You are on page 1of 20

MAKALAH

PANAHAN TRADISIONAL

OLEH :
KELOMPOK 10

1. RESKI ANITA AWALIA (200301522030)


2. ARYA GIAN ARIQOH (200301522020)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha megetahui dan maha bijaksana yang telah
memberi petunjuk agama yang lurus kepada hamba-Nya dan hanya kepada-Nya.
Salawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang
membimbing umat-Nya dengan suri tauladan-Nya yang baik.
Dan segalah Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan anugrah,
kesempatan dan pemikiran kepada kami untuk dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini merupakan pengetahuan tentang PANAHAN TRADISIONAL.
Semua ini di rangkum dalam makalah ini, agar pemahaman terhadap
permasalahan lebih mudah di pahami dan lebih singkat dan akurat.
Penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu proses pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaaat bagi
kita semua.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian........................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 4
A. Sejarah Panahan Tradisional ......................................................... 4
B. Jenis Panah Tradisional ................................................................ 6
1. Busur HORSEBOW dan Thumb Draw................................... 6
2. Yumi ....................................................................................... 8
3. Long Bow................................................................................ 9
4. Jemparingan  ........................................................................... 9
5. Gendewa.................................................................................. 11
6. FLAT BOW............................................................................. 14
7. SHORT BOW.......................................................................... 14
C. Teknik Bermain Panahan Tradisional .......................................... 15
BAB III PENUTUP................................................................................... 16
A. Kesimpulan.................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 17
BAB I
PENDAHULUAN
D. Latar Belakang

Jemparingan atau panahan tradisional pada awal mulanya adalah


sebuah upaya yang hanya di lakukan dalam rangka untuk melawan musuh di
medan perang. Makna jemparingan mengalami perubahan dan perkembangan
seiring perjalanan waktu. Perkembangan jemparingan ini menyangkut
beberapa aspek dalam kehidupan manusia. Pada awalnya Jemparingan hanya
tumbuh dan berkembang di Ngayogyakarta, yaitu di kerajaan Mataram yang
pada masa pemerintahannya dijalankan berdasarkan peraturan agama Islam.
Jemparingan mengalami perkembangan pada masa pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono I. Dalam Jemparinagn dikenal sebuah falsafah
yang sangat dalam maknanya, yaitu Pamenthanging Gandewa Pamanthenging
Cipta, yang memiliki arti, pada saat kita menarik gandewa atau busur, rasa
hati atau mata hati, ditujukan pada sasaran yang dituju. Hal itu dilakukan
dengan hati atau persaan, bukan dengan mata. Oleh karena itu, Jemparingan
sebetulnya mengajarkan kita untuk selalu konsentrasi dalam melakukan
segala sesuatu.
1. Perkembangan jemparingan dalam perjalanannya merambah hingga ke
daerah lain di sekitar Keraton Yogyakarta, salah satunya adalah di
Kabupaten WonogiriJemparingan masuk di Wonogiri pada tahun 2016, di
latar belakangi oleh semangat para remaja masjid yang ingin
mengamalkan sunah memanah secara legal. Mereka memilih jemparingan
sebagai alternatif olahraga panahan, karena dalam jemparingan terdapat
satu konsep yang menarik yaitu paseduluran atau silaturrahmi, selain itu
jemparingan merupakan salah satu olahraga yang termasuk sunah nabi.
2. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan menunjukan bahwa
dalam tradisi jemparingan di Wonogiri terdapat nilai-nilai pendidikan
Islam, yakni silaturrahmi dan pengamalan sunah. Wonogiri merupakan
salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah bagian
tenggara. Secara geografis, di bagian utara Wonogiri berbatasan dengan
Kabupaten Karang anyar dan Kabupaten Sukoharjo, bagian selatan
berbatasan langsung dengan bibir laut selatan. Bagian barat Wonogiri
berbatasan dengan Gunung Kidul dan Provinsi Yogyakarta, bagian timur
berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Ponorogo,
Kabupaten Magetan dan Kabupaten Pacitan. Secara astronomis terletak
pada garis lintang 7 o32‟ - 8 o15‟ Lintang Selatan dan garis bujur 110 o
41‟ - 111 o 18‟ Bujur Timur dengan luas kurang lebih 182.236 Ha.
3. Sebagai sebuah Kabupaten yang tergolong besar, wonogiri memiliki
berbagai seni kebudayaan yang beragam, antara lain adalah kesenian
kethek ogling, jamasan Pusaka Mangkunegara, Gebyar gajah mungkur,
ruwatan massal, Jemparingan dan lain sebagainya. Jemparingan atau
memanah merupakan salah satu olahraga yang disunahkan dalam ajaran
agama Islam, sebagai salah satu sarana untuk menjaga keutuhan Islam
melalui jihad. Olahraga memanah memiliki keistimewaan yang sangat luar
biasa, di samping sebagai sarana melatih focus dalam diri, memanah juga
memiliki nilai ibadah yang memiliki ganjaranganjaran tertentu di sisi
Alloh SWT.
4. Memanah dalam tradisi jawa memiliki nama tersendiri, penamaan itu
memiliki esensi yang sama dengan dengan kegiatan memanah pada
umumnya. Dalam tradisi Jawa, memanah di sebut dengan Jemparingan.
Jemparingan adalah jenis panahan khas Jawa yang telah ada sejak zaman
kerajaan di tanah Jawa, bahkan dapat dikatan Jemparingan lahir jauh
sebelum kerajaan – kerajaan di tanah Jawa ada. Tradisi dan ilmu
Jemparingan sudah digunakan di berbagai Negara untuk berperang
maupun berburu.
5. Kegiatan Jemparingan pada mulanya adalah kegiatan khusus yang
dilakukan oleh para penghuni keraton, khususnya di Mataram, baik oleh
para bangsawan kerajaan maupun keluarganya.
6. Seiring berjalanya waktu, Jemparingan yang awalnya hanya dilakukan
oleh prajurit keraton mengalamipergeseran. Jemparingan mulai menyebar
ke masyarakat luas, terutama di daerah yang ada kraton atau kadipaten
yang memiliki pasukan pemanah. Seperti Surakarta, Yogyakarta dan
Trenggalek. Jemparing memiliki sejarah asal muasal yang berbeda dari
berbagai daerah, termasuk dataran sunda. Jemparing di Jawa pada awal
mulanya lebih dikenal dengan warastro, yang memiliki arti dedher atau
anak panah, sebagian lagi mengartikan sebagai seperangkat alat memanah
yang terdiri dari gendewa dan anak panah / dedher. Selain itu, Jemparing
juga dikenal dengan sebutan astra, sara, bana, braja, margana, sayaka dan
naraca. Ada pula yang menyebut jemparing sebagai paser terutama di
daerah Trenggalek dan dikenal dengan sebutan pajer di daerah Madura.

E. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah penahanan tradisional ?
2. Apa saja jenis-jenis panahan tradisional ?
3. Bagaimana teknik bermain panahan tradisional ?

F. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sejarah tradisional
2. Untuk mengetahui jenis-jenis panahan tradisional
3. Untuk mengetahui teknik bermain panahan tradisional
BAB II
PEMBAHASAN

D. Sejarah Panahan Tradisional


Sejarah Jemparingan Mataram

Awalnya Jemparingan mulai ada pada masa Sultan Hamengku Buwono


I (HB I). Saat awal menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta, Sultan HB I
mendirikan sebuah sekolah untuk rakyat pada tahun 1757 masehi, 2 tahun
setelah perjanjian Giyanti. Jemparingan adalah salah satu mata pelajaran yang
diajarkan di sekolah itu.
Tata cara memanah Jemparingan yang berbeda dari panahan modern ini
memiliki nilai falsafah tersendiri. Pamentanging gandewa pamantanging cipta
yang memiliki makna mengutamakan konsentrasi. Cipta artinya adalah rasa.
"Jadi kalau kita lihat sasaran yang dilihat adalah dengan matahati bukan
dengan mata fisik. Mata fisik hanya perkiraan di sana (target). Yang harus
hidup hati kita," kata Kerabat Keraton Yogyakarta Kanjeng Raden
Tumenggung (KRT) Jatiningrat, saat ditemui di Alun-alun Kidul Kota
Yogyakarta, Sabtu (30/7/2022).
Falsafah yang diajarkan oleh Sri Sultan HB I kepada murid-muridnya
bertujuan agar saat murid beribadah atau melaksanakan shalat, murid dapat
merasakan bahwa Allah itu ada.
Oleh sebab itu, Sri Sultan HB I mengutamakan perasaan yang dilatih
kepada murid-muridnya. Lomba Jemparingan kali ini bertajuk Piala Ekalaya,
peserta dibagi menjadi 3 kategori Dewasa Pria, Dewasa Perempuan, dan anak-
anak.
Para peserta menggunakan pakaian jawa lengkap dengan blangkon khas
Yogyakarta bagi dewasa pria maupum anak-anak pria. Sedangkan untuk kelas
perempuan para peserta mengenakan sanggul.
Pukul 09.00 para peserta telah datang di Alun-alun kidul, busur panah
beserta anak panah dimasukkan pada sebuah tempat yang berbentuk silinder.
Para peserta duduk bersila di bawah tenda dengan diberi alas berupa
kayu dan dilapisi alas seperti tikar. Duduk bersila mereka mulai konsentrasi,
saat juri menyerukan mulai mereka satu persatu melesatkan anak panah ke
sasarannya. Busur panah terbuat dari kayu dengan panjang yang berbede tiap
pesertanya, sedangkan anak panah juga terbuat dari kayu dengan ujung berupa
seperti timah yang tajam. Sasaran berbentuk silinder di bagian tengah dibalut
kain berwarna putih, lalu di bagian atas dibalut warna kuning dan merah. Di
bawah sasaran yang berbentuk silinder terdapat bola kecil, para peserta tidak
diperbolehkan mengenai bola ini.
Jika, peserta berhasil mengenai sasaran yang berwarna merah
mendapatkan nilai 3, sasaran berwarna kuning bernilai 2, sasaran warna putih
bernilai 1, sedangkan jika mengenai bola peserta mendapatkan nilai minus.
Setiap sesi peserta mendapatkan kesempatan menembakkan anak panah
sebanyak 4 kali, setelah selesai mereka berdiri dari duduk silanya dan berdiri,
berjalan menghampiri untuk ambil anak panah. Para peserta dalam lomba ini
tidak hanya dari Daerah Istinewa Yogyakarta (DIY) tetapi juga dari luar DIY
seperti Jawa Tengah, dan Jawa Barat
Peserta dari Jawa Barat tepatnya dari Sumedang Roni Hidayat mengaku
baru satu kali ini mengikuti lomba Jemparingan dan dia senang mengikuti
lomba ini. Berbeda dengan peserta lainnya yang menggunakan pakaian adat
Yogyakarta ia menggunakan pakaian adat Jawa Barat.
Roni mengungkapkan di Sumedang juga terdapat olahraga panahan
tradisional yakni Kasumedangan. Tetapi ada yang berbeda pada
Kasumedangan dan Jemparingan, yakni ukuran busur Kasumedangan lebih
kecil. "Ukuran busur dan anak panah lebih kecil, dan jarak sasaran pada
Kasumedangan 50 meter di sini Jemparingan 30 meter," katanya.

E. Jenis Panah Tradisional


8. Busur HORSEBOW dan Thumb Draw

Sebelum itu, untuk dapat paham secara utuh, perlu diketahui


bahwa tradisi panahan di dunia ini tidaklah sama semuanya, tradisi
panahan di dunia ini berbeda-beda menurut perkembangan kebudayaan
dan peradabannya masing-masing. Secara umum, ada 2 tradisi besar
panahan, yaitu: Tradisi Barat dengan jenis busur dan teknik yang biasa
digunakan orang-orang barat semenjak dahulu seperti tradisi peradaban
Celtic/Galia, tradisi peradaban Romawi dan Yunani, tradisi peradaban
Germanic, tradisi peradaban Norse/Viking, tradisi peradaban Slavia, dan
sebagainya termasuk tradisi peradaban Barat Modern.
Serta ada Tradisi Timur dengan jenis busur dan teknik yang
digunakan orang-orang timur seperti dalam tradisi peradaban Islam (Arab,
Ottoman, Mamluk, Mughal, dsb), tradisi peradaban Stepa Asia Tengah
(Mongol, Hun, Tatar dsb), tradisi peradaban Persia dan Indo-Arya (India),
tradisi peradaban Semit dan Mesir Kuno, tradisi peradaban Timur Jauh
(Jepang, Korea, China), tradisi peradaban Nusantara dan sebagainya.
Selain itu ada lagi tradisi-tradisi panahan yang skalanya minor
atau telah punah seperti tradisi peradaban Afrika (barat, timur, tengah,
selatan), tradisi peradaban Indian Amerika Utara, tradisi peradaban
Amerika Selatan (Aztec, Inca, Maya), tradisi peradaban Aborigin dan
sebagainya. Sehingga masing-masing yang mempelajari tradisi memanah
ini akan memiliki sanad keilmuan yang berbeda-beda jika dirunut ke masa
lalu. Teknik dan metode panahan yang dipelajari dalam grup ini adalah
Tradisi Panahan Timur dengan menggunakan jenis Busur Horsebow dan
teknik Thumb Draw.
Definisi Busur Horsebow: Busur Horsebow adalah istilah umum
genre busur yang secara tradisi biasa digunakan sambil menunggang kuda
dengan performa yang paling optimal, karena ada busur lain yang juga
bisa digunakan di atas kuda namun tidak optimal. Busur horsebow
ditandai dengan ukurannya yang relatif pendek, walau ada juga yang
panjang, serta berbahan komposit: kayu/bambu, tanduk dan otot/sinew,
dan terdiri dari 3 bagian utama yaitu: gagang, dustar (lengan yang dapat
melengkung ketika busur ditarik) dan siyah (segmen kaku di ujung-ujung
busur tempat mengaitkan tali busur). Serta disebut dengan busur reflex,
karena busur ini umumnya berbentuk huruf C ketika belum dipasangkan
tali, dan harus diregangkan untuk dipasangkan tali hingga menjadi bentuk
lain yang didalamnya telah tersimpan energi potential pegas yang besar.
Definisi Thumb Draw: Teknik thumb draw adalah teknik
memanah dengan menggunakan jempol untuk menarik tali busur. Dalam
teknik ini, tali busur dikaitkan pada jempol yang diperkuat dengan kepalan
seluruh tangan yang digunakan untuk menarik busur. Ciri lainnya adalah
anak panah diletakkan di sisi kanan pada pangkal jempol tangan yang
memegang busur, bukan di sisi kiri. Alat bantu yang diperlukan dalam
teknik ini adalah pelindung jempol baik dalam bentuk kulit pelapis
maupun cincin jempol atau thumb ring.
9. Yumi 

Yumi amat panjang (sepanjang melebihi dua meter), melepasi


ketinggian pemanah (ite 射 手 ). Ia secara tradisi dihasilkan dengan
menggunakan laminating buluh, kayu dan kulit, menggunakan teknik yang
tidak berubah selama beberapa abad, sungguhpun sesetengah pemanah
(terutamanya yang baru) mungkin menggunakan yumi buatan. Pembinaan
yang digunakan dalam pembangunan Jepun bagi panah (laminated bow)
digunakan secara meluas selama beberapa abad sepanjang Eurasia Utara
dan semasa Jōmon di Jepun.
Yumi mempunyai bentuk taksekata (asymmetrik); kedudukan
pemegang adalah sekitar satu pertiga dari bawah dan bengkok bahagian
bawah dan atas adalah berbeza. Beberapa hipotesis telah ditawarkan bagi
bentuk tak sekata ini. Sesetenhag percaya bahawa ia direka bagi kegunaan
semasa menunggang kuda, di mana yumi boleh di alih dari kekiri dan
kekanan dengan mudah. Yang lain percaya bahawa bentuk tak sekata
diperlukan bagi membolehkan memanah dari kedudukan melutut dan
penjelasan lain adalah ia merupakan ciri kayu semenjak masa sebelum
teknik melapis.
Tali (tsuru) yumi secara tradisi dihasilkan dari hemp,
sungguhpun pemanah moden akan menggunakan tali yang dihasilkan dari
bahan buatan seperti Kevlar, yang tahan lebih lama. Tali panah biasanya
tidak diganti sehingga putus; ini menghasilkan yumi membengkok kearah
bertentangan dengan cara ia ditarik, dan dianggap baik bagi penjagaan
yumi. Titik menakuk panah pada tali dihasilkan melalui penggunaan hemp
dan gam bagi melindungi tali dan memberikan ketebalan yang membantu
memegang lekuk pada anak panah semasa menarik busur.
10. Long Bow

 Long Bow merupakan jenis busur yang memiliki dimensi busur


yang cukup panjang kira-kira panjangnya sama dengan tinggi
penggunanya. Panjang busur long bow dapat mencapai 2 meter. Dimensi
busur yang panjang ini dimaksudkan agar busur tersebut dapat ditarik
hingga mencapai wajah penggunanya. Salah satu varian dari busur ini
yaitu English Long Bow banyak digunakan oleh Inggris dalam peperangan
sebelum fungsi busur ini sebagai senjata digantikan oleh senjata api. Berat
tarikan (draw weight) dari busur ini dapat mencapai 160 lbf atau sekitar
710 N 
11. Jemparingan  

Jemparingan adalah seni budaya olahraga tradisional panahan.


Seperti halnya olahraga panahan yang kita kenal, jemparingan juga
menggunakan busur (bs. jawa: gandewo, gendewa) untuk melontarkan
anak panah (bs. jawa: jemparing). Berbeda dengan olahraga panahan yang
biasa kita saksikan, jemparingan memiliki beberapa perbedaan yang
membuat kegiatan ini menjadi unik dan menarik,
a) Duduk bersila.

Posisi duduk pemanah pada saat melakukan kegiatan jemparingan adalah


dengan duduk bersila.
b) Sasaran yang digunakan.

Olahraga panahan biasa menggunakan sasaran berupa lingkaran nilai, baik


itu kelas tradisi maupun kelas-kelas lain yang dilombakan. Dalam
jemparingan sasaran yang digunakan adalah orang-orangan (bs.jw: wong-
wongan, bandulan) berbentuk silinder dengan panjang sekitar 30-33 cm
dengan diameter 3.0-3.5cm;
c) Busana yang digunakan.
Yang paling menarik adalah di dalam sebuah gladhen jemparingan para
pemanah yang mengikuti perlombaan mengenakan busana jawa tradisional
lengkap (bs.jw: jawi jangkep).
jemparingan tradisional bandulan menggunakan gendewa untuk
melontarkan jemparing dengan sasaran berupa bandul. Pada bagian ini
akan dijelaskan peralatan apa saja yang dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan jemparingan tradisional bandulan.
Secara umum, peralatan yang digunakan dalam kegiatan jemparingan
tradisional bandulan adalah:
1. Gendewa
2. Jemparing
3. Bandul

12. Gendewa
Bahan yang digunakan untuk membuat sebuah gendewa terdiri dari kayu,
bambu dan tali (bs.Inggris: string, bs.Jawa: kendheng).
Bagian-bagian penting dari sebuah gendewa adalah:
a. Cengkolak (bs.Inggris: handle, bs.Ind: pegangan, grip) terbuat dari
kayu keras yang relatif ringan, seperti sono-keling, sawo, glugu
(batang kelapa) dan jenis kayu keras lainnya.
b. Lar (bs.Inggris: limb , bs.Ind: sayap) terbuat dari bambu kering
dengan ruas yang cukup panjang (sekitar 50-60 cm). Terdiri dari dua
bilah, bagian atas dan bawah. Bilah ini adalah bagian paling penting
dari sebuah gendewo karena berfungsi sebagai pelontar jemparing.
c. Kendheng (bs.Inggris: string, bs.Ind: tali busur) terbuat dari polyster
(Dacron B50), serat kevlar dan spectra . Saat ini bahan yang digunakan
sebagai bahan pembuat kendheng masih merupakan material yang
diimport dari luar negeri.
Bahan yang digunakan untuk membuat sebuah jemparing adalah bambu,
besi, bulu unggas dan sedikit bahan plastik. Bagian-bagian penting dari
sebuah jemparing adalah:
a. Deder (bs.Inggris: shaft, bs.Ind: batang) terbuat dari bambu
berbentuk silinder berdiameter 50 – 57 mm dengan panjang berkisar
antara 60 – 70 cm.
b. Bedor (bs.Inggris: arrow head, bs.Ind: mata panah) terbuat dari besi,
berbentuk runcing.
c. Wulu (bs.Inggris: fletching, bs.Ind: bulu) terbuat dari bulu unggas,
biasanya memanfaatkan bulu itik/entok.

d. Nyenyep (bs.Inggris: nock, bs.Ind: nok) terbuat dari bahan plastik,


yang sampai saat ini masih diimport dari luar-negeri.
Material bandul bisa sangat beragam. Namun bahan yang paling
sering digunakan adalah jerami, lembar karet, busa dan kain untuk
membungkusnya. Agar tidak mudah robek, kain biasanya diberi lapisan
pengeras dengan lem kayu/kertas. Ukuran bandul yang biasa digunakan
adalah bandul dengan ukuran panjang 30-33 cm dengan diameter 3.0 – 3.5
cm.
Bandul yang digunakan untuk jemparingan tradisional bandulan biasanya
diberi warna merah di ujung atas (sekitar 5 cm) dan sisanya adalah putih.
Namun beberapa tradisi juga memberikan warna kuning (dengan lebar 1
cm) di antara warna merah dan putih serta warna hitam (dengan lebar 1
cm) di bagian bawah.
Warna pada bandulan memiliki penyebutan dan nilai yang berbeda.

a. Warna merah diberi nama molo, sirah (Ind: kepala) dan bernilai 3;
b. Warna kuning jika ada pada bandul diberi nama jonggo (Ind: leher)
dengan nilai 2;
c. Warna putih diberi nama awak (Ind: badan) dan nilai 1;
d. Warna hitam jika ada pada bandul diberi nama bokong (Ind: pantat)
dengan nilai -1;

bandul ini diletakkan sejauh 30 – 33 meter dari posisi pemanah dan


menggantung setinggi 160 cm dihitung dari permukaan tanah hingga
ujung atas bandul.
Untuk menahan laju jemparing yang tidak mengenai bandul, biasanya di
bagian belakang bandul akan dipasang geber (bs.Ind: tirai) yang terbuat
dari lembaran karet keras dengan ketebalan 0.8 – 1 cm.
13. FLAT BOW

Busur jenis ini hampir-hampir tidak melengkung. Limb-nya rata dan


penampangnya relative lebih lebar. Bentuknya lebih terlihat seperti
persegi. Namun demikian, flatbow modern sekarang ini justru lebih mirip
dengan longbow klasik.

14. SHORT BOW

Busur ini merupakan versi lebih pendek dari longbow maupun flatbow.


Hanya saja, busur ini memiliki kelemahan tarikan yang tidak bisa panjang
karena busurnya pendek. Efeknya, daya jangkau dari anak panah yang
dilesatkan juga lebih pendek.
Shortbow pertama kali berkembang di Amerika dan Afrika yang
digunakan oleh suku-suku di pedalaman untuk tujuan berburu.
F. Teknik Bermain Panahan Tradisional
1. Memanah sambil duduk bersila biasanya sambil memakai kain
2. Cara memegang busur kalah membidik posisi miring menarik tali busur
sampai bibir
3. Busur bambu
4. Busur tidak dilengkapi alat pembibitan tertentu
5. Tidak ada perlengkapan khusus
6. Sasaran berbentuk orang-orang posisi vertikal panjang 30 cm Diameter 3,5
cm Pada bagian atas dicat merah lalu kuning dan selebihnya warna putih
nilai tertinggi yang bisa membidik di bagian berwarna merah kepala
bagian bawah diberi lonceng kecil sehingga bila kena sasaran akan
berbunyi
BAB III
PENUTUP
C. Kesimpulan
Panahan tradisional pada awal mulanya adalah sebuah upaya yang
hanya di lakukan dalam rangka untuk melawan musuh di medan perang.
Makna jemparingan mengalami perubahan dan perkembangan seiring
perjalanan waktu.
Dalam Jemparinagn dikenal sebuah falsafah yang sangat dalam
maknanya, yaitu Pamenthanging Gandewa Pamanthenging Cipta, yang
memiliki arti, pada saat kita menarik gandewa atau busur, rasa hati atau mata
hati, ditujukan pada sasaran yang dituju. Hal itu dilakukan dengan hati atau
persaan, bukan dengan mata. Oleh karena itu, Jemparingan sebetulnya
mengajarkan kita untuk selalu konsentrasi dalam melakukan segala sesuatu.

D. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kekurangan,
oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan demi
penyempurnaan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.birulangit.id/2017/11/beberapa-jenis-panah-tradisional.html?m=1
https://yogyakarta.kompas.com/
https://haniwidiatmoko.com/jemparingan-gaya-panahan-tradisional/
http://eprints.umpo.ac.id/\

You might also like