You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perceraian atau putusnya perkawinan adalah terputusnya ikatan perkawinan


antara seorang pria dengan seorang wanita. Adat mayoritas masyarakat Indonesia
yang dinamakan putusnya perkawinan adalah ketika suami mengucapkan kata talak,
mereka menganggap bahwa hal tersebut sebagai tanda bahwa ikatan perkawinan telah
putus, akan tetapi sesungguhnya di Indonesia sendiri sudah memiliki peraturan sendiri
tentang perceraian, bahwa perceraian baru dianggap putus setelah diputus di hadapan
Pengadilan Agama.
Mengenai perceraian, Islam mengambil posisi tengahtengah, antara melarang
dan membolehkan tanpa batas. Larangan perceraian mungkin sangat ideal tetapi sulit
diterapkan. Sebab, pengendalian diri secara mutlak merupakan hal yang mustahil.
Menurut ideologi Islam, kaidah hukum yang bersifat melarang hanya diterapkan
sejauh manusia bisamencapainya. Sebaliknya, kebebasan tanpa batas tidak masuk
akal dan hanya menimbulkan kemelut, bahaya, dan kerusakan.Perceraian merupakan
sesuatu yang dapat timbul atau terjadi karena adanya suatu ikatan perkawinan.
Perceraiain adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang di tentukan Undang-Undang. Oleh karena
itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-
akibat yang mungkin timbul setelah suami istri itu perkawinannya putus. Perceraian
hanya dapat terjadi apabila dilakukan didepan pengadilan, baik itu suami karena
suami yang telah menjatuhkan cerai (talak), ataupun karena istri yang menggugat
cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Putusnya Perkawinan

Perceraian berasal dari kata dasar cerai, yang berarti putus hubungan sebagai
suami istri. Menurut bahasa perceraian adalah perpisahan antara suami dan istrinya.
Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata cerai, yang
berarti pisah, putus hubungan sebagai suami istri.1
Menurut pokok-pokok hukum perdata bahwa perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan Hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.2
1. Perceraian Menurut Hukum Islam
Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan Pengadilan Agama,
baik itu karena suami yang menjatuhkan cerai (talak) ataupun karena istri yang
menggugat cerai atau memohon hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun
dalam agama Islam, perkawinan yang putus karena perceraian dianggap sah
apabila diucapkan seketika oleh suami, namun harus tetap dilakukan di depan
pengadilan. Tujuannya adalah untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang
timbul sebagai akibat hukum perceraian itu.
Dalam hukum Islam, talak merupakan sesuatu yang halal namun dibenci oleh
Allah swt. Perceraian baru dapat dilaksanakan apabila dilakukan berbagai cara
untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk tetap mempertahankan keutuhan
rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan jalan
perceraian. Dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah sebagai jalan
keluar bagi suami istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah
terjadinya perceraian. Selain itu, perceraian merupakan sesuatu yang dibolehkan
namun dibenci oleh agama.

2. Perceraian Menurut Peraturan Perundang-Undangan


Kata cerai dalam kamus diartikan sebagai pisah, putus hubungan sebagai
suami-istri atau lepasnya ikatan perkawinan. Inilah pemahaman umum terkait
dengan istilah cerai. Namun menurut hukum tentunya cerai ini harus berdasarkan
1
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 164.
2
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, h. 42.
pada aturan hukum yang berlaku. Perceraian tidaklah begitu saja terjadi tanpa
melalui runtutan prosedur hukum melalui lembaga peradilan, baik melalui
Pengadilan Agama bagi orang yang beragama Islam, maupun Pengadilan Negri
bagi yang beragama selain atau non Islam.3 Perceraian adalah suatu keadaan di
mana antara seorang suami dan seorang istri telah terjadi ketidak cocokan batin
yang berakibat pada putusnya suatu ikatan perkawinan melalui putusan
pengadilan. Mengenai persoalan putusnya perkawinan, atau perceraian diatur
dalam Pasal 38 sampai Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan.4
Disebutkan dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan
dapat putus karena:
a. kematian
b. perceraian
c. atas putusan pengadilan

B. Putusnya Perkawinan Akibat Perceraian


Salah satu penyebab putusnya perkawinan adalah perceraian, perceraian
Menurut Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 395 dengan Pasal 36 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.6 Perceraian adalah Perceraian adalah putusnya
ikatan lahir batin anatar suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan
keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri. Dalam kenyataannya prinsip-prinsip
berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan sehingga suami dan istri tidak lagi
merasa tenang dan tentram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling
mencintai satu sama lain yang berakibat akan terjadinya perceraian.
Perceraian berakibat hukum putusnya perkawinan, putusnya perkawinan itu
tergantung kepada siapa yang menginginkannya. Dalam hal ini ada tiga penjelasan
mengenai macam-macam talak.

1. Talak
a. Pengertian Talak

3
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 38.
4
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 39.
5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 38.
6
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 39.
Talak menurut pengertian bahasa adalah melepaskan, meninggalkan
atau melepaskan ikatan perkawinan. Sedangkan menurut istilah talak adalah
melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan suami istri dengan
mengucapkan secara sukarela ucapan talak kepada istrinya, dengan katakata
jelas atau sindiran. Talak menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 117
menyebutkan bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Talak
merupakan satu-satunya alternative dalam menyelesaikan persengketaan
rumah tangga dan ia mempunyai dampak positifnya. Bahkan talak sebagai
salah satu syariat dari yang maha mengetahui, talak diyakini mempunyai
tujuan yang luhur di samping terkandung rahasia-rahasia di dalamnya.
Agama islam telah menetapkan kebolehan perceraian. Banyak seklai
ayat-ayat alqur’an yang membahas dan menyebutkan tentang masalah
perceraian. Sebagaimana firman Allah swt.7
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telahkamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukumhukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim. (Qs.al-Baqarah: 229)

Sebab turunnya ayat di atas adalah ketika Tarmizi, Hakim dan lain-lain
mengetengahkan dari Aisyah, mengatakan “seorang laki-laki dapat
menceraikan istrinya seberapa dikehendakinya untuk menceraikannya. Dia
akan tetap menjadi istrinya jika ia rujuk selama berada dalam iddah, walau
diceraikannya lebih dari seratus kali pun, hingga seorang laki-laki berkuasa
mengatakan kepada istrinya, ‘demi Allah, saya tidak menceraikanmu hingga
kamu lepas dari tangan saya, dan tak akan pula memberimu tempat tinggal
untuk selama-lamanya.’ Jawab wanita itu, ‘bagaimana caranya? jawabnya,’
7
Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 229.
‘saya jatuhkan talak kepadamu, dan setiap iddahmu hendak habis, saya
kembali rujuk kepadamu.’ Maka saya sampaikan hal itu kepada Nabi saw.
Lalu beliau terdiam, sampai turun ayat, ‘talak itu dua kali dan setelah itu
boleh rujuk secara yang makruf atau baik-baik dan menceraikan dengan
ihsan atau secara baik-baik pula.
Dan selanjutnya ada juga firman Allah yang menjelaskan tentang talak
yaitu:8
Artinya:” Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (Qs. At-
Talaq: 1)

Sebab turunnya ayat di atas ialah diriwayatkan oleh al-Hakim yang


bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa abdul Yazid (Abu Rukanah) menalak
istrinya (ummu Rukanah), kemudian ia menikah lagi dengan seorang wanita
Madinah. Istrinya mengadu kepada Rasulullah saw dengan berkata: “Ya
Rasulullah, tidak akan terjadi hal seperti ini kecuali karena si rambut pirang.”
Ayat ini(ath-Talaq: 1) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang
menegaskan bahwa kewajiban seorang suami terhadap istrinya yang di talaq
tetap harus di tunaikan sampai habis masa iddahnya tetapi dilarang tidur
bersama.

b. Macam-macam Thalak
Adapun talak ditinjau dari segi waktu menjatuhkannya, dibagi menjadi 2
(dua) macam, yaitu :

8
Al-Qur’an, Surah At-Thalaq ayat 1.
1) Talak sunni, yaitu talak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu
seorang suami menalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali
talak dimasa beraih dan belum di dhukul selama bersih tersebut.
2) Talak bid’i yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya
talak yang diucapkan dengan tiga kali talak pada yang bersamaan atau
talak dengan ucapan talak tiga atau menalak istri dalam keadaan haid
dan menalak istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah di
dhukul.

Sedangkan talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami rujuk, dibagi
menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
1) Talak raj’i, yaitu talak di mana suami masih memiliki hak untuk
kembali kepada isterinya (rujuk) sepanjang isterinya tersebut masih
dalam masa iddah, baik isteri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.9
2) Talak ba’in, yaitu talak di mana suami tidak memiliki hak untuk
merujuk isteri yang telah ditalaknya.

2. Khuluk
a. Pengertian Khuluk
Khuluk adalah penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri untuk menebus
dirinya dari (ikatan) suaminya. Perceraian dengan cara ini diperbolehkan dalam
agama Islam dengan disertai beberapa hukum perbedaan dengan talak biasa.
Khuluk menurut bahasaarab adalah menanggalkan pakaian, artinya melepaskan
kekuasaannya sebagai suami dan memberikan kepada isterinya dalam bentuk
talak. Hal ini mengingat karena isteri merupakan pakaian bagi laki-laki
sebagaimana laki-laki merupakan pakaian bagi wanita.10
Dalam Komplikasi Hukum Islam (KHI), masalah khulu’ ini tidak dijelaskan
secara detail. Oleh karena itu pasal yang membahas masalah ini juga sangat
terbatas. Di dalam KHI, tidak dijelaskan suatu proses bagaimana khulu’ terjadi
secara khusus serta penyelesaian khulu’. Hal ini disebabkan Khi memandang

9
M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Terj Masykur A. B.,) h.451
10
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Juz IX, h. 417.
khulu’, sebagai salah satu jenis talak. Namun, untuk menyelesaikan kasus khulu’
KHI memberikan prosedur khusus melalui pasal 148 yaitu:
1) Seorang istri yang mengajukan gugatan dengan jalan
khulu,menyampaikan permohonannya ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasanya.
2) Pengadilan Agama selambat-selambatnya satu bulan memanggil istri dan
suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
3) Penjelasan tentang akibat khulu’ dan memberikan nasihat-nasihatnya.
4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadh atau tebusan,
maka Pengadilan Agamamemberikan penetapan tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama.
Terhadap penetapan ini tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau
‘iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan memutus sebagai perkara
biasa.

3. Fasakh
a. Fasakh
Fasakh pada hakikatnya adalah rusak dan putusnya akad perkawinan karena
putusan pengadilan. Fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan, melalui
pengadilan, yang hakikatnya hak suami istri disebabkan sesuatu yang diketahui
setelah akad berlangsung. Misalnya, suatu penyakit yang muncul setelah akad
yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah
perkawinan. Atau penyakit atau cacat tersebut telah sejak lama ada, namun
ditutup-tutupi oleh yang bersangkutan, baru diketahui setelah perkawinan
berlangsung, sehingga yang satu merasa tertipu akibat perbuatan tersebut.
Fasakh artinya merusak atau melepaskan tali ikatan perkawinan. Fasakh dapat
terjadi karena sebab yang berkenaan dengan akad nikah atau dengan sebab yang
datang setelah berlakunya akad. Perceraian dengan fasakh tidak mengurangi hak
talak dari suami, dengan demikian apabila suami isteri yang telah bercerai dengan
jalan fasakh, kemudian hidup kembali sebagai suami isteri, suami tetap
mempunyai hak talak
tiga kali.11
11
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, 139.
b. Akibat hukum
Perceraian yang diakibatkan oleh fasakh tidak mengurangi bilangan talak
sebab fasakh bukan bagian dari talak. Jadi, jika yang telah bercerai itu kemudian
kembali melalui pernikahan baru serta menyadari dan rela dengan keadaan seperti
apa adanya, talak yang dia miliki (laki-laki) masih utuh. Berbeda halnya jika
perpisahan tersebut melalui jalur talak, hak talak lakilaki menjadi berkurang. Ada
beberapa hal atau keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan dapat dipisahkan
melalui fasakh diantaranya adalah:
1) Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan, umapamanya dia
sebenarnya mandul dan tidak mungkin mendapatkan keturunan keadaan.
Keadaan itu tidak diketahui si istri sebelumnya dan baru diketahui setelah
perkawinan berlangsung, si istri berhak mengajukan fasakh, kecuali jika
dia rela dengan keadaan tanpa turunan dan memilih tetap menjadi istri
laki-laki tersebut. Umar bin Khatab pernah menasihati seseorang yang
diketahui mandul dan akan mengawini seorang wanita, seraya berkata,
“beri tahukan keadaanmu kepadanya dan biarkan dia memilih.
2) Apabila seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dan mengaku
sebagai seorang laki-laki baik-baik, namun dalam perjalanan perkawinan
ternyata laki-laki itu adalah orang jahat, banyak membuat dosa, atau orang
yang fasik, maka si perempuan dapat mengajukan haknya.
3) Seorang wanita mengaku perawan sebelum dinikahi, ternyata setelah
perkawinan berlangsung, ia bukan perawan lagi, baik karena ia janda atau
telah melakukan perbuatan yang haram.
4) Seorang laki-laki mendapati istrinya tidak dapat dicampuri karena
kemaluannya selalu mengeluarkan darah atau cairan lain yang
menyebabkan tidak dapat dicampuri, padahal pada waktu sebelum nya
tidak diketahui.
5) Seorang perempuan yang dinikahi tersebut ternyata mempunyai halangan
pada alat reproduksinya, ada ganjalan sehingga tersumbat dan
menyebabkan tidak dapat digunakan semestinya.

You might also like