Professional Documents
Culture Documents
H1011211051
SKRIPSI
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2013
1
ANALISIS KESTABILAN LOKAL MODEL DINAMIKA PENULARAN
TUBERKULOSIS SATU STRAIN DENGAN TERAPI DAN
EFEKTIVITAS CHEMOPROPHYLAXIS
H1011211051
SKRIPSI
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2013
2
3
ANALISIS KESTABILAN LOKAL MODEL DINAMIKA PENULARAN
TUBERKULOSIS SATU STRAIN DENGAN TERAPI DAN EFEKTIVITAS
CHEMOPROPHYLAXIS
INTISARI
Kata kunci : model tuberkulosis, titik ekuilibrium, nilai eigen, matriks Jacobian, Kriteria
Routh-Hurwitz
4
LOCAL STABILITY ANALYSIS OF THE TRANSMISSION DYNAMICS OF ONE STRAIN
TUBERCULOSIS MODEL WITH THERAPEUTIC AND EFFECTIVE
CHEMOPROPHYLAXI
ABSTRACT
Keyword : tuberculosis model, equilibrium point, eigen value, Jacobian matrix, Routh-
Hurwitz Criterion
5
DAFTAR ISI
INTISARI...........................................................................................................................i
ABSTRACT.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Permasalahan...................................................................................................2
1.3 Tujuan...............................................................................................................2
1.4 Pembatasan masalah........................................................................................3
1.5 Tinjauan Pustaka.............................................................................................3
1.6 Metodologi Penelitian.......................................................................................4
BAB II LANDASAN TEORI...........................................................................................6
2.1 Sistem Persamaan Diferensial...............................................................................6
2.2 Model Matematika.................................................................................................7
2.3 Penyakit Tuberkulosis.........................................................................................10
2.3.1 Gejala dan Penularan Penyakit Tuberkulosis.............................................11
2.3.2 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis..............................................................12
2.4 Nilai Eigen.............................................................................................................14
2.5 Kestabilan Titik Ekuilibrium..............................................................................16
2.6 Kriteria Ruith-Hurwitz........................................................................................20
BAB III PEMBAHASAN................................................................................................24
3.1 Pembentukan Model Penularan Tuberkulosis Satu Strain...............................24
3.2 Analisis Model Penularan Tuberkulosis Satu Strain.........................................29
3.2.1 Titik Ekuilibrium Model..............................................................................29
3.2.2 Analisis Kestabilan Titik Ekuilibrium Model...........................................34
3.3 Solusi Numerik dan Interpretasi Model.............................................................50
BAB IV PENUTUP........................................................................................................56
4.1 Kesimpulan...........................................................................................................56
4.2 Saran.....................................................................................................................56
6
DAFTAR GAMBAR
7
8
BAB I
PENDAHULUAN
9
kematian terbesar kedua setelah AIDS. WHO menjelaskan bahwa angka tersebut
bukanlah angka pasti karena untuk mendapatkan jumlah pasti kasus TB setiap
tahunnya biayanya sangat mahal dan rumit.
Untuk itu, dalam penelitian ini direpresentasikan penularan Tuberkulosis satu
strain (varian M.tuberkulosis) pada suatu populasi sehingga populasi dapat
dikontrol dengan ukuran variabel tertentu, yaitu dengan mengelompokkan
populasi tersebut dalam tiga sub-populasi, yaitu sub-populasi rentan (S), sub-
populasi terjangkit (E), dan sub-populasi terinfeksi (I). Ketika strain
M.tuberculosis yang berpatogenitas ditularkan dari sub-populasi terinfeksi ke sub-
populasi rentan, maka individu pada sub-populasi rentan akan mengalami gejala
penyakit Tuberkulosis. Setiap penginfeksian diasumsikan terjadi dua progres yaitu
progres yang sangat cepat yang mengakibatkan individu rentan langsung
terinfeksi dan progres lambat mengakibatkan individu rentan menjadi terjangkit
penyakit tuberkulosis yang bersifat tidur (dormant). Adanya efektivitas obat anti
Tuberkulosis (Chemoprophylaxis) yang diberikan pada individu terjangkit dan
perlakuan terapi pada individu terinfeksi merupakan upaya petugas kesehatan
dalam mengurangi tingkat penularan penyakit Tuberkulosis. Setelah itu, model
yang terbentuk dianalisis kestabilannya, yaitu kestabilan lokal asimtotik model di
sekitar titik ekuilibrium bebas penyakit dan titik ekuilibrium endemik serta
menginterpretasikan model dalam bentuk grafik.
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan
10
1. Mengkaji model matematika penularan penyakit Tuberkulosis satu strain
dengan penambahan parameter Terapi dan parameter Chemoprophylaxis
berdasarkan pembagian sub-populasi.
2. Menentukan titik ekuilibrium model penularan penyakit Tuberkulosis satu
strain.
3. Menganalisis kestabilan model tersebut di sekitar titik ekuilibrium bebas
penyakit dan titik ekuilibrium endemik.
Dalam penelitian ini, ruang lingkup permasalahan dalam penulisan skripsi ini
pada analisis kestabilan lokal titik ekuilibrium bebas penyakit dan titik
ekuilibrium endemik model penularan Tuberkulosis satu strain dengan jenis
Tuberkulosis secara umum berdasarkan pembagian tiga sub-populasi, yaitu sub-
populasi rentan (S), sub-populasi terjangkit (E), dan sub-populasi terinfeksi (I ).
11
(2008). Selanjutnya dari nilai eigen dan teorema kestabilan diperoleh Kriteria
Routh-Hurwitz yang digunakan sebagai metode untuk menentukan kestabilan dari
model penularan Tuberkulosis satu strain yang dibahas dalam buku Tu (1994),
Chen (1984) dan Gantmacher (1960).
Pembentukan model penyebaran penyakit Tuberkulosis satu strain dalam
skripsi ini mengacu pada artikel international yang ditulis oleh Bowong, et al
(2011) yang berjudul “Stability Analysis of The Transmission Dinamics of
Tuberculosis Models”. Model yang terdapat pada artikel tersebut dianalisis untuk
mengetahui bagaimana pengaruh pemberian Chemoprophylaxis pada individu
terjangkit dan efektivitas terapi pada individu terinfeksi. Pembahasan dalam
artikel yang ditulis Bowong, et al (2011) masih sangat singkat. Oleh karena itu,
dalam skripsi ini akan dijabarkan dan dikaji secara jelas pembahasan model
penyebaran penyakit Tuberkulosis satu strain yang sudah tertera dalam artikel
tersebut. Titik-titik ekuilibrium, rasio reproduksi dasar, dan linearisasi dengan
matriks Jacobian akan dijabarkan lebih jelas serta akan dianalisis kestabilan lokal
model di sekitar titik ekuilibrium. Setelah itu akan dilengkapi dengan interpretasi
model berdasarkan nilai-nilai parameter yang diberikan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka.
Penelitian dimulai dengan mengkaji masalah nyata. Masalah yang dibahas dalam
penelitian ini adalah penularan penyakit Tuberkulosis satu strain dengan
penambahan parameter terapi dan Chemoprophylaxis. Langkah-langkah yang
dilakukan yaitu menyusun asumsi-asumsi untuk menyederhanakan model,
mendefinisikan parameter yang digunakan pada model. Setelah itu, dibentuk
diagram transfer model penularan Tuberkulosis dan berdasarkan diagram tranfer
dibentuk model penularan Tuberkulosis satu strain.
Langkah selanjutnya adalah menentukan titik ekuilibrium bebas penyakit dan
endemik model tersebut dengan menggunakan definisi titik ekuilibrium suatu
sistem. Setelah menentukan titik ekuilibrium model tersebut, langkah berikutnya
adalah menentukan kestabilan asimtotik lokal pada setiap titik ekuilibrium model
12
tersebut. Untuk menentukan kestabilan asimtotik lokal dilakukan linearisasi pada
sistem dengan membentuk matriks Jacobian sistem. Selanjutnya, menentukan
nilai-nilai eigen dari matriks Jacobian tersebut dengan menggunakan definisi nilai
eigen dari polinomial karakteristik suatu matriks dan teorema Routh-Hurwitz.
Setelah menyelidiki kestabilan lokal asimtotik model, langkah terakhir adalah
memberikan interpretasi pada model dengan memberikan nilai parameter yang
bertujuan untuk mengilustrasikan perilaku sub-populasi pada model yang
dibentuk dalam bentuk grafik dengan menggunakan program maple dan matlab.
MULAI A
Menyusun
Menentukan Titik Ekuilibrium Interpretasi
13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sistem Persamaan Diferensial
y =x + y −( x − y ) y (2.2)
'' 2 2 2 2 '
∂2 y ∂2 x ∂2 z (2.3)
− + =0
∂ t 2 ∂t 2 ∂ t 2
merupakan persamaan diferensial. Dalam persamaan (2.1) dan (2.2) fungsi
y=f ( x ) dinyatakan dengan variabel tak bebas y dan satu variabel bebas x.
Lambang y ' dan y ' ' dalam persamaan (2.1) dan (2.2) berturut-turut menyatakan
turunan pertama dan kedua dari fungsi y. Persamaan (2.1) dan (2.2) memuat
turunan biasa dan disebut persamaan diferensial biasa. Sedangkan persamaan (2.3)
disebut persamaan diferensial parsial (Finizio & Ladas, 1982).
14
Bentuk umum persamaan diferensial linear orde-n adalah
a n ( x ) y n+ an−1 ( x ) y n−1+ ⋯+ a1 ( x ) y' +a 0 ( x ) y=f (x)
Sebagai contoh:
' 2
2 x y + y=x
'' ' '' '
2 y − y + y −5=x
Selanjutnya, persamaan diferensial non linear adalah persamaan diferensial yang
bukan persamaan diferensial linear (Pamuntjak & Santosa, 1990).
15
disebut pemodelan matematika. Jadi, pemodelan matematika dapat dipandang
sebagai representasi masalah nyata yang dibentuk ke dalam persamaan atau
pertidaksamaan matematika. Berdasarkan informasi-informasi yang ada maka
masalah nyata dianalisis secara matematika dengan menggunakan metode dan
teori-teori matematika (Neuhauser, 2004).
Model matematika banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu dan bidang
studi, seperti aplikasi pada bidang fisika, biologi, kedokteran, teknik, ilmu sosial
dan politik, ekonomi, bisnis, dan jaringan komputer. Dalam memodelkan
matematika seringkali memanfaatkan persamaan diferensial. Persamaan
diferensial digunakan untuk merepresentasikan proses yang kontinu dan
diskontinu, khususnya pada bidang aplikasi yang dikenal sebagai dinamika
populasi. Langkah-langkah dalam pemodelan matematika dalam permasalahan
nyata diilustrasikan dalam diagram berikut (Neuhauser, 2004).
Problem
Asumsi untuk model
Dunia Nyata
Memformulasikan
masalah matematika
Menyelesaikan
masalah matematika
16
Keterangan gambar:
a. Identifikasi masalah
Identifikasi masalah yaitu mampu memahami masalah yang akan dirumuskan
sehingga dapat diubah ke dalam bahasa matematika.
b. Asumsi untuk model
Asumsi model yaitu dengan cara menyederhanakan banyaknya faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian yang sedang diamati dengan mengasumsi
hubungan sederhana antara variabel.
c. Memformulasikan model
Merumuskan model matematika dengan mengenali dan menamai variabel
bebas dan tak bebas, membuat anggapan yang menyederhanakan kejadian
seperlunya sehingga membuatnya dapat ditelusuri secara matematika.
Menerapkan matematika yang kita ketahui pada model matematika yang telah
dirumuskan dengan tujuan mendapatkan kesimpulan.
d. Menyelesaikan model
Setelah model diperoleh kemudian diselesaikan secara matematis, dalam hal
ini model yang digunakan dan penyelesaiannya menggunakan persamaan
diferensial.
e. Interpretasi solusi
Apabila yang membuat model mengalami kesulitan untuk menyelesaikan
model dan interpretasi model, maka kembali ke langkah 2 dan membuat
asumsi sederhana tambahan atau kembali ke langkah 1 untuk membuat
definisi ulang dari permasalahan.
f. Validasi Model
Sebelum menyimpulkan kejadian dunia nyata dari hasil model, terlebih
dahulu model tersebut harus diuji. Beberapa pertanyaan yang diajukan
sebelum melakukan uji dan mengumpulkan data, yaitu:
1) Apakah model menjawab masalah yang telah diidentifikasi?
2) Apakah data dapat dikumpulkan untuk menguji dan mengoperasikan
model dan memenuhi syarat apabila diuji.
17
Selanjutnya akan dibahas mengenai penyakit tuberkulosis, gejala, dan
pengobatannya.
(a) (b)
Gambar 2. 2 Foto thorax paru-paru (a) (b)
normal Sumber: kompas.com & mayoclinic.com, 2012
Resiko penularan setiap tahun atau Annual Risk of Tuberculosis Infection
(ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1% - 2%. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10
orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi
18
penderita Tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi
penderita Tuberkulosis (Suryo, 2010).
Gejala penyakit Tuberkulosis dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang berkaitan (Suryo, 2010).
A. Gejala sistemik/umum
1) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam.
2) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu, perasaan tidak enak dan lemah.
B. Gejala khusus
1) Bergantung dari organ tubuh yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar akan menimbulkan suara nafas yang lemah disertai sesak.
2) Jika ada cairan dirongga pleura dapat disertai rasa sakit di dada.
3) Jika mengenai tulang akan terjadi gejala seperti infeksi tulang.
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak atau meningitis.
Sekitar 30% - 50% anak yang mengalami kontak dengan penderita Tuberkulosis
paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5
tahun yang tinggal satu rumah dengan penderita Tuberkulosis paru dewasa dengan
Basil Tahan Asam (BTA) positif dilaporkan sekitar 30% terinfeksi. Suryo (2010)
juga menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan bakteri M.tuberculosis mudah
menular pada manusia adalah:
a. Faktor Umur,
b. Faktor Jenis Kelamin,
c. Tingkat Pendidikan,
d. Pekerjaan,
e. Kebiasaan Merokok,
f. Kepadatan Tempat Tinggal, dan
g. Pencahayaan
19
2.3.2 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis
Harian 3xSeminggu
Pyrazinamide
Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
(Z)
Streptomycin
Bakterisid 15 (12-18) 15(12-18)
(S)
Keterangan:
a. Isoniazid (H)
Isoniazid merupakan OAT yang bersifat bakterisid, yaitu antibiotika yang
secara aktif membasmi kuman. Dosis yang direkomendasikan adalah 5 mg/kg
berat badan/hari dan 10 mg/kg berat badan/kali dalam 3x seminggu dengan
dosis maksimal 300 mg.
b. Rifampicin (R)
Rifampicin merupakan OAT yang bersifat bakterisid. Dosis yang
direkomendasikan adalah 10 mg/kg berat badan/hari dan 10 mg/kg berat
badan/kali dalam 3x seminggu dengan dosis maksimal 600mg.
c. Pyrazinamide (Z)
20
Pyrazinamide merupakan OAT yang bersifat bakterisid. Dosis yang
direkomendasikan adalah 25 mg/kg berat badan/hari dan 35 mg/kg berat
badan/kali dalam 3x seminggu dengan dosis maksimal 1500 mg.
d. Streptomycin (S)
Streptomycin merupakan OAT yang bersifat bakterisid. Dosis yang
direkomendasikan adalah 15 mg/kg berat badan/hari dan 15 mg/kg berat
badan/kali dalam 3x seminggu dengan dosis maksimal 1000 mg.
e. Ethambutol (E)
Ethambutol merupakan OAT yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotika
yang bekerja dengan mencegah atau menghambat pertumbuhan kuman, tidak
membunuhnya, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya
tahan tubuh. Dosis yang direkomendasikan adalah 15 mg/kg berat badan/hari
dan 30 mg/kg berat badan/kali dalam 3x seminggu dengan dosis maksimal
1500 mg.
Depkes (2006) juga menerangkan prinsip-prinsip pengobatan Tuberkulosis
dapat dilakukan sebagai berikut:
a) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
b) Jangan mengkonsumsi OAT secara tunggal (monoterapi).
c) Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan tuberkulosis
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
A. Tahap awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien
dengan BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan.
B. Tahap Lanjutan
21
Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Contoh 2.1
Diberikan matriks A=
3 0
8 −1[ ]
, maka vektor x=
1
2 []
adalah vektor eigen dari
( λI − A ) x=0
kemudian dicari nilai x tak nol yang memenuhi sistem persamaan linear
( λI − A ) x=0 .
Persamaan ( λI − A ) x=0
22
akan mempunyai penyelesaian tak nol jika dan hanya jika
det ( λI −A )=0
Nilai λ yang memenuhi det ( λI −A )=0 disebut nilai eigen dan det ( λI −A ) disebut
polinomial karakteristik.
Contoh 2.2
Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari matriks B= [−13 20]!
Penyelesaian:
Polinomial karakteristik dari matriks B adalah
det ( λI −B )=det
([ 0λ 0λ]−[−13 20 ])
[
¿ det λ−3 −2
1 λ ]
2
¿ λ −3 λ+2
Dan persamaan karakteristik dari matriks B adalah
2
λ −3 λ+2=0
Penyelesaian dari persamaan ini adalah λ 1=1 dan λ 2=2
Jadi, nilai-nilai eigen dari matriks B adalah 1 dan 2.
Vektor eigen yang bersesuaian dengan λ 1=1 dan λ 2=2 adalah
Untuk λ 1=1
( λ 1 I − A ) x=0
[ 1 1 ] [ x ]=[ 00]
−2 −2 x 1
diperoleh
[−21 −2 0
1 0 ] [−20
1
b 2 + b1
2
−2 0
0 0 ]
atau
23
−2 x1 −2 x 2=0 ⇔ x 1=−x 2
Misalkan x 2=t , maka x 1=−t sehingga
[][ ][ ]
x1 −t
x2
=
t
=
−1
1
t
diperoleh
[−11 −2 0
2 0 ] [−10
b2 +b1
−2 0
0 0 ]
atau
−x 1−2 x2 =0 ⇔ x 1=−2 x 2
Misalkan x 2=t , maka x 1=−2 t sehingga
[][ ][ ]
x1 −2 t
x2
=
t
=
−2
1
t
24
Titik-titik ( x ¿ , y ¿ ) pada bidang fase xy yang membuat fungsi ẋ=f ( x ¿ , y ¿ ) dan
ẏ=g ( x ¿ , y ¿ ) sama dengan nol disebut titik ekuilibrium (Finizio & Ladas, 1982).
x δ
x0
ε
25
x0
x
x0
x0
Bukti:
(⇒ ) Jika sistem ẋ= Ax stabil asimtotik maka semua nilai eigen dari A
mempunyai bagian real yang negatif.
Andaikan ada nilai eigen yang bagian realnya positif. Diberikan sistem
ẋ= Ax maka solusi sistem ẋ= Ax selalu memuat bentuk e ℜ ( λ ) t sehingga jika ada
26
bagian real dari λ yang bernilai positif maka untuk t → ∞ nilai e ℜ ( λ ) t juga akan
semakin besar menuju tak hingga.
Selanjutnya, andaikan ada nilai eigen yang bagian realnya nol maka solusi
dari sistem ẋ= Ax akan memuat bentuk c t k cos ¿ atau c t k sin ¿ dengan k ≥ 0.
Akibatnya lim e At ≠ 0. Dengan kata lain, sistem ẋ= Ax tidak stabil asimtotik
t→∞
sehingga pengandaiannya salah. Jadi, jika sistem ẋ= Ax stabil asimtotik maka
semua nilai eigen dari A harus mempunyai bagian real yang negatif.
(⇐ ) Jika semua nilai eigen dari A mempunyai bagian real yang negatif maka
sistem ẋ= Ax stabil asimtotik.
Diberikan sistem ẋ= Ax maka solusi sistem ẋ= Ax selalu memuat bentuk e ℜ ( λ ) t
sehingga jika semua bagian real dari λ bernilai negatif maka untuk t → ∞ nilai
e ℜ ( λ ) t akan menuju nol. Dengan kata lain, saat t → ∞ , solusi sistem akan menuju
titik ekuilibrium, sehingga sistem ẋ= Ax stabil asimtotik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan sistem ẋ= Ax stabil asimtotik jika dan hanya
jika semua nilai eigen dari A mempunyai bagian real yang negatif.
[ ]
A= a b
c d
dengan polinomial karakteristik det ( λI −A )=0. Jika trace A negatif (Tr ( A)<0 )
dan determinan positif (det ( A)>0 ) maka semua nilai eigen (λ 1,2) dari A
mempunyai bagian real yang negatif.
Bukti:
Diketahui matriks
[ ]
A= a b
c d
dan polinomial karakteristiknya det ( λI −A )=0, maka
([ ] [ ]) [
det ( λI −A )=det λ 0 − a b =det λ−a
0 λ c d −c
−b =0
λ−d ]
27
( λ−a )( λ−d )−bc=0
2
λ −( a+ d ) λ+ ( ad−bc )=0
dengan Tr ( A )=a+d dan det ( A )=ad −bc , sehingga dapat ditulis
λ −( Tr ( A ) ) λ+ ( det ( A ) )=0.
2
λ 1,2=
√ 2
Tr (A )± ( Tr ( A) ) −4 det ( A ) Tr ( A)± D( A)
=
2 2
sehingga
D ( A ) <|Tr ( A )|
dan diketahui Tr ( A)<0 , akibatnya λ 1,2 pasti negatif atau dengan kata lain semua
nilai eigen (λ 1,2) dari A mempunyai bagian real yang negatif.
s
n−1
a 0(1) a 1(1) a 2(1) ⋯ a n(1)
(2) (2) (2) (1)
s
n−2
a0 a1 a2 ⋯ an
(3) (3) (3) (1)
s
n−3
a0 a1 a2 ⋯ an
⋮ ⋮ ⋮ ⋮ ⋯ ⋮
(n) (n) (n) (1)
s0 a0 a1 a2 ⋯ an
28
Elemen-elemen pada baris selanjutnya dapat ditentukan dengan:
( 1) (0 ) ( 0) (1 ) (1 ) ( 0) (0 ) ( 1)
a 0 a1 −a 0 a1 a0 a2 −a0 a 2
a 0( 2) = ( 1)
, a1 ( 2 ) = ( 1)
,⋯
a0 a0
(k +1) (k) (k) (k +1)
(k+2) a0 ai+1 −a0 a i+1
a i =
a0(k +1)
Proses pembentukan Tabel Routh dari karakteristik polinomial terdapat beberapa
elemen yang tidak dapat dicari, sehingga elemen berikutnya dalam satu garis
dianggap nol (Chen, 1984).
Kriteria Routh-Hurwitz menyatakan bahwa banyaknya perubahan tanda dalam
kolom pertama pada tabel Routh menandakan banyaknya akar-akar polinomial
∆ ( s ) yang bagian realnya positif. Akibatnya, sistem dikatakan stabil asimtotik
lokal jika dan hanya jika tidak ada tanda yang berbeda di dalam kolom pertama
Tabel Routh (Chen, 1984).
Contoh 2.3:
Diberikan karakteristik polinomial:
4 3 2
∆ ( s ) =s +10 s +20 s +40 s+60
4
s 1 20 60 0
s
3
10 40 0 0
2
s 16 60 0 0
40
s
1
0 0 0
16
s
0
60 0 0 0
Tidak ada tanda lain di dalam kolom pertama yang menunjukkan tidak adanya
akar-akar yang bagian realnya positif, akibatnya sistem dari polinomial ∆ ( s )
stabil.
29
Kriteria Routh-Hurwitz digunakan ketika nilai eigen persamaan karakteristik tidak
dapat ditentukan dengan mudah. Kriteria dari Routh-Hurwitz diberikan pada
Lemma 2. 6 (Gantmacher, 1960) Semua akar real dari polinomial berikut.
| | | |
a1 a3 ⋯ 0
a1 a3 a5
∆ 1=|a 1|, ∆2=
| |
a1
a0
a3 a
, ∆ = a0 a2 a 4 , ⋯ , ∆ n= 0
a2 3
0 a1 a3
⋮
a2 ⋯ 0
⋮ ⋮ ⋮
.
0 0 0 an
30
a 0=1 , a1= A , a2 =B , a3 =C dan a i=0 untuk i yang lain. Berdasarkan Lemma
kriteria Routh-Hurwitz, maka bagian real dari setiap akar polinomial
p ( λ )= λ3 + A λ2 + Bλ+C
adalah negatif jika dan hanya jika ∆ 1 , ∆ 2 , ∆ 3 positif, yaitu:
∆ 1=|a 1|=| A|= A> 0
∆ 2=
| || |
a1 a 3 A C
=
a0 a2 1 B
= AB−C >0 ⇔ AB>C
| || |
a1 a 3 a 5 A C 0
2
∆ 3 = a0 a2 a 4 = 1 B 0 = ABC−C > 0
0 a1 a 3 0 A C
Selanjutnya,
( ⇐ ) Akan dibuktikan jika A , C positif dan AB> C dengan A,B, dan C bilangan
real dan
p ( λ )= λ3 + A λ2 + Bλ+C
Maka ℜ ( λ )< 0.
Diketahui A , C positif dan AB> C maka
( AB−C ) C= ABC−C 2 >0
Akibatnya
A=| A|=|a 1|=∆ 1> 0
0
3
2
2
31
| || |
A C 0 a1 a3 a5
2
ABC−C = 1 B 0 = a0 a2 a4 =∆ 3> 0
0 A C 0 a1 a3
BAB III
PEMBAHASAN
Pada bab ini dibahas mengenai model penularan Tuberkulosis satu strain. Pada
subbab pertama akan dijelaskan mengenai pembentukan model penularan
Tuberkulosis satu strain dengan progres strain cepat maupun lambat. Selanjutnya,
pada subbab kedua dijelaskan mengenai analisis model penularan Tuberkulosis
satu strain dengan menganalisis titik ekuilibrium pada sistem. Subbab ketiga yaitu
interpretasi dari solusi numerik pada model penularan penyakit Tuberkulosis.
32
dimulai dengan membagi populasi menjadi tiga sub-populasi, yaitu sub-populasi
rentan ( S), sub-populasi terjangkit (E), dan sub-populasi terinfeksi ( I).
Proses pembentukan model penularan Tuberkulosis satu strain yang pertama
adalah menganalisis pembentukan model laju perubahan sub-populasi rentan (S)
terhadap waktu dinotasikan dengan Ṡ. Selanjutnya, dengan memperhatikan tingkat
kelahiran alami ( Λ ) pada sub-populasi rentan dengan asumsi setiap kelahiran baru
langsung masuk pada sub-populasi rentan, dideskripsikan oleh persamaan di
bawah ini.
Ṡ= Λ
Persamaan ini menunjukkan tingkat kelahiran alami tanpa adanya pengaruh dan
aktivitas populasi yang terinfeksi. Setiap makhluk hidup yang terlahir pasti akan
mengalami kematian, dengan demikian sub-populasi rentan juga mengalami
tingkat kematian alami ( μ ) , dideskripsikan oleh persamaan di bawah ini.
Ṡ=−μS
Persamaan ini merupakan hasil kali antara tingkat kematian alami dengan sub-
populasi rentan. Tanda negatif pada persamaan ini menunjukkan laju penurunan
individu pada sub-populasi rentan yang diakibatkan oleh kematian alami makhluk
hidup.
Selain adanya tingkat kematian alami, pada suatu waktu sub-populasi rentan
akan berinteraksi dengan sub-populasi terinfeksi ( I ) dan terjadi tingkat kontak ( β )
yang cukup untuk menularkan penyakit sehingga sebagian sub-populasi rentan
menjadi terinfeksi. Sebagian sub-populasi rentan yang mengalami kontak
langsung dengan sub-populasi terinfeksi mengalami progres cepat ( p ) maupun
lambat ( 1− p ) . Adanya progres cepat dan lambat mengakibatkan jumlah individu
pada sub-populasi rentan akan mengalami pengurangan karena progres cepat
mengakibatkan individu rentan masuk dalam sub-populasi terinfeksi sedangkan
progres lambat mengakibatkan individu masuk dalam sub-populasi terjangkit ( E )
yang suatu saat bisa terinfeksi, dideskripsikan oleh persamaan di bawah ini.
Ṡ=−βpIS−β ( 1−p ) IS
¿−βpIS−βIS + βpIS
33
¿−βIS
Ė=β ( 1− p ) IS
34
adanya faktor pertumbuhan pada M.tuberculosis. Dinotasikan k yaitu faktor
individu sub-populasi terjangkit yang kehilangan efektivitas Chemopophylaxis
dan masuk menjadi sub-populasi terinfeksi, dideskripsikan oleh persamaan di
bawah ini.
Ė=−k ( 1−r 1 ) E
Selain terjadi progress yang cepat pada sub-populasi rentan, sub-populasi
terjangkit juga mengalami proses kematian alami sebagaimana terjadi pada sub-
populasi rentan, dideskripsikan oleh persamaan di bawah ini.
Ė=−μE
Kondisi ini mengakibatkan adanya penurunan pada sub-populasi terjangkit.
Dengan demikian, persamaan model sub-populasi terjangkit menjadi
İ =k ( 1−r 1 ) E
35
Pada kurun waktu tertentu, banyaknya sub-populasi terinfeksi akan mengalami
penurunan. Penurunan jumlah sub-populasi yang terinfeksi disebabkan oleh
pemberian terapi pada sub-populasi terinfeksi, laju kematian alami dan penyakit
pada sub-populasi terinfeksi juga berperan dalam mengurangi jumlah individu
pada sub-populasi terinfeksi, dideskripsikan pada persamaan di bawah ini.
İ=−r 2 I −μI −dI =−( r 2+ μ +d ) I
Tanda negatif pada persamaan di atas menunjukkan berkurangnya individu pada
sub-populasi terinfeksi. Dengan demikian, model sub-populasi terinfeksi menjadi
¿ Λ−μS−μE−μI −dI
¿ Λ−μ ( S+ E + I ) −dI
¿ Λ−μN−dI (3. 3)
36
Pemberian Chemoprophylaxis r 1 pada populasi terjangkit dapat menghambat
proses pertumbuhan M.tuberculosis menjadi populasi terinfeksi (Depkes RI,
2006). Asumsi yang digunakan adalah asumsi untuk membantu dalam
mensimulasi model penularan Tuberkulosis.
Persamaan model penularan Tuberkulosis satu strain digambarkan dalam diagram
transfer di bawah ini.
βpI
k ( 1−r 1 )
Λ β (1−p ) I
S E
r2
I
μ μ μ+d
İ =k ( 1−r 1 ) E + βpIS−( r 2 + μ+ d ) I
37
k = besarnya faktor individu sub-populasi terjangkit yang kehilangan efektivitas
Chemopophylaxis dan masuk menjadi sub-populasi terinfeksi
d = tingkat kematian yang disebabkan penyakit.
Λ=μ S 0+ β I 0 S 0
Λ=( μ+ β I 0 ) S0
Λ
S0 =
μ+ β I 0
Λ
S0 =
μ
E0 =0
38
ekuilibrium dengan kondisi tidak adanya individu yang terinfeksi penyakit
tuberkulosis.
¿ ¿ ¿ ¿
k ( 1−r 1 ) E + βp I S −( r 2 + μ+d ) I =0
¿ ¿ ¿
Λ=μ S + β I S
Λ=( μ+ β I ¿ ) S¿
¿ Λ
S= ¿
μ+ β I
¿ Λ
Subsitusikan S = ¿ pada persamaan kedua Sistem 3.7, diperoleh:
μ+ β I
¿ β ( 1− p ) I ¿ S ¿ +r 2 I ¿
E=
μ+k ( 1−r 1 )
¿Λ ¿
β ( 1− p ) I ¿ +r 2 I
¿ μ+ β I
E=
μ+ k ( 1−r 1 )
39
¿
¿
(
I β ( 1− p )
Λ
+r
μ+ β I ¿ 2 )
μ+k ( 1−r 1 )
¿
I¿
[
β ( 1− p ) Λ
μ+ k ( 1−r 1 ) μ+ β I
¿ +r 2 ]
Substitusikan S¿ dan E¿ pada persamaan 3 Sistem 3.7 maka diperoleh:
¿ ¿ ¿ ¿
k ( 1−r 1 ) E + βp I S −( r 2 + μ+d ) I =0
[ ]
¿ ¿
I β (1−p ) Λ ΛI ¿
k ( 1−r 1 ) ¿ +r 2 + βp ¿ − ( r 2 + μ+d ) I =0
μ+k ( 1−r 1 ) μ + β I μ+ β I
[
k ( 1−r 1 ) I ¿ β ( 1− p ) Λ+r 2 ( μ+ β I ¿ )
][ ]
¿
( r 2 + μ+d ) ( μ+ β I )− Λ βp ¿
= I
μ +k ( 1−r 1) μ+ β I ¿ μ+ β I ¿
k ( 1−r 1)
β ( 1− p ) Λ+ r 2 ( μ+ β I ¿ )=( r 2+ μ+ d ) ( μ+ β I ¿ )− Λ βp
μ +k ( 1−r 1)
[ Λ βk ( 1−r ) +k ( 1−r ) r
1 1 2 ( μ+ β I ¿ )+ Λ βpμ−μ r 2 [ μ+k ( 1−r 1 ) ]−β I ¿ r 2 [ μ+k ( 1−r 1 ) ]− β I ¿ ( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−
[ μμ r + Λ βk ( 1−r ) + k ( 1−r ) r
2 1 1 2 ( μ+ β I ¿ ) + Λ βpμ−μ r 2 μ−μ r 2 k ( 1−r 1 )− β I ¿ r 2 μ−β I ¿ r 2 k ( 1−r 1 ) −( β I ¿
[ Λ βk ( 1−r ) + Λ βpμ−β I r
1
¿
2
¿
]
μ−β I ( μ +d ) [ μ +k ( 1−r 1) ] =μ ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μμ r 2
40
[ Λ β( k ( 1−r ) + μp)−β I [ r μ+ ( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r ) ] ] ]=μ [ ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r ) ] + μ r ]
1
¿
2 1 1 2
[
Λ β ( k ( 1−r 1 ) + μp ) −β I r 2 μ+ ( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]
¿
] =1
[
μ ( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 ]
Λ
β
μ
( k ( 1−r 1 ) + μp ) [
β I r 2 μ + ( μ +d ) [ μ +k ( 1−r 1) ]
¿
] −1=0
−
[ ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r ) ] + μ r ]
1 2 [
μ ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2 ]
β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp ) β ¿
− I −1=0
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 μ
β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp ) β ¿
−1= I
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 μ
¿
I=
μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2
−1
)
β
¿ Λ
S= ¿
μ+ β I
Λ
¿
μ+ β
μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2
−1
)
β
Λ Λ
¿ =
( )
β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp ) β S 0 ( k ( 1−r 1 )+ μp )
μ+ μ −1 μ
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 ( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2
41
[ ]
¿
¿ I β ( 1− p ) Λ
E= ¿ +r 2
μ +k ( 1−r 1) μ+ β I
μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
−1
)
[ ]
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]+ μ r 2 β ( 1− p ) Λ
¿ +r 2
β [ μ+k ( 1−r 1 ) ] β S0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
μ
( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2
¿ ¿ ¿ ¿
Jadi, titik ekuilibrium X =( S , E , I ) adalah
¿ Λ
S=
β S 0 ( k ( 1−r 1 )+ μp )
μ
( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2
μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
−1
)
[ ]
( μ +d ) [ μ+ k ( 1−r 1) ]+ μ r 2 β ( 1−p ) Λ
E¿ = +r 2
β [ μ+k ( 1−r 1 ) ] β S0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
μ
( μ+ d ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2
I ¿=
μ
( β S 0 ( k ( 1−r 1 ) + μp )
( μ+d ) [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ r 2
−1
)
β
42
[ ]
∂ Ṡ ∂ Ṡ ∂ Ṡ
∂S ∂E ∂I
∂ Ė ∂ Ė ∂ Ė
Jf ( X )=
∂S ∂E ∂I
∂ İ ∂ İ ∂ İ
∂S ∂E ∂I
[ ]
−μ−βI 0 −βS
Jf ( X )= β ( 1− p ) I −[ μ+k ( 1−r 1 ) ] β ( 1−p ) S+r 2
βpI k ( 1−r 1 ) βpS−( r 2+ μ+ d )
[ ]
−μ 0 −β S 0
Jf ( S 0 ,0,0 )= 0 −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] β ( 1− p ) S 0 +r 2
0 k ( 1−r 1 ) βp S 0−( r 2+ μ+ d )
J 1=
[ −[ μ+k ( 1−r 1 ) ]
k ( 1−r 1 )
[ β (1− p ) S 0+ r 2 ]
βp S0 −( r 2 + μ+d ) ]
Sistem di sekitar titik ekuilibrium bebas penyakit ( S0 , 0,0 ) akan stabil jika sub-
Trace ( J 1 ) <0 :
43
βp S0 <k ( 1−r 1 ) +2 μ +d +r 2
β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ] ≤ μ r 2+ [ μ +k ( 1−r 1) ] ( μ+ d )
β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
≤1
μ r 2+ [ μ+ k ( 1−r 1) ] ( μ+ d )
β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
R0 =
μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )
Λ
S¿ =
μ R0
)] [ ]
¿
μ ( R0 −1 ) β ( 1− p ) Λ
E= + r2
β [ μ+ k ( 1−r 1 μ R0
44
μ ( R0−1 )
I ¿=
β
¿ Λ
S=
μ R0
E¿ =
μ ( R0 −1 )
β [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] [
β ( 1− p ) Λ
μ R0
+ r2
]
¿
μ ( R0−1 )
I=
β
adalah
[ ]
−β S 0
−μ−μ ( R0−1 ) 0
R0
S0
J ( f ( X ¿ ) ) = ( 1− p ) μ ( R0−1 ) −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] β ( 1− p ) +r 2
R0
S
pμ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 ) βp 0 −( r 2+ μ+ d )
R0
Diberikan
β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
R0 =
μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )
45
Jika R0 <1 pada model (3.5) maka sistem di sekitar titik ekuilibrium bebas
[ ]
−μ 0 −β S 0
Jf ( S 0 ,0,0 )= 0 −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] β ( 1− p ) S 0 +r 2
0 k ( 1−r 1 ) βp S 0−( r 2+ μ+ d )
|[ ] [
λ 0 0 −μ
]|
0 −β S0
0 λ 0 − 0 −[ μ +k ( 1−r 1) ] β ( 1− p ) S0 +r 2 =0
0 0 λ 0 k ( 1−r 1 ) βp S 0−( r 2+ μ +d )
| |
λ+μ 0 β S0
0 λ + [ μ+k ( 1−r 1 ) ] −[ β ( 1− p ) S 0 +r 2 ] =0
0 −k ( 1−r 1 ) λ−[ βp S 0−( r 2 + μ+ d ) ]
det ( λI −Jf ( X ) )=a 11 a22 a33 +a12 a23 a31+ a13 a21 a 32
46
( λ+ μ ) [ λ+ [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ][ λ− [ βp S 0−( r 2+ μ+ d ) ] ] −( λ+ μ ) [−[ β ( 1− p ) S 0+ r 2 ] ] [−k ( 1−r 1 ) ]=0
[ ] [
λ 3+ [ 2 μ +k ( 1−r 1) ]−( βp S 0−( r 2 + μ+ d ) ) λ2 + [ μ2 +k ( 1−r 1) μ ]−[ 2 μ+k ( 1−r 1 ) ] ( βp S 0−( r 2+ μ+ d ) ) −( β ( 1−
Perhatikan bahwa
Karena
β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
<1
μ r 2+ [ μ+ k ( 1−r 1) ] ( μ+ d )
maka
47
[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] [ βp S0− ( r 2 + μ+d ) ] ← [ β (1− p ) S 0+ r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ]
[ β ( 1− p ) S0 +r 2 ] [ k ( 1−r 1 ) ]
βp S0 + < ( r 2 + μ+d )
[ μ+ k ( 1−r 1 ) ]
βp S0 < ( r 2+ μ+ d )
Selanjutnya
Diketahui
maka
Selanjutnya,
[
¿ [ ( r 2+ μ +d )− βp S 0 ][ μ+ k ( 1−r 1 ) ]−( β ( 1− p ) S 0+ r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) μ ]
karena μ>0 dan
maka
48
C=−[ μ 2+ k ( 1−r 1 ) μ ] ( βp S0− ( r 2 + μ+d ) ) −( β ( 1− p ) S 0+ r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) μ>0
[ ][ [
AB= 2 μ+k ( 1−r 1 ) + ( ( r 2+ μ+ d )−βp S 0) [ μ + k ( 1−r 1 ) μ ] + [ 2 μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( ( r 2+ μ+ d )−βp S 0) −( β ( 1− p )
2
[
¿ ( 2 μ+k ( 1−r 1 ) ) [ μ +k ( 1−r 1 ) μ ] + ( 2 μ+k ( 1−r 1 ) ) [ 2 μ+k ( 1−r 1 ) ] ( ( r 2 + μ+d ) −βp S 0 ) −( β ( 1−p ) S 0+ r 2 ) ( k (
2
[ ]
¿ [ ( r 2+ μ +d )− βp S 0 ][ μ+ k ( 1−r 1 ) ]−( β ( 1− p ) S 0+ r 2 ) ( k ( 1−r 1 ) ) μ=C
Terbukti AB> C
[ ][ ]
a1 a0 0 A 1 0
H= a3 a2 a1 = C B A
a5 a4 a3 0 0 C
Δ 1=a1 =A
Δ 2=
| || |
a1 a 0 A
=
a3 a 2 C
1
B
= AB−C
[ ][ ]
a1 a0 0 A 1 0
2
Δ 3= a3 a2 a1 = C B A = ABC −C =( AB−C ) C
a5 a 4 a3 0 0 C
49
A>0 , B>0 , C> 0 , dan AB>C ⇒ Δ3=( AB−C ) C>0
Karena nilai Δ 1> 0 , Δ2 >0 dan Δ 3 >0, maka polinomial P ( λ ) mempunyai pembuat
nol yang bagian realnya negatif. Dengan demikian, semua bagian real nilai eigen
pada matriks J ( f ( S 0 ,0,0 ) ) bernilai negatif jika R0 <1. Akibatnya, Sistem di sekitar
titik ekuilibrium X = ( Λμ , 0,0) stabil asimtotik lokal. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam jangka waktu yang lama individu yang ada dalam populasi menuju titik
X= ( Λμ , 0,0) atau tidak ada individu yang terjangkit dan terinfeksi penyakit.
Selanjutnya analisis kestabilan sistem di sekitar titik ekuilibrium endemik
diberikan pada Teorema 3.2 berikut.
Diberikan
β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
R0 =
μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )
Jika R0 >1 pada Model (3.5) maka sistem di sekitar titik ekuilibrium endemik
X ¿ =( S¿ , E ¿ , I ¿ ) dengan
¿ Λ
S=
μ R0
¿
E=
μ ( R0 −1 )
β [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] [
β ( 1− p ) Λ
μ R0
+ r2
]
μ ( R0−1 )
I ¿=
β
Bukti:
50
¿ ¿ ¿ ¿
Matriks Jacobian di titik ekuilibrium X =( S , E , I ) adalah
[ ]
−β S 0
−μ−μ ( R0−1 ) 0
R0
S0
J ( f ( X ) ) = ( 1− p ) μ ( R0−1 ) −[ μ+ k ( 1−r 1 ) ]
¿
β ( 1− p ) +r 2
R0
S0
pμ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 ) βp −( r 2+ μ+ d )
R0
| |
β S0
λ+ [ μ+ μ ( R 0−1 ) ] 0
R0
− pμ ( R0 −1 ) −k ( 1−r 1 )
[
λ+ ( r 2+ μ+ d )−βp
S0
R0 ]
[ ][
λ+ [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] λ+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ]][ [
λ+ ( r 2 + μ+d ) −βp
S0
R0 ]]
+
β S 0 ( 1−p ) μ ( R0 −1 ) k ( 1−r 1 ) β S0 pμ ( R
R0
+
R0
51
[[
λ 3+ ( r 2 + μ+ d ) −βp
S0
R0 ][ ] ] [ ] [
+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] λ 2+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R 0−1 ) ] ( r 2+ μ+ d )−
3
[[
λ + ( r 2 + μ+ d ) −βp
S0
R0 ][ 2
] ] [[ ] [
+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] λ + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R 0−1 ) ] ( r 2 + μ+d )−
[
A= ( r 2 + μ+ d ) −βp
S0
R0 [][
+ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] ]
[ [ ] [
B= [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] ( r 2+ μ+ d )−βp
S0
R0 ]
+ [ μ+ μ ( R0−1 ) ][ μ+ k ( 1−r 1) ]+
β S 0 pμ ( R0 −1 )
R0 [
−
[
C=[ μ+ μ ( R0 −1 ) ][ μ+k ( 1−r 1 ) ] ( r 2 + μ+d ) −βp
R0 ]
S 0 β S0 ( 1− p ) μ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 ) β S 0 pμ ( R0 −1 )
+
R0
+
R0
[ μ+ k
Perhatikan bahwa,
[
A= ( r 2 + μ+ d ) −βp
S0
R0 ][
+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + [ μ+ μ ( R0 −1 ) ] ]
Ambil,
S0
A1= ( r 2 + μ+d )− βp
R0
pμ r 2 + p [ μ+k ( 1−r 1 ) ] ( μ +d )
¿ ( r 2 + μ+ d ) −
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
( r 2 + μ+d ) [ k ( 1−r 1 ) + μp ]− pμ r 2− p [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )
¿
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
52
r 2 k ( 1−r 1 ) + pμr 2+ k ( 1−r 1 ) ( μ+d ) + pμ ( μ+d ) pμ r 2 + pμ ( μ+d ) + pk ( 1−r 1 ) ( μ+d )
¿ −
[ k ( 1−r 1 ) + μp ] [ k ( 1−r 1 )+ μp ]
r 2 k ( 1−r 1 ) +k ( 1−r 1 ) ( μ+ d )− pk ( 1−r 1 ) ( μ+d )
¿
[ k ( 1−r 1) + μp ]
[ r 2+ ( 1− p ) ( μ+ d ) ] k ( 1−r 1 )
¿
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
Karena 0< p<1 maka
[ r 2 + ( 1− p )( μ+d ) ] k ( 1−r 1 )
A1= >0
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
Akibatnya,
[ [ ] [
B= [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ R0 ( r 2+ μ+ d )−βp
S0
R0 ]
+ [ μ R 0 ] [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] +
β S 0 pμ ( R0−1 )
R0 [ S0
]
− β ( 1−p ) + r 2 k
R0
[
B1=[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( r 2+ μ+ d )−βp
S0
R0 ]
[ r 2+ (1−p )( μ+ d ) ] k ( 1−r 1 )
¿ [ μ+ k ( 1−r 1 ) ]
[ k ( 1−r 1) + μp ]
¿ k ( 1−r 1 )
[ μ r 2 + μ ( 1− p ) ( μ+ d ) + r 2 k ( 1−r 1 ) +k ( 1−r 1 ) ( 1−p )( μ+ d ) ]
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
Ambil B2 dari persamaan B, yaitu:
53
[
B2= β ( 1− p )
S0
]
+r k ( 1−r 1 )
R0 2
¿ k ( 1−r 1 )
[ ( 1− p ) [ μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d ) ] + r 2 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
[ k ( 1−r 1 ) + μp ] ]
¿ k ( 1−r 1 )
[ μ r 2 + ( 1− p ) [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d ) +r 2 k ( 1−r 1 )
[ k ( 1−r 1 ) + μp ] ]
¿ k ( 1−r 1 )
[ μ r 2 + μ ( 1− p ) ( μ+ d ) + r 2 k ( 1−r 1 ) +k ( 1−r 1 ) ( 1−p )( μ+ d ) ]
[ k ( 1−r 1 ) + μp ]
Karena B1=B2, maka
β S 0 pμ ( R0 −1 )
B=μ R0 A 1 + μ R 0 [ μ+ k ( 1−r 1) ]+
R0
Akibatnya,
Selanjutnya,
β S0 ( 1− p ) μ ( R0−1 ) k ( 1−r 1 ) β S 0 pμ ( R0 −1 )
C=μ R0 B1 +
R0
+
R0
[ μ+ k ( 1−r 1 ) ] −B 2 μ R0
54
2
β S0 μ ( R 0−1 ) k ( 1−r 1 ) + β S0 p μ ( R 0−1 )
¿
R0
β S0 μ ( R 0−1 ) [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
¿
R0
[
¿ μ ( R0−1 ) μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d ) ]
Karena R0 >0 , maka C>0 .
[ [
AB= A 1+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ R0 ]] [ [ ]
μ R 0 A 1+ [ μ+k ( 1−r 1 ) ] +
β S0 pμ ( R 0−1 )
R0 ]
[[ ] ] [ [
¿ A 1 + [ μ+k ( 1−r 1 ) ] + μ R0 μ R 0 A 1+ [ μ +k ( 1−r 1) ] + ]
β S0 pμ ( R 0−1 )
R0 ]
β S0 μ ( R 0−1 )
¿
R0
[ k ( 1−r 1) + μp ]=C
Terbukti AB> C .
[ ][ ]
a1 a0 0 A 1 0
H= a3 a2 a1 = C B A
a5 a4 a3 0 0 C
Δ 1=a1 =A
55
Δ 2=
| || |
a1 a 0 A
=
a3 a 2 C
1
B
= AB−C
[ ][ ]
a1 a0 0 A 1 0
2
Δ 3= a3 a2 a1 = C B A = ABC −C =( AB−C ) C
a5 a 4 a3 0 0 C
Karena nilai Δ 1> 0 , Δ2 >0 dan Δ 3 >0, maka polinomial P ( λ ) mempunyai pembuat
nol yang bagian realnya negatif. Dengan demikian, semua bagian real nilai eigen
pada matriks J ( f ( X ) ) bernilai negatif jika R0 >1. Akibatnya, Sistem di sekitar titik
¿
56
d
S (t)=0.03−0.01 S−8.00 IS
dt
d
E(t)=8.00 ( 1−0.033 ) IS+ 0.55 I− [ 0.01+ 0.00013 ( 1−0.70 ) ] E
dt
d
I ( t )=0.00013 ( 1−0.70 ) E+8.00 (0.033)IS−( 0.55+ 0.01+ 0.3 ) I
dt
[ ]
−0,01−8 I 0 −8 S
J= 7,736 I −0,010039 7,736 S+ 0,55
0,264 I 0,000039 0,264 S−0,86
[ ]
−0,01 0 −24
J= 0 −0,010039 23,758
0 0,000039 −0,068
¿
Dan matriks Jacobian di titik ekuilibrium endemik ( X ¿ adalah
[ ]
−0,01028321813 0 −23.33899729
J= 0.0002738719288 −0,010039 23,11881038
0.000009346198192 0,000039 −0,0898130895
57
penyakit, yaitu S ( 0 )=1 , E ( 0 )=0 , I ( 0 )=0 dan kondisi endemik menggunakan nilai
awal yaitu S ( 0 )=1 , E ( 0 )=1 , I ( 0 )=1.
1.4
Rentan
Terjangkit
1.2
Terinfeksi
0.8
x
0.6
0.4
0.2
0
0 5 10 15
t
Pada Gambar (3.2), (3.3), (3.4), dan (3.5) menunjukkan perilaku dinamik
dari sub-populasi rentan (S), sub-populasi terjangkit (E), dan sub-populasi
terinfeksi (I) terhadap waktu t selama 15 tahun. Sub-populasi rentan (Susceptible)
pada kondisi bebas penyakit bergerak naik terus menerus seperti pada Gambar
(3.2). Hal ini dikarenakan dalam beberapa tahun tidak terdapat penyakit yang
dapat menyebabkan kematian dan hanya mengalami kematian alami sekitar 1%
pertahun.
58
2.5
Rentan
Terjangkit
Terinfeksi
2
1.5
x
0.5
0
0 5 10 15
t
Gambar 3.3 Grafik Perilaku dinamik masing-masing sub-populasi pada saat r 1=0
dan r 2=0
59
3
Rentan
Terjangkit
2.5 Terinfeksi
1.5
x
0.5
0
0 5 10 15
t
3
Rentan
Terjangkit
2.5 Terinfeksi
1.5
x
0.5
0
0 5 10 15
t
60
Pada Gambar 3.5 dilakukan peningkatan pemberian terapi pada populasi
terinfeksi, yaitu dari 0.55 menjadi 3.0. Dengan adanya upaya peningkatan terapi
yang dilakukan oleh ahli medis dapat dilihat penurunan sub-populasi terinfeksi
sangat cepat yang mengakibatkan sub-populasi rentan lebih cepat naik. Selain itu,
penurunan jumlah individu terjangkit dipengaruhi juga oleh faktor kematian alami
pada sub-populasi terinfeksi. Adanya aktivitas dari Chemoprophylaxis yang
cukup aktif dalam menghambat bakteri Mycobacterium Tuberculosis untuk
bergerak aktif mengakibatkan grafik sub-populasi terinfeksi bergerak turun secara
drastis menuju titik ekulibrium.
61
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
İ =k ( 1−r 1 ) E + βpIS−( r 2 + μ+ d ) I
β S 0 [ k ( 1−r 1 ) + μp ]
R0 =
μ r 2 + [ μ+ k ( 1−r 1 ) ] ( μ+d )
Jika R0 <1 maka sistem di sekitar titik ekuilibrium X = ( Λμ , 0,0) stabil asimtotik
lokal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka waktu yang lama individu yang
ada dalam populasi menuju titik X = ( Λμ , 0,0) atau tidak ada individu yang
terjangkit dan terinfeksi penyakit.
¿ ¿ ¿ ¿
Jika R0 >1 maka sistem di sekitar titik ekuilibrium X =( S , E , I ) stabil
asimtotik lokal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka waktu yang lama
kondisi epidemi penyakit Tuberkulosis tetap ada dalam arti lain masih ada
individu yang terinfeksi penyakit Tuberkulosis.
4.2 Saran
Perlu dikaji lebih lanjut mengenai kestabilan global titik ekuilibrium bebas
penyakit dan endemik serta perluasannya untuk masalah dan model yang lainnya,
62
selain itu juga dapat ditambahkan model persamaan sembuh pada model
penularan Tuberkulosis satu strain.
DAFTAR PUSTAKA
Anton, H., & Rorres, C. (2004). Aljabar Linear Elemnter versi Aplikasi.
Bowong, S., Tewa, J. J., & Kamgang, J. C. (2011). Stability analysis of the
transmission dynamics of tuberculosis models. World Journal of
Modelling and Simulation, 7(2), 83–100.
Chen, C.-T. (1984). Linear system theory and design. Saunders college
publishing.
Neuhauser, C., & Roper, M. L. (2004). Calculus for biology and medicine.
Pearson Upper Saddle River.
63
64
65