You are on page 1of 65

ANALISIS KESTABILAN LOKAL MODEL DINAMIKA PENULARAN

TUBERKULOSIS SATU STRAIN DENGAN TERAPI DAN


EFEKTIVITAS CHEMOPROPHYLAXIS

MARSIANA ELSA DEVIANI

H1011211051

SKRIPSI

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2013

1
ANALISIS KESTABILAN LOKAL MODEL DINAMIKA PENULARAN
TUBERKULOSIS SATU STRAIN DENGAN TERAPI DAN
EFEKTIVITAS CHEMOPROPHYLAXIS

MARSIANA ELSA DEVIANI

H1011211051

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Sains dalam Bidang Matematika

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2013

2
3
ANALISIS KESTABILAN LOKAL MODEL DINAMIKA PENULARAN
TUBERKULOSIS SATU STRAIN DENGAN TERAPI DAN EFEKTIVITAS
CHEMOPROPHYLAXIS

INTISARI

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh strain Mycobacterium


tuberculosis. Ketika M.tuberculosis berpatogen tertular pada individu rentan, maka
individu rentan akan mengalami gejala Tuberkulosis. Pembentukan model penularan
Tuberkulosis satu strain dimulai dengan membagi populasi menjadi 3 sub-populasi, yaitu
sub-populasi rentan ( S), sub-populasi terjangkit ( E), dan sub-populasi terinfeksi ( I)
berdasarkan progres cepat dan lambat, efektivitas Chemoprophylaxis, serta pemberian
terapi. Dari model yang terbentuk diperoleh 2 titik ekuilibrium yaitu titik ekuilibrium
bebas penyakit dan endemik. Rasio reproduksi dasar ( R0 ) diperoleh dari titik ekuilibrium
berguna untuk mengukur tingkat penularan strain M.tuberculosis. Untuk menganalisis
kestabilan lokal digunakan nilai eigen dari matriks Jacobian dan Kriteria Routh-Hurwitz.
Dari hasil analisis diketahui sistem di sekitar titik ekuilibrium bebas penyakit stabil
asimtotik lokal pada saat R0 <1 yang menunjukkan bahwa dalam waktu lama tidak ada
individu yang terjangkit penyakit dan titik ekuilibrium endemik stabil asimtotik lokal
pada saat R0 >0 yang menunjukkan bahwa dalam waktu lama tetap ada individu yang
terinfeksi penyakit Tuberkulosis. Berdasarkan simulasi dengan nilai parameter yang
ditetapkan menunjukkan laju penyebaran penyakit dapat dihambat dengan adanya
perlakuan terapi dan efektivitas Chemoprophylaxis.

Kata kunci : model tuberkulosis, titik ekuilibrium, nilai eigen, matriks Jacobian, Kriteria
Routh-Hurwitz

4
LOCAL STABILITY ANALYSIS OF THE TRANSMISSION DYNAMICS OF ONE STRAIN
TUBERCULOSIS MODEL WITH THERAPEUTIC AND EFFECTIVE
CHEMOPROPHYLAXI

ABSTRACT

Tuberculosis is an infectious disease caused by Mycobacterium Tuberculosis strain. When


Mycobacterium Tuberculosis in infected individuals who pathogen infected in susceptible
individuals, then susceptible individuals will to experience symptoms of tuberculosis. The
transmission of one strain tuberculosis can make model in 3 class, i.e. Susceptible (S),
Exposed (E), and Infectious (I ) incorporates fast and slow progression, effective
chemoprophylaxis and therapeutic treatment. Model building based Susceptible (S),
Exposed (E), and Infectious (I ) are called SEI model, From SEI model we get two
equilibrium points, i.e. free disease equilibrium and endemic equilibrium. We get the
basic reproduction ratio (R0 ) from equilibrium points, which is have function to meisure
the spread of the strain Mycobacterium Tuberculosis. To analyze the stability, we used
eigen value of Jacobian matrix and Routh-Hurwitz Criterion. From analyze of stability,
free disease equilibrium is local asymptotic stable if R0 <1 and endemic equilibrium is
local asymptotic stable if R0 >1. The interpretation model in graph used maple and
matlab help incorporates parameter value who refer R0 value.

Keyword : tuberculosis model, equilibrium point, eigen value, Jacobian matrix, Routh-
Hurwitz Criterion

5
DAFTAR ISI

INTISARI...........................................................................................................................i
ABSTRACT.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Permasalahan...................................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................2
1.4 Pembatasan masalah........................................................................................3
1.5 Tinjauan Pustaka.............................................................................................3
1.6 Metodologi Penelitian.......................................................................................4
BAB II LANDASAN TEORI...........................................................................................6
2.1 Sistem Persamaan Diferensial...............................................................................6
2.2 Model Matematika.................................................................................................7
2.3 Penyakit Tuberkulosis.........................................................................................10
2.3.1 Gejala dan Penularan Penyakit Tuberkulosis.............................................11
2.3.2 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis..............................................................12
2.4 Nilai Eigen.............................................................................................................14
2.5 Kestabilan Titik Ekuilibrium..............................................................................16
2.6 Kriteria Ruith-Hurwitz........................................................................................20
BAB III PEMBAHASAN................................................................................................24
3.1 Pembentukan Model Penularan Tuberkulosis Satu Strain...............................24
3.2 Analisis Model Penularan Tuberkulosis Satu Strain.........................................29
3.2.1 Titik Ekuilibrium Model..............................................................................29
3.2.2 Analisis Kestabilan Titik Ekuilibrium Model...........................................34
3.3 Solusi Numerik dan Interpretasi Model.............................................................50
BAB IV PENUTUP........................................................................................................56
4.1 Kesimpulan...........................................................................................................56
4.2 Saran.....................................................................................................................56

6
DAFTAR GAMBAR

7
8
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Model matematika merupakan sekumpulan persamaan atau pertidaksamaan


matematika yang menjelaskan perilaku-perilaku suatu permasalahan nyata. Model
matematika dibentuk dari masalah nyata dan asumsi. Model matematika banyak
digunakan dalam berbagai bidang ilmu, seperti fisika, biologi, kimia, kedokteran,
teknik, dan komputer. Pada bidang kedokteran model matematika digunakan
untuk mengetahui pola penyebaran suatu penyakit menular maupun tidak menular
dan jumlah individu yang terserang penyakit, baik yang berupa epidemis
maupun non epidemis. Kejadian epidemis adalah kejadian penyebaran atau
mewabahnya penyakit dalam suatu wilayah. Dinamika populasi membahas
mengenai laju ukuran populasi. Dalam matematika proses perubahan populasi
dikenal dengan diferensial. Salah satu penyebab terjadinya perubahan-perubahan
dalam ukuran populasi adalah kematian akibat penyakit, salah satunya
Tuberkulosis (Campbell et al., 2004).
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan di
Indonesia maupun di dunia. Penularan bakteri M.tuberculosis pada orang sehat
dapat menyebabkan kematian bagi penderita yang terinfeksi. Hal ini merupakan
salah satu masalah besar yang perlu ditangani oleh segenap lapisan masyarakat
dan seluruh petugas kesehatan di dunia. Berdasarkan portal berita digital
Kompas.com (2012) secara global jumlah orang yang terinfeksi Tuberkulosis
tahun 2011 turun dari angka yang diprediksi organisasi kesehatan dunia WHO.
Namun, dalam portal berita Kompas juga menyebutkan, WHO mengingatkan
masih adanya penyebaran Tuberkulosis yang kebal obat. Dalam laporan tahun
2012, WHO memperkirakan ada 8,7 juta kasus TB pada tahun 2011, turun dari
8,8 juta kasus pada tahun 2010. Jumlah angka kematian masih belum berubah
sekitar 1,4 juta jiwa sehingga penyakit menular ini termasuk dalam penyebab

9
kematian terbesar kedua setelah AIDS. WHO menjelaskan bahwa angka tersebut
bukanlah angka pasti karena untuk mendapatkan jumlah pasti kasus TB setiap
tahunnya biayanya sangat mahal dan rumit.
Untuk itu, dalam penelitian ini direpresentasikan penularan Tuberkulosis satu
strain (varian M.tuberkulosis) pada suatu populasi sehingga populasi dapat
dikontrol dengan ukuran variabel tertentu, yaitu dengan mengelompokkan
populasi tersebut dalam tiga sub-populasi, yaitu sub-populasi rentan (S), sub-
populasi terjangkit (E), dan sub-populasi terinfeksi (I). Ketika strain
M.tuberculosis yang berpatogenitas ditularkan dari sub-populasi terinfeksi ke sub-
populasi rentan, maka individu pada sub-populasi rentan akan mengalami gejala
penyakit Tuberkulosis. Setiap penginfeksian diasumsikan terjadi dua progres yaitu
progres yang sangat cepat yang mengakibatkan individu rentan langsung
terinfeksi dan progres lambat mengakibatkan individu rentan menjadi terjangkit
penyakit tuberkulosis yang bersifat tidur (dormant). Adanya efektivitas obat anti
Tuberkulosis (Chemoprophylaxis) yang diberikan pada individu terjangkit dan
perlakuan terapi pada individu terinfeksi merupakan upaya petugas kesehatan
dalam mengurangi tingkat penularan penyakit Tuberkulosis. Setelah itu, model
yang terbentuk dianalisis kestabilannya, yaitu kestabilan lokal asimtotik model di
sekitar titik ekuilibrium bebas penyakit dan titik ekuilibrium endemik serta
menginterpretasikan model dalam bentuk grafik.

1.2 Permasalahan

Dalam penulisan skripsi ini, permasalahan yang akan dibahas adalah


1. Bagaimana pembentukan model matematika penularan penyakit
Tuberkulosis satu strain dengan penambahan parameter Terapi dan
parameter Chemoprophylaxis berdasarkan pembagian sub-populasi?
2. Bagaimana kestabilan lokal asimtotik model di sekitar titik ekulilibrium
bebas penyakit dan titik ekuilibrium endemik?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

10
1. Mengkaji model matematika penularan penyakit Tuberkulosis satu strain
dengan penambahan parameter Terapi dan parameter Chemoprophylaxis
berdasarkan pembagian sub-populasi.
2. Menentukan titik ekuilibrium model penularan penyakit Tuberkulosis satu
strain.
3. Menganalisis kestabilan model tersebut di sekitar titik ekuilibrium bebas
penyakit dan titik ekuilibrium endemik.

1.4 Pembatasan masalah

Dalam penelitian ini, ruang lingkup permasalahan dalam penulisan skripsi ini
pada analisis kestabilan lokal titik ekuilibrium bebas penyakit dan titik
ekuilibrium endemik model penularan Tuberkulosis satu strain dengan jenis
Tuberkulosis secara umum berdasarkan pembagian tiga sub-populasi, yaitu sub-
populasi rentan (S), sub-populasi terjangkit (E), dan sub-populasi terinfeksi (I ).

1.5 Tinjauan Pustaka

Untuk melakukan penelitian ini, terlebih dahulu mempelajari persamaan


diferensial yaitu mengenai definisi dan teorema persamaan diferensial dan sistem
persamaan diferensial. Teori tersebut dibahas dalam buku yang ditulis oleh Ross
(2004), Pamuntjak & Santosa (1990), Finizio & Ladas (1982), dan Neuhauser
(2004). Sebelum membahas tentang model penularan penyakit Tuberkulosis satu
strain, dalam buku Suryo (2010) dan Depkes RI (2006) dibahas tentang pengertian
penyakit Tuberkulosis, gejala-gejala, resiko, dan pengobatannya. Terapi dan
Chemoprophylaxis merupakan salah satu upaya dalam pengobatan Tuberkulosis.
Sebelum membahas apakah model penularan penyakit Tuberkulosis satu strain
stabil atau tidak, terlebih dahulu dibahas mengenai definisi dan langkah-langkah
pembentukan model matematika yang terdapat dalam buku Neuhauser (2004).
Sedangkan untuk menganalis model tersebut dibahas dahulu mengenai nilai eigen
dan teorema kestabilan di sekitar titik ekuilibrium dalam buku yang ditulis oleh
Anton & Rorres (2004), Finizio & Ladas (1982), dan Hendricks & Sorensen

11
(2008). Selanjutnya dari nilai eigen dan teorema kestabilan diperoleh Kriteria
Routh-Hurwitz yang digunakan sebagai metode untuk menentukan kestabilan dari
model penularan Tuberkulosis satu strain yang dibahas dalam buku Tu (1994),
Chen (1984) dan Gantmacher (1960).
Pembentukan model penyebaran penyakit Tuberkulosis satu strain dalam
skripsi ini mengacu pada artikel international yang ditulis oleh Bowong, et al
(2011) yang berjudul “Stability Analysis of The Transmission Dinamics of
Tuberculosis Models”. Model yang terdapat pada artikel tersebut dianalisis untuk
mengetahui bagaimana pengaruh pemberian Chemoprophylaxis pada individu
terjangkit dan efektivitas terapi pada individu terinfeksi. Pembahasan dalam
artikel yang ditulis Bowong, et al (2011) masih sangat singkat. Oleh karena itu,
dalam skripsi ini akan dijabarkan dan dikaji secara jelas pembahasan model
penyebaran penyakit Tuberkulosis satu strain yang sudah tertera dalam artikel
tersebut. Titik-titik ekuilibrium, rasio reproduksi dasar, dan linearisasi dengan
matriks Jacobian akan dijabarkan lebih jelas serta akan dianalisis kestabilan lokal
model di sekitar titik ekuilibrium. Setelah itu akan dilengkapi dengan interpretasi
model berdasarkan nilai-nilai parameter yang diberikan.

1.6 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka.
Penelitian dimulai dengan mengkaji masalah nyata. Masalah yang dibahas dalam
penelitian ini adalah penularan penyakit Tuberkulosis satu strain dengan
penambahan parameter terapi dan Chemoprophylaxis. Langkah-langkah yang
dilakukan yaitu menyusun asumsi-asumsi untuk menyederhanakan model,
mendefinisikan parameter yang digunakan pada model. Setelah itu, dibentuk
diagram transfer model penularan Tuberkulosis dan berdasarkan diagram tranfer
dibentuk model penularan Tuberkulosis satu strain.
Langkah selanjutnya adalah menentukan titik ekuilibrium bebas penyakit dan
endemik model tersebut dengan menggunakan definisi titik ekuilibrium suatu
sistem. Setelah menentukan titik ekuilibrium model tersebut, langkah berikutnya
adalah menentukan kestabilan asimtotik lokal pada setiap titik ekuilibrium model

12
tersebut. Untuk menentukan kestabilan asimtotik lokal dilakukan linearisasi pada
sistem dengan membentuk matriks Jacobian sistem. Selanjutnya, menentukan
nilai-nilai eigen dari matriks Jacobian tersebut dengan menggunakan definisi nilai
eigen dari polinomial karakteristik suatu matriks dan teorema Routh-Hurwitz.
Setelah menyelidiki kestabilan lokal asimtotik model, langkah terakhir adalah
memberikan interpretasi pada model dengan memberikan nilai parameter yang
bertujuan untuk mengilustrasikan perilaku sub-populasi pada model yang
dibentuk dalam bentuk grafik dengan menggunakan program maple dan matlab.

MULAI A

Membentuk Rasio Reproduksi


Permasalahan Dunia Dasar ( R0 )
Nyata

Menentukan Nilai Eigen Polinomial


Menyusun Asumsi dan Karakteristik dengan Kriteria
Mendefinisikan Parameter Routh-Hurwitz

Menganalisis Kestabilan Model


Membentuk Diagram Transfer Tuberkulosis

Membentuk Model Matematika

Menyusun
Menentukan Titik Ekuilibrium Interpretasi

Linearisasi Model Matematika


dengan Matriks Jacobian SELESAI

Gambar 1.1 Diagram alir penentuan kestabilan lokal asimtotik model

13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Persamaan Diferensial

Pada subbab ini diterangkan definisi-definisi yang berkaitan dengan sistem


persamaan diferensial. Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat satu
atau lebih fungsi (variabel tak bebas) beserta turunannya terhadap satu atau lebih
variabel bebas. Berdasarkan variabel bebas, persamaan diferensial dibedakan
menjadi dua macam yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial
parsial. Sedangkan berdasarkan bentuk fungsi dan pangkatnya, persamaan
diferensial dibedakan menjadi dua yaitu persamaan diferensial linear dan
persamaan diferensial non linear (Ross, 2004).
Sebagai contoh:
(2.1)
y ' =xy +1

y =x + y −( x − y ) y (2.2)
'' 2 2 2 2 '

∂2 y ∂2 x ∂2 z (2.3)
− + =0
∂ t 2 ∂t 2 ∂ t 2
merupakan persamaan diferensial. Dalam persamaan (2.1) dan (2.2) fungsi
y=f ( x ) dinyatakan dengan variabel tak bebas y dan satu variabel bebas x.
Lambang y ' dan y ' ' dalam persamaan (2.1) dan (2.2) berturut-turut menyatakan
turunan pertama dan kedua dari fungsi y. Persamaan (2.1) dan (2.2) memuat
turunan biasa dan disebut persamaan diferensial biasa. Sedangkan persamaan (2.3)
disebut persamaan diferensial parsial (Finizio & Ladas, 1982).

Persamaan diferensial yang termasuk persamaan diferensial linear jika


memenuhi dua hal berikut:
1) Variabel tak bebas dan turunannya paling tinggi berpangkat satu.
2) Tidak memuat perkalian antara variabel tak bebas yang satu dengan yang
lainnya atau turunan yang satu dengan turunan yang lainnya, serta variabel
tak bebas dengan turunannya.

14
Bentuk umum persamaan diferensial linear orde-n adalah
a n ( x ) y n+ an−1 ( x ) y n−1+ ⋯+ a1 ( x ) y' +a 0 ( x ) y=f (x)
Sebagai contoh:
' 2
2 x y + y=x
'' ' '' '
2 y − y + y −5=x
Selanjutnya, persamaan diferensial non linear adalah persamaan diferensial yang
bukan persamaan diferensial linear (Pamuntjak & Santosa, 1990).

Secara bahasa “sistem” berarti sejumlah tertentu. Dengan demikian, sistem


persamaan diferensial adalah sebuah sistem yang didalamnya memuat n buah
persamaan diferensial dengan n buah fungsi yang memuat variabel tak bebas,
dengan n ≥ 2 ,n ∈ Z (Finizio & Ladas, 1982).

Bentuk umum dari suatu sistem persamaan diferensial orde pertama


mempunyai bentuk sebagai berikut:
d x1
=g1 ( t , x1 , x2 , ⋯ , x n )
dt
d x2
=g2 ( t , x 1 , x 2 , ⋯ , x n )
dt

d xn
=gn ( t , x 1 , x 2 ,⋯ , x n )
dt
Dengan x 1 , x 2 , ⋯ , x n adalah variabel bebas dan t adalah variabel tak bebas,
d xn
sehingga x 1=x 1 ( t ) , x 2=x 2 ( t ) , … , x n=x n ( t ) dimana merupakan turunan fungsi
dt
x n terhadap t, dan gi adalah fungsi yang tergantung pada variabel x 1 , x 2 , ⋯ , x n dan t
(Neuhauser, 2004).

2.2 Model Matematika

Penyelesaian masalah dalam dunia nyata dengan matematika dapat dilakukan


dengan mengubah masalah tersebut menjadi masalah matematika, proses tersebut

15
disebut pemodelan matematika. Jadi, pemodelan matematika dapat dipandang
sebagai representasi masalah nyata yang dibentuk ke dalam persamaan atau
pertidaksamaan matematika. Berdasarkan informasi-informasi yang ada maka
masalah nyata dianalisis secara matematika dengan menggunakan metode dan
teori-teori matematika (Neuhauser, 2004).
Model matematika banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu dan bidang
studi, seperti aplikasi pada bidang fisika, biologi, kedokteran, teknik, ilmu sosial
dan politik, ekonomi, bisnis, dan jaringan komputer. Dalam memodelkan
matematika seringkali memanfaatkan persamaan diferensial. Persamaan
diferensial digunakan untuk merepresentasikan proses yang kontinu dan
diskontinu, khususnya pada bidang aplikasi yang dikenal sebagai dinamika
populasi. Langkah-langkah dalam pemodelan matematika dalam permasalahan
nyata diilustrasikan dalam diagram berikut (Neuhauser, 2004).

Problem
Asumsi untuk model
Dunia Nyata

Memformulasikan
masalah matematika

Menyelesaikan
masalah matematika

Solusi & Interpretasi

Solusi Dunia Nyata Validasi Model

Gambar 2. 1 Langkah-langkah pemodelan matematika

16
Keterangan gambar:
a. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah yaitu mampu memahami masalah yang akan dirumuskan
sehingga dapat diubah ke dalam bahasa matematika.
b. Asumsi untuk model
Asumsi model yaitu dengan cara menyederhanakan banyaknya faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian yang sedang diamati dengan mengasumsi
hubungan sederhana antara variabel.
c. Memformulasikan model
Merumuskan model matematika dengan mengenali dan menamai variabel
bebas dan tak bebas, membuat anggapan yang menyederhanakan kejadian
seperlunya sehingga membuatnya dapat ditelusuri secara matematika.
Menerapkan matematika yang kita ketahui pada model matematika yang telah
dirumuskan dengan tujuan mendapatkan kesimpulan.
d. Menyelesaikan model
Setelah model diperoleh kemudian diselesaikan secara matematis, dalam hal
ini model yang digunakan dan penyelesaiannya menggunakan persamaan
diferensial.
e. Interpretasi solusi
Apabila yang membuat model mengalami kesulitan untuk menyelesaikan
model dan interpretasi model, maka kembali ke langkah 2 dan membuat
asumsi sederhana tambahan atau kembali ke langkah 1 untuk membuat
definisi ulang dari permasalahan.
f. Validasi Model
Sebelum menyimpulkan kejadian dunia nyata dari hasil model, terlebih
dahulu model tersebut harus diuji. Beberapa pertanyaan yang diajukan
sebelum melakukan uji dan mengumpulkan data, yaitu:
1) Apakah model menjawab masalah yang telah diidentifikasi?
2) Apakah data dapat dikumpulkan untuk menguji dan mengoperasikan
model dan memenuhi syarat apabila diuji.

17
Selanjutnya akan dibahas mengenai penyakit tuberkulosis, gejala, dan
pengobatannya.

2.3 Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar strain bakteri M.tuberculosis
menyerang paru-paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya, seperti
kelenjar getah bening. Strain merupakan jenis atau varian organisme yang
diturunkan oleh satu organisme yang memungkinkan memiliki sedikit sifat yang
berbeda dengan organisme lain (Prescott et al., 1996). Bakteri M.tuberculosis
akan mati jika mengenai sinar matahari secara langsung. Dalam jaringan tubuh
manusia, bakteri ini dapat bersifat dormant selama beberapa tahun. Daya
penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang
dikeluarkan dari paru-paru (Suryo, 2010).

(a) (b)
Gambar 2. 2 Foto thorax paru-paru (a) (b)
normal Sumber: kompas.com & mayoclinic.com, 2012
Resiko penularan setiap tahun atau Annual Risk of Tuberculosis Infection
(ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1% - 2%. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10
orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi

18
penderita Tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita Tuberkulosis (Suryo, 2010).

2.3.1 Gejala dan Penularan Penyakit Tuberkulosis

Gejala penyakit Tuberkulosis dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang berkaitan (Suryo, 2010).
A. Gejala sistemik/umum
1) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam.
2) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu, perasaan tidak enak dan lemah.
B. Gejala khusus
1) Bergantung dari organ tubuh yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar akan menimbulkan suara nafas yang lemah disertai sesak.
2) Jika ada cairan dirongga pleura dapat disertai rasa sakit di dada.
3) Jika mengenai tulang akan terjadi gejala seperti infeksi tulang.
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak atau meningitis.
Sekitar 30% - 50% anak yang mengalami kontak dengan penderita Tuberkulosis
paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5
tahun yang tinggal satu rumah dengan penderita Tuberkulosis paru dewasa dengan
Basil Tahan Asam (BTA) positif dilaporkan sekitar 30% terinfeksi. Suryo (2010)
juga menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan bakteri M.tuberculosis mudah
menular pada manusia adalah:
a. Faktor Umur,
b. Faktor Jenis Kelamin,
c. Tingkat Pendidikan,
d. Pekerjaan,
e. Kebiasaan Merokok,
f. Kepadatan Tempat Tinggal, dan
g. Pencahayaan

19
2.3.2 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis

Pengobatan Tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah


kematian, mencegah kambuh kembali, memutuskan rantai penularan, dan
mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
(Suryo, 2010). Pada Tabel 2.1 diberikan jenis, sifat, dan dosis OAT (Depkes RI,
2006).

Tabel 2.1 Jenis, sifat dan dosis OAT


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kgBB)

Harian 3xSeminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)

Pyrazinamide
Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
(Z)

Streptomycin
Bakterisid 15 (12-18) 15(12-18)
(S)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

Keterangan:
a. Isoniazid (H)
Isoniazid merupakan OAT yang bersifat bakterisid, yaitu antibiotika yang
secara aktif membasmi kuman. Dosis yang direkomendasikan adalah 5 mg/kg
berat badan/hari dan 10 mg/kg berat badan/kali dalam 3x seminggu dengan
dosis maksimal 300 mg.
b. Rifampicin (R)
Rifampicin merupakan OAT yang bersifat bakterisid. Dosis yang
direkomendasikan adalah 10 mg/kg berat badan/hari dan 10 mg/kg berat
badan/kali dalam 3x seminggu dengan dosis maksimal 600mg.
c. Pyrazinamide (Z)

20
Pyrazinamide merupakan OAT yang bersifat bakterisid. Dosis yang
direkomendasikan adalah 25 mg/kg berat badan/hari dan 35 mg/kg berat
badan/kali dalam 3x seminggu dengan dosis maksimal 1500 mg.
d. Streptomycin (S)
Streptomycin merupakan OAT yang bersifat bakterisid. Dosis yang
direkomendasikan adalah 15 mg/kg berat badan/hari dan 15 mg/kg berat
badan/kali dalam 3x seminggu dengan dosis maksimal 1000 mg.
e. Ethambutol (E)
Ethambutol merupakan OAT yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotika
yang bekerja dengan mencegah atau menghambat pertumbuhan kuman, tidak
membunuhnya, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya
tahan tubuh. Dosis yang direkomendasikan adalah 15 mg/kg berat badan/hari
dan 30 mg/kg berat badan/kali dalam 3x seminggu dengan dosis maksimal
1500 mg.
Depkes (2006) juga menerangkan prinsip-prinsip pengobatan Tuberkulosis
dapat dilakukan sebagai berikut:
a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
b) Jangan mengkonsumsi OAT secara tunggal (monoterapi).
c) Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan tuberkulosis
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
A. Tahap awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
dengan BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan.
B. Tahap Lanjutan

21
Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.4 Nilai Eigen

Sebelum membahas tentang kestabilan titik ekuilibrium, terlebih dahulu


didefinisikan tentang nilai eigen dan contohnya.
Definisi 2. 1 (Anton & Rorres, 2004) Diberikan A adalah matriks n x n, jika Ax
adalah kelipatan skalar dari x maka vektor x yang tidak nol di Rn disebut vektor
eigen (eigen vektor) dari A, yaitu
A x=λ x
untuk suatu skalar λ . Skalar λ dinamakan nilai eigen (eigen value) dari A dan x
disebut suatu vektor eigen (eigen vector) dari A yang bersesuaian dengan λ .

Contoh 2.1

Diberikan matriks A=
3 0
8 −1[ ]
, maka vektor x=
1
2 []
adalah vektor eigen dari

matriks A, sebab Ax adalah kelipatan dari x, yaitu

A x= [38 −10 ][12]=[ 36 ]=3 [12]=3 x


Jadi, nilai λ=3 adalah nilai eigen dari matriks A.
Untuk mencari nilai eigen dari matriks A yang berukuran n x n, maka perlu
diperhatikan kembali definisi vektor eigen dan nilai eigen, yaitu A x=λ x . Bentuk
ini dapat ditulis sebagai berikut:
A x=λI x
λI x −A x =0

( λI − A ) x=0

kemudian dicari nilai x tak nol yang memenuhi sistem persamaan linear
( λI − A ) x=0 .
Persamaan ( λI − A ) x=0

22
akan mempunyai penyelesaian tak nol jika dan hanya jika
det ( λI −A )=0
Nilai λ yang memenuhi det ( λI −A )=0 disebut nilai eigen dan det ( λI −A ) disebut
polinomial karakteristik.

Contoh 2.2

Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari matriks B= [−13 20]!
Penyelesaian:
Polinomial karakteristik dari matriks B adalah

det ( λI −B )=det
([ 0λ 0λ]−[−13 20 ])
[
¿ det λ−3 −2
1 λ ]
2
¿ λ −3 λ+2
Dan persamaan karakteristik dari matriks B adalah
2
λ −3 λ+2=0
Penyelesaian dari persamaan ini adalah λ 1=1 dan λ 2=2
Jadi, nilai-nilai eigen dari matriks B adalah 1 dan 2.
Vektor eigen yang bersesuaian dengan λ 1=1 dan λ 2=2 adalah
Untuk λ 1=1
( λ 1 I − A ) x=0

[( ] [ ])[ xx ]=[ 00]


( 1 I −A ) x= 1 0 − 3 2
0 1 −1 0
1

[ 1 1 ] [ x ]=[ 00]
−2 −2 x 1

diperoleh

[−21 −2 0
1 0 ] [−20
1
b 2 + b1
2
−2 0
0 0 ]
atau

23
−2 x1 −2 x 2=0 ⇔ x 1=−x 2
Misalkan x 2=t , maka x 1=−t sehingga

[][ ][ ]
x1 −t
x2
=
t
=
−1
1
t

Jadi, vektor eigen yang bersesuaian dengan λ 1=1 adalah (−1 1 )T


Untuk λ 2=2
( λ 2 I− A ) x=0

([ ] [ ])[ xx ]=[ 00]


( 2 I −A ) x = 2 0 − 3 2
0 2 −1 0
1

[−11 −22 ] [ xx ]=[ 00]


1

diperoleh

[−11 −2 0
2 0 ] [−10
b2 +b1
−2 0
0 0 ]
atau
−x 1−2 x2 =0 ⇔ x 1=−2 x 2
Misalkan x 2=t , maka x 1=−2 t sehingga

[][ ][ ]
x1 −2 t
x2
=
t
=
−2
1
t

Jadi, vektor eigen yang bersesuaian dengan λ 2=2 adalah (−2 1 )T .

2.5 Kestabilan Titik Ekuilibrium

Suatu sistem persamaan diferensial yang berbentuk


ẋ=f ( x , y )∧ ẏ=g ( x , y )
dengan fungsi-fungsi f dan g yang tidak dipengaruhi variabel waktu t, disebut
sistem autonomus. Persamaan diferensial yang berbentuk ẍ=F ( x , ẋ ) dapat juga
ditulis sebagai sistem autonomus dengan menempatkan
ẋ= y ∧ ẏ=F ( x , y )

24
Titik-titik ( x ¿ , y ¿ ) pada bidang fase xy yang membuat fungsi ẋ=f ( x ¿ , y ¿ ) dan
ẏ=g ( x ¿ , y ¿ ) sama dengan nol disebut titik ekuilibrium (Finizio & Ladas, 1982).

Berikut diberikan definisi titik ekuilibrium di sekitar sistem yang stabil


maupun tidak stabil.
Definisi 2. 2 (Hendricks & Sorensen, 2008) Suatu titik ekuilibrium x dari suatu
sistem dinamik ẋ=f ( x) dikatakan stabil jika untuk setiap ε > 0, terdapat δ >0
sedemikian sehingga untuk setiap x 0 yang memenuhi ‖x 0−x‖< δ , maka solusi
y ( t , x 0 ) (solusi yang melalui x 0 pada waktu t=0 ) dari sistem tersebut memenuhi
pertidaksamaan

‖ y ( t , x 0 )− x‖<ε untuk semua t ≥ 0

x δ

x0
ε

Gambar 2. 3 Titik ekuilibrium stabil


Definisi 2. 3 (Hendricks & Sorensen, 2008) Suatu titik ekuilibrium x dari suatu
sistem dinamik ẋ=f (x) dikatakan stabil asimtotik lokal jika titik x stabil dan
terdapat r >0 sedemikian sehingga ‖ y ( t , x 0 )− x‖→ 0 bila t → ∞ untuk semua x 0

yang memenuhi ‖x 0−x‖< r .

25
x0

x
x0

x0

Gambar 2. 4 Titik ekuilibrium stabil asimtotik lokal


Teorema 2. 4 (Chen, 1984) Sistem ẋ= Ax stabil asimtotik jika dan hanya jika
semua nilai eigen dari A mempunyai bagian real yang negatif.

Bukti:
(⇒ ) Jika sistem ẋ= Ax stabil asimtotik maka semua nilai eigen dari A
mempunyai bagian real yang negatif.
Andaikan ada nilai eigen yang bagian realnya positif. Diberikan sistem
ẋ= Ax maka solusi sistem ẋ= Ax selalu memuat bentuk e ℜ ( λ ) t sehingga jika ada

26
bagian real dari λ yang bernilai positif maka untuk t → ∞ nilai e ℜ ( λ ) t juga akan
semakin besar menuju tak hingga.
Selanjutnya, andaikan ada nilai eigen yang bagian realnya nol maka solusi
dari sistem ẋ= Ax akan memuat bentuk c t k cos ⁡¿ atau c t k sin ¿ dengan k ≥ 0.

Akibatnya lim e At ≠ 0. Dengan kata lain, sistem ẋ= Ax tidak stabil asimtotik
t→∞

sehingga pengandaiannya salah. Jadi, jika sistem ẋ= Ax stabil asimtotik maka
semua nilai eigen dari A harus mempunyai bagian real yang negatif.
(⇐ ) Jika semua nilai eigen dari A mempunyai bagian real yang negatif maka
sistem ẋ= Ax stabil asimtotik.
Diberikan sistem ẋ= Ax maka solusi sistem ẋ= Ax selalu memuat bentuk e ℜ ( λ ) t
sehingga jika semua bagian real dari λ bernilai negatif maka untuk t → ∞ nilai
e ℜ ( λ ) t akan menuju nol. Dengan kata lain, saat t → ∞ , solusi sistem akan menuju
titik ekuilibrium, sehingga sistem ẋ= Ax stabil asimtotik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan sistem ẋ= Ax stabil asimtotik jika dan hanya
jika semua nilai eigen dari A mempunyai bagian real yang negatif.

Teorema 2. 5 (Bowong, 2011) Diberikan matriks A berukuran 2 x 2sebagai


berikut

[ ]
A= a b
c d
dengan polinomial karakteristik det ( λI −A )=0. Jika trace A negatif (Tr ( A)<0 )
dan determinan positif (det ( A)>0 ) maka semua nilai eigen (λ 1,2) dari A
mempunyai bagian real yang negatif.
Bukti:
Diketahui matriks

[ ]
A= a b
c d
dan polinomial karakteristiknya det ( λI −A )=0, maka

([ ] [ ]) [
det ( λI −A )=det λ 0 − a b =det λ−a
0 λ c d −c
−b =0
λ−d ]

27
( λ−a )( λ−d )−bc=0
2
λ −( a+ d ) λ+ ( ad−bc )=0
dengan Tr ( A )=a+d dan det ( A )=ad −bc , sehingga dapat ditulis
λ −( Tr ( A ) ) λ+ ( det ( A ) )=0.
2

Nilai eigen dari A adalah

λ 1,2=
√ 2
Tr (A )± ( Tr ( A) ) −4 det ( A ) Tr ( A)± D( A)
=
2 2

Karena det ( A)>0 maka √ √


D ( A )= ( Tr ( A) ) −4 det ( A ) < ( Tr ( A) ) <|Tr ( A )|,
2 2

sehingga
D ( A ) <|Tr ( A )|
dan diketahui Tr ( A)<0 , akibatnya λ 1,2 pasti negatif atau dengan kata lain semua
nilai eigen (λ 1,2) dari A mempunyai bagian real yang negatif.

2.6 Kriteria Ruith-Hurwitz

Kriteria Routh-Hurwitz dikembangkan secara independen oleh A.Hurwitz


(1895) di Jerman dan E.J.Routh (1892) di Inggris. Diberikan polinomial
karakteristik sebagai berikut.
∆ ( s ) =a0 sn +a 1 sn−1 +⋯+ an−1 s+ an
maka Tabel Routh yang terbentuk adalah
(0) (0) (0) (0)
s
n
a0 a1 a2 ⋯ an

s
n−1
a 0(1) a 1(1) a 2(1) ⋯ a n(1)
(2) (2) (2) (1)
s
n−2
a0 a1 a2 ⋯ an
(3) (3) (3) (1)
s
n−3
a0 a1 a2 ⋯ an

⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋯ ⋮
(n) (n) (n) (1)
s0 a0 a1 a2 ⋯ an

dengan dua baris pertama mengandung koefisien dari ∆ ( s ) , yaitu:


(0) (0) (0) (1) (1) (1)
a 0 =a0, a 1 =a2, a 2 =a4 , a 0 =a1, a 1 =a 3, a 2 =a 5, dst

28
Elemen-elemen pada baris selanjutnya dapat ditentukan dengan:
( 1) (0 ) ( 0) (1 ) (1 ) ( 0) (0 ) ( 1)
a 0 a1 −a 0 a1 a0 a2 −a0 a 2
a 0( 2) = ( 1)
, a1 ( 2 ) = ( 1)
,⋯
a0 a0
(k +1) (k) (k) (k +1)
(k+2) a0 ai+1 −a0 a i+1
a i =
a0(k +1)
Proses pembentukan Tabel Routh dari karakteristik polinomial terdapat beberapa
elemen yang tidak dapat dicari, sehingga elemen berikutnya dalam satu garis
dianggap nol (Chen, 1984).
Kriteria Routh-Hurwitz menyatakan bahwa banyaknya perubahan tanda dalam
kolom pertama pada tabel Routh menandakan banyaknya akar-akar polinomial
∆ ( s ) yang bagian realnya positif. Akibatnya, sistem dikatakan stabil asimtotik
lokal jika dan hanya jika tidak ada tanda yang berbeda di dalam kolom pertama
Tabel Routh (Chen, 1984).

Contoh 2.3:
Diberikan karakteristik polinomial:
4 3 2
∆ ( s ) =s +10 s +20 s +40 s+60

Tabel Routh yang terbentuk sebagai berikut.

4
s 1 20 60 0

s
3
10 40 0 0

2
s 16 60 0 0

40
s
1
0 0 0
16

s
0
60 0 0 0

Tidak ada tanda lain di dalam kolom pertama yang menunjukkan tidak adanya
akar-akar yang bagian realnya positif, akibatnya sistem dari polinomial ∆ ( s )
stabil.

29
Kriteria Routh-Hurwitz digunakan ketika nilai eigen persamaan karakteristik tidak
dapat ditentukan dengan mudah. Kriteria dari Routh-Hurwitz diberikan pada
Lemma 2. 6 (Gantmacher, 1960) Semua akar real dari polinomial berikut.

Lemma 2. 6 (Gantmacher, 1960) Semua akar real dari polinomial


f ( s )=a0 sn +a 1 sn−1 +a2 s n−2 +⋯ + an−1 s1 +a n, a 0 ≠ 0
mempunyai bagian real negatif jika dan hanya jika pertidaksamaan

a 0 ∆1> 0 , ∆2 >0 , a 0 ∆ 3> 0 , ∆4 > 0 , ⋯ ,


{
a0 ∆n >0(n ganjil )
∆ n >0(n genap)
.

∆ 1> 0 , ∆2 >0 , ∆3 >0 , ⋯ , ∆n >0 (2. 4)

Jika a 0=1, maka


dengan

| | | |
a1 a3 ⋯ 0
a1 a3 a5
∆ 1=|a 1|, ∆2=
| |
a1
a0
a3 a
, ∆ = a0 a2 a 4 , ⋯ , ∆ n= 0
a2 3
0 a1 a3

a2 ⋯ 0
⋮ ⋮ ⋮
.
0 0 0 an

Polinomial f ( s )=a0 sn +a 1 sn−1 +a2 s n−2 +⋯ + an−1 s1 +a n yang memenuhi (2. 4)


disebut polinomial Hurwitz.

Selanjutnya untuk n=3 diberikan pada Teorema 2. 7 (Tu,1994) Diberikan adalah


bilangan-bilangan real. Bagian real dari setiap nilai eigen persamaan karakteristik

Teorema 2. 7 (Tu,1994) Diberikan A , B , C adalah bilangan-bilangan real.


Bagian real dari setiap nilai eigen persamaan karakteristik
p ( λ )= λ3 + A λ2 + Bλ+C
adalah negatif jika dan hanya jika A , C positif dan AB> C .
Bukti:
( ⇒ ) Akan dibuktikan jika ℜ ( λ )< 0 dan A, B, dan C bilangan real pada
p ( λ )= λ3 + A λ2 + Bλ+C
maka A , C positif dan AB> C . Dari persamaan p ( λ )= λ3 + A λ2 + Bλ+C , maka

30
a 0=1 , a1= A , a2 =B , a3 =C dan a i=0 untuk i yang lain. Berdasarkan Lemma
kriteria Routh-Hurwitz, maka bagian real dari setiap akar polinomial
p ( λ )= λ3 + A λ2 + Bλ+C
adalah negatif jika dan hanya jika ∆ 1 , ∆ 2 , ∆ 3 positif, yaitu:
∆ 1=|a 1|=| A|= A> 0

∆ 2=
| || |
a1 a 3 A C
=
a0 a2 1 B
= AB−C >0 ⇔ AB>C

| || |
a1 a 3 a 5 A C 0
2
∆ 3 = a0 a2 a 4 = 1 B 0 = ABC−C > 0
0 a1 a 3 0 A C

Karena A>0 , AB−C> 0, & ABC−C 2> 0 maka


ABC−C 2=( AB−C ) C >0
Akibatnya C>0
Dengan demikian, diperoleh bahwa bagian real dari setiap akar polinomial
3 2
p ( λ )= λ + A λ + Bλ+C
adalah negatif maka A>0 ,C >0 ,∧ AB>C .

Selanjutnya,
( ⇐ ) Akan dibuktikan jika A , C positif dan AB> C dengan A,B, dan C bilangan
real dan
p ( λ )= λ3 + A λ2 + Bλ+C
Maka ℜ ( λ )< 0.
Diketahui A , C positif dan AB> C maka
( AB−C ) C= ABC−C 2 >0
Akibatnya
A=| A|=|a 1|=∆ 1> 0

AB−C= |A1 CB|=|aa aa |=∆ >0


1

0
3

2
2

31
| || |
A C 0 a1 a3 a5
2
ABC−C = 1 B 0 = a0 a2 a4 =∆ 3> 0
0 A C 0 a1 a3

Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz, jika determinan dari semua matriks Hurwitz


adalah positif maka semua akar-akar dari polinomial P ( λ ) adalah negatif atau
mempunyai bagian real negatif. Atau dengan kata lain ℜ ( λ )< 0. Terbukti.

BAB III
PEMBAHASAN
Pada bab ini dibahas mengenai model penularan Tuberkulosis satu strain. Pada
subbab pertama akan dijelaskan mengenai pembentukan model penularan
Tuberkulosis satu strain dengan progres strain cepat maupun lambat. Selanjutnya,
pada subbab kedua dijelaskan mengenai analisis model penularan Tuberkulosis
satu strain dengan menganalisis titik ekuilibrium pada sistem. Subbab ketiga yaitu
interpretasi dari solusi numerik pada model penularan penyakit Tuberkulosis.

3.1 Pembentukan Model Penularan Tuberkulosis Satu Strain

Pada subbab ini dijelaskan mengenai proses pembentukan model penularan


Tuberkulosis satu strain yang diperkenalkan oleh Bowong, Samuel., dkk pada
tahun 2011. Proses pembentukan model penularan Tuberkulosis satu strain

32
dimulai dengan membagi populasi menjadi tiga sub-populasi, yaitu sub-populasi
rentan ( S), sub-populasi terjangkit (E), dan sub-populasi terinfeksi ( I).
Proses pembentukan model penularan Tuberkulosis satu strain yang pertama
adalah menganalisis pembentukan model laju perubahan sub-populasi rentan (S)
terhadap waktu dinotasikan dengan Ṡ. Selanjutnya, dengan memperhatikan tingkat
kelahiran alami ( Λ ) pada sub-populasi rentan dengan asumsi setiap kelahiran baru
langsung masuk pada sub-populasi rentan, dideskripsikan oleh persamaan di
bawah ini.
Ṡ= Λ
Persamaan ini menunjukkan tingkat kelahiran alami tanpa adanya pengaruh dan
aktivitas populasi yang terinfeksi. Setiap makhluk hidup yang terlahir pasti akan
mengalami kematian, dengan demikian sub-populasi rentan juga mengalami
tingkat kematian alami ( μ ) , dideskripsikan oleh persamaan di bawah ini.
Ṡ=−μS
Persamaan ini merupakan hasil kali antara tingkat kematian alami dengan sub-
populasi rentan. Tanda negatif pada persamaan ini menunjukkan laju penurunan
individu pada sub-populasi rentan yang diakibatkan oleh kematian alami makhluk
hidup.
Selain adanya tingkat kematian alami, pada suatu waktu sub-populasi rentan
akan berinteraksi dengan sub-populasi terinfeksi ( I ) dan terjadi tingkat kontak ( β )
yang cukup untuk menularkan penyakit sehingga sebagian sub-populasi rentan
menjadi terinfeksi. Sebagian sub-populasi rentan yang mengalami kontak
langsung dengan sub-populasi terinfeksi mengalami progres cepat ( p ) maupun
lambat ( 1− p ) . Adanya progres cepat dan lambat mengakibatkan jumlah individu
pada sub-populasi rentan akan mengalami pengurangan karena progres cepat
mengakibatkan individu rentan masuk dalam sub-populasi terinfeksi sedangkan
progres lambat mengakibatkan individu masuk dalam sub-populasi terjangkit ( E )
yang suatu saat bisa terinfeksi, dideskripsikan oleh persamaan di bawah ini.
Ṡ=−βpIS−β ( 1−p ) IS

¿−βpIS−βIS + βpIS

33
¿−βIS

Tanda negatif pada −βIS menunjukkan berkurangnya sub-populasi rentan yang


terjadi antara laju kontak sub-populasi terinfeksi dengan sub-populasi rentan.
Persamaan model sub-populasi rentan menjadi
Ṡ= Λ−μS−βIS (3. 1)

Selanjutnya dianalisis proses pembentukan model sub-populasi terjangkit ( E).


Sub-populasi rentan yang mengalami kontak dengan sub-populasi terinfeksi
sangat mungkin untuk terjangkit penyakit yang dibawa M.tuberculosis.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa individu rentan yang mengalami
kontak dengan sub-populasi terinfeksi sangat mungkin mengalami progres lambat
yang mengakibatkan individu masuk dalam sub-populasi terjangkit ( E ) ,
dideskripsikan oleh persamaan di bawah ini.

Ė=β ( 1− p ) IS

Dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tuberkulosis, berbagai


perlakuan dilakukan oleh para ilmuwan maupun para dokter, diantaranya
memberikan terapi ( r 2 ) dan Chemoprophylaxis ( r 1 ) . Chemoprophylaxis
merupakan kombinasi obat yang digunakan untuk penderita Tuberkulosis.
Chemoprophylaxis diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini
untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap Chemoprophylaxis.
Diasumsikan perlakuan terapi pada sub-populasi terinfeksi menyebabkan sub-
populasi terinfeksi berkurang dan mengalami perpindahan menjadi sub-populasi
terjangkit, dideskripsikan oleh persamaan di bawah ini.
Ė=r 2 I
Selanjutnya, banyaknya individu pada sub-populasi terjangkit yang menerima
efektivitas Chemoprophylaxis dinotasikan dengan r 1 E. Dengan adanya pemberian
Chemoprophylaxis dapat menghambat proses pertumbuhan M.tuberculosis
sehingga tahap sub-populasi terjangkit tidak naik menjadi terinfeksi. Akan tetapi
dalam suatu waktu sub-populasi yang terjangkit akan menjadi terinfeksi dengan

34
adanya faktor pertumbuhan pada M.tuberculosis. Dinotasikan k yaitu faktor
individu sub-populasi terjangkit yang kehilangan efektivitas Chemopophylaxis
dan masuk menjadi sub-populasi terinfeksi, dideskripsikan oleh persamaan di
bawah ini.
Ė=−k ( 1−r 1 ) E
Selain terjadi progress yang cepat pada sub-populasi rentan, sub-populasi
terjangkit juga mengalami proses kematian alami sebagaimana terjadi pada sub-
populasi rentan, dideskripsikan oleh persamaan di bawah ini.
Ė=−μE
Kondisi ini mengakibatkan adanya penurunan pada sub-populasi terjangkit.
Dengan demikian, persamaan model sub-populasi terjangkit menjadi

Ė=β ( 1− p ) IS +r 2 I −k ( 1−r 1 ) E−μE

¿ β ( 1−p ) IS +r 2 I −[ μ+k ( 1−r 1 ) ] E (3. 2)

Setelah menganalisis pembentukan model sub-populasi rentan dan sub-


populasi terjangkit maka pembentukan model terakhir adalah model sub-populasi
terinfeksi. Pembentukan model sub-populasi terinfeksi dimulai dengan sebagaian
kecil individu pada sub-populasi terjangkit yang kehilangan efektivitas
Chemoprophylaxis dan terinfeksi menjadi sub-populasi terinfeksi, dideskripsikan
pada persamaan di bawah ini.

İ =k ( 1−r 1 ) E

Selain itu, penambahan sub-populasi terinfeksi juga dikarenakan banyaknya


individu rentan yang mengalami progres cepat menjadi sub-populasi terinfeksi
yang disebabkan adanya laju kontak pada sub-populasi terinfeksi dan sub-
populasi rentan, dideskripsikan pada persamaan di bawah ini.
İ =βpIS

35
Pada kurun waktu tertentu, banyaknya sub-populasi terinfeksi akan mengalami
penurunan. Penurunan jumlah sub-populasi yang terinfeksi disebabkan oleh
pemberian terapi pada sub-populasi terinfeksi, laju kematian alami dan penyakit
pada sub-populasi terinfeksi juga berperan dalam mengurangi jumlah individu
pada sub-populasi terinfeksi, dideskripsikan pada persamaan di bawah ini.
İ=−r 2 I −μI −dI =−( r 2+ μ +d ) I
Tanda negatif pada persamaan di atas menunjukkan berkurangnya individu pada
sub-populasi terinfeksi. Dengan demikian, model sub-populasi terinfeksi menjadi

Penambahan dari sub-populasi rentan S, sub-populasi terjangkit E , dan sub-


populasi terinfeksi I diperoleh total populasi yang dideskripsikan N ( t ) dengan
persamaan di bawah ini.
Ṅ= Ṡ+ Ė+ İ

¿ Λ−μS− βIS+ β ( 1− p ) IS+r 2 I −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] E+k −( r 2 + μ+ d ) I

¿ Λ−μS−μE−μI −dI

¿ Λ−μ ( S+ E + I ) −dI

¿ Λ−μN−dI (3. 3)

Persamaan total populasi N ( t ) merupakan laju pertumbuhan alami populasi


dengan setiap kelahiran individu akan mengalami pengurangan alami yang
disebabkan oleh kematian alami dan penyakit.
Asumsi yang digunakan untuk merumuskan model penularan Tuberculosis satu
strain adalah:
Total populasi tetap, artinya Ṅ= Ṡ+ Ė+ İ .
Individu yang lahir langsung masuk dalam sub-populasi rentan. Penularan
yang diakibatkan strain dapat berlangsung cepat dan lambat. Penyakit bersifat
fatal, artinya jika terinfeksi oleh individu yang terinfeksi dan tidak mendapat
perlakuan dapat menyebabkan kematian.
Melakukan terapi r 2 pada populasi terinfeksi menyebabkan populasi terinfeksi
berkurang dan mengalami fase naik menjadi populasi terjangkit (Kompas.com,
2012).

36
Pemberian Chemoprophylaxis r 1 pada populasi terjangkit dapat menghambat
proses pertumbuhan M.tuberculosis menjadi populasi terinfeksi (Depkes RI,
2006). Asumsi yang digunakan adalah asumsi untuk membantu dalam
mensimulasi model penularan Tuberkulosis.
Persamaan model penularan Tuberkulosis satu strain digambarkan dalam diagram
transfer di bawah ini.
βpI

k ( 1−r 1 )
Λ β (1−p ) I
S E
r2
I
μ μ μ+d

Gambar 3. 1 Diagram Transfer Model Penularan Tuberkulosis satu strain


Dengan demikian, berdasarkan (3.1), (3.2), (3.3), dan (3.4) model penularan
Tuberkulosis dengan satu strain yang di perkenalkan oleh Bowong, et al pada
tahun 2011 adalah:
Ṡ= Λ−μS−βIS
Ė=β ( 1− p ) IS +r 2 I −[ μ +k ( 1−r 1) ] E (3. 4)

İ =k ( 1−r 1 ) E + βpIS−( r 2 + μ+ d ) I

dengan Λ , μ , β , r 2 , k ,d dan 0< p ≤ 1 ,0< r 1 ≤ 1 adalah konstanta positif. Parameter


Model 3.5 yaitu:
Λ = tingkat kelahiran
μ = tingkat kematian alami
β = tingkat kontak kelas populasi rentan terhadap populasi terinfeksi
p = tingkat sebagian populasi terinfeksi baru dari progres cepat β .
r 1= proporsi individu terjangkit yang menerima efek chemoprophylaxis
r 2= rata-rata efektivitas terapi per kapita pada populasi terinfeksi

37
k = besarnya faktor individu sub-populasi terjangkit yang kehilangan efektivitas
Chemopophylaxis dan masuk menjadi sub-populasi terinfeksi
d = tingkat kematian yang disebabkan penyakit.

3.2 Analisis Model Penularan Tuberkulosis Satu Strain


3.2.1 Titik Ekuilibrium Model
Titik ekuilibrium dapat diperoleh jika Ṡ= E=¿ ˙İ =0 ¿.

Λ−μ S 0−β I 0 S 0=0

β (1−p ) I 0 S 0 +r 2 I 0− [ μ +k ( 1−r 1) ] E 0=0 (3.6)

k ( 1−r 1 ) E 0 + βp I 0 S0− ( r 2 + μ+d ) I 0 =0

Misalkan I 0=0 , maka:

Λ=μ S 0+ β I 0 S 0

Λ=( μ+ β I 0 ) S0

Λ
S0 =
μ+ β I 0

Λ
S0 =
μ

Dari persamaan 2 pada Sistem (3.6) diperoleh:

β (1−p ) I 0 S 0 +r 2 I 0− [ μ +k ( 1−r 1) ] E 0=0

E0 =0

Sehingga diperoleh titik ekuilibrium X =( S0 , E0 , I 0 ) = ( Λμ ,0,0).


Karena I 0=0 dan E0 =0 maka titik ekuilibrium X =( S0 , E0 , I 0 ) = ( Λμ ,0,0) disebut
titik ekuilibrium bebas penyakit. Titik ekuilibrium bebas penyakit merupakan titik

38
ekuilibrium dengan kondisi tidak adanya individu yang terinfeksi penyakit
tuberkulosis.

Selanjutnya, untuk I ¿ ≠0 Sistem persamaan tuberkulosis dapat ditulis kembali


sebagai berikut.

Λ−μ S ¿−β I ¿ S ¿=0

β (1−p ) I ¿ S¿ + r 2 I ¿− [ μ+k ( 1−r 1 ) ] E ¿=0 (3.7)

¿ ¿ ¿ ¿
k ( 1−r 1 ) E + βp I S −( r 2 + μ+d ) I =0

Dari persamaan Sistem (3.7) diperoleh:

Λ−μ S ¿−β I ¿ S ¿=0

¿ ¿ ¿
Λ=μ S + β I S

Λ=( μ+ β I ¿ ) S¿

¿ Λ
S= ¿
μ+ β I

¿ Λ
Subsitusikan S = ¿ pada persamaan kedua Sistem 3.7, diperoleh:
μ+ β I

β (1−p ) I ¿ S¿ + r 2 I ¿− [ μ+k ( 1−r 1 ) ] E ¿=0

[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] E¿ =β ( 1−p ) I ¿ S ¿+r 2 I ¿

¿ β ( 1− p ) I ¿ S ¿ +r 2 I ¿
E=
μ+k ( 1−r 1 )

¿Λ ¿
β ( 1− p ) I ¿ +r 2 I
¿ μ+ β I
E=
μ+ k ( 1−r 1 )

39
¿
¿
(
I β ( 1− p )
Λ
+r
μ+ β I ¿ 2 )
μ+k ( 1−r 1 )

¿
I¿
[
β ( 1− p ) Λ
μ+ k ( 1−r 1 ) μ+ β I
¿ +r 2 ]
Substitusikan S¿ dan E¿ pada persamaan 3 Sistem 3.7 maka diperoleh:

¿ ¿ ¿ ¿
k ( 1−r 1 ) E + βp I S −( r 2 + μ+d ) I =0

[ ]
¿ ¿
I β (1−p ) Λ ΛI ¿
k ( 1−r 1 ) ¿ +r 2 + βp ¿ − ( r 2 + μ+d ) I =0
μ+k ( 1−r 1 ) μ + β I μ+ β I

[
k ( 1−r 1 ) I ¿ β ( 1− p ) Λ+r 2 ( μ+ β I ¿ )
][ ]
¿
( r 2 + μ+d ) ( μ+ β I )− Λ βp ¿
= I
μ +k ( 1−r 1) μ+ β I ¿ μ+ β I ¿

k ( 1−r 1)
β ( 1− p ) Λ+ r 2 ( μ+ β I ¿ )=( r 2+ μ+ d ) ( μ+ β I ¿ )− Λ βp
μ +k ( 1−r 1)

k ( 1−r 1 ) [ β ( 1− p ) Λ+r 2 ( μ+ β I ) ]=[ ( r 2+ μ+ d ) ( μ+ β I )− Λ βp ] [ μ+k ( 1−r 1 ) ]


¿ ¿

k ( 1−r 1 ) β ( 1− p ) Λ+k ( 1−r 1 ) r 2 ( μ+ β I ¿ ) + Λ βp [ μ+k ( 1−r 1 ) ]= ( μ+ β I ¿ ) ( r 2 + μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ]

k ( 1−r 1 ) β ( 1− p ) Λ+k ( 1−r 1 ) r 2 ( μ+ β I ) + Λ βp [ μ+k ( 1−r 1 ) ]=( μ ( r 2 + μ+d ) + β I ( r 2+ μ+ d ) ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ]


¿ ¿

[ Λ βk ( 1−r ) +k ( 1−r ) r
1 1 2 ( μ+ β I ¿ )+ Λ βpμ−μ r 2 [ μ+k ( 1−r 1 ) ]−β I ¿ r 2 [ μ+k ( 1−r 1 ) ]− β I ¿ ( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−

[ μμ r + Λ βk ( 1−r ) + k ( 1−r ) r
2 1 1 2 ( μ+ β I ¿ ) + Λ βpμ−μ r 2 μ−μ r 2 k ( 1−r 1 )− β I ¿ r 2 μ−β I ¿ r 2 k ( 1−r 1 ) −( β I ¿

[ Λ βk ( 1−r ) + Λ βpμ−β I r
1
¿
2
¿
]
μ−β I ( μ +d ) [ μ +k ( 1−r 1) ] =μ ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μμ r 2

40
[ Λ β( k ( 1−r ) + μp)−β I [ r μ+ ( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r ) ] ] ]=μ [ ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r ) ] + μ r ]
1
¿
2 1 1 2

[
Λ β ( k ( 1−r 1 ) + μp ) −β I r 2 μ+ ( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]
¿
] =1
[
μ ( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 ]
Λ
β
μ
( k ( 1−r 1 ) + μp ) [
β I r 2 μ + ( μ +d ) [ μ +k ( 1−r 1) ]
¿
] −1=0

[ ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r ) ] + μ r ]
1 2 [
μ ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2 ]
β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp ) β ¿
− I −1=0
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 μ

β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp ) β ¿
−1= I
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 μ

¿
I=
μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2
−1
)
β

Substitusikan I ¿ pada S¿ dan E¿ , diperoleh:

¿ Λ
S= ¿
μ+ β I

Λ
¿

μ+ β
μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2
−1
)
β

Λ Λ
¿ =

( )
β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp ) β S 0 ( k ( 1−r 1 )+ μp )
μ+ μ −1 μ
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2

41
[ ]
¿
¿ I β ( 1− p ) Λ
E= ¿ +r 2
μ +k ( 1−r 1) μ+ β I

μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
−1
)
[ ]
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 β ( 1− p ) Λ
¿ +r 2
β [ μ+k ( 1−r 1 ) ] β S0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
μ
( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2

¿ ¿ ¿ ¿
Jadi, titik ekuilibrium X =( S , E , I ) adalah

¿ Λ
S=
β S 0 ( k ( 1−r 1 )+ μp )
μ
( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2

μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
−1
)
[ ]
( μ +d ) [ μ+ k ( 1−r 1) ]+ μ r 2 β ( 1−p ) Λ
E¿ = +r 2
β [ μ+k ( 1−r 1 ) ] β S0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
μ
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2

I ¿=
μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2
−1
)
β

Karena I 0 ≠ 0 maka titik ekuilibrium X ¿ =( S¿ , E ¿ , I ¿ ) disebut titik ekuilibrium


endemik. Titik ekuilibrium endemik adalah titik ekuilibrium sistem dengan
adanya individu terinfeksi dan menularkan penyakit tuberkulosis.

3.2.2 Analisis Kestabilan Titik Ekuilibrium Model


Proses linearisari Model 3.5 dilakukan dengan menggunakan matriks Jacobian.
Matriks Jacobian Model 3.5 menghasilkan

42
[ ]
∂ Ṡ ∂ Ṡ ∂ Ṡ
∂S ∂E ∂I
∂ Ė ∂ Ė ∂ Ė
Jf ( X )=
∂S ∂E ∂I
∂ İ ∂ İ ∂ İ
∂S ∂E ∂I

[ ]
−μ−βI 0 −βS
Jf ( X )= β ( 1− p ) I −[ μ+k ( 1−r 1 ) ] β ( 1−p ) S+r 2
βpI k ( 1−r 1 ) βpS−( r 2+ μ+ d )

Matriks Jacobian di titik ekuilibrium X =( S0 , E0 , I 0 ) = ( Λμ ,0,0) adalah

[ ]
−μ 0 −β S 0
Jf ( S 0 ,0,0 )= 0 −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] β ( 1− p ) S 0 +r 2
0 k ( 1−r 1 ) βp S 0−( r 2+ μ+ d )

Dengan menggunakan ekspansi kofaktor, diketahui matrik Jacobian Jf ( S 0 ,0,0 )


mempunyai λ 1=−μ<0 . Selanjutnya akan diselidiki nilai eigen dari sub-matriks
berikut:

J 1=
[ −[ μ+k ( 1−r 1 ) ]
k ( 1−r 1 )
[ β (1− p ) S 0+ r 2 ]
βp S0 −( r 2 + μ+d ) ]
Sistem di sekitar titik ekuilibrium bebas penyakit ( S0 , 0,0 ) akan stabil jika sub-

matrik Jacobian J 1 f ( S0 , 0,0 ) mempunyai trace negatif ( tr ( J 1 ) <0 ) dan

determinannya positif ( det ( J 1 ) ≥ 0 ), diperoleh:

Trace ( J 1 ) <0 :

tr ( J 1 ) < 0⇒−[ μ +k ( 1−r 1) ]+ βp S 0−( r 2+ μ+ d ) <0

43
βp S0 <k ( 1−r 1 ) +2 μ +d +r 2

det ( J 1 ) ≥ 0 ⇔−[ μ+ k ( 1−r 1 ) ][ βp S 0−( r 2 + μ+d ) ]−[ β (1−p ) S 0+ r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ] ≥ 0

−[ μ+ k ( 1−r 1 ) ][ βp S0− ( r 2 + μ+d ) ] ≥ [ β ( 1− p ) S0 +r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ]

[ β (1− p ) S 0+ r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ] ≤−[ μ +k ( 1−r 1) ][ βp S 0−( r 2 + μ+ d ) ]

[ β S 0−β pS 0+ r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ] ≤ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] [ r 2+ ( μ+ d )−βp S0 ]

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) ] −β pS0 [ k ( 1−r 1 ) ] +r 2 [ k ( 1−r 1 ) ] ≤ [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )−[ μ+ k ( 1−r 1) ] βp S0

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ] ≤ μ r 2+ [ μ +k ( 1−r 1) ] ( μ+ d )

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
≤1
μ r 2+ [ μ+ k ( 1−r 1) ] ( μ+ d )

Jadi, diperoleh rasio reproduksi dasar yaitu:

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
R0 =
μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )

Rasio reproduksi dasar ( R0 ) menyatakan rasio potensi penularan penyakit pada


sub-populasi rentan akibat tingkat kontak yang terjadi, baik karena progress cepat
maupun karena ketidakefektivitas Chemoprophylaxis terhadap terapi, kematian
alami dan penyakit. Bilangan ini diperlukan sebagai parameter untuk mengetahui
tingkat penyebaran suatu penyakit. Sehingga, titik ekuilibrium endemik
¿ ¿ ¿ ¿
X =( S , E , I ) dapat ditulis kembali sebagai berikut.

Λ
S¿ =
μ R0

)] [ ]
¿
μ ( R0 −1 ) β ( 1− p ) Λ
E= + r2
β [ μ+ k ( 1−r 1 μ R0

44
μ ( R0−1 )
I ¿=
β

Sedangkan, matriks Jacobian di titik ekuilibrium endemik X ¿ =( S¿ , E ¿ , I ¿ ) dengan

¿ Λ
S=
μ R0

E¿ =
μ ( R0 −1 )
β [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] [
β ( 1− p ) Λ
μ R0
+ r2
]
¿
μ ( R0−1 )
I=
β

adalah

[ ]
−β S 0
−μ−μ ( R0−1 ) 0
R0
S0
J ( f ( X ¿ ) ) = ( 1− p ) μ ( R0−1 ) −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] β ( 1− p ) +r 2
R0
S
pμ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 ) βp 0 −( r 2+ μ+ d )
R0

Berdasarkan matriks Jacobian titik ekuilibrium bebas penyakit dan endemik,


selanjutnya dianalisis kestabilan sistem di sekitar titik ekuilibrium pada Teorema
3.1 dan Teorema 3.2 sebagai berikut.

Teorema 3.1 (Kestabilan titik ekuilibrium bebas penyakit)

Diberikan

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
R0 =
μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )

45
Jika R0 <1 pada model (3.5) maka sistem di sekitar titik ekuilibrium bebas

penyakit X =( S0 , E0 , I 0 ) = ( Λμ ,0,0) stabil asimtotik lokal.


Bukti:

Matriks Jacobian di titik ekuilibrium X =( S0 , E0 , I 0 ) = ( Λμ ,0,0) adalah

[ ]
−μ 0 −β S 0
Jf ( S 0 ,0,0 )= 0 −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] β ( 1− p ) S 0 +r 2
0 k ( 1−r 1 ) βp S 0−( r 2+ μ+ d )

Polinomial karakteristik Jf ( S 0 ,0,0 ) adalah

P ( λ )=det ( λI −Jf ( X ) ) =|λI −Jf ( X )|

Persamaan karakteristiknya adalah

|λI −Jf ( X )|=0

|[ ] [
λ 0 0 −μ

]|
0 −β S0
0 λ 0 − 0 −[ μ +k ( 1−r 1) ] β ( 1− p ) S0 +r 2 =0
0 0 λ 0 k ( 1−r 1 ) βp S 0−( r 2+ μ +d )

| |
λ+μ 0 β S0
0 λ + [ μ+k ( 1−r 1 ) ] −[ β ( 1− p ) S 0 +r 2 ] =0
0 −k ( 1−r 1 ) λ−[ βp S 0−( r 2 + μ+ d ) ]

det ( λI −Jf ( X ) )=a 11 a22 a33 +a12 a23 a31+ a13 a21 a 32

−a 13 a22 a31−a 11 a23 a32−a 12 a21 a33

46
( λ+ μ ) [ λ+ [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ][ λ− [ βp S 0−( r 2+ μ+ d ) ] ] −( λ+ μ ) [−[ β ( 1− p ) S 0+ r 2 ] ] [−k ( 1−r 1 ) ]=0

( λ+ μ ) [ λ+ [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ][ λ− [ βp S 0−( r 2+ μ+ d ) ] ] −( λ+ μ ) [ β ( 1−p ) S0 +r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ] =0

[ λ +[ μ+k ( 1−r ) ] λ+ μλ+[ μ+ k ( 1−r ) ] μ ] ¿


2
1 1

[ λ +[ 2 μ +k ( 1−r ) ] λ+[ μ +k ( 1−r ) μ ] ] ( λ−( βp S −( r + μ+ d ) ))−( β ( 1− p ) S +r ) ( k ( 1−r ) ) λ−( β ( 1− p )


2
1
2
1 0 2 0 2 1

λ −( βp S0 −( r 2 + μ+d ) ) λ + [ 2 μ+ k ( 1−r 1 ) ] λ −[ 2 μ+k ( 1−r 1 ) ] ( βp S 0−( r 2+ μ+ d ) ) λ+ [ μ + k ( 1−r 1 ) μ ] λ−( β


3 2 2 2

[ ] [
λ 3+ [ 2 μ +k ( 1−r 1) ]−( βp S 0−( r 2 + μ+ d ) ) λ2 + [ μ2 +k ( 1−r 1) μ ]−[ 2 μ+k ( 1−r 1 ) ] ( βp S 0−( r 2+ μ+ d ) ) −( β ( 1−

Berdasarkan persamaan karakteristik di atas diperoleh:

A=[ 2 μ+ k ( 1−r 1 ) ]−( βp S0 −( r 2 + μ+d ) ) =2 μ+k ( 1−r 1 ) + ( r 2 + μ+d ) −βp S 0

B=[ μ + k ( 1−r 1 ) μ ] −[ 2 μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( βp S 0−( r 2 + μ+ d ) )−( β ( 1− p ) S0 +r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) )


2

C=−[ μ + k ( 1−r 1 ) μ ] ( βp S0− ( r 2 + μ+d ) ) −( β ( 1− p ) S 0+ r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) μ


2

Perhatikan bahwa

A=2 μ+ k ( 1−r 1 ) + ( r 2+ μ+ d )−βp S0

Karena

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
<1
μ r 2+ [ μ+ k ( 1−r 1) ] ( μ+ d )

maka

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]< μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )

−[ μ+ k ( 1−r 1 ) ][ βp S0− ( r 2 + μ+d ) ] > [ β ( 1− p ) S 0 +r 2 ] [ k ( 1−r 1) ]

47
[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] [ βp S0− ( r 2 + μ+d ) ] ← [ β (1− p ) S 0+ r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ]
[ β ( 1− p ) S0 +r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ]
βp S0 + < ( r 2 + μ+d )
[ μ+ k ( 1−r 1 ) ]
βp S0 < ( r 2+ μ+ d )

A=2 μ+ k ( 1−r 1 ) + ( r 2+ μ+ d )−βp S0 > 0

Selanjutnya

B=[ μ + k ( 1−r 1 ) μ ] −[ 2 μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( βp S 0−( r 2 + μ+ d ) )−( β ( 1− p ) S0 +r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) )


2

¿ [ μ +k ( 1−r 1 ) μ ] + [ 2 μ+k ( 1−r 1 ) ] ( ( r 2 + μ+d ) −βp S 0 ) −( β ( 1− p ) S0 +r 2) ( k ( 1−r 1 ) )


2

Diketahui

[ β (1− p ) S 0+ r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ] < [ μ+ k ( 1−r 1) ][ ( r 2+ μ +d )−βp S 0 ]

¿ [ 2 μ+k ( 1−r 1 ) ] ( ( r 2 + μ+d ) −βp S 0 )

maka

B=[ μ + k ( 1−r 1 ) μ ] −[ 2 μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( βp S 0−( r 2 + μ+ d ) )−( β ( 1− p ) S0 +r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) > 0


2

Selanjutnya,

C=−[ μ + k ( 1−r 1 ) μ ] ( βp S0− ( r 2 + μ+d ) ) −( β ( 1− p ) S 0+ r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) μ


2

[
¿ [ ( r 2+ μ +d )− βp S 0 ][ μ+ k ( 1−r 1 ) ]−( β ( 1− p ) S 0+ r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) μ ]
karena μ>0 dan

[ β (1− p ) S 0+ r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ] < [ μ+ k ( 1−r 1) ][ ( r 2+ μ +d )−βp S 0 ]

maka

48
C=−[ μ 2+ k ( 1−r 1 ) μ ] ( βp S0− ( r 2 + μ+d ) ) −( β ( 1− p ) S 0+ r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) μ>0

Selanjutnya ditunjukkan AB> C

[ ][ [
AB= 2 μ+k ( 1−r 1 ) + ( ( r 2+ μ+ d )−βp S 0) [ μ + k ( 1−r 1 ) μ ] + [ 2 μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( ( r 2+ μ+ d )−βp S 0) −( β ( 1− p )
2

[
¿ ( 2 μ+k ( 1−r 1 ) ) [ μ +k ( 1−r 1 ) μ ] + ( 2 μ+k ( 1−r 1 ) ) [ 2 μ+k ( 1−r 1 ) ] ( ( r 2 + μ+d ) −βp S 0 ) −( β ( 1−p ) S 0+ r 2 ) ( k (
2

[ ]
¿ [ ( r 2+ μ +d )− βp S 0 ][ μ+ k ( 1−r 1 ) ]−( β ( 1− p ) S 0+ r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) μ=C

Terbukti AB> C

Berdasarkan nilai koefisien polinomial P ( λ ) diperoleh

a 0=1 , a1= A , a2 =B , a3 =C , a 4=0 , a5 =0

Dibentuk matriks Hurwitz sebagai berikut.

[ ][ ]
a1 a0 0 A 1 0
H= a3 a2 a1 = C B A
a5 a4 a3 0 0 C

Berdasarkan matriks Hurwitz di atas diperoleh determinan Hurwitz yaitu

Δ 1=a1 =A

Δ 2=
| || |
a1 a 0 A
=
a3 a 2 C
1
B
= AB−C

[ ][ ]
a1 a0 0 A 1 0
2
Δ 3= a3 a2 a1 = C B A = ABC −C =( AB−C ) C
a5 a 4 a3 0 0 C

Dari nilai A , B dan C maka dapat diketahui bahwa

A>0 ⇒ Δ1= A >0

A>0 , B>0 , C> 0 , dan AB>C ⇒ Δ2= AB−C >0

49
A>0 , B>0 , C> 0 , dan AB>C ⇒ Δ3=( AB−C ) C>0

Karena nilai Δ 1> 0 , Δ2 >0 dan Δ 3 >0, maka polinomial P ( λ ) mempunyai pembuat
nol yang bagian realnya negatif. Dengan demikian, semua bagian real nilai eigen
pada matriks J ( f ( S 0 ,0,0 ) ) bernilai negatif jika R0 <1. Akibatnya, Sistem di sekitar

titik ekuilibrium X = ( Λμ , 0,0) stabil asimtotik lokal. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam jangka waktu yang lama individu yang ada dalam populasi menuju titik

X= ( Λμ , 0,0) atau tidak ada individu yang terjangkit dan terinfeksi penyakit.
Selanjutnya analisis kestabilan sistem di sekitar titik ekuilibrium endemik
diberikan pada Teorema 3.2 berikut.

Teorema 3.2 (Kestabilan titik ekuilibrium endemik)

Diberikan

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
R0 =
μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )

Jika R0 >1 pada Model (3.5) maka sistem di sekitar titik ekuilibrium endemik
X ¿ =( S¿ , E ¿ , I ¿ ) dengan

¿ Λ
S=
μ R0

¿
E=
μ ( R0 −1 )
β [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] [
β ( 1− p ) Λ
μ R0
+ r2
]
μ ( R0−1 )
I ¿=
β

stabil asimtotik lokal.

Bukti:

50
¿ ¿ ¿ ¿
Matriks Jacobian di titik ekuilibrium X =( S , E , I ) adalah

[ ]
−β S 0
−μ−μ ( R0−1 ) 0
R0
S0
J ( f ( X ) ) = ( 1− p ) μ ( R0−1 ) −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ]
¿
β ( 1− p ) +r 2
R0
S0
pμ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 ) βp −( r 2+ μ+ d )
R0

Polinomial karakteristik J ( f ( S , E , I ) ) adalah


¿ ¿ ¿

P ( λ )=det ( λI −Jf ( X ) )=| λI −Jf ( X )|


¿ ¿

Persamaan karakteristiknya adalah

|λI −Jf ( X ¿ )|=0

| |
β S0
λ+ [ μ+ μ ( R 0−1 ) ] 0
R0

−( 1−p ) μ ( R0 −1 ) λ + [ μ+k ( 1−r 1 ) ]


[
− β ( 1− p )
S0
+r
R0 2 ] =0

− pμ ( R0 −1 ) −k ( 1−r 1 )
[
λ+ ( r 2+ μ+ d )−βp
S0
R0 ]

[ λ+[ μ+ μ ( R −1 ) ] ][ λ+ [ μ+k ( 1−r ) ] ]


0 1
[ [
λ+ ( r 2 + μ+d ) −βp
S0
R0 ]]
+
β S0
R0
βS
( 1− p ) μ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 )− 0 λ+ [
R0 [

[ ][
λ+ [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] λ+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ]][ [
λ+ ( r 2 + μ+d ) −βp
S0
R0 ]]
+
β S 0 ( 1−p ) μ ( R0 −1 ) k ( 1−r 1 ) β S0 pμ ( R
R0
+
R0

[ λ +[ [ μ+ k ( 1−r ) ]+ [ μ + μ ( R −1 ) ] ] λ+[ μ+ μ ( R −1 ) ][ μ+k ( 1−r ) ] ] λ + ( r + μ+ d ) −βp R


2
1 0 0 1
[[ 2
S0
0
]] +
β S 0 (1− p ) μ

51
[[
λ 3+ ( r 2 + μ+ d ) −βp
S0
R0 ][ ] ] [ ] [
+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] λ 2+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R 0−1 ) ] ( r 2+ μ+ d )−

3
[[
λ + ( r 2 + μ+ d ) −βp
S0
R0 ][ 2
] ] [[ ] [
+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] λ + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R 0−1 ) ] ( r 2 + μ+d )−

Berdasarkan persamaan karakteristik di atas diperoleh:

[
A= ( r 2 + μ+ d ) −βp
S0
R0 [][
+ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] ]

[ [ ] [
B= [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] ( r 2+ μ+ d )−βp
S0
R0 ]
+ [ μ+ μ ( R0−1 ) ][ μ+ k ( 1−r 1) ]+
β S 0 pμ ( R0 −1 )
R0 [

[
C=[ μ+ μ ( R0 −1 ) ][ μ+k ( 1−r 1 ) ] ( r 2 + μ+d ) −βp
R0 ]
S 0 β S0 ( 1− p ) μ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 ) β S 0 pμ ( R0 −1 )
+
R0
+
R0
[ μ+ k

Perhatikan bahwa,

[
A= ( r 2 + μ+ d ) −βp
S0
R0 ][
+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] ]

Ambil,

S0
A1= ( r 2 + μ+d )− βp
R0

pμ r 2 + p [ μ+k ( 1−r 1 ) ] ( μ +d )
¿ ( r 2 + μ+ d ) −
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
( r 2 + μ+d ) [ k ( 1−r 1 ) + μp ]− pμ r 2− p [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )
¿
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]

52
r 2 k ( 1−r 1 ) + pμr 2+ k ( 1−r 1 ) ( μ+d ) + pμ ( μ+d ) pμ r 2 + pμ ( μ+d ) + pk ( 1−r 1 ) ( μ+d )
¿ −
[ k ( 1−r 1 ) + μp ] [ k ( 1−r 1 )+ μp ]
r 2 k ( 1−r 1 ) +k ( 1−r 1 ) ( μ+ d )− pk ( 1−r 1 ) ( μ+d )
¿
[ k ( 1−r 1) + μp ]
[ r 2+ ( 1− p ) ( μ+ d ) ] k ( 1−r 1 )
¿
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
Karena 0< p<1 maka

[ r 2 + ( 1− p )( μ+d ) ] k ( 1−r 1 )
A1= >0
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
Akibatnya,

R0 >1 maka A>0

Selanjutnya akan ditunjukkan B>0,

[ [ ] [
B= [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ R0 ( r 2+ μ+ d )−βp
S0
R0 ]
+ [ μ R 0 ] [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] +
β S 0 pμ ( R0−1 )
R0 [ S0
]
− β ( 1−p ) + r 2 k
R0

Ambil B1 dari persamaan B, yaitu:

[
B1=[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( r 2+ μ+ d )−βp
S0
R0 ]
[ r 2+ (1−p )( μ+ d ) ] k ( 1−r 1 )
¿ [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]
[ k ( 1−r 1) + μp ]

¿ k ( 1−r 1 )
[ μ r 2 + μ ( 1− p ) ( μ+ d ) + r 2 k ( 1−r 1 ) +k ( 1−r 1 ) ( 1−p )( μ+ d ) ]
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
Ambil B2 dari persamaan B, yaitu:

53
[
B2= β ( 1− p )
S0
]
+r k ( 1−r 1 )
R0 2

¿ k ( 1−r 1 )
[ ( 1− p ) [ μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d ) ] + r 2 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
[ k ( 1−r 1 ) + μp ] ]
¿ k ( 1−r 1 )
[ μ r 2 + ( 1− p ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d ) +r 2 k ( 1−r 1 )
[ k ( 1−r 1 ) + μp ] ]
¿ k ( 1−r 1 )
[ μ r 2 + μ ( 1− p ) ( μ+ d ) + r 2 k ( 1−r 1 ) +k ( 1−r 1 ) ( 1−p )( μ+ d ) ]
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
Karena B1=B2, maka

β S 0 pμ ( R0 −1 )
B=μ R0 A 1 + μ R 0 [ μ+ k ( 1−r 1) ]+
R0

Akibatnya,

R0 >1 maka B>0

Selanjutnya,

β S0 ( 1− p ) μ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 ) β S 0 pμ ( R0 −1 )
C=μ R0 B1 +
R0
+
R0
[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] −B 2 μ R0

Karena B1=B2, maka

β S0 ( 1− p ) μ ( R 0−1 ) k ( 1−r 1 ) β S 0 pμ ( R0−1 )


C=
R0
+
R0 [ μ+k ( 1−r 1 ) ]
2
β S0 μ ( R 0−1 ) k ( 1−r 1 ) ( 1−p + p ) β S 0 p μ ( R 0−1 )
¿ +
R0 R0

54
2
β S0 μ ( R 0−1 ) k ( 1−r 1 ) + β S0 p μ ( R 0−1 )
¿
R0

β S0 μ ( R 0−1 ) [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
¿
R0

[
¿ μ ( R0−1 ) μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d ) ]
Karena R0 >0 , maka C>0 .

Karena A>0 , B>0 , dan C> 0 maka akan ditunjukkan AB> C .

[ [
AB= A 1+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ R0 ]] [ [ ]
μ R 0 A 1+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] +
β S0 pμ ( R 0−1 )
R0 ]
[[ ] ] [ [
¿ A 1 + [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ R0 μ R 0 A 1+ [ μ +k ( 1−r 1) ] + ]
β S0 pμ ( R 0−1 )
R0 ]
β S0 μ ( R 0−1 )
¿
R0
[ k ( 1−r 1) + μp ]=C

Terbukti AB> C .

Berdasarkan nilai koefisien polinomial P ( λ ) diperoleh:

a 0=1 , a1= A , a2 =B , a3 =C , a 4=0 , a5 =0

Dibentuk matriks Hurwitz sebagai berikut.

[ ][ ]
a1 a0 0 A 1 0
H= a3 a2 a1 = C B A
a5 a4 a3 0 0 C

Berdasarkan matriks Hurwitz di atas diperoleh determinan Hurwitz yaitu

Δ 1=a1 =A

55
Δ 2=
| || |
a1 a 0 A
=
a3 a 2 C
1
B
= AB−C

[ ][ ]
a1 a0 0 A 1 0
2
Δ 3= a3 a2 a1 = C B A = ABC −C =( AB−C ) C
a5 a 4 a3 0 0 C

Dari nilai A , B dan C maka dapat diketahui bahwa

A>0 ⇒ Δ1= A >0

A>0 , B>0 , C> 0 , dan AB>C ⇒ Δ2= AB−C >0

A>0 , B>0 , C> 0 , dan AB>C ⇒ Δ3=( AB−C ) C>0

Karena nilai Δ 1> 0 , Δ2 >0 dan Δ 3 >0, maka polinomial P ( λ ) mempunyai pembuat
nol yang bagian realnya negatif. Dengan demikian, semua bagian real nilai eigen
pada matriks J ( f ( X ) ) bernilai negatif jika R0 >1. Akibatnya, Sistem di sekitar titik
¿

ekuilibrium X ¿ =( S¿ , E ¿ , I ¿ ) stabil asimtotik lokal. Hal ini menunjukkan bahwa


dalam jangka waktu yang lama kondisi epidemi penyakit Tuberkulosis tetap ada
dalam arti lain masih ada individu yang terinfeksi penyakit Tuberkulosis.

3.3 Solusi Numerik dan Interpretasi Model


Berdasarkan model penularan Tuberkulosis satu strain yang di perkenalkan oleh
Bowong, et al pada tahun 2011, maka untuk memperoleh solusi numerik dan
interpretasi model diberikan parameter-parameter pada persamaan diferensial
tersebut:

Λ = 0.03 per Tahun r 1= 0.70 per Tahun

μ = 0.01 per Tahun r 2= 0.55 per Tahun

β = 8.00 per Tahun k = 0.00013 per Tahun

d = 0.3 per Tahun p = 0.033 per Tahun

Sehingga sistem menjadi:

56
d
S (t)=0.03−0.01 S−8.00 IS
dt

d
E(t)=8.00 ( 1−0.033 ) IS+ 0.55 I− [ 0.01+ 0.00013 ( 1−0.70 ) ] E
dt

d
I ( t )=0.00013 ( 1−0.70 ) E+8.00 (0.033)IS−( 0.55+ 0.01+ 0.3 ) I
dt

Langkah selanjutnya menentukan titik ekuilibrium bebas penyakit dan endemik


dengan menggunakan program maple, yaitu

X =( S0=3 , E 0=0 , I 0=0 )

X ¿ =( S¿ =2,9174 , E¿ =0.08153 , I ¿=0,0000354 )

Proses linearisasi sistem di atas menggunakan matriks Jacobian, diperoleh:

[ ]
−0,01−8 I 0 −8 S
J= 7,736 I −0,010039 7,736 S+ 0,55
0,264 I 0,000039 0,264 S−0,86

Dengan demikian, matriks Jacobian di titik ekuilibrium bebas penyakit ( X ) adalah

[ ]
−0,01 0 −24
J= 0 −0,010039 23,758
0 0,000039 −0,068

¿
Dan matriks Jacobian di titik ekuilibrium endemik ( X ¿ adalah

[ ]
−0,01028321813 0 −23.33899729
J= 0.0002738719288 −0,010039 23,11881038
0.000009346198192 0,000039 −0,0898130895

Kemudian dengan bantuan software matlab R2010a, diperoleh perilaku dinamik


dari sistem di atas dan simulasi ini menggunakan nilai awal untuk kondisi bebas

57
penyakit, yaitu S ( 0 )=1 , E ( 0 )=0 , I ( 0 )=0 dan kondisi endemik menggunakan nilai
awal yaitu S ( 0 )=1 , E ( 0 )=1 , I ( 0 )=1.

1.4
Rentan
Terjangkit
1.2
Terinfeksi

0.8
x

0.6

0.4

0.2

0
0 5 10 15
t

Gambar 3.2 Grafik Perilaku dinamik masing-masing sub-populasi pada saat


kondisi bebas penyakit.

Pada Gambar (3.2), (3.3), (3.4), dan (3.5) menunjukkan perilaku dinamik
dari sub-populasi rentan (S), sub-populasi terjangkit (E), dan sub-populasi
terinfeksi (I) terhadap waktu t selama 15 tahun. Sub-populasi rentan (Susceptible)
pada kondisi bebas penyakit bergerak naik terus menerus seperti pada Gambar
(3.2). Hal ini dikarenakan dalam beberapa tahun tidak terdapat penyakit yang
dapat menyebabkan kematian dan hanya mengalami kematian alami sekitar 1%
pertahun.

58
2.5
Rentan
Terjangkit
Terinfeksi
2

1.5
x

0.5

0
0 5 10 15
t

Gambar 3.3 Grafik Perilaku dinamik masing-masing sub-populasi pada saat r 1=0
dan r 2=0

Pada perkembangan selanjutnya pada Gambar (3.3) menunjukkan individu


rentan sangat lemah dan terus berkurang menuju titik ekuilibrium, dalam sub-
populasi rentan terdapat sub-populasi terjangkit dan sub-populasi terinfeksi seperti
pada Gambar (3.3) yang menyebabkan jumlah populasi rentan dalam waktu
kurang dari 1 tahun bergerak turun sangat cepat tanpa perlakuan pada sub-
populasi terjangkit dan terinfeksi menuju titik ekuilibrium model. Akan tetapi,
setelah beberapa tahun mencapai titik ekulibrium sub-populasi rentan bergerak
naik terus-menerus. Hal ini disebabkan sub-populasi terinfeksi maupun sub-
populasi terjangkit sudah bergerak pasif karena mengalami penurunan jumlah
individunya terinfeksinya.

59
3
Rentan
Terjangkit
2.5 Terinfeksi

1.5
x

0.5

0
0 5 10 15
t

Gambar 3.4 Grafik Perilaku dinamik masing-masing sub-populasi pada saat


r 1=0.70 dan r 2=0.55

Pada Gambar (3.4) sub-populasi terjangkit dan sub-populasi terinfeksi


tidak begitu terlihat berbeda dengan sebelumnya, tapi penurunan kedua populasi
ini terihat lebih cepat. Hal ini dikarenakan adanya pemberian Chemoprophylaxis
pada individu terjangkit dan terapi yang cukup pada individu terinfeksi.

3
Rentan
Terjangkit
2.5 Terinfeksi

1.5
x

0.5

0
0 5 10 15
t

Gambar 3.5 Grafik Perilaku dinamik masing-masing sub-populasi pada saat


r 1=0.70 dan r 2=3

60
Pada Gambar 3.5 dilakukan peningkatan pemberian terapi pada populasi
terinfeksi, yaitu dari 0.55 menjadi 3.0. Dengan adanya upaya peningkatan terapi
yang dilakukan oleh ahli medis dapat dilihat penurunan sub-populasi terinfeksi
sangat cepat yang mengakibatkan sub-populasi rentan lebih cepat naik. Selain itu,
penurunan jumlah individu terjangkit dipengaruhi juga oleh faktor kematian alami
pada sub-populasi terinfeksi. Adanya aktivitas dari Chemoprophylaxis yang
cukup aktif dalam menghambat bakteri Mycobacterium Tuberculosis untuk
bergerak aktif mengakibatkan grafik sub-populasi terinfeksi bergerak turun secara
drastis menuju titik ekulibrium.

Berdasarkan Gambar (3.3), (3.4), dan (3.5) dapat diketahui laju


penyebaran penyakit Tuberkulosis dapat dikurangi atau dihambat dengan adanya
perlakuan terapi dan pemberian Chemoprophylaxis secara teratur. Semakin tinggi
tingkat perlakuan terapi dan keteraturan dalam mengkonsumsi Chemoprophylaxis
maka tingkat kematian akibat penyakit akan semakin berkurang, sehingga sub-
populasi terinfeksi juga ikut berkurang.

61
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka penulis dapat menarik


kesimpulan, yaitu: Model matematika penularan penyakit Tuberkulosis satu strain
dengan penambahan parameter terapi dan obat antituberkulosis
(Chemoprophylaxis) adalah
Ṡ= Λ−μS−βIS
Ė=β ( 1− p ) IS +r 2 I−[ μ +k ( 1−r 1) ] E

İ =k ( 1−r 1 ) E + βpIS−( r 2 + μ+ d ) I

Dengan rasio reproduksi dasar ( R0 ) yaitu:

β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
R0 =
μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )

Jika R0 <1 maka sistem di sekitar titik ekuilibrium X = ( Λμ , 0,0) stabil asimtotik
lokal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka waktu yang lama individu yang

ada dalam populasi menuju titik X = ( Λμ , 0,0) atau tidak ada individu yang
terjangkit dan terinfeksi penyakit.

¿ ¿ ¿ ¿
Jika R0 >1 maka sistem di sekitar titik ekuilibrium X =( S , E , I ) stabil
asimtotik lokal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka waktu yang lama
kondisi epidemi penyakit Tuberkulosis tetap ada dalam arti lain masih ada
individu yang terinfeksi penyakit Tuberkulosis.

4.2 Saran

Perlu dikaji lebih lanjut mengenai kestabilan global titik ekuilibrium bebas
penyakit dan endemik serta perluasannya untuk masalah dan model yang lainnya,

62
selain itu juga dapat ditambahkan model persamaan sembuh pada model
penularan Tuberkulosis satu strain.

DAFTAR PUSTAKA

Anton, H., & Rorres, C. (2004). Aljabar Linear Elemnter versi Aplikasi.

Bowong, S., Tewa, J. J., & Kamgang, J. C. (2011). Stability analysis of the
transmission dynamics of tuberculosis models. World Journal of
Modelling and Simulation, 7(2), 83–100.

Campbell, J. F., & Arbogast, R. T. (2004). Stored‐product insects in a flour mill:


Population dynamics and response to fumigation treatments. Entomologia
Experimentalis et Applicata, 112(3), 217–225.

Chen, C.-T. (1984). Linear system theory and design. Saunders college
publishing.

Finizio, N. (1982). An introduction to differential equations. Wadsworth


publishing company.

Idianto, B. P., & Kusumastuti, N. (2013). ANalisis Kestabilan Lokal Model


Dinamika Penularan Tuberkulosis Satu Strain dengan Terapi dan
Efektivitas Chemoprophylaxis. Bimaster: Buletin Ilmiah Matematika,
Statistika dan Terapannya, 2(03).

Neuhauser, C., & Roper, M. L. (2004). Calculus for biology and medicine.
Pearson Upper Saddle River.

Ross, C. C., & Ross, C. C. (2004). About Differential Equations. Springer.

Suryo, J. (2010). Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan: Pneumonia–


Kanker Paru-Paru-TB-Bronkitis-Pleurisi. Bentang Pustaka.

63
64
65

You might also like