You are on page 1of 54

BAB II

PENELUSURAN TEORI DAN KONSEP TERKAIT

Pada bab ini, penulis memaparkan suatu penelusuran


terhadap beberapa teori dan konsep yang memiliki keterkaitan
dengan topik studi, yakni tentang (1) Agama; (2) Religiositas; (3)
Identitas dan Ritual; (4) Diferensiasi (Agama); serta (5) Hybrid
Religiosity dan Politics of Piety sebagai suatu Strategi Survival.1

II.1. Agama Menurut Marx, Weber dan Durkheim2


Penelusuran teori agama merujuk pada pandangan Karl
Marx, Max Weber dan Emile Durkheim, yang menurut penulis
merupakan tiga orang pemikir klasik, yang telah meletakkan
pemikiran dasar sosiologis, terkait dengan pemahaman tentang
agama. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemikiran mereka
tersebut, laksana tiga pancaran dari hulu utama pemikiran basis
agama secara sosiologis, yang untuk selanjutnya melahirkan hilir-
hilir pemikiran yang terus berkembang dalam khasanah ilmu-ilmu
sosiologi agama, dengan para pakar dan konsepsinya.

II.1.1. Karl Marx Tentang Agama:3


Pandangan Marx tentang agama, dilandasi oleh salah satu
premisnya yang terkenal bahwa “manusia mesti berada dalam
posisi untuk hidup, supaya sanggup untuk membuat sejarah.”4

1 Disadari bahwa dalam penelitian kualitatif, bila ada teori-teori yang digunakan,

maka sifat teori-teori tersebut hanyalah sebagai “a tentative conceptual framework,” Lihat
ulasan John W. Creswell, Research Design Qualitative & Quantitave Approaches (London:
Sage Publications, Inc.,2003), 93-97. Sehingga teori yang digunakan sesungguhnya lebih
dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan teori-teori tersebut dalam
perjumpaannya dengan realita induktif.
2 Paparan ketiga pemikir sosiologi klasik tentang agama ini, merupakan kompilasi

dari Materi Ujian Komprehensif yang telah penulis presentasikan pada tanggal 9 Oktober
2017.
3 Dirangkum dari karya Marx atau tentang Marx, antara lain: (1) Economic and

Philosophic Manuscripts of 1844; (2) German Ideology; (3) Karl Marx dalam Robert Tucker
(ed), The Marx-Engels Reader (London: W. W. Norton & Company, 1978;
4Karl Marx & Friedrich Engels, The German Ideology, Including Thesis on Feuerbach,

USA: Prometheus Books, 1998),149.

29
30 Religiositas Ambon-Kristen …

Dalam kaitan itulah, maka Marx mengisyaratkan 3 (tiga) point


penting, yakni: Pertama, Tindakan sejarah mesti dilakukan dengan
berproduksi sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan (hal-hal
materi hidup); Kedua, Pemuasan kebutuhan yang pertama, baik
aksi maupun instrumennya, memimpin kepada kebutuhan yang
baru; Ketiga, Manusia mulai membuat manusia yang lain (contoh:
keluarga, pria-wanita, dan seterusnya), yang tersubordinasi
karena perluasan relasi sosial dan kebutuhan produksi yang lain.
Semua hal yang diproduksikan tersebut merupakan actual
material life. Produksi ide, konsep, dan kesadaran pada awalnya
adalah jalinan aktivitas material, dan kelanjutannya adalah
perubahan dari perilaku material. Hal itu berlaku bagi semua
turunannya, yakni bahasa, agama, politik, hukum, moralitas,
metafisik, dan lain-lain. Dengan demikian, kesadaran
(consciousness), yang menjadi titik utama filsafat Jerman, bagi
Marx, tidak lain adalah eksistensi kesadaran manusia dalam proses
hidupnya yang aktual (bukan yang kaku dan berada dalam isolasi
yang fantastis). Kesadaran, tidak punya sejarahnya sendiri yang
independen, tetapi manusia-lah yang mempunyai sejarah. Hidup
(dan realita) itu yang menentukan kesadaran, bukan kesadaran
yang menentukan (realita) hidup.5 Dengan demikian, sejarah tidak
akan lagi menjadi koleksi dari fakta-fakta yang mati; seperti yang
dapati oleh kaum empirisme (di mana mereka sendiri tetap
abstrak) atau diimajinasikan oleh kaum idealis.
Sehubungan dengan itu, patut dikonstatir bahwa konsepsi
Marx tentang agama sesungguhnya memiliki latar korelasi dengan
pemikirannya mengenai alienasi. Menurut Marx, sebagai akibat
dari 4 (empat) alineasi6 yang dialami oleh manusia (pekerja), maka

5 Bandingkan pandangannya ini ketika diimplementasikan dalam agama, saat Marx

menyatakan bahwa manusialah yang menciptakan agama. Lihat, Karl Marx dalam Robert
Tucker (ed), The Marx-Engels Reader (London: W.W.Norton & Company, 1978), 54-55.
6 Keempat alienasi tersebut adalah (1) teralienasi dari hasil pekerjaannya, (2)

teralineasi dari aksi atau tindakannya, (3) teralienasi dari keberadaannya sendiri sebagai
(spesies) manusia, dan (4) teralienasi secara sosial (dari lingkungan sosialnya). Tentunya
dalam hal ini, Marx tidak menuduh bahwa agama sebagai faktor tunggal penyebab alienasi,
melainkan baginya, faktor ekonomi kapitalisme-lah yang menjadi penyebab utamanya.
Selain tentunya ada faktor-faktor politik, kekuasaan dan negara.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 31

manusia mengalami kehilangan identitas dan eksistensinya. Dalam


konteks yang sedemikian, manusia pun lalu berpaling kepada
agama sebagai sarana untuk ia dapat memahami dunianya dan
sekaligus memperoleh pengharapan di tengah kondisi
keteralienasiannya.
Bagi Marx, sekaligus sebagai kritiknya terhadap Feurbach,
agama merupakan khayalan (fantasi atau ilusi) yang belum
memiliki realitas nyata, yang hanya menyenangkan sesaat jiwa
manusia dari pelbagai kesengsaraan, sama seperti sebuah “opium”
(candu).7 Namun sekaligus dengan metafora “opium” tersebut,
Marx justru hendak menandaskan agama tersebut sebagai suatu
ekspresi dan sikap protes. Dengan begitu, berbeda dari perspektif
Feurbach yang melihat agama dari sisi abstraknya, maka Marx
justru melihat pentingnya memahami dimensi sosial dalam rangka
mencermati makna ekspresif dari agama itu sendiri. Dari sudut
demikian, Marx lebih memberikan pendasaran agama itu lebih
konkret pada persoalan ekonomi dan politik, sebagai suatu realita
material, yang pada gilirannya pula, bagi Marx, turut berkorelasi
dengan agama sebagai dimensi spiritual. Artinya, realita
pergumulan di konteks ekonomi misalnya, akan turut berpengaruh
terhadap kehidupan spiritual manusia, demikian pun sebaliknya.

II.1.2. Max Weber Tentang Agama:8


Weber mengawali ulasannya tentang agama dengan
merujuk pada dua praanggapan utama: (1) Bentuk-bentuk yang
paling mendasar dari perilaku manusia, dimotivasikan oleh faktor-
faktor religius atau magis, yang diorientasikan kepada dunia ini;
(2) Perilaku yang dimotivasi secara religius atau magis tersebut
merupakan perilaku yang relatif rasional, terlebih khusus pada
manifestasinya yang paling mula-mula (primitif).

7 Sebagaimana Andrew McKinnon mengulas konstatasi Marx ini dalam,”Opium as

Dialectics of Religion: Metaphor, Expression and Protest”, dalam Waren S. Goldstein (ed),
Marx, Critical Theory and Religion: A Critique of Rational Choice (Boston: BRILL, 2006),20.
8 Dirangkum dari karya Weber, antara lain: (1) The Sociology of Religion; The

Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism; (2) Economy and Society – Vol.2; (3) Sociology –
From Max Weber: Essays in Sociology.
32 Religiositas Ambon-Kristen …

Dari dua praanggapan tersebut, tercetuslah


praanggapannya yang ketiga: bahwa perilaku atau pemikiran
religius atau magis, tidak pernah terpisah jauh dari jangkauan
“tingkah laku berarah-tujuan” (purposive conduct) sehari-hari,
khususnya jika tujuan dari tindakan keagamaan dan magis itu
didorong oleh faktor-faktor ekonomi.
Di atas ketiga praanggapan inilah Weber membangun teori
agamanya, yang pada intinya menandaskan bahwa agama
merupakan bagian dari evolusi kebudayaan dan sistem sosial, yang
berakar pada abstraksi dan rasionalisasi pengalaman-pengalaman
alamiah manusia. Bagi Weber, proses abstraksi tersebut telah
terjadi di dalam instansi-instansi perilaku keagamaan yang paling
primitif, yaitu ketika mulai terbentuk pemahaman bahwa, “di
belakang” aktivitas objek-objek natural, artifak-artifak, binatang-
binatang, dan orang-orang, terdapat “sesuatu” yang tidak dapat
ditentukan, tidak dapat dilihat, bersifat non-personal, tetapi
memiliki pengaruh yang kuat terhadap kenyataan. “Sesuatu” ini,
dapat masuk ke dalam sebuah objek yang konkret, sehingga objek
tersebut memiliki “kualitas” tertentu. “Sesuatu” itu disebutnya
“spirit”, dan “kualitas” tertentu itu disebutnya “kharisma”.
Tegasnya menurut Weber, agama muncul sebagai hasil abstraksi
dan rasionalisasi manusia terhadap pengalaman-pengalaman
hidupnya.
Weber pun melihat adanya dinamika yang kuat di dalam
pemikiran agama. Hal ini terjadi seiring dengan dinamika
masyarakat. Oleh sebab itu menurutnya, proses evolusi pemikiran
keagamaan berjalan searah dengan proses perubahan sosial.
Sebagai contoh, ketika Weber menjelaskan transformasi
naturalisme menjadi simbolisme, ia berpendapat bahwa hal-ihwal
penyingkiran naturalisme, bergantung pada tekanan yang
diletakkan di belakang kepercayaan-kepercayaan terhadap roh-
roh oleh guru-guru simbolisme yang profesional. Artinya, evolusi
pemikiran agama terjadi, ketika sekelompok orang mulai memiliki
dan memanfaatkan kekuasaan di dalam kehidupan sosial.
Selanjutnya, Weber berpendapat bahwa, transisi naturalisme pra-
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 33

animistik menuju simbolisme memiliki konsekuensi lebih jauh,


yaitu ketika hal-hal dan peristiwa-peristiwa mulai mengambil
makna melampaui potensi-potensi yang secara aktual melekat
padanya dan mulai ada upaya-upaya yang dibuat, untuk meraih
efek-efek riil berdasarkan tindakan-tindakan yang secara simbolis
signifikan berpengaruh. Pada saat itulah, semua ranah aktifitas
manusia terdorong ke dalam lingkaran simbolisme magis. Oleh
sebab itu, bagi Weber, evolusi keagamaan adalah bagian penting
~bahkan esensial~ dari evolusi kebudayaan.
Terkait dengan proses evolutif tersebut, maka gagasan
tentang tuhan pun mengalami evolusi, yang pada awalnya
sering merupakan sebuah entitas “bunga rampai” yang tidak
teratur, yang diyakini bersama sebagai “yang berkuasa” dan yang
dikultuskan.9Bahkan pandangan tentang proses evolusi agama dan

9 Weber mengulas tentang fenomena gagasan tentang tuhan yang mengalami evolusi

ini ketika ia mengelaborasikan gagasan-gagasan tuhan yang berkembang di suku-suku


Israel Alkitab, di kalangan Romawi, fenomena tuhan-tuhan marga/klan, hingga tuhan
konfederasi, antara lain sebagai berikut: Ketika muncul pemikiran sistematik yang
berkenaan dengan praktek keagamaan dan rasionalisasi kehidupan yang mencapai tingkat
tertentu, maka berkembanglah gagasan tentang “pantheon.” Kemunculan sebuah pantheon
disusul oleh adanya spesialisasi dan karakterisasi ragam ilahi, alokasi atribut-atributnya,
dan diferensiasi wilayah kekuasaan mereka, seiring dengan karakteristik tuntutan yang
unik terkait tanggung jawab beragam dari tuhan-tuhan yang diyakini. Dengan ini dapat
dipahami fakta bahwa misalnya orang Romawi cenderung tetap menyimpan pola agama
nasional yang cocok bagi petani sementara pada sisi lain, agama Yunani merefleksikan
budaya kesatriaan dengan ilah-ilah heroiknya. Artinya, ragam jenis tuhan telah
dipengaruhi secara langsung oleh keadaan-keadaan ekonomi dan nasib-nasib
historis orang-orang yang berbeda. Oleh karena itu, Weber berpendapat bahwa
meningkatnya signifikansi objektif dari komponen-komponen tipikal dan tipe-tipe tingkah
laku serta refleksi subjektif tentang tuhan memunculkan spesialisasi fungsional di dalam
pantheon atau spesialisasi kualitatif menurut garis-garis aktivitas khusus, misalnya dalam
hal: berdoa, memancing ikan, atau membajak. Dalam hal inilah Weber menegaskan bahwa
tidak ada tindakan yang dilaksanakan dengan tujuan bersama tanpa adanya sebuah
tuhan khusus. Dengan kata lain, jika sebuah asosiasi perlu dijamin secara permanen maka
ia harus mempuyai tuhan sendiri. Itu sebabnya Weber menegaskan bahwa: “Whenever an
organization is not the personal power base of an individual ruler, but genuinely an
association of men, it has need of a god of its own” [Max Weber, The Sociology of Religion, The
Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1963),14].
Inilah “pintu masuk” ke dalam percakapan tentang perlunya gagasan tentang tuhan di
dalam kelompok-kelompok marga dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang lebih besar.
Dalam lingkungan kelompok marga kultus nenek moyang yang berjalan sejajar dengan
struktur patriakal, keluarga berhasil membentuk ikatan personal yang kuat dan
menyatukan anggota-anggota marga ke dalam sebuah kelompok kohesif yang rapat dan
sangat berpengaruh terhadap relasi-relasi ekonomi rumah tangga. Bila ini yang terjadi maka
dua tipe asosiasi sosial dapat berkembang, yaitu tipe konfederasi, yaitu persekutuan klan-
34 Religiositas Ambon-Kristen …

tuhan tersebut, berjalan bersama dengan perkembangan


organisasi sosial politik. Itulah sebabnya, organisasi-organisasi
sosial politik selalu mempunyai akar-akar keagamaan, dan
sebaliknya kepercayaan-kepercayaan terhadap tuhan, selalu
berimplikasi dalam kehidupan sosial. Jadi, kesimpulannya adalah
bahwa,konsepsi tentang tuhan selalu mempunyai implikasi
sosiologis. Sebaliknya, organisasi dan proses sosial mempunyai
akar-akar keagamaan.
Terkait dengan fenomena pemanggilan roh-roh atau
kekuatan-kekuatan supranatural, menurut Weber, perilaku
keagamaan tersebut sebetulnya bukanlah peribadatan kepada
tuhan tetapi “paksaan” kepada ilah. Dengan begitu maka doa
permohonan (invocation) berubah menjadi formula magis. Dalam
hubungan dengan ini, ada dua elemen karakteristik penyembahan
tuhan, yaitu doa dan kurban. Keduanya mempunyai akar-akar di
magi. Di dalam doa, batas antara formula magi dan suplikasi
tetaplah cair. Doa individual sebagai permohonan yang riil,
ditemukan di dalam agama-agama yang tidak terdiferensiasi,

klan secara aktual atau imajiner yang dibentuk lewat semangat keagamaan. Yang kedua
adalah tipe penguasa patrimonial, yakni aturan patrimoni persatuan rumah tangga
bangsawan yang berbeda ketimbang persatuan rumah tangga orang-orang biasa,
dikonstruksi di atas pola ekonomi domestik patrimoni yang diperluas. Apabila
perkembangan penguasa patrimonial mengarah pada konfederasi keagamaan, maka akan
berkembang sebuah tuhan khusus dari organisasi politik, sebagaimana di kasus Israel
dengan Yahweh. Artinya, secara sosiologis Yahweh tidak lain adalah tuhan federasi – yang
menurut tradisi berupa aliansi orang Yahudi dan Midian – mengarah pada konsekuensi
yang lebih fatalistik. Dengan demikian menjadi jelas bahwa formasi dari sebuah asosiasi
politik yang memerlukan subordinasi bagi tuhannya adalah merupakan sebuah fenomena
universal. Atau dengan kata lain sudah menjadi sebuah gejala umum bahwa setiap asosiasi
politik memiliki tuhan khusus yang menjamin keberhasilan tindakan politiknya. Dalam
perkembangan selanjutnya, tuhan ini menjadi eksklusif dalam hubungan dengan orang luar
dan pada prinsipnya ia menerima persembahan-persembahan dan doa-doa hanya dari
anggota-anggota kelompoknya (Ibid,17). Inilah akar eksklusifisme dan partikularisme
agama. Namun demikian, Weber juga berpendapat bahwa penaklukkan politik dan militer
jugamembutuhkan kemenangan sosok tuhan yang lebih kuat atas tuhan yang lebih lemah
dari kelompok yang ditaklukkan. Dalam hal ini, tidak setiap tuhan dari sebuah kelompok
politik adalah sebuah tuhan lokal. Yahweh misalnya, digambarkan sebagai tuhan yang
berjalan dengan dan menjadi pemimpin umatnya. Tetapi Yahweh juga digambarkan sebagai
tuhan yang datang dari jauh, yaitu tuhan dari bangsa-bangsa yang tinggal di Sinai dan yang
akan datang mendekat hanya ketika kebutuhan militer dari umatnya membutuhkan
kehadiran dan partisipasinya. Menurut Weber, inilah akar evolusi konsep Yahweh sebagai
tuhan yang omnipotent dan universal.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 35

tetapi dalam banyak kasus, doa seperti itu bersifat rasional dan
“tawar-menawar bisnis”. Sementara kurban adalah instrument
magis yang “memaksa” ilah-ilah. Salah satu pandangan tentang
kurban, khususnya kurban hewan adalah bahwa kurban itu
menandakan persekutuan antara manusia dengan ilah
(communion). Dengan merayakan acara makan bersama maka
tercipta komunitas persaudaraan antara yang memberi kurban
dengan yang menerima kurban. Hal ini merupakan transformasi
pemahaman bahwa dengan mengkonsumsi sebuah hewan, yang
dianggap punya kekuatan istimewa, maka kekuatan itu akan
berpindah kepada orang-orang yang makan hewan kurban itu.
Di sisi lain, terjadi peningkatan dominasi motif-motif non
magis yang ditimbulkan oleh pengakuan yang berkembang tentang
kekuasaan tuhan dan karakternya sebagai maharaja personal
(personal overlord). Tuhan menjadi tuhan yang hebat, yang tidak
dapat didekati lagi dengan cara-cara pemaksaaan magis, kecuali
dengan covenant dan hadiah. Sebetulnya hal ini tidak jauh berbeda
dengan cara magi itu sendiri. Sebab tema sentralnya sama, yaitu:
“do ut des” (memberi supaya diberi). Aspek ini melekat pada
perilaku religius yang rutin dan massif dari semua orang di
sepanjang zaman dan di semua agama. Kepentingan doa sangat
standar: mengatasi kejahatan eksternal di dunia dan menarik
keuntungan eksternal dari dunia ini. Karena itu menurut Weber,
setiap aspek dari fenomena religius, yang menunjuk pada yang
melampaui kejahatan dan keuntungan dalam dunia ini adalah,
hasil karya dari proses evolusi khusus, yang dicirikan oleh dua
aspek: Pertama, adanya sistematisasi rasional konsep tuhan dan
pemikiran yang berkenaan dengan hubungan-hubungan antara
manusia dengan tuhan;Kedua, terjadinya penyusutan karakteristik
rasionalisme kepada orisionalitas, kepraktisan, dan kalkulasi.
Penyusutan tersebut sangat dilatari dengan pencarian keuntungan
bagi kesuksesan ekonomi sehari-hari.
Selanjutnya, Weber pun mengulas aspek sosiologis dari
kemunculan keimaman (priestshood), sebagai sosok yang berbeda
dengan praktisi magis. Menurutnya, munculnya “imam”
36 Religiositas Ambon-Kristen …

merupakan implikasi sosiologis dari adanya perbedaan antara


kultus dengan sihir. Namun bila diterapkan dalam realitas,
perbedaan ini menjadi cair, walaupun kultus dan sihir dapat
dibedakan dalam pengertian fungsi-fungsi profesional, di mana
kultus memengaruhi ilah melalui ibadah, dan sihir mendesak jin
dengan cara-cara magis. Hanya saja di dalam agama-agama besar,
termasuk Kristen, menurut Weber, konsep imam mencakup
kualifikasi magis. Selain itu, perbedaan antara imam dan magician
adalah, bahwa imam bertugas di dalam sebuah organisasi sosial,
sementara magician bekerja secara individual. Perbedaan lain
antara imam dengan magician adalah, bahwa imam membutuhkan
pengetahuan khusus, doktrin yang lengkap, dan kualifikasi
vokasional, sedangkan magician cukup dengan memiliki karisma.
Weber berpendapat bahwa, “There can be no priesthood without a
cult, although there may well be a cult without a special
priesthood”10.
Sejauh ini, Weber mencatat tiga cara memengaruhi
kekuasaan supernatural: (1) cara magis, (2) cara gratifikasi, dan
(3) cara kepatuhan pada hukum keagamaan. Memang, menurut
Weber, etika keagamaan tidak berangkat dari perspektif ini.
Namun tak dapat dipungkiri, ada sebuah sistem etika keagamaan

10 Ibid, 30. Bagi Weber, perkembangan penuh dari rasionalisasi metafisik dan etika

keagamaan membutuhkan imam yang independent dan terlatih secara professional, secara
permanen dipenuhi dengan kultus dan dengan problem-problem praktis penyembuhan
jiwa. Akibatnya etika berkembang menjadi sesuatu yang berbeda dengan agama yang
terasionalisasi secara metafisik. Dampaknya – seperti yang terjadi di dalam pemikiran Cina
klasik – agama kehilangan imam yang indipenden, demikian juga di dalam Buddhisme kuno
yang kehilangan kultus dan imam. Akibatnya rasionalisasi kehidupan keagamaan
mengalami fragmenter, atau hilang total, bila keimaman gagal meraih status kelas yang
independen. Selanjutnya, ketika tuhan tampaknya seperti sudah tidak berkuasa, maka imam
mempunyai cara tersendiri untuk menafsirkan mengapa hal tersebut bisa terjadi, terutama
pada pihak perilaku para penyembah tuhan tersebut. Salah satu interpretasi imam adalah
bahwa tuhan tidak dapat dipengaruhi karena para penyembahnya kurang menghormati dia.
Di sini tentu saja yang berlaku adalah penyembahan bukan pemaksaan secara magis. Dalam
hal inilah perbedaan antara gagasan tentang tuhan (god) dengan gagasan tentang jin
(demon). Tuhan hanya dapat dipengaruhi melalui doa permohonan, sedangkan jin dipaksa
melalui magis. Perbedaan lain adalah tuhan selalu dipahami sebagai yang memiliki
kekuasaan yang berguna bagi manusia sedangkan jin memiliki kekuasaan yang
membahayakan manusia. Dari sini kemudian muncul gagasan tentang karakter yang baik
dan yang kejam di dalam pantheon. Gagasan tersebut kemudian berkembang menjadi
gagasan tentang karakter etis tuhan, terutama di dalam agama monoteisme.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 37

yang sangat berpengaruh, yang secara tidak langsung datang dari


norma-norma tingkah laku magis. Weber berpendapat bahwa, di
manapun ada sebuah kepercayaan yang berkembang terhadap
roh-roh, maka ketika ada kejadian luar biasa di dalam kehidupan
seseorang, maka hal itu (dipandang) disebabkan oleh masuknya
sebuah roh tertentu ke dalam dirinya. Hal itu terjadi misalnya,
ketika orang mengalami sakit, kehamilan, menstruasi, dan lainnya.
Roh ini, dapat dianggap suci atau kotor. Dalam hal ini, orang tidak
boleh mengganggu roh itu agar roh itu tidak membahayakan
dirinya. Bagi Weber, inilah akar gagasan tentang tabu. Proses
lahirnya etika agama, terjadi seiring dengan rasionalisasi tabu
yang melahirkan sebuah sistem norma. Lewat proses rasionalisasi
tersebut, muncullah juga sebuah institusi sosial yang disebut
totemisme, sebagai simbol ikatan suatu kelompok sosial tertentu
dengan suatu objek (biasanya, benda alamiah dan manifestasi
paling murni dari totemisme adalah seekor hewan).11
Khususnya berkaitan dengan proses pembentukan sebuah
kongregasi (gereja atau jemaat), menurut Weber, hal itu
dipengaruhi oleh: Pertama, berawal dari masuknya doktrin-
doktrin nabi ke dalam kehidupan sehari-hari. Para murid nabi
kemudian menjadi guru-guru etis, imam-imam, dan pastor-pastor
yang melayani atau mengatur organisasi yang didedikasikan untuk
maksud-maksud keagamaan. Kedua, kongregasi muncul sebagai
konsekuensi dari pengrusakan sebuah asosiasi politik. Di dalam
nuansa tersebut, Weber melihat ada aspek politik dan ekonomi, di
balik berdirinya suatu kongregasi keagamaan. Salah satu
alasannya adalah, kongregasi keagamaan dianggap sebagai suatu
instrumen penting untuk memenangkan suatu penaklukkan. Bagi
Weber, hubungan antara otoritas politik dan komunitas religius,
yang darinya konsep denominasi religius berasal (konfession),
hanya bisa dipahami lewat penganalisisan dominasi. Selanjutnya,
perkembangan komunitas kongregasi keagamaan, akan

11 Implikasi sosiologis dari totemisme adalah pengaruhnya dalam menghasilkan

pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang dijamin dan diperkuat oleh motivasi-
motivasi magis.
38 Religiositas Ambon-Kristen …

menstimulus perkembangan doktrin iman. Akan tetapi,


perkembangan teologi juga ditentukan oleh situasi politik. Bahkan
bagi Weber, faktor-faktor pelayanan gereja seperti khotbah dan
pastoralia, turut kontributif membentuk suatu agama menjadi
agama profetik dan etik.12
Sementara itu, dalam hubungannya dengan seni, Weber
menyatakan bahwa Agama dan Seni memiliki keterkaitan yang
erat sejak awal. Sebab agama sudah menjadi sumber yang tak
pernah habis bagi ekspresi artistik dari eksistensi idol (berhala)
dan ikon; sementara musik,merupakan alat pembangkit ekstasis
yang menyertai tindakan pemujaan atau perlindungan dari roh
jahat. Lebih jauh, Weber mengidentifikasikan 3 ciri agama dan
seni, yaitu: (1) agama orgiastik, yang banyak mengakomodasi lagu
dan tarian; (2) agama ritual, yang cenderung mengarah ke seni
gambar; sedangkan (3) agama kasih, yang mendukung
pengembangan puisi dan musik.
Berkaitan dengan korelasi agama, etika dan politik, Weber
menegaskan bahwa, semakin agama berupaya untuk
mengorganisir dirinya sebagai sebuah kekuasaan yang independen
terhadap otoritas politik, maka semakin rasional etikanya. Bagi
Weber, hubungan agama dengan politik, pertama-tama ditentukan
oleh elit agama, dalam hal ini para imam. Melalui proses
rasionalisasi, maka agama terus mengalami evolusi, termasuk
dalam korelasinya dengan politik. Pada umumnya agama
berevolusi dari agama magis menjadi agama etis. Dalam hubungan
dengan proses ini, agama mengalami ketegangan dengan ruang

12 Tentang khotbah, Weber melihat hubungannya dengan agama profetik. Dalam hal

ini khotbah adalah instruksi kolektif yang berkenaan dengan hal-hal keagamaan dan etika
yang terkait dengan kenabian. Selanjutnya khotbah akan merosot bila agama berubah dari
agama profetik menjadi agama imamat. Demikian juga sebaliknya, khotbah akan
berkembang ketika agama imamat berubah menjadi agama profetik. Sementara pelayanan
pastoral ~ sebagai bagian dari kultivasi keagamaan, di dalam rasionalisasinya dan
sistematisasinya adalah hasil dari agama yang dinyatakan secara profetik. Pelayanan
pastoral dapat menjadi instrument kekuasaan imam karena dengannya imam dapat
memengaruhi tingkah laku kehidupan. Bila ini terus berkembang maka agama akan
mencapai karakter etisnya. Jadi, bagi Weber, semakin agama menjadi agama etis, semakin
pelayanan pastoral dibutuhkan. Semakin pelayanan pastoral memengaruhi tingkah laku
kehidupan, semakin agama menjadi agama etis.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 39

perilaku politik. Ketegangan ini, muncul setelah agama mencapai


status kesetaraan dengan asosiasi-asosiasi politik. Contohnya,
tuhan politik dari sebuah lokalitas, muncul dalam rangka proteksi
terhadap kepentingan politik asosiasi-asosiasi pengikutnya.
Demikian halnya dalam Kekristenan dan Islam, tuhan kadang
dijadikan sebagai ilah, sama seperti bagaimana tuhan-tuhan local
pun terlibat di dalam politik-politik perkotaan. Oleh sebab itu
sering tidak terhindarkan bahwa, keimaman bergantung pada
asosiasi politik, secara langsung maupun tidak langsung.
Ketergantungan ini cukup kuat terasa dalam kehidupan gereja
kontemporer, yang mendapat dukungan tunjangan dari
pemerintah.13

II.1.3. Emile Durkheim Tentang Agama:14


Untuk menjawab apa yang dimaksudnya dengan agama,
Durkheim memberikan catatan awal terhadap beberapa hal
substansial, yaitu:15 Pertama, upaya mendefinisikan agama harus
dimulai dengan membebaskan pikiran kita dari ide-ide pra-
pemahaman. Artinya, kita perlu memandang agama-agama dalam
kenyataan konkretnya. Kedua, pentingnya melihat ciri-ciri umum
yang mungkin dimiliki dari agama itu sendiri.
Dalam upaya untuk mengelaborasi lebih jauh
pengertiannya mengenai agama, Durkheim lalu melakukan riset
dengan memilih agama primitif sebagai subjek penelitiannya.
Karena menurutnya, agama primitif memperlihatkan aspek
kemanusiaan yang paling fundamental dan permanen, dan oleh
sebab itu ia dapat menjelaskan hakikat religiositas manusia.
Baginya pula, di dasar semua sistem kepercayaan dan pemujaan,
ada sejumlah representasi fundamental dan pola perilaku ritual

13Ibid,223.
14Dirangkum dari beberapa karyanya, antara lain: (1) The Division of Labor in Society,
Second edtion (1902);(2) The Elementary Forms of The Religious Life(1965); dan (3) Suicide:
AStudy in Sociology(1952).
15 E. Durkheim, The Elementary Forms of the Religious. Translated by Joseph Ward

Swain (London: George Allen & Unwin Ltd., 1954),48.


40 Religiositas Ambon-Kristen …

yang punya makna objektif dan fungsi yang sama di mana dan
kapanpun, terlepas dari keragaman bentuknya masing-masing.
Elemen inilah yang membentuk sesuatu yang abadi dan manusiawi
dalam agama. Persoalan bagaimana cara mengungkapkan elemen-
elemen ini, membawa kita pada soal metodologi yang dipakai oleh
Durkheim, yaitu melihat bagaimana fenomena religius masih
membawa bekas-bekas yang jelas dari asal-muasalnya.16
Sehubungan dengan itu, Durkheim melihat bahwa, semua
kepercayaan religius memperlihatkan satu ciri yang umum, yaitu
klasifikasi tentang yang profan dengan yang sakral. Ia
memasukkan pada yang sakral itu misalnya kepercayaan, mitos,
dogma, legenda. Lalu, apa yang menjadi karakteristik yang sakral
itu sehingga bisa dibedakan dengan yang profan? Durkheim
menjawab: (1) Yang sakral cenderung memiliki martabat dan
kekuatan yang superior ketimbang yang profan, dan(2) Yang
sakral itu memiliki sifat absolut.17
Menurut Durkheim, antara yang sakral dengan yang
profan, ada perbedaan genus. Walaupun orang dapat beralih dari
dunia profan ke dunia sakral, tetapi kedua dunia itu berbeda
bahkan beroposisi satu dengan lainnya. Bahkan dalam pemikiran
manusia, konsep tentang yang sakral “selalu terpisah” dari konsep
tentang yang profan. Namun demikian,bukan berarti tidak ada
komunikasi atau tidak mungkin ada hubungan di antara keduanya.
Durkheim lalu mendefinisikan yang sakral itu sebagai: “hal-hal
yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan.” Sedangkan
yang profan itu merupakan: “hal-hal, tempat larangan-larangan itu
diterapkan dan harus tetap dibiarkan berjarak dari hal-hal yang
sakral.” Dan bagi Durkheim, kepercayaan religius pada hakikatnya
adalah representasi-representasi yang mengekspresikan keadaan
hal-hal yang sakral dan hubungannya dengan hal-hal yang sakral
lainnya, atau dengan hal-hal yang profan. Sementara ritus-ritus,
merupakan aturan tentang kelakuan yang menentukan bagaimana

16 Ibid,26.
17 Ibid,66-68.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 41

manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang


sakral.Dari sini kemudian, Durkheim berkesimpulan bahwa, agama
terbentuk ketika sejumlah hal yang sakral memiliki relasi
pengawasan dan subordinasi satu dengan yang lainnya dan
terbentuk semacam sistem koherensi yang tidak dimiliki oleh
sistem lain.18
Pada bagian lainnya, Durkheim menyinggung tentang
konsep magi. Menurutnya, magi mempunyai kesamaan dengan
agama. Misalnya, magi juga berisi kepercayaan, ritus, dogma, dan
mitos. Akan tetapi Durkheim juga mengingatkan bahwa seringkali
agama bermusuhan dengan magi. Bagaimana Durkheim
membedakan secara tegas antara agama dengan magi? Jawabnya
adalah, bagi Durkheim, agama memiliki kelompok sosial dan
komunitas moral tertentu, sedangkan magi tidak; ia lebih bersifat
individual. Dengan ini, maka secara implisit Durkheim tidak
menerima adanya agama personal yang bersifat individual.19
Pada akhirnya, Durkheim mendefinisikan agama
sebagai“kesatuan sistem kepercayaan dan praktik-praktik yang
berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan
terlarang; kepercayaan dan praktik-praktik yang menyatukan
seluruh orang yang menganut dan yang meyakini hal-hal tersebut
ke dalam satu komunitas moral, yang misalnya disebut gereja,
khususnya all those who adhere to them.20
Menurut Durkheim, walaupun ada dua jenis agama
elementer yaitu naturisme dan animisme, namun bentuk agama
yang paling primer dan elementer adalah animisme.Bentuk agama
ini dimengerti sebagai yang primer dan elementer karena
animisme itu berkaitan dengan jiwa, roh dan alam. Sehubungan
dengan itu, ia pun lalu mengulas tentang asal-muasal pemujaan
terhadap jiwa, yang menurutnya di sekeliling kehidupan manusia
terdapat jiwa orang-orang yang telah meninggal. Jiwa-jiwa
tersebut melayang-layang bebas di dalam ruang, tetapi tidak

18 Ibid,70-72.
19 Ibid,76-78.
20 Ibid,80.
42 Religiositas Ambon-Kristen …

mempunyai bentuk. Jiwa-jiwa ini tetap dapat memengaruhi


kehidupan manusia, baik secara positif maupun negatif. Manusia
pun, sesungguhnya ingin mengendalikan pengaruh jiwa-jiwa
tersebut terhadap kehidupannya sendiri. Di sinilah kemudian,lahir
praktik sesembahan, kurban, doa dan piranti-piranti peribadatan
religius lainnya. Pada saat inilah ~kata Durkheim~ jiwa-jiwa itu
mengalami transformasi, dari semata-mata inti kehidupan,
menjadi roh atau jin yang dapat memengaruhi kehidupan manusia,
bahkan menjadi dewa. Dan ini semua bisa terjadi, karena manusia
mengalami kematian. Jadi, menurut Durkheim pemujaan yang
paling awal dalam sejarah agama manusia adalah pemujaan
jiwa-jiwa nenek moyang. Dan ritus pertama adalah ritus
kematian, sesaji pertama adalah untuk roh-roh nenek moyang, dan
altar pertama adalah kuburan.
Kalau demikian, Durkheim mengajukan satu persoalan:
bagaimana pemujaan roh nenek moyang ini kemudian
dihubungkan dengan pemujaan terhadap alam? Untuk menjawab
persoalan ini, Durkheim mengikuti pemikiran Taylor yang
mengingatkan bahwa, cara berpikir orang primitif sama dengan
cara berpikir anak-anak, yang membayangkan segala sesuatu
berdasarkan alam manusia. Jadi, segala sesuatu memiliki jiwa
seperti diri manusia. Artinya, pandangan tentang manusia menjadi
pandangan tentang dunia. Dengan demikian, singkatnya, animisme
melahirkan naturisme. Demikian pemikiran Taylor yang dirujuk
oleh Durkheim.21
Dalam membahas naturisme, Durkheim merujuk pada
pemikiran Max Müller: “Nihil est intellectu quod non ante fuerit in

21 Akan tetapi, pemikiran Taylor tersebut dibantah oleh pemikiran Spencer. Bagi

Spencer, seprimitifnya manusia, ia masih bisa membedakan antara yang hidup dengan
benda mati. Oleh sebab itu alasan yang membuat manusia primitif mengembangkan
pemujaan leluhur menjadi pemujaan benda atau alam, dapat ditemukan dengan cara lain.
Spencer kemudian mengajukan teorinya bahwa, bagi sebagian masyarakat terbelakang ada
kebiasaan umum untuk menamakan seseorang dengan nama binatang, tanaman, bintang,
atau lainnya ketika ia lahir. Pemujaan binatang atau benda-benda alam ada kaitannya
dengan hal ini. Jadi, animisme berkembang menjadi naturisme karena manusia primitif
melakukan penafsiran harafiah terhadap nama-nama metaforis yang dikenakan pada diri
seseorang, ketika ia lahir (Ibid,89-90).
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 43

sensu.” Artinya, tidak ada keimanan yang bukan pertama-tama


berasal dari indra. Prinsip ini, kemudian diaplikasikan dalam dunia
agama. Tetapi, selanjutnya pertanyaan Durkheim adalah,
pengalaman-pengalaman indrawi manakah yang telah melahirkan
pemikiran religius? Pertanyaan ini kemudian dijawab Durkheim
dengan melakukan kajian terhadap Veda. Dalam pengkajiannya
ditemukan bahwa, nama dewa (Agni) sebenarnya adalah nama
fenomena alam, yaitu api. Bagi Durkheim, ini menunjukkan bahwa
kekuatan alam merupakan objek pertama yang menjadi tujuan
perasaan religius. Objek-objek ini kemudian didewakan. Jadi, alam
merupakan sesuatu yang mengejutkan dan menakutkan oleh
kekuatan dan kedahsyatannya. Ketika manusia menemukan
kekuatan dan kedahsyatan itu konstan, maka terbukalah sebuah
wilayah bagi perasaan kagum yang bercampur takut.22 Inilah yang
kemudian memicu perasaan religius manusia. Demikianlah yang
terjadi dengan fenomena “api” yang kemudian berevolusi menjadi
sesosok dewa.
Jadi, kesimpulan Müller, seperti yang digarisbawahi oleh
Durkheim, tidak ada aspek alam yang tidak menciptakan rasa
lemah dalam diri manusia.Sebab manusia menyadari dirinya
terkurung di dalam dan terkuasai oleh ketidakterbatasan alam
dengan sensasinya. Dari kesadaran (sensasi) inilah, agama
berasal.23 Apa yang terjadi kemudian adalah, kekuatan-kekuatan
alam tersebut dirubah menjadi agen-agen personal. Jadi kekuatan
alam dipersonifikasikan. Inilah yang oleh Durkheim disebut
sebagai metamorfosis objek-objek pemujaan agama. Dalam
konteks inilah, bahasa menjadi penting. Dan bagi Durkheim, ada

22 Istilah ini kemudian dikembangkan oleh Rüdolf Otto, sebagai ahli sejarah agama

berkebangsaan Jerman, yang menulis buku The Idea of the Holy (1917). Bagi Otto, rasa gaib
itu (numinous) adalah dasar dari agama yang memiliki nuansa kemisteriusan yang dialektis:
sebagaimysterium tremendum(yang mempesona) dan mysterium fascinans (menakutkan).
Paradigma ini sempat mendapat banyak san antara sekitar 1950 dan 1990, tetapi sejak itu,
telah kembali mendapatkan tempatnya lagi. Teolog Jerman-Amerika Paul Tillich mengakui
pengaruh perspektif Otto pada dirinya, seperti halnya juga antropolog Rumania-
Amerika:Mircea Eliade. Bahkan Eliade menggunakan konsep-konsep dari The Idea of the
Holy sebagai titik tolak bagi bukunya sendiri yang terbit pada tahun1957, The Sacred and
the Profane. Lihat, Karen armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan ...,294-296.
23 Durkheim, The Elementary Forms...,93.
44 Religiositas Ambon-Kristen …

dua hal yang dilakukan bahasa dalam hal ini: (1) Bahasa tidak
mengekpresikan hal atau individu tertentu, melainkan tipe-tipe
yang menjadi representasi tema-tema pikiran yang paling umum;
(2) Tipe-tipe yang dimaksudkan di sini adalah tipe-tipe tindakan.24
Selanjutnya, tentang Animisme dan Naturisme, Durkheim
berpendapat bahwa keduanya membangun konsep tentang tuhan,
yang berpijak pada pencerapan indrawi bahwa, fenomena alam
tertentu, baik fisikal maupun biologis, terdapat di dalam diri
manusia. Perbedaannya, menurut animisme, titik awal evolusi
agama ada pada mimpi-mimpi, sedangkan menurut naturisme,
pada gejala-gejala alam. Namun keduanya punya pendapat yang
sama yaitu, bahwa benih pertentangan antara yang sakral dengan
yang profan harus ditemukan di dalam alam itu sendiri. Bagi
Durkheim, baik manusia maupun alam,tidak bersifat sakral pada
dirinya sendiri. Kesakralan itu mesti datang dari luar. Menurut
Durkheim, di luar manusia individual dan dunia alamiah, terdapat
realitas lain yang ada hubungannya dengan makhluk khayali.
Artinya, di luar animisme dan naturisme, Durkheim yakin ada
pemujaan lain yang lebih primitif dan fundamental, yang menjadi
asal dari animisme dan naturisme itu. Pemujaan ini ~meminjam
istilah para etnografer~ Durkheim menyebutnya totemisme.25
Dalam pembahasannya tentang totem, Durkheim mulai
dengan mengamati kelompok yang punya tempat istimewa dalam
kehidupan kolektif, yang disebutnya “marga”, dengan karakter
utama: Individu-individu yang menjadi anggota marga, merasa
terikat satu sama lain oleh hubungan kekeluargaan. Hubungan ini
bukanlah sekadar hubungan darah oleh kelahiran. Tetapi, kata
Durkheim, mereka menjadi keluarga karena memakai nama yang
sama. Nama yang dimaksud dalam hal ini bukanlah nama
berdasarkan “gen” yang sama, tetapi nama dari benda-benda

24 Ibid,116-120. Demikian misalnya “guntur” disebut sebagai sesuatu “yang

menyambar” tanah, “angin” sebagai sesuatu “yang berhembus”, dan lain-lain. Semua
gambaran ini seakan-akan menjadikan fenomena alam itu sebagai sesuatu yang personal
dan dijadikan rujukan pemujaan (termasuk dari tumbuhan atau hewan tertentu).
25 Ibid,135-136.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 45

tertentu yang dianggap memiliki hubungan khusus kekeluargaan.


Nama dari benda-benda yang dipakai sebagai nama marga secara
kolektif itulah yang dimaksud oleh Durkheim sebagai totem.
Jadi,totem marga adalah totem anggota-anggotanya. Dalam hal ini,
setiap marga punya totem yang khusus baginya, yang tidak boleh
sama dengan marga lainnya, walaupun mereka satu suku. Dan
kebanyakan nama-nama totem diambil dari nama binatang atau
tetumbuhan. Jarang totem diambil dari nama benda mati, walau
ada juga sedikit.26
Pada sisi lainnya, Durkheim mengingatkan bahwa marga
hanya bisa hidup dalam dan oleh karena kesadaran-kesadaran
individual yang membentuknya. Itu berarti sejauh kekuatan
religius dianggap sebagai sesuatu yang mewujud di dalam
lambang-lambang totemik, maka kekuatan tersebut bersifat
eksternal bagi individu dan bergabung dengan sesuatu yang
transenden. Di pihak lain, kekuatan tersebut hanya bisa nyata di
dalam dan oleh individu-individu, tepat seperti marga yang dia
simbolkan. Artinya, kekuatan itu imanen di dalam individu-
individu anggota kelompok, dan mereka harus membayangkannya
seperti itu.
Dari banyak contoh yang ada, Durkheim berpendapat
bahwa posisi totem sangat penting dalam kehidupan sosial
masyarakat primitif. Ia digunakan juga dalam upacara-upacara
religius dan menjadi bagian dari ritus. Karena itu, menurut
Durkheim,saat totem memiliki label kolektif, maka dia sekaligus
memiliki karakter religius. Totem menjadi dasar rujukan untuk
menggolongkan mana yang sakral dan mana yang profan.27

26 Durkheim menyebut tiga persyaratan totem di dalam suku-suku:

a. Anak-anak memiliki totem yang sama dengan ibunya. Karena itu totem tidak
mempunyai basis teritorial, apalagi dalam konteks perkawinan eksogami. Seorang istri
punya totem yang beda dengan suaminya. Dan anak biasanya mengikuti totem ibunya.
b. Namun di tempat lain, totem terbawa lewat garis paternal. Jadi, semua orang di suatu
tempat memiliki totem yang sama, kecuali para istri.
c. Totem anak bisa juga beda dengan ayah dan ibunya, tetapi mengikuti totem leluhur
mistis. (Ibid,160-161)
27 Ibid,178.
46 Religiositas Ambon-Kristen …

Pertanyaan signifikan selanjutnya adalah, di manakah


tempat manusia dalam sistem benda-benda religius (totem) ini?
Menurut Durkheim, berdasarkan kepercayaan pada totem, maka
setiap individu memiliki hakikat ganda: ada dua macam makhluk
dalam dirinya, yakni manusia dan sekaligus binatang yang menjadi
totemnya. Sebab baginya, totem mengekspresikan dan
menyimbolkan dua hal berbeda, yakni: (1) Totem merupakan
bentuk luar dan kasat mata dari apa yang disebutnya prinsip
totemik atau tuhan; (2)Totem juga merupakan simbol dari sebuah
masyarakat yang disebut marga. Namun,Durkheim menandaskan,
jika totem merupakan simbol dari tuhan dan masyarakat, itu
berarti tuhan dan masyarakat adalah satu dan sama. Kendati
demikian, bila setiap individu anggota masyarakat tergantung dan
patut untuk menaati tuntutan-tuntutan masyarakat, maka dengan
begitu individu laksana hamba yang melayani kepentingan
masyarakat. Dalam konstelasi demikian, sesungguhnya
masyarakat pun tidak berbeda dengan konsepsi tuhan dalam
agama.28
Lebih jauh, menurut Durkheim, apa yang disebut tuhan
yang sama dengan masyarakat, sesungguhnya ia bukan hanya
sebuah otoritas yang menjadikan manusia atau individu sebagai
sasarannya, tetapi juga sebuah kekuatan yang menekan manusia
atau individu. Manusia yang taat pada tuhannya, dan dengan itu ia
merasa tuhan beserta dengan dia, akan masuk ke dalam dunia
dengan kepercayaan diri dan punya kekuatan.29.

28Ibid,305-306.
29Hal yang sama –menurut Durkheim– terjadi juga dalam hubungan antara
masyarakat dengan individu yang menjadi anggotanya. Artinya, kekuatan yang dimiliki
masyarakat tidak hanya bersifat eksternal bagi seorang individu, tetapi kekuatan itu
kemudian menjadi kekuatan internal juga dalam individu. Menurut Durkheim, daya dorong
masyarakat terhadap individu di atas akan muncul dalam keadaan-keadaan tertentu, yakni:
(1) Dalam sebuah pertemuan untuk kegiatan bersama, individu akan merasakan adanya
desakan untuk berperilaku sama sekali bukan berdasarkan kemauan individualnya.
Ketika pertemuan itu selesai maka individu bisa kembali pada kemauannya sendiri.
(2) Ketika seseorang berbicara di depan khalayak ramai, seseorang dapat mencapai “rasa
kebersamaan” dengan khalayak ramai tersebut dan ia mulai menampilkan postur-
postur yang ganjil, bahasayang bersemangat, yang kesemuanya akan terasa ganjil bila
ditunjukkan di luar khalayak ramai tersebut. Keberanian dan semangat untuk
menampilkan postur dan kata-kata yang penuh semangat itu –kata Durkheim– tidak
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 47

Dalam hal inilah, bagi Durkheim masyarakat itu adalah


sebuah kesatuan moral, karena ia memiliki kekuatan dan energi
untuk mengatur tindakan seorang individu. Hal ini, menurut
Durkheim, sama dengan apa yang dilakukan tuhan terhadap
umatnya.30 Bagi Durkheim, masyarakat tidak pernah berhenti
menciptakan hal-hal sakral baru. Di dalam masyarakat, seringkali
terjadi ada seseorang yang dianggap sebagai representasi energi
dan pengaruh masyarakat terhadap individu. Seseorang itu akan
ditempatkan pada posisi istimewa dan kemudian didewakan.
Terhadap orang-orang tersebut, ada keharusan untuk menjaga
jarak bagi anggota-anggota lainnya, harus menggunakan bahasa
yang khusus bila berkomunikasi dengan mereka, harus bertindak-
tanduk khusus bila bergaul dengan mereka. Dan bagi Durkheim,
semua tindakan ini melibatkan perasaan religius karena
kesakralannya. Itulah yang terjadi misalnya, dengan sikap dan
tindakan yang diberikan kepada para raja dan bangsawan.
Durkheim pun menyatakan ketidaksetujuannya dengan
pendapat yang mengatakan bahwa, ide-ide religius itu dikaitkan
pertama-tama dengan perasaan lemah dan tertindas. Yakni pada
saat manusia merasa dikelilingi oleh daya-daya yang jahat dan
menakutkan, ritus-ritus dilakukan untuk membujuk daya-daya itu,
dan sekaligus menjadi tujuan utama dari ritus keagamaan
tersebut. Pemahaman ini ditolak oleh Durkheim, sebab baginya
kemunculan agama pada titik awal evolusi adalah bahwa, orang-
orang primitif memandang daya-daya itu sebagai sesuatu yang
baik dan bersahabat. Dan itu ada pada totem mereka. Oleh sebab

datang dari individu sang pembicara, tetapi datang dari kelompok atau khalayak yang
sedang mendengar pidatonya. Jadi kata Durkheim: “yang berbicara bukan lagi individu,
tetapi sebuah kelompok yang telah berinkarnasi dan memiliki sosok seorang manusia.”
(3) Selain kedua keadaan tersebut di atas, keadaan di mana pengaruh peristiwa-peristiwa
keterkejutan kolektif dalam perjalanan sejarah membuat interaksi sosial semakin
intensif dan aktif sehingga individu-individu tergerak untuk saling mencari dan
membuat ikatan bersama. Ini misalnya terjadi dalam epos revolusi. (Lihat, Ibid,310-
311)
30Ibid,312.
48 Religiositas Ambon-Kristen …

itu, ritual totemic, selalu dipenuhi dengan tarian dan


kegembiraan.31
Terkait dengan korelasi totem, jiwa dan penyembahan atau
pemujaan terhadap leluhur, serta larangan,Durkheim memberikan
beberapa catatan mendasar, yang dapat dikemukakan antara lain
sebagai berikut:32
Pertama, Tidak ada masyarakat tanpa agama, dan tidak ada
tidak ada agama yang tidak memiliki representasi-representasi
kolektif yang berkaitan dengan jiwa;
Kedua, Jiwa dapat dipahami dan dibedakan dengan tubuh,
namun tidak dapat dipisahkan. Hanya saja, bila tubuh mengalami
kehancuran, maka jiwa bisa tetap bertahan di dalam dunia jiwa itu
sendiri. Demikianlah pada orang-orang yang telah mati.Secara
jasmani mereka telah tiada, tetapi jiwa mereka tetap ada, dan
tinggal di “negeri jiwa-jiwa”.33
Ketiga, Leluhur adalah (a) individu-individu yang superior
dan dihormati serta memiliki kemampuan magis dan melawan
hukum-hukum alam yang normal; (b) Para leluhur mempunyai
multi-wujud.34
Keempat, Bagi Durkheim, pemujaan (terhadap leluhur)
mempunyai dua sisi: negatif dan positif. Dan berdasarkan
pembagian yang sakral dengan profan maka menurutnya, seluruh
ritus bermaksud untuk mewujudkan pemisahan itu. Pemujaan
negatif adalah pemujaan atau ritus yang berisi pantangan atau
larangan (tabu) untuk mengalami suatu “kontak” dengan yang
sakral tersebut.35

31Ibid,329.
32 Ibid,354.
33 Dengan mengacu pada teori Spencer dan Gillen, Durkheim menekankan sifat
reinkarnasi jiwa. Itu berarti, seorang individu adalah reinkarnasi jiwa leluhurnya
(Ibid,277.)
34 Ibid,364 – 365.
35 Ibid,440-444. Yang dimaksud dengan “kontak” di sini, bukan hanya bersentuhan

secara fisik, tetapi juga melihathal-hal yang dianggap sakral tidak boleh dilihat oleh
kebanyakan orang atau orang-orang yang profan. Selain melihat, juga larangan untuk
berbicara. Yang profan tidak boleh berbicara dengan yang sakral. Ada juga kata-kata atau
suara yang sakral, yang tidak boleh dikeluarkan oleh yang profan. Kata-kata itu misalnya,
nama totem atau leluhur atau nama orang yang dianggap sakral. Demikian sebaliknya, hal
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 49

Kelima, Khususnya perihal “larangan”, Durkheim membagi


dua bentuk larangan fundamental:
(a) Kehidupan religius dan kehidupan profan, tidak bisa berada
dalam satu ruang yang sama.
(b) Kehidupan religius dan kehidupan profan tidak boleh berada
di dalam waktu yang sama.
Keenam, Catatan yang dapat dikemukakan terkait dengan
pandangannya tentang pemujaan positif dan negatif, antara lain
sebagai berikut:
(a) Pemujaan negatif merupakan prakondisi untuk bisa
berhubungan dengan pemujaan positif. Pemujaan positif tidak
berfungsi melindungi hal yang sakral dari yang profan. Ia
berfungsi merubah kesadaran pemuja secara positif. Setelah
pemuja melewati pemujaan negatif maka selanjutnya ia
masuk dalam pemujaan positif. Jadi, pemujaan negatif menjadi
semacam inisiasi bagi pemuja, untuk menyeberangi batas
antara dunia profan dengan sakral. Karena praktik inisiasi
selalu menjadi waktu yang kritis,oleh sebab menjadi puncak
pemujaan negatif di mana ritual-ritual asketik terjadi, maka
orang yang diinisiasi harus “dikucilkan” dari masyarakat,
dengan tujuan untuk merubah secara radikal status orang
yang diinisiasi. Dengan konsepsi dan praktik ini, maka –
menurut Durkheim– apa yang disebut asketisme, posisinya
dalam kehidupan religius, asalnya, dan fungsinya, dapat kita
pahami. Asketisisme, dengan demikian tidak lain adalah
pemujaan negatif atau sebuah proses inisiasi.36
(b) Pemujaan negatif melahirkan kesalehan negatif, dan
pemujaan positif melahirkan kesalehan positif. Kesalehan
negatif adalah pengekangan diri dan kesalehan positif adalah
pemberian persembahan. Dengan demikian, kesalehan negatif
–kata Durkheim– adalah bagian kehidupan religius yang

yang profan tidak boleh dicampurkan dengan kehidupan religius. Lebih jauh lagi, tindakan
dan aktivitas sehari-hari dilarang untuk dilakukan selama kehidupan religius berjalan,
misalnya makan. Di sinilah kita bisa memahami puasa sebagai sebuah praktik religius, atau
menguduskan hari Sabat dengan tidak boleh bekerja.
36Ibid 457.
50 Religiositas Ambon-Kristen …

paling esensial. Dan karena itu, tidak ada agama yang tidak
memiliki benih asketisisme, karena tidak ada agama yang
tidak memiliki “larangan”. Tetapi menurut Durkheim,
asketisisme tidak hanya mempunyai tujuan religius seperti
yang digambarkan di atas. Di dalamnya juga, ada kepentingan
sosial dan moral dalam bentuk simbolik.37

II.2. Religiositas
Religiositas memang berbeda dengan agama (religion),
namun dalam asas-asas fundamentalnya, keduanya memiliki
korelasi yang tak dapat dipisahkan.38 Bagi penulis, korelasi ini
dapatlah diungkapkan dengan konstatasi: “Semua agama
memiliki religiositas, kendati tidak semua religiositas harus
merujuk pada (suatu) agama.”39 Dalam rangka menyelami
konstatasi penulis ini, maka setelah dilakukan penelusuran
terhadap beberapa teori agama, maka pada bagian ini, akan
dilakukan penelusuran terhadap etimologi, multi-perspektif
teoritis dari beberapa pakar tentang religiositas beserta
perbandingannya dengan spiritualitas.

II.2.1. Pengertian Etimologi-Leksikal dan Pemaknaannya


Penelusuran etimologi-leksikal tentang religiosity, merujuk
pada beberapa sumber utama ensiklopedia maupun kamus,40 yang
hasilnya dapat dikompilasikan sebagai berikut:

37Ibid.
38 Bandingkan ulasan Maarten ter Borg tentang “Fundamentals and Civil Religiosity”,

sebagaimana dirujuk dalam Tedi Kholiludin, Pancasila dan Transformasi Religiostias Sipil di
Indonesia,Disertasi (Salatiga: Doktor Sosiologi Agama, Fakultas Teologi UKSW, 2015),66.
Lihat pula pandangan Huber yang mensyaratkan afiliasi agama sebagai variabel yang
berpengaruh dalam pembentukan religiositas seseorang atau suatu komunitas; namun pada
sisi lainnya Riesebrodt tidak mensyaratkan koherensi sistimatis antara religiositas dan
agama (Dalam, Sandra Hubert, The Impact of Religiosity.., 43,48).
39 Bandingkan Barbara B. Holdcroft, “What is Religiosity” Article 8, July 2013 in

Catholic Education: A Journal of Inquiry and Practice,Volume 10 | Issue 1, 89.


40Antara lain yang penulis gunakan: (1) James Hastings, ed. Encyclopaedia of Religion

and Ethich, Vol.X, Edinburgh: T. & T. Clark; New York: Charles Scribner’s Sons, 1980; (2)
J.A.Simpson & E.S.C. Weiner, The Oxford English Dictionary, 2nd Edition, Vol.XIII, Oxford:
Clarendon Press, 1989; (3)Webster’s New Explorer Encyclopedic Dictionary, Springfield,
MA-USA: Merriam-Webster, Inc.,2006; (4) Webster’s New World College Dictionary, Revised
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 51

Pertama, Menurut kamus Oxford41, religiosity berasal dari


bahasa Latin kemudian (Late Latin):religiõsitȇ. Kata inipun
diperbandingkan dengan kata Perancis: religiositȇ yang digunakan
pada abad ke-15. Sedangkan untuk kata religiousness,diartikan
sebagai religious feeling atau sentiment, yakni the state of character
of being religious.42
Kedua, Eksplorasi lebih mendalam diperoleh dari Webster’s
New Explorer Encyclopedic Dictionary (halaman 1550c), yang
antara lain mencatat bahwa, kata religous merupakan bentuk
adjective [berasal dari era Inggris pertengahan, yang diderivasikan
dari Perancis tua religieus, dan juga dari Latin religiosus, dan kata
religion], yang mulai digunakan pada abad ke-13, untuk menunjuk
pada “A member of a religious order under monastic vows.”
Ketiga, James Gardner, dalam Encyclopaedia of Faiths and
Religions of The World, (halaman 1749a), mengulas lebih jauh
bahwa, pada abad ke-13 tersebut telah mulai berkembang 4 ordo,
yakni: dominicans, fransiscans, Carmelites, dan Augustinian.
Keempat kelompok ini berkembang pesat di seluruh Eropa,
melalui pengudusan dan penyangkalan diri, sehingga mereka
dikenal luas. Dengan demikian, sebutan religious menunjuk pada
mereka yang terlibat di bawah sumpah, untuk menjadi anggota
dari suatu tatanan monastic tersebut, ketika mereka mulai
dianggap sebagai suatu kelas spiritual secara khusus.
Selanjutnya, kata religious tersebut, yang kemudian
menjadi noun dalam bentuk religiosity, mengandung arti, a.l.: (a)
Suatu sikap religius yang berhubungan dengan penghayatan imani
terhadap suatu ultimate reality or deity (a religious person) yang
diakui;(b) sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan religius

& Updated Third Edition, USA: Macmillan, 1996.; dan (5) James Gardner, Encyclopaedia of
Faiths and Religions of The World, Vol.V,New Delhi: Aryan Books International, 1999.
41Webster’s New Explorer Encyclopedic Dictionary, Springfield, MA-USA: Merriam-

Webster, Inc.,2006, 570a–570b. Rujukan etimologi yang sama juga digunakan di Webster’s
New World College Dictionary,1134a.
42 Tambahan pula dengan mengutip Z.A. Ragozin, dalam Chaldea, iii, 149, dikonstatir

bahwa “Man has all that animals have, and two things which they have not: speech and
religiosity.”
52 Religiositas Ambon-Kristen …

atau pengalaman religius; dan (c) suatu kesetiaan yang sungguh


dan bersifat hati-hati serta penuh semangat.

II.2.2. Religiositas dalam Perspektif Sosiologi Agama


II.2.2.1. Akar Religiositas
Secara teoritis, dalam perspektif studi agama-agama, akar
religiositas ini patut diakui merujuk pada perspektif Rüdolf Otto.
Sebagai seorang teolog Protestan dan ahli sejarah agama
berkebangsaan Jerman, yang menulis buku khusus bertajuk The
Idea of the Holy (1917), Otto meyakini bahwa rasa gaib (numinous)
adalah dasar dari agama.43 Perasaan itu mendahului setiap hasrat
untuk menjelaskan asal-usul dunia atau menemukan landasan
untuk berperilaku, beretika. Kekuatan gaib dirasakan manusia
dengan cara yang berbeda-beda ~terkadang ia menginspirasikan
kegirangan liar dan memabukkan, terkadang ketenteraman
mendalam, terkadang orang merasa kecut, kagum dan hina di
hadapan kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam setiap
aspek kehidupan. Ketika manusia mulai membentuk mitos dan
menyembah dewa-dewi, mereka tidak sedang mencari penafsiran
harafiah atas fenomena alam. Kisah-kisah simbolik, lukisan, dan
ukiran di Goa misalnya, adalah usaha untuk mengungkapkan
kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas
ini dengan kehidupan mereka sendiri.Bahkan, sebenarnya para
seniman, sastrawan, dan pemusik pada masa sekarang juga, sering
dipengaruhi oleh perasaan yang sama. Pada periode Neolitik
misalnya, ketika pertanian mulai berkembang, kultus dewi Ibu
mengungkapkan perasaan bahwa kesuburan yang
mentransformasi kehidupan manusia sebenarnya adalah sakral.44
Lebih jauh, Otto mendefinisikan konsep tentang yang
kudus sebagai apa yang dianggap numinus. Otto menjelaskan

43 Rüdolf Otto, The Idea of The Holy, An Inquiry Into The Non-Rational Factor in The

Idea of The Divine and Its Relation to The Rational. London-Oxford-New York: Oxford
University Press, 1977,5 ff.
44Karen armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-

Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun (Bandung: Mizan, 2002),294-296.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 53

bahwa, yang numinus itu sebagai "pengalaman yang non-rasional


dan tidak terindrawikan, atau perasaan yang objek utamanya yang
langsung berada di luar diri pribadi". Ia menciptakan istilah ini
berdasarkan kata bahasa Latin, numen (Tuhan). Ungkapan ini,
secara etimologis tidak berkaitan dengan gagasanImmanuel Kant
tentang noumenon, yaitu sebuah istilah bahasa Yunani yang
merujuk kepada suatu realitas yang tidak dapat diketahui, yang
ada di balik segala sesuatu. Yang numinus bagi Otto adalah, sebuah
misteri [bahasa Latin]: yang mempesona (mysterium fascinans)
dan sekaligus juga menakutkan (mysterium tremendum).

II.2.2.2. Lima Parameter Dimensi Religiositas


Dari banyaknya pemikiran tentang religiositas dengan
pelbagai variabelnya,45 penulis cenderung untuk merujuk pada
pandangan Glock dan Stark yang lebih sosiologis dan
fenomenologis, yang mengintrodusir 5 (lima) dimensi religiositas
dalam diri manusia yang dapat diperikan sebagai berikut:46
(1) Dimensi keyakinan (The Belief Dimension).
Dimensi ini dibentuk oleh ekspektasi bahwa, religiositas itu
memiliki sandaran dimensional pada suatu keyakinan
tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut.
Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan, di
mana para penganutnya diharapkan akan taat. Walaupun
demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi, tidak
hanya di antara agama-agama, tetapi seringkali juga di antara
tradisi-tradisi.

45 Antara lain yang dapat disebut: (1) Kelly (1955); (2) Allport (1961); (3) Lenski

(1963); (4) Cardwell (1980); (5) Ellison, et.al. (1989); (6) Kecskes & Wolf (1993); (7)
Bergan & McConatha (2000); (8) Huber (2003); (9) Riesebrodt (2010). Lihat, Barbara B.
Holdcroft, “What is Religiosity” Article 8, July 2013 in Catholic Education: A Journal of
Inquiry and Practice,Volume 10 | Issue 1, dan Sandra Hubert, “The Impact of Religiosity on
Fertility - A Comparative Analysis of France, Hungary, Norway, and Germany”. Dissertation
at Ruhr-University Bochum (Bochum, Germany: Springer VS, 2014.
46 Charles Y. Glock and Rodney Stark. Religion and Society in Tension (Chicago: Rand

McNally & Company, 1965), 20-31.


54 Religiositas Ambon-Kristen …

(2) Dimensi Praktik agama (The religious practice dimension).


Religiositas itu pun memiliki keterkaitan dengan dimensi
ritual atau praktik agama, yang terdiri dari dua varian
penting:
2.1. Ritual yang mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan
keagamaan formal dan praktik-praktik suci, yang mana
semua agama mengharapkan hal-hal tersebut
dijalankan oleh para penganutnya;
2.2. Ketaatan (Komitmen) dan ritual bagaikan ikan dengan
air, meskipun ada perbedaan penting. Apabila aspek
ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik,
semua agama yang dikenal juga mempunyai perangkat
tindakan persembahan dan doa (devosi) pribadi.
(3) Dimensi Pengalaman (The experience dimension)
Dimensi ini mengisyaratkan bahwa semua agama
mengandung pengharapan-pengharapan tertentu. Walau
tidak tepat pula jika dikatakan bahwa, seorang yang beragama
dengan baik, pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan
subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (yakni
kenyataan bahwa ia akan mencapai suatu keadaan kontak
dengan perantara supernatural). Dimensi ini, berkaitan
dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan
sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau
didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu
masyarakat), yang melihat komunikasi, walaupun kecil
dengan suatu esensi ketuhanan, sebagai kenyataan terakhir,
yang memiliki otoritas transendental. Tegasnya, ada kontras-
kontras yang nyata dalam berbagai pengalaman tersebut,
yang dianggap layak oleh berbagai tradisi dan lembaga
keagamaan.Dalam hal dekatnya jarak dan dan praktiknya,
agama-agama juga bervariasi. Namun, setiap agama memiliki
paling tidak nilai minimal terhadap sejumlah pengalaman
subjektif keagamaan sebagai tanda religiositas personal
maupun komunal.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 55

(4) Dimensi Pengetahuan (The Knowledge Dimension)


Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa, orang yang
beragama, paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan
minimal mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus kitab
suci, dan tradisi-tradisi.Walau demikian, dimensi ini tidak
menjadi suatu prasyarat yang mengikuti adanya suatu
keyakinan. Sebab, bisa juga ada orang yang sangat kuat dalam
berkeyakinan namun kurang dari aspek pengetahuannya ia.
(5) Dimensi Konsekuensi (The consequences dimension)
Dimensi ini mengisyaratkan identifikasi akibat-akibat dari
keyakinan keagamaan, praktik,pengalaman dan pengetahuan
terhadap seseorang atau suatu komunitasyang (akan) terjadi
kemudian, sebagai konsekuensi dari ketaatan ataupun
ketidaktaatannya.

II.2.2.3. Religiositas dan Simbol


Bagi Eliade, manusia adalah homo symbolicus,47 dan semua
aktivitasnya, termasuk religiositasnya, memiliki korelasi
simbolisme. Hal ini sepenuhnya benar, jika kita mengetahui bahwa
setiap perilaku keagamaan dan objek kultus, ditujukan kepada
realitas meta-empiris. Ketika sebuah pohon menjadi objek kultus,
ia dipuja bukan sebagai sebatang pohon melainkan sebagai sebuah
hierofani,48 manifestasi dari yang sakral. Dan setiap perilaku
keagamaan, dengan fakta sederhana bahwa ia religius, dilengkapi
dengan sebuah makna yang, dalam contoh terakhir, bersifat
“simbolik”yang adikodrati, karena ia merujuk kepada nilai-nilai
atau wujud-wujud.
Sehubungan dengan simbol, Clifford Geertz pun
memberikan (semacam) definisi kerja tentang agama, sebagai
sebuah definisi yang dapat diimplementasikan dalam melihat
korelasi simbol dengan religiositas (keberagamaan), yaitu sebagai:
(1) sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk (2)

47 Ulasan dalam, Ahmad Norma Permata (ed), Metodologi Studi Agama (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000), 182.


48 Tentang hierofani, Lihat Eliade, Patterns in Comparative Religion(New York,1958),3.
56 Religiositas Ambon-Kristen …

menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang


meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia, dengan (3)
merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum
eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan
semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan
motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.49 Dengan mengikuti
Langer, Geertz pun merumuskan definisi simbol sebagai “setiap
objek, tindakan, peristiwa, sifat, atau hubungan yang dapat
berperan sebagai wahana suatu konsepsi; dan konsepsi ini adalah
‘makna’ simbol tersebut.”50 Simbol-simbol keagamaan merupakan
simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintegrasikan “dunia
sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan”, dan
simbol-simbol tersebut berguna untuk menghasilkan dan
memperkuat keyakinan keagamaan.51

II.2.2.4. George Simmel Tentang Religiosity52


Laermans mengulas pemikiran tentang George Simmel
mengenai religiositas, antara lain:
Simmel memberi perhatian khusus yang ditujukan pada
dua bentuk basis sosial dari religiositas, yakni belief atau trust, dan
the experience of social unity. Menurut Simmel, agama merupakan
suatu eksternalisasi dan sekaligus pula purifikasi terhadap
religiositas, yang berakibat pada penciptaan suatu suasana otonom
dari sesuatu yang transendensial.
Bagi Simmel, religiositas sesungguhnya merupakan suatu
istilah primer, karena tidak ada agama tertentu tanpa wujud yang
khas dari suatu religiositas yang bersentuhan dengan kehidupan
pada umumnya. Semula, Simmel menunjuk kata “religoid” sebagai
suatu kata yang mungkin ekuivalen dengan kata religiosity.Namun
kemudian, ia mengabaikannya, karena baginya, kata tersebut

49 Clifford Geertz, Kebudayaan & Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5.


50 Dalam F.W. Dillistone, The Power of Symbols- Daya Kekuatan Simbol (Yogyakarta:
Kanisius,2002),116.
51Ibid.
52Merujuk pada artikel Rudi Laermans, “The Ambivalence of Religiosity and Religion:

A Reading of George Simmel”. Dalam Jurnal Sosial Kompas, Vol. 53, No.4, 2006:479-489.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 57

cukup “mengerikan”. Bagi Simmel, sebagaimana bukan


pengetahuan yang melahirkan kausalitas melainkan kausalitaslah
yang melahirkan pengetahuan, maka demikian pula, bukan
religion yang melahirkan religiosity melainkan sebaliknya,
religiosity-lahyang melahirkan religion.
Dalam pandangan Simmel, religiosity merupakan bentuk
dasar dimana “the entire exixtence” (das sein), mengekspresikan
dirinya sendiri dalam suatu nada suara tertentu (particular
tonality). Dalam konteks ini, pandangan Simmel cukup
dipengaruhi oleh paham historisme-nya neo-Kantian. Bahwa
bukan hanya setiap jenis pengetahuan dari kehidupan sosial atau
individu ~termasuk pengetahuan yang digunakan dalam
kehidupan sesehari~, melainkan juga kehidupan itu sendiri
terkritalisasi dalam suatu ruang terbatas,dari suatu bentuk apriori
dimana hal tersebut dapat menjangkau suatu kondisi
tertentu.Karena itu bagi Simmel, religiosity merupakan suatu
bentuk eksistensial dan sosial.

II.2.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Religiositas


Pada galibnya, ada faktor internal dan eksternal yang turut
memengaruhi religiositas.

Pertama, Faktor Internal:


Patut diakui bahwa, paling kurang ada lima kemampuan atau daya
pada internal manusia yang turut memengaruhi religiositasnya,
yakni:53
(1) Daya vegetatif, yakni kemampuan untuk bertumbuh yang
memungkinkan manusia berkembang dan menjadi dewasa;
(2) Daya mengindra, yang memungkinkan manusia dapat
menerima rangsangan seperti panas, dingin dan sebagainya.
Begitupun melalui daya ini, manusia mampu untuk mengecap,
mencium, mendengar, melihat pelbagai objek religus yang
mengitarinya;

53 Al-Farabi, Mabadi’ Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah (The Perfect State). Ed. Richard

Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 164-170.


58 Religiositas Ambon-Kristen …

(3) Daya imajinatif, yang memungkinkan manusia masih tetap


mempunyai kesan atas apa yang dirasakan, kendati di luar
jangkauan indrawinya.
(4) Daya kognitif, yang memungkinkan manusia dapat memahami
sesuatu dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri;
(5) Daya rasa, yang membuat manusia memiliki kesan dari apa
yang dirasakan: suka atau tidak suka.

Kedua, Faktor Eksternal:


Tak dapat dipungkiri, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
tidak hidup di ruang hampa bebas interaksi. Sebagai makhluk
sosial, tentunya manusia mengalami perjumpaan, persinggungan,
pengadaptasian, dalam suatu proses dialektika yang tak
berkesudahan. Sejumlah faktor eksternal, seperti lingkungan alam
(geografis), budaya, politik, ideologi, agama-agama (termasuk
agama suku), dan realita sosio-historisnya, secara langsung
maupun tidak langsung sangat memengaruhi religiositas umat
manusia itu sendiri. Pengaruh tersebut bukan tidak mungkin dapat
melahirkan suatu sintesis religiositas yang baru, dinamis dan
hibrid sifatnya, sebagai resiko dari perjumpaan religiositas
tertentu dengan pelbagai variabel lainnya, di konteks ruang dan
waktunya.

II.2.4. Perbandingan antara Spiritualitas dan Religiositas


Untuk menghindari kerancuan terhadap persepsi dan
penerapan istilah spiritualitas dan religiositas, tampaknya perlu
untuk mengikuti paparan Ratnakar dan Nair yang membedakan
spiritualitas dan religiositas, sebagaimana pada tabel berikut:

Tabel II.1. Perbedaan antara Religiositas dan Spiritualitas

NO KETERANGAN SPIRITUALITAS RELIGIOSITAS


1 Pengertian Keinginan batin akan Sistem kepercayaan
makna terorganisir
dan komunitas
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 59

NO KETERANGAN SPIRITUALITAS RELIGIOSITAS


2 Keterkaitan Tidak tergantung Dapat berfungsi sebagai
pada jalan untuk memelihara,
kepercayaan tertentu memahami dan
ekspresikan
spiritualitas
3 Cakupan Konsep yang lebih Konsep yang lebih kecil
Konsep luas mengacu pada perilaku,
mewakili memiliki prinsip,dogma,
kepercayaan dan dan doktrin yang telah
nilai ditentukan
4 Cara Pandang Melihat ke dalam diri Sering melihatnya dari
individu, luar, upacara dan ritual
lebih inklusif, berlaku tertentu terkadang
universal & cenderung dogmatis dan
mencakup beragam ekslusif
ekspresi keterikatan
Sumber: Ratnakar dan Nair (2012).54

Dari penelusuran tersebut di atas, maka dapat disimpulkan


spektrum pengertian tentang religiositas yang terangkum dalam
beberapa simpul, antara lain sebagai berikut:
Simpul Pertama: Secara denotatif, istilah religiositas
menunjuk pada ikatan pengetahuan, sikap dan perilaku manusia,
baik secara personal maupun komunal terhadap “Yang Ilahi”, yang
dialami secara konkret dalam realitas konteksnya (sosial, budaya,
agama, dan sebagainya).55 Ikatan tersebut melahirkan suatu
kesadaran yang disebut religiositas, yang berakar pada sesuatu
yang disegani dan disenangi sebagai “Tuhan” (mysterium
tremendum et fascinans).

54 Dalam Artikel Daru Asih, Dimensi-Dimensi Spiritualitas dan ReligiositasDalam Intensi

Keperilakuan Konsumen, Yogyakarta: Program Doktoral Managemen Fakultas Ekonomi dan


Bisnis Universitas Gadjah Mada, 2015. Diunduh dari: https://www.researchgate.net/
publication/282854302_Dimensi-dimensi_Spiritualitas_dan_Religiositas_dalam_intensi_
keperilakuan_konsumen, pada tanggal 5 Nopember 2017.
55 Penggunaan kata “Ikatan”, sengaja dipilih untuk menarik korelasi etimologisnya

dengan kata religiositas. Bandingkan makna konotatif dari akar kata religio; religare
sebagaimana yang telah diulas pada bagian tentang etimologi religiositas dalam II.2.1.
60 Religiositas Ambon-Kristen …

Simpul Kedua: Tak dapat dipungkiri, bahwa berbicara


tentang religiositas, maka sesungguhnya kita sementara
mempercakapkan manusia (baik secara individual maupun
komunal) dalam keutuhannya, yakni aspek kognitifnya, afektifnya,
dan psikomotoriknya. Dengan kata lain, religiositas
mengisyaratkan pemahaman, penghayatan dan perilaku/tindakan
seseorang yang berkaitan dengan keberagamaan atau
kebertuhanannya secara utuh, Tegasnya, religiositas tidaklah
dimaknai sebagai sebuah pengertian yang tunggal dan berdiri
sendiri tentang dimensi keyakinan dan pengetahuan tentang
adanya “tuhan” atau “yang ilahi”, melainkan berkaitan pula dengan
kultus-ritualnya, umat yang memangku dan mengalami atau
menghidupinya,serta tentunya tatanan norma dengan pelbagai
konsekuensi yang memandunya.
Simpul Ketiga: Religiositas memiliki korelasi dengan
keberadaan manusia, baik secara individual maupun komunal
(masyarakat), di tengah konteks sejarah, alam dan budayanya yang
dinamis dan dialektis. Realisme sedemikian, turut ditentukan oleh
adanya sejumlah faktor eksternal maupun internal yang turut
memengaruhi dan dipengaruhi oleh corak dan bentuk suatu
religiositas masyarakat, yang pada satu pihak bersifat unik,
identity, namun di pihak lain pun bersifat terbuka, dialektis dan
hibrid, baik dalam penghayatannya maupun dalam ekspresi
simbolik religiositasnya.

II.3. Identitas dan Ritual


Mengingat ada banyak teori dan perspektif tentang
identitas, maka dalam konteks ini, penelusuran tentang identitas
ditempatkan dalam korelasinya dengan ritual, sebagaimana
identitas itu turut memberi corak terhadap suatu ritual, demikian
pun sebaliknya, sebuah ritual itu merupakan penanda dari
identitas seseorang atau suatu komunitas.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 61

II.3.1. Identitas
II.3.1.1. Perspektif Erik H. Erikson
Salah satu teori tentang identitas yang dapat menjelaskan
tentang proses pembentukan suatu identitas sosial, khususnya
dalam relevansinya dengan fenomena identitas religius Ambon-
Kristen yang tercermin melalui ritual CN Soya adalah, teori
identitas psikososial, sebagaimana yang digagas oleh Erik H.
Erikson (selanjutnya disingkat EHE), yang diulasnya dalam
beberapa buku, antara lain: (1) Childhood and Society (1950), (2)
Identity and the Life Cycle. Selected Papers (1959), dan (3) Identity:
Youth and Crisis (1968).
Bagi EHE, proses pembentukan identitas sosial, tidak dapat
dilepaspisahkan dengan pembentukan identitas personal. Sebab
bagi EHE, ada korelasi yang kuat dan multidimensional sifatnya,
antara individu dan masyarakat itu sendiri. Menurut EHE, pada
suatu identitas sosial, sesungguhnya kita menghadapi suatu proses
yang berakar dan berlangsung di dalam lapisan inti jiwa
perorangan, tetapi sekaligus hal itu merupakan pula inti pusat
kebudayaan dari suatu masyarakat.
EHE tegaskan bahwa, identitas bukanlah sekadar
penjumlahan dari segala pengalaman atau identifikasi masa kanak-
kanak, tetapi semacam proses sintesis terhadap segala sesuatu
yang merupakan kekhasan pribadi seseorang di dalam konteks
masyarakatnya. Oleh karena bagi EHE, suatu identitasitu
merupakan konfigurasi integratif dari masa lampau dengan masa
sekarang, dan dari yang di dalam dengan yang di luar, ke dalam
suatu keseluruhan yang baru.
EHE melihat pula bahwa, persoalan pembentukan identitas
itu, terletak pada dinamika kesinambungan antara masa lalu dan
masa mendatang, baik dari individu itu sendiri maupun dari
masyarakatnya. Dalam konteks ini, maka pribadi adolesen (akil-
balik) dalam segala daya kekuatan dan kelemahan jiwanya, akan
menjadi tempat terjadinya transformasi kritis dinamika tersebut.
Melalui dinamika identitastersebut, orang mudah merasakan
kesadaran subjektif akan terjadinya kesinambungan dan kesamaan
62 Religiositas Ambon-Kristen …

pribadi batiniah, yang semakin meningkat di dalam karakternya.


Akibatnya, menurut EHE, di satu pihak ia secara intens merasa
dirinya sebagai aku yang hidup dan giat, selalu sebagai insan yang
unik, dan di lain pihak, ia berupaya mengidentifikasikan dan
memantapkan koherensi identitas dirinya, sesuai dengan harapan
dan penilaian orang lain serta lingkungan masyarakat.
Dengan begitu, maka akan bangkitlah rasa percaya dirinya,
bahwa ia sanggup memainkan peranan yang berarti dalam
masyarakat, entah secara adaptif dengan keadaan status quo
ataukah secara inovatif, kreatif dan transformatif. Secara optimal,
akan bangkit pula cita rasa yang sehat dan baik dalam diri si
adolesen. Kendatipun identitas diri terbentuk selama tahap
adolesensi, namun menurut EHE, pembentukan itu sebenarnya
merupakan sebuah proses progresif diferensiasi, yangterus
meningkat sepanjang hidup kita. Bahkan, EHE dalam ulasannya
tentang masa awal proses pembentukan identitas, mengkonstatir
bahwa hal itu sudah berproses semenjak si bayi mulai belajar
berjalan dan mulai merambah lingkungan sekitarnya dan menyatu
dengan pihak lain, keluarga dan sesama, melalui pengalaman
penguasaan fisik dan makna kultural serta pengalaman
kesenangan fungsional dan kehormatan sosial yang diperolehnya,
melalui permainan dan penghargaan dirinya secara realistis.
Dengan demikian, identitas dirikita makin inklusif dan mendalam,
dan lingkup orang-orang penting bagi kita pun semakin luas.
Singkatnya, pembentukan suatu identitasadalah semacam proses
pensintesisan pribadi supraordinatif, yang merangkum dan
menyatupadukan segala integrasi, terutama integrasi yang pernah
dilakukan oleh ego selama hidupnya. Dengan kata lain, setiap
pribadi dipandang EHE sebagai penyusun yang aktif dan kreatif
terhadap identitas dirinya.Menurut EHE, relasi ego dengan
lingkungan sosio-budaya dan historis sangatlah penting, karena
selain faktor-faktor biogenetik, fisiologis dan anatomis, bagi EHE,
seluruh faktor sosial, alam, budaya dan historis,sangat
menentukan pembentukan ego seorang individu. Mengikuti
(namun sekaligus mengembangkan) pemikiran Freud, yang
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 63

menekankan pentingnya bentuk susunan batiniah dalam jiwa


manusia, EHE melengkapinya dengan menegaskan tentang
pentingnya pengaruh dan dimensi luar, yang disajikan oleh
pelbagai tatanan lembaga kemasyarakatan, kebudayaan dan
sejarah. Dan menurut EHE, semua dimensi “luar” tersebut,sangat
formatif terhadap proses terjadinya identitas ego setiap individu!
Dengan demikian, bagi EHE, berkembangnya ego anak
secara intrinsik, terikat dan bergantung pada masing-masing sifat
dasar lembaga sosial budaya dan tatanan nilai yang ada pada
kebudayaan dan periode sejarah tertentu. Berhasil tidaknya
sintesisego pada anak-anak, remaja dan orang dewasa, sangat
bergantung pada kesepadanan dengan lembaga sosial tempat
mereka hidup.
Melalui studi-studi budaya, EHE ingin menjelaskan betapa
kuatnya identitaspribadi seseorang berakar di dalam kebudayaan.
EHE yakin bahwa identitas sejati tergantung pada penyokongan
yang diterima individu dari rasa identitas bersama yang menjadi
ciri khas seluruh kelompok sosial, seperti golongan sosial,
kebudayaan, bangsa dan negara. Terkait dengan proses sosial
budaya yang membentuk identitas,maka menurut EHE, beberapa
faktor yang turut memengaruhi perkembangan psikososial
kepribadian, antara lain:
(a) Pola Pengasuhan;
(b) Rekayasa atau Penciptaan legenda atau mitos yang
memengaruhi dan membentuk
identitas kolektif;
(c) Proses pembudayaan tradisional melalui pendisiplinan hidup;
(d) Perumusan identitas impian atau yang diidamkan (sosio-
imajiner), demi mewujudkan kesinambungan cita-cita masa
lampau dengan masa mendatang.
Terkait dengan korelasi antara identitas personal dan
sosial, EHE melakukan pula telaah psikohistoris terhadap tokoh-
tokoh tertentu yang telah meninggal namun dipandang berjasa
dan menjadi role model serta berpengaruh dalam sejarah
kehidupan manusia, termasuk suatu komunitas. Melalui
64 Religiositas Ambon-Kristen …

penelaahan life history dari sang tokoh, menurut EHE, hal tersebut
akan sangat berpengaruh dan turut membentuk identitas sosial
suatu komunitas. Oleh karena bagaimanapun, bagi EHE, manusia
merupakan makhluk sosial-budaya yang secara intrinsik
merupakan insan historis yang pasif tetapi sekaligus juga aktif,
untuk dapat belajar, meniru dan menghormati seseorang yang
berpengaruh dan dikagumi (diidolakan). Dengan begitu, maka
seseorang dan masyarakat pun memiliki kemampuan untuk
mengalami suatu daya pembaruan diri dan pembentukan identitas
personal maupun sosialnya.

II.3.1.2. Perspektif Erving Goffman


Perspektif Erving Goffman(selanjutnya disingkat EG),
merujuk pada empat gagasan utamanya tentang diri, identitas, dan
performansi, yang antara lain sebagai berikut:56
(1) Gagasan pertama dan yang paling sentral adalah, bahwa diri
merupakan sebuah produk sosial. Dalam gagasan ini, ada dua
makna yang dipikirkan EG. Pertama, diri adalah produk dari
performa demi performa, yang individu peragakan di dalam
situasi-situasi sosial. Dengan ini maka, bagi EG, sama sekali
tidak ada sesuatu yang tinggal di dalam diri seseorang, yang
menanti untuk diekspresikan dalam situasi-situasi sosial.
Kedua, meskipun individu berperan aktif dalam merancang
performa-performa yang menunjukkan diri (self-indicating
performances), namun individu juga terbatasi untuk
mempresentasikan gambaran-gambaran diri yang bisa
didukung secara sosial dalam konteks suatu hierarkhi sosial
yang terberikan. Jadi, diri adalah sebuah produk sosial dalam
artian, ia bergantung pada validasi yang diberikan atau
ditahan, sesuai dengan norma-norma dari suatu masyarakat
yang terstratifikasi.

56Bagian ini diringkas dari pembacaan Ann Branaman atas tulisan-tulisan Goffman

yang tertuang dalam artikel “Goffman’s Social Theory” dalam Charles Lemert & Ann
Branaman, eds. The Goffman Reader (Oxford: Blackwell, 1997), xlv-lxxxii, 2.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 65

(2) Gagasan utama kedua adalah, soal sampai sejauhmanakah


individu mampu mempertahankan suatu gambar diri yang
dapat dihormati orang lain. Menurut EG, derajat kemampuan
seseorang tergantung kepada akses kepada sumber-sumber
daya struktural dan kepemilikan atas sifat-sifat serta atribut-
atribut yang dipandang diinginkan sekali oleh kultur dominan.
Beberapa sumber yang ditemukannya menunjang suatu
gambaran diri yang terhormat adalah harta, privasi dan
otonomi.57 Sementara soal sifat-sifat dan atribut-atribut, bagi
EG, yang dicari untuk dipertahankan dalam diri adalah “traits
and attributes deemed by the dominant society to be requisite of
full-fledged humanity.”58
(3) Gagasan selanjutnya adalah, pandangannya tentang hakikat
kehidupan sosial. Di sini, ia memakai metafora-metafora
drama, ritual dan permainan, sebagai alat untuk menunjukkan
baik aspek manipulatif maupun moral dari kehidupan sosial.
Moralitas, menurut EG, tidak berdiam di dalam diri orang
atau di atasnya,melainkan dibuat (manufactured) melalui
performa dan ritual-ritual interaksi yang didisain untuk
meneguhkan martabat manusia. Di pihak lain, apa yang
tampak manipulatif dan melayani diri sendiri dalam
memperbesar gambar diri di hadapan orang lain adalah, cara
yang paling hakiki dalam mana orang berkomitmen kepada
tatanan moral masyarakat.
(4) Gagasan terakhirnya adalah, bahwa pengalaman sosial diatur
oleh “kerangka” atau prinsip organisasi yang mendefinisikan
makna dan arti dari peristiwa-peristiwa sosial.59 Dengan ini,

57 Menurut Branaman ini tampak jelas dalam buku Goffman yang berjudul Asylum:

Essaya on the Social Situations of Mental Patients and Other Inmates (New York, NY.: Anchor
Books, 1961).
58 Branaman dalam The Goffman Readers, xlvi.
59 Menurut Brown dengan konsep ini Goffman hendak tekankan keutamaan situasi-

situasi dalam kehidupan sehari-hari. Kerangka atau frame adalah hal yang
mengorientasikan orang kepada suatu pengertian kolektif atas ”apa yang sedang terjadi.”
Lihat Robert K. Brown, ”Goffman’s Dramaturgical Sociology: Developing a Meaningful
Theoretical Context and Exercise Involving ‘Embarrassment and Social Organization’” dalam
Teaching Sociology Vol. 31, No. 3 (July 2003): 293.
66 Religiositas Ambon-Kristen …

EG, menurut Branaman, berpendapat bahwa kejadian-


kejadian, tindakan-tindakan, performa-performa dan diri-diri
tidak selalu berbicara untuk dirinya sendiri melainkan
tergantung pada kerangka yang memberinya suatu makna.
Meski begitu, individu tetap tidak bebas untuk
mengkerangkakan pengalaman sesukanya. EG menekankan
bahwa kerangka dipaksa atau diharuskan (constrained) oleh
struktur sosial dan organisasi sosial.

Terkait dengan percakapan tentang identitas, gagasanEG


yang pertama dan ketiga menarik untuk dikaji lebih dalam.
Gagasan pertama terkait dengan soal memproduksi diri dan diri
macam apa yang kemudian dihasilkan; sementara gagasan ketiga
berhubungan dengan karakter hakikat kehidupan sosial.
Tentang memproduksi diri, berdasarkan analisisnya atas
tulisan-tulisan EG, Branaman berpendapat bahwa EG tampaknya
memberi dua kelompok definisi, atau gambaran tentang diri. Yang
pertama, pada satu sisi EG berpendapat bahwa diri seutuhnya
adalah sebuah produk sosial, dengan tanpa inti pribadi sama
sekali. Namun di sisi lain, EG juga menyajikan sebuah gambaran
diri yang bersifat dualistik, sewaktu ia berargumentasi soal
komponen diri yang tidak disosialisasikan, yang menggerakkan
individu ke dalam atau keluar dari hubungan sosial, dan terkadang
memaksa individu untuk berperilaku di luar norma-norma sosial.
Gambaran dualitas diri ini, misalnya dapat ditemukan dalam
pemisahan yang dibuatnya atas “all-too-human self” dan “socialized
self”60 atau diri sebagai “performer” dan diri sebagai “character.”61

60 ‘All-too-human self’ dalam pemahaman Goffman adalah diri yang dalam ungkapan

bahasa sehari-hari disebut diri yang manusiawi. Kemanusiawiannya terletak pada hakekat
manusia sebagai “creatures of variable impulse with moods and energies that change from
one moment to the next.” Sementara untuk ‘socialized self’ Goffman berikan padanannya
dengan “characters” yang dimainkan dalam sebuah panggung kehidupan sosial. Di tempat
ini, di hadapan penonton, diri, menurut Goffman, “must not be subject to ups and downs.”
Lihat Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York: Anchor Books,
1959), 56.
61 Sebagai performer diri, menurut Goffman, adalah “a harried fabricator of

impressions involved in the all-too-human task of staging a performance.” Sementara diri


sebagai character adalah “a figure, typically a fine one, whose spirit, strength, and other
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 67

Yang kedua, di satu pihak, EG berpendapat bahwa individu-


individu tidak seluruhnya ditentukan oleh masyarakat sejauh
mereka mampu memanipulasi secara strategis situasi sosial dan
kesan-kesan orang lain tentang diri mereka, menghiasi diri mereka
dalam cara yang semirip yang mereka kehendaki dengan seorang
karakter dalam sebuah pementasan teater. Namun di pihak lain,EG
juga menekankan bahwa individu-individu tidak mampu memilih
secara bebas diri yang mereka inginkan orang lain akan terima,
melainkan dipaksa (constrained) untuk mendefinisikan diri
mereka sebangun dengan status-status, peran-peran dan relasi-
yang mereka pilih menurut tatanan sosial.
Walaupun penjelasannya tentang diri sebagai performer
bisa menimbulkan kesan bahwa ada diriyang bisa disebut sebagai
inti pribadi yang telah ada sebelumnya, yang mengekspresikan diri
dalam berbagai character, namun Branaman membantah bahwa
EG memberikan kesan semacam itu. Kalaupun orang bisa
menangkap kesan semacam itu, diri sebagai performer,sebenarnya
lebih tepat dipahami sebagai “the basic motivational core which
motivates us to engage in the performances with which we achieve
selfhood.”62
Sebagai kekuatan motivasional yang mendorong orang
untuk terlibat dalam suatu “pertunjukan” hidup sosial, diri sebagai
performer bukanlah diri yang dikenal orang atau dikenal oleh
seseorang itu sendiri sebagai dirinya yang sebenarnya. Diri yang
sebenarnya adalah “the self performed outwardly in social life”63,
atau memakai istilah EG sendiri, diri yang dianggap orang sebagai
dirinya sebenarnya adalah:

sterling qualities the performance was designed to evoke.” Lihat Goffman, The Presentation of
Self in Everyday Life, 252. Dalam pemahaman Branaman, diri sebagai performer adalah diri
yang berpikir, berfantasi, bermimpi, dan merindu yang kapasitasnya untuk mengalami
kebanggaan dan malu memotivasi dia bukan saja untuk berperforma bagi orang lain dan
juga untuk berhati-hati terhadap dipermalukan. Sementara diri sebagai character adalah
kemanusiaan unik seseorang, dan inilah diri yang disamakan dengan diri seseorang di
dalam masyarakat. Lihat Branaman dalam The Goffman Reader, xliv.
62 Branaman dalam The Goffman Reader, xlix.
63Ibid. Ini dikatakan Branaman sebagai sebuah paradoks.
68 Religiositas Ambon-Kristen …

“...a performed character. A correctly staged and


performed scene leads the audience to impute a self
to a performed character, but this imputation—this
self—is a product of a scene that comes off, and is
not a cause of it. The self, then, as a performed
character, is not an organic thing that has a
specific location, whose fundamental fate is to be
born, to mature, and to die; it is a dramatic effect
arising diffusely from a scene that is presented, and
the characteristic issue, the crucial concern, is
whether it will be credited or discredited.”64

Dalam cara yang lain, performed character dipahami EG


sebagai “the real self” – diri yang sebenarnya. Artinya, diri inilah
yang dipahami oleh individu sebagai dirinya yang sebenarnya.
Sebagaimana performed character, diri yang sebenarnya ini juga
dikonstruksi secara sosial dan bukan sudah sejak dahulu begitu.65
Pertanyaan yang muncul adalah di mana isu identitas seseorang
harus diletakkan dalam seluruh gagasanEG ini? Dalam Stigma66, EG
mencurahkan perhatiannya membahas sejumlah identitas orang-
orang yang sudah distigma oleh masyarakat. Identitas-identitas
itu,mencakup identitas sosial dan personal, identitas virtual dan
aktual, yang terungkapkan atau yang disembunyikan, orang yang
didiskredit dan orang yang dapat didiskreditkan, dan lain-lain.
Seluruh identitas ini disebutnya sebagai diri (self) yang orang
pahami tentang dirinya.67 Dengan demikian, identitas menjadi diri
yang dipahami oleh individu dan diperagakannya dalam suatu
interaksi sosial tertentu. Dalam pengertian yang semacam ini,
yakni diri yang diperagakan, menjadi dapat diterima bila dalam

64 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 252-253.


65 Frances Chaput Waksler, “Erving Goffman’s Sociology: An Introductory Essay,”
Human Studies Vol. 12, No. 1/2 (June 1969): 4.
66 Erving Goffman, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity (New York: A

Touchstone Book, 1986).


67 Waksler dalam Human Studies Vol. 12, No. 1/2 (June 1969): 4.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 69

interpretasinya atas EG ,Waksler berpendapat bahwa diri “emerges


... not as a state but as a constellation of ongoing actions.”68
Dengan pemikiran semacam itu, EG hendak menegaskan
bahwa,diri selalu terlibat dalam suatu usaha untuk menyusun
identitas yang memberinya suatu posisi tertentu dalam sebuah
hirarkhi sosial di lokasi dan waktu tertentu. Di sini, individu
terlibat dalam dua aktivitas penting: [1] memelihara suatu
tindakan yang diekspektasi orang dalam suatu masyarakat, dan [2]
mengeksploitasi suatu tindakan demi menciptakan pada diri orang
lain kesan yang diinginkan tentang diri. Aktivitas pertama
dipahami EG sebagai aktivitas memelihara “the ritual order of
social life”, sementara aktivitas kedua dipahaminya sebagai
aktivitas “game-like calculations.”69
Kemunculan diri dan identitas individu sebagai suatu
konstelasi tindakan yang sedang berlangsung dimungkinkan,
karena EG memahami kehidupan sosial sebagai rangkaian
pertunjukan atau performa (termasuk suatu ritual dalam hal ini).
Metafora khas yang dipakai EG untuk melukiskan hakikat hidup
sosial yang semacam itu adalah drama. Dalam kehidupan sosial
yang bersifat dramaturgikal ini, prinsip-prinsip penting yang
mengaturnya adalah performa, tim, region, peran-peran yang tidak
bersesuaian, komunikasi yang keluar dari karakter, dan
manajemen impresi.70
Performa didefinisikan EG sebagai aktivitas individu yang
terjadi selama suatu periode, yang ditandai oleh kehadirannya
yang terus-menerus di hadapan sejumlah penonton dan yang
memiliki suatu pengaruh pada para penonton.71 Tim adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari suatu performa. Bagi EG, performa
seorang individu tidak pernah merupakan suatu presentasi dari
satu karakter individual melainkan melibatkan sekumpulan
karakter individual lain dalam suatu tim yang bekerja sama

68Ibid.
69 Branaman dalam The Goffman Reader, lxiii.
70 Keseluruhan prinsip ini dibahas secara luas oleh Goffman dalam The Presentation of
Self in Everyday Life.
71 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 22.
70 Religiositas Ambon-Kristen …

untuk mengekspresikan suatu situasi sosial tertentu.72 Lebih


jauh lagi, suatu performa amat bergantung pada pemisahan ruang
sosial menjadi “front regions” atau di atas panggung dan “back
regions” atau di belakang panggung. Di atas panggung adalah
tempat di mana performa dilakukan dan standar-standar sosial
dipertahankan. Sementara di belakang panggung adalah tempat di
mana “the impression fostered by the performance is knowingly
contradicted as a matter of course.”73 Di tempat ini, individu dapat
rileks, melupakan kalimat-kalimat yang harus diucapkannya dan
“step out of character”74—keluar atau berhenti dari karakter yang
coba ditampilkannya di depan orang lain.
Selanjutnya, isu peran-peran yang tidak bersesuaian
dibicarakan EG, yaitu soal menjaga kredibilitas performa atau
penampilan dalam suatu “pertunjukan” sosial, yang harus dihadapi
dan diselesaikan oleh individu yang sama, yang memainkan peran-
peran di hadapan penonton di atas panggung dan di luar
pengamatan penonton di belakang panggung.75 Di belakang
panggung, di antara sesama timnya, Goffman mendapati bahwa
individu bisa memakai komunikasi yang tidak cocok dengan
karakter yang dimainkannya di depan panggung.76 Sebab bagi EG ,
suatu pertunjukan bukanlah performa yang tanpa gangguan. Hal-
hal semacam itu dapat hadir kapan saja. Dalam interaksi sosial,
gangguan-gangguan ~yang dipikirkan EG~ yang akan mengganggu
adalah “unmeant gestures, inopportune intrusions and faux pas.”77
Demi mencegah dipermalukan dan terganggu, individu-individu
yang terlibat dalam suatu interaksi sosial di sebuah panggung
pertunjukan hidup, harus memiliki dan menguasai apa yang
disebut EG sebagai “arts of impression management”78—seni

72 Branaman dalam The Goffman Reader, lxv.


73 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 112.
74 Ibid, 112.
75 Branaman, The Goffman... lxv.
76 Ibid.
77 Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, 212.
78 Ibid, 212.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 71

menampilkan kesan, bahwa semuanya beres-beres saja.79


Dikaitkan dengan soal identitas, maka semakin jelas di sini bahwa
identitas tidak bisa lagi tunggal. Bila panggung dijadikan batas
pemisah di antara penonton dan individu yang memperagakan
identitas tertentu, konsep EG tentang di atas panggung dan di
belakang panggung, sudah memberi ruang kepada munculnya dua
macam identitas yang berbeda. Multiplisitas identitas ini, semakin
kokoh lagi bila bentuk dan macam identitas yang dimasuki
individu turut diperhatikan pula.
Lepas dari semua itu, pertanyaan menarik yang perlu
untuk diajukan kepada EG adalah,apakah sifat dari dua macam
identitas ~atau memakai istilahnya: “karakter”~ yang ditampilkan
di atas panggung dan di belakang panggung? Pembacaan yang
dilakukan Branaman atas EG tidak menemukan adanya sifat lain
selain daripada sifat untuk memperoleh keuntungan sosial dari
suatu identitas, di dalam suatu hirarkhi status sosial tertentu.
Meski individu dengan performanya bisa memainkan peran-peran
yang agresif, namun ujung dari semua itu adalah demi“being a
viable member of a morally cohensive social order.” (menjadi
anggota yang layak dari tatanan sosial yang kompak atau kohesif
secara moral).80 Meski dalam performa, mereka bisa memainkan
peran-peran agresif yang terkesan melawan, bagi Branaman,
individu menurut EG, tetap merasa bahwa “the more is to be lost
than to be gained by challenging the social status quo” (semakin
banyak yang hilang daripada melawan status quo),81 sehingga
sebagian besar individu lebih memilih tidak menantang atau

79 Menurut Brown, Goffman mengasumsikan dua macam impresi yang biasanya

ditampilkan individu kepada individu lain tentang dirinya. Impresi pertama adalah impresi-
impresi yang dengan sengaja mereka berikan kepada orang lain dalam rangka tampil
“competent and sound character (moral) in particular social situations.” Impresi lainnya
adalah “unintentional impressions”, impresi-impresi yang tidak disengaja, yang “given-off”,
yang terberikan begitu saja tanpa direncanakan. Untuk mencegah orang mendapatkan
impresi yang tak diinginkan, Goffman menurut Brown, berpendapat bahwa diri
melancarkan apa yang dinamakan preventative practices, yang bertujuan melindungi
kompetensi dan karakter dalam kondisi-kondisi di bawah tekanan. Sementara untuk
memulihkan impresi-impresi positif tentang dirinya diri melakukan corrective practices.
Brown dalam Teaching Sociology Vol. 31, No. 3 (July 2003): 292.
80 Branaman, The Goffman reader, lxxiii.
81Ibid, lxx.
72 Religiositas Ambon-Kristen …

mentransformasi hirarkhi sosial dengan membentuk identitas


yang bisa merugikannya.

II.3.2. Ritual
Victor Turner mendefinisikan ritual sebagai perilaku
tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu
secara berkala, bukan sekadar sebagai rutinitas yang bersifat
teknis, melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh
keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan
mistis.Menurutnya, ritual berhubungan erat dengan crisis of life.82
Ia pun mendeskripsikan bahwa, ritual merupakan kesatuan di
dalam masyarakat yang kontras dengan friksi, daya saing dunia
sosial, dan keadaan liminal kehidupan. Oleh karena itu, bagi
Turner, ekspresi sebuah ritual tidak sekadar menggambarkan
relasi ekonomi, politik dan sosial, beserta alam lingkungan di mana
masyarakat itu berada, melainkan ritual pun merupakan ekspresi
komunitas mengenai apa yang mereka alami, rasakan dan
harapkan.83
Dalam penelitiannya pada masyarakat Ndembu Afrika
Selatan, ia menyimpulkan bahwa, dalam masyarakat, suatu ritual
mempunyai nilai tinggi karena: (1) ritual mempunyai fungsi
mendamaikan dua prinsip yang saling bertentangan dari hidup
sosial masyarakat, yang dalam konteks orang Ndembu adalah
pertentangan antara sistem matrilineal dan virilokal; (2) ritual
menyatukan kelompok-kelompok masyarakat; (3) melalui
pelaksanaan ritual dan simbolnya, terbangun solidaritas antar
kelompok masyarakat yang memaknainya.84
Sedangkan Catherine Bell mengisyaratkan bahwa, ritual
yang terjadi di masyarakat selalu dinamis mengikuti pergerakan
konteksnya. Dan karena itu, konteks itu sendiri merupakan

82 V. Turner, The Forest of Symbol, Aspect of Ndembu Ritual, (London: Corner

University Press, 1977).


83 Victor Turner, The Ritual Process – Structure and Anti-Structure (Ithaca, New York:

Cornell University Press, 1966), 6,10.


84 Ibid, 18,99-100.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 73

bangunan kehidupan suatu ritual. Bagi Bell pun, ritual dapat


dipakai sebagai sarana untuk bertahan hidup, di
dalamkompleksitas perubahan hidup masyarakat di tengah
konteksnya.85
Lebih jauh, Bell menginstrodusir 6 karakteristik dari
aktifitas suatu ritual, yaitu: (1) aktifitas yang bersifat formal atau
yang diformalisasi; (2) bersifat tradisional, karena berkaitan
dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat; (3) tidak
mengalami banyak varian dan cenderung merupakan suatu
repetisi dari format sebelumnya; (4) sangat merujuk pada aturan,
tradisi dan hal-hal tabu yang diritualasikan; (5) adanya sakralisasi
simbol yang dikorelasikan dengan realitas supranatural; (6)
bercirikan adanya performansi (pertunjukerangkan).86
Sementara itu, dari perspektif fenomenologi agama,
beberapa catatan yang dapat dikemukakan tentang “ritual”, antara
lain sebagai berikut:87
Satu, Bagi Dhavamony, ritual merupakan agama dalam
tindakan. Dan tindakan-tindakan tersebut diwujudkan secara
simbolis, bersifat empirik dan berulang. Pengertian ini merujuk
pada premis dasariahnya bahwa, fenomena pertama dari agama
adalah sikap, tindakan, dan kata-kata.
Dua, Ada 4 (empat) macam ritual, yakni: (a) Ritual magis,
dengan penggunaan bahan-bahan yang diyakini memiliki daya
mistis; (b) Ritual religius, yang berkaitan pula dengan kultus para
leluhur; (c) Ritual konstitutif, yang mengungkapkan hubungan
sosial yang mistis melalui tahapan upacara yang khas; dan (d)
Ritual faktitif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan,
atau pemurnian dan perlindungan, dalam rangka peningkatan
kesejahteraan ekonomi kelompok.
Tiga, Ritual yang dilakukan, memiliki maksud dan tujuan
yang disesuaikan pula dengan bentuk atau jenis dari ritual

85 Catharine Bell, Ritual Perspective Dimensions (New York: Oxford University

Press,1997),2-3.
86Ibid, 139-162.
87 Bagian ini merangkum ulasan Mariasuai Dhavamony dalam Fenomenologi

Agama,174-201.
74 Religiositas Ambon-Kristen …

tersebut, serta alasan atau kepentingan di balik suatu ritual.


Misalnya, berkaitan dengan fase peralihan status: ada ritual
penerimaan, ritual inisiasi (ada yang berkaitan dengan perubahan
peran, ada pula yang berkaitan dengan perpindahan geografis),
ritual pernikahan, dan lainnya. Berkaitan dengan fase peralihan
musim (alam): ada ritual perburuan, pertanian, intensifikasi, dan
lainnya. Berkaitan dengan ikatan warga dan sejarahnya: ada ritual
peringatan.
Empat, Antara ritual dan mitos memiliki keterkaitan.
Bahkan ~sebagaimana yang diisyaratkan oleh Boas~, ritual itu
sendiri justru merupakan rangsangan bagi lahirnya suatu mitos.
Sementara pada sisi lainnya, mitos memerlukan ritual demi
pemahaman yang lebih penuh dari maknanya.

II.4. Diferensiasi Religius


Ketika menelusuri secara leksikal tentang kata
“diferensiasi”, ditemukan penjelasan sebagai berikut. Dari Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, pemerian kata “diferensiasi”
itu menunjuk pada pengertian, antara lain:88 1) proses, cara,
perbuatan membedakan; pembedaan; 2) perkembangan tunggal,
kebanyakan dari sederhana ke rumit, dari yang homogen ke
heterogen; dan 3) proses pembedaan hak dan kewajiban warga
masyarakat berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, dan
pekerjaan. Sementara dari kamus Merriam-Webster, ditemukan
petunjuk antara lain bahwa, kata ini mulai digunakan pada tahun
1776, dalam pengertian: the act or process of differentiating.
Sementara secara etimologis, kata diferensiasi ini berasal dari New
Latin = differentiātiōn-, differentiātiō, yang berakar dari Latin
Medieval: = differentiāre "to distinguish, differentiate" + Latin -
tiōn-, -tiō,suffix of verbal action. Dari kata itu pula, muncul kata

88 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia

Pusat Bahasa, Edisi IV (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2011),327b..


Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 75

differentiator: one that differentiates = Sesuatu atau seseorang


yang membedakan (yang membuat perbedaan).89
Selanjutnya, berkaitan dengan diferensiasi religius,90
penting untuk menempatkan teori Evolusi Agama-nya Bellah
sebagai rujukannya, sebagaimana yang diulasnya dalam
bukuBeyond Belief- Essays on Religion in a Post-Traditionalist
World91 dan The Good Society.92 Pada ulasannya, bagi Bellah,
evolusi pada semua tingkatan sistem (termasuk agama),
didefinsikan sebagai proses meningkatnya diferensiasi dan
kompleksitas organisasi yang menyebabkan organisme, sistem
sosial atau satuan apa pun yang ada di dalamnya memiliki
kemampuan yang lebih besar untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, dibanding dengan organisasi-organisasi
sebelumnya yang kurang kompleks.
Sehubungan dengan itu, ia pun merumuskan agama
sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang
menghubungkan manusia dengan kondisi-kondisi eksistensinya
yang tertinggi. Terkait dengan evolusi keagamaan, Bellah
mengisyaratkan bahwa, yang dimaksudkannya bukanlah tentang
manusia religius atau pun struktur situasi religius tertinggi
(seperti yang disebut dengan Tuhan) yang berkembang, melainkan
agama sebagai sistem simbol. Sebab, Bellah pun sependapat
dengan Mircea Eliade yang menyatakan bahwa, sesungguhnya
manusia purba pun sepenuhnya religius, sebagaimana manusia
pada semua tahap eksistensinya.
Dengan demikian, bagi Bellah, simbolisasi religius yang
kompleks dan terdiferensiasi, tidaklah berarti lebih baik, lebih
benar atau lebih indah daripada simbolisasi yang sederhana.

89 Sumber: https://www.merriam-webster.com/dictionary/differentiation, diunduh

pada tanggal 29 November 2018.


90 Sebetulnya apa yang digagas oleh Bellah dengan teorinya tentang Diferensiasi

Agama ini telah dicetuskan oleh Weber yang mengisyaratkan bahwa gagasan tentang Tuhan
pun mengalami proses evolusi.
91 Buku tersebut telah diterjemahkan dan diterbitkan: Beyond Belief – Menemukan

Kembali Agama – Esei-Esei tentang Agama di Dunia Modern (Jakarta: Penerbit Paramadina,
2000).
92 Bellah et.al, The Good Society (New York: Alfred A. Knopf,1991).
76 Religiositas Ambon-Kristen …

Lebih jauh tentang evolusi agama tersebut, Bellah


mengemukakan tiga skema asumsinya, antara lain:
Pertama, Merujuk pada perspektif Geertz tentang
simbolisasi keagamaan sebagai tatanan umum eksistensi, Bellah
mengkonstatir bahwa simbolisasi keagamaan tersebut cenderung
berubah sepanjang masa, ke arah yang lebih terdiferensiasi, lebih
komprehensif dan ~dalam istilah Weber~ lebih rasional.
Kedua, Bahwa konsepsi-konsepsi tentang tindakan
keagamaan, watak aktor-aktor keagamaan, organisasi keagamaan,
dan tempat agama dalam masyarakat, cenderung berubah dalam
cara yang secara sistimatis terkait dengan perubahan-perubahan
dalam simbolisasi.
Ketiga, Bahwa perubahan-perubahan dalam lingkup agama
tersebut, yang mengkonstitusi apa yang dimaksudkannya dengan
evolusi agama, sesungguhnya terkait dengan varietas dimensi-
dimensi perubahan lain dalam lingkup-lingkup sosial lainnya, yang
menentukan proses umum evolusi sosial-budaya.
Sehubungan dengan skema asumsi tersebut di atas, maka
Bellah mengintrodusir lima tahapan evolusi agama tersebut, yakni:
(a) purba/primitif, (b) arkais, (c) historis, (d) modern awal, dan (e)
modern. Baginya, tahapan-tahapan tersebut merupakan tipe-tipe
ideal yang diturunkan dari regularitas historis yang paling umum
dapat diamati dan memiliki rujukan temporal (waktu). Kendati
Bellah pun mengakui bahwa, kelima tahapan tersebut tidaklah
harus dibaca sebagai suatu formasi yang kaku-ketat, sebab bisa
saja terdapat formasi yang kompromis, yang melibatkan unsur
dari dua tahap, atau pada sisi lainnya bisa saja tahapan yang lebih
awal justru membayangi perkembangan yang kemudian; dan
begitu pula tahapan yang lebih maju bisa saja mundur ke tahap
yang kurang berkembang. Bahkan, Bellah menegaskan bahwa
tentu saja tidak ada tahapan yang sepenuhnya pudar. Oleh karena
semua tahapan yang lebih dulu, akan terus ada bersamaan
dengan tahapan berikutnya dan seringkali juga ada dalam
tahapan yang lebih belakangan.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 77

Hampir dapat dipastikan, menurut Bellah, berdasarkan


definisinya, tindakan manusia merupakan tindakan simbolik, atau
dengan kata lain, tindakan manusia selalu melibatkan budaya.
Salah satu prasyarat berfungsinya setiap sistem tindakan ialah,
bahwa tindakan itu harus mempunyai makna. Ketika tindakan
mendekati situasi ketakbermaknaan, maka organisasi sistem
tindakan ~apakah itu kepribadian atau sistem sosial~ menghadapi
ancaman yang serius. Oleh karena itu, menurut Bellah, logika
pencarian makna cenderung terus berada dalam lingkup
keagamaan. Tegasnya bagi Bellah, setiap agama harus
menggunakan simbolisme; dan tugas utama dalam mengkaji suatu
fenomena dalam simbolisme keagamaan adalah, menentukan
benang merah yang mengorganisasikan simbol-simbol itu dan
maknanya, dan dengan demikian bisa menghasilkan suatu tipologi
tentang simbol-simbol keagamaan dan religiositasnya.

II.5. Hybrid Religiosity dan The Politics of Piety Sebagai


Strategi Survival
Bagi penulis, beberapa konsep berikut memiliki
keterkaitan dengan topik studi, yang penulis rumuskan dalam
tesis: Hybrid Religiosity dan The Politics of Piety sebagai suatu
Strategi Survival dari sebuah komunitas di tengah konteks
kehidupannya yang dinamis, kompleks, kompetitif, dan rentan
terhadap konflik atau perbenturan dan tekanan.

II.5.1. Strategi Survival


Istilah ini mengacu pada teori yang dikembangkan oleh
Talcott Parsons. Parsons menandaskan bahwa, ada empat
keharusan fungsional yang diperlukan untuk diterapkan pada
sistem apa pun agar dapat bertahan hidup, yaitu (yang dikenal
dengan skema AGIL):
(1) Adaptasi (A);
(2) Pencapaian tujuan (G);
(3) Integrasi (I); dan
(4) Latency atau pemeliharaan pola (L).
78 Religiositas Ambon-Kristen …

Menurut Parsons, keempat skema tersebut terjadi sebagai


berikut: Pertama, adaptasi dilakukan oleh organisme dengan
menjalankan fungsi adaptif, dengan mengadaptasi dan mengubah
lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau
pencapaian sasaran fungsional diwujudkan oleh sistem
kepribadian dengan menetapkan tujuan dari sistem dan
memobilisasi sumber daya untuk mencapainya. Selanjutnya, fungsi
integrasi dilakukan oleh sistem sosial, sedangkan fungsi latensi
dijalankan oleh sistem budaya. Sistem budaya menyediakan
seperangkat norma dan nilai, yang memotivasi para aktor untuk
bertindak.
Komponen utama dari pemikiran Parsons adalah proses
diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa setiap masyarakat terdiri
dari satu set subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya
serta makna fungsionalnya. Maka ketika masyarakat berubah,
pada umumnya masyarakat itu akan bertumbuh dengan
kemampuan yang lebih baik, ketika ia mampu mengalami suatu
proses survival yang strategis: kemampuannya untuk beradaptasi,
mencapai tujuannya, berintegrasi, dan melakukan pola-pola
pemeliharaan.
Dalam kaitannya dengan strategi survival ini, penting
untuk menyimak pula gagasan proses sivilisasi (civilizing process),
sebagai akibat dari perjumpaan antara “orang dalam” (the
established) dengan “orang luar” atau pendatang (the outsiders),
sebagaimana yang dikemukakan oleh Nobert Elias.93 Menurut
Elias, dalam proses sivilisasi tersebut ada 2 (dua) bentuk proses
yang berlangsung, yakni diferensiasi yang berkembang dan

93 Pemikiran Elias telah penulis rangkum dalam Ferry Nahusona, “Norbert Elias:

Hidup, Karya dan Pemikirannya”, Makalah Magister Sosiologi Agama UKSW (Salatiga:
PPSAM-UKSW, 2002), yang merujuk pada beberapa referensi, antara lain: (1) Elias Norbert,
The Civilizing Process – The Development of Manners, Changes in The Code of Conduct and
Feeling in Early Modern Times,Trans. By Edmund Jephcott, New York: Urizen Books, 1978;
(2) Rundell, John and Stephen Mennell, ed. Classical Readings in Culture and Civilization,
London-New York: 1998, hal. 225 – 240; (3) Olofsson Gunnar, Norbert Elias, Artikel dalam
Classical and Modern Social Theory, Edited by Heine Andersen and Lars Bo Kaspersen, USA :
Blackwell Publ.Inc., 2000, hal. 362 – 374. (4) Hardiyanto S. & Lumbanggaol E. (Ed.), On
Norbert Elias and Civilizing Process – A Reader in Social Theory, Salatiga : Program
Pascasarjana UKSW (Tidak Diterbitkan), 2001.
Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 79

berkurang serta integrasi. Selanjutnya Elias menjelaskan bahwa,


regulasi dari emosi dan sistem kontrol sosial berkembang dalam
arah yang sama, seperti suatu proses evolusi yang panjang sebagai
suatu civilizing process. Proses tersebut dapat berlangsung sebagai
suatu hasil dari ketegangan antara kelompok-kelompok yang
berbeda dalam suatu lingkungan sosial dan antara kelompok-
kelompok yang menyempurnakan di dalam lingkungan
sedemikian.94Bagi Elias, inti dari proses peradaban adalah bahwa
ketegangan dari rantai-rantai interdependensi mengakibatkan
suatu transformasi masyarakat yang memengaruhi bentuk-bentuk,
baik sebuah institusi maupun individu. Ketika “kontrol kekuasaan”
dilakukan ke dalam kehidupan sosial, maka melalui proses yang
panjang dari suatu perkembangan historis, akan menyebabkan
lahirnya proses kontrol mental, sehingga dorongan-dorongan
psikologis, emosi-emosi, dan disiplin diri sendiri menerima suatu
bentuk yang diregulasikan. Walaupun demikian, menurut Elias,
masyarakat itu memiliki logika pengembangan mereka sendiri yang
disebut sebagai, “sifat-sifat yang baru dan tetap berkembang.”95
Oleh karena itu, perjumpaan dan interaksi antara “orang dalam
dengan orang luar” ~dalam pandangan Nobert Ellias~ memainkan
peranan menentukan dalam perubahan sosial dan peradaban
suatu masyarakat. Dalam suatu formasi karakter peradaban, Elias
menyatakan bahwa kelompok-kelompok tersebut lalu membentuk
unit-unit survival.96

II.5.2. Hybrid Religiosity


Istilah ini penulis adaptasikan dari identitas hibrid (hybrid
identity) yang digagas oleh Homi Bhabha melalui beberapa
tulisan.97 Hibriditas pada dasarnya menggambarkan konflik
budaya dan ideologi yang menimbulkan ketegangan, tetapi pada

94 Ibid, 6.
95 Ibid, 7.
96 Ibid,12.
97 Jonathan Rutherford, ed."Ruang Ketiga" dalam Identitas: Komunitas, Budaya,

Perbedaan (1990), dan Homi Bhabha, The Location of Culture (New York: Routledge
Classics,2004).
80 Religiositas Ambon-Kristen …

akhirnya menghasilkan ruang negosiasi baru dan juga


memanifestasikan dirinya dalam praktik sosial dalam konteks
ruang dan waktu. Bhabha menggunakan budaya sebagai "strategi
bertahan hidup", yang merupakan "produksi makna dan nilai yang
tidak rata dan tidak lengkap, yang sering kali terdiri dari tuntutan
dan praktik yang tak tertandingi". Dalam mendefinisikan konteks
budaya, Bhabha menyoroti posisi 'di antara' (in between), sebagai
yang mencirikan sesuatu yang positif. “Ruang ketiga” pun
menyediakan ruang simbolis bagi yang dijajah, untuk melakukan
manuver budaya, dengan membebaskan diri dari paradigma biner.
Oleh karena itu, berbeda dari anggapan bahwa sikap "perlawanan"
ini hanya sebagai penolakan terhadap identitas yang diberikan
oleh para kolonialis, maka situasi ini sebenarnya menunjukkan
dinamika pembentukan identitas yang selalu berubah, dan
sekaligus sebagai strategi "bertahan hidup" dari pemogokkan
budaya yang dominan.

II.5.3. Politics of Piety


Politics of Piety atau Politik Kesalehan, sesungguhnya
berbeda dengan kesalehan politik (atau politis).Oleh karena
kesalehan politik cenderung menjadi sebuah kemunafikan atau
kamuflase. Terminologi Politics of Piety itu sendiri, baru muncul
pertama kali dalam sebuah buku yang ditulis oleh Saba Mahmood,
Politics of Piety - The Islamic Revival and The Feminist Subject
(2005).98
Mahmood puni tidak memberikan definisi yang spesifik
tentang apa itu Politics of Piety. Tetapi melalui penelitian
etnografisnya yang intens mengenai gerakan perempuan masjid
dengan kegiatan ibadah mereka di Kairo, Mesir, Mahmood
memberikan beberapa catatan tentang Politics of Piety, yang
penulis rangkum sebagai berikut:

98 Saba Mahmood, Politics of Piety - The Islamic Revival and The Feminist Subject

(USA: Princeton University Press, 2005).


Penelusuran Teori dan Konsep Terkait 81

Pertama, Politik Kesalehan dalam paradigma Politics of


Piety,tidak berorientasi pada konteks transformasi politik negara,
melainkan sebagai gerakan transformasi moral;
Kedua, Politics of Piety, mengisyaratkan adanya upaya
untuk membangun, mempertahankan, dan mencari kesalehan
(taqwa) dengan menumbuhkan harapan, cinta, dan ketakutan,
sebagai triad dalam religiositas;99
Ketiga, Politics of Piety, memungkinkan adanya keberadaan
etika dan moralitas yang dibangun untuk mewujudkan sebuah
identitas;
Keempat, Politics of Piety, memprasyarati adanya proses
disiplin diri melalui ritual dan kinerja;
Kelima, Politics of Piety, mengandaikan adanya mekanisme
diskursif.
Merujuk pada konsep-konsep tersebut di atas, penulis
berasumsi bahwa, dalam rangka kepentingan survive-nya suatu
komunitas, maka mekanisme hybrid religiosity dan politics of piety
dapat merupakan bagian dari strategi survival dari komunitas
tersebut. Apalagi bila suatu komunitas itu berada dalam lingkup
pengaruh “kekuasaan”, seperti agama, ekonomi, budaya, politik
dan ideologi, maka konsep-konsep post-kolonial seperti Politics of
Pietyini, akan turut membantu dalam “membaca” suatu fenomena
religius-historis-kultural.[]

99Ibid,87. Bandingkan konsep mysterium et tremendum dan mysterium et fascinans

dari Rudolf Otto.


82 Religiositas Ambon-Kristen …

You might also like