You are on page 1of 4

Adab Membaca Al-Qur’an

Adab Sebelum Membaca Al-Qur’an

Pertama, husnun niyyah (niat yang baik).

Hendaklah interaksi dengan Al-Qur’an dilandasi niat yang ikhlas mengharapkan ridha Allah Ta’ala, bukan
berniat mencari dunia atau mencari pujian manusia. Karena Allah Ta’ala tidak akan menerima -bahkan
murka- terhadap amal yang dilandasi riya.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫ضى َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َعلَ ْي ِه َر ُج ٌل اسْ ُت ْش ِه َد َفُأت َِي ِب ِه َف َعرَّ َف ُه ِن َع َم ُه َف َع َر َف َها َقا َل َف َما‬ َ ‫اس ُي ْق‬ ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َي ُقو ُل ِإنَّ َأ َّو َل ال َّن‬َ ِ ‫ت َرسُو َل هَّللا‬ ُ ْ‫َسمِع‬
ْ ‫ُأ‬ َّ
‫ِب َعلى َوجْ ِه ِه َحتى لق َِي فِي‬ َ َ ‫ُأ‬ ُ ْ َ َ
َ ‫نْ ُيقا َل َج ِري ٌء فقد قِي َل ث َّم م َِر ِب ِه ف ُسح‬ َ ‫َأِل‬ َ‫ت‬ ْ َ
‫ك قاتل‬َ َّ َ َ‫ْت‬ َ َ َ ُ
َ ‫ك َحتى اسْ تش ِهدت قا َل كذب َول ِكن‬ ْ ْ ُ َّ َ ‫َعم ِْلتَ فِي َها قا َل قاتلت فِي‬
ُ ْ َ َ َ
َ ْ‫ِيك ْالقُر‬ ‫ْأ‬
ُ ‫ْت ْالع ِْل َم َو َعلَّ ْم ُت ُه َو َق َر‬ ‫ُأ‬
ُ ‫آن َف ت َِي ِب ِه َف َعرَّ َف ُه ِن َع َم ُه َف َع َر َف َها َقا َل َف َما َعم ِْلتَ فِي َها َقا َل َت َعلَّم‬ َ ْ‫ار َو َر ُج ٌل َت َعلَّ َم ْالع ِْل َم َو َعلَّ َم ُه َو َق َرَأ ْالقُر‬
‫آن َقا َل‬ َ ‫تف‬ ِ ‫ال َّن‬
َّ ْ ‫ُأ‬ َّ َ ‫ُأ‬ ُ
َ ‫ارٌئ َف َق ْد قِي َل ث َّم م َِر ِب ِه َف ُسح‬ ُ ْ ‫ْأ‬ ْ ْ َّ َ ‫َك َذبْتَ َول ِكن‬
َّ َ
‫ار َو َر ُج ٌل َوس ََّع‬ ِ ‫ِب َعلى َوجْ ِه ِه َحتى لق َِي فِي الن‬ ِ ‫آن لِ ُي َقا َل ه َُو َق‬ َ ْ‫ك َت َعلمْتَ العِل َم لِ ُي َقا َل َعالِ ٌم َو َق َر تَ القر‬
ُ ‫يل ُتحِبُّ َأنْ ُي ْنفَقَ فِي َها ِإاَّل َأ ْن َف ْق‬
‫ت‬ ٍ ‫ت مِنْ َس ِب‬ ُ ‫ال ُكلِّ ِه َفُأت َِي ِب ِه َف َعرَّ َف ُه ن َِع َم ُه َف َع َر َف َها َقا َل َف َما َعم ِْلتَ فِي َها َقا َل َما َت َر ْك‬ ِ ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َوَأعْ َطاهُ مِنْ َأصْ َنافِ ْال َم‬
‫ُأ‬ ُ ‫ُأ‬ ُ
ِ ‫ِب َعلَى َوجْ ِه ِه ث َّم ْلق َِي فِي ال َّن‬
‫ار‬ َ ‫ك َف َع ْلتَ لِ ُي َقا َل ه َُو َج َوا ٌد َف َق ْد قِي َل ث َّم م َِر ِب ِه َف ُسح‬ َ ‫ك َقا َل َك َذبْتَ َولَ ِك َّن‬ َ ‫فِي َها َل‬

“Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya manusia yang
pertama kali dihisab pada hari kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya
kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya: ‘Apa yang telah kamu lakukan
di dunia wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab: ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga
saya mati syahid.’ Allah berfirman: ‘Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku,
melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’
Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.

Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan
kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu
perbuat?’ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Qur’an
demi Engkau.’ Allah berfirman: ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta
membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan
seperti itu’, kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam
neraka.

Dan didatangkan seorang laki-laki yang diberi keluasan rizki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan
hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas.
Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Saya tidak
meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridlai.’
Allah berfirman: ‘Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang
dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia
dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Kedua, thaharatul qalbi wal jasadi (membersihkan hati dan jasad).

Sebelum membaca Al-Qur’an, kita hendaknya bersungguh-sungguh membersihkan hati; selain dengan
husnun niyyah, hati pun harus dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel padanya. Diantaranya
adalah kesombongan, yakni merasa diri hebat sehingga menolak kebenaran dan meremehkan orang
lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ْال ِك ْب ُر َب َط ُر ْال َح ِّق َوغَ ْم‬


ِ ‫ط ال َّن‬
‫اس‬
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)

Kotoran hati yang lainnya adalah dosa dan maksiat, maka bersihkanlah dengan memperbanyak istighfar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َوه َُو‬، ‫ َوِإنْ َعا َد ِزي َد فِي َها َح َّتى َتعْ لُ َو َق ْل َب ُه‬، ‫اب ُسقِ َل َق ْل ُب ُه‬ ْ ‫العبْدَ ِإ َذا َأ ْخ َطَأ َخطِ يَئ ًة ُن ِك َت‬
َ ‫ َفِإ َذا ه َُو َن َز َع َواسْ َت ْغ َف َر َو َت‬، ‫ت فِي َق ْل ِب ِه ُن ْك َت ٌة َس ْودَ ا ُء‬ َ َّ‫ِإن‬
َ ‫وب ِه ْم َما َكا ُنوا َي ْكسِ ب‬
‫ُون‬ ِ ُ ‫ل‬ ُ ‫ق‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ‫ان‬
َ ‫ر‬
َ ْ
‫ل‬ ‫ب‬
َ ‫اَّل‬ َ
‫ك‬ ” ُ ‫هَّللا‬ ‫ر‬َ َ
‫ك‬ َ
‫ذ‬ ‫ِي‬‫ذ‬َّ ‫ل‬ ‫ا‬ ُ‫ان‬ َّ‫”الر‬

”Sesungguhnya seorang hamba jika ia melakukan kesalahan, maka akan tercemari hatinya dengan satu
bercak hitam. Jika ia menghentikan kesalahannya dan beristighfar (memohon ampun) serta bertaubat,
maka hatinya menjadi bersih lagi. Jika ia melakukan kesalahan lagi, dan menambahnya maka hatinya
lama-kelamaan akan menjadi hitam pekat. Inilah maksud dari ”al-Raan” (penutup hati) yang disebut
Allah dalam firman-Nya: ”Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu
menutupi hati mereka.” [Al-Muthoffifin: 14] ” (Hadist Riwayat Tirmidzi (No : 3334) dan Ahmad ( 2/ 297 ).
Berkata Tirmidzi : “Ini adalah hadist Hasan Shahih).

Sedangkan membersihkan jasad diantaranya dengan bersiwak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

ِ ْ‫ُق ل ِْلقُر‬
ِ‫ َف َط ِّيبُو َها ِبالس َِّواك‬،‫آن‬ ُ ‫ِإنَّ َأ ْف َوا َه ُك ْم‬
ٌ ‫طر‬

“Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan bagi Al Qur`an, maka harumkanlah dengan bersiwak.”
(Sunan Ibnu Majah, no.291)

Selain membersihkan mulut dengan bersiwak, maka badan, pakaian dan tempat membaca al-Qur’an
pun hendaknya benar-benar bersih dan suci. Oleh karena itu, para ulama sangat menganjurkan
membaca Al-Qur’an di masjid. Di samping masjid adalah tempat yang bersih dan dimuliakan, juga ketika
itu dapat meraih fadhilah i’tikaf.

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hendaklah setiap orang yang duduk di masjid berniat i’tikaf
baik untuk waktu yang lama atau hanya sesaat. Bahkan sudah sepatutnya sejak masuk masjid tersebut
sudah berniat untuk i’tikaf. Adab seperti ini sudah sepatutnya diperhatikan dan disebarkan, apalagi pada
anak-anak dan orang awam (yang belum paham). Karena mengamalkan seperti itu sudah semakin
langka.” (At-Tibyan, hlm. 83).

Saat kita menyentuh mushaf, disunnahkan dalam kondisi suci/berwudhu.

َ ‫ب ِإلَى َأهْ ِل ْال َي َم ِن ِك َتابًا َف َك‬


َ‫ان فِي ِه ال‬ َ ‫ َك َت‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ْن َح ْز ٍم َعنْ َأ ِبي ِه َعنْ َج ِّد ِه َأنَّ َرسُو َل هَّللا‬
ِ ‫ْن َعمْ ِرو ب‬ ِ ‫َعنْ َأ ِبى َب ْك ِر ب‬
ِ ‫ْن م َُح َّم ِد ب‬
َ ْ‫َيمَسُّ ْالقُر‬
‫آن ِإالَّ َطا ِه ٌر‬

Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh
menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni no. 449. Hadits ini dinilai shahih oleh
Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 122).

Adab Memulai Membaca Al-Qur’an

Pertama, ta’awudz (membaca do’a perlindungan dari godaan syaithan).

Bacaan ta’awudz menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah “a’udzu billahi minasy syaithonir rajiim”.
Membaca ta’awudz ini dihukumi sunnah, bukan wajib; berdasarkan firman Allah Ta’ala berikut.

‫ان الرَّ ِج ِيم‬ َ ‫َفِإ َذا َق َرْأتَ ْالقُرْ َآ َن َفاسْ َتع ِْذ ِباهَّلل ِ م َِن ال َّشي‬
ِ ‫ْط‬

“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Kedua, tasmiyah (membaca bismillahir rahmanir rahim)

Tasmiyah dibaca di setiap awal surat selain surat Bara’ah (surat At-Taubah). Namun jika memulai
membaca di pertengahan surat, cukup dengan membaca ta’awudz tanpa bismillahir rahmanir rahim.

Adab Saat Membaca Al-Qur’an

Pertama, hadhrul fikri ma’al qur’an (hadirnya pikiran bersama Al-Qur’an).

Kita harus berupaya mencermati dan memikirkan ayat-ayat Al-Qur’an, yakni men-tadabburi-nya dengan
sungguh-sungguh.

Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫ك لِ َي َّد َّبرُوا آ َيا ِت ِه َولِ َي َت َذ َّك َر ُأولُو اَأْل ْل َبا‬


‫ب‬ ٌ ‫ار‬ َ ‫ِك َتابٌ َأ ْن َز ْل َناهُ ِإلَي‬
َ ‫ْك ُم َب‬

“Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya mereka
memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”
(QS. Shad, 38: 29)

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hadits yang membicarakan tentang perintah untuk tadabbur
banyak sekali. Perkataan ulama salaf pun amat banyak tentang anjuran tersebut. Ada cerita bahwa
sekelompok ulama teladan (ulama salaf) yang hanya membaca satu ayat yang terus diulang-ulang dan
direnungkan di waktu malam hingga datang Shubuh. Bahkan ada yang membaca Al-Qur’an karena
saking mentadabburinya hingga pingsan. Lebih dari itu, ada di antara ulama yang sampai meninggal
dunia ketika mentadabburi Al-Qur’an.” (At-Tibyan, hlm. 86)

Diceritakan oleh Imam Nawawi, dari Bahz bin Hakim, bahwasanya Zararah bin Aufa, seorang ulama
terkemuka di kalangan tabi’in, ia pernah menjadi imam untuk mereka ketika shalat Shubuh. Zararah
membaca surat hingga sampai pada ayat,

َ ِ‫ور َف َذل‬
‫ك َي ْومَِئ ٍذ َي ْو ٌم عَسِ ي ٌر‬ ِ ُ‫َفِإ َذا ُنق َِر فِي ال َّناق‬

“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit.” (QS. Al-Mudattsir:
8-9). Ketika itu Zararah tersungkur lantas meninggal dunia. Bahz menyatakan bahwa ia menjadi di antara
orang yang memikul jenazahnya. (At-Tibyan, hlm. 87)

Kedua, bil-qalbil khasyi’ (dengan hati yang khusyu).

Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ِين ُأو ُتوا ْال ِك َت‬


ْ ‫اب مِنْ َق ْب ُل َف َطا َل َعلَي ِْه ُم اَأْل َم ُد َف َق َس‬
‫ت قُلُو ُب ُه ْم‬ َ ‫َألَ ْم َيْأ ِن لِلَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنوا َأنْ َت ْخ َش َع قُلُو ُب ُه ْم لِذ ِْك ِر هَّللا ِ َو َما َن َز َل م َِن ْال َح ِّق َواَل َي ُكو ُنوا َكالَّذ‬
َ ُ‫َو َكثِي ٌر ِم ْن ُه ْم َفاسِ ق‬
‫ون‬

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah
dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang
yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas
mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (QS. Al-Hadid, 57: 16)

Ibnu Rajab berkata tentang makna khusyu: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan,
ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala).”

Ketiga, bit-ta’dzim (disertai pengagungan).


Pengagungan yang terpenting adalah dengan cara mengagungkan perintah dan larangan yang
terkandung di dalam Al-Qur’an. Pengagungan juga nampak dari gerak-gerik lahiriyah, seperti disebutkan
firman Allah Ta’ala,

‫ان سُجَّ ًدا‬ َ ‫ِين ُأو ُتوا ْالع ِْل َم مِن َق ْبلِ ِه ِإ َذا ُي ْتلَ ٰى َعلَي ِْه ْم َيخ‬
ِ ‫ِرُّ‌ون لَِأْل ْذ َق‬ َ ‫ِإنَّ الَّذ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila dibacakan kepada mereka,
mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.“ (QS. Al-Israa’, 17: 107).

Juga dalam firman-Nya,

ُ ‫ِإ َذا ُت ْتلَ ٰى َعلَي ِْه ْم آ َي‬


‫ات الرَّ‌حْ َم ٰـ ِن َخرُّ‌وا سُجَّ ًدا َو ُب ِك ًّيا‬

“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur
dengan bersujud dan menangis. “(QS. Maryam,[19: 58).

Diriwayatkan dengan sanad yang jayyid bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ْ‫ا ُ ْتلُ ْوا ْالقُر‬


‫ َفِإنْ لَ ْم َت ْب ُك ْوا َف َت َبا ُك ْوا‬.‫آن َوا ْب ُك ْوا‬

“Bacalah Al-Qur’an dan menangislah. Apabila kamu tidak bisa menangis, maka berpura-puralah
menangis.” (HR. Ibnu Majah)

Keempat, lit-tanfizh (bertekad untuk melaksanakannya).

Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ار ًة لَنْ َتب‬


‫ُور‬ َ ‫صاَل َة َوَأ ْن َفقُوا ِممَّا َر َز ْق َنا ُه ْم سِ ًّرا َو َعاَل ِن َي ًة َيرْ ج‬
َ ‫ُون ت َِج‬ َّ ‫اب هَّللا ِ َوَأ َقامُوا ال‬ َ ُ‫ِين َي ْتل‬
َ ‫ون ِك َت‬ َ ‫ِإنَّ الَّذ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan
sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fathir, 35: 29)

Mengenai ayat ini Al-Qurthubi berkata: “Orang-orang yang membaca dan mengetahui serta
mengamalkan isi Al-Qur’an yaitu mereka yang mengerjakan shalat fardhu dan yang sunnah demikian
juga dalam berinfaq.”

Sedangkan Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabarkan keadaan hamba-hamba-Nya
yang mukmin yaitu mereka yang membaca kitab-Nya, beriman dengannya, dan beramal sesuai dengan
yang diperintahkan seperti mengerjakan shalat dan menunaikan zakat.”

Allahu A’lam…

You might also like