnya kepada Allah, bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi, sementara yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.

Setelah itu, kelompoknya dari Bani Salamah, mendatangi Ka'ab, mendorongnya untuk kembali menghadap
Rasulullah, seraya mereka berkata, “Sesungguhnya kamu tidak pernah berbuat dosa sebelum ini -yakni,
sebelum ini kamu tidak pernah mangkir dari peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-
sejatinya, Rasulullah mengampunimu, jika baginda sudah mengampunimu, maka Allah pasti akan
mengampunimu.”

Mereka menambahkan, “Kembalilah menghadap Rasulullah. Berdustalah kepada dirimu sendiri. Katakan
kepada baginda, “Aku tidak ikut perang kerana udzur,” sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengampunimu, sebagaimana baginda juga mengampuni orang-orang yang menyampaikan alasan mereka
(atas ketidakikutsertaan mereka dalam perang Tabuk).”

Ka'ab berhasrat untuk melakukan apa yang disarankan oleh kaumnya, akan tetapi Allah Ta'ala menolongnya
dan menuliskan baginya keutamaan yang sangat besar yang terus dibaca di dalam Al-Qur'an sampai hari
Kiamat.

Kemudian dia bertanya kepada kaumnya, “Apakah ada orang yang berbuat sama seperti yang aku lakukan?”
Mereka berkata, “Ya, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Ar-Rabi'. Mereka berdua mengucapkan seperti apa
yang kamu katakan, kemudian Rasulullah bersabda kepada keduanya, seperti yang disabdakan kepadamu.”

Ka'ab berkata, “Kemudian mereka menyebutkan kepadaku tentang kedua orang yang shalih ini, bahwa
keduanya telah mengikuti perang Badar dan keduanya telah menjadi contoh teladan bagiku.”

Terkadang Allah mengokohkan hati seseorang untuk meninggalkan keburukan dengan cara meneladani orang
lain.

Ketika disebutkan kepada Ka'ab, tentang kisah dua orang tersebut, di mana keduanya termasuk hamba-hamba
pilihan, yang ikut serta dalam perang Badar, maka dia berkata, “Kedua orang tersebut menjadi suri teladan
bagiku. Maka aku memutuskan untuk tidak kembali menghadap Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak berbicara dengan tiga
orang tersebut.

Para sahabat mendiamkan mereka. Dan setelah itu mereka berjalan seakan-akan tanpa akal kerana kesedihan
yang mendalam dan seakan-akan bumi pun ikut memungkiri mereka, bumi tempat mereka tinggal dan mereka
kenal. Ketika mereka berjalan dan mengucapkan salam tidak ada orang yang mahu menjawab salam mereka.
Dan ketika ada yang berjumpa dengan mereka tidak ada yang mengucapkan salam terlebih dahulu kepada
mereka. Sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai orang yang mempunyai budi pekerti yang paling
baik, tidak mengucapkan salam kepada mereka sebagaimana biasanya.

Ka'ab berkata, “Aku mencoba untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah, tapi aku tidak tahu apakah
baginda menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku atau tidak.”

Baginda ini adalah seorang Nabi, jadi apa yang kamu sangka jika seseorang didiamkan pada lingkungan
masyarakat Islam, yang merupakan abad terbaik, sehingga bumi terasa sempit bagi mereka. Bumi benar-benar
terasa sempit bagi mereka. Mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksaan Allah,
melainkan kepada-Nya saja. Mereka menghadapi kondisi seperti ini selama lima puluh hari, sama dengan satu
bulan dua puluh hari.

Orang-orang mendiamkan mereka tidak mengucapkan salam, dan tidak menjawab salam mereka, seakan-akan
mereka adalah sekelompok unta yang tersesat, tidak ada seorang pun yang mahu mendekati mereka.

Keadaan mereka menjadi sulit, semakin beratlah urusan mereka, dan mereka lari kepada Allah Ta'ala. Akan
tetapi, meski dalam keadaan demikian, Ka'ab bin Malik tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah bersama
kaum muslimin. Demikian dia terus berusaha hadir dan mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Namun demikian, lama kelamaan Ka'ab mulai enggan shalat berjamaah ke masjid. Bisa jadi, kerana dia
merasa tertekan dan merasa minder berkumpul dan shalat bersama dengan sebuah komunitas, sedang
mereka tidak mahu berbicara dengannya, baik dengan pembicaraan yang baik atau pembicaraan yang
menyakitkan.

Bumi ini terasa sempit bagi mereka. Mereka berada dalam kondisi demikian selama lima puluh malam. Setelah
empat puluh hari mereka melewati kondisi seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan utusan
kepada mereka untuk menyampaikan perintah agar mereka menjauhi istri-istrinya. Sampai separah ini, sanksi
yang harus mereka terima.

Coba bayangkan! Ka'ab bin Malik seorang pemuda harus menjauhi istrinya. Sungguh ini permasalahan yang
luar biasa. Namun demikian, utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada Ka'ab seraya
berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanmu agar kamu menjauhi istrimu.” Seketika Ka'ab
berkata, “Apakah aku harus mencerainya atau tidak?”

Seandainya Ka'ab diperintahkan untuk menceraikan istrinya, niscaya dia akan melakukannya, demi ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya.

Utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ka'ab, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkanmu agar kamu menjauhi istrimu.” Utusan Rasulullah itu, tidak menafsirkan
sabda baginda, dia mengatakan apa adanya. Sampai sahabat yang diutus oleh Rasulullah tidak mengubah satu
huruf pun, baik secara makna atau secara lafazh.

Demikianlah di antara etika seorang sahabat Nabi. Utusan Rasulullah itu tidak berkata, “Menurut hemat saya,
Rasulullah memerintahkanmu agar kamu menceraikannya (istrimu).” Dia juga tidak berkata, “Menurut hemat
saya, barangkali Rasulullah tidak menginginkanmu tidak menceraikan (istrimu).”

Dia tidak berkata apa-apa, dia hanya berkata, “Sesungguhnya Nabi bersabda begini...” Kemudian Ka'ab berkata
kepada istrinya, “Pulanglah ke rumah orangtuamu.”

Ka'ab berkata, “Adapun kedua sahabatku diam di rumahnya, dengan terus menerus menangis.” Kerana
mereka berdua sudah tidak kuat untuk pergi ke pasar, sedang orang-orang mendiamkan mereka berdua, dan
tidak ada seorang pun yang mahu peduli kepada mereka berdua.
Mereka tidak sanggup memikul beban kondisi yang seperti ini. Oleh kerananya, mereka berdua memilih untuk
mengurung di rumah mereka berdua, dengan terus menerus menangis.

“Sementara, aku adalah orang yang paling kuat dan paling sabar di antara kaumku,” tutur Ka'ab.

Kerana usia Ka'ab masih lebih muda daripada mereka. Dia tetap mendirikan shalat jamaah bersama kaum
muslimin, dan tetap pergi ke masjid meski tidak ada seorang pun yang menegurnya.

Dia berkata, “Aku selalu datang ke masjid dan mendirikan shalat, kemudian aku mengucapkan salam kepada
Rasulullah, sedang baginda duduk menghadap kepada jamaah shalat, usai mendirikan shalat. Tapi aku tidak
tahu, apakah baginda menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salam atau tidak.”

Yakni, baginda tidak menjawab salamnya dengan suara yang terdengar oleh Ka'ab. Rasulullah bersikap
demikian, padahal baginda adalah orang yang paling baik budi pekertinya. Rasulullah berbuat demikian,
semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah Ta'ala agar tidak berbicara dengan tiga orang tersebut.

Ka'ab berkata, “Aku mendirikan shalat sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Rasulullah, ketika aku
kembali pada shalatku, baginda memandang ke arahku dan ketika aku menoleh ke arah baginda, baginda
memalingkan wajahnya dariku.”

Semua ini mengindikasikan bahwa betapa Rasulullah sangat tidak ingin berbicara dengan Ka'ab.

Ka'ab menambahkan, “Suatu ketika, aku berjalan di pasar, ketidakramahan orang-orang kepadaku, aku
rasakan, sudah cukup lama. Aku memanjat dinding rumah Abu Qatadah radhiyallahu anhu.” Yakni, dia masuk
dari atas tembok, bukan dari pintu, seakan-akan pintu rumah Qatadah dah tertutup, dan hanya Allah yang
mengetahui.

Dia berkata, “Maka aku mengucapkan salam kepadanya (Abu Qatadah), dan demi Allah dia tidak menjawab
salamku.” Padahal dia adalah sepupunya dan orang yang paling dia cintai, namun demikian dia tidak mahu
menjawab salamnya.

Padahal, Ka'ab sedang dikucilkan oleh masyarakat. Tidak ada yang mahu berbicara dengannya, tidak ada yang
mahu mengucapkan salam kepadanya, tidak ada yang mahu menjawab salamnya. Kondisi seperti itu, tidak
membuat sepupunya, Abu Qatadah, prihatin dan kasihan kepadanya.

Semua ini adalah semata-mata bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kerana dalam menjalankan
perintah Allah, para sahabat radhiyallahu anhu tidak akan mempedulikan celaan orang yang mencela dan tidak
akan mempedulikan seseorang dalam agama Allah, walaupun orang itu sangat dicintainya. Maka aku berkata
kepadanya (Abu Qatadah), “Aku ingin bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu tahu bahwa
sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah tidak menjawab.

Aku berkata lagi, “Aku ingin bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu tahu, bahwa sesungguhnya aku
mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah masih belum mahu menjawab.

Ka'ab bertanya kepada Abu Qatadah, tapi Abu Qatadah tidak menjawabnya. Sementara, Abu Qatadah
mengetahui bahwa Ka'ab bin Malik mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Ka'ab bertanya lagi kepada Abu Qatadah, untuk yang ketiga kalinya, “Aku ingin bertanya kepadamu, demi
Allah, apakah kamu tahu, bahwa sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Kali ini Abu Qatadah
angkat suara, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Abu Qatadah tidak membicarakan dengan Ka'ab, dia tidak berkata, “Ya.” Sebagaimana dia juga tidak berkata,
“Tidak.”

Abu Qatadah mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dianggap sebagai dialog.

Ka'ab bertutur, “Seketika, air mataku mengalir (baca: menangis).” Kerana sepupunya yang merupakan orang
yang paling dia cintai tidak mahu berbicara dengannya meski dia menanyakan sesuatu yang agung. Padahal
apa yang ditanyakan oleh Ka'ab masuk dalam ranah ibadah. Sebab ungkapan Ka'ab, “Aku ingin bertanya
kepadamu, demi Allah, apakah kamu tahu, bahwa sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Dia
meminta persaksian. Namun demikian, Abu Qatadah tidak mahu memberikan persaksian kepada Ka'ab,
padahal Abu Qatadah mengetahui bahwa Ka'ab mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dia berjalan di taman yakni ia keluar ke pasar, ketika itu tiba-tiba ada seorang lelaki dari Nabthi Syam -Nabthi
adalah orang yang berasal dari bangsa Arab dan bukan bangsa 'Ajam-. Disebut demikian kerana mereka keluar
di padang pasir untuk mencari sumber air. Orang tersebut berkata, “Siapa yang mahu menunjukkan kepadaku
tempat Ka'ab bin Malik berada?”

Ada orang-orang jahat yang sedang menunggu kesempatan.

Ketika orang tersebut berkata, “Siapa yang mahu menunjukkan kepadaku tempat Ka'ab bin Malik berada?”
Segera aku berkata, “Aku adalah orang yang kamu cari itu.”

Seketika dia memberikan secarik kertas kepadaku. Aku adalah seorang penulis, sementara pada masa itu
penulis masih jarang sekali.

Ka'ab berkata, “Di kertas itu tertulis, “Amma ba'du, kami mendengar informasi bahwa temanmu (Rasulullah)
sedang menguncilkanmu -surat yang dibaca oleh Ka'ab itu dikirim oleh raja Ghassan yang kafir- sesungguhnya
engkau tidak akan berada di rumah dalam keadaan terhina dan tersia-sia, oleh kerana itu, datanglah ke tempat
kami.” Yakni datanglah ke tempat kami, niscaya kami akan menyejahterakanmu dengan harta-harta kami,
bahkan barangkali juga dengan kerajaan kami.

Tapi Ka'ab adalah seorang laki-laki yang beriman dan mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kemudian dia berkata,
“Ini adalah bagian dari ujian.” Apa yang dikatakan oleh Ka'ab memang benar.

Saat itu, Ka'ab adalah orang yang sedang dikucilkan, dimarjinalkan, dan tidak ada seorang pun yang mahu
berbicara dengannya, meski orang yang paling dekat dengannya. Seandainya iman Ka'ab lemah, niscaya dia
tidak akan membuang-buang kesempatan untuk memenuhi ajakan raja.

Usai membaca surat itu, Ka'ab pergi ke tungku pembakaran seraya melemparkan surat itu dalam kobaran api.

Dia memilih untuk membakar surat itu, dan tidak membiarkannya berada pada dirinya, agar di kemudian hari
surat tersebut tidak menggodanya untuk memenuhi ajakan raja.

Ka'ab membakar surat itu, agar dia tidak ada peluang lagi untuk memenuhi undangan raja, dan agar Ka'ab
tidak berupaya untuk menjadikan surat tersebut sebagai hujjah atau dalih untuk datang ke tempat raja.

Di dalam penggalan hadits ini, terdapat sebuah dalil yang menunjukkan bahwa seseorang boleh tidak
melaksanakan shalat berjamaah, jika orang tersebut dalam kondisi dikucilkan dan tidak ada orang yang
bersedia berbicara dengannya, sekiranya dia tidak mampu menanggung semua itu, sebagaimana yang
dilakukan oleh kedua sahabat Ka'ab itu. Kerana, tentu saja, seseorang akan merasa tertekan dan jiwanya
sempit jika dia harus datang ke masjid untuk melaksankan shalat berjamaah, sementara tidak ada seorang pun
yang mahu mengucapkan salam kepadanya dan tidak ada yang mahu menjawab salamnya. Kondisi seperti ini,
oleh kalangan ulama, dianggap sebagai udzur untuk tidak menghadiri shalat jamaah.

Faedah Hadits.

Dalam penggalan hadits ini, terdapat beberapa faedah, antara lain:

1. Para sahabat mempunyai komitmen yang tinggi dalam menjalankan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Hal ini dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Abu Qatadah bersama Ka'ab.

2. Seseorang wajib membentengi diri dari orang-orang yang berperilaku buruk yang mencari kelemahan dan
menunggu kesempatan untuk menghancurkannya.

Raja kafir itu mencari kelemahan Ka'ab, mengajaknya pada kesesatan sehingga dia dapat keluar dari agamanya
kemudian memeluk agama raja, disebabkan oleh kondisi Ka'ab yang sedang dikucilkan oleh Rasulullah dan
kaum muslimin lainnya.
3. Ka'ab bin Malik gigih dalam memeluk agama Allah dan dia termasuk orang-orang mukmin yang ikhlas, bukan
bagian dari orang-orang yang dijelaskan dalam firman Allah,

“Dan di antara manusia ada orang yang berkata, “Kami beriman kepada Allah,” maka apabila dia disakiti
(kerana dia beriman) kepada Allah, dia menganggap fitnah manusia itu sebagai adzab Allah.” (QS. Al-'Ankabût:
29: 10)

Sebagian manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah.” Tapi imannya lemah. Ketika dia disakiti
kerana dia beriman kepada Allah, maka dia murtad, fasik dan tidak lagi taat kepada Allah.

Ka'ab bin Malik disakiti, kerana dia beriman kepada Allah, dengan berbagai macam cara, namun dia tetap
sabar dan mengharapkan pahala dari Allah serta menunggu kelapangan. Kemudian Allah memberikan sebuah
kelapangan kepadanya beserta kedua sahabatnya dengan kelapangan yang tidak pernah diberikan kepada
orang lain. Allah menurunkan wahyu dalam beberapa ayat yang berisi pujian kepada mereka, di mana ayat-
ayat tersebut terus dibaca oleh umat Islam sampai hari Kiamat. Kita membaca kisah mereka yang diabadikan
dalam Al-Qur'an pada saat kita mendirikan shalat! Hal ini merupakan anugerah yang luar biasa.

4. Jika seseorang melihat atau khawatir terhadap fitnah (baca: cobaan) hendaknya dia meninggalkan sesuatu
yang dapat menyebabkan dia tertimpa fitnah tersebut.

Ketika Ka'ab khawatir di kemudian hari tertarik pada ajakan raja, dengan menjadikan surat tersebut sebagai
dalih atau hujjah, maka dia segera membakar surat tersebut.

Senada dengan kasus ini, apa yang terjadi pada Nabi Sulaiman bin Nabi Dawud Alaihiwassalam ketika
didatangkan kepadanya pada waktu Ashar seekor kuda yang mempunyai paras menarik dan bisa lari cepat.
Akibat melihat kuda tersebut, dia sampai lupa untuk mendirikan shalat Ashar, hingga matahari terbenam.

Pada saat matahari sudah kembali keperaduannya, sementara dia belum mendirikan shalat Ashar, dia
langsung menebas leher dan kaki kuda itu, sebagai balas dendam kepada kuda tersebut, kerana kuda tersebut
sudah membuat Nabi Sulaiman lalai untuk mengingat Allah.

“Maka ia berkata, “Sesungguhnya Aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku
lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan. Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku,
lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (QS. Shâd: 38: 32-33)

Alhasil, ketika kamu melihat salah satu hartamu dapat menghalang-halangimu dari mengingat Allah, maka
jauhkanlah hal itu darimu dengan cara apa pun, sehingga hal itu tidak menjadi faktor yang membuat kamu lalai
dari mengingat Allah.

Sungguh merugi orang-orang yang lalai mengingat Allah, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiàpa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munâfiqûn: 63: 9)

Ka'ab berkata, “Setelah kami melalui empat puluh malam.” Yakni, satu bulan sepuluh hari, sementara wahyu
lambat turun. Hal ini merupakan hikmah dari Allah Ta'ala dalam masalah-masalah besar, di mana wahyu dalam
rentang waktu yang cukup lama belum turun, seperti yang terjadi dalam kisah ini juga dalam kisah Al-Ifki
(kabar dusta yang ditujukan kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Hal ini merupakan hikmah dari Allah Ta'ala, sehingga manusia merindukan dan menunggu-nunggu wahyu; kira-
kira apa yang diturunkan oleh Tuhan semesta alam.

Wahyu tidak turun selama empat puluh malam. Bahkan, empat puluh malam Ka'ab menjalani sanksi,
Rasulullah mengirim utusan untuk menyampaikan perintah kepada Ka'ab, agar Ka'ab menjauhi istrinya,
sebagaimana sudah disinggung di atas.

Kemudian istri Hilal bin Umayyah datang mengadap Rasulullah seraya memberitahukan kepada baginda,
bahwa suaminya sangat membutuhkan dia, untuk melayaninya, kerana suaminya tidak mempunyai pembantu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya, dengan syarat suaminya tidak mendekat kepadanya.
Istri Hilal berkata, “Saat ini dia sedang tidak mempunyai semangat untuk melakukan hubungan badan.” Kerana
dia masih terlarut dalam tangisan, sejak Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk menghajr Hilal dan
dua sahabatnya. Kerana dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dan bagaimana akhir dari
permasalahan ini.

Ka'ab berkata, “Sepuluh malam kemudian, aku sedang mendirikan shalat Subuh di lonteng salah satu rumahku
-sebab sebagaimana yang telah disebutkan, bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa
mereka pun telah terasa sempit bagi mereka- tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dengan kencang
dari atas gunung Sal'in -sebuah nama gunung di Madinah yang cukup populer- memanggilku, “Wahai Ka'ab bin
Malik, bergembiralah.”

“Seketika aku mengetahui bahwa Allah Ta'ala telah menurunkan wahyu yang memberiku kelapangan,”
tambahnya.

Seorang pengendara kuda dari arah masjid datang ke rumah Ka'ab bin Malik untuk memberikan kabar gembira
kepadanya.

Para pembawa kabar gembira mendatangi Hilal bin Umayyah, memberikan kabar gembira kepada mereka
berdua bahwa Allah Ta'ala telah mengampuni mereka.

Lihatlah kegembiraan orang-orang muslim antara sebagian mereka dan sebagian yang lain. Ada yang
mengekspresikan kegembiraannya dengan berjalan di jalanan, ada pula yang berlari.

Ka'ab berkata, “Datanglah orang berteriak, dan datanglah penunggang kuda. Aku mengetahui berita gembira
itu dari orang yang berteriak dari atas gunung daripada orang yang menunggangi kuda, kerana suaranya lebih
kencang daripada langkah kuda.”

“Kemudian aku memberikan baju sarung dan selendang kepada orang tersebut,” tambahnya.

Sementara Ka'ab hanya memiliki kedua barang tersebut, tapi kemudian dia mendapatkan pinjaman dua baju
dari keluarganya dan juga dari tetangga, kemudian dia memberikan kedua baju tersebut kepada orang yang
memberinya kabar gembira.

Ka'ab memberikan semua yang dimiliki kepada orang yang telah memberikan kabar gembira kepadanya. Akan
tetapi, demi Allah, sungguh kabar gembira yang luar biasa, di mana Allah menurunkan wahyu yang terkait
dengan penerimaan taubat mereka dan Allah memberikan anugerah pengampunan kepada mereka.

Tidak lama kemudian, Ka'ab turun dari lonteng rumahnya untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang saat itu tengah berada di masjid Nabawi, seketika Rasulullah memberikan kabar gembira
kepada kaum muslimin, usai shalat Subuh, bahwa Allah menurunkan wahyu yang menegaskan bahwa Allah
telah menerima taubat tiga orang tersebut. Kerana Rasulullah mencintai para sahabatnya dan umatnya yang
bertaubat kepada Allah.

Kemudian Ka'ab berkata, “Kemudian aku pergi hendak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sementara kaum muslimin berbondong-bondong menemuiku.” Yakni, kaum muslimin mengucapkan selamat
dan memberikan apresiasi kepada Ka'ab kerana Allah menerima taubatnya.

Mereka mencintai saudara-saudara (seagama) mereka sebagaimana mereka mencintai diri mereka sendiri.
Mereka tidak merasa iri hati dengan yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada Ka'ab dan kedua sahabatnya,
berupa turunnya ayat Al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah telah menerima taubat mereka, justru mereka
memberikan ucapan selamat kepada Ka'ab dan kedua sahabatnya, hingga mereka masuk ke masjid.

Faedah Hadits.

Dalam penggalan hadits ini terdapat beberapa faedah:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “mengucilkan” mereka bertiga dengan amat sangat, hingga
Rasulullah memerintahkan untuk menjauhi istri-istri mereka. Pemisahan laki-laki dengan istrinya termasuk
perkara yang besar.
2. Perkataan seorang laki-laki dalam hadits ini, kepada istrinya, “Pergilah ke keluargamu,” tidak dikategorikan
ungkapan talak. Kerana Ka'ab membedakan antara ucapannya, “Pergilah ke keluargamu,” dan ungkapan talak.
Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Pergilah ke keluargamu,” tapi dia tidak meniatkan untuk mencerai
istrinya, maka ungkapan tersebut bukan ungkapan talak.

Sementara jika dia meniatkan untuk menceraikan istrinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya amal perbuatan itu pasti disertai niat. Seseorang mendapatkan apa yang dia niatkan.”[Shahih
Al-Bukhari no. 1 Muslim no. 1907]

3. Sahabat mempunyai komitmen yang tinggi dalam menjalankan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Kerana Ka'ab bin Malik radhiyallahu anhu tidak ragu-ragu dan dia juga tidak berkata, “Barangkali aku
akan bernegosiasi kepada Rasulullah.” Dia juga tidak berkata kepada utusan Rasulullah, “Kembalilah kamu
kepada Rasulullah, barangkali baginda membolehkanku (mendekati istriku).” Ka'ab setuju dan melaksanakan
semua perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sayang kepada umatnya. Setelah baginda
memerintahkan mereka untuk menjauhi istri mereka, baginda membolehkan bagi Hilal bin Umayyah kerana
dia sangat membutuhkan khidmat istrinya.

5. Boleh menceritakan sebuah keadaan seseorang ketika meminta fatwa atau persaksian atau yang serupa.
Meskipun orang yang diceritakan tidak ingin keadaannya diketahui oleh orang lain. Kerana istri Hilal bin
Umayyah menceritakan keadaan suaminya, bahwa dia sedang tidak bergairah untuk melakukan hubungan
badan dengan istrinya.

6. Jika seseorang mengalami keadaan seperti yang dialami Ka'ab, kemudian orang-orang mendiamkannya,
sedang dia merasa hatinya terhiris ketika bertemu dengan mereka, dan dia tidak sanggup menghadapi kondisi
yang demikian, maka dia boleh tidak melaksanakan shalat jamaah bersama mereka.

Hal ini bisa dianggap sebagai salah satu udzur shalat berjamaah. Sebab, jika dia datang ke masjid dalam
keadaan seperti ini maka dikhawatirkan dia tidak bisa melaksanakan shalat dengan khusyuk. Oleh kerananya,
Ka'ab bin Malik mendirikan shalat Subuh di salah satu loteng rumahnya, sebagaimana disinggung sebelumnya.

7. Kepedulian para sahabat yang tinggi untuk berlomba-lomba menyampaikan kabar gembira. Kerana
menyampaikan kabar gembira dapat menanamkan rasa senang di hati orang muslim. Sementara
menyenangkan orang muslim merupakan bagian perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Kerana perbuatan tersebut merupakan perbuatan baik, sementara Allah mencintai orang-orang yang suka
berbuat baik dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala mereka.

Oleh kerana itu, ketika kamu melihat sesuatu yang dapat menyenangkan saudaramu, hendaknya kamu
menyampaikan kabar gembira kepadanya. Kerana dengan berbuat demikian, kamu telah membuat dia senang.

8. Sejatinya seseorang memberikan hadiah kepada orang yang menyampaikan kabar gembira kepadanya.
Kerana Ka'ab bin Malik memberikan hadiah dua baju kepada orang yang menyampaikan kabar gembira
kepadanya.

Hal ini sesuai dengan khabar shahih yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa
dia memerintahkan kaum muslimin yang hendak melaksanakan ibadah haji agar melakukan haji tamattu'.
Sementara Umar bin Al-Khaththab melarang kaum muslimin melakukan haji tamattu', kerana beliau lebih suka
melakukan haji qiran, sehingga Baitullah selalu ramai dengan peziarah. Hal ini termasuk ijtihad Umar yang
dibolehkan. Sementara sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama untuk diikuti.

Alhasil, ada seseorang yang meminta fatwa kepada Abdullah bin Abbas dalam masalah haji, kemudian dia
memerintahkan orang tersebut untuk melakukan haji tamattu'.

Seketika, dalam mimpinya, ada suara membisik telinga orang tersebut, “Haji mabrur dan umrah yang
diterima.” Begitu bangun dari tidurnya, orang tersebut segera menuturkan mimpinya kepada Abdullah bin
Abbas, ulama yang telah memberikan fatwa kepada orang tersebut.
Seketika Ibnu Abbas merasa senang, seraya meminta orang tersebut untuk tidak beranjak sampai Ibnu Abbas
memberinya hadiah. Yakni, Ibnu Abbas memberikan hadiah kepada orang yang menyampaikan kabar gembira
kepadanya, dengan menuturkan mimpinya, yang menunjukkan kebenaran fatwa yang disampaikan oleh Ibnu
Abbas.

Yang penting, jika ada seseorang yang menyampaikan kabar gembira kepadamu, maka, minimal, kamu dapat
menyenangkannya atau, jika memungkinkan, kamu memberinya hadiah sesuai kemampuanmu.

Ka'ab berkata, “Sampai ketika aku masuk ke masjid dan Rasulullah sedang duduk dikelilingi para sahabatnya.”
Berdirilah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu menuju ke Ka'ab, kemudian dia menyalaminya dan
mengucapkan selamat kepadanya kerana Allah telah menerima taubatnya.

Dia berkata, “Demi Allah, tidaklah berdiri seseorang dari kalangan Muhajirin selain Thalhah.”

Tentu, Ka'ab tidak bisa melupakan apa yang dilakukan oleh Thalhah, di mana dia berdiri dan menyalaminya
serta mengungkapkan ucapan selamat hingga tiba di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seketika
wajah Ka'ab “memancar sinar” kebahagiaan. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat dia
senang, dengan menyampaikan kabar gembira, bahwa Allah telah menerima taubat tiga orang yang telah
berkata jujur kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga orang tersebut menyampaikan dengan jujur tentang keimanannya. Mereka mendapatkan balasan dari
apa yang dialami mereka, di mana mereka dikucilkan oleh kaum muslimin selama lima puluh hari, bahkan
mereka diperintahkan oleh Rasulullah untuk menjauhi istri-istri mereka setelah mereka menjalani sanksi
selama empat puluh hari.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ka'ab bin Malik, “Berbahagialah
menghadapi hari yang paling baik bagimu sejak kamu lahir dari rahim ibumu.”

Apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlebihan. Kerana Allah Ta'ala menurunkan
wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan bahwa Allah menerima taubat
Ka'ab dan kedua sahabatnya. Kisah tiga orang tersebut diabadikan dalam Al-Qur'an yang senantiasa dibaca
oleh kaum muslimin hingga hari kiamat.

Tidak terdapat seseorang pun, selain para nabi atau orang-orang yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, yang
kisahnya dijaga sebagaimana penjagaan kisah Ka'ab bin Malik dan kedua sahabatnya.

Kisah ini senantiasa di dalam Al-Qur'an, di mihrab-mihrab, di mimbar-mimbar, di setiap tempat. Dan bagi
orang yang membaca kisah ini, maka dia akan mendapatkan sepuluh kebaikan dari setiap hurufnya.

Ka'ab bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah pengampunan ini dari sisimu ya Rasulullah
atau dari sisi Allah?” Baginda menjawab, “Tidak, ini dari sisi Allah Azza wa Jalla.” Kerana jika pengampunan itu
datangnya dari Allah tentu saja lebih mulia dan utama.

Kemudian Ka'ab berkata, “Sebagai bagian dari bentuk taubatku, aku akan menyedekahkan seluruh hartaku
kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Seketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Peganglah sebagian hartamu, kerana itu lebih baik
bagimu.” Ka'ab pun memegang sebagian hartanya. Yakni, tidak menyedekahkan seluruh hartanya.

Faedah Hadits.

Dalam penggalan hadits ini terdapat beberapa faedah:

1. Hadits ini sebagai dalil bahwa jika seseorang melihat orang lain mendapatkan sesuatu yang dapat
membahagiakannya hendaklah dia mengucapkan selamat kepada orang tersebut, baik sesuatu yang
membahagiakan itu yang berhubungan dengan agama atau dunia.

Oleh kerananya, malaikat memberikan apresiasi kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan lahirnya seorang
anak yang bijaksana, Ismail dan seorang anak berpengetahuan, yaitu Ishak.
2. Tidak mengapa seseorang berdiri kepada orang lain untuk menjabat tangannya dan memberikan ucapan
selamat dengan sesuatu yang membahagiakannya.

Berdiri kerana datangnya seseorang itu tidak mengapa, sebab yang demikian itu sudah disebutkan di dalam
sunnah. Begitu pula, ada orang yang berdiri untuk menyambut seseorang sementara kamu tetap di tempat
dudukmu tidak bergerak kepadanya maka itu tidak mengapa, jika sudah menjadi kebiasaan orang, kerana tidak
ada larangan dalam hal ini. Tetapi yang dilarang orang yang menginginkan orang lain berdiri untuk menyambut
kedatangan dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ْأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ِ ‫َمنْ َحبَّ نْ َي َت َم َّث َل لَ ُه ال َّناسُ قِ َيا ًما' َف ْل َي َتب ََّو َم ْق َع َدهُ م َِن ال َّن‬
‫ار‬

“Barangsiapa yang menginginkan orang lain menghormatinya dengan berdiri maka hendaklah dia menyiapkan
tempat duduknya dari neraka.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 2755 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 5957]

Menurut ulama berdiri kerana menghormati orang lain itu ada tiga macam:

َ ‫) ِق َيا ٌم ِٕالَى‬.
a). Pertama berdiri untuk menghampiri seseorang yang datang ( ‫الرج ُِل‬

b). Kedua berdiri (di tempat) kerana ada seseorang yang datang ( ‫ِلرج ُِل‬
َ ‫)قِ َيا ٌم ل‬.

َ ‫)قِ َيا ٌم َعلَى‬.


c). Ketiga berdiri di hadapan orang yang duduk ( ‫الرج ُِل‬

1. Berdiri untuk menghampiri seorang yang datang itu tidak mengapa. Masalah ini sudah ditegaskan dalam As-
Sunnah, baik secara perintah, perbuatan dan pengakuan Nabi.

As-Sunnah yang berupa perintah yaitu ketika Sa'ad bin Muadz radhiyallahu anhu datang menghadap pada
majelis tahkim di Bani Quraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para hadirin,

‫قُ ْو م ُْوا ِٕالَى َس ِّي ِد ُك ْم‬

“Hendaknya kalian berdiri untuk menghampiri tuan kalian.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3043, 4121, 6262 dan Muslim no. 1768]

Sa'ad bin Muadz radhiyallahu anhu pada perang Ahzab, dia tertimpa sesuatu di urat nadinya -yaitu urat yang
berada di tangan jika mengalir darah di situ maka akan meninggallah orang tersebut- maka dia berdoa kepada
Allah, untuk tidak mewafatkannya sehingga dia dapat menyaksikan pengadilan di Bani Quraidhah. Mereka itu
bersekutu dengan Aus dan mereka berkhianat pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bergabung
bersama kelompok-kelompok yang memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika Sa'ad terluka,
dia berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau wafatkan aku sehingga aku dapat menyaksikan dengan mataku tentang
Bani Quraidhah ini.” Dan dengan ketinggian kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
mana Rasulullah memerintahkan untuk mendirikan kemah kecil di dekat masjid untuk merawatnya secara
dekat dan baginda selalu mengunjunginya dari dekat.

Ketika terjadi perang Bani Quraidhah dan mereka setuju untuk menjadikan Sa'ad bin Muadz sebagai hakim
dalam masalah mereka. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Sa'ad untuk hadir di Bani
Quraidhah, maka dia datang dengan menunggang keledai kerana kondisi badannya sudah lemah lantaran
penuh dengan luka. Ketika dia telah menghadap, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya
kalian berdiri untuk menghampiri tuan kalian.” Kemudian mereka berdiri menghampiri Sa'ad seraya
menurunkannya dari tunggangannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa'ad, “Sesungguhnya orang Yahudi dari kalangan
Bani Quraidhah ini menginginkan engkau sebagai hakim.” Sa'ad berkata, “Hukumku berlaku untuk mereka.”
Baginda menjawab, “Ya.” Mereka mengakui hal itu seraya berkata, “Ya, hukummu berlaku.”

Kemudian dia berkata, “Siapa yang ada disini?.” -ia memberikan isyarat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat- mereka berkata, “Ya.” Kemudian dia berkata, “Aku menghukumi untuk mereka, agar
orang yang yang membunuh dibunuh, sedang keturunan mereka dan kaum perempuan di kalangan mereka
sebagai tawanan, sementara harta-harta mereka sebagai rampasan perang. Ini adalah hukuman yang pantas.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah menghukumi mereka dengan
hukum Allah dari atas tujuh lapis langit.”[Shahih Al-Bukhari no. 3043 dan Muslim no. 1768, 1769]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan hukum ini dan dibunuhlah di antara mereka tujuh ratus
orang, sementara wanita-wanita mereka dan anak cucunya dijadikan tawanan dan harta mereka sebagai
rampasan perang.

Intisari dari hadits ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

.‫قُ ْوم ُْوا ِٕالَى َس ِّي ِد ُك ْم‬

“Hendaknya kalian berdiri untuk menghampiri tuan kalian.”

Tapi, kata (‫ )قُ ْوم ُْوا‬dalam bentuk fi'il amar.

Ketika Ka'ab masuk ke masjid dan Thalhah bin Ubaidillah berdiri menyongsongnya, sementara Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyaksikan hal itu dan tidak melarangnya.

Dan ketika duta dari Tsaqif datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al-Ji'ranah -setelah
peperangan- maka baginda berdiri menghampiri mereka.

2. Berdiri (di tempat) kerana ada orang yang datang. Yang demikian ini juga tidak mengapa, jika memang
sudah menjadi kebiasaan orang-orang. Misalnya, jika ada orang masuk ke rumahmu, sekiranya kamu tidak
berdiri untuknya niscaya kamu dianggap menghinanya, maka tidak mengapa kamu berdiri. Meskipun yang
lebih utama adalah tidak usah berdiri, sebagaimana dijelaskan dalam As-Sunnah.

3.Berdiri di hadapan orang yang duduk. Seperti jika ada orang yang duduk, kemudian ada seseorang yang
berdiri untuk menghormati orang yang duduk tersebut. Penghormatan seperti ini dilarang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian berdiri seperti berdirinya orang-orang non Arab untuk saling menghormati antara sebagian
mereka dan sebagian yang lain.”[Dhaif, Dhaif Al-Jami no. 6262]

Larangan ini juga berlaku dalam shalat, misalnya jika seseorang yang menjadi imam dan tidak mampu berdiri,
kemudian dia harus melaksanakan shalat dengan posisi duduk, maka makmum harus melaksanakan shalat
dalam posisi duduk juga, meski mereka mampu berdiri. Hal ini untuk menghindari penyerupaan terhadap gaya
penghormatan orang-orang non Arab ketika menghormati raja mereka.

Berdiri di hadapan orang yang duduk, dengan maksud untuk menghormati, dilarang dalam Islam, kecuali
memang ada misi tertentu. Seperti ada seseorang yang takut disakiti oleh orang lain, maka dia tidak mengapa
berdiri demi orang tersebut. Seperti juga, jika untuk memuliakan seseorang dan menghina musuh,
sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu anhu -dalam perjanjian Al-Hudaibiyah-
ketika orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bernegosiasi.

Pada saat itu, Al-Mughirah bin Syu'bah berdiri di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang baginda
dalam keadaan duduk. Al-Mughirah sambil memegang pedang. Hal ini, sebagai bentuk penghormatan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghinaan terhadap para delegasi orang-orang kafir yang datang
untuk bernegosiasi (berunding).

Dalam hal ini ada dalil yang menunjukkan bahwa sepantasnyalah bagi seorang muslim untuk menunjukkan
perlawanan kepada orang-orang kafir secara ucapan mahupun perbuatan, kerana seperti inilah kita
diperintahkan.

Allah Ta'ala berfirman:


“Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah
terhadap mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 73)

“Kerana Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” (QS. Al-
Fath: 48: 29)

“Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak
menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal
kebajikan.” (QS. At-Taubah: 9: 120)

Sangat disayangkan di antara kita ada yang memberikan kesenangan dan kegembiraan kepada mereka,
bahkan terkadang ikut nimbrung (datang) hari raya mereka yang mengandung kekufuran dan tidak diridhai
Allah bahkan Allah memurkainya. Yang dikhawatirkan adalah turunnya adzab atas mereka ketika mereka
merayakan hari raya tersebut. Sebagian manusia, yang tidak mengenal agama sama sekali, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya, Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah.

Lakukanlah sesuatu yang dapat membuat mereka sedih, susah dan sangat sesak. Memang kita yang
diperintahkan. Kerana mereka adalah musuh-musuh Allah, musuh agamanya, malaikat, para nabi, Ash-
Shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih.

Alhasil, Al-Mughirah bin Syu'bah berdiri sambil memegang pedang di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang baginda dalam posisi duduk untuk menghormati baginda. Bahkan di tengah-tengah delegasi orang-
orang kafir, para sahabat melakukan sesuatu tidak seperti biasanya.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdahak, maka para sahabat menadahi dahak baginda dengan
tangannya, kemudian mereka mengusap ke muka dan dada mereka. Padahal, mereka belum pernah berbuat
demikian. Tapi, para sahabat melakukan hal ini, agar ketika delegasi orang-orang kafir pulang menemui
kaumnya, para delegasi itu menceritakan bagaimana cara para sahabat memperlakukan Nabinya.

Oleh kerananya, ketika delegasi itu kembali ke Quraisy dia berkata, “Demi Allah, aku telah menemui beberapa
raja, kaisar, kisra dan najasy, tapi aku tidak melihat para bawahan mereka menghormati atasannya seistimewa
penghormatan para sahabat Muhammad kepada Muhammad.”

Yang terpenting bahwa berdiri jika tujuannya untuk menjaga orang itu, atau maksudnya untuk menakuti-
nakuti musuh maka tidaklah mengapa.

Ketiga, orang yang mendapatkan nikmat, disunnahkan untuk menyedekahkan sebagian hartanya. Kerana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui perbuatan Ka'ab bin Malik ketika menyedekahkan sebagian
hartanya, sebagai bentuk taubat kepada Allah, pada saat mendapatkan pengampunan Allah yang akan menjadi
kebanggaan bagi dia sampai hari kiamat.

Ka'ab menyebutkan, bahwa di antara bentuk taubat Ka'ab bin Malik, dia tidak boleh berkata bohong setelah
Allah Ta'ala menyelamatkannya kerana berkata jujur. Setelah mendapatkan pengampunan dari Allah, Ka'ab
tidak pernah berkata bohong selama-selamanya. Ka'ab menjadi suri teladan dalam masalah kejujuran, hingga
Allah menurunkan wahyu yang khusus menyinggung tentang Ka'ab dan kedua sahabatnya,

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar.” (QS. At-Taubah: 9: 119)

Allah Ta'ala menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan anugerah-Nya kepada mereka dengan menerima taubat
mereka. Seperti dalam firman Allah Ta'ala:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang
mengikuti nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling.” (QS. At-Taubah:
9: 117)

Dalam ayat di atas, Allah menekankan bahwa Dia menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-
orang Anshar, yaitu dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat...”

(QS. At-Taubah: 9: 117)

Yang dimaksud nabi dalam ayat di atas adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, penutup para
nabi, di mana Allah mengampuni seluruh dosa baginda, baik yang sudah lalu mahupun yang akan datang.

Sementara yang dimaksud orang-orang Muhajirin adalah orang-orang yang hijrah dari negeri mereka, yaitu
dari Mekah ke negeri Madinah. Mereka hijrah kerana Allah dan Rasul-Nya. Terkumpullah dalam hal ini antara
hijrah, berpisah dengan tanah air juga rumah-rumahnya dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kerana mereka hijrah semata-mata kerana Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan yang dimaksud orang-orang Anshar adalah orang yang menyiapkan rumah dan keimanan di hati
mereka, yaitu penduduk Madinah tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “berlabuh.” Mereka menolong dan
membentengi baginda. Allah mendahulukan Muhajirin kerana mereka lebih utama daripada Anshar. Kerana
orang-orang Muhajirin antara hijrah dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Firman Allah Ta'ala:

“Yang mengikuti nabi dalam masa kesulitan.”

(QS. At-Taubah: 9: 117)

Yaitu ketika keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Tabuk ke daerah yang cukup
jauh, di mana kaum muslimin, pada saat itu, merasakan teriknya matahari, dari satu sisi sekiranya mereka
tetap berada di Madinah mereka berada dalam kondisi yang sangat menyenangkan, kerana waktu itu di
Madinah musim buah, ranumnya buah-buahan, dan awan yang teduh. Akan tetapi, mereka tetap keluar dalam
keadaan yang sulit ini, “Setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling.” (QS. At-Taubah: 9: 117)

Sebagian mereka hampir tidak ikut berperang tanpa ada udzur sehingga hatinya hampir berpaling, akan tetapi
Allah menganugerahkan keistiqamahan kepada mereka, hingga mereka berangkat ke Tabuk bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Firman Allah Ta'ala:

“Kemudian Allah menerima taubat mereka.”

(QS. At-Taubah: 9: 117)

Allah menguatkan lagi dengan firman ini, padahal pada awal ayat ini sudah disebutkan bahwa Allah menerima
taubat mereka.

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 117)

Allah melindungi mereka dengan belas kasih sayang. Sementara kasih belas kasih lebih tinggi tingkatannya
daripada kasih sayang.

Kemudian Allah Ta'ala berfirman:

“Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan.”

(QS. At-Taubah: 9: 118)

Tiga orang itu adalah Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi' dan Hilal bin Umayyah. Yang dimaksud ditinggalkan
dalam ayat di atas, bukan tidak mengikuti peperangan, akan tetapi Rasulullah tidak memperdulikan mereka,
demi melihat ketentuan Allah terhadap mereka.

Firman Allah Ta'ala:

“Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas.” (QS. At-Taubah: 9: 118)
Hingga Ka'ab berkata, “Bumi benar-benar terasa sempit bagiku, hingga aku berkata, “Aku tidak tahu, apakah
aku ada di Madinah ataukah di tempat lain.”

Hal ini menunjukkan betapa bumi benar-benar terasa sempit bagi mereka.

“Dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 118)

Jiwa seseorang yang terasa sempit bagi dirinya, biasanya, tidak akan kuat bertahan. Tapi, Ka'ab dan kedua
sahabatnya menghadapinya dengan sabar hingga Allah memberikan kelapangan kepada mereka.

Firman Allah Ta'ala:

‫َو َظ ُّنوا َأنْ اَل َم ْل َجَأ م َِن هَّللا ِ ِإاَّل ِإلَ ْي ِه‬

“Serta mereka telah meyakini bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja.”
(QS. At-Taubah: 9: 118)

Kata (‫ )الظن‬dalam ayat di atas mempunyai arti yakin. Yakni mereka meyakini bahwa tidak ada tempat lari dari
siksaan Allah; tidak ada seseorang yang dapat menolong mereka, dan tidak ada tempat berlindung dari siksaan
Allah kecuali hanya kepada Allah. Di tangan Allah Ta'ala segala sesuatu.

Firman Allah Ta'ala:

“Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.”

(QS. At-Taubah: 9: 118)

Allah menerima taubat mereka, agar mereka mendapatkan tingkatan-tingkatan taubat yang hanya diperoleh
oleh kekasih Allah, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 222)

Sementara orang-orang munafik yang menyampaikan alasan ketidakikutan-sertaan mereka dalam perang
Tabuk, yang kemudian mendapatkan pengampunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
memasrahkan sepenuhnya rahasia mereka kepada Allah maka Allah menurunkan wahyu tentang mereka, yang
merupakan seberuk-buruknya apa yang diturunkan kepada manusia.

Allah Ta'ala berfirman:

“Mereka akan bersumpah kepadanu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu
berpaling dari mereka.”

(QS. At-Taubah: 9: 95)

Kerananya, kamu tidak perlu mencerca mereka.


“Maka berpalinglah dari mereka; kerana sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor.”

(QS. At-Taubah: 9: 95)

Aku berlindung kepada Allah dari sesuatu yang kotor. Khamer itu kotor dan menjijikan. Kotoran yang keluar
dari dubur manusia itu menjijikan. Kotoran keledai juga menjijikan. Mereka seperti barang-barang yang kotor
dan menjijikan itu.

“Dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.”

(QS. At-Taubah: 9: 95)

Neraka Jahanam merupakan tempat yang paling buruk. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian.
Mereka berpindah dari dunia ke jahanam, neraka yang membakar sampai ke hati, yang ditutup rapat atas
mereka, sedang mereka diikat pada tiang-tiang yang panjang.

“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 96)

Kerana sesungguhnya kalian tidak mengetahui rahasia-rahasia mereka dan tidaklah nampak bagi kalian kecuali
yang lahir saja.

“Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-
Taubah: 9: 96)

Meski seluruh manusia merelakan kamu, tapi jika Allah tidak ridha terhadap dirimu, maka hal itu tidak berguna
bagi dirimu.

Tapi, jika Allah meridhaimu, maka Allah akan membuat manusia rela kepadamu, dan membuat hati mereka
condong kepadamu, sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Alah Ta'ala jika mencintai
seseorang, maka Dia akan memanggil Jibril, “Ya Jibril, sesunggunya Aku mencintai Fulan maka cintailah- Allah
menentukan Fulan yang dicintainya kepada Jibril- maka Jibril pun mencintainya, kemudian dia menyeru di
langit, bahwa Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia, kemudian penduduk langit mencintainya. Kemudian
diberikanlah padanya penerimaan di bumi.” Sehingga orang tersebut diterima oleh penduduk bumi.

Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan
menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka).” (QS. Maryam: 19: 96)
Akan tetapi, jika seseorang meraih ridha manusia dengan kemurkaan Allah, maka permasalahan yang terjadi
adalah sebaliknya, Allah dan manusia akan murka kepadanya. Oleh kerana itu, maka Mu'awiyyah radhiyallahu
anhu memegang tampuk khalifah, Aisyah radhiyallahu ‘anha menulis surat kepadanya, “Barangsiapa yang
mencari ridha Allah dengan kemurkaan manusia, Allah akan mencukupinya dari bantuan manusia dan
barangsiapa yang meraih keridhaan manusia dengan kemurkaan dari Allah, Allah akan memurkainya dan Dia
akan membuat manusia murka kepadanya.”

Betapa banyak orang mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah Ta'ala.

Mereka berada dalam kemurkaan Allah, meski manusia meridhainya. Tidak ada gunanya ridha manusia bagi
mereka. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman,

“Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-
Taubah: 9: 96)

Bahkan, seandainya, Nabi, yang merupakan makhluk Allah yang paling mulia, meridhai mereka, tidaklah
bermanfaat bagi mereka. Kerana Allah tidak akan ridha kepada orang-orang fasik.

Dalam ayat ini terdapat peringatan tentang kefasikan. Fasik adalah melakukan masiat, sementara perbuatan
yang paling besar adalah kafir. Setiap kefasikan akan mengurangi keridhaan Allah terhadap seseorang yang
kadarnya sesuai dengan kadar fasiknya. Kerana ketentuan Allah yang berhubungan dengan sifat sangat
tergantung pada sifat tersebut, dalam hal berkurang, menguat, atau melemah.

Kefasikan sebagai faktor yang dapat menghapus keridhaan Allah. Fasik memiliki banyak ragam dan tingkatan.
Seperti durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan tali silaturahim, menipu orang, ingkar janji, dan
berdusta. Setiap perbuatan maksiat adalah perbuatan fasik.

Akan tetapi, dosa-dosa kecil bisa dihapus oleh amal perbuatan yang baik, jika seseorang melakukan perbuatan
baik tersebut dengan sempurna, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dirikanlah shalat dari sebuah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh.
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isrâ: 17: 78)

Allah Ta'ala berfirman:

“Perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (QS. Hûd: 11: 114)

Sementara dosa-dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat.


Alhasil, fasik itu merupakan salah satu faktor yang dapat menafikan keridhaan Allah Ta'ala kepada seorang
hamba. Sementara ketaatan merupakan salah satu faktor yang dapat mendatangkan ridha-Nya.

Oleh kerana itu, jika kamu ingin mendapatkan ridha Allah, konsistenlah dalam melakukan ketaatan kepada
Allah. Jika kamu menginginkan ridha manusia, carilah keridhaan Allah.

Disebutkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari Madinah, tepatnya pada hari
Kamis. Baginda sangat suka untuk keluar bepergian pada hari Kamis, meski tidak selamanya bepergian pada
hari Kamis. Kadang-kadang baginda pergi hari Sabtu, seperti ketika pergi untuk melakukan haji wada'. Kadang-
kadang baginda bepergian pada hari yang lain, akan tetapi, seringnya, baginda bepergian pada hari Kamis.

Disebutkan pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah pada waktu Dhuha, baginda
masuk ke masjid seraya mendirikan shalat dua rakaat. Hal ini merupakan bagian dari sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ketika baru datang dari bepergian, maka hal pertama yang dilakukan oleh
baginda adalah masuk ke masjid seraya mendirikan shalat, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.

Dua rakaat ini mencakup setiap waktu, sampai pada waktu yang terlarang, kerana shalat yang mengandung
sebab, maka tidak ada larangan pada waktu apa saja terdapat sebab maka boleh dikerjakan.

Sedangkan landasan dari As-Sunnah yang berkaitan dengan kejujuran adalah hadits-hadits berikut ini.

Hadits 54.

‫ُق‬ َ َّ‫ْن َمسْ ع ُْو ٍد َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه َع ِن ال َّن ِبي‬


ُ ‫ َوِإنَّ الرَّ ُج َل لَ َيصْ د‬،ِ‫ « ِإنَّ الص َّْدقَ َي ْهدِيْ ِإلَى ْال ِبرِّ َوِإنَّ ْال ِبرَّ َي ْهدِيْ ِإلَى ْال َج َّنة‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل‬ ِ ‫َع ِن اب‬
َ ٌ َ َّ َّ َ ‫هَّللا‬
‫ب عِ ن َد ِ كذابًا » ُمتفق َعل ْي ِه‬ ْ َ ْ َّ ْ َ َّ َ ْ ُ ْ َ َ ْ ً ‫هَّللا‬
َ ‫ َوِإنَّ الكذ‬،‫ب عِ ندَ ِ صِ ِّديقا‬ ْ َ ‫ َح َّتى ي ُْكت‬.
َ
َ ‫ َوِإنَّ الرَّ ُج َل ل َيكذِبُ َحتى ُيكت‬،‫ار‬ ِ ‫ُور َوِإنَّ الفج ُْو َر َي ْهدِيْ ِإلى الن‬ ِ ‫ِب َي ْهدِيْ ِإلى الفج‬

Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda:

“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Orang yang
jujur akan selalu bertindak jujur sampai kemudian dia ditulis di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan
sesungguhnya dusta itu membawa keburukan, dan keburukan itu membawa ke neraka. Seorang pendusta
akan selalu berdusta sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.”

[Sahih Bukhari no. 6094. Muslim no. 2607]

Penjelasan.

Sabdanya, “Hendaklah kalian berlaku jujur...”


Yakni, hendaknya kalian senantiasa berlaku jujur. Jujur adalah kesesuaian berita dengan realitas. Sudah
dijelaskan dalam hadits Ka'ab beserta kedua sahabatnya yang menunjukkan tentang keutamaan jujur dan
implikasinya yang baik.

Orang jujur yang akan mendapatkan kesudahan yang baik, sementara pendusta amalnya tiada berguna. Oleh
kerana itu, disebutkan bahwa sebagian orang awam berkata, “Kebohongan itu menyelamatkan.” Sahabatnya
berkata, “Kejujuran itu lebih menyelamatkan, lebih menyelamatkan.” Pernyataan yang benar pernyataan
orang yang kedua.

Berita itu ada yang disampaikan dengan lisan, ada pula yang disampaikan dengan raga.

Berita yang disampaikan dengan lisan disebut perkataan, sedangkan yang disampaikan dengan anggota badan
disebut perbuatan. Tetapi, seseorang dikatakan berbohong dengan perbuatan jika orang itu melakukan
sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan apa yang ada di batinnya, berarti dia telah berbohong dengan
perbuatan. Seorang munafik -misalnya- disebut berbohong kerana dia menampakkan kepada manusia bahwa
dia beriman, mendirikan shalat berjamaah, berpuasa, sedekah dan tampak shalih, padahal sebenarnya dia
mempunyai karakter yang sebaliknya.

Amal perbuatan yang lahir tidak kerana dorongan dari dalam batin disebut dusta. Oleh kerana itu, kami
katakan bahwa kejujuran itu bisa dengan lisan juga dengan raga. Jika terjadi kesesuaian antara berita dan
realita, disebut jujur dengan lisan. Sementara jika terjadi kesesuaian antara raga dan apa yang ada di dalam
hati, disebut jujur dengan perkataan.

Kemudian, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk jujur dan menjelaskan tentang akhir
hidup mereka, baginda bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu
membawa ke surga.”

Kata 'Al-Birr, berarti banyak berbuat baik dan di antara nama Allah adalah 'Al-Birr, 'Dzat Yang banyak
kebaikannya.

'Al-Birr, ‘Kebaikan’ merupakan muara dari kejujuran. Orang yang baik, kebaikannya akan mengantarkannya ke
dalam surga yang merupakan tujuan dari semua harapan. Oleh kerana itu, manusia diperintahkan oleh Allah
agar meminta surga dan berlindung dari neraka, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.
Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”

(QS. Âli 'Imrân: 3: 185)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang jujur akan selalu bertindak jujur sampai kemudian dia
ditulis di sisi Allah sebagai orang jujur.”
Orang jujur berada pada tingkat kedua dari tingkat-tingkat kemulian manusia yang diberi nikmat oleh Allah,
Seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,

“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang
yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid
dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

(QS. An-Nisâ: 4: 69)

Orang yang senantiasa berlaku jujur, akan dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur dan diketahui bahwa
kejujuran berada pada tingkat yang tinggi, yang tidak diterima kecuali orang-orang tertentu.

Derajat kejujuran ini dapat diperoleh baik laki-laki mahupun perempuan, seperti di firmankan Allah Ta'ala,

“Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya pun sudah berlalu beberapa rasul. Dan ibunya
seorang yang berpegang teguh pada kebenaran..” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 75)

Orang yang paling jujur secara mutlak di antara orang-orang yang jujur itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq
radhiyallahu anhu- Abdullah bin Utsman bin Abu Quhafah- yang langsung percaya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala diseru untuk masuk Islam dan dia tidak ragu sedikit pun tatkala pertama kali diajak
masuk Islam oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Bakar radhiyallahu anhu membenarkan Rasulullah ketika kaumnya mendustakannya dan dia mempercayai
baginda ketika berbicara tentang Isra' dan Mi'raj, walaupun orang-orang mendustakannya. Mereka berkata,
“Bagaimana mungkin Muhammad, kamu pergi dari Mekah ke Baitul Maqdis pulang pergi dalam waktu
semalam? Kemudian kamu katakan bahwa kamu naik ke atas langit, sungguh ini tidak mungkin.”

Setelah itu, mereka pergi ke Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Tidakkah kamu mendengar apa yang
dikatakan oleh temanmu?” Abu Bakar bertanya, “Apa yang dia katakan?” Mereka berkata, “Dia berkata begini
dan begitu.” Abu Bakar menjawab, “Jika dia telah berkata seperti itu, berarti dia benar (jujur).” Sejak saat
itulah Abu Bakar diberi gelar dengan Ash-Shiddiq.

Orang munafik dikatakan berdusta kerana lahirnya menampakkan bahwa dia orang muslim. Padahal, dia
seorang kafir, berarti dia berdusta dengan perbuatannya.

Sementara sabda baginda, “Sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan.”

Kata, Al-Fujur, berarti keluar dari ketaatan kepada Allah sehingga dia menjadi fasik dan melanggar perannya,
serta keluar dari ketaatan menuju kepada kemaksiatan. Kejahatan yang paling besar adalah kekafiran.
Kekafiran juga termasuk kejahatan, seperti difirmankan Allah Ta'ala,

“Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.”

(QS. 'Abasa: 80: 42)

Firman Allah Ta'ala:

“Sekali-kali jangan curang, kerana sesungguhnya Kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin. Tahukah
kamu apakah sijjin itu?” (Ialah) Kitab yang bertulis. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang
yang mendustakan. (Yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan.”

(QS. Al-Muthaffifîn: 83: 7-11)

“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.”

(QS. Al-Infithâr: 82: 14)

Perbuatan dusta membawa kepada kedurhakaan, sementara kedurhakaan menghantar kepada api neraka.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seseorang pendusta akan selalu berdusta.” Dalam riwayat
lain disebutkan, “Seseorang masih tetap berdusta dan akan selalu berdusta sehingga dia ditulis di sisi Allah
sebagai pendusta.” Dusta merupakan perbuatan yang diharamkan, bahkan sebagian ulama mensinyalir bahwa
dusta termasuk dosa besar, kerana Rasulullah menjelaskan bahwa dia akan dicatat di sisi Allah sebagai
pendusta.

Di antara kedustaan terbesar pada saat ini adalah berbicara segala macam dengan dusta supaya ditertawakan
orang lain.

Dalam sebuah hadits dijelaskan tentang ancaman terhadap kedustaan jenis ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

“Celaka orang yang berbicara lalu berdusta agar orang-orang menertawakannya. Celakalah dia celakalah dia.”

[Hr. Abu Dawud no. 4990 dan At-Tirmidzi no. 2315, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahîh At-
Tirmidzi no. 1885]

Ini merupakan peringatan sangat keras atas sesuatu yang sering dilakukan manusia dengan mudah.
Dusta, seperti apa pun bentuknya adalah haram dan semuanya membawa kedurhakaan, kecuali dalam tiga hal
yang di sebut dalam hadits,

“Yaitu dalam peperangan, perdamaian di antara manusia, perkataan isteri kepada suaminya dan perkataan
suami kepada istrinya.”

[Sahih Muslim no. 4717]

Sebagian ulama berkata, “Tapi yang dimaksudkan dusta dalam hadits ini adalah berdusta demi kebaikan, yang
disebut dengan tauriyyah, bukan berdusta yang sesungguhnya.”

Namun, kadang-kadang tauriyyah juga disebutkan dusta, seperti disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibrahim
tidak berdusta, kecuali dalam tiga hal: dua di antaranya berkaitan dengan zat Allah, yaitu perkataannya,
“Sesungguhnya saya sakit.' Dan perkataannya, “Tetapi dilakukan oleh patung yang paling besar di antara
mereka.”Sedangkan yang satu lagi adalah ketika baginda berbicara tentang Sarah..

[Shahih Al-Bukhari no. 3358. 4712. 5084. Muslim no. 2371]

Sebenarnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak berdusta, tetapi baginda bertauriyyah atau menyembunyikan
maksud baik dengan cara berbohong. Dengan demikian, bertauriyyah itu dibenarkan.

Berdusta, seperti apapun bentuknya, tidak boleh dilakukan, kecuali dalam tiga hal ini, menurut pendapat
mayoritas ulama.

Kebohongan yang paling dilarang adalah berdusta dan bersumpah untuk memakan harta manusia secara batil.
Seperti seseorang yang dituntut oleh temannya, bahwa dia mempunyai hutang kepadanya, tetapi dia ingkar,
padahal dia tahu bahwa dirinya benar-benar berhutang. Dia berkata, “Demi Allah, saya tidak berhutang.” Atau
menuntut seseorang yang bukan haknya, seperti berkata, “Kamu berhutang padaku sekian dan sekian.”
Padahal orang itu tidak berhutang, berarti dia adalah seorang pendusta. Jika dia bersumpah dalam
kebohongan dan pengakuannya itu, berarti sumpahnya itu adalah sumpah bohong yang pelakunya terjerumus
ke dalam dusta yang membawanya ke neraka.

Disebutkan dalam sebuah hadits, yang di riwayatkan langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, baginda
bersabda,

“Barangsiapa yang bersumpah dengan sumpah palsu, sumpah yang bisa merampas harta seorang muslim,
sedang dia melakukan kepalsuan dalam sumpahnya itu, maka dia akan menemui Allah dalam keadaan murka
kepadanya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4550, 6676. Muslim no. 110. 138]

Alhasil, berdusta adalah haram. Apapun alasannya, seseorang tidak boleh berdusta, kecuali dalam tiga
permasalahan yang dijelaskan hadits di atas.

Hadits 55.

،‫ُك‬ َ ‫ « َدعْ َما َي ِر ْيب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ‫ُك ِإ َلى َما اَل َي ِريب‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ُول‬ ِ ‫ت مِنْ َرس‬ ُ ‫فظ‬ ْ ‫ َح‬:‫ َقا َل‬،‫ َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه َما‬،ٍ‫ْن َأ ِبيْ َطالِب‬ ِ ‫َعنْ َأ ِبيْ م َُح َّم ٍد ْال َح َس ِن ب‬
ِ ‫ْن َعليِّ ب‬
‫ص ِح ْي ٌح‬
َ ‫ْث‬ َ ‫ َو ْال َكذ‬،‫ط َمْأ ِن ْي َن ٌة‬
ٌ ‫ َح ِدي‬:‫ِب ِر ْي َب ٌة » َر َواهُ ال ِّترْ ِمذِيُّ َو َقا َل‬ ُ َ‫ َفِإنَّ الص ِّْدق‬.

Daripada Abu Muhammad Al-Hasan bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku menghafal
beberapa kalimat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu,

“Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu menuju sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran
itu menimbulkan ketenangan, sedangkan dusta itu menimbulkan keraguan.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 2518, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 3378]

Penjelasan.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkan apa yang meragukanmu.” Yakni, tinggalkan sesuatu
yang kamu ragu dan tidak tenang terhadap sesuatu tersebut, “menuju sesuatu yang tidak meragukanmu.”
Yakni kepada sesuatu yang tidak mengandung keraguan.

Hadits tersebut termasuk salah satu dari hadits Al-Arba'in An-Nawawiyah, yaitu kumpulan hadits-hadits
penting, yang termasuk dalam bab, “Wara' dan berhati-hati.”

Ulama fikih menempuh jalan bab ini, yaitu berhati-hati di dalamnya dan mereka menjelaskan banyak hal dalam
bab ini, antara lain:

Pertama, ada orang yang bajunya terkena najis dan dia tidak tahu apakah yang terkena itu di bagian belakang
atau di bagian depan.

Jika dia mencuci bagian depan, dia ragu kerana ada kemungkinan yang terkena najis adalah bagian belakang.
Sementara jika dia mencuci bagian belakang, dia juga ragu, kerana kemungkinan yang terkena najis adalah
bagian depan. Bagaimana cara berhati-hati dalam masalah ini?

Caranya adalah membasuh bagian depan dan belakang sehingga keraguannya hilang dan dia menjadi tenang.
Kedua, jika seseorang ragu dalam shalatnya, apakah dia shalat dua rakaat ataukah tiga rakaat, dan tidak
terlintas dalam benaknya, mana yang lebih kuat di antara keduanya, sehingga jika dia mengambil yang dua
rakaat, dia ragu; jangan-jangan kurang.

Sementara, jika dia mengambil yang tiga rakaat, dia ragu; jangan-jangan tidak kurang, tetapi dia masih tetap
ragu. Maka, dalam kondisi seperti ini, sebaiknya dia mengambil yang paling rendah. Jika dia ragu apakah tiga
rakaat ataukah empat, maka dia mengambil yang tiga rakaat. Begitu seterusnya.

Hadits ini termasuk salah satu kaidah dalam ushul fikih bahwa jika kamu ragu pada sesuatu, tinggalkan menuju
sesuatu yang tidak meragukan di dalamnya.

Kemudian, di dalamnya ada pendidikan jiwa, bahwa manusia harus tenang, bukan gundah, kerana kebanyakan
manusia jika mengambil sesuatu yang meragukan di dalamnya, maka dia akan merasa gundah jika hatinya
hidup, jika keraguan itu ditepis dengan sesuatu yang menyakinkan, kegundahan itu akan hilang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu adalah ketenangan.”

Hadits ini merupakan hadits pendukung dalam masalah ini.

Dalam kejujuran terdapat ketenangan yang pelakunya tidak menyesal selamanya dan tidak akan mengatakan,
“Seandainya begini dan begitu.” Kerana kejujuran dapat menyelamatkan dan orang-orang yang jujur akan
diselamatkan oleh Allah dengan kejujurannya. Kamu dapati orang yang jujur selalu tenang, kerana dia tidak
menyesali apa-apa yang telah terjadi atau yang akan terjadi di masa akan mendatang, kerana dia telah jujur
dan siapa yang jujur dia akan selamat.

Sedangkan dusta, sebagaimana yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan ragu. Oleh kerana
itu, orang pertama kali ragu terhadap pembohongan adalah pelakunya sendiri, dia akan ragu apakah
dipercayai manusia ataukah tidak.

Oleh kerananya, kamu dapatkan seorang pendusta, jika menyampaikan sesuatu berita, dia akan bersumpah
kepada Allah bahwa dia benar agar orang lain tidak ragu kepada beritanya yang meragukan itu.

Sebagai contoh, kamu dapati orang-orang munafik bersumpah kepada Allah atas apa yang mereka katakan,
tetapi mereka sendiri ragu.

Allah Ta'ala berfirman:

“Sungguh, mereka telah mengucapkan perkatan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan
menginginkan apa yang mereka tidak mencapainya.” (QS. At-Taubah: 9: 74)
Tidak dapat disangkal, bahwa kebohongan dapat menimbulkan keraguan dan kegundahan bagi manusia,
apakah manusia tahu kebohongannya ataukah tidak, sehingga dia tetap dalam keraguan dan kegundahan.

Kita petik sebuah kesimpulan dari hadits ini, bahwa manusia harus meninggalkan kebohongan menuju
kejujuran, kerana kebohongan itu meragukan dan kejujuran itu mendatangkan ketenangan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu menuju sesuatu yang tidak
meragukanmu.”

Hadits 56.

َ ُّ‫ َيعْ نِي ال َّن ِبي‬-‫ َف َما َذا َيَأ ُم ُر ُك ْم‬:ُ‫ ه َِر ْقل‬،‫ص ِة ه َِر ْقل َقا َل‬
‫ َقا َل‬- ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َّ ِ‫الط ِوي ِْل فِي ق‬َّ ‫ب َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه فِي َح ِد ْي ِث ِه‬ ٍ ْ‫ْن َحر‬ ِ ‫ص ْخ ِر ب‬
َ ‫ان‬َ ‫َعنْ َأ ِبيْ ُس ْف َي‬
‫صلَ ِة » ُم َّت َف ٌق َعلَ ْي ِه‬ ِّ ‫ َوال‬، ِ‫ َو ْال َع َفاف‬،‫صالَ ِة َوالص ِّْد ِق‬ َّ ‫ و َيْأ ُم ُر َنا ِبال‬،‫ َوا ْت ُر ُك ْوا َما َيقُ ْو ُل آ َباُؤ ُك ْم‬،‫ َيقُو ُل » اعْ ُبد ُْوا هللاَ َوحْ دَ هُ اَل ُت ْش ِر ُك ْوا ِب ِه َشيًِْئا‬:‫ت‬
ُ ‫ قُ ْل‬:‫ان‬َ ‫َأب ُْو ُس ْف َي‬.

Daripada Abu Sufyan, Shakhr bin Harb radhiyallahu anhu di dalam haditsnya yang panjang tentang kisah
pertanyaan Raja Hercules kepadanya, “Apa yang dia -Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- perintahkan kepada
kalian?”

Abu Sufyan menjawab: “Saya mengatakan bahwa baginda bersabda, “Sembahlah Allah Yang Maha Esa dan
jangan kalian menyekutukan Dia dengan apa pun, dan tinggalkan ajaran nenek moyang kalian.' Baginda juga
menyuruh kami untuk melaksanakan shalat, jujur, menjaga kesucian diri (dari hal-hal yang haram dan merusak
perangai), menjalin silaturrahim.”

[Shahih Al-Bukhari no 7. Muslim no. 1773]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan sebuah hadits yang dinukil dari Abu Sufyan bin Harb. Waktu itu,
Abu Sufyan belum lagi memeluk Islam. Abu Sufyan baru masuk Islam pada masa-masa akhir, yaitu antara
perjanjian Hudaibiyah dan penaklukan kota Mekah. Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada tahun ke- 6 hijriah,
sementara penaklukan kota Mekah terjadi pada tahun ke- 8 Hijriah.

Abu Sufyan datang bersama jamaah dari suku Quraisy kepada Hercules di Syam. Hercules adalah seorang raja
yang beragama Nasrani pada saat itu. Dia telah membaca Taurat, injil dan mengetahui kitab-kitab sebelumnya.
Dia seorang raja yang cerdas.

Ketika Hercules mendengar tentang Abu Sufyan dan kelompoknya yang datang dari Hijaz, dia mengundang
mereka dan bertanya tentang keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, nasabnya, sahabat-sahabatnya,
tentang ketundukan mereka kepadanya, dan tentang kejujurannya. Setiap kali Abu Sufyan menjelaskan sedikit
tentang apa yang diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Herculas tahu bahwa dia seorang nabi yang
dikhabarkan dalam kitab-kitab terdahulu. Namun, Hercules lebih memberatkan kerajaannya sehingga dia tidak
masuk Islam, kerana sebuah hikmah yang diinginkan oleh Allah Ta'ala.
Akan tetapi, Hercules bertanya kepada Abu Sufyan tentang apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Abu Sufyan menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada mereka agar
menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun; tidak menyembah selain Allah seperti
malaikat, rasul, pohon, batu, matahari dan bulan. Ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah semata-mata dan
itulah yang dibawa oleh semua rasul.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan
kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyâ:
21: 25)

Allah Ta'ala juga berfirman:

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah,
jauhilah Thaaguut.” (QS. An-Nahl: 16: 36)

Yakni, sembahlah Allah dan jauhi kesyirikan, itulah dakwah para rasul, lalu datanglah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang membawa ajaran untuk menyempurnakan ajaran nabi sebelumnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkan ajaran nenek-moyangmu.”

Lihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kebenaran, segala macam bentuk ibadah yang
diajarkan oleh nenek moyang mereka, seperti menyembah berhala, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallamnmemerintahkan agar semua itu ditinggalkan. Adapun ajaran nenek moyang terdahulu yang berkaitan
dengan budi pekerti yang baik, baginda tidak menyuruh untuk meninggalkannya, Sebagaimana firman Allah
Ta'ala,

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, 'Kami mendapati nenek moyang kami
melakukan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.' Katakanlah, "Sesungguhnya Allah tidak
pernah menyuruh berbuat perbuatan keji.” (QS. Al-A'râf: 7 :28)

Yang jelas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar mereka meninggalkan ajaran syirik
yang diajarkan oleh nenek moyang mereka.

Sedangkan perkataan Abu Sufyan, “Baginda juga menyuruh kami melaksanakan shalat.” Shalat adalah
hubungan antara hamba dan Tuhannya. Shalat adalah satu rukun Islam setelah syahadat. Syahadat adalah
pembeda antara seorang mukmin dan kafir. Shalat adalah pemisah antara kita dan orang-orang musyrik juga
orang kafir, seperti dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Pemisah antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya, berarti dia telah kafir.”

[Hr. Ahmad no. 5/346. At-Tirmidzi no. 2621. Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-
Albani dalam Misykatul Mashobih no. 574]

Yakni, kafir yang dapat mengeluarkannya dari agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemisah antara kita dan mereka adalah shalat.” Ini
merupakan batas pemisah antara orang mukmin dan orang kafir.

Jauh dari maksud hadits ini, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kekafiran di
sini adalah kafir kecil, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dua hal pada manusia
yang kerana keduanya mereka menjadi kafir.”

[Shahih Muslim no. 67]

Kerana siapa yang merenungkan hadits ini dapat mengetahui bahwa takwil semacam ini adalah salah.

Yang benar bahwa yang dimaksudkan dengan kekafiran disini adalah kafir besar yang dapat mengeluarkan dari
agama, kerana pembeda antara keimanan dengan kekafiran, tentulah membedakan antara satu dan yang lain.
Jika tidak, maka tidak benar bila dia dikatakan sebagai pembeda.

Batas antara dua tanah -salah satu milik Zaid dan yang satu milik Amr-berarti batas itu merupakan pembeda
(pemisah) antara keduanya, sehingga tanah yang satu tidak masuk ke dalam tanah yang lain. Begitu juga
shalat, merupakan pemisah antara orang yang shalat dengan orang yang tidak shalat. Barangsiapa yang tidak
shalat, berarti dia tidak masuk dalam barisan shalat.

Jadi, shalat termasuk salah satu amal perbuatan yang apabila ditinggalkan seseorang, dia menjadi kafir. Jika
seseorang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, lalu dia makan dan minum di siang hari dan bersiap acuh, kita
tidak mengatakan dia kafir. Tetapi, jika dia meninggalkan shalat, maka kita katakan dia kafir. Jika dia
meninggalkan zakat dan tidak mengeluarkannya, kita tidak mengatakan dia kafir. Tetapi jika dia meninggalkan
shalat, kita katakan bahwa dia kafir.

Abdullah bin Syaqiq rahimahullah, salah seorang yang terkenal dari kalangan tabi'in, dia berkata, “Para sahabat
Rasulullah tidak melihat ada suatu amal yang manakala ditinggalkan menjadi kafir, selain shalat.”
[Atsar Shahih, dikeluarkan oleh At-Tirmidzi no. 2622]

Jadi, shalat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tinggalkan seseorang, sama
halnya dia telah meninggalkan tauhid atau menjadi kafir musyrik. Seperti itulah yang ditunjukkan oleh hadits
Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Yang membedakan antara orang mukmin dengan orang kafir dan orang musyrik adalah meninggalkan shalat.”

[Shahih Muslim no. 82]

Perkataan Sufyan, “Baginda menyuruh kami agar jujur.” Ini merupakan intisari daripada hadits ini. Penggalan
hadits ini senada dengan firman Allah Ta'ala,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang
yang benar.” (QS. At-Taubah: 9: 119)

Kejujuran itu ada dua macam, jujur kepada Allah dan jujur kepada hamba Allah. Lawan dari jujur adalah dusta,
yaitu memberitahu sesuatu yang berbeda dengan realita. Dusta termasuk akhlak orang-orang munafik, seperti
yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga yaitu apabila dia berbicara dia dusta, apabila dia berjanji tidak
ditepati dan apabila diberi amanah dia khianati.”

[Shahih Al-Bukhari no. 33, 2682. Muslim no. 59]

Sebagian manusia ada yang diuji dengan penyakit ini, sehingga dia tidak merasa lega dan nyaman, kecuali
dengan berdusta.

jika dia berbicara denganmu, dia pasti berbohong. Jika dia duduk di majlis, dia akan membuat ulah agar
ditertawakan oleh orang lain.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al-'Afaaf” atau “al-'Iffah” yang berarti menjaga kesucian diri.
'Iffah ada dua macam, yaitu menjaga kesucian diri dari nafsu syahwat dan menjaga diri dari nafsu perut.

'Iffah, yang pertama adalah menjauhkan diri dari zina yang diharamkan dan segala sesuatu yang dapat
menjerumus ke dalam zina. Kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
(QS. Al-Isrâ: 17: 32)

Orang yang berzina harus didera seratus kali dan diusir dari negerinya selama satu tahun penuh, jika dia belum
menikah. Bagi orang yang sudah menikah dan sudah berhubungan badan dengan istrinya, lalu berbuat zina,
dia harus dirajam dengan batu hingga mati. Semua ini merupakan pencegahan bagi manusia agar mereka tidak
terjerumus ke dalam perbuatan keji ini; kerana zina dapat merusak akhlak, agama dan nasab. Berbagai macam
penyakit yang muncul pada akhir-akhir ini kerana banyak perzinaan.

Oleh kerana itu, Allah melarang segala sesuatu yang dapat menjerumuskan ke dalam zina untuk berjaga-jaga.
Seperti Allah Ta'ala melarang seorang wanita keluar rumah tanpa mengenakan jilbab.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu.”

(QS. Al-Ahzâb: 33: 33)

Sebaik-baik wanita adalah wanita yang tinggal di rumah dan tidak keluar rumah, kecuali jika perlu dan
terpaksa. Maka, hendaklah dia keluar seperti diajarkan Rasulullah, yaitu tidak berhias dan tidak memakai
minyak wangi. (kerana ia mampu menaikkan syahwat laki-laki dan mendorong untuk memandang kearahnya).
Begitu juga Allah memerintahkan perempuan memakai jilbab jika keluar menemui laki-laki yang bukan
mahramnya. Hijab yang disyaratkan adalah menutupi semua yang dapat dilihat untuk berhati-hati dari
perbuatan keji. Bagian tubuh yang paling penting untuk ditutup adalah wajah. Wajah lebih pantas untuk
ditutupi dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, daripada kepala, lengan dan kaki.

Tidak ada 'ibrah' (pelajaran) sama sekali dari orang-orang yang berpendapat bahwa seorang perempuan boleh
membuka wajah. Kerana pendapat tersebut kontroversi. Bagaimana mungkin seorang perempuan
diperintahkan untuk membuka wajahnya, sedangkan dia harus menutupi kedua kakinya. Manakah fitnah yang
lebih besar dan lebih mendekatkan kepada zina?

Seorang perempuan tidak boleh keluar rumah dengan memakai minyak wangi jika dia memakai minyak wangi,
berarti dia telah melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan adanya penzinaan terhadapnya. Manusia
terfitnah dengannya, dan dia sendiri juga menjadi fitnah bagi mereka, kerana dia berjalan di pasar-pasar
dengan memakai minyak wangi. Kita memohon ampunan dari Allah Ta'ala.

Tidak diperkenankan bagi seorang pun membiarkan keluarganya melakukan tindakan semacam itu, jika ada
keluarganya yang keluar rumah dengan seronok, dia harus mencarinya, baik keluarga tersebut sebagai istri,
anak, saudara perempuan, ibu, mahupun yang lainnya.

'Iffah' yang kedua adalah menjaga diri dari nafsu perut atau dari apa yang ada di tangan orang lain.

Allah Ta'ala berfirman:

“(Orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya kerana mereka menjaga diri
(dari meminta-minta).”

(QS. Al-Baqarah: 2: 273)

Yakni dia menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain. Manusia tidak boleh mengemis kerana orang
yang mengemis adalah hina. Orang yang mengemis itu rendah diri, sementara orang yang memberi itu
terhormat.

Oleh kerana itu, kamu tidak boleh mengemis kepada sesiapa pun, kecuali jika dalam keadaan darurat, seperti
orang yang terpaksa atau sangat membutuhkan yang serupa dengan terpaksa. Dalam kondisi demikian,
mengemis tidak mengapa.

Sementara, jika tidak ada kebutuhan mendesak atau keterpaksaan, mengemis itu hukumnya haram. Banyak
hadits menjelaskan tentang larangan mengemis ini, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa orang yang meminta-minta, pada hari kiamat dia akan datang dengan wajah terkelupas tanpa daging,
sehingga tulangnya kelihatan di depan manusia, pada hari ketika manusia diminta kesaksian.

[Lihat dalam Shahih Al-Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040]

Kemudian, para sahabat berjanji setia kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka tidak akan
meminta apa pun kepada manusia, bahkan jika pecut salah seorang di antara mereka jatuh dari
tunggangannya, dia tidak menyuruh temannya untuk mengambil pecutnya, melainkan turun sendiri dari kuda
untuk mengambilnya.

Orang yang dimuliakan Allah dengan kekayaan dan menjaga diri, tidak akan meminta, kecuali jika dia betul-
betul miskin, bila dibandingkan dengan manusia lain.

Mungkinkah kamu menengadahkan tanganmu kepada manusia dan mengatakan, “Berilah saya.” Sedangkan
kondisimu sama dengan kondisi mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu
meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika kamu memohon pertolongan memohonlah kepada Allah.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Menjalin silaturrahim.” Merupakan perintah yang kelima.

Menjalin silaturrahim artinya menyambung tali persaudaraan sesuai dengan diperintahkan Allah Ta'ala, baik
kerabat dekat mahupun kerabat jauh. Kerabat yang paling dekat dan paling tinggi adalah kedua orangtua.
Menyambung hubungan dengan orangtua berarti berbakti dan berkomunikasi dengan mereka. Sedangkan
menyambung persaudaraan dengan kerabat, tergantung kepada kedekatan kerabat itu. Maka, saudaramu
merupakan saudara yang paling dekat daripada pamanmu, dan pamanmu lebih dekat hubungannya daripada
paman ayahmu dan seterusnya.

Menyambung persaudaraan ini dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa dibatasi (ghairu muqayyad).
Segala sesuatu yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah ini tidak dibatasi, tergantung
pada kebiasaan; jika kebiasaan menganggap bahwa cara tertentu sebagai jalinan silaturrahim, maka hal
tersebut dianggap menjalin silaturrahim.

Cara menjalin silaturrahim ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang, keadaan, waktu dan tempat.
Misalnya, jika saudaramu tidak membutuhkanmu, kondisi fisiknya baik-baik saja, dan kamu mendengar
informasi bahwa dia tidak membutuhkan apa-apa, maka cara bersilaturrahim dengan saudara semacam ini
tidak terbatas, bisa sebulan sekali, satu setengah bulan sekali, dan seterusnya. Itulah silaturrahim yang berlaku
di lingkungan kami.

Demikian itu dikeranakan manusia merasa cukup antara satu dan yang lain, tiap-tiap orang tidak ingin
merepotkan yang lain. Akan tetapi, jika orang tersebut mempunyai hubungan yang sangat dekat, seperti ayah,
ibu, saudara, paman dan yang serupa, perlu mengadakan jalinan silaturrahim yang lebih banyak. Begitu pula
jika saudara kita itu fakir, seyogyanya dia lebih banyak dikunjungi. Demikian pula saudara kita yang sakit, juga
membutuhkan hubungan silaturrahim yang lebih intens dan seterusnya.

Yang perlu digarisbawahi menjalinkan silaturrahim menurut penjelasan yang ada di dalam Al-Qur'an tidak
dibatasi, tergantung pada kebiasaan. Perbedaan tersebut tergantung apa perbedaan-perbedaan seperti yang
kami jelaskan di atas. Banyak teks yang memberikan janji kebaikan kepada orang yang menyambung
silaturrahim dan memberikan ancaman bagi orang yang memutuskannya.

Hadist 57.

‫هللا‬ َ َّ‫ ََأنَّ ال َّن ِبي‬،ُ‫ َرضِ َي هَّللا ُ َع ْنه‬، ٌّ‫ َوه َُو َبدَ ِري‬،ٍ‫ْن حُنيْف‬
َ ‫ « َمنْ َسَأ َل‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل‬ ِ ‫ َسه ِْل ب‬،ِ‫ َأ ِبيْ ْال َولِ ْيد‬:‫ َوقِ ْي َل‬،ٍ‫ َأ ِبيْ َس ِع ْيد‬:‫ َوقِ ْي َل‬،ٍ‫َعنْ َأ ِبيْ َث ِابت‬
ْ
‫ َوِِإن َماتَ َعلَى ف َِراشِ ِه » َر َواهُ مُسْ لِ ٌم‬،‫از َل ال ُّشه َدا ِء‬ ِ ‫ َت َعالَى ال ِّش َهادَة ِبصِ ْد ٍق َبلَّغ ُه هللاُ َم َن‬.

Daripada Abu Tsabit, dikatakan, Abu Said, dikatakan juga Abu Walid, Sahl bin Hunaif radhiyallahu anhu, dia
adalah orang ikuti Perang Badar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang benar-benar memohon kepada Allah Ta'ala untuk mati syahid, niscaya Allah akan
mengabulkan ke tingkatan orang yang mati syahid, meskipun dia mati di tempat tidurnya.”

[Sahih Muslim no. 1909]

Penjelasan.

Hadits ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam bab “Jujur.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang benar-benar memohon kepada Allah untuk
mati syahid...”

Mati syahid merupakan kedudukan yang tinggi setelah kejujuran, seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,

“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang
yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shalih.” (QS. An-Nisâ: 4: 69)

Di antaranya adalah bersaksi dengan hukum-hukum Allah kepada para hamba-Nya. Ini merupakan kesaksian
para ulama yang difirmankan Allah Ta'ala,

“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; (demikian pula) para malaikat
dan orang berilmu.”

(QS. Âli 'Imrân: 3: 18)


Mati syahid itu bermacam-macam, antara lain:

1. Sebagian besar ulama menafsirkan bahwa firman Allah, “Asy-Syuhadaa” adalah para ulama. Tidak diragukan
lagi bahwa ulama adalah syuhada, kerana mereka bersaksi bahwa Allah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk
dan agama yang benar. Mereka bersaksi pada umat ini bahwa telah sampai kepada mereka syariat Allah dan
mereka bersaksi dengan hukum Allah bahwa ini halal dan haram, ini wajib ini sunnah dan ini makruh.

Tidak ada yang mengetahui hal ini, kecuali orang-orang yang berilmu (baca: ulama). Oleh kerana itu, mereka
adalah syuhada.

2. Orang-orang yang meninggal kerana penyakit berbahaya (thaaun) sakit perut, terbakar, tenggelam dan
sebagainya.

3. Orang-orang yang mati kerana berjuang di jalan Allah.

4. Orang-orang yang terbunuh kerana mempertahankan harta mereka hingga mati, seperti yang di sabdakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika ditanya oleh seorang lelaki.

“Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku didatangi oleh seseorang yang ingin merampas hartaku?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, “Jangan kamu berikan.”

Dia bertanya, “Bagaimana jika dia menyerangku?”

Baginda menjawab, “Lawanlah dia.”

Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika aku membunuhnya?”

Baginda menjawab, “Dia di neraka, kerana dia hendak membunuh dengan sengaja dan zhalim.”

Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika dia membunuhku?”

Baginda menjawab, “Jika dia membunuhmu, kamu mati syahid.”

[Shahih Muslim no. 140]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang yang terbunuh demi membela hartanya dan
keluarganya, dia mati syahid.”

5. Orang-orang yang terbunuh dengan zhalim, seperti ada orang yang menyerangnya, lalu membunuhnya
secara zhalim, dia juga mati syahid.

Tapi derajat mati syahid yang paling tinggi adalah orang-orang yang mati syahid kerana berjuang di jalan Allah,
seperti yang di tegaskan firman Allah Ta'ala,

“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya
mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah
kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka,
bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan
nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang beriman.”

(QS. Âli 'Imrân: 3: 169-171)

Mereka itu adalah orang-orang yang berjuang untuk meninggikan kalimat Allah. Mereka berjuang bukan untuk
kepentingan mereka sendiri dan bukan untuk kepentingan harta, melainkan untuk meninggikan kalimat Allah,
seperti yang di sabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam ketika ditanya tentang orang berperang dengan
gagah berani untuk melihat sejauh mana kekuatannya, apakah itu termasuk berjuang di jalan Allah?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, “Barangsiapa yang berjuang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia
berada di jalan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 7458. Muslim no. 1904]


Itulah ukuran menengah yang diletakkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengukur manusia
dengan amalnya.

Barangsiapa yang berjuang untuk tujuan ini, maka dia berada di jalan Allah. Jika terbunuh, maka dia mati
syahid dan jika menang dia akan mendapatkan kebahagiaan.

Allah Ta'ala berfirman:

“Katakan (Muhammad), “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan
(menang atau mati syahid). Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan azab
kepadamu dari sisi-Nya, atau (adzab) melalui tangan kami.”

(QS. At-Taubah: 9: 52)

Yakni Allah akan mengazab kalian dan menjaga kami dari kejahatan kalian, seperti yang dilakukan oleh Allah
terhadap kelompok-kelompok yang bergabung di Madinah untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu Allah mengirim kepada mereka angin kencang dan tentera yang tidak mereka lihat serta
mengirimkan rasa takut ke dalam hati mereka.

Firman-Nya, “Atau (adzab) melalui tangan kami” seperti yang terjadi pada perang Badar, sesungguhnya Allah
mengadzab orang-orang musyrik melalui tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Jika manusia memohon kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu
agar Engkau menjadikan kami mati syahid di jalan-Mu.” Mati syahid tidak terjadi kecuali dengan cara
berperang untuk meninggikan kalimat Allah. Jika Allah mengetahui kesungguhan dari perkataan dan niatnya,
Allah akan menempatkannya pada kedudukan seorang syahid, walaupun dia mati syahid di tempat tidurnya.

Muncul sebuah pertanyaan, orang yang berjuang untuk membela negerinya, apakah termasuk di jalan Allah
ataukah tidak?

Kami jawab, jika kamu berperang untuk membela negaramu kerana negaramu adalah negara Islam dan kamu
ingin menjaganya kerana negara tersebut merupakan negara Islam, berarti kamu berjuang di jalan Allah. Tapi,
jika kamu berjuang semata-mata untuk negara tersebut bukan kerana Islam, maka tidak termasuk kategori
berjuang di jalan Allah, kerana yang dijadikan sebagai ukuran dalam hal ini adalah Islamnya, bukan negaranya,
seperti di jelaskan dalam hadits sebelumnya. (Lihat hadits no. 8)Hadist 58.

ْ‫ اَل َي ْت َبعْ ِّني‬:ِ‫هللا َو َسالَ ُم ُه َعلَي ِْه ْم َف َقا َل لِ َق ْو ِمه‬ِ ‫ات‬ ُ ‫صلَ َو‬ َ ‫ « َغ َزا َن ِبيٌّ م َِن اَأل ْن ِب َيا ِء‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ َقا َل َرس ُْو ُل‬:‫َعنْ َأ ِبيْ ه َُري َْر َة َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن ُه َقا َل‬
َ ‫هللا‬
.‫ت َوه َُو َي ْن َتظِ ُر َأ ْوالَ َد َها‬ ٍ ‫ َواَل َأ َح ٌد ا ْش َت َرى َغ َنمًا َأ ْو َخلَ َفا‬،‫ َواَل َأ َح ٌد َب َنى ُبيُو ًتا َل ْم َيرْ َفعْ ُسقُ ْو َف َها‬،‫ْن ِب َها‬ ِ ‫ك بُضْ َع ا ْم َرَأ ٍة َوه َُو ي ُِر ْي ُد َأن َي ْبن َِي ِب َها َولَمَّا َيب‬ َ َ‫َر ُج ٌل َمل‬
‫ َف َج َم َع‬،ِ‫ت َح َّتى َف َت َح هللاُ َعلَ ْيه‬ ‫ْأ‬ ‫َأ‬ ‫ْأ‬
'ْ ‫ َفح ُِب َس‬،‫ اللَّ ُه َّم احْ ِبسْ َها َعلَ ْي َنا‬،ٌ‫ ِإ َّنكِ َم م ُْو َرةٌ َو َنا َم مُور‬:‫مْس‬ ‫َأ‬
َ ِ‫صالَ َة ْال َعصْ ِر ْو َق ِر ْيبًا مِنْ َذل‬ َ ‫فَغَ َزا َفدَ َنا م َِن ْال َقرْ ي ِة‬
ِ ‫ َف َقا َل لِل َّش‬،‫ك‬
ْ ُ ُ ْ ُ ْ َ َ ُ ْ ‫اًل‬ ُ ُ ُ ْ
ْ‫ َفل ُي َب ِايعْ نِي‬،ُ‫ فِ ْيكم الغل ْول‬:‫ َفل ِِز َقت َي ُد َرج ٍُل ِب َي ِد ِه َف َقا َل‬،ٌ‫ َفل ُي َب ِايعْ نِيْ مِنْ ك ِّل َق ِب ْيل ٍة َر ُجل‬، ‫ ِإنَّ فِ ْيك ْم غلو‬:‫' َف َقا َل‬،‫ار ِل َتأكل َها َفل ْم َتط َع ْم َها‬ َ ُ َّ
َ ‫ت َيعْ نِي الن‬ 'ْ ‫ َف َجا َء‬،‫ْالغَ َناِئم‬
‫ َفلَ ْم َت ِح َّل ْالغَ َناِئ ُم‬،‫ت ال َّنا ُر َفَأ َكلَت َها‬ ‫ْأ‬ ‫ْأ‬
ِ ‫ض َع َها َف َجا َء‬ َ ‫ َف َو‬،ِ‫الذ َهب‬ َّ ْ‫س َب َق َر ٍة مِن‬ ِ ‫س م ِْث ِل َر‬ٍ ‫ َف َجاء ُْوا ِب َر‬،ُ‫ فِ ْي ُك ُم ْال ُغلُول‬:‫ْن َأ ْو َثالَ َث ٍة ِب َي ِد ِه َف َقا َل‬ ِ ‫ت َي ُد َرجُلي‬ ْ ‫ َفلَ ِز َق‬،‫ك‬ َ ‫َق ِب ْيلَ ُت‬
‫أحلَّ َها لَ َنا » ُم َّت َف ٌق َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ضعْ َف َنا َو َع َج ْز َنا َف‬ ‫َأ‬ ‫هَّللا‬ ‫َأ‬ ُ
َ ‫ ث َّم َح َّل ُ لَ َنا ْالغَ َناِئ َم لَمَّا َر ى‬،‫ َح ٍد َق ْبلَ َنا‬. ‫َأِل‬

Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

“Ada salah seorang nabi -semoga shalawat dan salam senantiasa Allah curahkan atas mereka- sewaktu akan
berangkat perang berpesan kepada kaumnya, “Janganlah mengikutiku seorang laki yang baru menikah dan
belum berkumpul dengan istrinya, juga seorang laki-laki yang sedang membangun rumah (bangunan), namun
dia belum menaikkan atapnya. Demikian pula seseorang lelaki yang telah membeli seekor kambing atau seekor
unta yang hamil sehingga dia menunggu kelahiran anak ternaknya tersebut.”

Kemudian, nabi tersebut pergi berperang dan ketika sudah menghampiri sebuah perkampungan, setelah
shalat Ashar, atau dekat darinya, dia berkata kepada matahari, “Wahai matahari! Kamu diperintahkan, aku
juga diperintahkan.” Lalu dia berdoa, “Ya Allah! tahanlah matahari itu sebentar untuk membantu kami.”
Seketika matahari itu berhenti sehingga Allah memberikan kemenangan kepada nabi itu. Lalu dia
mengumpulkan harta rampasan perang. Setelah beliau mengumpulkan harta rampasan perang tersebut, tiba-
tiba ada percikan api dari atas langit yang akan membakar harta tersebut, namun mendadak api itu berhenti
dan tidak mahu membakarnya.
Maka nabi tersebut berkata: “Di antara kalian ada yang berbuat curang (mencuri harta rampasan perang),
maka hendaklah tiap-tiap kabilah segera bersumpah kepadaku.”

Maka ada salah seorang yang tangannya melekat (tidak bisa dilepaskan) dengan tangan nabi itu sehingga dia
berkata: “Dalam kabilahmu ada yang curang. Oleh kerana itu, semua orang dalam kabilahmu harus bersumpah
kepadaku.”

Kemudian, melekatlah tangan dua atau tiga orang dari mereka dengan tangan nabi, seraya nabi tersebut
bersabda: “Kalianlah orang-orang yang berbuat curang itu.”

Kemudian orang-orang tersebut membawa emas sebesar kepala lembu, lalu diletakkan di hadapan nabi, dan
datanglah percikan api itu, lalu membakar emas tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Harta rampasan perang itu belum pernah dihalalkan kepada
seorang pun sebelum kita. Kemudian Allah Yang Mahamulia lagi Mahaluhur mengetahui kelemahan dan
kekurangan kita. Oleh kerana itu, Allah menghalalkan barang rampasan itu kepada kita.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3124 Muslim no. 1747]

Penjelasan.

Dalam hadits yang dikutip oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah.

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan tentang seorang nabi yang memerangi suatu
kaum yang diperintahkan oleh Allah untuk diperangi, tapi nabi tersebut melarang orang yang baru menikah
dengan seorang perempuan dan belum berkumpul dengannya untuk ikut berperang. Dia juga melarang orang
yang sedang membangun rumah dan belum memberi atap di atasnya, dan orang yang membeli kambing yang
sedang hamil dan dia menunggu kelahiran anak kambing itu.

Demikian itu, dikeranakan orang-orang itu sibuk dengan tugas-tugas mereka sendiri. Orang baru nikah sibuk
dengan istri yang belum dikumpulinya, sehingga dia sangat merindukannya. Orang yang membangun rumah
dan belum memberi atap di atasnya sibuk dengan rumah yang ingin ditempatinya. Orang yang mempunyai
kambing yang sedang hamil sibuk menunggu kelahiran anak kambingnya.

Dalam berjihad, seseorang harus segar, longgar, dan tidak mempunyai tugas-tugas lain selain jihad. Maka Allah
Ta'ala berfirman,

“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain.” (QS. Al-Insyirâh: 94: 7)

Yakni, jika kamu selesai dari urusan dunia dan kamu tidak sibuk dengannya, maka segeralah mengerjakan
ibadah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak sempurna shalat seseorang apabila makanan telah dihidangkan dan orang yang menahan buang air
(besar atau kecil).”

[Shahih Muslim no. 560]


Hadits ini menunjukkan bahwa manusia jika ingin berbuat taat, dia harus mengosongkan hati dan badannya
untuk ketaatan itu sehingga ketika mengerjakannya dia merasa rindu kepadanya, mengerjakannya pelan-
pelan, thuma'ninah, dan lapang dada.

Kemudian, nabi tersebut berangkat perang. Ketika dia mendekati sebuah perkampungan setelah shalat Ashar,
sedangkan waktu hampir menjelang malam dan dia takut jika malam tiba dan gelap dia tidak mendapat
kemenangan. Dia berkata kepada matahari, “Kamu diperintahkan, aku juga diperintah.” Perintah kepada
matahari itu bersifat alami (kauni), sedangkan perintah kepadanya adalah perintah syariat.

Nabi itu diperintah untuk berjihad dan matahari diperintah untuk berjalan sebagaimana yang diperintahkan
oleh Allah kepadanya.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikian ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Yâsin: 36: 38)

Sejak diciptakan, matahari tetap berjalan sebagaimana yang diperintahkan, tidak pernah lebih, tidak pernah
terlambat, tidak turun dan tidak naik.

Nabi itu berkata, “Ya Allah, tahanlah matahari itu sebentar untuk menolong kami.” Maka Allah menahan
jalannya matahari sehingga tidak tenggelam pada waktu seperti biasanya, sampai nabi itu berperang dan
menang serta mendapatkan harta rampasan yang banyak. Walaupun dia mendapatkan harta rampasan yang
banyam, tetapi harta rampasan itu tidak halal bagi pejuang umat dahulu. Penghalalan harta rampasan hanya
diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad.

Sedangkan umat terdahulu, jika mereka mengumpulkan harta rampasan perang, turunlah api dari langit untuk
membakarnya. Oleh kerana itu, nabi tersebut mengumpulkan harta rampasan, tetapi api tidak turun untuk
melahap harta rampasan itu sehingga dia berkata, “Di antara kalian ada yang berbuat curang.”

Kemudian, dia memerintahkan kepada setiap anggota kabilah agar maju satu persatu untuk bersumpah bahwa
dia tidak berbuat curang. Ketika mereka bersumpah kepada nabi tersebut, tiba-tiba tangan salah seorang di
antara mereka melekat erat dengan tangan nabi tersebut, hingga sulit dilepas.

Ketika tangan orang itu melekat dengan tangan nabi tersebut, maka nabi itu berkata, “Dalam kelompok kalian
ada yang berbuat curang.” Kemudian, dia menyuruh kepada semua anggota kelompok itu untuk bersumpah
kepadanya satu persatu hingga melekatlah tangan dua atau tiga orang dari mereka seraya berkata, “Pada diri
kalian ada kecurangan.” Mereka pun membawa barang-barang yang mereka sembunyikan.

mereka sembunyikan.
Kata “Al-Ghuluul” berarti pencurian terhadap barang rampasan perang atau menyembunyikan sebagian harta
rampasan. Ternyata, mereka menyembunyikan barang-barang seperti emas sebesar kepala sapi. Ketika barang
yang disembunyikan itu sudah diambil dan diletakkan bersama harta rampasan lainnya, api itu turun melahap
barang-barang tersebut. Kejadian ini merupakan bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah.

Faedah Hadits.

1. Jihad itu disyariatkan kepada umat-umat terdahulu, sebagaimana disyariatkan kepada umat Islam saat ini.
Dalam hal ini Al-Qur'an menjelaskan,

“Dan betapa banyak nabi yang berperang di dampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka
tidak (menjadi) lemah kerana bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula)
menyerah (kepada musuh).” (QS. Âli 'Imrân: 3: 146)

Begitu juga kisah tentang Thalut, Jalut, dan Dawud dalam surah Al-Baqarah, ayat 246-252.

2. Hadits ini menjadi bukti atas kebesaran Allah, bahwa Dialah Dzat yang mengatur alam semesta dan Dia
mampu menjalankan segala urusan di luar kebiasaan alamiahnya, baik untuk menguatkan para rasul maupun
untuk menjauhkan mereka dari kejahatan yang akan menimpa mereka, demi kemaslahatan Islam.

Yang jelas, tanda-tanda kenabian berfungsi untuk menguatkan mereka dengan berbagai macam cara. Dalam
hal ini, peristiwa yang biasanya terjadi bahwa matahari selalu berjalan sesuai dengan sunnatullah yang telah
ditetapkan padanya, tidak berhenti, tidak maju, tidak mundur (baca; terlambat), kecuali atas perintah Allah.
Tapi, di sini Allah telah memerintahkannya berhenti sehingga waktu antara shalat Ashar dan Maghrib menjadi
lebih panjang sehingga Allah menakluk musuh-musuh-Nya melalui tangan nabi tersebut.

3. Dalam hal ini terdapat sanggahan terhadap para ilmu alam yang mengatakan bahwa tata surya itu tidak
pernah berubah. Subhanallah! Siapa yang menciptakan tata surya itu? Allah-lah yang menciptanya. Dzat yang
menciptakan matahari pasti mampu mengubahnya. Tapi, mereka melihat bahwa tata surya berjalan secara
alami, tidak seorang pun yang mengaturnya, kerana mereka mengingkari adanya pencipta.

Al-Quran dan As-Sunnah menunjukkan bahwa tata surya ini dapat berubah dengan perintah Allah. Seperti nabi
ini, dia berdoa kepada Allah, maka tertahanlah matahari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatatkala diminta
bukti oleh orang musyrik bahwa tata surya ini bisa berubah, maka baginda menunjukkan bulan terbelah dua
atas izin Allah. Bulan ini terbelah ke arah Shafa dan Marwah. Dalam hal ini Allah Ta'ala berfirman,

“Telah dekat datangnya Hari Kiamat dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin)
melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, '(Ini adalah) sihir yang terus menerus.” (QS. Al-
Qamar: 54: 1-2)
Mereka berkata, “Muhammad telah mensyihir kita, padahal bulan itu tidak terbelah, tetapi dia mengelabui
mata kita.”

Meski tanda-tanda kebesaran Allah itu telah tampak secara nyata, orang kafir tetap tidak akan beriman,
sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman.
Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan.” (QS. Yûnus: 10: 96-97)

Hati manusia berada di antara jari-jari Allah yang bisa dibolak-balikkan sesuai kehendak-Nya. Dia
memperlakukannya sesuai dengan kehendak-Nya. Orang yang telah ditetapkan baginya adzab Allah, dia tidak
akan beriman selamanya, walaupun kamu datang kepadanya dengan membawa semua tanda kebesaran Allah.

Oleh kerana itu, mereka meminta kepada Rasulullah untuk menunjukkan kebesaran Allah, dan meminta
baginda untuk menunjukkan tanda-tanda yang sangat menakjubkan, yang tidak bisa dilakukan oleh seorang
manusia pun, tetapi mereka justru berkata,

“Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat) mereka berpaling dan berkata, (Ini
adalah) sihir yang terus menerus.' Dan mereka mendustakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, sedang
tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya.” (QS. Al-Qamar: 54: 2-3)

4. Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang nikmat Allah yang diberikan kepada umat ini, yaitu dihalalkan
bagi mereka harta rampasan yang mereka peroleh dari orang-orang kafir, yang dahulunya diharamkan kepada
umat-umat lain sebelum kita; kerana dalam harta rampasan itu terdapat banyak manfaat bagi umat Islam,
guna membantu mereka untuk berjihad dan kebutuhan hidup lainnya.

Mereka mendapatkan banyak harta rampasan dari peperangan yang mereka lakukan. Ini termasuk kurnia
Allah seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku...” Kemudian baginda
menyebutkan bahwa harta rampasan perang dihalalkan bagi baginda, padahal belum pernah dihalalkan
kepada seorang nabi pun sebelum baginda.

[Shahih Al-Bukhari no. 335. Muslim no. 521]

5. Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah, yaitu orang-orang yang curang itu, tangan mereka
melekat dengan tangan nabi tersebut. Ini adalah peristiwa yang luar biasa, kerana biasanya jika seseorang
berjabatan tangan dengan orang lain, tangannya tidak melekat seperti itu. Namun, Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu.
6. Para nabi tidak mengetahui alam ghaib, kecuali ditunjukkan kepada mereka. Sedangkan mereka tidak tahu-
menahu tentang masalah ghaib tersebut.

Contoh yang selaras dengan hal ini cukup banyak, seperti yang terjadi pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, di mana banyak hal yang tidak diketahui oleh baginda, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Lalu (Hafsah) bertanya, “Siapakah yang telah memberitahu hal ini kepadamu?” Nabi Menjawab, “Telah
diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

(QS. At-Tahrîm: 66: 3)

Sedangkan baginda tidak mengetahui perkara ghaib.

Para sahabat yang biasa bersama baginda, kadang-kadang tidak tampak dan baginda tidak tahu keberadaan
mereka.

Pada suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Hurairah radhiyallahu anhu, lalu Abu
Hurairah mimpi basah dan junub. Ketika dari kamar mandi (mandi besar), Rasulullah bertanya kepadanya,
“Kamu ke mana saja, ya Abu Hurairah?”

Jadi, Rasulullah tidak mengetahui alam ghaib. Begitu juga semua manusia tidak ada yang mengetahui alam
ghaib.

Allah Ta'ala berfirman:

“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun
tentang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-
penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya.” (QS. Al-Jinn: 72: 26-27)

7. Hadits ini terdapat dalil atas kekuasaan Allah dari segi bahwa api itu tidak diketahui dari mana datangnya. Ia
turun dari langit, bukan dari pohon atau kayu bakar, melainkan dari langit yang diperintahkan oleh Allah,
sehingga api itu turun dan membakar harta rampasan yang dikumpulkan.

Hadist 59.

‫ك لَ ُه َما‬ َ ْ‫ َفِإن‬،‫ار َمالَ ْم َي َت َفرَّ َقا‬


َ ‫ص َد َقا َوب َّي َنا ب ُْو ِر‬ ِ ‫ان ِب ْال ِخ َي‬
ِ ‫ « ْال َب ِّي َع‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫َعنْ َأ ِبيْ َخالِ ٍد َح ِكي ِْم ب‬
َ ‫ َقا َل َرس ُْو ُل هللا‬:‫ َقا َل‬،ُ‫ْن ح َِز ٍام َرضِ َي هللاُ َع ْنه‬
‫ت َب َر َك ُة َب ْيع ِِه َما » ُم َّت َف ٌق َعلَ ْي ِه‬
ْ ‫' َوِإنْ َك َت َما َو َك َذ َبا ُم ِح َق‬،‫فِي َب ْيع ِِه َما‬.

Daripada Abu Khalid Hakim bin Hizam radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan memilih khiyar (pilihan untuk meneruskan menunjukkan membatal
jual beli) selagi mereka belum berpisah. Jika mereka jujur dan transparan (sesuatu yang terang dan jelas serta
tidak sembunyikan) mengenai barang yang dijual-belikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli
mereka. Jika mereka berbohong dan merahsiakan mengenai hal-hal yang harus diterangkan tentang barang
yang dijualbelikan, keberkahannya akan terhapus.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2079 Muslim no. 1532]

Penjelasan.

Kata (‫ان‬ ْ berarti penjual dan pembeli, tetapi kedua makna itu dimutlakkan pada kata, 'Al-Bayyi' saja,
ِ ‫)ال َب ِّي َع‬
termasuk bab 'taghliib' (secara umum), seperti dikatakan 'Al-Qamarani' berarti matahari dan bulan, dan kata
'Al-'Umaran' berarti Abu Bakar dan Umar.

ِ ‫)ب ْال ِخ َي‬


Kata (‫ار‬ ِ berarti setiap orang dari keduanya berhak memilih apa yang diinginkannya.

Kata (‫ ) َما لَ ْم َي َت َفرَّ َقا‬berarti selama keduanya masih berada di tempat transaksi dan belum berpisah, maka
keduanya berhak memilih.

Misalnya, ada seorang laki-laki menjual mobil kepada seseorang dengan harga sepuluh juta rupiah. Selama
mereka berdua masih berada di tempat transaksi itu dan belum berpisah, mereka berdua boleh untuk tawar-
menawar. Jika penjual mahu dia bisa membatalkan jual beli dan jika pembeli mahu dia juga bisa membatalkan
jual beli.

Ini termasuk nikmat dan kemurahan hati Allah kepada manusia. Kerana sifat manusia jika sesuatu barang ada
di tangan orang lain, seakan-akan barang itu berharga bagi dirinya sehingga dia ingin mendapatkan barang itu
dengan berbagai macam cara. Jika dia telah mendapatkannya, mungkin rasa senangnya itu hilang, kerana dia
telah mengetahuinya. Maka dari itu, Allah memberikan pilihan kepadanya supaya dia berhati-hati dan lebih jeli
dalam melihat dan menentukan.

Selama penjual dan pembeli itu belum berpisah, keduanya boleh tawar-menawar (memilih) -walaupun
waktunya panjang- kerana keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Selama keduanya belum
berpisah.” Dan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhu, “Atau salah seorang dari keduanya memberikan
pilihan kepada yang lain.” Atau salah seorang darinya berkata kepada yang lain, “Kamu boleh memilih sendiri.”
Jika telah dikatakan seperti itu, dia berhak untuk memilih sendiri, sedangkan yang lain tidak boleh memilih.
Atau keduanya boleh juga mengatakan, “Antara kita tidak ada pilihan.”

Dari hadits di atas terdapat empat gambaran dalam transaksi:

1. Keduanya sama-sama memberikan pilihan kepada yang lain, yaitu terjadi pada jual beli secara mutlak yang
tidak ada syarat di dalamnya.
2. Keduanya berjual beli dengan tidak ada tawar-menawar di dalamnya sehingga yang ada hanya akadnya saja
tanpa ada pilihan atau penawaran.

3. Yang berhak untuk memberikan pilihan hanya penjualnya saja tanpa pembeli. Di sini, yang berhak
memberikan pilihan hanya penjual sahaja, sedangkan pembeli tidak boleh memilih.

4. Keduanya bertransaksi dengan syarat bahwa yang berhak memilih hanya pembelinya saja, sedangkan
penjual tidak berhak memilih. Dalam hal ini, pilihan hanya diberikan kepada pembeli bukan pada penjual.
Demikian itu kerana memilih merupakan hak, baik penjual maupun pembeli. Jika mereka rela menggugurkan
hak itu atau membeli kepada yang satu dan tidak kepada yang lain, terserah mereka asalkan mereka sama-
sama sepakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Orang-orang Islam (yang melakukan transaksi jual-beli) bergantung pada syarat yang mereka tetapkan,
kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 1352. Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir no 17/22. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 4/113.
Untuk separuh pertama ada beberapa riwayat pendukung]

Sedangkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Selama keduanya belum berpisah,” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak bermaksud menjelaskan perpisahan secara umum, tapi perpisahan secara fisik. Jika
mereka telah berpisah, batallah kewenangannya untuk memilih atau berfikir dan jual beli telah terjadi.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mereka berdua jujur dan transparan mengenai
barang yang dijual-belikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka.”

Inilah masalah yang berkaitan dengan judul dalam bab ini, kerana bab ini membahas mengenai kejujuran.

“Jika mereka berdua jujur dan transparan mengenai barang yang dijual-belikan, mereka akan mendapat
berkah dalam jual beli mereka.” Yakni, jika keduanya jujur dalam menerangkan ciri-ciri barang dagangan, baik
ciri-ciri yang baik maupun yang tidak baik. Misalnya, seseorang menjual mobil berkata, “Ini adalah mobil model
yang baru dan bersih.” Ternyata kondisi mobilnya tidak seperti yang dijelaskan, maka penjelasannya itu dusta.

Jika ada seseorang menjual mobil yang cacat dan dia tidak menjelaskan cacat tersebut, kami katakan bahwa
dia telah menutup-nutupi aib dan tidak menjelaskan secara terang-terangan, padahal berkah ada pada
kejujuran dan transparansi.

Perbedaan antara kejujuran dan penjelasan terhadap barang dagangan adalah kejujuran berkaitan dengan
sifat-sifat yang baik pada barang itu, sedangkan penjelasan berkaitan dengan sifat-sifat yang jelek pada barang
itu. Menyembunyikan aib barang berarti bertentangan dengan prinsip transparansi. Menjelaskan sifat barang
yang tidak sesuai dengan kondisi barang yang sebenarnya bertentangan dengan kejujuran.

Contoh yang lain, ada orang yang menjual kambing sakit -tapi kambing tersebut tidak tampak sakit- tetapi dia
tidak menjelaskan sakitnya dan menyembunyikannya, kami katakan bahwa dia tidak transparan. Jika dia
menjelaskan sifat-sifatnya yang tidak sesuai dengan sifat-sifat yang sebenarnya, maka dia telah berdusta dan
tidak jujur.

Contoh lain adalah perbuatan yang dilakukan oleh sebagian penjual sekarang ini, di mana dia meletakkan
barang-barang yang bagus di bagian atas, sementara barang-barang yang tidak bagus dia sembunyikan di
bagian bawah. Tindakan seperti ini berarti dia tidak transparan dan tidak jujur.

Dia dikatakan tidak transparan kerana dia tidak menampakkan kurma yang cacat. Dikatakan tidak jujur, kerana
dia menampakkan bahwa kurma yang dia jual baik, padahal yang sebenarnya tidak demikian.

at April 04, 2019 Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

No comments:

You might also like