You are on page 1of 101

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hakekat Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian Pendidikan

Sebelum mengartikan pendidikan agama islam, terlebih dahulu

penulis mengartikan pendidikan secara umum. Menurut Mudaharjo

(2001:153) ”Pendidikan adalah proses penanaman modal yang berupa

tenaga kerja manusia yang akan mampu memperbaiki dirinya, masyarakat

dan negara”.

Merujuk UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Bab 1 ayat 1 yang

dikutip Syuaeb Kurdi dan A. Aziz (2006:2-3), bahwa pendidikan adalah:

”Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan


proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

Pengertian lain, pendidikan adalah kepemimpinan yang diberikan

dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam

pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan

bagi masyarakat (Ngalim Purwanto, 2004:10).

Pendidikan secara terminologi, Langeveld dikutif Syuaeb Kurdi dan

A. Aziz (2006:3), menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu bimbingan

yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk

mencapai kedewasaan. Adapun menurut John Dewey masih dikutif


Syuaeb Kurdi dan A. Aziz (2006:3), bahwa pendidikan adalah proses

pembentukan kecakapan-kecakapan yang fundamental secara intelektual

dan emosional ke arah alam dan sesame manusia.

Dalam konteks Kihajar Dewantoro (2006:3), bahwa pendidikan

adalah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka

sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai

keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Kemudian Arifin

yang dikutif Syuaeb Kurdi dan A. Aziz (2006:3), pendidikan adalah usaha

orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan

kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik di dalam pendidikan

formal maupun informal.

Dari pengertian-pengertian pendidikan di atas, dapat disimpulkan

bahwa pendidikan adalah usaha secara sadar yang dilakukan seseorang

dengan sengaja untuk menyiapkan peserta didik menuju kedewasaan,

berkecakapan tinggi, berkepribadian/berakhlak mulia dan kecerdasan

berpikir melalui bimbingan dan latihan.

2. Pengertian agama

Pengertian agama secara khusus biasanya diindentikan dengan istilah

din. Kata ini berasal dari akar kata dyn, yang memiliki berbagai makna

berbeda namun saling berhubungan sehingga membuat suatu kesatuan dari

keseluruhan makna, yakni Islam. Menurut Zakiyuddin Baidhawy dikutip

Syuaeb Kurdi dan A. Aziz (2006:4), setidaknya ada 5 makna pokok istilah

din yakni: a) hutang (dyn), b) ketundukan, ketaatan, dan ketaqwaan (wara,


tha’ah, taqwa), c) kekuasaan dan hukum (sulthan, hukm), d)

kecenderungan alam, dan e) pengaturan dan kebiasaan (tadbir, al-‘adalah).

Harun Nasution yang dikutip Syuaeb Kurdi dan A. Aziz (2006:4),

istilah agama berasal dari kata sankrit yang tersusun dari dua kata yakni: a)

berarti tidak dan am berarti pergi, jadi tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi

turun temurun. Dalam bahasa inggris, agama disebut religi yang dalam

bahasa latinnya relegere yakni kumpulan atau bacaan. Pengertian tersebut

sejalan dengan keadaan sebagai kumpulan cara mengabdi kepada Tuhan

yang terhimpun di dalam kitab suci yang dijadikan bacaan. Selain itu ada

juga yang mengatakan bahwa kata religi berasal dari kata religare yang

berarti mengikat, hal ini sejalan dengan sifat dari agama yang mengikat

para pengikutnya agar patuh dan tunduk menjalankan agama yang

diturunkan oleh Tuhan.

Adapun arti agama secara istilah adalah pengakuan terhadap adanya

hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi yang

menguasai manusia, dan mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang

mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri

manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Kemudian

pengertian agama dari Reville dan Muhammad Abdullah Draz, yang

dikutif Syuaeb Kurdi dan A. Aziz (2006:5), adalah penentuan kehidupan

manusia sesuai dengan ikatan antara jiwa manusia dan jiwa yang gaib

yang didominasi ole dirinya sendiri dan dunia diketahui ole manusia dan

kepada Nyalah dia merasa sangat terikat.


Apabila kedua istilah pendidikan dan agama tersebut digabung,

maka akan memberikan pengertian yakni pendidikan yang memberikan

materi bimbingan dan arahannya berupa ajaran agama yang ditujukan agar

manusia mempercayai dengan sepenuh hati akan adanya Tuhan, patuh dan

tunduk melaksanakan perintah-perintahNya dalam bentuk beribadah dan

berakhlak mulia. Oleh karena itu, maka pendidikan agama adalah

pendidikan yang diarahkan untuk menumbuhkembangkan rasa intuisi

keagamaan yang ada dalam diri seseorang kemudian melaksanakan ajarn-

ajarannya dengan penuh ketundukan.

Berkenaan dengan proses pembelajaran siswa di sekolah, maka

disimpulkan bahwa pendidikan agama adalah suatu kegiatan pembelajaran

yang bertujuan untuk mendidik anak didik menjadi pribadi yang utuh baik

jamani maupun rohani sehingga mampu berprilku baik dan mulia di

masyarakat sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama.

Dalam konteks ke Indonesiaan, maka pendidikan agama adalah

usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa sesuai agama yang dianut peserta didik dengan memerhatikan tuntutan

untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat

beragama terhadap masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

3. Pengertian Islam

Secara etimologi dan terminologi pengertian Islam menurut Syuaeb

Kurdi dan A. Aziz (2006:5), secara etimologi islam adalah selamat,

menyerah, tunduk, dan patuh, secara terminology adalah tunduk dan


menyerah diri sepenuhnya kepada Allah lahir maupun batin dengan

melaksanakan perintah-perintaNya dan menjauhi segala larangan-

laranganNya. Jadi islam adalah suatu agama yang berisi ajaran tentang tata

cara hidup yang diturunkan Allah kepada umat manusia melalui para

rasulNya.

Sedangkan menurut (Depag RI, 1996:1), islam adalah:

”Nama bagi suatu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,
yaitu apa saja yang diturunkan oleh Allah SWT didalam Al-Qur’an
dan yang tersebut dalam hadist yakni berupa pertintah-pertintah,
larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup
manusia baik didunia maupun akhirat”.

Walaupun dalam islam tersebut mengandung kemungkinan arti yang

bermacam-macam, tetapi pada hakikatnya kesemua pengertian umum yang

terkandung dalam kata islam tersebut, menunjukan kepada pengertian

yang mendasar serta lengkap dan mengarah pada tujuan yang satu, yaitu

penyerahan diri kepada Tuhan, dalam segala bentuk realisasinya.

Adapun pengertian agama islam adalah ketetapan-ketetapan Illahi

yang diwahyukan kepada Nabi-nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup

manusia (Qurais Shihab, 1994:209). Pendapat lain mengatakan islam

adalah agama Allah, agama artinya jalan karena itu agama Allah berarti

jalan Allah yaitu jalan menuju karena Allah dan bersumber dari pada Nya

(Zuhairini, dkk, 2004:35).

Dengan demikian pengertian agama islam tersebut, dapat

dirumuskan sebagai berikut, menempuh jalan keselamatan, dengan jalan

menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan melaksanakan dengan


penuh kepatuhan dan ketaatan akan segala ketentuan-ketentuan dan aturan-

aturan yang ditetapkan oleh Nya, untuk mencapai kesejahteraan dan

kesentausaan hidup dengan penuh keimanan dan kedamaian (Zuhairini,

2004:36).

Gambaran pengertian pendidikan, agama, dan islam, maka Zakiah

Daradjat dikutip Syuaeb Kurdi dan A. Aziz (2006:6), bahwa pendidikan

agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak

didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan

mengamalkan ajaran agama islam serta menjadikannya sebagai pandangan

hidup.

Menurut Marimba masih dikutif Syuaeb Kurdi dan A. Aziz (2006:7),

bahwa pendidikan agama islam adalah suatu bimbingan baik jasmani

maupun rohani yang berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju

kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran dalam islam.

Sementara itu, PAI sebagai bagian dari pendidikan nasional (bidang

studi/mata pelajaran PAI) dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk

menyiapkan peserta didik dalam menyakini, memahami, menghayati dan

mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan

latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain

dalam hubungan kerukunan antara umat beragama dalam masyarakat

untuk mewujudkan persatuan nasional.

Tentu saja, pengertian tersebut terbatas pada lingkungan sekolah.

Oleh karena itu, perlu ada koordinasi antara sekolah, keluarga dan
masyarakat dalam mewujudkan pendidikan agama Islam. Sebab tanpa

kerja sama, maka PAI hanya terbatas pada waktu jam pelajaran

berlangsung saja. Selain itu peranan guru agama untuk mencari pola atau

model pengajaran PAI menjadi sangat penting.

Dari berbagai pengertian di atas disimpulkan bahwa pendidikan

agama Islam adalah proses bimbingan secara menyeluruh dalam upaya

membentuk kepribadian muslim yaitu kepribadian yang memiliki nilai-

nilai ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

4. Tujuan pendidikan agama Islam

Tujuan pendidikan agama Islam adalah sesuatu yang hendak dicapai

setelah kegiatan selesai dilaksanakan. Karena pendidikan merupakan usaha

dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap, maka tujuan pendidikan

itu bertahap pula. Tujuan pendidikan tidak hanya menyangkut satu aspek

saja tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupan, sesuai pendapat Zakiah

Daradjat (2002:22), bahwa tujuan pendidikan bukan lah suatu benda yang

berbentuk tetap dalam statis, tetapi ia merupakan keseluruhan kepribadian

seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.

Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakekatnya

adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi

manusia. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarisi pola

kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam lahiriahnya, dengan kata

lain prilaku lahiriyah adalah cermin yang memproyeksikan nilai-nilai ideal

yang mengacu dalam jiwa manusia sebagai produk dari proses pendidikan.
Mengenai masalah ini Zakiah Daradjat (2002:29), bahwa tujuan

pendidikan adalah membentuk kepribadian seseorang yang membuatnya

menjadi insan kamil dengan pola taqwa. Ini mengandung arti bahwa

Pendidikan Islam diharapkan dapat menghasilkan manusia yang berguna

bagi dirinya dan masyarakat serta gemar mengembangkan ajaran Islam

dalam hubungannya dengan Allah dan manusia sesamanya. Pendidikan

Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada

waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Tujuan umum yang terbentuk

insan kamil dengan pola taqwa dapat mengalami perubahan naik turun,

bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan,

lingkungan, pengalaman dapat mempengaruhinya. Karena itu, pendidikan

Islam mengembangkan, memelihara dan mempertahankan tujuan

pendidikan yang telah dicapai. Tujuan akhir pendidikan Islam ini dapat

dipahami dalam firman Allah SWT. QS. Ali Imron ayat 102:

 
   
      
   
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-

benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan

dalam keadaan beragama islam” (Soenarjo dkk, 1998:17).

Tujuan akhir pendidikan islam terletak dalam realisasi sikap

penyerahan diri sepenuhnya ke Allah, baik secara pribadi, masyarakat dan

sebagai umat manusia. Pendidikan menurut Fuad Ihsan (1995:5) adalah:


a) Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan
lingkungan, b) suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan
kepada anak dalam pertumbuhannya, c) suatu usaha sadar untuk
menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki
oleh masyarakat, d) suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan
anak dalam menuju kedewasaan.

5. Dasar-dasar pendidikan agama Islam

Dasar acuan pendidikan agama islam merupakan sumber nilai

kebenaran dan kekuatan yang menghantarkan pada aktivitas yang dicita-

citakan. Menurut Muhaimin (2003:145) dasar pendidikan agama islam

mempunyai dua segi, yaitu dasar ideal dan dasar operasional. Menurut

Abdul Munir Mulkhan (2000:8) dasar pokok pendidikan agama islam,

yakni: ”Al-Qur’an dan Sunnah. Jika dari keduanya tidak diketemukan

kaidah hukum yang eksplisit maka ditentukan berdasarkan kepada

penalaran dengan mempergunakan kemampuan berfikir logis (akal

pikiran) serta ijma dan qiyas”.

Dasar ideal pendidikan agama islam menurut Muhaimin (2003:144-

146) dasar ideal pendidikan agama islam terdiri atas enam macam, yaitu:

a. Al-Qur’an

Secara operasional Al-Qur’an mengawali konsep pendidikannya

dari permasalahan yang sangat konkrit, seperti halnya hujan, guntur

atau kilat, tumbuh-tumbuhan, angin awan, menuju pada hal yang

bersifat abstrak seperti eksistensi, kebesaran, kekuasaan dan berbagai

sifat kesempurnaan Allah SWT lainnya. Salah satu ayat Al-Qur’an yang

secara emplisit berkaitan dengan pendidikan yang populer dengan


istilah ta’lim dalam Al-Qur’an adalah firman Allah SWT terdapat

dalam surat Al-Baqarah ayat 31.

  
    
 
  
 
  
 
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)

seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu

berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu

mamang benar orang-orang yang benar!"

b. Sunnah Nabi SAW

Menurut Quraish Shihab (2004:121) yang dimaksud dengan al-

sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi

Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan, taqrir (ketetapan, maupun

sifat fisik, baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya).

Sedangkan segala sesuatu menurut Muhaimin dan Abdul Mujib

(1993:147) sunnah adalah: secara sederhana ’al-sunnah’ diartikan

menurut asal-usul (etimologi) adalah berprilaku.

Kehidupan yang baik dan buruk, atau suatu jalan yang ditempuh.

Dalam arti terminologi, sunnah adalah segala yang dilakukan Nabi

SAW, berupa perkataan, perbuatan, penetapan atau selain itu. Sunnah

merupakan sumber dasar pendidikan agama islam setelah Al-Qur’an.

Menurut Abdul Halim, dikutip Quraish Shihab (1994:122) bahwa


kaitannya dengan Al-Qur’an ada 2 fungsi al-sunnah yang tidak

diperselisihkan yaitu:

1) Sekedar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang

terdapat didalam Al-Qur’an

2) Memperjelas, merincikan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat

Al-Qur’an.

Dari penjelasan di atas, maka sunnah memiliki dua manfaat

pokok yakni mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan PAI sesuai

konsep Al-Qur’an dan mampu menjadi teladan yang tepat dalam

penentuan metode pendidikan. Artinya kehidupan Muhammad SAW

dan sahabatnya dijadikan sarana penanaman keimanan.

c. Kata-kata sahabat

Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud sahabat ialah orang yang

pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat telah

beriman serta mati dalam keadaan beriman (Muhaimin, 2003:48).

Dalam perluasan pendidikan islam dewasa ini sangat dipengaruhi upaya

sahabat terutama dalam perkembangan pemikiran bidang pendidikan

d. Kemaslahatan umat (sosial)

Dalam prakteknya ketentuan pendidikan yang bersifat operasional

disusun dan diatur manusia menurut kebutuhan dan kondisi yang

mempengaruhinya. Dari jauh hari, ahli pendidikan telah mengadakan

persiapan dan kesiapan untuk merancang dan membuat undang-undang

pendidikan bersifat operasional yang sebagai landasan pokok dalam


proses berlangsungnya pendidikan sehingga dalam pelaksanaannya

tidak menemui hambatan.

Kemaslahatan masyarakat dalam konteks pendidikan Quraish

Shihab (2004:247) menerangkan bahwa:

”Perubahan yang terjadi dalam diri orang harus diwujudkan


dalam suatu landasan kokoh dan berkaitan dengannya, sehingga
perubahan yang terjadi pada dirinya menciptakan arus yang
menyentuh orang lain. Maka pembinaan individu berbarengan
dengan masyarakat. Masing-masing menunjang, pribadi tersebut
menunjang terciptanya masyarakat dan masyarakat mewarnai
pribadi itu dengan warna yang dimilikinya”.

e. Nilai-nilai adat istiadat masyarakat

Tidak semua nilai-nilai tradisi masyarakat dapat dijadikan sebagai

dasar ideal pelaksanaan PAI. Masjfuk Zuhdi (2000:144) bahwa nilai-

nilai itu dapat diterima setelah melalui seleksi terlebih dahulu, yakni:

1) Tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an maupun as-sunnah

2) Tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat

yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan

dan kemuddharatan

f. Hasil pemikiran para pemikir islam

Usaha perumusan hakikat pendidikan, bagi setiap ahli sangat

penting artinya dalam perkembangan pendidikan untuk masa depan

sehingga tidak terjebak dengan pemikirannya orang-orang orientalis.

Hal ini artinya diperlukan kerangka teoritis tentang pendidikan

secara spesifik. Dalam hal ini Arifin (2003:12) menyatakan bahwa:


”Untuk memperoleh gambaran tentang pola berfikir dan berbuat
dalam pelaksanaan pendidikan islam pada khususnya, diperlukan
kerangka berfikir teoritis yang mengandung konsep ilmiah
tentang kependidikan islam, disamping konsep operasionalnya
dalam masyarakat. Dengan kata lain bahwa untuk memperoleh
suatu keberhasilan dalam proses pendidikan islam baik yang
bersifat teoritis maupun praktis”.

Untuk memperoleh teori-teori tersebut dibutuhkan penelitian dan

pengkajian secara intensif terutama dari masyarakat. Karena yang

mengetahui berhasil atau tidaknya suatu pendidikan adalah masyarakat

yang menilai. Perlu diingat bahwa setiap anak mempunyai masa dan

tempo yang berbeda dalam masalah perkembangan, maka didalam

mendidik dan membimbing anak harus memperhatikan segi-segi

perkembangan tersebut. Adapun segi-segi perkembangan tersebut

adalah sebagai berikut :

1) Perkembangan segi fisik dan psikis

Perkembangan ada kesamaan dengan pertumbuhan,

pertumbuhan fisik mempengaruhi perkembangan psikis.

Bertambahnya fungsi-fungsi otak misalnya, memungkinkan anak

didik dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Berfungsinya

organ-organ tubuh dalam tingkat yang lebih tinggi lagi sebagai hasil

pertumbuhan atau dapat disebut kematangan. Perkembangan segi

fisik dan psikis anak dapat dibagi menjadi dua masa, yakni:

a) Perkembangan segi fisik dan psikis pada masa kanak-kanak

Proses pertumbuhan dan perkembangan masa kanak-kanak

yaitu masa kehidupan yang dini. Dimana anak secara keseluruhan


masih tergantung dalam perawatan orang tuanya. Keadaan

fisiknya masih lemah, sehingga memerlukan perawatan dengan

penuh kesungguhan. Banyak para ahli yang mempunyai konsep-

konsep atau melakukan penelitian mengenai masa ini. Allport

berpendapat bahwa anak dilengkapi dengan kemampuan-

kemampuan dan kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang kesemuanya

menjadi aktif apabila terdapat motivasi dari pengaruh lingkungan.

Tokoh teistis personalis, Kohnstam, berpendapat bahwa pada

masa vital ini individu mengarahkan kemampuannya untuk

mengusahakan hidup, terutama wujud tubuhnya. Seorang

naturalis, JJ. Rousseau mengatakan bahwa masa bayi (0-10 tahun)

disebut juga masa binatang liar, pada masa ini individu

menghendaki kebebasan dari segala halangan dan hambatan untuk

dapat menyumbangkan jasmani dan pendiriannya (Paimun, dkk,

1998:84).

Yang penting ialah bahwa pada masa individu itu

menggunakan terutama fungsi-fungsi biologis untuk menemukan

berbagai hal dalam dunianya. Dimasa-masa ini dimulai dari usia

balita sampai dengan usia sekolah dasar, secara psikis anak lebih

sensitif dan mudah menangis sebagai pelampiasan atau cara

melepaskan diri dari beban berat kehidupan ini. Maka kesempatan

untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan dan agar tidak


terganggu perkembangan psikisnya, orang tua harus memberi

kebebasan juga ketenangan dalam bergerak.

Kemudian adanya reaksi yang negatif dan positif serta

perkembangan emosi, seperti marah, senang, sedih, cemburu dan

kebutuhan kasih sayang akan sangat mempengaruhi sekali. Oleh

sebab itu, kehangatan serta komunikasi yang baik dari orang tua

sangat diperlukan. Kekurangan kebutuhan emosional dapat

menimbulkan sikap apatis

b) Perkembangan segi fisik dan psikis pada masa anak usia sekolah

menengah pertama

Umumnya anak usia 11 sampai dengan 16 tahun, selalu

memusatkan perhatian pada diri sendiri. Sehingga anak nampak

egoistis. Pendidikan yang tepat pada masa ini adalah mengalihkan

atau membagi perhatiannya kepada hal positif misalnya : mengisi

waktu luang dengan belajar mengaji. Pada masa ini anak memiliki

rasa ingin tahu yang cukup tinggi dan perkembangannya cukup

pesat. Para ahli berpendapat bahwa hampir seluruh dari

kecerdasan anak telah ditetapkan pada masa ini (A. Choiran

Marzuki, 1998:17).

Sedangkan sifat-sifat psikis pada masa ini adalah cepat

menyesuaikan diri, rasa ingin tahunya sangat tinggi, suka meniru

apa yang dilihatnya, segala sesuatu seakan berlebihan terutama

emosinya, adanya hasrat untuk membuktikan kemampuannya,


bersikap ramah dan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap

orang lain terutama pada lawan jenisnya (Marzuki, 1998:20-22).

Secara fisik, badan anak bertambah kuat dibanding tahun-

tahun sebelumnya, telah dapat melakukan berbagai aktifitas. Pada

masa ini merupakan masa pembentukan dasar kepribadian anak

yang dibawa kemasa dewasa nanti. Maka kurangnya perhatian

akan membawa kepada perkembangan yang negatif dan labil

2) Perkembangan segi bahasa dan intelektualnya

Pada anak usia menjelang masa, terutama mula pertama masa

puber kemampuan untuk berbahasa lisan maupun tulisan

menunjukan pemahaman yang signifikan, karena terjadi suatu

perkembangan atau pematangan organ-organ bicara serta fungsi

berfikirnya. Dengan komunikasi melalui bahasa, maka anak akan

mudah mengungkapkan perasaannya terutama pada sesuatu yang

paling disukainya. Sebab dengan terhambatnya perkembangan

bahasa maka setiap kemauan anak tidak dapat tercapai segala

keinginannya, karena sulit diterima orang lain. Sehingga akhirnya

anak anak menjadi pendiam, minder, serta acuh terhadap

lingkungannya. Sebab itu, orang tua harusnya memberikan perhatian

yang ekstra sehubungan dengan perkembangan anak. Antara lain

dengan cara mengajak berbicara dengan lemah lembut dan normal,

mengarahkan secara arif bijaksana mana yang baik dan mana yang
buruk. Hal ini agar dilakukan secara kontinyu, sehingga anak dapat

mengikuti perkembangannya dengan baik (Majalah Nikah, 2002:56).

Meningkatnya pertumbuhan secara fisik maupun psikis diiringi

pula dengan proses berfikir. Dimana anak mulai meminta perhatian

yang lebih banyak tentang segala hal, pada masa kritis seperti ini

maka orang tua mulai merasakan beban tanggung jawab yang berat,

sehingga pada akhirnya sekolah diharapkan dapat mewadahi segala

bentuk bantuan bimbingan anak terutama guru pendidikan agama

islam, sehingga diusianya yang baru menginjak remaja

memungkinkan untuk mengenal dunia luar yang baru, yakni dunia

pendidikan formal dan non-formal

3) Perkembangan segi sosial

Semenjak anak memasuki sekolah menengah pertama,

semenjak itu pula anak mengalami proses sosialisasi, maka

pergaulan anak semakin luas. Selanjutnya secara spontan, karena

berbagai ketrampilan dan penguasaan bidang fisik motorik dan

mental, anak kelihatan energik banyak melakukan aktifitas, terutama

setelah pulang sekolah. Dibalik itu pada hakekatnya anak mulai

belajar mengasihi dan menyayangi, suka membantu, menghargai dan

mengutamakan kepentingan orang lain terutama lawan jenisnya.

Dalam keadaan seperti ini, orang tua hendaknya waspada

sekaligus memberi pengertian yang secukupnya, bahwa manusia

adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang
lain. Sebaliknya, orang lain memberi kebebasan pada anak dalam

bertindak selagi semua itu positif. Perlu juga diajarkan akhlak,

disiplin dan tanggung jawab. Setiap tindakan hendaknya berorientasi

pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan

dengan berorientasi pada tujuan dapat diketahui bahwa tujuan

sebagai standar untuk mengakhiri suatu usaha guna mengerahkan

usaha yang dilaksanakan dan juga merupakan titik pangkal untuk

mencapai tujuan lainnya.

Tujuan pendidikan, tidak lepas dari tujuan hidup. Sebab

pendidikan bertujuan untuk memelihara tujuan hidup manusia.

Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah

untuk beribadah kepada Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah

SWT dalam Q.S. Adz-Dzaariyaat ayat 56:

   


   

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku. Ayat tersebut diatas jelas bahwa

tujuan pendidikan secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup

manusia, yakni menyadarkan manusia sebagai makhluk Allah SWT,

agar menjadi manusia yang taat beribadah kepada Allah SWT

6. Perkembangan pendidikan agama Islam pada lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang juga

menentukan corak pendidikan agama islam yang tidak sedikit

pengaruhnya
terhadap pendidikan agama islam. Ada beberapa istilah yang dipakai oleh

para ahli pendidikan tentang faktor lingkungan. Menurut ilmu pendidikan

biasa dipakai istilah environment dan faktor alam sekitar. Yang dimaksud

lingkungan dalam skripsi ini adalah lingkungan alam sekitar dimana anak

didik berada yang mempunyai pengaruh terhadap perasaan dan sikap akan

keyakinan agamanya.

Para ahli pendidikan islam mengakui akan pengaruh lingkungan

terhadap anak didik. Dalam hal ini Anselly Ilyas (1995:64) berpendapat

“tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri adanya pengaruh lingkungan

di dalam pendidikan”. Di dalam sejarah pertumbuhan pendidikan pernah

berkembang beberapa aliran membicarakan tentang pengaruh lingkungan

terhadap perkembangan pendidikan. Dalam hal ini ada tiga aliran yaitu:

a. Aliran nativisme

Aliran ini dipelopori oleh Schopenhauer (1789-1960) seorang filosof

Jerman yang berpendapat bahwa manusia hasil pembentukan dari

pembawaan (Zulkifli, 2006:16). Menurut Purwanto (2004:14) bahwa

”nativisme pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan”

jadi kalau hal tersebut benar maka percumalah kita mendidik atau

pendidikan tidak ada artinya.

b. Aliran empirisme

Aliran ini mempunyai pendapat bahwa dalam perkembangan anak

sampai dewasa sama sekali ditentukan oleh lingkungannya atau oleh

pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Teori ini


dipelopori John Lock (1632-1704) yang berkesimpulan bahwa tiap-tiap

anak yang baru lahir bagaikan kertas putih (belum ternoda) dan

lingkungan lah yang memberi warna pada kertas putih tersebut.

Manusia dapat menjadi apa saja dan terbentuk sesuai

lingkungannya sebagaimana pendapat JJ. Rousseseau (1912-1978):

”Bahwa segala-galanya adalah baik sebagaimana keluar dari tangan

sang pencipta, segala-galanya memburuk dalam tangan manusia”. Dari

kedua pendapat, disimpulkan bahwa pembentukan pribadi manusia

tergantung manusianya sendiri dalam mendayagunakan lingkungannya.

c. Aliran kovergensi

Menurut William Sterm dan Zulkifli (1986:17) mengatakan

bahwa ”pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak adalah

pengaruh dari unsur pembawaan dan lingkungan”.

Dari ketiga aliran tersebut diatas ternyata didalam Al-Qur’an dan

Al Hadist telah meletakan dasar-dasar pendidikan jauh sebelum ketiga

itu ada. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al A’raaf ayat 58 :

 
  
     
    
  
 
Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan

seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya

tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran

(kami) bagi orang-orang yang bersyukur.


Untuk dapat mencegah pengaruh lingkungan bagi pendidikan

agama islam, perlu dilakukan usaha sebagai berikut:

1) Memberi pengetahuan tentang lingkungan

2) Mengusahakan agar alat yang digunakan berasal dari lingkungan

yang beragama

3) Mengadakan karya wisata ketempat mengandung unsur keagamaan

dan keimanan

4) Memberik kesempatan pada anak untuk melihat keadaan

lingkungannya sesuai kemampuannya melalui bacaan, pendengaran

maupun cerita lisan dalam bentuk cerita keagamaan

7. Konsep lingkungan pendidikan yang baik

Dalam melaksanakan pendidikan islam diperlukan adanya beberapa

faktor pendidikan sebagai penunjang atas berhasil tidaknya pendidikan itu.

Oleh karena itu dalam melaksanakan segala tindakan atau usaha perlu

adanya suatu konsep. Hal ini untuk menghindari penyimpangan-

penyimpangan yang bakal terjadi. Sebelum menguraikan lebih luas

mengenai lingkungan pendidikan, perlu diketahui mengenai definisi

konsep secara umum. Konsep adalah tanggapan atau pengertian seseorang

terhadap suatu objek (Zuhairini, 2001:132).

Menurut Manaf (2003: 112) bahwa ”lingkungan yang ideal adalah

seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:

a) Dengan mendirikan masjid dilingkungan masyarakat sebagai tempat

pembinaan
b) Mempersatukan seluruh kaum muslim

c) Menjalin kerjasama dengan umat beragama lain dan adanya

kebersamaan antara kaum mayoritas dengan kaum minoritas

d) Nabi SAW selalu menampilkan diri sebagai orang yang berakhlak

berarti pencerminan betapa tingginya nilai ajaran islam

e) Adanya penghargaan terhadap hak orang lain

f) Perlunya adanya tertib hukum didalam kehidupan masyarakat

B. Hakekat Pembinaan dan Kepemimpinan Kepala Sekolah Berdasarkan

UU No 13/2007

1. Pengertian pembinaan

Dalam Al-Qur’an makna pembinaan disebut dalam beberapa ayat


diantaranya QS. Al-Maidah 5:117, Allah berfirman:
     
    
   
   
    
   

   
 
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang

Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: "Sembahlah Allah,

Tuhanku dan Tuhanmu", dan adalah Aku menjadi saksi terhadap mereka,

selama Aku berada diantara mereka. Maka setelah engkau wafatkan aku,

engkaulah yang mengawasi mereka dan engkau adalah maha menyaksikan

atas segala sesuatu. Dan QS. Al-Ahzab 33:52 Allah berfirman:

   


    

   
     
    
    
 
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu

dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain),

meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan

(hamba sahaya) yang kamu miliki dan adalah Allah Maha mengawasi

segala sesuatu. Nabi tidak dibolehkan kawin sesudah mempunyai isteri-

isteri sebanyak yang telah ada itu dan tidak pula dibolehkan mengganti

isteri-isterinya yang telah ada itu dengan menikahi perempuan lain.

Ini mengindikasikan bahwa pembinaan merupakan sebuah konsep

yang dilakukan untuk mendapatkan kinerja baik. Bahkan Allah SWT

sendiri menugaskan dua malaikat untuk mengawasi manusia. Secara lebih

spesifik, Allah SWT sendiri menegaskan bahwa ia sebagai seorang

pengawas (hafidz) atas manusia. Allah SWT berfirman:

 □

Artinya ”Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (Malaikat-malaikat) yang

Mengawasi (pekerjaanmu)”, (Q.S. Al-infithaar 82:10)

 □

Artinya “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”. (Q.S. Al-Fajr,

89:14)

      


    
 

   
 
Artinya “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan

hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S. Al-Israa,

17:36).

  
  
   
    
  
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di

antaranya mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan

mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. Maksudnya ialah

mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Quran dan lainnya, tetapi

yang diikutinya ialah ajaran Al Quran Karena ia adalah yang paling baik.

2. Ruang lingkup pembinaan

Proses pembinaan terdiri atas tiga tahap, yaitu:

a. Menetapkan standar-standar pelaksanaan pekerjaan

Penentuan standar mencakup kriteria untuk semua lapisan

pekerjaan yang terdapat dalam suatu organisasi. Standar adalah kriteria-

kriteria untuk mengukur pelaksanaan pekerjaan. Kriteria tersebut dalam

bentuk kuantitatif ataupun kualitatif. Standar pelaksanaan ialah suatu

pernyataan mengenai kondisi-kondisi yang terjadi bila suatu pekerjaan

dikerjakan secara memuaskan.

Umumnya standar pelaksanaan pekerjaan bagi suatu aktifitas

menyangkut kriteria biaya, waktu, kuantitas, dan kualitas. Dengan


mengadaptasi karya Koonts dan Murdick (Fattah, 2004: 105)

mengemukakan lima ukuran kritis sebagai standar: (1) fisik, (2) biaya,

(3) program, (4) pendapatan, dan (5) standar yang tak dapat diraba

(intagible). Standar tersebut adalah standar intagible merupakan standar

yang sulit diukur, biasanya tidak dinyatakan dalam ukuran kuantitas.

b. Pengukuran hasil/pelaksanaan pekerjaan

Tahap kedua proses pengawasan adalah pengukuran hasil/pelaksanaan.

Metode dan teknik koreksinya dapat dilihat/dijelaskan klasifikasi fungsi-

fungsi manajemen: (1) perencanaan: garis umpan balik proses manajemen

dapat terwujud meninjau kembali rencana mengubah tujuan atau

mengubah standar, (2) pengorganisasian: memeriksa apakah struktur

organisasi yang ada itu cukup sesuai dengan standar, apakah tugas dan

kewajiban dimengerti dengan baik, dan apakah diperlukan penataan

kembali orang-orang, (3) penataan staf: memperbaiki sistem seleksi,

memperbaiki sistem latihan, dan menata kembali tugas-tugas, (4)

pengarahan: mengembangkan kepemimpinan yang lebih baik,

meningkatkan motivasi, menjelaskan pekerjaan yang sukses, penyadaran

akan tujuan yang secara keseluruhan apakah kerjasama antara pimpinan

dan anak buah berada dalam standar.

Inpres Nomor 15/1983 tanggal 4 Oktober 1983 pasal 1 ayat (1)

menjelaskan bahwa: “Pengawasan bertujuan mendukung kelancaran dan

ketepatan pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pembangunan”. Tujuan

pengawasan bisa dikatakan sebagai upaya membandingkan kondisi yang

seharusnya dengan kondisi kenyataannya yang ada sehingga nantinya


diikuti dengan tindakan pembetulan atau pengarahan sampai akhirnya

tindakan organisasi sesuai dengan apa yang seharusnya. Wujud dan

aktivitas perangkat kendali adalah sebagai jenis pengawasan internal

maupun eksternal. Dapat pula dilakukan secara struktural maupun

fungsional, mencakup pemeriksaan, pembinaan dan evaluasi. Apapun jenis

pengawasan yang dikembangkan, tujuan akhir pengawasan tetap berlaku

yaitu untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan dari rencana

institusional sehingga mekanisme peran-peran dalam organisasi tetap

terjaga ke arah pencapaian tujuannya.

Tujuan yang paling utama dari pelaksanaan pengawasan oleh

pengawas dan kepala sekolah ini yaitu agar seluruh kegiatan yang

dilaksanakan oleh guru pasca sertifikasi sesuai dengan pencanaan yang

dibuat, mencegah tejadinya penyimpangan dan sesuai dengan peraturan

yang berlaku dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Hal ini

senada dengan tujuan pengawasan melekat yang dijelaskan dalam Kepmen

No.23 tahun 2002 dalam pasal 7 ayat (2), yaitu: Pengawasan melekat

diarahkan pada terbentuknya suatu sistem kerja yang mampu dan sasaran

organisasi serta mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenanf,

penyimpangan, pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Menurut Nawawi (1998: 26) bahwa “Tujuan pengawasan yaitu

untuk mewujudkan daya guna, hasil guna, dan tepat guna dalam upaya

mencapai sasaran-sasaran di dalam program-program pendidikan”.


Sehubungan dengan pernyataan tersebut bahwa pengawasan yang

dilakukan pengawas dan kepala sekolah bertujuan agar peran dan tugas

pimpinan secara langsung dapat mengetahui kegiatan nyata setiap aspek

dan permasalahan yang dihadapi guru dalam pelaksanaan tugasnya,

sehingga secara langsung dapat mengambil tindakan nyata dalam upaya

meningkatkan kinerja guru PAI.

Prinsip merupakan suatu pedoman umum yang menjadi dasar atau

landasan yang dapat diterapkan pada suatu rangkaian kegiatan dalam

organisasi sebagai suatu petunjuk yang tepat agar tujuan dapat dicapai

secara efektif dan efisien. Dalam upaya melaksanakan pengawasan

melekat agar tujuan dapat terwujud secara optimal hendaknya diterapkan

sesuai dengan prinsip pokok sebagaimana yang tertuang dalam Intruksi

Presiden No. 1 tahun 1989, yaitu:

a. Bahwa pada dasarnya pengawasan melekat dilakukan secara berjenjang,

namun demikian setiap pimpinan pada saat-saat tertentu dapat

melakukan pengawasan melekat pada jenjang yang ada dibawahnya.

b. Pengawasan melekat harus dilakukan oleh pimpinan secara sadar dan

wajar sebagai salah satu fungsi manajemen yang penting dan tidak

terpisahkan dari perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan.

c. Pengawasan melekat lebih diarahkan pada usaha pencegahan terhadap

penyimpangan, karena itu perlu adanya sistem yang jelas yang dapat

mencegah terjadinya penyimpangan. Dalam pelaksanaan fungsi

manajemen perlu dilakukan waskat untuk menjamin agar tujuan dapat


dicapai secara efektif dan efisien, berbagai pelaksanaan kegiatan

memerlukan pengawasan dalam rangka penyempurnaan perencanaan,

perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan, lebih dari itu hasil

pengawasan dipergunakan untuk menyempurnakan sistem pengawasan.

d. Pengawasan harus bersifat membina karena itu penentuan adanya suatu

penyimpangan harus didasarkan pada kriteria yang jelas dan

penyimpangan tersebut harus dideteksi secara dini. Tindak lanjut

terhadap temuan-temuan dalam waskat harus dilakukan secara tetap dan

tertib didasarkan pada penilaian objektif melalui analisis yang cermat

sesuai dengan kebijaksanaan dan peraturan perundangan yang berlaku

termasuk tindak lanjut yang berupa penghargaan bagi bawahan yang

berprestasi baik.

e. Pengawasan melekat harus merupakan kegiatan yang dilakukan secara

terus-menerus dan berkesinambungan sebagai kegiatan rutin dalam

rangka pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan.

f. Pengawasan melekat harus dilaksanakan dengan menyalahgunakan

sistem tertentu.

g. Pengawasan melekat merupakan pengawasan pokok dan pengawasan-

pengawasan lainnya menunjang keberhasilan pengawasan melekat.

Berdasarkan hal tersebut, maka prinsip pengawasan secara umum

hendaknya dijadikan landasan bagi para pimpinan sekolah dalam

melaksanakan pengawasannya terhadap guru, sehingga diharapkan mampu


mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif, efesien dan

optimal dalam upaya mewujudkan mutu pendidikan.

Pentingnya peranan pengawasan dalam segala aspek kehidupan

organisasi umumnya dan lembaga pendidikan khususnya tidak dapat

diragukan lagi. Kegiatan organisasi betapa pun kecilnya, akan kurang

memenuhi harapan apabila dibiarkan berjalan tanpa pengawasan. Isu-isu

yang muncul dalam proses pembangunan seperti korupsi, pemborosan

penggunaan sumber-sumber, menurunnya disiplin dan komitmen pekerja

dan kasus lainnya semakin memperkuat alasan pentingnya pengawasan

yang efektif dalam manajemen. Ketidak efisienan dalam proses

manajemen ini telah membentuk kultur organisasi yang kurang sehat yang

menyebabkan organisasi pendidikan kurang sehat pula (Gaffar, 2205: 17).

Dalam pelaksanaannya agar berjalan dengan baik, setiap pimpinan

atau unit kerja dalam kegiatan pengawasannya perlu dilakukan dengan

teknik yang benar. Sutisna (2001: 23). Adapun teknik pelaksanaan

pengawasan, meliputi:

a. Pemantauan

Pemantauan dilaksanakan guna mengetahui sedini mungkin berbagai

kemungkinan terjadinya penyimpangan pelaksanaan suatu pekerjaan.

Adapun pelaksanaannya dilakukan melalui laporan pertanggung

jawaban baik secara lisan maupun tulisan, baik itu secara berkala atau

sewaktu-waktu bila diperlukan. Dalam pelaksanaannya agar pemantaun

berlangsung secara tepat, maka perlu dilakukan inventarisasi terhadap


kegiatan dan faktor yang kemungkinan mempengaruhinya, penyusunan

mengenai petunjuk pelaksanaan, serta penyusunan petunjuk teknis.

b. Pemeriksaan

Pemeriksaan merupakan rangkaian tindakan untuk mencari dan

mengumpulkan fakta yang berkaitan dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi kelancaran pelaksanaan suatu kegiatan. Kegiatan

pemeriksaan adalah salah satu bagian dari pengawasan. Pemeriksaan

dapat dilakukan melalui laporan kerja yang dibuat oleh pegawai

maupun pimpinan langsung meninjau kelapangan melihat apakah

laporan sesuai dengan kondisi lapangan. Antara pengawasan dan

pemeriksaan sesuai merupakan salah satu mata rantai fungsi manajemen

dimana pemeriksaan merupakan mata pemantau yang jeli dan

diperlukan didalam melaksanakan tugas pengawasan.

c. Penilaian

Sesudah terkumpul fakta dan data hasil pelaksanaan pengawasan

kemudian dilakukan penilaian dengan cara membandingkan antara hasil

kenyataan suatu pekerjaan dengan standar rencana yang telah

ditetapkan sebelumya. Adapun hasil penilaian ini dijadikan

pertimbangan untuk menentukan tindak lanjut yang harus dilaksanakan

secara tepat, disamping umpan baik bagi penyempurnaan suatu

rencana/kegiatan pada masa yang akan datang.

d. Perbaikan
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini yaitu mencoba mencari jalan

keluar untuk mengambil langkah-langkah tindakan koreksi terhadap

penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi. Upaya penetapan

standar-standar dan mengukur performa. Tindakan perbaikan meliputi

suatu proses pengambilan keputusan. Dari hasil penilaian kemudian

dipilih alternatif tindakan yang dipilih untuk mengimplementasikan

guna melaksanakan perbaikan. Tindakan perbaikan berguna untuk

mengetahui apakah performa sudah kembali pada standar yang

ditetapkan dan hal ini dilihat melalui ciri-ciri umpan balik dari sistem

pengawasan yang ada.

Pengawasan merupakan proses kegiatan pemantauan, pemeriksaan,

dan evaluasi terhadap rencana yang telah ditentukan. Sehubungan dengan

itu yang dimaksud sistem pengawasan oleh Nawawi (1989: 62) adalah:

Sistem pengawasan adalah keseluruhan proses pemantauan,


pemeriksaan, dan evaluasi terhadap sasaran tertentu yang
menggambarkan urutan beberapa unsur yang saling berinteraksi satu
dengan yang lain, dimana unsur-unsur yang saling berinteraksi dan
menghasilkan proses itu yaitu meliputi: a) asas-asas pengawasan, b)
pelaksanaan pengawasan, dan c) tindak lanjut pengawasan.

Definisi sistem pengawasan di atas maka menurut Nawawi proses

sistem pengawasan adalah meliputi sebagai berikut:

a. Asas-asas pengawasan.

Dalam pelaksanaan pengawasan baik pimpinan atau atasan langsung

sebagai pengawas serta bawahan sebagai pihak yang diawasi pada

satuan organisasi atau unit kerja adalah manusia. Oleh karena itu, yang
terpenting dalam pelaksanaan proses pengawasan adalah bagaimana

mengusahakan agar hubungan atau interaksi antara atasan dan bawahan

berlangsung secara wajar dan tetap bertopang pada nilai-nilai

manusiawi. Hal tersebut mengartikan bahwa pengawasan melekat

dilaksanakan dengan memperhatikan nilai-nilai manusiawi dan nilai-

nilai budaya yang bersumber dari pandangan hidup negara.

b. Proses pelaksanaan pengawasan

Pengawasan sebagai fungsi manajemen harus dilakukan oleh setiap

pimpinan di lingkunagn kerjanya masing-masing. Nawawi (1989:62)

mengemukakan proses pelaksanaan pengawasan yaitu meliputi:

(1) Perencanaan

Dalam penyusunan program pengawasan dilakukan tiga aspek

yaitu manusia, budaya, dan unit kerja atau program yang disusun

setiap tahun. Menurut Siagian (1979: 135) bahwa perencanaan dan

pengawasan merupakan dua sisi mata uang yang sama”. Artinya

antara pengawasan dengan perencanaan berhubungan satu sama

lain, tanpa rencana pengawasan akan terjadi penyimpangan yang

mengakibatkan tujuan organisasi tidak dapat tercapai efektif,

efisien.

(2) Metode pengawasan

Pengawasan yang efektif dan efisien harus dilaksanakan dengan

metode yang tepat dalam arti baik, benar, serta optimal seperti telah

dibahas sebelumnya.
(3) Hasil pengawasan

Pengawasan merupakan upaya pemeriksaan atau pemantauan

terhadap pelaksanaan stiap program yang telah direncanakan agar

tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien untuk itu hasil

pengawasan harus diketengahkan secara objektif baik dalam tujuan

yang bersifat positif ataupun negatif oleh pelaksana pengawasan

dalam hal ini pimpinan unit kerja.

(4) Tindak lanjut pengawasan

Tindak lanjut merupakan suatu upaya kegiatan pembinaan dan

bimbingan dalam rangka memperbaiki kesalahan yang ditunjukan

untuk meningkatkan kinerja pegawai, sehingga secara terus

menerus dapat membentuk perilaku atau sikap kerja yang positif.

3. Pengertian kepemimpinan

Dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am, Allah berfirman:

  


  
   
  
     
 
  
“Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan

dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa

derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.

Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’am, 6:165).


Ayat tersebut berkaitan dengan pemimpin dan kepemimpinan yang

pernah diucapkan Nabi Muhammad SAW ”Kullukum roo in wakullukum

mas uulun an rooiyatihi”. ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap

pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”.

Anwar dan Thalib (2002:352) bahwa untuk para pemimpin dari

kalangan umat islam di semua tingkatan, karena berfungsi sebagai

pemimpin umat, mestinya memahami dan melaksanakan secara seksama

hal-hal sebagai berikut:

(1) Pemimpin tidak bolah meminta diistimewakan, (2) Pemimpin


tidak boleh hanya mementingkan dirinya sendiri, (3) Pemimpin
tidak boleh memberatkan umat, (4) Pemimpin bertanggung jawab
secara pribadi jika bersalah, (5) Pemimpin harus bersedia menerima
kritik dan saran dari siapa pun, (6) Pemimpin ikut bertanggung
jawab atas kesalahan orang yang dipimpinnya, (7) Pemimpin harus
tetap hormat kepada pemimpin atasan yang mengangkatnya, (8)
Pemimpin hendaknya jangan berbuat sewenang-wenang rakyatnya,
(9) Pemimpin berarti memegang amanat Allah SWT, (10) Pemimpin
harus mempunyai kekuatan ilmu dan kekuatan jasmani, (11)
Pemimpin harus mempunyai kekuatan keyakinan dan kesabaran,
(12) Pemimpin harus bertanggung jawab terhadap nasib penderita
umatnya dengan mempelopori perjuangan perbaikan nasib rakyat,
(13) Pemimpin agar selalu bertauhid, (14) Pemimpin agar
bersungguh-sungguh dalam membangkitkan semangat rakyat untuk
berbuat kebaikan serta mencegah/memberantas segala bentuk
kemungkaran, (15) Pemimpin harus berilmu agama yang cukup, (16)
Pemimpin agar mempunyai kemampuan untuk menggalang kekuatan
rakyat guna melindungi mereka dari segala ancaman, (17) Pemimpin
agar menyayangi dan selalu mendoakan kebaikan bagi umatnya.

Pendapat di atas disimpulkan bahwa pemimpin harus bertaqwa, yaitu

bernapas kebenaran, berbicara kebenaran, mendengar kebenaran, tidur

kebenaran, memutuskan sesuatu melalui musyawarah, bersedia berdialog,

dikritik, menerima masukan atau saran. Perilaku musyawarah merupakan

gambaran transparansi dan demokrasi. Kesediaan dialog, menerima kritik


dan saran merupakan implementasi firman Allah Swt. Ada empat fungsi

kepemimpinan Nabi Muhammad Saw yaitu pathfinding (perintis), aligning

(penyelaras), empowering (pemberdayaan), dan modeling (panutan).

Berdasarkan perspektif Islam, ada dua konsep kepemimpinan, yaitu

“khalifah” yang menunjuk pada tujuan penciptaan manusia di muka bumi,

dan “Al-Amr” yang menunjuk pada karakteristik kepemimpinan dalam

Islam. Istilah khalifah dalam Alqur’an, salah satunya Surat Albaqarah ayat

30, artinya “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,

”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.

Ayat ini menekankan, bahwa khalifah adalah wakil dan pemimpin. Wakil

atau pengganti maksudnya adalah manusia diciptakan Allah Swt untuk

menjadi wakil Allah SWT untuk melaksanakan perintahNya di muka

bumi. Pemimpin maksudnya, bahwa manusia diciptakan Allah Swt

menjadi penguasa di bumi, baik dalam konteks personal, sosial, dan

universal untuk mengendalikan, memelihara, serta memanfaatkan alam

semesta segenap isinya untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan.

Dalam konteks manusia sebagai duta Allah SWT, Islam

menegaskan, bahwa kepemimpinan Islam diperlukan kualifikasi, yaitu:

1. Shidik, yaitu pemimpin yang benar dan lurus iman, Islam dan ihsannya

sesuai antara kata dan perbuatan;

2. Amanah, yaitu pemimpin yang dapat dipercaya, pemimpin yang

menganggap kekuasaan itu sebagai amanat Allah untuk meningkatkan

kesejahteraan, kemakmuran masyarakat dan bangsa;


3. Tabligh, yaitu pemimpin yang dapat menyampaikan dan sekaligus

membimbing rakyatnya untuk mengamalkan ajaran Allah SWT dan

Sunnah RosulNya;

4. Fathonah, yaitu pemimpin yang cerdas dan berwawasan luas, memiliki

jiwa dan semangat kebangsaan serta memiliki wawasan global,

menguasai ilmu dunia akhirat;

5. Wafa’, yaitu pemimpin yang memiliki sifat menepati janji terhadap

pengikutnya atau rakyatnya;

6. Adil, yaitu pemimpin yang mempunyai sifat memberikan wawasan

seimbang, tidak membeda-bedakan dalam memberikan penilaian;

7. Tawadlu’, yaitu pemimpin yang mempunyai sifat rendah hati, sikap

yang tumbuh karena kesadaran bahwa Allah Yang Maha Tahu atas

segalanya;

8. Sajaah, yaitu pemimpin yang berani mengambil suatu keputusan untuk

kemaslahatan umat/rakyatnya.

Al-Amr dalam Al-qur’an selalu tampil dalam dua makna, yaitu

urusan dan pemerintah atau penguasa, contohnya dalam hal musyawarah

harus ada seseorang yang mengendalikan jalannya permusyawaratan

tersebut untuk mencapai kesepakatan.

4. Pembinaan dan kepemimpinan kepala sekolah

Penelitian yang dilakukan adalah pembinaan yang dilakukan kepala

sekolah yaitu pengawasan sebagai upaya untuk mengetahui, mengukur dan

menilai peningkatan profesionalisme guru pasca sertifikasi. Para ahli


menyebutkan istilah lain pengawasan efektif dengan pengawasan melekat

atau pengawasan dalam arti pengawasan secara keseluruhan.

Di dalam suatu organisasi atau lembaga unsur pimpinan atau unit

kerja adalah yang paling bertanggung jawab terhadap upaya perbaikan

apabila ditemukan kelemahan, kekeliruan atau penyimpangan dalam

pelaksanaan suatu pekerjaan, sehingga dalam hal tersebut kesadaran diri

sebagai seoarang profesional menjadi sangat penting guna mencegah

terjadinya penurunan kinerja atau pelaksanaan kerja yang rendah.

Pembinaan diperlukan untuk melihat sejauh mana hasil tercapai.

Pembinaan merupakan bagian dari fungsi manajemen. Menurut Gullick

fungsi dari manajemen terdiri dari planning, organizing, staffing,

directing, controling, budgeting. Sedangkan Sutisna (1993: 175) proses

dari manajemen terdiri dari pengambilan keputusan, perencanaan,

organisasi, komunikasi, koordinasi, pengawasan dan penilaian. Dari kedua

pernyataan tersebut dapat kita lihat bahwa pembinaan merupakan salah satu

fungsi utama dari manajemen.

Banyak para ahli yang mengemukakan pengertiannya tentang

pembinaan, salah satunya yaitu Rifai (1997:11) mengemukakan bahwa:

Pembinaan mempunyai arti luas, tidak hanya dalam arti


melihat/memperhatikan apa yang terjadi dan bagaimana terjadinya,
tetapi mengandung arti “mengendalikan”, yaitu mengusahakan agar
kegiatan benar-benar sesuai dengan rencana dan tertuju kepada
pencapaian hasil yang telah ditentukan. Karena itulah pengawasan
diartikan sebagai kontrol. Kontrol dapat didefinisikan sebagai “suatu
proses yang mengusahakan agar kegiatan-kegiatan suatu organisasi
terbimbing dan terahkan kepada tujuan yang telah direncanakan.
Pengertian di atas mengartikan kepala sekolah dititik beratkan pada

proses kontrol yang dilakukan oleh organisasi terhadap laksanaan

program-programnya. Organisasi ini membandingkan perencanaan

program dengan pelaksanaan programnya. Pengawasan ini pula diarahkan

untuk meyakinkan bahwa organisasi menjalankan program kerjanya sesuai

dengan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Tentunya kondisi ini

mampu menjamin organisasi untuk mengetahui posisi kerjanya yang

dilakukan dan akan memberikan dampak terhadap terwujudnya kelancaran

program. Uraian tersebut diperkuat Sutisna (2005: 233) bahwa:

Dalam liteatur manajemen, pembinaan diartikan sebagai proses


pengamatan terhadap pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk
menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengawasan
dimaksudkan bukan untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan dan
kesalahan-kesalahan, tetapi untuk meningkatkan kompetensi.

Dari pengertian-pengertian yang telah diungkapkan di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa pembinaan merupakan proses pengamatan atau

penelaah yang dilakukan organisasi terhadap aktivitasnya yang tengah

dilakukannya sehingga diperoleh suatu kepastian bahwa program

organisasi dapat dilakukan sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Menurut Murdick, (Fattah, 2004: 101) mengemukakan bahwa:

pembinaan merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan

bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi. Proses dasarnya

meliputi tiga tahap yaitu: (1) menetapkan standar pelaksanaan, (2)

pengukuran pelaksanaan pekerjaan dibanding standar, dan (3) menentukan


kesenjangan antara pelaksanaan dengan standar dan rencana. Sedangkan

Sujamto (1986: 72) pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk

mengetahui dan menilai pelaksanaan tugas atau kegiatan.

Menurut Sutisna (1993: 240) proses tindakan pembinaan terdiri dari

empat langkah, yaitu:

1. Menetapkan suatu kriteria atau standar pengukuran/penilaian;

2. Mengukur/menilai perbuatan (performance) yang sedang atau sudah

dilakukan;

3. Membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan

menetapkan perbedaannya jika ada;

4. Memperbaiki penyimpangan dari standar dengan tindakan perbaikan.

Jadi, pengawasan menyarankan adanya tujuan dan rencana. Semakin

jelas, lengkap dan terkoordinasi rencana semakin lengkap pengawasan

administratif yang bisa dijalankan. Pengawasan yang ideal, seperti

perencanaan, pada hakikatnya melihat ke depan, sistem pengawasan yang

paling baik memperbaiki penyimpangan-penyimpangan dari rencana

sebelum terjadi. Cara kedua sesudah yang terbaik itu ialah mendeteksi

penyimpangan-penyimpangan bila itu terjadi.

Pelaksanaan pekerjaan di lingkungan instansi pemerintahan

memerlukan adanya pengawasan yang secara institusional yang bertujuan

antara lain agar semua komponen sistem bergerak secara koordinatif dan

sinergik menuju ke satu arah pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.

Dalam jangka pendek, pengawasan dilakukan untuk mencegah


penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lingkungan organisasi yang

dalam jangka panjang berdampak terhadap produktivitas organisasi.

Pembinaan oleh pimpinan (kepala sekolah) atau disebut juga dengan

pengawasan, merupakan proses atau usaha-usaha untuk mengawasi serta

mengendalikan kinerja guru agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya

sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Hal ini senada dengan

Sujamto (2004: 23) mengatakan bahwa “pembinaan pimpinan yaitu berupa

tindakan atau kegiatan atau usaha untuk mengawasi dan mengendalikan

anggota organisasi secara langsung yang harus dilakukan setiap pimpinan

organisasi yang bagaimananpun juga”.

Kepemimpinan kepala sekolah berperan sebagai motor penggerak

sekaligus penentu arah kebijakan sekolah yang akan menentukan cara

pencapaian tujuan sekolah dan pendidikan (Mulyasa, 2004:126). Untuk

mencapai efektivitas kepemimpinan, maka kepala sekolah harus memiliki

tiga keterampilan konseptual berkaitan keterampilan untuk memahami,

dan mengoperasikan organisasi. Keterampilan manusiawi berkaitan

keterampilan bekerjasama, memotivasi dan memimpin. Keterampilan

teknis berkaitan keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, metode,

teknik, dan perlengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Menurut

Mulyasa (2004:32), yaitu:

(a) Belajar dari pekerjaan sehari-hari terutama dari cara kerja para
guru dan pegawai sekolah lainnya, (b) Melakukan observasi kegiatan
manajemen terencana, (c) Membaca berbagai hal berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan, (d) Memanfaatkan
hasil-hasil penelitian orang lain, (e) Berpikir untuk masa yang akan
datang dan, (f) Merumuskan ide-ide yang dapat diujicobakan.

Kepala sekolah merupakan pejabat formal, manajer, pemimpin dan

pendidik. Jabatan kepala sekolah memerlukan persyaratan universal yang

dipenuhi. Persyaratannya keahlian/kemampuan dasar, sifat/watak. Persyaratan

khusus: kemampuan penguasaan terhadap tugas, keterampilan professional,

kompetensi administrasi dan pengawasan. Kemampuan-kemampuan yang

harus dimiliki dalam kepemimpinan situasional sebagai berikut:

a. Keahlian atau kemampuan dasar

Menurut Wahjosumidjo (2004:386) bahwa keahlian/kemampuan dasar

sebagai kelompok kemampuan yang harus dimiliki tingkat pemimpin

mencakup: technical, human danconceptual skill (the basic and

developable skills).

1) Technical skill yaitu kecakapan spesifik: proses, prosedur/teknik-teknik

yang merupakan kecakapan khusus dalam menganalisis hal-hal khusus.

Technical skills menunjukkan kecakapan berhubungan dengan barang

2) Human skills menunjukkan keterampilan dengan orang atau manusia.

Humanskills yaitu kecakapan pemimpin untuk bekerja secara efektif

sebagai anggota kelompok yang dipimpinnya.

3) Conceptual skill yaitu kemampuan pemimpin melihat organisasi

sebagai satu keseluruhan.

b. Kualifikasi pribadi

Menurut Wahjosumidjo (2004:387) Kualifikasi pribadi yaitu

serangkaian sifat/watak yang harus dimiliki kepala sekolah meliputi:


1) Mental, unggul intelegensi, mampu memberikan pertimbangan

individu yang bagus, memiliki kecakapan dalam menghadapi

persoalan-persoalan abstrak, kecakapan menghadapi dan

bekerjasama dengan orang lain, kesanggupan untuk mempengaruhi

orang lain, unggul didalam kemampuan menulis dan berbicara.

2) Fisik, stamina fisik sangat penting agar mampu memenuhi tuntutan

tugas. Kesiagaan, energik, antusiasme memerlukan kesehatan prima.

3) Emosi, sepantasnya pemimpin harus memiliki emosi stabil dan

memiliki daya tahan/bersikap sabar terhadap kegagalan/hambatan.

4) Berwatak sosial.

5) Kepribadian, pemimpin dikatakan memiliki kepribadian apabila

selalu bersikap dan berperilaku; berpikir dan berbuat secara

sistematik dan teratur, harus mengetahui modal atau asset yang

dimilikinya dengan segala keterbatasannya; selalu sadar, simpatik

dan loyal dengan bawahannya; cukup yakin untuk menghindarkan

tuntutan bawahan sejalan terhadap kemauan; cukup matang untuk

tidak merasa atau menjadi kecil dalam menghadapi kritik, membuat

senang bawahan, menolong bawahan, memberikan dorongan dan

menerima bawahan, menciptakan satu lingkungan yang dapat

dipercaya, keterbukaan dan rasa hormat terhadap individu.

5. Kepemimpinan pendidikan
Menurut Anwar I (2002: 105), kepemimpinan adalah: ”Kemampuan

pemimpin untuk membujuk dan menyakinkan bawahan sehingga mereka

dengan kesungguhan dan semangat bersedia mengikuti pemimpinnya”.

Dari uraian mengenai kepemimpinan pendidikan di atas, maka dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1) Pemimpin pendidikan harus mampu mengkombinasikan dan

menciptakan sinergi peran sebagai chief executive dan leading

profesional

2) Pemimpin pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan

kultur organisasi yang mempertinggi pengembangan pertumbuhan

organisasi;

3) Ciri khas pemimpin pendidikan adalah pemimpin menyediakan

peluang untuk warga sekolah mengembangkan pemahaman diri dan

mendorong pada kondisi-kondisi untuk merefleksikan dalam praktek;

4) Pemimpin pendidikan memiliki tiga peran utama, yaitu: bidang

kepemimpinan, managerial dan kurikulum-kurikulum pengajaran.

Ketiga peran tersebut harus mampu dijalankan kepala sekolah secara

efektif sehingga mendukung kemajuan sekolah.

Dari pengertian kepemimpinan bersifat umum terdapat pengertian

kepemimpinan yang dipersempit lagi ke dalam bidang pendidikan

sebagaimana Nawawi Hadari (1984: 82), bahwa kepemimpinan

pendidikan adalah proses menggerakan, mempengaruhi, memberikan

motivasi dan mengarahkan orang-orang didalam lembaga pendidikan


terutama untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu

pada hakekatnya kepemimpinan pendidikan adalah kepemimpinan yang

berlangsung di dalam situasi pendidikan, bahwa kepemimpinan

pendidikan menampakkan ciri-ciri kepemimpinan yang bersifat mendidik.

6. Fungsi kepemimpinan pendidikan

Kepemimpinan pendidikan saat ini adalah kepemimpinan yang

didasarkan pada jati diri bangsa yang hakiki dan bersumber dari nilai-nilai

budaya, agama, dan mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi dalam

dunia pendidikan dan kemajuan yang diraih di luar sistem sekolah.

Dereksep dan Rene mengidentifikasi tiga perubahan mendasar dalam

manajemen pendidikan berimplikasi pada perilaku kepemimpinan, yaitu:

a. Perubahan paradigma pendidikan sentralistis ke arah desentralisasi;

b. Adanya pelimpahan wewenang yang luas kepada sekolah atas dasar

pertimbangan profesional dan pertanggungjawaban publik;

c. Adanya kerja sama pejabat pemerintah dengan pemimpin pendidikan

dalam membangun pendidikan yang bermutu.

Lebih lanjut mengenai fungsi kepemimpinan menurut Panji Anoraga

dan Sri Suryati (dalam Nurdin, 2001: 27), fungsi pemimpin meliputi :

(a) Pemimpin sebagai perencana, (b) Pemimpin sebagai pembuat


kebijakan, (c) pemimpin sebagai ahli, (d) Pemimpin sebagai
pelaksana, (e) Pemimpin sebagai pengendali, (f) Pemimpin sebagai
pemberi hadiah dan hukuman, (g) Pemimpin sebagai teladan dan
lambang, (h) Pemimpin sebagai tempat menimpakan segala
kesalahan, (i) Pemimpin sebagai pengganti peranan anggota lain.

Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya fungsi

kepemimpinan pendidikan dapat dibagi menjadi dua yaitu:


a. Fungsi yang bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai

- Pemimpin berfungsi memikirkan dan merumuskan dengan teliti

tujuan kelompok

- Pemimpin berfungsi memberi dorongan kepada anggota-anggota

kelompok untuk menganalisis situasi supaya dapat dirumuskan

rencana kegiatan kepemimpinan yang dapat memberi harapan baik

- Pemimpin berfungsi menggunakan kesempatan dan minat khusus

anggota kelompok

b. Fungsi bertalian suasana pekerjaan yang sehat dan menyenangkan

- Pemimpin berfungsi memupuk dan memelihara kebersamaan di

dalam kelompok

- Pemimpin berfungsi menguasahakan suatu tempat bekerja yang

menyenangkan, sehingga dapat dipupuk kegembiraan dan semangat

bekerja dalam pelaksanaan tugas

- Pemimpin dapat menanamkan dan memupuk perasaan anggota

bahwa mereka termasuk dalam kelompok dan bagian dari kelompok.

Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

fungsi kepemimpinan dalam organisasi adalah mengkoordinasikan suatu

upaya untuk menggerakkan, mengorganisasikan sumber daya organisasi

untuk terlibat langsung dalam proses pelaksanaan sehingga mampu

mewujudkan tujuan organisasi yang ditetapkan secara efektif dan efisien.

7. Kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru


Kepala sekolah memiliki visi yang jelas tentang sekolahnya. Kepala

sekolah yang tidak mampu bertindak sebagai perencana yang baik

sebenarnya tidak lebih dari petugas pelaksana, dan pengawas teknis.

Meskipun mereka menjalankan roda sekolahnya, tanpa fungsi perencanaan

yang menyangkut penentuan tujuan berikut suatu visi strategis, berarti

kepala sekolah telah gagal menjalankan tugas jangka panjangnya.

Dengan demikian, seorang kepala sekolah disebut menerapkan

kaidah kepemimpinan, jika mampu mengubah energi sumber daya; baik

manusia, instrumen, maupun situasi untuk mencapai tujuan-tujuan

reformasi sekolah. Berkaitan dengan kepemimpinan, Ekosiswoyo, Rasdi

(2003:111), menulis pengaruh pemberdayaan, kepemimpinan, dan

motivasi terhadap kinerja guru SMK di Jawa Tengah, bahwa terdapat

pengaruh signifikan kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru.

Kepala sekolah yang memiliki orientasi pada upaya peningkatan kinerja

guru, selalu mendorong guru untuk berprestasi, mengaplikasikan prinsip-

prinsip partisipasi, komunikasi dua arah, pengakuan terhadap andil guru,

pendelegasian wewenang, dan pemberian perhatian kepada kondisi guru.

Berkaitan dengan kepemimpinan visioner ini, Leitthwood, dkk

(1999:33), menulis: ”Visioner leadership is seen to organizational

building, developing shared vision, distributing ledership and building

school culture necessary to current restructuring efforts in school”.

Kutipan ini menggaris bawahi kepemimpinan visioner mengiring SDM

yang dipimpin ke arah tumbuhnya efektivitas pembinaan dan


pembangunan organisasi, pengembangan visi bersama, pendistribusian

kewenangan kepemimpinan, dan membangun budaya organisasi sekolah

yang menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi sekolah itu.

Kepala sekolah yang sepenuhnya menyadari misinya serta nasib staf

pengajarnya, pasti ingin mengembangkan sekolahnya. Bila pada suatu saat

dia harus pergi, kondisi sekolah pada saat ditinggalkan tetap jauh lebih

baik dan memiliki arah strategis yang lebih pasti dibandingkan dengan

kondisi saat dia memulai kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan Sri Handayani (1999:146), tentang

pengembangan dalam upaya meningkatkan kinerja tenaga pendidik yang

dilakukan di Bandung, mengungkapkan bahwa:

(1)Pengembangan tenaga pendidik memegang peranan penting dan


strategis dalam meningkatkan kinerja dan kualitas pendidik, (2)
upaya pengembangan dapat berbentuk formal institusional maupun
mandiri yang didasarkan pada kesadaran dan kebutuhan
meningkatkan kinerja dalam menjalankan tugas, (3) peran pemimpin
sangat besar dalam upaya meningkatkan kinerja.
Kepala sekolah harus bertindak sebagai ”agen pembaharu” yang

bekerja berdasarkan sistem ”nilai-nilai budaya” dengan karakteristik

sebagai berikut: Berani mengubah keadaan yang statis menjadi dinamis

dengan berdasarkan pada nilai-nilai luhur bahwa perubahan tersebut demi

kepentingan pendidikan, bukan untuk kepentingan pribadi/kroni.

Pemimpin visionary adalah pemimpin yang empatis, percaya diri,

dan sering bertindak sebagai agen perubah. Pemimpin afiliatif juga

empatis dengan kekuatan membangun hubungan dan mengelola konflik.

Pemimpin demokratis memotivasi kolaborasi dan kerja tim serta


berkomunikasi dengan efektif, khususnya sebagai pendengar yang sangat

baik. Dan pemimpin coaching sadar diri secara emosional, empatis, dan

terampil dalam mengidentifikasi dan membangun potensi orang lain.

Perencanaan yang baik, penemuan tujuan secara pasti dan

pengurutan skala prioritas akan mewujudkan dan sekaligus menciptakan

kesinambungan. Bagi kepala sekolah yang tidak memiliki visi, harus

sesering mungkin mengadakan kontak dengan komunitas sekolah yang

pada dasarnya memiliki bakat dan kecondongan mementingkan

perencanaan berjangka panjang, memiliki pemikiran penuh dengan

gagasan-gagasan yang inovatif. Baik-tidaknya kepala sekolah diukur dari

kemampuannya untuk bertindak atau berfungsi sebagai agen perubahan,

sekaligus tingkat keahliannya untuk memastikan bahwa proses perubahan

itu akan berlangsung secara sistematis melalui suatu kerangka perencanaan

jangka panjang.

Kemampuan kepala sekolah dalam memimpin akan sangat

berpengaruh dalam meningkatkan motivasi kerja guru. Apabila kepala

sekolah selaku pimpinan dalam menjalankan tugasnya kurang baik, akan

berakibat kurangnya motivasi kerja guru, sehingga mempengaruhi

efektivitas kerja guru, maka peran pemimpin penting sebab pemimpin

memegang peran dalam menentukan tercapai tidaknya tujuan sekolah.

Motivasi kerja yang tinggi dalam sebuah organisasi sekolah akan

berdampak positif yaitu tercapainya tujuan yang telah ditentukan oleh

organisasi sekolah. Agar motivasi kerja dapat dioptimalkan dalam


organisasi sekolah maka perlu diketahui faktor-faktor apa sajakah yang

dapat mempengaruhi motivasi kerja itu. Faktor-faktor itu meliputi faktor

internal yang bersumber dari dalam individu dan faktor eksternal yang

bersumber dari luar individu itu seperti sikap terhadap pekerjaan, bakat,

minat, kepuasan, pengalaman, dan lain-lain serta faktor dari luar individu

yang bersangkutan seperti pengawasan, gaji, lingkungan kerja,

kepemimpinan. (Wahjosumidjo, 2001:42).

a. Peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi guru PAI

Kepemimpinan kepala sekolah adalah cara atau usaha kepala

sekolah dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan

dan menggerakkan guru, staf, siswa, orang tua siswa, dan pihak lain

yang terkait, untuk bekerja/berperan serta guna mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. Singkatnya, bagaimana cara kepala sekolah untuk

membuat orang lain bekerja untuk mencapai tujuan sekolah.

Kepala sekolah adalah sumber daya manusia yang berperan

sebagai kekuatan sentral dan menjadi pemacu untuk menggerakan

kehidupan sekolah, oleh karena itu kepala sekolah harus bertanggung

jawab atas kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan dalam

bidang pendidikan secara mikro di lingkungan sekolah yang dipimpin,

baik yang berkaitan masalah kurikulum, kepegawaian, keuangan,

kesiswaan, sarana dan prasarana, hubungan dengan masyarakat serta

pelayanan khusus lainnya. Sebagaimana dikemukakan Wahjosumidjo

(1999: 203) sebagai berikut:


Kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan
pendidikan sehingga dengan demikian kepala sekolah mempunyai
kewajiban untuk selalu mengadakan pembinaan dan
pengembangan pendidikan dapat dilaksanakan dengan lebih baik.
Diantaranya penyelenggaraan pendidikan yang harus selalu dibina
secara terus menerus oleh kepala sekolah adalah; (a) program
pengajaran, (b) SDM, (c) sumber daya yang bersifat fisik, (d)
hubungan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat.

Kepemimpinan dalam konteks sekolah membantu memberi

makna dan tujuan terhadap kepemimpinan antara pemimpin, staf, siswa,

orang tua dan masyarakat sekolah yang lebih luas. Kepemimpinan

bukanlah hanya masalah apa yang harus dilakukan pemimpin

menjadikan oang merasakan tentang dirinya dalam situasi kerja. Tugas

seorang pemimpin seperti kepala sekolah menyangkut bagaimana

kepala sekolah bertanggung jawab atas sekolahnya dalam

melaksanakan berbagai kegiatan, seperti mengelola berbagai masalah

menyangkut pelaksanaan administrasi sekolah, pembinaan tenaga

kependidikan yang ada di sekolah, pendayagunaan sarana dan prasarana

dalam mewujudkan sekolah sebagai wiyata mandala.

Agar proses pendidikan berjalan efektif dan efisien, guru dituntut

memiliki kompetensi yang memadai, baik dari segi jenis maupun

isinya. Namun, jika kita selami lebih dalam tentang isi yang terkandung

dari setiap jenis kompetensi, sebagaimana disampaikan para ahli

maupun dalam perspektif kebijakan pemerintah, kiranya untuk menjadi

guru yang kompeten bukan sesuatu yang sederhana, untuk mewujudkan


dan meningkatkan kompetensi guru diperlukan upaya yang sungguh-

sungguh dan komprehensif.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui optimalisasi

peran kepala sekolah. Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000:

62) bahwa “kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas

mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi

profesional guru.” Perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan

kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan

penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi

kandungan kompetensi.

Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, terdapat tujuh

peran utama kepala sekolah yaitu sebagai: (1) educator (pendidik); (2)

manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader

(pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan. Merujuk

kepada tujuh peran kepala sekolah sebagaimana disampaikan

Depdiknas, Mulyasa (2007:98-120) akan diuraikan secara ringkas

hubungan antara peran kepala sekolah dengan peningkatan kompetensi

guru PAI.

a) Kepala sekolah sebagai educator (pendidik). Proses pembelajaran

merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan

pelaksana dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala

sekolah yang menunjukkan komitmen tinggi dan fokus terhadap

pengembangan kurikulum dan proses pembelajaran di sekolahnya


tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat kompetensi yang

dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha

memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus

menerus meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar

mengajar dapat berjalan efektif dan efisien.

b) Kepala sekolah sebagai manajer. Dalam mengelola tenaga

kependidikan, salah satu tugas yang harus dilakukan kepala sekolah

adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan dan pengembangan

profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogyanya dapat

memfasiltasi dan memberikan kesempatan yang luas kepada para

guru untuk dapat melaksanakan kegiatan pengembangan profesi

melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan, baik yang

dilaksanakan di sekolah, seperti: MGMP/MGP tingkat sekolah, in

house training, diskusi profesional dan sebagainya, atau melalui

kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti:

kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai

kegiatan pelatihan yang diselenggarakan pihak lain.

c) Kepala sekolah sebagai administrator. Khususnya berkenaan

dengan pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan

kompetensi guru tidak lepas dari faktor biaya. Seberapa besar

sekolah dapat mengalokasikan anggaran peningkatan kompetensi

guru tentunya mempengaruhi terhadap tingkat kompetensi gurunya.


Oleh karena itu kepala sekolah seyogyanya dapat mengalokasikan

anggaran yang memadai bagi upaya peningkatan kompetensi guru.

d) Kepala sekolah sebagai supervisor. Untuk mengetahui sejauh mana

guru mampu melaksanakan bimbingan, secara berkala kepala

sekolah perlu melaksanakan supervisi, dilakukan melalui kegiatan

pengamatan untuk mengamati proses bimbingan secara langsung,

terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang

digunakan dan keterlibatan siswa dalam proses bimbingan (Mulyasa,

2004: 47). Hasil supervisi, diketahui kelemahan/keunggulan guru

dalam melaksanakan bimbingan, tingkat penguasaan guru, dan upaya

solusi, pembinaan dan tindak lanjut sehingga guru dapat

memperbaiki kekurangan sekaligus mempertahankan keunggulannya

dalam melaksanakan pembelajaran.

e) Kepala sekolah sebagai leader (pemimpin). Gaya kepemimpinan

kepala sekolah seperti apakah yang dapat menumbuh-suburkan

kreativitas sekaligus dapat mendorong terhadap peningkatan

kompetensi guru? Dalam teori kepemimpinan setidaknya kita

mengenal dua gaya kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang

berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi pada

manusia. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, seorang

kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan

tersebut secara tepat dan fleksibel, disesuaikan dengan kondisi dan

kebutuhan yang ada. Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan


dengan kepribadian dan kepribadian kepala sekolah sebagai

pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat barikut: (1) jujur; (2)

percaya diri; (3) tanggung jawab; (4) berani mengambil resiko dan

keputusan; (5) berjiwa besar; (6) emosi yang stabil, dan (7) teladan

(E. Mulyasa, 2003:98).

f) Kepala sekolah sebagai pencipta iklim kerja. Budaya dan iklim

kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap guru lebih

termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang

disertai usaha untuk meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu,

dalam upaya menciptakan budaya dan iklim kerja yang kondusif,

kepala sekolah hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai

berikut: (1) para guru akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang

dilakukannya menarik dan menyenangkan, (2) tujuan kegiatan perlu

disusun dengan dengan jelas dan diinformasikan kepada guru

sehingga mengetahui tujuan dia bekerja, guru juga dilibatkan dalam

penyusunan tujuan, (3) para guru harus selalu diberitahu tentang dari

setiap pekerjaannya, (4) pemberian hadiah lebih baik dari hukuman,

namun sewaktu-waktu hukuman diperlukan, (5) usahakan untuk

memenuhi kebutuhan sosio-psiko-fisik guru, sehingga memperoleh

kepuasan (modifikasi pemikiran tentang kepala sekolah sebagai

motivator, E. Mulyasa, 2003: 117).

g) Kepala sekolah sebagai wirausahawan. Dalam menerapkan

prinsip-prinsip kewirausaan dihubungkan dengan peningkatan


kompetensi guru, maka kepala sekolah seyogyanya dapat

menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, dan

memanfaatkan berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap

kewirauhasaan yang kuat akan berani melakukan perubahan-

perubahan inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal

yang berhubungan dengan bimbingan siswa beserta kompetensi

gurunya.

Sejauh mana kepala sekolah dapat mewujudkan peran-peran di

atas, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan

kontribusi terhadap peningkatan kompetensi guru, yang pada gilirannya

dapat membawa efek terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

C. Teori yang Melandasi Pembinaan, Kepemimpinan Kepala Sekolah

1. Teori kepemimpinan transformasional

Untuk pengkajian lebih luas tentang teori kepemimpinan berkaitan

disertasi ini akan disajikan beberapa pendapat para ahli sebagai berikut:

a. Pengertian kepemimpinan tranformasional

Menurut Keller bahwa kepemimpinan transformational adalah

sebuah gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemenuhan terhadap

tingkatan tertinggi dari hirarki maslow yakni kebutuhan akan harga diri

dan aktualisasi diri. Kepemimpinan transformasional inilah yang

sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena


kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan

mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih

sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan

organisasi menuju arah baru (Locke, 1997).

Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang

membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja

demi sasaran-sasaran "tingkat tinggi" yang dianggap melampaui

kepentingan pribadinya pada saat itu (Bass, 1985; Burns, 1978; Tichy

dan Devanna, 1986, seperti dikutip oleh Locke, 1997). Sarros dan

Butchatsky (1996), bahwa model kepemimpinan transformasional

merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan

karakteristik pemimpin sehingga para pemimpin kita lebih

berkerakyatan dan berkeadilan sosial.

Secara sederhana dapat dipahami bahwa kepemimpinan

transformasional adalah kepemimpinan yang membawa organisasi pada

sebuah tujuan baru yang lebih besar dan belum pernah dicapai

sebelumnya dengan memberikan kekuatan mental dan keyakinan

kepada anggota agar mereka bergerak secara sungguh-sungguh menuju

tujuan bersama dengan mengesampingkan kepentingan personalnya.

Kepemimpinan transformasional dibangun dari dua kata, yaitu

kepemimpinan dan transformasional. Istilah transformasional berasal

dari kata to transform, bermakna mentransformasikan atau mengubah

sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda, misalkan mentranformasikan


visi menjadi realita, mengubah sesuatu yang potensial menjadi aktual.

Transformasional mengandung makna sifat-sifat yang dapat mengubah

sesuatu menjadi bentuk lain, misalnya mengubah energy potensial

menjadi energy actual atau motif berprestasi menjadi prestasi riil.

Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional ini, Leithwood

dan kawan-kawan menulis, “Transformasional leadership is seen to be

sensitive to organization building, developing shared vision,

distributing leadership and building school culture necessary to current

restructuring efforts in schools”. Kutipan ini menggariskan bahwa

kepemimpinan transformasional menggiring SDM yang dipimpin

kearah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan

organisasi, pengembangan visi secara bersama, pendistribusian

kewenangan kepemimpinan, dan pembangunan kultur organisasi

sekolah yang menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi sekolah.

Teori transformasional sering disebut teori-teori relasional

kepemimpinan (relational theories of leadership). Teori ini berfokus

pada hubungan yang terbentuk antara pemimpin dan pengikutnya.

Pemimpin memotivasi dan mengilhami orang dengan membantu

anggota kelompok memahami potensinya untuk kemudian di

transformasikan menjadi perilaku nyata dalam rangka penyelesaian

tugas pokok, fungsi dalam kebersamaan. Pemimpin transformasional

terfokus pada kinerja anggota kelompok, tapi juga ingin setiap orang

untuk memenuhi potensinya.


Kepemimpinan transformasional tidak saja didasarkan kebutuhan

akan penghargaan diri, tetapi menumbuhkan kesadaran para pemimpin

untuk berbuat yang terbaik sesuai dengan kajian perkembangan

manajemen dan kepemimpinan yang memandang manusia, kinerja, dan

pertumbuhan organisasi adalah sisi yang saling berpengaruh. Pemimpin

transformasional adalah pemimpin yang memiliki wawasan jauh ke

depan dan berupaya memperbaiki dan mengembangkan organisasi

bukan untuk saat ini tapi dimasa datang. Oleh karena itu’pemimpin

transformasional adalah pemimpin yang dapat dikatakan sebagai

pemimpin yang visioner.

Pemimpin transformasional adalah agen perubahan dan bertindak

sebagai katalisator, yaitu memberi peran mengubah sistem kearah lebih

baik. Katalisator adalah sebutan lain untuk pemimpin transformasional

karena ia berperan meningkatkan segala SDM yang ada. Berusaha

memberikan reaksi yang menimbulkan semangat dan daya kerja cepat,

selalu tampil sebagai pelopor dan pembawa perubahan. Pemimpin

dengan kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang

memiliki visi kedepan dan mampu mengidentifikasi perubahan

lingkungan serta mampu mentransformasi perubahan tersebut ke dalam

organisasi, memelopori perubahan dan memberikan motivasi dan

inspirasi kepada individu-individu untuk kreatif dan inovatif, serta

membangun team work solid; membawa perubahan etos kerja dan

kinerja manajemen; berani dan bertanggung jawab memimpin dan


mengendalikan organisasi. Esensi kepemimpinan transformasional

adalah memberdayakan pengikutnya untuk berkinerja efektif dengan

membangun komitmen terhadap nilai-nilai baru, mengembangkan

keterampilan dan kepercayaan, menciptakan iklim kondusif bagi

berkembangnya inovasi dan kreativitas. Esensi kepemimpinan

transformasional adalah sharing of power dengan melibatkan bawahan

secara bersama-sama untuk melakukan perubahan. Dalam meumuskan

perubahan biasanya digunakan pendekatan transformasional yang

manusiawi, dimana lingkungan kerja yang partisipatif dengan model

manajemen kolegial penuh keterbukan dan keputusan diambil bersama.

Dengan demikian kepemimpinan transformasioanl adalah

kepemimpinan yang mampu menciptakan perubahan mendasar dan

dilandasi nilai-nilai agama, sistem, budaya untuk menciptakan inovasi,

kreatifitas pengikutnya dalam rangka mencapai visi yang ditetapkan.

b. Model kepemimpinan transformasional

Kepemimpinan dipahami dalam dua pengertian, yaitu sebagai

kekuatan untuk menggerakkan orang dan mempengaruhi orang.

Kepemimpinan adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi

aktivitas-aktivits yang ada hubungannya dengan pekerjaan terhadap

terhadap anggota kelompok. Pemimpin hakikatnya adalah seseorang

yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain

didalam kerjanya menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah

kemampuan mengarahkan, mempengaruhi bawahan sehubungan tugas-


tugas yang harus dilaksanakannya. Menurut Stoner semakin banyak

jumlah sumber kekuasaan yang tersedia bagi pemimpin, akan makin

besar potensi kepemimpinan yang efektif.

Setiap pemimpin dipilih karena dianggap memiliki visi, misi yang

jelas, dan sebaiknya seseorang sulit untuk menjadi pemimpin jika ia

dianggap tidak memiliki visi, misi yang jelas. Kejelasan visi, misi

mampu memberi arah kelanjutan organisasi dimasa akan datang. Model

kepemimpinan pendidikan yang diperdiksi mampu mendorong

terciptanya efektifitas institusi pendidikan adalah kepemimpinan

transformasional. Jenis kepemimpinan ini menggambarkan adanya

tingkat kemampuan pemimpin untuk mengubah mentalitas dan perilaku

pengikut menjadi lebih baik dengan cara menunjukkan dan mendorong

mereka untuk melakukan sesuatu yang kelihatan mustahil. Konsep

kepemimpinan ini menawarkan perspektif perubahan pada keseluruhan

institusi pendidikan, sehingga pengikut menyadari eksistensinya untuk

membangun institusi yang siap menyongsong perubahan bahkan

menciptakan perubahan.

Gaya kepemimpinan ini akan mampu membawa kesadaran

pengikut (followers) dengan memunculkan ide-ide produktif, hubungan

sinergikal, kebertanggungjawaban, kepedulian educasional, cita-cita

bersama, dan nilai-nilai moral (moral values). Aplikasi gaya

kepemimpinan transformasional pada sekolah sangat ideal. Melalui

gaya kepemimpina ini, segala potensi sekolah dapat ditransformasikan


menjadi actual dalam kerangka mencapai tujuan. Melihat kesejatian

gaya kepemimpinan transformational, agaknya ia harus menjadi basis

kepala sekolah dalam melakukan transformasi tugas kesehariaannya.

Bass memberikan model transformasional adalah sebagai berikut:

1) Pemimpin mengangkat nuansa kebutuhan bawahan ke tingkatan

yang lebih tinggi pada hierarki motivasi

2) Pemimpin membangun rasa percaya diri pada bawahan

3) Pemimpin mentransformasikan perhatian kebutuhan bawahan

4) Pemimpin memperluas kebutuhan bawahan

5) Pemimpin mempertinggi nilai kebenaran bawahan

6) Pemimpin mempertinggi probabilitas keberhasilan yang subjektif

7) Kondisi sekarang dan upaya yang diharapkan bawahan

8) Makin meningginya motivasi bawahan untuk mencapai hasil dengan

upaya tambahan

9) Bawahan mempersembahkan kinerja melebihi apa yang diharapkan

10) Bawahan menghasilkan kinerja sebagaimana yang diharapkan

Bass dan Aviola mengusulkan empat dimensi dalam kadar

kepemimpinan transformasional dengan konsep”4I” yang artinya:

a) ”I” pertama adalah idealiced influence, yang dijelaskan sebagai

perilaku yang menghasilkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya

diri (trust) dari orang yang dipimpinnya. Idealized influence

mengandung makna saling berbagi risiko melalui pertimbangan

kebutuhan staf di atas kebutuhan pribadi dan perilaku moral secara etis.
b) ”I” kedua adalah inspirational motivation, tercermin dalam perilaku

yang senantiasa menyediakan tantangan bagi pekerjaan yang

dilakukan staf dan memperhatikan makna pekerjaan bagi staf.

Pemimpin menunjukkan atau mendemonstrasikan komitmen

terhadap sasaran organisasi melalui perilaku yang dapat diobservasi

staf. Pemimpin adalah seorang motivator yang bersemangat untuk

terus membangkitkan antusiasme dan optimisme staf.

c) ”I” ketiga adalah intelelectual stimulation, yaitu pemimpin yang

mempraktikan inovasi-inovasi. Sikap dan perilaku

kepemimpinannya didasarkan pada ilmu pengetahuan yang

berkembang dan secara intelektual ia mampu menerjemahkannya

dalam bentuk kinerja yang produktif. Sebagai intelektual, pemimpin

senantiasa menggali ide-ide baru dan solusi yang kreatif dari para

staf dan tidak lupa selalu mendorong staf mempelajari dan

mempraktikkan pendekatan baru dalam melakukan pekerjaan.

d) ”I” keempat adalah individualized consideration, pemimpin

merefleksikan dirinya sebagai seorang yang penuh perhatian dalam

mendengarkan dan menindak lanjuti keluhan, ide, harapan-harapan,

dan segala masukan yang diberikan staf.

Formulasi teori Bass meliputi tiga komponen: karisma, stimulasi

intelektual, dan perhatian yang diindividualisasi. Karisma dapat

didefinisikan sebagai proses seorang pemimpin mempengaruhi

pengikutnya dengan emosi-emosi kuat sehingga mereka kagum dan


segan dengan dirinya. Karisma adalah bagian terpenting kepemimpinan

transformasional karena pemimpin transformasional mempengaruhi

pengikutnya dengan menimbulkan emosi yang kuat dan identifikasi

dengan pemimpin tersebut. Seorang pemimpin yang memiliki karisma

berarti memiliki pengaruh yang bukan didsarkan atas kewenangan ,

melainkan atas persepsi pengikut bahwa pemimpin tersebut dikaruniai

dengan kemampuan-kemampuan yang luar biasa. Menurut Max Weber,

karisma terjadi bila ada suatu krisis sosial sehingga muncul seorang

pemimpin dengan kemampuan luar biasa dengan sebuah visi yang

radikal yang memberi pemecahan terhadap krisis tersebut. Stimulasi

intelektual ialah proses seorang pemimpin untuk meningkatkan

kesadaran pengikutnya terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi

pengikutnya untuk memecahkan masalah-masalah itu dengan perspektif

yang baru. Perhatian yang diindividualisasi ialah dukungan,

membesarkan hati, dan memberikan pengalaman-pengalaman kepada

pengikutnya untuk lebih berprestasi.

Kepemimpinan transformasional dapat dipandang secara makro

dan mikro. Jika secara mikro kepemimpinan transformasional

merupakan proses mempengaruhi antar individu, sementara secara

makro merupakan proses memobilisasi kekuatan untuk mengubah

sistem sosial dan mereformasi kelembagaan.

c. Ciri-ciri kepemimpinan transformasional


Banyak hasil-hasil studi menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan

yang terdapat dalam setiap organisasi merupakan faktor yang

berhubungan dengan produktifitas dan efektivitas organisasi. Pemimpin

institusi pendidikan sebenarnya memiliki tanggung jawab berat untuk

menumbuhkan dan membangun komitmen serta menjadikan semua

aktifitas kerja sebagai sebuah kesadaran bersama untuk memberikan

terbaik bagi institusi pendidikan. Tanggung jawab itu membutuhkan

usaha keras dan cerdas untuk mengembangkan dan menyiasati segala

kemungkinan negatif yang mungkin terjadi, seperti menurunnya mutu

input, proses dan output terhadap institusi pendidikan akibat mis-

manajemen pimpinan, demikian halnya image negative seperti tidak

antusiasnya masyarakat untuk menyekolahkan anaknya pada jenis atau

institusi pendidikan tertentu.

Kepemimpinan transformasional merupakan jenis kepemimpinan

yang menekankan pentingnya sistem nilai untuk meningkatkan

kesadaran pengikut tentang masalah-masalah etis, memobilisasi energy

dan sumber daya untuk mereformasi institusi. Pemimpin yang

transformasional mampu menggerakkan pengikut untuk terlibat aktif

dalam proses perubahan. Oleh karena itu pemimpin transformasional

biasanya memiliki kepribadian kuat sehingga mampu membangun

ikatan emoisional pengikut untuk mewujudkan tujuan ideal institusi.

Pemimpin transformasional membangun loyalitas dan ikatan emosional


pengikut atas dasar kepentingan dan sistem nilai ideal yang diyakini

strategis untuk kepentingan jangka panjang.

Adapun ciri-ciri pemimpin transformasional:

1) Mampu mendorong pengikut untuk menyadari pentingnya hasil

pekerjaan.

2) Mendorong pengikut untuk lebih mendahulukan kepentingan tim.

3) Mendorong untuk mencapai kebutuhan yang lebih tinggi.

4) Proses untuk membangun komitmen bersama terhadap sasaran

organisasi dan memberikan kepercayaan kepada pengikut untuk

mencapai sasaran.

Cunningham dan Cordeiro menyebutkan tiga hal fundamental

terkait makna penerapan kepemimpinan transformasional:

1. Membantu para anggota staf untuk mengembangkan dan memelihara

budaya kerjasama (kolaborasi).

2. Budaya professional

3. Membantu mempercepat pengembangan dan membantu pendidik

untuk memecahkan masalah lebih efektif. Pemikiran ini menjadi

sangat penting jika kita melihat fakta rendahnya kualitas pendidikan

yang berdampak langsung kualitas SDM di Indonesia selama ini.

d. Kepemimpinan transformasional dalam manajemen berbasis sekolah

Dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional

2000-2004 untuk sektor pendidikan disebutkan perlunya pelaksanaan

manajemen otonomi pendidikan. Perubahan manajemen pendidikan


dari sentralistik ke desentralistik menuntut proses pengambilan

keputusan pendidikan menjadi lebih terbuka, dinamik, dan demokratis.

Untuk dikdasmen, proses pengambilan keputusan yang otonom

dapat dilaksanakan secara efektif dengan menerapkan MBS. Menurut

komite reformasi pendidikan, kepala sekolah perlu memiliki

kepemimpinan kuat, partisipatif,demokratis. Untuk mengakomodasikan

persyaratan ini kepala sekolah perlu mengadopsi kepemimpinan

transformasional. Tipe kepemimpinan transformasional disarankan

untuk diadopsi dalam implementasi MBS, karena kepemimpinal

tranformasional sejalan dengan gaya kepemimpinan MBS, yaitu:

1. Adanya kesamaan yang paling utama, yaitu jalannya organisasi yang

tidak digerakkan oleh birokrasi, tetapi oleh kesadaran bersama.

2. Para pelaku mengutamakan kepentingan organisasi dan bukan

kepentingan pribadi.

3. Adanya partisipasi aktif dari pengikut atau orang yang dipimpin.

Pada era MBS ini untuk menjadi kepala sekolah harus dibekali

dengan kemampuan kepemimpinan, terutama kepemimpinan

transformasional. Apalagi dalam MBS kepala sekolah memiliki peran baru

sebagaimana dikemukakan Wohlstetter dan Mohrman, yaitu sebagai

designer, motivator, fasilitator. Kepala sekolah dalam menerapkan

kepemimpinan transformasional dalam era MBS adalah:

1) Kepala sekolah harus mengembangkan visi sekolah secara jelas. Visi

sekolah harus sejalan dengan tujuan utama MBS, yaitu

meningkatkan hasil belajar siswa dan kinerja sekolah secara umum.


2) Kepala sekolah harus mengajak stakeholder untuk membangun

komitmen dan kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai visi,

misi, dan tujuan pendidikan. Hal ini amat penting agar semua pihak

merasa bertanggung jawab akan keberhasilan pencapaian tujuan dan

tidak ada pihak- pihak yang merasa diabaikan.

3) Kepala sekolah harus banyak berperan sebagai pemimpin daripada

sebagai ”bos” yang didasarkan atas kekuasaan.

Apabila konsep MBS akan dilaksanakan, setiap kepala sekolah

harus benar-benar seorang yang mampu menjawab tantangan lokal,

sebagai komponen setempat atau pun nasional dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa. Kepala sekolah wajib mnemiliki

wawasan yang sungguh-sungguh luas cakupannya. Dia diharapkan

tangkas menjadi pengambil keputusan yang jitu dan bijaksana.

Dilihat dari aspek kepentingan keguruan kepala sekolah dapat

disebut sebagai orang yang yang menerapkan gaya kepemimpinan

transformasional jika mereka mampu menjalankan tugas pokok dan

fungsi mengubah energy yang ada didalam diri guru, dari laten menjadi

termanifes, dari potensial menjadi actual, dan dari formalitas menjadi

aktualitas. Dilihat dari aspek kepentingan siswa, gaya kerja

kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat transformasional akan

bermaslahat bagi usaha mendorong potensi kognitif anak menjadi

prestasi belajar kognitifnya, memanipulasi potensi keterampilan

menjadi sebuah karya dan lain-lain.


Berkaitan dengan karateristik kepala sekolah diera MBS ini maka

Slamet P.H, mengidentifikasi 17 karakteristik, yaitu:

1. Visi, misi, strategi,

2. Kemampuan mengoordinasi dan menyerasikan sumber daya dengan

tujuan,

3. Kemampuan mengambil keputusan secara terampil,

4. Toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang, tetapi tidak toleran

terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar,

dan nilai-nilai,

5. Memobilisasi sumber daya

6. Memerangi musuh-musuh kepala sekolah,

7. Menggunakan sistem cara berfikir, mengelola, menganalisis sekolah,

8. Menggunakan input manajemen

9. Menjalankan perannya sebagai manajer, pemimpin, pendidik,

wirausahawan, regulator, penyelia, pencipta iklim kerja,

administrator, pembaru, dan pembangkit motivasi,

10. Melaksanakan dimensi-dimensi tugas, proses, lingkungan, dan

keterampilan personal

11. Menjalankan gejala empat serangkai, yaitu merumuskan sasaran,

memilih fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran,

melakukan analisis SWOT, dan mengupayakan langkah-langkah

untuk meniadakan persoalan,

12. Menggalang teamwork yang cerdas dan kompak,


13. Mendorong kegiatan-kegiatan kreatif

14. Menciptakan sekolah belajar

15. Menerapkan manajemen berbasis sekolah,

16. Memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar

17. Memberdayakan sekolah.

Seperti ditulis Barnett, McCormick, Conners, studi kekinian

dampak kepemimpinan transformasional pernah dilakukan Leithwood,

Dart, Jantzi, Steinbech, Silins dimana hasil studi memberi kesan bahwa

gaya kepemimpinan seperti ini mengontribusi pada inisiatif-inisiatif

restrukturisasi, dan menurut apa yang dirasakan guru, hal ini memberi

sumbangsih bagi perbaikan belajar siswa (teacher perceived’ student

outcomes). Inisiatif restrukturisasi ini menjadi salah satu persyaratan

perubahan manajemen sekolah dari format konvensional ke MBS.

Walaupun kontribusi ini dimediasi orang lain, peristiwa, faktor-

faktor organisasi, seperti komitmen, kepuasan kerja, praktik pembelajaran

atau kultur sekolah. Hasil studi ini membuktikan bahwa komitmen guru,

kepuasan guru dalam bekerja, dan kultur sekolah memberi efek positif bagi

inisiati restrukturisasi organisasi sekolah dan perbaikan hasil belajar.

Kepemimpinan trasnformasional, memiliki focus transformasi guru

sebagai ujung tombak proses pembelajaran.

Dalam kerangka MBS, kepala sekolah disebut orang yang

menerapkan kepemimpinan transformasional jika ia mampu

menjalankan tupoksi mengubah energy yang ada dalam guru dari laten

menjadi termanifes, dari potensial menjadi aktual, dari minimal menjadi


optimal, dari formalitas menjadi aktualitas. Dilihat dari aspek

kepentingan siswa, gaya kerja kepemimpinan kepala sekolah yang

bersifat transformasional bermaslahat bagi usaha mendorong potensi

kognitif anak menjadi prestasi belajar kognitifnya, memanipulasi

potensi keterampilan menjadi sebuah karya dan lain-lain.

a. Prinsip-prinsip kepemimpinan transformasional

Paradigma baru kepemimpinan transformasional mengangkat

tujuh prinsip untuk menciptakan kepemimpinan transformasional yang

sinergis menurut (Erik Rees, 2001:34) sebagaimana yang diungkapkan

berikut:

1) Simplifikasi, keberhasilan dari kepemimpinan transformasional

adalah mengungkapkan visi yang jelas, sehingga kita akan tahu

kemana kah kita akan melangkah selanjutnya.

2) Motivasi pada kepemimpinan transformasional mendapatkan

kekuatan organisasi, dia akan mengoptimalkan anggota bawahannya

untuk mencapai perubahan individu yang diharapkan. Pihak dari

pemimpin memberi peluang bagi bawahannya agar ikut serta

3) Fasilitasi, kepemimpinan transformasional akan memfasilitas bawahannya

dalam “pembelajaran”, agar tingkat intelektualnya bertambah maju

4) Inovasi, kemampuan melakukan perubahan secara berani,

bertanggung jawab bertujuan untuk organisasi, agar berjalan secara

efektif dan efisien. Yang juga diikuti bawahanya tanpa rasa takut.
5) Mobilitas memperkuat seluruh bawahan dengan pengetahuan

intelektual yang bertujuan untuk mencapai visi-misi yang

diharapkan.

6) Siap siaga, kemampuan selalu siap, dalam menghadapi perubahan

yang akan datang dalam berbagai hal

7) Tekad, jika semua prinsip ke 6 digabungkan tanpa adanya tekad atau

kemauan mustahil akan berjalan sesuai yang diharapkan

2. Teori kepemimpinan transaksional

a. Pengertian kepemimpinan transaksional

Kepemimpinan transaksional pertama kali digagas Downton

tahun 1973. Menurut Bass sebagaimana dikutip Danim, kepemimpinan

transaksional adalah kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan

status quo. Kepemimpinan transaksional menggunakan pendekatan

transaksi untuk disepakati bersama antar pemimpin dengan karyawan.

Di sini pemimpin mengambil inisiatif untuk menawarkan beberapa

bentuk pemuasan kebutuhan karyawan seperti upah, promosi,

pengakuan, dan perbaikan kondisi kerja. Jika karyawan menerima

tawaran, mereka harus bekerja keras untuk meningkatkan produktivitas

kerjanya. Pemimpin menindaklanjuti dengan merumuskan dan

mendeskripsikan tugas-tugas dengan jelas dan operasional, menjelaskan

target yang harus dicapai, menawarkan berbagai bentuk imbalan yang

dapat memotivasi karyawan untuk bekerja keras.


Kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan dimana

seorang pemimpin memfokuskan perhatiannya pada transaksi

interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan

hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan

mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja dan

penghargaan.

Dari definisi di atas, disimpulkan bahwa kepemimpinan

transaksional diartikan sebagai cara yang digunakan seorang pemimpin

dalam menggerakkan anggotanya dengan menawarkan imbalan atau

akibat terhadap setiap kontribusi yang diberikan anggota ke organisasi.

Menurut Bycio dkk. (1995) dan Koh dkk. (1995), kepemimpinan

transaksional adalah gaya kepemimpinan dimana pemimpin

memfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara

pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran.

Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi

sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.

“Kepemimpinan transaksional merupakan proses mempengaruhi

yang menekankan pada hubungan transaksi, tawar menawar dan

pertukaran ekonomi antara pemimpin dengan bawahan”. (Yukl, 1994).

Pemimpin transaksional lebih menekankan pada pemberian imbalan untuk

memotivasi bawahannya. Gibson et al (1996) mendefinisikan

“kepemimpinan transaksional sebagai kemampuan pemimpin

mengindentifikasi keinginan bawahan dan membantunya mencapai tingkat

prestasi tinggi dengan memberikan imbalan yang memuaskan”.


b. Karakteristik kepemimpinan transaksional

- Pengadaan imbalan, pemimpin menggunakan serangkaian imbalan

untuk memotivasi anggota, imbalannya berupa kebutuhan tingkat

fisiologis (maslow).

- Eksepsi/pengecualian, dimana pemimpin akan memberi tindakan

koreksi atau pembatalan imbalan atau sanksi apabila anggota gagal

mencapai sasaran prestasi yang ditetapkan

- Mengetahui keinginan bawahan

- Terampil memberikan imbalan atau janji yang tepat

- Responsif terhadap kepentingan bawahan

c. Kondisi dalam menerapkan kepemimpinan

transaksional Secara internal

1) Struktur organisasi (mekanistik, peraturan, prosedur jelas,

sentralisasi tinggi)

2) Teknologi organisasi (teknologi proses, kontinue, mass-production)

3) Sumber kekuasan & pola hubungan anggota organisasi (sumber

kekuasaaan di dalam struktur, hubungan formal)

4) Tipe kelompok kerja (kerja tim, sifat pekerjaan umumnya

engineering/teknis)

Secara eksternal

1) Struktur lingkungan luar (baik, norma kuat, status quo)

2) Kondisi perubahan (lambat, tidakstabil, ketidakpastian rendah)

3) Kondisi pasar (stabil)


d. Tipe/gaya kepemimpinan transaksional

Tipe atau gaya kepemimpinan transaksional meliputi

dimensi/perilaku:

1) Contigent reward (Penghargaan rombongan)

Untuk mempengaruhi pemimpin memperjelas pekerjaan yang harus

dilakukan, menggunakan insentif sebagai alat mendorong pencapaiaan

hasil pelaksanaan tugas sesuai harapan

2) Management by exception (Manajemen dengan pengecualiaan)

Secara pasif untuk memengaruhi perilaku, pemimpin menggunakan

upaya koreksi sebagai respons terhadap kinerja buruk terhadap standar.

Secara aktif untuk mempengaruhi perilaku, pemimpin secara aktif

melakukan pemantauan terhadap pekerjaan yang dilakukan pegawai

dan menggunakan upaya korektif dalam

rangka memastikan bahwa pekerjaan dilakukan dan

diselesaikan sesuai standar.

3) Laissez-faire leadersif (Kepemimpinan laissez-faire)

Pemimpin ini menghindari upaya mempengaruhi bawahan,

melalaikan tugas pembinaan sebagai pimpinan, menenggelamkan

diri pada perkerjaan rutin dan menghindari konfrontasi. Mereka

banyak memberi tanggung jawab kepada bawahan, tidak

menetapkan tujuan jelas, tidak membantu pengambilan keputusan

kelompok, membiarkan semua mengalir selama semua terlihat aman.

e. Karakteristik kepemimpinan transaksional


Kepemimpinan transaksional menurut Bass memiliki karakteristik

sebagai berikut:

1) Contingent reward

Kontrak pertukaran penghargaan untuk usaha, penghargaan yang

dijanjikan untuk kinerja yang baik, mengakui pencapaian.

2) Active management by exception

Melihat dan mencari penyimpangan dari aturan atau standar,

mengambil tindakan perbaikan.

3) Pasive management by exception

Intervensi hanya jika standar tidak tercapai

4) Laissez-faire

Melepaskan tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan-

keputusannya.

3. Perbedaan kepemimpinan transformasional dengan transaksional


Pengemuka Transformasional Transaksional
Bass dan 1. Atribut-atribut pengaruh ideal 1. Kontingensi ganjaran
Avilio, 2. Perilaku pengaruh ideal 2. Manajemen dengan
1997 3. Motivasi inspirasional pengecualian aktif
4. Stimulasi intelektual 3. Manajemen dengan
5. Individualisasi konsiderasi pengecualian pasif
Bass,1985 1. Kemampuan memotivasi 1. Kemampuan
lebih tinggi memotivasi
2. Kinerja lebih baik moderat
2. Kinerja moderat
Meski ada perbedaan yang esensial kepemimpinan transformasional

dengan transaksional, konstruksi perilakunya bukan berarti saling

menafikan (mutually exclusive). Perilaku yang ditampilkan kepemimpinan

transformasional dan kepemimpinan transaksional adakalanya dibedakan

bukan atas dasar tujuan yang dikehendaki, melainkan pada kontinum

perilaku; yang mana yang satu cenderung kearah transformasi, sedang

yang lain mengedepankan transaksi. Burn membedakan antara leadership

transformasional dan transaksional. Model pertama, perhatiannya adalah

pada kemampuan menarik orang lain dalam suatu komitmen terhadap

perubahan, sementara model kedua melibatkan suatu pemeliharaan status

quo melalui pertukaran kepastian jaminan keamanan tempat kerja bagi

suatu komitmen untuk mendapatkan pekerjaan yang dilaksanakan. Sifat

dan pentingnya perubahan, yang harus terjadi jika manajemen berbasis

sekolah diimplementasikan secara sukses, menuntut kepemimpinan

transformasional yang efektif dipusat dan dimasing-masing sekolah.

Kepemimpinan transformasional adalah penting untuk mengubah budaya

sistem agar guru dan kepala sekolah menjalankan nilai inti manajemen

berbasis sekolah dan yang paling penting menjalankan pelayanan tersebut.

Cunningham dan Cordeiro menyebutkan 4 hal penting yang perlu

mendapat perhatian pemimpin untuk mewujudkan tujuan institusional secara

efektif yaitu:

1) Membuat visi

Untuk membuat visi yang ideal, menarik dan dapat dicapai, pemimpin

perlu mengkaji data dan informasi institusi pendidikan yang tersedia dan
mempelajari kebutuhan lingkungan internal dan trend perkembangan

lingkungan eksternal.

2) Merumuskan visi

Untuk mendapatkan visi yang ideal, pemimpin mengkaji kembali

kekuatan dan kelemahan internal institusi serta memprediksi

kemungkinan masa depan yang ideal yang bisa dicapai dalam kurun

waktu antara 5-10 tahun.

3) Mengkomunikasikan visi

Visi pada dasarnya adalah konsep impian masa depan yang penuh

makna bahkan misteri. Oleh karena itu visi harus disebarluaskan kepada

pihak-pihak yang bekepentingan (stakeholder) institusi pendidikan. Hal

ini dimaksudkan supaya pesan-pesan inti yang terkandung didalamnya

dapat dipahami dan dirasakan sebagai kebutuhan bersama serta menjadi

symbol kebanggaan dalam menggerakkan roda institusi.

4) Deployment

Deployment dapat diartikan sebagai bentuk upaya menerjemahkan dan

menyebarluaskan visi kedalam realita dengan cara membangun budaya

kerja yang kondusif. Deployment dalam konteks ini dapat mencegah

kecenderungan penyebaran perkembangan kearah tidak diinginkan.

Implementasi model kepemimpinan transformasional dalam

pendidikan memang perlu diterapkan seperti kepala sekolah, kepala dinas

pendidikan, pengawas BK, dirjen, kepala departemen dan lainnya. Model


kepemimpinan memang perlu diterapkan sebagai salah satu solusi krisis

kepemimpinan terutama dalam pendidikan. Alasan mengapa perlu

diterapkan kepemimpinan transformasional penting bagi organisasi yaitu:

1) Secara signifikan meningkatkan kinerja organisasi.

2) Secara positif dihubungkan dengan orientasi pemasaran jangka panjang

dan kepuasan pelanggan.

3) Membangkitkan komitmen yang lebih tinggi para anggtotanya terhadap

organisasi.

4) Meningkatkan kepercayaan pekerja dalam manajemen dan perilaku

keseharian organisasi.

5) Meningkatkan kepuasan pekerja melalui pekerjaan dan pemimpin.

6) Mengurangi stress para pekerja dan meningkatkan kesejahteraan.

4. Teori kepemimpinan karismatik

Teori ini menekankan pada kewibawaan seorang pemimpin dalam

mempengaruhi rasa tanggungjawab terhadap bawahannya dalam

memgunakan kewibawaan pribadinya. Wahjosumidjo (1999: 34), ada

beberapa indikasi sebagai ciri kepemimpinan karismatik”, yaitu:

1. bawahan menaruh kepercayaan pada kebenaran/keyakinan pemimpin;

2. ada kesamaan keyakinan bawahan dengan keyakinan pemimpin;

3. penerimaan tanpa perlu dipersoalkan atau bulat-bulat dari bawahan terhadap

pemimpin;

4. terdapat rasa kasih sayang (affection) pengikut kepada pemimpin;

5. kemauan untuk patuh dari bawahan terhadap pemimpin;


6. keterlibatan secara emosional dari bawahan dalam melaksanakan misi

organisasi;

7. mempertinggi penampilan dalam mencapai tugas dari bawahan, dan ;

8. ada keyakinan bawahan, bahwa pemimpin karismatik akan mampu

memberikan bantuan demi keberhasilan misi kelompok.

Kepemimpinan karismatik ini kebanyakan dilakukan para

Nabi/Rasul, seperti Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa

AS, dan Nabi Isa AS. Juga dialami Wali Songo seperti Sunan Gunung

Djati, Sunan Kali Jogo, dan Bung Karno (Presiden Pertama RI). Menurut

Weber (1947: 57) bahwa kepemimpinan karismatik mempunyai kapasitas

untuk merubah sistem yang ada berlandaskan persepsi pengikut yang

percaya bahwa pemimpin ditakdirkan mempunyai kemampuan istimewa.

Kemampuan karismatik akan muncul jika terjadi krisis sosial dengan visi

radikal dan menyajikan solusi terhadap krisis. Selanjutnya House Robert J

(1977) dalam bukunya ”Theori of Charismatic Leadership” membedakan

ciri kepribadian dan perilaku pemimpin karismatik dan non karismatik.

Pemimpin karismatik merupakan orang dominan, percaya diri, butuh

mempengaruhi dan percaya kebenaran kepercayaannya. Conger, Kanungo

(1988), bahwa pemimpin karismatik disamping mengkomunikasikan

tujuan ideologi, mengharapkan kinerja tinggi, berperilaku mempengaruhi

pengikutnya antara lain berupa memvisikan hari ke depan dengan sistem

sosial, memanajemeni kesan, membuat pengorbanan diri, mengambil

resiko personil, memodelkan perilaku pada pengikut untuk ditiru.


Jadi kepemimpinan karismatik adalah orang-orang yang memiliki

kharismatik dalam bertindak dan berperilaku yang dijadikan sebagai

panutan para pengikutnya, seorang pemimpin karismatik memiliki visi

yang akan dijalankan oleh para pengikutnya.

D. Hakekat Kinerja Guru PAI

1. Pengertian kinerja

Mengacu pada English Dictionary menurut Prawirosentono (1999:1)

kinerja mempunyai arti sebagai berikut :

1) Melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out; execute)

2) Memenuhi/menjalankan kewajiban suatu nazar (to discharge of fulfill; as a vow)

3) Melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to execute or

caomplete an undertaking)

4) Melakukan suatu kegiatan dalam permainan (to act a part in a play)

5) Melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan

tanggung jawabnya dengan hasil sesuai yang diharapkan (to do what is

expected of a person or machine)

Ruky (2002:14) mengungkatkan, kata ”performance” memberikan

tiga arti, yaitu: 1) ”prestasi” seperti dalam kontek atau kalimat ”high

performance car”, atau ”mobil yang sangat cepat”, 2) ”pertunjukan”

seperti dalam kontek atau kalimat ”folk dance performance”, atau

”pertunjukan tari-tarian rakyat”; 3) ”pelaksanaan tugas” seperti dalam

kontek atau kalimat ”in performing his/her duties”.


Kinerja juga berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan

dalam mengatasi masalah. Kinerja merupakan pelaksanaan fungsi-fungsi

yang dituntut dari seseorang. Kinerja juga merupakan tanda berhasil atau

tidaknya seseorang atau organisasi dalam melaksanakan pekerjaan nyata

yang ditetapkan dengan standar tertinggi dari orang tersebut, yang

melampaui apa yang diminta atau diharapkan (Whitmore, 1996:104-105).

Dengan demikian maka perlu adanya tindakan yang akurat dalam

meningkatkan kinerja dan mendalami permasalahan yang mengganggu

kinerja seseorang. Kinerja mengandung makna hasil kerja, kemampuan

atau prestasi pegawai dan guru atau dorongan untuk melaksanakan suatu

pekerjaan. Oleh karena itu kinerja selalu menunjukan suatu keberhasilan

individu atau organisasi dalam mencapai target atau sasaran tersebut

merupakan kinerja. Kinerja adalah hasil kerja seseorang dalam suatu

periode tertentu yang dibandingkan dengan beberapa kemungkinan,

misalnya standar target, sasaran, atau kriteria yang telah ditentukan

terlebih dahulu (Suprihanto, 1996:16).

Maka berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja yang

telah dicapai oleh seseorang dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan

berdasarkan atas standarisasi atau ukuran dan waktu yang disesuaikan

dengan jenis pekerjaannya dan sesuai dengan norma dan etika yang ada.

Seperti diungkapkan Cascio (1995) dalam Nawawi Hadari (2000:

122) faktor yang dipengaruhi mutu dan kinerja adalah:


(1) Partisipasi SDM, (2) pengembangan karir, (3) komunikasi,
kesehatan, keselamatan kerja, (4) penyelesaian konflik, (5) insentif
yang baik, (6) kebanggaan. Suprihanto menyebutkan bahwa aspek-
aspek yang dapat digunakan untuk menilai kinerja atau prestasi kerja
diantaranya: (1) kemampuan kerja, (2) kerajinan, (3) disiplin, (4)
hubungan kerja, (5) prakarsa, (6) kepemimpinan atau hal-hal khusus
sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya.

Kinerja merupakan fungsi dari interaksi antara ability (kemampuan

dasar) dengan motivation (motivasi) yaitu kinerja (performance) P =

(AxM) (Robbins, 1994: 187). Dari teori tersebut menunjukan bahwa orang

yang memiliki kemampuan dasar yang tinggi tetapi memiliki motivasi

yang rendah demikian pula halnya apabila orang yang sebenarnya

memiliki motivasi yang tinggi tetapi kemampuan dasar yang rendah, maka

kinerjanya pun rendah pula. Jadi dengan demikian maka disamping

memiliki kemampuan dasar yang tinggi juga harus dikuatkan motivasi

yang tinggi pula untuk memperoleh suatu kinerja yang tinggi, dan motivasi

dapat diartikan sebagai suatu usaha yang menimbulkan dorongan untuk

melakukan suatu tugas. Karena itu, konsep penting dari teori di atas adalah

bahwa untuk mengungkap dan mengukur kinerja guru dapat dilakukan

dengan menelaah kemampuan dasar guru atau pelaksanaan kompetensi

dasar guru dalam membangkitkan motivasinya.

Kinerja merupakan hasil kerja seluruh aktivitas dari seluruh

komponen sumber daya yang ada. Kinerja atau performance adalah hasil

kerja yang dicapai seseorang/sekelompok orang dalam suatu organisasi

sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka


mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum sesuai

dengan norma maupun etika (Suryadi Prawiro Sentono, 1999: 1).

Kinerja seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman, latihan,

pendidikan dan karakteristik mental serta fisik, di samping itu kinerja juga

dipengaruhi oleh aspek bahasa, aspek hukum, kebudayaan setempat yang

merupakan tambahan spesifik penting lainnya. Untuk penilaian kinerja

oleh John Suprihanto, (1996: 2) dapat ditujukan pada berbagai aspek yaitu;

(1) kemampuan kerja, (2) kerajinan, (3) disiplin, (4) hubungan kerja, (5)

prakarsa dan kepemimpinan atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan

level pekerjaan yang dijabatnya.

Hal yang mudah mempengaruhi kinerja adalah imbalan yang

diperoleh, hadiah yang diberikan baik hadiah dari luar maupun dari dalam

akan dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Hadiah tersebut dapat

memotivasi untuk melakukan pekerjaan lebih baik. Sesuatu yang paling

berperan untuk memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan lebih

baik adalah adanya hadiah. Hal tersebut diperlukan kemampuan

menciptakan lingkungan kerja kondusif dan pemberian penghargaan.

2. Kinerja guru PAI

Untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru PAI di SMA,

diperlukan manajemen kinerja guru. Mengenai hal ini Sianipar (1999:12)

menyatakan bahwa manajemen kinerja guru adalah proses pemahaman apa

yang harus dicapai dalam menyatukan tujuan organisasi dengan tujuan


individu, dan bagaimana cara mengatur aktivitas dan sumber daya yang

tepat agar tujuan atau kinerja yang diinginkan dapat tercapai.

Menurut Otji S (2000:28), bahwa manajemen kinerja guru PAI dapat

ditingkatkan paling tidak melalui lima aktivitas adalah sebagai berikut: (1)

perencanaan program pembelajaran, hal-hal yang perlu dilakukan adalah

menetapkan materi, tujuan, sasaran, sumber bahan, metode, rencana

penilaian, (2) melaksanakan program pembelajaran, meliputi persiapan

pelaksanaan dan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana, (3) evaluasi

hasil pelaksanaan pembelajaran untuk mengetahui hasil belajar melalui

ulangan, PR, tes atau ujian, (4) analisis hasil pelaksanaan program

pembelajaran, dan (5) tindak lanjut pelaksanaan program pembelajaran.

Menurut UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas bahwa pendidik

merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan

pelatihan. Guru adalah seorang tenaga profesional yang dapat menjadikan

siswanya mampu merencanakan, menganalisis dan menyimpulkan

masalah yang dihadapi (Syafrudin Nurdin, 2005: 7). Seorang guru tidak

hanya terbatas pada status sebagai pengajar saja, namun peranan guru

lebih luas lagi yaitu seabgai penyelenggaraan pendidikan untuk

meningkatkan mutu pendidikan atau mutu produktivitas.

Kinerja guru yang baik adalah yang kuat dalam menghadapi

tantangan pekerjaannya, jujur, dan dapat dipercaya, hal ini telah

dipertegaskan dalam Q.S. Al-Qoashash 28:26, Allah berfirman:


  
    
 
 
Artinya: ”Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku

ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya

orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah

orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

Dan kinerja menurut surat Al-Infithaar, 10-12 Allah berfirman:

   


   
   
Artinya: Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (Malaikat-malaikat)

yang mengawasi (pekerjaanmu), Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat

(pekerjaan-pekerjaanmu itu), Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kinerja guru sebagai tenaga kependidikan dan sebagai PNS baik di

lembaga sekolah, berperan sebagai pengelola pendidikan. Maka sebagai

guru dalam melaksanakan tugas menjadi tanggung jawabnya di sekolah

dalam rangka mencapai tujuan, terkait dengan prestasi belajar siswa. Guru

sebagai unsur strategis dan ujung tombak dalam merealisasikan tujuan

untuk mewujudkan produktivitas sekolah yang berkualitas. Pendidikan

harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen

pembelajaran, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk

mekan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi sebagai agen pembelajaran

pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia
dini meliputi; (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3)

kompetensi profesional, dan (4) kompetensi sosial (PP 19/2005: 23-24).

Kinerja guru merupakan faktor penting dan strategis dalam

meningkatkan kerja sekolah, karena itu harus menjadi perhatian utama

bagi pimpinan dan seluruh jajaran pendidikan pada pelbagai tingkat.

Penelitian ini ingin mengetahui seberapa besar pengaruh pembinaan,

kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru PAI. Teori yang

digunakan berasal teori Pendapat Victor Vroom dalam As’ad (1995:59)

”kinerja atau performance adalah hasil perkalian antara motivasi dengan

kemampuan atau dirumuskan sebagai: Kinerja = f (motivasi x

kemampuan)”. Menurut M. Blunberd dalam Robbins (1996:223) bahwa:

Kinerja merupakan fungsi perkalian dari kemampuan, motivasi dan

kesempatan berprestasi (Opportunity to perform). Dengan menggunakan

rumus: Kinerja = f (kemampuan x motivasi x kesempatan berprestasi).

Pengertian kesempatan berprestasi adalah kesempatan untuk mencapai

kinerja yang lebih tingi apabila bantuan dan fasilitas dari luar seperti

kondisi tempat kerja, tercukupinya informasi yang diperlukan dan adanya

aturan dan prosedur kerja

Pendapat di atas menggambarkan bahwa kinerja guru PAI adalah

kemampuan yang ditunjukkan guru PAI dalam melaksanakan tugas atau

pekerjaannya. Kinerja guru PAI dikatakan baik dan memuaskan apabila

tujuan yang dicapai sesuai standar yang telah ditetapkan. Disamping itu
juga bahwa kinerja merupakan kombinasi dari tiga elemen yang saling

berkaitan yakni keterampilan, upaya sifat keadaan, dan kondisi eksternal.

3. Kompetensi Guru PAI

Mengenai Standar Kompetensi, ada dua hal yang harus menjadi

perahtian dan pertimbangan dunia pendidikan, yakni standar kompetensi

yang harus dimiliki oleh guru sebagai tenaga edukatif , dan standar

kompetensi lulusan. Kedua amat berkaitan, karena keduanya memiliki

posisi penting dalam proses pendidikan dan pembelajaran, yang stu pihak

sebagai subyek dan diphak lain selaku obyek. Keberhasilan lulusan dengan

kompetensinya, tentunya berkat dukungan dan usaha guru yang kompeten

pula.

Guru selaku subyek penting pendidikan yang mengatur sekaligus

meneglola kegiatan dalam proses pendidikan, tettunya tidak saja sebagai

transformer pengetahuan, namun juga harus sikap dan kemampuan yang

kompten. Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan

dosen, paling tidak ada empat kompetensi uang harus dimiliki oleh guru

diantaranya;

Kompetensi Pedagogik, merupakan kemampuan seorang guru dalam

mengelola pembelajaran peserta didik, perancangan dan pelaksanaan

pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik

untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.


Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan kepribadian guru yang

mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta

didik, dan berakhlak mulia.

Kompetensi Profesional adalah kemampuan penguasaan materi

pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya

membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi, dan

Kompetensi Sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari

masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta

didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik,

dan masyarakat sekitar.

Guru sebagai tenaga pendidik sudah sepatutnya memiliki

kompetensi-kompetensi tersebut di atas sebagai “modal dasar” untuk

menhasilkan outcam yang kompeten. Kemampuan kompetensi sebagai

standar aplikasi yan digariskan oleh undang-undang nomor 14 tahun 2005,

sebuah tantangan duania pendidikan bisakah “pemerintah” sebagai

penentu kebijakan dan para perancang undang-undang untuk

merealisasikannya. Seriuskan pemerintah menyeleksi secara jujur,

mengawasi secara amanah, dan mengevaluasi secara fathonah. Undang-

undang memilIki aspek hokum yang tidak ringan seriuskah pemerintah

dan para penentu kebijakan jujur dan selektif dalam menentukan kualifkasi

pendidik, mengupayakan kesejahteraan yang layak tanpa diskriminasi.

Dan ikhlashkan para pendidik mengajarkan dan mendidik sesua dengan

tugas dan tanggung jawab masing-masing. Lantas bisakah dengan tegas,


menegur, memperingatkan bahkan “mendergadasi” para pendidik yang

mengingkari (mangkir)? Me-restrukturisasi lembaga pendidikan yang

tidak “ta’at” undang-undang?

Sebagian besar persepsi masyarakat, guru adalah sebagai pekerjaan

dan kedudukan mulia, guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan

pendidikan, ilmu pengetahuan, pembangunan SDM, pembangunan

peradaban, pembawa kultur, reformer, visioner, pembangkit nasionalisme,

karakter bangsa. Dengan demikian guru tidak hanya mencerminkan suatu

profesi yang memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan

profesional, tetapi guru harus dapat mencerminkan representasi dari

berbagai kedudukan mulia. Dan dipancarkan melalui kepribadian guru

dimana berada baik saat di kelas, sekolah, keluarga, dan di masyarakat.

Penulis berpandangan: “guru teladan” itu tidak cukup dinilai pada

saat berada di dalam kelas, hanya cakap mengaplikasikan metode dalam

mentransfer ilmu pengetahuan, fakta-fakta, dan informasi kepada peserta

didik, akan tetapi harus mengaplikasikan nilai-nilai keimanan dan

ketaqwaan serta ahlak mulia, baik ke peserta didik, keluarga, masyarakat.

Kemudian dapat menciptakan hasil karya yang bermanfaat bagi dirinya,

keluarga, masyarakat. Sehingga dengan hasil karyanya, guru memperoleh

‘kembalian pendidikan (return of education)’ untuk diri dan keluarganya

sehingga keluarga guru tampil beda dengan performen yang unggul

dibanding keluarga lain, baik saat berhubungan dengan sesama manusia

maupun dengan sang Pencipta Allah SWT. Itulah guru teladan atau
berkinerja baik sebenarnya. Semua ini dilandasi Firman Allah SWT dalam

Q.S. AL-Hujurat ayat 13 artinya “Sesungguhnya orang yang paling mulia

diantara kamu di sisi Allah SWT, adalah orang yang paling bertaqwa

diantara kamu” dan dijelaskan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW

“bahwa orang yang paling baik adalah orang yang membawa manfaat bagi

dirinya dan orang lain” kemudian dalam hadits lain Rasulullah SAW

bersabda “Sebaik-baiknya kalian adalah orang yang paling baik kepada

kelurganya dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku”.

Penulis berpendapat sekurang-kurangnya ada empat tuntunan yang

dapat dijadikan tuntutan dalam membentuk dan mengaplikasikan

kepribadian menuju guru teladan atau berkinerja baik, pertama; guru

harus melakukan self education, kedua; guru harus mengintegrasikan

iman, ilmu, dan amal dalam proses pembelajaran, ketiga; guru harus terus

belajar dan belajar, keempat; guru harus dapat menjaga lisannya.

1) Membangun keteladanan sejak pendidikan informal, nonformal, formal

Menurut UU No, 20/2003 bahwa untuk menumbuh kembangkan

keteladan perlu dilakukan beberapa hal, pertama, awalnya pendidikan

di rumah, otomatis orang tua berperan sebagai guru, yang harus

memberikan keteladan dan akhlak mulia kepada anaknya, dalam

berperilaku, baik ucapan, perbuatan. Dalam hal ini dibutuhkan

keterkaitan pemerintah untuk melakukan pembinaan orang tua melalui

PKK, kedua, ketika orang tua menyerahkan anaknya di PAUD, tidak

berarti peran orang tua sudah selesai dan sepenuhnya diserahkan ke


guru PAUD, tidak, karena inti proses pembelajaran PAUD adalah

melanjutkan pendidikan di rumah yakni memberikan contoh nilai-nilai

keteladan dan akhlak mulia, sebagai upaya membentuk kepribadian

anak, bukan harus segera membaca dan menulis, ketiga, ketika orang

tua menyerahkan anaknya di sekolah maka orang tua masih tetap

berperan sebagai guru, dan guru SD, SMP, SMA harus dapat membawa

nilai-nilai keteladan yang dicontohkan orang tua di rumah dan guru di

PAUD. Sehingga nilai-nilai keteladan terus-menerus hadir sepanjang

pendidikan formal berlangsung, keempat, guru SD, SMP, SMA dalam

melaksanakan proses pembelajaran selama ini bersifat transmisi harus

dirubah menjadi transformasi, dengan tetap mengintegrasikan iman,

ilmu, amal, kelima, memberdayakan sumber daya guru PAI yang

jumlahnya sangat terbatas, dalam proses manajemen sekolah, karena

manajemen sekolah tidak lepas dari proses, yang akhirnya kontribusi

guru PAI terhadap pembinaan peserta didik lebih maksimal, keenam,

kepemimpinan pendidikan diupayakan mengaplikasikan ilmu agama,

sosiologi, psikologi, filsafat dalam proses pendidikan.

2) Saatnya kembali meneladani pemimpin Nabi Muhammad SAW

Belajar dari kehidupan Nabi Muhammad SAW yang telah sukses dalam

berbagai bidang, diantaranya adalah: Sukses dalam pengembangan diri

dan diakui sebagai pemimpin paling disegani di zamannya. Michaael H.

Hart mengatakan: “Orang orang hebat seratus jumlahnya dan yang

paling hebat adalah Muhammad”. Begitu pula dalam kepemimpinan


sosial dan politik berhasil membangun dan meletakkan dasar sistem

berbangsa dan bernegara, sehingga bangsa arab sebelum kedatangan

Nabi Muhammad SAW, tergolong “Jahilliyah” dan terbelakang segi

agama, moralitas dan pendidikan. Tapi dengan datangnya Nabi

Muhammad SAW, semuanya berubah dari bangsa yang tidak memiliki

peradaban menjadi peradaban tinggi dan diakui dunia. Sukses di bidang

bisnis, Nabi termasuk wirausahawan milioner, bidang ini merupakan

unsur penting dalam meraih kesuksesan hidup tapi Nabi dalam

berbisnis selalu berorientasi pada rezeki yang halal. Sukses dalam

membina kehidupan keluarga, kanjeng nabi berhasil membangun

keluarga yang harmonis, Ia menjadi suami yang bijaksana, ayah

idaman, kakek teladan, dan mertua penuh perhatian Sukses di bidang

dakwah, nabi contoh seorang pendakwah sangat sukses, dan menjadi

pendidik yang diteladani umat, tidak hanya Islam, dan sebagi bukti

nyata yang tak terbantahkan adalah kaum muslimin tersebar di seluruh

penjuru dunia. Sukses di bidang hukum, nabi memberikan contoh

penegakkan hukum tanpa pandang bulu, penegakkan hukum dengan

keadilan, mengedepankan kemaslahatan, tidak memberatkan, flexible.

Sukses di bidang militer, kanjeng nabi adalah panglima perang yang

hebat, karena mampu mengalahkan musuh tanpa jatuh korban yang

banyak. (Syafii Antonio, 2010)

Ingin penulis pertegas bahwa pembinaan, kepemimpinan dan kinerja

guru teladan atau berkinerja baik jika melakukan tugas memimpin,


mengajar, melatih dan membimbing diyakini sebagai ibadah kepada Allah

SWT, sehingga kemana pun ia bertugas selalu membawa iman, ilmu amal,

dan akhlak mulia yang pada akhirnya semua bentuk tugas didasari dengan

keikhlasan dan hanya Allah SWT semata tidak karena yang lain. Jika guru

teladan itu diumpamakan sebuah bangunan, maka pondasinya nilai-nilai

keimanan dan ketaqwaan, bangunannya adalah ilmu pengetahuan, amal-

amal saleh, dan atapnya adalah keikhlasan. Sabda Nabi Muhammad SAW

“celaka bagi orang orang yang beriman apabila tidak mempunyai ilmu

pengetahuan, celaka orang yang berilmu jika tidak beramal, dan celaka

orang yang beramal jika tidak ikhlas”.

E. Analisis tentang Pembinaan, Kepemimpinan, dan Kinerja Guru PAI

Dalam pembahasan tentang pembinaan, kepemimpinan, dan kinerja

guru PAI ini, lebih fokus kepada empat domain kompetensi yang harus

dimiliki guru PAI dalam melaksanakan kinerja sebagai guru PAI, yakni

memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional

Penelitian yang dilakukan adalah pembinaan, kepemimpinan yang

dilakukan kepala sekolah terhadap kinerja guru PAI sebagai upaya untuk

mengetahui, mengukur dan menilai peningkatan profesionalisme guru. Di

dalam suatu organisasi atau lembaga unsur pimpinan atau unit kerja adalah

yang paling bertanggung jawab terhadap upaya perbaikan apabila ditemukan

kelemahan, kekeliruan atau penyimpangan dalam pelaksanaan suatu

pekerjaan, sehingga dalam hal tersebut kesadaran diri sebagai seoarang


profesional menjadi sangat penting guna mencegah terjadinya penurunan

kinerja atau pelaksanaan kerja yang rendah.

Pembinaan mempunyai berbagai kegiatan yang ditunjukan untuk

menjamin segala aktivitas sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Pada

dasarnya rencana dan pelaksanaan merupakan satu kesatuan tindakan,

walaupun hal ini jarang terjadi. Pembinaan dan kepemimpinan diperlukan

untuk melihat sejauh mana hasil tercapai. Pembinaan dan kepemimpinan

merupakan bagian dari fungsi manajemen. Menurut Gullick fungsi dari

manajemen terdiri dari planning, organizing, staffing, directing, controling,

budgeting. Sedangkan Sutisna (1993:175) proses dari manajemen terdiri dari

pengambilan keputusan, perencanaan, organisasi, komunikasi, koordinasi,

pengawasan dan penilaian. Dari kedua pernyataan tersebut dapat kita lihat

bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi utama dari manajemen.

Banyak para ahli yang mengemukakan pengertiannya tentang

pembinaan, salah satunya yaitu Rifai (1997:11) mengemukakan bahwa:

Pembinaan mempunyai arti luas, tidak hanya dalam arti


melihat/memperhatikan apa yang terjadi dan bagaimana terjadinya,
tetapi mengandung arti “mengendalikan”, yaitu mengusahakan agar
kegiatan benar-benar sesuai dengan rencana dan tertuju kepada
pencapaian hasil yang telah ditentukan. Karena itulah pengawasan
diartikan sebagai kontrol. Kontrol dapat didefinisikan sebagai “suatu
proses yang mengusahakan agar kegiatan-kegiatan suatu organisasi
terbimbing dan terahkan kepada tujuan yang telah direncanakan.

Pengertian di atas dititik beratkan pada proses kontrol yang dilakukan

oleh organisasi terhadap pelaksanaan program-programnya. Organisasi ini

membandingkan perencanaan program dengan pelaksanaan programnya.


Sesuai dengan pengertian yang dikemukakan sebelumnya mengartikan

pembinaan sebagai proses pengamatan yang dilakukan terhadap aktivitas

organisasi sehingga diperoleh keyakinan bahwa kegiatan organisasi dapat

dilaksanakan sesuai dengan semestinya. Hal ini disebabkan karena dalam

pengamatan tersebut nantinya organisasi akan selalu mengendalikan dan

menangani apabila ada kendala-kendala yang ditemui. Lebih lanjut

diungkapkan pula bahwa pengawasan ini diarahkan pada orang yang

merupakan SDM, kegiatan yang merupakan program organisasi, dan benda

yang merupakan sumber daya material organisasi.

Dari pengertian-pengertian yang telah diungkapkan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pembinaan merupakan proses pengamatan atau penelaah

yang dilakukan organisasi terhadap aktivitasnya yang tengah dilakukannya

sehingga diperoleh suatu kepastian bahwa program organisasi dapat

dilakukan sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Menurut Murdick, (Fattah, 2004:101) bahwa: pembinaan merupakan

proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan bagaimanapun rumit dan

luasnya suatu organisasi. Proses dasarnya meliputi tiga tahap yaitu: (1)

menetapkan standar pelaksanaan, (2) pengukuran pelaksanaan pekerjaan

dibanding standar, (3) menentukan kesenjangan antara pelaksanaan dengan

standar dan rencana. Sujamto (1986:72) pengawasan adalah segala usaha atau

kegiatan untuk mengetahui dan menilai pelaksanaan tugas atau kegiatan.

Menurut Sutisna (1993:240) proses tindakan pembinaan terdiri dari

empat langkah, yaitu:


1. Menetapkan suatu kriteria atau standar pengukuran/penilaian;

2. Mengukur/menilai perbuatan (performance) yang sedang atau sudah

dilakukan;

3. Membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan

menetapkan perbedaannya jika ada;

4. Memperbaiki penyimpangan dari standar dengan tindakan perbaikan.

Jadi, pembinaan menyarankan adanya tujuan dan rencana. Semakin

jelas, lengkap dan terkoordinasi rencana semakin lengkap pembinaan

administratif yang bisa dijalankan. Pembinaan yang ideal, seperti

perencanaan, pada hakikatnya melihat ke depan, sistem pembinaan yang

paling baik memperbaiki penyimpangan-penyimpangan dari rencana sebelum

terjadi. Cara kedua sesudah yang terbaik itu ialah mendeteksi penyimpangan-

penyimpangan bila itu terjadi.

Pelaksanaan pekerjaan di lingkungan instansi pemerintahan termasuk di

sekolah-sekolah memerlukan adanya pembinaan yang secara institusional

yang bertujuan antara lain agar semua komponen sistem bergerak secara

koordinatif dan sinergik menuju ke satu arah pencapaian tujuan secara efektif

dan efisien. Dalam jangka pendek, pembinaan dan kepemimpinan dilakukan

untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lingkungan

organisasi yang dalam jangka panjang memberi dampak terhadap

produktivitas organisasi atau kinerja guru.

Menurut Murdick pembinaan merupakan proses dasar yang secara

esensial tetap diperlukan bagaimana rumit dan luasnya suatu organisasi.


Proses dasarnya terdiri dari tiga tahap (1) menetapkan standar pelaksanaan,

(2) pengukuran pelaksanaan pekerjaan dibandingkan dengan standar, (3)

menentukan kesenjangan antara pelaksana dengan standar dan rencana.

Pembinaan oleh kepala sekolah atau disebut juga dengan pembinaan,

merupakan proses atau usaha-usaha untuk mengawasi serta mengendalikan

kinerja guru agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan

tuntutan dan harapan masyarakat. Hal ini senada dengan Sujamto (2004: 23)

mengatakan bahwa pembinaan pimpinan yaitu berupa tindakan atau kegiatan

atau usaha untuk mengawasi dan mengendalikan anggota organisasi secara

langsung yang harus dilakukan setiap pimpinan organisasi yang

bagaimananpun juga”.

F. Hakekat Pembinaan, Kepemimpinan, Kinerja Guru Berkaitan Angket

Penelitian

Pembinaan dan kepemimpinan oleh kepala sekolah merupakan proses

atau usaha-usaha untuk mengawasi serta mengendalikan kinerja guru agar

dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan tuntutan dan harapan

masyarakat. Menurut UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas bahwa pendidik

(guru) merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.

Data angket penelitian pembinaan kepala sekolah terhadap kinerja guru

PAI adalah: merencanakan peningkatan kinerja guru PAI, mengalokasikan

waktu pelaksanaan pembinaan, jadwal pelaksanan pembinaan, melaksanakan

supervisi kelas, mendiskusikan hasil supervisi dengan guru PAI,


membimbing guru PAI untuk perbaiki kinerja, mengecek persiapan mengajar

guru PAI, memberikan kesempatan guru PAI untuk studi lanjut dan pelatihan,

mengupayakan peningkatan kesejahteraan, sebagai sumber panutan,

mengontrol kehadiran di kelas, mencatat penyimpangan yang terjadi,

memberikan teguran bersifat mendidik yang melanggar disiplin, tindak lanjut

pembinaan berupa penghargaan dan hukuman, rencana perbaikan pembinaan

tahun depan.

Kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru PAI menunjukkan

bahwa guru PAI berakhlak mulia dan keteladan, memiliki integritas

kepribadian, terbuka, mengendalikan diri, memiliki bakat dan minat jabatan,

menyusun perencanaan sekolah, menciptakan budaya dan iklim sekolah,

mengelola guru dan staf, sarpras, hubungan sekolah dan masyarakat,

pengembangan kurikulum dan kegiatan PAI, keuangan, ketatausahaan,

memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, melakukan monitoring,

evaluasi, dan pelaporan, menciptakan inovasi, bekerja keras, memiliki

motivasi yang kuat, mencari solusi terbaik, memiliki naluri kewirausahaan,

merencanakan program supervisi akademik, melaksanakan supervisi

akademik, menindaklanjuti hasil supervisi akademi, bekerja sama dengan

pihak lain, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, memiliki kepekaan sosial.

memahami karakteristik peserta didik, mengidentifikasi kesulitan belajar

dalam pelajaran yang diampu, menerapkan pendekatan, strategi, metode,

teknik pembelajaran yang mendidik dalam pelajaran yang diampu,

menentukan tujuan pembelajaran yang diampu, memilih materi pembelajaran,


menyusun rancangan pembelajaran lengkap, baik kegiatan di kelas, lab,

lapangan, melaksanakan pembelajaran yang mendidik di kelas, lab, lapangan

dengan memperhatikan standar keamanan, memanfaatkan teknologi informasi

dan komunikasi dalam pembelajaran, menyediakan berbagai kegiatan

pembelajaran, berkomunikasi efektif, empatik, mengadministrasikan

penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai

instrumen, memanfaatkan informasi hasil penilaian, evaluasi pembelajaran

untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, memanfaatkan hasil reflektif

untuk perbaikan, pengembangan pembelajaran yang diampu, berperilaku

yang dapat diteladani, pribadi arif berwibawa, bangga menjadi guru dan

percaya diri, berperilaku sesuai dengan kode etik profesi guru, inklusif,

obyektif terhadap peserta didik, sejawat, lingkungan, tidak bersikap

diskriminatif dalam program pembelajaran dan mengatasi kesulitan belajar

peserta didik, melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja untuk

mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan, berkomunikasi

dengan sejawat, profesi ilmiah, dan komunikasi ilmiah lainnya melalui media

dlm meningkatkan kualitas pendidikan. menganalisis materi, struktur, konsep,

pola keilmuan yang mendukung pelajaran, memahami standar kompetensi

dan kompetensi dasar untuk menentukan tujuan pembelajaran, memilih

materi pembelajaran sesuai tingkat perkembangan, mengikuti kemajuan

zaman dari berbagai sumber, memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi dalam berkomunikasi.


Potensi dan keunggulan guru PAI yang memiliki kinerja baik, adalah:

mempunyai kedalaman pengetahuan manajemen pembelajaran, menggunakan

teknik, model yang kuat, memiliki landasan yang baik tentang pendekatan

ibadah, melaksanakan pengukuran, penilaian, dan penelitian, dapat bekerja

dalam berbagai kehidupan.

Masalah kinerja guru PAI di SMA Kabupaten Subang umumnya terkait

dengan kondisi obyektif yang dihadapi diantaranya, adalah: guru PAI kurang

memperhatikan karakter peserta didik yang masa bodoh, tidak

bersemangat/kurang motivasi. Sehingga kebiasaan dan sifat peserta didik

yang jelek tidak berubah ke arah yang lebih baik, guru PAI kurang

memperhatikan perubahan perilaku peserta didik, guru PAI mengukur

perubahan perilaku peserta didik dilihat dari aspek kemampuan kognitif saja

sementara afektif, psikomotorik diabaikan, proses pembelajaran belum

menyentuh semangat untuk bermotivasi, disiplin, tanggungjawab peserta

didik dalam meningkatkan kemajuan dan kualitas, lemahnya penguasaan

manajemen dan budaya pembelajaran mengakibatkan terhambatnya berbagai

upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kinerja guru PAI

menitikberatkan pada tuntutan administrati dari pada budaya proses

pembelajan yang bermutu, guru PAI mengajar apa adanya tanpa

memperhatikan tingkat karakteristik, kemampuan, dan gaya belajar, kurang

peduli terhadap pembelajaran sehingga mereka menghiraukan keberadaan

peserta didik, apakah mereka sudah terlayani dengan baik atau belum.
Sedangkan kelemahannya adalah sistem pendidikan nasional dengan

sering berubahnya kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak

akan berdampak kepada kinerja guru PAI. Out put lembaga pendidik dan

tenaga kependidikan sebagai institusi penghasil tenaga guru, lembaga

pendidik dan tenaga kependidikan memiliki tanggungjawab dalam

menciptakan guru berkualitas dan tentunya suatu ketika berdampak pada

pembentukan sumber daya manusia berkualitas.

You might also like