Professional Documents
Culture Documents
D - 762014002 - Bab Ii
D - 762014002 - Bab Ii
1 Disadari bahwa dalam penelitian kualitatif, bila ada teori-teori yang digunakan,
maka sifat teori-teori tersebut hanyalah sebagai “a tentative conceptual framework,” Lihat
ulasan John W. Creswell, Research Design Qualitative & Quantitave Approaches (London:
Sage Publications, Inc.,2003), 93-97. Sehingga teori yang digunakan sesungguhnya lebih
dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan teori-teori tersebut dalam
perjumpaannya dengan realita induktif.
2 Paparan ketiga pemikir sosiologi klasik tentang agama ini, merupakan kompilasi
dari Materi Ujian Komprehensif yang telah penulis presentasikan pada tanggal 9 Oktober
2017.
3 Dirangkum dari karya Marx atau tentang Marx, antara lain: (1) Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844; (2) German Ideology; (3) Karl Marx dalam Robert Tucker
(ed), The Marx-Engels Reader (London: W. W. Norton & Company, 1978;
4Karl Marx & Friedrich Engels, The German Ideology, Including Thesis on Feuerbach,
29
30 Religiositas Ambon-Kristen …
menyatakan bahwa manusialah yang menciptakan agama. Lihat, Karl Marx dalam Robert
Tucker (ed), The Marx-Engels Reader (London: W.W.Norton & Company, 1978), 54-55.
6 Keempat alienasi tersebut adalah (1) teralienasi dari hasil pekerjaannya, (2)
teralineasi dari aksi atau tindakannya, (3) teralienasi dari keberadaannya sendiri sebagai
(spesies) manusia, dan (4) teralienasi secara sosial (dari lingkungan sosialnya). Tentunya
dalam hal ini, Marx tidak menuduh bahwa agama sebagai faktor tunggal penyebab alienasi,
melainkan baginya, faktor ekonomi kapitalisme-lah yang menjadi penyebab utamanya.
Selain tentunya ada faktor-faktor politik, kekuasaan dan negara.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 31
Dialectics of Religion: Metaphor, Expression and Protest”, dalam Waren S. Goldstein (ed),
Marx, Critical Theory and Religion: A Critique of Rational Choice (Boston: BRILL, 2006),20.
8 Dirangkum dari karya Weber, antara lain: (1) The Sociology of Religion; The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism; (2) Economy and Society – Vol.2; (3) Sociology –
From Max Weber: Essays in Sociology.
32 Religiositas Ambon-Kristen …
9 Weber mengulas tentang fenomena gagasan tentang tuhan yang mengalami evolusi
klan secara aktual atau imajiner yang dibentuk lewat semangat keagamaan. Yang kedua
adalah tipe penguasa patrimonial, yakni aturan patrimoni persatuan rumah tangga
bangsawan yang berbeda ketimbang persatuan rumah tangga orang-orang biasa,
dikonstruksi di atas pola ekonomi domestik patrimoni yang diperluas. Apabila
perkembangan penguasa patrimonial mengarah pada konfederasi keagamaan, maka akan
berkembang sebuah tuhan khusus dari organisasi politik, sebagaimana di kasus Israel
dengan Yahweh. Artinya, secara sosiologis Yahweh tidak lain adalah tuhan federasi – yang
menurut tradisi berupa aliansi orang Yahudi dan Midian – mengarah pada konsekuensi
yang lebih fatalistik. Dengan demikian menjadi jelas bahwa formasi dari sebuah asosiasi
politik yang memerlukan subordinasi bagi tuhannya adalah merupakan sebuah fenomena
universal. Atau dengan kata lain sudah menjadi sebuah gejala umum bahwa setiap asosiasi
politik memiliki tuhan khusus yang menjamin keberhasilan tindakan politiknya. Dalam
perkembangan selanjutnya, tuhan ini menjadi eksklusif dalam hubungan dengan orang luar
dan pada prinsipnya ia menerima persembahan-persembahan dan doa-doa hanya dari
anggota-anggota kelompoknya (Ibid,17). Inilah akar eksklusifisme dan partikularisme
agama. Namun demikian, Weber juga berpendapat bahwa penaklukkan politik dan militer
jugamembutuhkan kemenangan sosok tuhan yang lebih kuat atas tuhan yang lebih lemah
dari kelompok yang ditaklukkan. Dalam hal ini, tidak setiap tuhan dari sebuah kelompok
politik adalah sebuah tuhan lokal. Yahweh misalnya, digambarkan sebagai tuhan yang
berjalan dengan dan menjadi pemimpin umatnya. Tetapi Yahweh juga digambarkan sebagai
tuhan yang datang dari jauh, yaitu tuhan dari bangsa-bangsa yang tinggal di Sinai dan yang
akan datang mendekat hanya ketika kebutuhan militer dari umatnya membutuhkan
kehadiran dan partisipasinya. Menurut Weber, inilah akar evolusi konsep Yahweh sebagai
tuhan yang omnipotent dan universal.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 35
tetapi dalam banyak kasus, doa seperti itu bersifat rasional dan
“tawar-menawar bisnis”. Sementara kurban adalah instrument
magis yang “memaksa” ilah-ilah. Salah satu pandangan tentang
kurban, khususnya kurban hewan adalah bahwa kurban itu
menandakan persekutuan antara manusia dengan ilah
(communion). Dengan merayakan acara makan bersama maka
tercipta komunitas persaudaraan antara yang memberi kurban
dengan yang menerima kurban. Hal ini merupakan transformasi
pemahaman bahwa dengan mengkonsumsi sebuah hewan, yang
dianggap punya kekuatan istimewa, maka kekuatan itu akan
berpindah kepada orang-orang yang makan hewan kurban itu.
Di sisi lain, terjadi peningkatan dominasi motif-motif non
magis yang ditimbulkan oleh pengakuan yang berkembang tentang
kekuasaan tuhan dan karakternya sebagai maharaja personal
(personal overlord). Tuhan menjadi tuhan yang hebat, yang tidak
dapat didekati lagi dengan cara-cara pemaksaaan magis, kecuali
dengan covenant dan hadiah. Sebetulnya hal ini tidak jauh berbeda
dengan cara magi itu sendiri. Sebab tema sentralnya sama, yaitu:
“do ut des” (memberi supaya diberi). Aspek ini melekat pada
perilaku religius yang rutin dan massif dari semua orang di
sepanjang zaman dan di semua agama. Kepentingan doa sangat
standar: mengatasi kejahatan eksternal di dunia dan menarik
keuntungan eksternal dari dunia ini. Karena itu menurut Weber,
setiap aspek dari fenomena religius, yang menunjuk pada yang
melampaui kejahatan dan keuntungan dalam dunia ini adalah,
hasil karya dari proses evolusi khusus, yang dicirikan oleh dua
aspek: Pertama, adanya sistematisasi rasional konsep tuhan dan
pemikiran yang berkenaan dengan hubungan-hubungan antara
manusia dengan tuhan;Kedua, terjadinya penyusutan karakteristik
rasionalisme kepada orisionalitas, kepraktisan, dan kalkulasi.
Penyusutan tersebut sangat dilatari dengan pencarian keuntungan
bagi kesuksesan ekonomi sehari-hari.
Selanjutnya, Weber pun mengulas aspek sosiologis dari
kemunculan keimaman (priestshood), sebagai sosok yang berbeda
dengan praktisi magis. Menurutnya, munculnya “imam”
36 Religiositas Ambon-Kristen …
10 Ibid, 30. Bagi Weber, perkembangan penuh dari rasionalisasi metafisik dan etika
keagamaan membutuhkan imam yang independent dan terlatih secara professional, secara
permanen dipenuhi dengan kultus dan dengan problem-problem praktis penyembuhan
jiwa. Akibatnya etika berkembang menjadi sesuatu yang berbeda dengan agama yang
terasionalisasi secara metafisik. Dampaknya – seperti yang terjadi di dalam pemikiran Cina
klasik – agama kehilangan imam yang indipenden, demikian juga di dalam Buddhisme kuno
yang kehilangan kultus dan imam. Akibatnya rasionalisasi kehidupan keagamaan
mengalami fragmenter, atau hilang total, bila keimaman gagal meraih status kelas yang
independen. Selanjutnya, ketika tuhan tampaknya seperti sudah tidak berkuasa, maka imam
mempunyai cara tersendiri untuk menafsirkan mengapa hal tersebut bisa terjadi, terutama
pada pihak perilaku para penyembah tuhan tersebut. Salah satu interpretasi imam adalah
bahwa tuhan tidak dapat dipengaruhi karena para penyembahnya kurang menghormati dia.
Di sini tentu saja yang berlaku adalah penyembahan bukan pemaksaan secara magis. Dalam
hal inilah perbedaan antara gagasan tentang tuhan (god) dengan gagasan tentang jin
(demon). Tuhan hanya dapat dipengaruhi melalui doa permohonan, sedangkan jin dipaksa
melalui magis. Perbedaan lain adalah tuhan selalu dipahami sebagai yang memiliki
kekuasaan yang berguna bagi manusia sedangkan jin memiliki kekuasaan yang
membahayakan manusia. Dari sini kemudian muncul gagasan tentang karakter yang baik
dan yang kejam di dalam pantheon. Gagasan tersebut kemudian berkembang menjadi
gagasan tentang karakter etis tuhan, terutama di dalam agama monoteisme.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 37
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang dijamin dan diperkuat oleh motivasi-
motivasi magis.
38 Religiositas Ambon-Kristen …
12 Tentang khotbah, Weber melihat hubungannya dengan agama profetik. Dalam hal
ini khotbah adalah instruksi kolektif yang berkenaan dengan hal-hal keagamaan dan etika
yang terkait dengan kenabian. Selanjutnya khotbah akan merosot bila agama berubah dari
agama profetik menjadi agama imamat. Demikian juga sebaliknya, khotbah akan
berkembang ketika agama imamat berubah menjadi agama profetik. Sementara pelayanan
pastoral ~ sebagai bagian dari kultivasi keagamaan, di dalam rasionalisasinya dan
sistematisasinya adalah hasil dari agama yang dinyatakan secara profetik. Pelayanan
pastoral dapat menjadi instrument kekuasaan imam karena dengannya imam dapat
memengaruhi tingkah laku kehidupan. Bila ini terus berkembang maka agama akan
mencapai karakter etisnya. Jadi, bagi Weber, semakin agama menjadi agama etis, semakin
pelayanan pastoral dibutuhkan. Semakin pelayanan pastoral memengaruhi tingkah laku
kehidupan, semakin agama menjadi agama etis.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 39
13Ibid,223.
14Dirangkum dari beberapa karyanya, antara lain: (1) The Division of Labor in Society,
Second edtion (1902);(2) The Elementary Forms of The Religious Life(1965); dan (3) Suicide:
AStudy in Sociology(1952).
15 E. Durkheim, The Elementary Forms of the Religious. Translated by Joseph Ward
yang punya makna objektif dan fungsi yang sama di mana dan
kapanpun, terlepas dari keragaman bentuknya masing-masing.
Elemen inilah yang membentuk sesuatu yang abadi dan manusiawi
dalam agama. Persoalan bagaimana cara mengungkapkan elemen-
elemen ini, membawa kita pada soal metodologi yang dipakai oleh
Durkheim, yaitu melihat bagaimana fenomena religius masih
membawa bekas-bekas yang jelas dari asal-muasalnya.16
Sehubungan dengan itu, Durkheim melihat bahwa, semua
kepercayaan religius memperlihatkan satu ciri yang umum, yaitu
klasifikasi tentang yang profan dengan yang sakral. Ia
memasukkan pada yang sakral itu misalnya kepercayaan, mitos,
dogma, legenda. Lalu, apa yang menjadi karakteristik yang sakral
itu sehingga bisa dibedakan dengan yang profan? Durkheim
menjawab: (1) Yang sakral cenderung memiliki martabat dan
kekuatan yang superior ketimbang yang profan, dan(2) Yang
sakral itu memiliki sifat absolut.17
Menurut Durkheim, antara yang sakral dengan yang
profan, ada perbedaan genus. Walaupun orang dapat beralih dari
dunia profan ke dunia sakral, tetapi kedua dunia itu berbeda
bahkan beroposisi satu dengan lainnya. Bahkan dalam pemikiran
manusia, konsep tentang yang sakral “selalu terpisah” dari konsep
tentang yang profan. Namun demikian,bukan berarti tidak ada
komunikasi atau tidak mungkin ada hubungan di antara keduanya.
Durkheim lalu mendefinisikan yang sakral itu sebagai: “hal-hal
yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan.” Sedangkan
yang profan itu merupakan: “hal-hal, tempat larangan-larangan itu
diterapkan dan harus tetap dibiarkan berjarak dari hal-hal yang
sakral.” Dan bagi Durkheim, kepercayaan religius pada hakikatnya
adalah representasi-representasi yang mengekspresikan keadaan
hal-hal yang sakral dan hubungannya dengan hal-hal yang sakral
lainnya, atau dengan hal-hal yang profan. Sementara ritus-ritus,
merupakan aturan tentang kelakuan yang menentukan bagaimana
16 Ibid,26.
17 Ibid,66-68.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 41
18 Ibid,70-72.
19 Ibid,76-78.
20 Ibid,80.
42 Religiositas Ambon-Kristen …
21 Akan tetapi, pemikiran Taylor tersebut dibantah oleh pemikiran Spencer. Bagi
Spencer, seprimitifnya manusia, ia masih bisa membedakan antara yang hidup dengan
benda mati. Oleh sebab itu alasan yang membuat manusia primitif mengembangkan
pemujaan leluhur menjadi pemujaan benda atau alam, dapat ditemukan dengan cara lain.
Spencer kemudian mengajukan teorinya bahwa, bagi sebagian masyarakat terbelakang ada
kebiasaan umum untuk menamakan seseorang dengan nama binatang, tanaman, bintang,
atau lainnya ketika ia lahir. Pemujaan binatang atau benda-benda alam ada kaitannya
dengan hal ini. Jadi, animisme berkembang menjadi naturisme karena manusia primitif
melakukan penafsiran harafiah terhadap nama-nama metaforis yang dikenakan pada diri
seseorang, ketika ia lahir (Ibid,89-90).
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 43
22 Istilah ini kemudian dikembangkan oleh Rüdolf Otto, sebagai ahli sejarah agama
berkebangsaan Jerman, yang menulis buku The Idea of the Holy (1917). Bagi Otto, rasa gaib
itu (numinous) adalah dasar dari agama yang memiliki nuansa kemisteriusan yang dialektis:
sebagaimysterium tremendum(yang mempesona) dan mysterium fascinans (menakutkan).
Paradigma ini sempat mendapat banyak san antara sekitar 1950 dan 1990, tetapi sejak itu,
telah kembali mendapatkan tempatnya lagi. Teolog Jerman-Amerika Paul Tillich mengakui
pengaruh perspektif Otto pada dirinya, seperti halnya juga antropolog Rumania-
Amerika:Mircea Eliade. Bahkan Eliade menggunakan konsep-konsep dari The Idea of the
Holy sebagai titik tolak bagi bukunya sendiri yang terbit pada tahun1957, The Sacred and
the Profane. Lihat, Karen armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan ...,294-296.
23 Durkheim, The Elementary Forms...,93.
44 Religiositas Ambon-Kristen …
dua hal yang dilakukan bahasa dalam hal ini: (1) Bahasa tidak
mengekpresikan hal atau individu tertentu, melainkan tipe-tipe
yang menjadi representasi tema-tema pikiran yang paling umum;
(2) Tipe-tipe yang dimaksudkan di sini adalah tipe-tipe tindakan.24
Selanjutnya, tentang Animisme dan Naturisme, Durkheim
berpendapat bahwa keduanya membangun konsep tentang tuhan,
yang berpijak pada pencerapan indrawi bahwa, fenomena alam
tertentu, baik fisikal maupun biologis, terdapat di dalam diri
manusia. Perbedaannya, menurut animisme, titik awal evolusi
agama ada pada mimpi-mimpi, sedangkan menurut naturisme,
pada gejala-gejala alam. Namun keduanya punya pendapat yang
sama yaitu, bahwa benih pertentangan antara yang sakral dengan
yang profan harus ditemukan di dalam alam itu sendiri. Bagi
Durkheim, baik manusia maupun alam,tidak bersifat sakral pada
dirinya sendiri. Kesakralan itu mesti datang dari luar. Menurut
Durkheim, di luar manusia individual dan dunia alamiah, terdapat
realitas lain yang ada hubungannya dengan makhluk khayali.
Artinya, di luar animisme dan naturisme, Durkheim yakin ada
pemujaan lain yang lebih primitif dan fundamental, yang menjadi
asal dari animisme dan naturisme itu. Pemujaan ini ~meminjam
istilah para etnografer~ Durkheim menyebutnya totemisme.25
Dalam pembahasannya tentang totem, Durkheim mulai
dengan mengamati kelompok yang punya tempat istimewa dalam
kehidupan kolektif, yang disebutnya “marga”, dengan karakter
utama: Individu-individu yang menjadi anggota marga, merasa
terikat satu sama lain oleh hubungan kekeluargaan. Hubungan ini
bukanlah sekadar hubungan darah oleh kelahiran. Tetapi, kata
Durkheim, mereka menjadi keluarga karena memakai nama yang
sama. Nama yang dimaksud dalam hal ini bukanlah nama
berdasarkan “gen” yang sama, tetapi nama dari benda-benda
menyambar” tanah, “angin” sebagai sesuatu “yang berhembus”, dan lain-lain. Semua
gambaran ini seakan-akan menjadikan fenomena alam itu sebagai sesuatu yang personal
dan dijadikan rujukan pemujaan (termasuk dari tumbuhan atau hewan tertentu).
25 Ibid,135-136.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 45
a. Anak-anak memiliki totem yang sama dengan ibunya. Karena itu totem tidak
mempunyai basis teritorial, apalagi dalam konteks perkawinan eksogami. Seorang istri
punya totem yang beda dengan suaminya. Dan anak biasanya mengikuti totem ibunya.
b. Namun di tempat lain, totem terbawa lewat garis paternal. Jadi, semua orang di suatu
tempat memiliki totem yang sama, kecuali para istri.
c. Totem anak bisa juga beda dengan ayah dan ibunya, tetapi mengikuti totem leluhur
mistis. (Ibid,160-161)
27 Ibid,178.
46 Religiositas Ambon-Kristen …
28Ibid,305-306.
29Hal yang sama –menurut Durkheim– terjadi juga dalam hubungan antara
masyarakat dengan individu yang menjadi anggotanya. Artinya, kekuatan yang dimiliki
masyarakat tidak hanya bersifat eksternal bagi seorang individu, tetapi kekuatan itu
kemudian menjadi kekuatan internal juga dalam individu. Menurut Durkheim, daya dorong
masyarakat terhadap individu di atas akan muncul dalam keadaan-keadaan tertentu, yakni:
(1) Dalam sebuah pertemuan untuk kegiatan bersama, individu akan merasakan adanya
desakan untuk berperilaku sama sekali bukan berdasarkan kemauan individualnya.
Ketika pertemuan itu selesai maka individu bisa kembali pada kemauannya sendiri.
(2) Ketika seseorang berbicara di depan khalayak ramai, seseorang dapat mencapai “rasa
kebersamaan” dengan khalayak ramai tersebut dan ia mulai menampilkan postur-
postur yang ganjil, bahasayang bersemangat, yang kesemuanya akan terasa ganjil bila
ditunjukkan di luar khalayak ramai tersebut. Keberanian dan semangat untuk
menampilkan postur dan kata-kata yang penuh semangat itu –kata Durkheim– tidak
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 47
datang dari individu sang pembicara, tetapi datang dari kelompok atau khalayak yang
sedang mendengar pidatonya. Jadi kata Durkheim: “yang berbicara bukan lagi individu,
tetapi sebuah kelompok yang telah berinkarnasi dan memiliki sosok seorang manusia.”
(3) Selain kedua keadaan tersebut di atas, keadaan di mana pengaruh peristiwa-peristiwa
keterkejutan kolektif dalam perjalanan sejarah membuat interaksi sosial semakin
intensif dan aktif sehingga individu-individu tergerak untuk saling mencari dan
membuat ikatan bersama. Ini misalnya terjadi dalam epos revolusi. (Lihat, Ibid,310-
311)
30Ibid,312.
48 Religiositas Ambon-Kristen …
31Ibid,329.
32 Ibid,354.
33 Dengan mengacu pada teori Spencer dan Gillen, Durkheim menekankan sifat
reinkarnasi jiwa. Itu berarti, seorang individu adalah reinkarnasi jiwa leluhurnya
(Ibid,277.)
34 Ibid,364 – 365.
35 Ibid,440-444. Yang dimaksud dengan “kontak” di sini, bukan hanya bersentuhan
secara fisik, tetapi juga melihathal-hal yang dianggap sakral tidak boleh dilihat oleh
kebanyakan orang atau orang-orang yang profan. Selain melihat, juga larangan untuk
berbicara. Yang profan tidak boleh berbicara dengan yang sakral. Ada juga kata-kata atau
suara yang sakral, yang tidak boleh dikeluarkan oleh yang profan. Kata-kata itu misalnya,
nama totem atau leluhur atau nama orang yang dianggap sakral. Demikian sebaliknya, hal
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 49
yang profan tidak boleh dicampurkan dengan kehidupan religius. Lebih jauh lagi, tindakan
dan aktivitas sehari-hari dilarang untuk dilakukan selama kehidupan religius berjalan,
misalnya makan. Di sinilah kita bisa memahami puasa sebagai sebuah praktik religius, atau
menguduskan hari Sabat dengan tidak boleh bekerja.
36Ibid 457.
50 Religiositas Ambon-Kristen …
paling esensial. Dan karena itu, tidak ada agama yang tidak
memiliki benih asketisisme, karena tidak ada agama yang
tidak memiliki “larangan”. Tetapi menurut Durkheim,
asketisisme tidak hanya mempunyai tujuan religius seperti
yang digambarkan di atas. Di dalamnya juga, ada kepentingan
sosial dan moral dalam bentuk simbolik.37
II.2. Religiositas
Religiositas memang berbeda dengan agama (religion),
namun dalam asas-asas fundamentalnya, keduanya memiliki
korelasi yang tak dapat dipisahkan.38 Bagi penulis, korelasi ini
dapatlah diungkapkan dengan konstatasi: “Semua agama
memiliki religiositas, kendati tidak semua religiositas harus
merujuk pada (suatu) agama.”39 Dalam rangka menyelami
konstatasi penulis ini, maka setelah dilakukan penelusuran
terhadap beberapa teori agama, maka pada bagian ini, akan
dilakukan penelusuran terhadap etimologi, multi-perspektif
teoritis dari beberapa pakar tentang religiositas beserta
perbandingannya dengan spiritualitas.
37Ibid.
38 Bandingkan ulasan Maarten ter Borg tentang “Fundamentals and Civil Religiosity”,
sebagaimana dirujuk dalam Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiostias Sipil di
Indonesia,Disertasi (Salatiga: Doktor Sosiologi Agama, Fakultas Teologi UKSW, 2015),66.
Lihat pula pandangan Huber yang mensyaratkan afiliasi agama sebagai variabel yang
berpengaruh dalam pembentukan religiositas seseorang atau suatu komunitas; namun pada
sisi lainnya Riesebrodt tidak mensyaratkan koherensi sistimatis antara religiositas dan
agama (Dalam, Sandra Hubert, The Impact of Religiosity.., 43,48).
39 Bandingkan Barbara B. Holdcroft, “What is Religiosity” Article 8, July 2013 in
and Ethich, Vol.X, Edinburgh: T. & T. Clark; New York: Charles Scribner’s Sons, 1980; (2)
J.A.Simpson & E.S.C. Weiner, The Oxford English Dictionary, 2nd Edition, Vol.XIII, Oxford:
Clarendon Press, 1989; (3)Webster’s New Explorer Encyclopedic Dictionary, Springfield,
MA-USA: Merriam-Webster, Inc.,2006; (4) Webster’s New World College Dictionary, Revised
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 51
& Updated Third Edition, USA: Macmillan, 1996.; dan (5) James Gardner, Encyclopaedia of
Faiths and Religions of The World, Vol.V,New Delhi: Aryan Books International, 1999.
41Webster’s New Explorer Encyclopedic Dictionary, Springfield, MA-USA: Merriam-
Webster, Inc.,2006, 570a–570b. Rujukan etimologi yang sama juga digunakan di Webster’s
New World College Dictionary,1134a.
42 Tambahan pula dengan mengutip Z.A. Ragozin, dalam Chaldea, iii, 149, dikonstatir
bahwa “Man has all that animals have, and two things which they have not: speech and
religiosity.”
52 Religiositas Ambon-Kristen …
43 Rüdolf Otto, The Idea of The Holy, An Inquiry Into The Non-Rational Factor in The
Idea of The Divine and Its Relation to The Rational. London-Oxford-New York: Oxford
University Press, 1977,5 ff.
44Karen armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-
Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun (Bandung: Mizan, 2002),294-296.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 53
45 Antara lain yang dapat disebut: (1) Kelly (1955); (2) Allport (1961); (3) Lenski
(1963); (4) Cardwell (1980); (5) Ellison, et.al. (1989); (6) Kecskes & Wolf (1993); (7)
Bergan & McConatha (2000); (8) Huber (2003); (9) Riesebrodt (2010). Lihat, Barbara B.
Holdcroft, “What is Religiosity” Article 8, July 2013 in Catholic Education: A Journal of
Inquiry and Practice,Volume 10 | Issue 1, dan Sandra Hubert, “The Impact of Religiosity on
Fertility - A Comparative Analysis of France, Hungary, Norway, and Germany”. Dissertation
at Ruhr-University Bochum (Bochum, Germany: Springer VS, 2014.
46 Charles Y. Glock and Rodney Stark. Religion and Society in Tension (Chicago: Rand
47 Ulasan dalam, Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama (Yogyakarta:
A Reading of George Simmel”. Dalam Jurnal Sosial Kompas, Vol. 53, No.4, 2006:479-489.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 57
53 Al-Farabi, Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah (The Perfect State). Ed. Richard
dengan kata religiositas. Bandingkan makna konotatif dari akar kata religio; religare
sebagaimana yang telah diulas pada bagian tentang etimologi religiositas dalam II.2.1.
60 Religiositas Ambon-Kristen …
II.3.1. Identitas
II.3.1.1. Perspektif Erik H. Erikson
Salah satu teori tentang identitas yang dapat menjelaskan
tentang proses pembentukan suatu identitas sosial, khususnya
dalam relevansinya dengan fenomena identitas religius Ambon-
Kristen yang tercermin melalui ritual CN Soya adalah, teori
identitas psikososial, sebagaimana yang digagas oleh Erik H.
Erikson (selanjutnya disingkat EHE), yang diulasnya dalam
beberapa buku, antara lain: (1) Childhood and Society (1950), (2)
Identity and the Life Cycle. Selected Papers (1959), dan (3) Identity:
Youth and Crisis (1968).
Bagi EHE, proses pembentukan identitas sosial, tidak dapat
dilepaspisahkan dengan pembentukan identitas personal. Sebab
bagi EHE, ada korelasi yang kuat dan multidimensional sifatnya,
antara individu dan masyarakat itu sendiri. Menurut EHE, pada
suatu identitas sosial, sesungguhnya kita menghadapi suatu proses
yang berakar dan berlangsung di dalam lapisan inti jiwa
perorangan, tetapi sekaligus hal itu merupakan pula inti pusat
kebudayaan dari suatu masyarakat.
EHE tegaskan bahwa, identitas bukanlah sekadar
penjumlahan dari segala pengalaman atau identifikasi masa kanak-
kanak, tetapi semacam proses sintesis terhadap segala sesuatu
yang merupakan kekhasan pribadi seseorang di dalam konteks
masyarakatnya. Oleh karena bagi EHE, suatu identitasitu
merupakan konfigurasi integratif dari masa lampau dengan masa
sekarang, dan dari yang di dalam dengan yang di luar, ke dalam
suatu keseluruhan yang baru.
EHE melihat pula bahwa, persoalan pembentukan identitas
itu, terletak pada dinamika kesinambungan antara masa lalu dan
masa mendatang, baik dari individu itu sendiri maupun dari
masyarakatnya. Dalam konteks ini, maka pribadi adolesen (akil-
balik) dalam segala daya kekuatan dan kelemahan jiwanya, akan
menjadi tempat terjadinya transformasi kritis dinamika tersebut.
Melalui dinamika identitastersebut, orang mudah merasakan
kesadaran subjektif akan terjadinya kesinambungan dan kesamaan
62 Religiositas Ambon-Kristen …
penelaahan life history dari sang tokoh, menurut EHE, hal tersebut
akan sangat berpengaruh dan turut membentuk identitas sosial
suatu komunitas. Oleh karena bagaimanapun, bagi EHE, manusia
merupakan makhluk sosial-budaya yang secara intrinsik
merupakan insan historis yang pasif tetapi sekaligus juga aktif,
untuk dapat belajar, meniru dan menghormati seseorang yang
berpengaruh dan dikagumi (diidolakan). Dengan begitu, maka
seseorang dan masyarakat pun memiliki kemampuan untuk
mengalami suatu daya pembaruan diri dan pembentukan identitas
personal maupun sosialnya.
56Bagian ini diringkas dari pembacaan Ann Branaman atas tulisan-tulisan Goffman
yang tertuang dalam artikel “Goffman’s Social Theory” dalam Charles Lemert & Ann
Branaman, eds. The Goffman Reader (Oxford: Blackwell, 1997), xlv-lxxxii, 2.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 65
57 Menurut Branaman ini tampak jelas dalam buku Goffman yang berjudul Asylum:
Essaya on the Social Situations of Mental Patients and Other Inmates (New York, NY.: Anchor
Books, 1961).
58 Branaman dalam The Goffman Readers, xlvi.
59 Menurut Brown dengan konsep ini Goffman hendak tekankan keutamaan situasi-
situasi dalam kehidupan sehari-hari. Kerangka atau frame adalah hal yang
mengorientasikan orang kepada suatu pengertian kolektif atas ”apa yang sedang terjadi.”
Lihat Robert K. Brown, ”Goffman’s Dramaturgical Sociology: Developing a Meaningful
Theoretical Context and Exercise Involving ‘Embarrassment and Social Organization’” dalam
Teaching Sociology Vol. 31, No. 3 (July 2003): 293.
66 Religiositas Ambon-Kristen …
60 ‘All-too-human self’ dalam pemahaman Goffman adalah diri yang dalam ungkapan
bahasa sehari-hari disebut diri yang manusiawi. Kemanusiawiannya terletak pada hakekat
manusia sebagai “creatures of variable impulse with moods and energies that change from
one moment to the next.” Sementara untuk ‘socialized self’ Goffman berikan padanannya
dengan “characters” yang dimainkan dalam sebuah panggung kehidupan sosial. Di tempat
ini, di hadapan penonton, diri, menurut Goffman, “must not be subject to ups and downs.”
Lihat Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York: Anchor Books,
1959), 56.
61 Sebagai performer diri, menurut Goffman, adalah “a harried fabricator of
sterling qualities the performance was designed to evoke.” Lihat Goffman, The Presentation of
Self in Everyday Life, 252. Dalam pemahaman Branaman, diri sebagai performer adalah diri
yang berpikir, berfantasi, bermimpi, dan merindu yang kapasitasnya untuk mengalami
kebanggaan dan malu memotivasi dia bukan saja untuk berperforma bagi orang lain dan
juga untuk berhati-hati terhadap dipermalukan. Sementara diri sebagai character adalah
kemanusiaan unik seseorang, dan inilah diri yang disamakan dengan diri seseorang di
dalam masyarakat. Lihat Branaman dalam The Goffman Reader, xliv.
62 Branaman dalam The Goffman Reader, xlix.
63Ibid. Ini dikatakan Branaman sebagai sebuah paradoks.
68 Religiositas Ambon-Kristen …
68Ibid.
69 Branaman dalam The Goffman Reader, lxiii.
70 Keseluruhan prinsip ini dibahas secara luas oleh Goffman dalam The Presentation of
Self in Everyday Life.
71 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 22.
70 Religiositas Ambon-Kristen …
ditampilkan individu kepada individu lain tentang dirinya. Impresi pertama adalah impresi-
impresi yang dengan sengaja mereka berikan kepada orang lain dalam rangka tampil
“competent and sound character (moral) in particular social situations.” Impresi lainnya
adalah “unintentional impressions”, impresi-impresi yang tidak disengaja, yang “given-off”,
yang terberikan begitu saja tanpa direncanakan. Untuk mencegah orang mendapatkan
impresi yang tak diinginkan, Goffman menurut Brown, berpendapat bahwa diri
melancarkan apa yang dinamakan preventative practices, yang bertujuan melindungi
kompetensi dan karakter dalam kondisi-kondisi di bawah tekanan. Sementara untuk
memulihkan impresi-impresi positif tentang dirinya diri melakukan corrective practices.
Brown dalam Teaching Sociology Vol. 31, No. 3 (July 2003): 292.
80 Branaman, The Goffman reader, lxxiii.
81Ibid, lxx.
72 Religiositas Ambon-Kristen …
II.3.2. Ritual
Victor Turner mendefinisikan ritual sebagai perilaku
tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu
secara berkala, bukan sekadar sebagai rutinitas yang bersifat
teknis, melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh
keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan
mistis.Menurutnya, ritual berhubungan erat dengan crisis of life.82
Ia pun mendeskripsikan bahwa, ritual merupakan kesatuan di
dalam masyarakat yang kontras dengan friksi, daya saing dunia
sosial, dan keadaan liminal kehidupan. Oleh karena itu, bagi
Turner, ekspresi sebuah ritual tidak sekadar menggambarkan
relasi ekonomi, politik dan sosial, beserta alam lingkungan di mana
masyarakat itu berada, melainkan ritual pun merupakan ekspresi
komunitas mengenai apa yang mereka alami, rasakan dan
harapkan.83
Dalam penelitiannya pada masyarakat Ndembu Afrika
Selatan, ia menyimpulkan bahwa, dalam masyarakat, suatu ritual
mempunyai nilai tinggi karena: (1) ritual mempunyai fungsi
mendamaikan dua prinsip yang saling bertentangan dari hidup
sosial masyarakat, yang dalam konteks orang Ndembu adalah
pertentangan antara sistem matrilineal dan virilokal; (2) ritual
menyatukan kelompok-kelompok masyarakat; (3) melalui
pelaksanaan ritual dan simbolnya, terbangun solidaritas antar
kelompok masyarakat yang memaknainya.84
Sedangkan Catherine Bell mengisyaratkan bahwa, ritual
yang terjadi di masyarakat selalu dinamis mengikuti pergerakan
konteksnya. Dan karena itu, konteks itu sendiri merupakan
Press,1997),2-3.
86Ibid, 139-162.
87 Bagian ini merangkum ulasan Mariasuai Dhavamony dalam Fenomenologi
Agama,174-201.
74 Religiositas Ambon-Kristen …
Agama ini telah dicetuskan oleh Weber yang mengisyaratkan bahwa gagasan tentang Tuhan
pun mengalami proses evolusi.
91 Buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan: Beyond Belief – Menemukan
Kembali Agama – Esei-Esei tentang Agama di Dunia Modern (Jakarta: Penerbit Paramadina,
2000).
92 Bellah et.al, The Good Society (New York: Alfred A. Knopf,1991).
76 Religiositas Ambon-Kristen …
93 Pemikiran Elias telah penulis rangkum dalam Ferry Nahusona, “Norbert Elias:
Hidup, Karya dan Pemikirannya”, Makalah Magister Sosiologi Agama UKSW (Salatiga:
PPSAM-UKSW, 2002), yang merujuk pada beberapa referensi, antara lain: (1) Elias Norbert,
The Civilizing Process – The Development of Manners, Changes in The Code of Conduct and
Feeling in Early Modern Times,Trans. By Edmund Jephcott, New York: Urizen Books, 1978;
(2) Rundell, John and Stephen Mennell, ed. Classical Readings in Culture and Civilization,
London-New York: 1998, hal. 225 – 240; (3) Olofsson Gunnar, Norbert Elias, Artikel dalam
Classical and Modern Social Theory, Edited by Heine Andersen and Lars Bo Kaspersen, USA :
Blackwell Publ.Inc., 2000, hal. 362 – 374. (4) Hardiyanto S. & Lumbanggaol E. (Ed.), On
Norbert Elias and Civilizing Process – A Reader in Social Theory, Salatiga : Program
Pascasarjana UKSW (Tidak Diterbitkan), 2001.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 79
94 Ibid, 6.
95 Ibid, 7.
96 Ibid,12.
97 Jonathan Rutherford, ed."Ruang Ketiga" dalam Identitas: Komunitas, Budaya,
Perbedaan (1990), dan Homi Bhabha, The Location of Culture (New York: Routledge
Classics,2004).
80 Religiositas Ambon-Kristen …
98 Saba Mahmood, Politics of Piety - The Islamic Revival and The Feminist Subject