You are on page 1of 21

METODE PELAKSANAAN PENINGKATAN

KEKUATAN PERKERASAN JALAN

1. LATAR BELAKANG
Jalan Boulevard Harvest City lapisan perkerasannya pada saat perencanaan
dulu hanya untuk kendaran dengan tekanan gandar 8 ton. Karena adanya
perkembangan kendaraan yang melalui Jalan Boulevard ini, Harvest City
bermaksud untuk meningkatkan kemampuan daya dukung jalan sampai
dengan total berat kendaraan 60 ton. Untuk hal tersebut Harvest City
meminta PT. Binarthama Kharisma untuk mengajukan penawaran dan
metodologi pelaksanaan untuk perencanaan perkerasan Jalan Boulevard
supaya mampu dilewati kendaraan dengan kapasitas 60 ton.

2. METODE PELAKSANAAN
Untuk melaksanakan pekerjaan ini, tahap-tahap pekerjaannya meliputi :
1. Test Pit,
2. DCP,
3. Pengambilan sampel perkerasan (Core Drill),
4. Test Kekuatan Perkerasan (Hasil Core Drill),
5. Perencanaan Perkerasan.

3. METODE PELAKSANAAN
3.1. PEKERJAAN PERENCANAAN JALAN
1. Test Pit
Test pit dilakukan pada bahu jalan yang menempel langsung dengan
perkerasan jalan.
Test pit diperlukan untuk mengetahui susunan atau komposisi dan
ketebalan lapis perkerasan jalan yang ada (Tebal lapisan beton, tebal LPA
dan LPB).
Pada lubang test pit ini langsung akan dilakukan juga test DCP untuk
mengetahui nilai CBR dari sub grade. Pelaksanaan test pit dilakukan
setiap jarak 200 meter sepanjang ruas jalan yang direncanakan.
2. Dynamic Cone Penetrometer (DCP).
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menilai CBR lapisan sub grade
dalam hal ini lapisan tanah di bawah lapisan berbutir.
Pemeriksaan Dynamic Cone Penetrimeter (DCP) dilakukan dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Alat DCP yang dipakai harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan
ukuran seperti yang diberikan dalam gambar 1.

Gambar 1. Alat Pengujian DCP

2. Pemeriksaan dilakukan dengan interval pemeriksaan setiap 200 m


sesuai dengan lubang test pit yang sudah direncanakan diatas
sepanjang ruas jalan yang ditetapkan.
3. Pemeriksaan dilakukan hingga kedalaman 90 cm dari permukaan
lapisan dasar, kecuali bila dijumpai lapisan tanah yang sangat keras
(lapis batuan).
4. Selama pemeriksaan harus dicatat keadaan-keadaan khusus yang
perlu diperhatikan seperti timbunan, kondisi drainase, cuaca, waktu
dan sebagainya.
5. Data yang diperoleh dari pemeriksaan ini dicatat dalam formulir
standar.
3. Core Drill
Metode core drill adalah suatu metode yang melakukan pengambilan
sampel beton pada suatu struktur perkerasan jalan. Sampel yang telah
diambil tersebut (bentuk silinder) selanjutnya akan dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan sebuah pengujian seperti Kuat Tekan.
Dalam sebuah uji bor inti telah di pilih, maka harus ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan (SK SNI-61-1990-03):
1. Pengeboran yang dilakukan harus tegak lurus dengan permukaan
pada beton.
2. Lubang bekas pengeboran harus segera diisi dengan beton yang
mutunya minimal sama baiknya.

Gambar 2. Alat Uji Core Drill


Gambar 3. Pompa Air untuk Pengujian Core Drill

Pelaksanaan Core Drill Test yang dilakukan:


1. Alat akan diletakan pada lapisan perkerasan yang akan dilakukan
pengujian dengan posisi datar.
2. Lalu kemudian harus menyediakan air dengan alat yang ada sistem
pompanya.
3. Kemudian air tersebut dimasukkan ke alat Core Drill dengan selang
kecil pada tempat yang sudah disediakan pada alat tersebut yang
digunakan sehingga alat tersebut tidak akan mengalami kerusakan
terutama pada mata bor yang berbentuk silinder selama masa proses
pengujian coring beton atau coring aspal.
4. Jika semua sudah siap lalu dihidupkan dengan alat tersebut dengan
menggunakan tali yang dililitkan pada starter alat dan ditarik hingga
hidup.
5. Kemudian alat tersebut akan hidup mata bor diturunkan secara
perlahan pada titik yang sudah ditentukan sebelumnya hingga
kedalaman tertentu, kemudian setelah masuk pada kedalaman yang
sudah ditentukan maka alat dimatikan dan mata bor dinaikkan keatas.
6. Hasil dari pengeboran yang sudah dilakukan, diambil dengan
menggunakan penjepit yang sudah tersedia, dan setelah itu dilakukan
pengukuran tebal dan dimensinya.

Dalam pelaksanaan uji alat core drill perlu diperhatikan kontinuitas


pemakaian air karena jika ada keterlambatan dalam pemberian air pada
ujung mata bor, akan menyebabkan terjadinya kerusakan dari alat
tersebut. Sample yang sudah didapat kemudian dilakukan pengujian pada
laboratorium untuk mendapatkan nilai kuat tekan beton struktur.
Pemeriksanaan diatas dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara tepat
dan detail susunan struktur dari sebuah konstruksi jalan, jenis
perkerasan, persentase susunan atau dapat juga untuk memeriksa
perubahan dari struktur jalan, serta cara kerja alat dari mesin coring.

Evaluasi kuat tekan beton dari pengujian core drill


Pengujian kuat tekan beton inti hasil pemboran bertujuan untuk
memperkirakan nilai kuat tekan beton pada komponen struktur
terpasang. Benda uji beton inti ialah benda uji beton berbentuk silinder
hasil pengeboran beton pada struktur yang sudah ada.
Kuat Tekan Beton Inti
Kuat tekan benda uji beton inti dihitung dengan menggunakan rumus :
P
f ' c=
A
Menurut SNI 03-2492-2002 tentang Metode Pengambilan dan Pengujian
Beton Inti, ketelitiannya bisa mencapai 0.5 MPa Dimana :
F’c = kuat tekan (MPa)
P = beban uji hancur yang ditunjukkan oleh mesin uji tekan (N)
A = luas penampang benda uji (mm²)
Sebelum dilakukan uji kuat tekan terlebih dahulu benda uji harus
dikaping. Lapisan untuk kaping harus setipis mungkin dan tebalnya tidak
boleh melebihi 10 mm.
Kuat Tekan Beton Inti Terkoreksi
Dalam penentuan kuat tekan beton inti terkoreksi, terdapat beberapa
faktor pengali untuk koreksi kuat tekan benda uji yang ada. Adapun
faktor-faktor pengali tersebut adalah berikut :
a. Faktor Pengali C0
Faktor pengali ini berhubungan dengan arah pengambilan benda uji
beton inti pada struktur yang ada. Ketentuan mengenai faktor pengali
Co adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Faktor Pengali Co

b. Faktor Pengali C1
Faktor pengali yang berhubungan dengan rasio panjang sesudah
diberi lapisan untuk kaping dengan diameter benda uji. Digunakan
faktor koreksi C1 apabila rasio panjang dan diameter banda uji: l/D <
1.94, kuat tekan beton inti harus dikalikan dengan faktor pengali
seperti yang tercantum pada tabel di bawah. Apabila tidak terdapat
pada tabel berikut, maka dapat dicari dengan cara interpolasi. Tabel
yang disajikan hanya berlaku untuk beton normal dan beton ringan
dengan berat isi antara 1600-1900 kg/m³ dan untuk beton dengan
kuat tekan antara 13.8 - 41.4 MPa.
Tabel 2. Faktor Koreksi C1
c. Faktor Pengali C2
Digunakan karena adanya kandungan tulangan besi dalam benda uji
beton inti yang letaknya tegak lurus terhadap sumbu benda uji.

4. METODE PERHITUNGAN PERENCANAAN LAPIS PERKERASAN


Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar
(subgrade) yang berfungsi untuk menopang beban lalu-lintas, dimana
terdapat dua jenis perkerasan yakni perkerasan lentur ( flexible pavement)
dan perkerasan kaku (rigid pavement).
Perencanaan lapisan perkerasan ini mengacu pada AASHTO ( American
Association of State Highway and Transportation Officials ) guide design of
pavement structures 1993 (selanjutnya disebut AASHTO 1993). Langkah-
langkah/tahapan, prosedur dan parameter-parameter perencanaan secara
praktis diberikan sebagai berikut di bawah ini.
Parameter perencanaan terdiri:
 Analisis lalu lintas : mencakup umur rencana, lalu lintas harian rata-rata,
pertumbuhan lalu lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent single
axis load.
 Initial serviceability
 Serviceability loss
 Reliability
 Standar normal deviasi
 Standar deviasi
 CBR dan Modulus reaksi tanah dasar
 Modulus elastisitas beton, fungsi dari kuat tekan beton
 Flexural strength
 Drainage coefficient
 Load transfer coefficient

Bagan alir prosedur perencanaan diperlihatkan seperti pada Gambar dibawah


ini :
Gambar 4. Bagan Alir Perencanaan

4.1. Analisa Lalu Lintas


 Umur Rencana
Umur rencana rigid pavement umunya diambil 20 tahun untuk konstruksi
baru.
 Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) dan Pertumbuhan Lalu Lintas
Tahunan.

Ciri pengenalan penggolongan kendaraan seperti dibawah ini :

Tabel 3. Penggolongan Kendaraan


Golongan/ Jenis kendaraan yang masuk kelompok
Kelompok ini adalah
Sepeda motor, skuter, sepeda kumbang, dan
1
kendaraan bermotor roda 3
2 Sedan, Jeep dan Station Wagon
Opelet, Pick-up opelet, Suburban, Combi,
3
Minibus
Pick-up, Mikro truk, mobil hantaran/ Pick-up
4
Box
5a Bus Kecil
5b Bus Besar
6 Truk 2 sumbu
Golongan/ Jenis kendaraan yang masuk kelompok
Kelompok ini adalah
7a Truk 3 sumbu
7b Truk Gandengan
7c Truk semi Trailer
Kendaraan tidak bermotor, sepeda, becak,
8
andong/dokar, gerobak sapi.

Data yang dibutuhkan untuk perencanaan dari parameter lalu lintas harian
rata-rata dan pertumbuhan lalu lintas tahunan, untuk memudahkan dalam
analisis, disajikan dalam suatu tabel, dalam tabel ini digabungkan sekalaian
data/parameter vehicle damage factor (VDF).
Vehicle Damage Factor (VDF) menggunakan Bina Marga MST-10. Angka
ekivalen bebna sumbu kendaraan adalah angka yang menyatakan
perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban
sumbu tunggal/ganda kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang
ditimbulkan oleh satu lintasan beban sumbu tunggal seberat 8.16 ton (18000
lb). Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap
kendaraan) ditentukan menurut rumus dibawah ini :

( )
4
Beban satu sumbutunggal dalam Kg
Sumbu tunggal=
8160

( )
4
Beban satu sumbu tunggal dalam Kg
Sumbu ganda=0.086
8160

Vehicle Damage Factor (VDF) jika dihitung berdasarkan formula diatas


dengan konfigurasu sumbu pada Tabel dibawah ini serta untuk muatan
sumbu terberat 10 ton hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Vehicle Damage Factor Berdasar Bina Marga MST-10
No. Tipe Kendaraan Golongan Nilai VDF
1 Sedan, Jeep, St. Wagon 2 0.0005
2 Pick-up, combi 3 0.2174
3 Mobil Hantaran 4 0.2174
4 Bus Kecil 5a 0.2174
5 Bus Besar 5b 0.3006
6 Truck 2 Sumbu 6 2.4159
7 Truck 3 Sumbu 7a 2.7416
8 Truck Gandengan 7b 3.9083
9 Truck Trailer 7c 4.1718
 Traffic Design
Data dan parameter lalu lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal
perkerasan meliputi :
 Jenis kendaraan
 Volume lalu lintas harian rata-rata
 Pertumbuhan lalu lintas tahunan
 Damage factor
 Umur rencana
 Faktor distribusi
 Faktor distribusi jalur
 Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur rencana ( traffic
design)

Faktor distribusi arah DD = 0.3 – 0.7 dan umumnya diambil 0.5 (AASHTO
1993 halaman II-9). Faktor distribusi lajur (D L), mengacu pada Tabel 5
(AASHTO 1993 halaman II-9).
Tabel 5. Faktor Distribusi Lajur
Jumlah Lajur Setiap DL (%)
Arah
1 100
2 80 – 100
3 60 - 80
4 50 - 75

Rumus umum design traffic (ESAL = Equivalent Single Axle Load) :


N=n
W 18= ∑ LHR j x VDF j x DD x D L x 365
N =1

Dimana:
W18 = Traffic design pada lajur lalu lintas, Equivalent Single Axle
Load.
LHRj = Jumlah lalu lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis
kendaraan j.
VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j.
DD = Faktor distribusi arah.
DL = Faktor distribusi jalur.
N1 = Lalu lintas pada tahun pertama jalan dibuka.
Nn = Lalu lintas pada akhir umur rencana

4.2. CBR (California Bearing Ratio)


California Bearing Ratio (CBR), dalam perencanaan perkerasan kaku
digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus rekasi tanah dasar
(modulus of subgrade reaction : k)
CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6% untuk lapisan
tanah dasar, mengacu pada spesifikasi (versi Departemen Pekerjaan Umum
edisi 2005 dan versi Dinas Pekerjaan DKI Jakarta edisi 2004).
Perkuatan CBR untuk perencanaan ini adalah sebagai berikut :
CBR of Perkuatan Subgrade CBR (%) Ketebalan (cm)
Lean Concrete 100 10 46.41589
Ekivalen
Lapisan Kelas A (CBR %) 85 15 65.95245 214.9669 16.17551 100%
CBR %
Tanah Asli (CBR %) 5 60 102.5986
CBR Rencana 16.18 %

4.3. Material Konstruksi Perkerasan


Material pekerjaan yang digunakan dengan parameter yang terkait dalam
perencanaan tebal perkerasaan sebagai berikut :
Pelat beton
 Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2
 Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : fc’ = 350kg/cm2
(disarankan)

4.4. Reliability
Reliability ; Probabalitas bahwa perkerasan yang direncanakan akan tetap
memuaskan selama masa layannya.
Penetapan angka Reliability dari 50% sampai 99.99% menurut AASHTO
merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi
kemungkinan melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin
tinggi reliability yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi kemungkinan
terjadinya selisih (deviasi) desain. Besaran-besaran desain yangterkai dengan
ini antara lain :
 Peramalan kinerja perkerasan.
 Peralaman lalu lintas
 Perkiraan tekanan gandar.
 Pelaksanaan kontruski.

(1) Kinerja perkerasan diramaikan pada angka desain Terminal


Serviceability pt = 2.5 (untuk jalan raya utama), p t = 2.0 (untuk jalan
lalu lintas rendah) dan Initial Serviceability po = 4.5 (angka ini bergerak
dari 0 – 5)
(2) Peramalan lalu lintas dilakukan dengan studi tersendiri, bukan hanya
didasarkan rumus empiris. Tingkat kehandalan jauh lebih baik
dibandingkan bila dilakukan secara empiris, linear atau data sekunder.
(3) Perkiraan tekanan gandar yang diperoleh secara primer dari WIM
survey, tingkat kehandalannya jauh lebih baik dibandingkan
menggunakan data sekunder.
(4) Dalam pelaksanaan konstruksi, spesifikasi sudah membatasi
tingkat/syarat agar perkerasan sesuai (atau lebih) dari apa yang
diminta desain. Bahkan desain merupakan syarat minimum dalam
spesifikasi.

Mengkaji keempat faktor diatas, penetapan besaran dalam desain sebetulnya


sudah menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi. Tetapi
tidak ada satu jaminan pun berapa besar dari keempat faktor tersebut
menyimpang. Reliability (R) mengacu pada Tabel 6 dibawah ini (diambil dari
AASHTO 1993 halaman II-9). Standard normal deviate (ZR) mengacu pada
tabel 7 dibawah ini (diambil dari AASHTO 1993 halaman I-62). Standard
deviation untuk rigid pavement : So = 0.30 – 0.40 (diambil dari AASHTO 1993
halaman I-62).
Tabel 6. Reliability (R) disarankan
Klasifikasi Reliability : R (%)
Jalan Urban Rural
Jalan Tol 85 – 99.9 80 – 99.9
Arteri 80 – 99 75 - 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 - 80 50 - 80
Tabel 7. Standard Normal Deviation (ZR)
R (%) ZR R (%) ZR
50 -0.000 93 -1.476
60 -0.253 94 -1.555
70 -0.524 95 -1.645
75 -0.674 96 -1.751
80 -0.841 97 -1.881
85 -1.037 98 -2.054
90 -1.282 99 -2.327
91 -1.340 99.9 -3.090
92 -1.405 99.99 3.750

4.5. Serviceability
Terminal serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 8 dibawah ini (diambil
dari AASHTO 1993 halaman II-10). Initial serviceability untuk rigid pavement :
po = 4.5 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-10).

Total loss of serviceability : ΔPSI = po – pt

Tabel 8. Terminal Serviceability Index (pt)


Percent of People
pt
Stating Unacceptable
12 3.0
55 2.5
85 2.0

4.6. Modulus Reaksi Tanah Dasar


Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan grafik
penentuan modulus reaksi tanah dasar berdasar ketentuan CBR tanah dasar.
MR = 1500 x CBR
MR
k=
19.4
MR = Resilient Modulus

Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction , menggunakan Grafik pada


Gambar 5 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-42). Faktor Loss of Support
(LS) mengacu pada tabel 9 (AASHTO 1993 halaman II-27).
Effective modulus of subgrade Reaction k (pci)
(Corected for Potential Loss Support)

Effective Modulus of Subgrade Reaction, k (pci)


Correction of Effective modulus of Subgrade Reaction for Potensial Loss Subbase
Support

Gambar 5.
Tabel 9. Loss of Support Factors (LS)
No. Tipe Material LS
1. Cement Treated Granular Base (E = 1,000,000 – 2,000,000 psi) 0–1
2. Cement Aggregate Mixtures (E = 500,000 – 1,000,000 psi) 0–1
3. Asphalt Trated Base (E = 350,000 – 1,000,000 psi) 0–1
4. Bituminos Stabilized Mixtures (E = 40,000 – 300,000 psi) 0–1
5. Lime Stabilized (E = 20,000 – 70,000 psi) 1–3
6. Unbound granular Materials (E = 15,000 – 45,000 psi) 1–3
7. Fine grained/Natural subgrade materials (E = 3,000 – 4,000 psi) 2-3

Modulus reaksi tanah dasar : k (psi/m)


Gambar 6. Hubungan Antara (k) dan (CBR)
4.7. Modulus Elastisitas Beton
Ec =57,000 √ f c '
Dimana :
Ec = Modulus Elastisitas Beton (psi).
fc' = Kuat Tekan Beton, silinder (psi).

Kuat tekan beton fc’ ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan (jika ada
dalam spesifikasi). Di Indonesia saat ini umunya digunakan : f c’ = 350 kg/cm2.

4.8. Flexural Strength


Flexural strength (modulus of rupture) ditetapkan sesuai pada Spesifikasi
pekerjaan. Flexural strength di Indonesia saat ini umumnya digunakan : S c’ =
45 kg/cm2 = 640 psi.

4.9. Drainage Coefficient


 Variabel Faktor Drainase
AASHTO memberikan 2 variabel untuk menentukan nilai koefisien
drainase :
 Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good, fair,
poor, very poor. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air dapat
dibebaskan dari pondasi perkerasaan.
 Variabel kedua : persentasi struktur perkerasan dalam satu tahun
terkena air sampai tingkat mendekati jenuh air ( saturated) dengan
variasi < 1%, 1 – 5%, 5 – 25%, > 25%.
 Penetapan Mutu Darinase
Penetapan variabel pertama mengacu pada Tabel 10 (diambil dari
AASHTO 1993 halaman II-22) dan dengan pendekatan sebagai berikut :
a. Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk
kedalam pondasi jalan, relatif kecil berdasar hidrologi berkisar 70% -
95% air yang jatuh di atas jalan akan masuk ke sistem drainase
(sumber : BINKOT Bina Marga & Hidrologi Imam Subarkah). Kondisi
ini dapat dilihat acuan koefisien pengaliran pada tabel 11 dan 12.
b. Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi
jalan, ini pun relatif kecil terjadi, karena adanya road side ditch, cross
drain juga muka air tertinggi di desain terletak dibawah subgrade.
c. Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi
hujan selama 3 jam per hari dan jarang sekali terjadi hujan terus
menerus selama 1 minggu.

Maka waktu pematusan 3 jam (bahkan kurang bila memperhatikan butir


b.) dapat diambil sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase,
sehingga pemilihan mutu drainase adalah berkisar Good, denan
pertimbangan air yang mungkin masih akan masuk, quality of drainage
diambil kategori Fair.
Untuk kondisi khusus, misalnya sistem drainase sangat buruk, muka air
tanah terletak cukup tinggi mencapai lapisan tanah dasar dan sebagainya
dapat dilakukan kajian tersendiri.
Tabel 10. Quality of Drainage
Quality of Water Removed
Drainage Within
Excllent 2 jam
Good 1 hari
Fair 1 minggu
Poor 1 bulan
Very Poor Air tidak terbebaskan

Tabel 11. Koefisien Pengaliran C (Binkot)


No Kondisi Permukaan Tanah Koefisien Pengaliran
. (C)
1. Jalan beton dan jalan aspal 0.70 – 0.95
2. Bahu jalan :
- Tanah berbutir halus 0.40 – 0.65
0.10 – 0.20
- Tanah berbutir kasar 0.70 – 0.85
- Batuan masif keras 0.60 – 0.75

- Batuan masif lunak


Sumber : Petunjuk desain drainase permukaan jalan No. 008/T/BNKT/1990, Binkot Bina Marga, Dep. PU
1990.
Tabel 12. Koefisien Pengaliran C (Hidrologi, Imam Subarkah)
Tipe Daerah C
Aliran
Jalan : Beraspal 0.70 – 0.95
Beton 0.80 – 0.95
Batu 0.70 – 0.85
Sumber : Hidrologi, Imam Subarkah

4.10. Load Transfer


Load transfer coefficient (J) mengacu Tabel 13 (diambil dari AASHTO 1993
halaman II-26 dan AASHTO 1993 halaman III-132).
Tabel 13. Load Transfer Coefficient
Shoulder Asphalt Tied PCC
Load Transfer Devices Yes No Yes No
Pavemnet Type
1. Plain Jointed & Jointed Reinforced 3.2 3.8-4.4 2.5-3.1 3.6-4.2
2.9– N/A 2.3-2.9 N/A
2. CRCP
3.2

Pendekatan penetapan parameter load transfer :


 Joint dengan dowel : J = 2.5 – 3.1 (diambil dari AASHTO 1993
halaman II-26).
 Untuk overlay design : J = 2.2 – 2.6 (diambil dari AASHTO 1993
halaman III-132).

4.11. Persamaan Penentuan Tebal Pelat (D)

Dimana :
W18 = Traffic design, Equivalent Single Axle Load (ESAL).
ZR = Standar normal deviasi.
So = Standar deviasi.
D = Tebal pelat beton (inches).
ΔPSI = Serviceability Loss = po – pt
po = Initial serviceability.
pt = Terminal serviceability index.
S o’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi).
Cd = Drainage coefficiecnt.
J = Load transfer coefficient.
Ec = Modulus elastisitas (psi).
k = Modulus reaksi tanah dasar (pci).

You might also like