You are on page 1of 42

Bahan Bacaan

Pelatihan Pemateri Pendidikan Inklusif

Disusun dan dikembangkan oleh:


1. Florentina Atik, S.Pd (tim pemateri pendidikan inklusif DKI Jakarta)
2. Dra. Kartini, M.Phil, SNE (Tim Pemateri Pendidikan Inklusif DKI Jakarta)
3. Drs. Supardi, MM (tim pemateri pendidikan inklusif DKI Jakarta)
4. Dra. Mimi M. Lusli, MSi (Mimi Institut)
5. Tolhas Damanik, M.Ed (OVC HKI Indonesia)
6. Rivai, S.E (OVC HKI Indonesia)
7. Wardhana Dipa (OVC HKI Indonesia)

Disunting oleh:
Imaculata Kurniasanti
BAB I
Anak Berkebutuhan Khusus

Tujuan yang hendak dicapai melalui materi Anak Berkebutuhan Khusus agar pembaca:
1. Mengenal definisi dan memahami macam ragam anak berkebutuhan khusus, serta mampu
menjelaskan pengertian anak berkebutuhan khusus.
2. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan gangguan penglihatan.
3. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan gangguan dengar/wicara.
4. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan gangguan gerak.
5. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan ganguan intelektual.
6. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa.
7. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan kesulitan belajar.
8. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan gangguan pemusatan perhatian.
9. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan autisme.

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus


1.1 Siapakah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki karakteristik khusus.
Ada berbagai definisi dalam literatur yang dipakai untuk menjelaskan anak berkebutuhan
khusus.
 Heward (2006) mendefinisikan anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
 Hallahan & Kauffman (2003) mendefinisikan anak berkebutuhan khusus adalah mereka
yang membutuhkan pendidikan khusus dan pelayanan-pelayanan terkait untuk
merealisasikan potensi keseluruhan mereka.
 Demeris, Childs & Jordan (2007) mendefinisikan anak dengan kebutuhan khusus dalam
statusnya sebagai pelajar. Menurut mereka anak dengan kebutuhan khusus adalah anak
yang memiliki keterbatasan dan keterbatasan tersebut mempengaruhi cara belajarnya.
 UNESCO mendefinisikan anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang memerlukan
pendidikan khusus yang dapat dilakukan di sekolah khusus ataupun sekolah pada
umumnya. Definisi kekhususan dari anak berkebutuhan khusus tergantung pada definisi
dari tiap-tiap negara.
 American Public Health Association (APHA) & American Academy of Pediatrics (AAP)
mendefinisikan anak berkebutuhan khusus sebagai anak dengan gangguan tumbuh
kembang, gangguan emosi, keterbelakangan mental, anak yang memiliki penyakit
kronis, anak yang mengalami kecacatan tubuh serta kecacatan indera tubuh (Cohen:
1994).
 Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas No.
70/2009 pasal 3 ayat 1), anak berkebutuhan khusus dibahasakan sebagai peserta didik
yang memiliki kelainan. Dan pada pasal 3 ayat 2 diberikan daftar kondisi anak yang
termasuk berkebutuhan khusus (ABK) sebagai berikut:

1
1. Tunanetra 8. Lamban belajar
2. Tunarungu 9. Autis
3. Tunawicara 10. Memiliki gangguan motorik
4. Tunagrahita 11. Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat
5. Tunadaksa terlarang, dan zat adiktif lainnya
6. Tunalaras 12. Memiliki kelainan lainnya
7. Berkesulitan belajar 13. Tuna ganda

1.2 Siapa yang termasuk Anak Berkebutuhan Khusus dalam pembahasan buku ini
a. Anak dengan gangguan penglihatan
b. Anak dengan gangguan dengar/wicara
c. Anak dengan gangguan gerak
d. Anak dengan tingkat kecerdasan di bawah rata-rata
e. Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
f. Anak dengan kesulitan belajar
g. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian
h. Anak dengan autisme

1.3 Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus


 Faktor Personal (Biologis)
Terjadi karena mengidap penyakit, mengalami kecelakaan, menjadi korban bencana atau
sebab lainnya pada saat pra natal, peri natal atau post natal yang mengakibatkan ada bagian
tubuh, struktur tulang, sendi, otot, sistem saraf dan cara kerja tubuh pada anak yang
tidak/kurang mampu berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga anak memiliki gangguan
dalam tumbuh kembangannya yang membatasi aktivitas dan menghalangi partisipasi dalam
lingkungan belajarnya.

 Faktor Lingkungan (Sosial)


Terjadi karena orang di sekitar anak membatasi aktivitas dan menghalangi partisipasi anak
dalam lingkungan belajarnya akibat ada bagian tubuh yang tidak/kurang mampu berfungsi
sebagaimana mestinya atau karena status sosial misalnya: anak normal yang lahir di luar
pernikahan yang mengalami pengucilan dan disembunyikan dari orang sekitar. Karena
diperlakukan sedemikian, anak mengalami gangguan dalam tumbuh kembangnya.

Situasi kesehatan
(gangguan/penyakit)

Struktur & fungsi Aktivitas Partisipasi


tubuh

faktor faktor
lingkungan Personal

2
1.4 Apa yang dimaksud dengan karakteristik khusus
Karakteristik khusus adalah ciri-ciri yang berbeda sangat menonjol pada diri anak, yang dapat
dikenali sebagai ciri fisik dan ciri non fisik. Ciri fisik maksudnya adalah ciri yang mudah untuk
dilihat karena dapat langsung dikenali dan tidak membutuhkan banyak waktu untuk
mengenalinya.
Contohnya:
 Tangan tanpa jari
 Menggunakan alat bantu dengar
 Berjalan mondar-mandir
 Tanggan usil, dll.
Ciri non fisik adalah ciri yang tidak mudah untuk dilihat karena tidak dapat langsung dikenali dan
membutuhkan waktu untuk mengenalinya
Contohnya:
 Tingkat IQ
 Gaya belajar
 Kebiasaan dan perilaku belajar, dll.

1.5 Bagaimana cara mengenali karakterisik khusus pada anak?


Caranya dengan melakukan identifikasi (menemukan dan mengenali) dan asesmen
(mengumpulkan informasi). Untuk asesmen dapat dilakukan secara fungsional dengan
menggunakan observasi, wawancara dan asesmen klinis dengan menggunakan alat-alat tes.

2. Anak dengan gangguan penglihatan


2.1 Siapa anak dengan gangguan penglihatan
Istilah lainnya adalah anak tunanetra, yakni Anak yang tidak/kurang dapat melihat. Menurut
Hallahan & Kaufman (2003), anak dengan gangguan penglihatan bisa dikategorikan anak yang
memiliki lemah penglihatan (low vision), artinya akurasi penglihatan anak kurang dari 6/60
setelah dikoreksi dan atau anak yang tidak lagi memiliki penglihatan (totaly blind).

2.2 Karakteristik khusus anak dengan gangguan penglihatan


a. Sering menabrak ketika bergerak
b. Kesulitan membaca huruf pada buku bacaan atau tulisan pada papan tulis
c. Kesulitan menulis garis lurus
d. Memegang buku dekat ke muka ketika membaca
e. Sering mengeluh kepala pusing atau mata gatal atau mata berair
f. Bentuk dan warna bola mata berbeda; bola mata bergoyang-goyang, mengecil atau
berwarna putih
g. Sering meletakan barang di tempat yang salah
h. Sering hendak terjatuh jika melewati rintangan jalan
i. Sulit meniru gerak
j. Sulit mengenal gambar jika warna kurang kontras
k. suka meraba barang yang dipegang atau yang ada didekatnya

2.3 Bagaimana cara membantu anak dengan gangguan penglihatan


a. Gunakan objek riil dan konkrit untuk menjelaskan konsep
b. Panggil nama anak ketika hendak meminta perhatian anak dan gunakan komunikasi verbal
dalam proses menjelaskan sesuatu

3
c. Menyapa sambil membuat kontak dengan menyentuhkan punggung tangan kita pada lengan
atau bahu anak
d. Sediakan materi sesuai dengan tingkat penglihatan anak misalnya: materi Braille,
pembesaran huruf, materi audio.
e. Gunakan arah jarum jam untuk menunjukkan letak
f. Hindari kata-kata yang membutuhkan pemahaman visual antara lain:
kata tunjuk seperti: ini, itu
kata ganti tempat seperti: di sini, di sana
kata ganti orang seperti: dia, kamu
g. Beritahukan bila ada perubahan letak atau bila kita hendak meninggalkan anak sendiri
h. Bercerita saat berpergian dengan anak
i. Sediakan alat bantu seperti reglet stylus untuk menulis braille, tape recorder untuk
membuat buku bicara dengan cara merekam, tongkat putih untuk alat bantu orientasi
mobilitas serta assistive technology seperti layar pembaca komputer dll.

3. Anak dengan gangguan dengar wicara


3.1 Siapa anak dengan gangguan dengar/wicara
Istilah lainnya anak tunarungu/wicara yakni anak yang tidak/kurang dapat mendengar/bicara.
World Health Organization (WHO) memberi definisi anak dengan gangguan dengar sebagai anak
yang mengalami kesulitan mendengarkan karena kehilangan pendengaran di satu atau kedua
telinga. Dalam definisi ini, WHO memasukkan semua tingkatan gangguan pendengaran mulai dari
gangguan pendengaran permanen maupun pendengaran tidak permanen dengan tingkat
gangguan:
a. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40 dB)
b. Gangguan pendengaran ringan (41-55 dB)
c. Gangguan pendengaran sedang (56-70 dB)
d. Gangguan pendengaran berat (71-90 dB)
e. Gangguan pendengaran ekstrim/total (di atas 91 dB)
Kesulitan untuk mendengarkan, kebanyakan diikuti dengan kesulitan untuk berbicara, sehingga
anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran kebanyakan juga mengalami gangguan bicara.

3.2 Apa karakteristik khusus anak dengan gangguan dengar/wicara


Berdasarkan buku “Understanding and Responding to Children Needs in Inclusive Classrooms”
(UNESCO: 2001b), anak dengan gangguan dengar dapat dikenali karena memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Tidak menyadari adanya bunyi atau suara
b. Tidak melihat ke sumber suara
c. Terlihat mendekatkan telinga pada sumber bunyi
d. Telinga mengeluarkan cairan
e. Sulit untuk berbicara atau berbicara dengan kata yang tidak jelas dengan suara keras
f. Sulit untuk mengungkapkan perasaan dengan tepat
g. Cenderung menggunakan mimik atau gerakan (tangan dan tubuh) untuk berkomunikasi
h. Cenderung pemata atau melihat anak lain melakukan sesuatu sebelum dia melakukan apa
yang diminta

3.3 Bagaimana cara Membantu anak dengan gangguan dengar/wicara


a. Tempatkan anak sedekat mungkin dengan guru maksimal 3 meter
b. Gunakan gambar dalam memperkenalkan kata/konsep baru
4
c. Bicara berhadapan muka dengan muka agar anak dapat melihat gerak bibir dan mimik
d. Bicara dengan artikulasi yang jelas
e. Gunakan bahasa yang sederhana disertai dengan isyarat
f. Gunakan bahasa tubuh seperti menggeleng, mengangguk, dll
g. Gunakan komunikasi tulis
h. Untuk latihan bicara bibir dapat menggunakan cermin untuk meniru bentuk dan gerakan
mulut

4. Anak dengan gangguan gerak


4.1 Siapa anak dengan gangguan gerak
Istilah lainnya anak tunadaksa, yakni anak yang/kurang dapat menggunakan tangan dan kakinya
untuk bergerak. Heward (2006) menyebut anak dengan gangguan gerak adalah anak yang
memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang
dengan Tingkat Gangguan:
a. Ringan
Memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik, kualitas gerakan motorik dapat
meningkat melalui terapi.
b. Sedang
Memiliki keterbatasan motorik, mengalami gangguan koordinasi sensorik.
c. Berat
Memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik, tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

4.2 Apa karakteristik khusus anak dengan gangguan gerak


a. Sulit menggerakkan tubuh
b. Sulit untuk berpindah dari suatu posisi ke posisi lain
c. Sulit meraih/mengambil benda di tempat yang tinggi atau rendah
d. Gerakan tubuh kaku atau layu
e. Sering terjatuh
f. Bila terjadi kekakuan pada otot bicara, maka di antara mereka dengan gangguan gerak
juga akan mengalami gangguan bicara seperti pada mereka yang celebral palsy (CP)

4.3 Bagaimana cara membantu anak dengan gangguan gerak


a. Bagi mereka yang menggunakan tongkat/kruk, jangan memegang tangan mereka ketika
mereka berjalan, biarkan mereka bertumpu pada lengan atau bahu kita
b. Bagi mereka yang menggunakan kursi roda, sediakan ramp (bidang miring) untuk
memudahkan mereka bergerak atau kita dapat membantu mendorongkan kursi rodanya
c. Bagi mereka yang diikuti dengan gangguan bicara, anda bicaralah dengan singkat dan jelas
d. Tawarkan tempat duduk dekat pintu
e. Sediakan ruang gerak yang luas seperti toilet
f. Bila Ruang seperti toilet tidak cukup luas, maka sebaiknya pintu toilet ditarik keluar
g. Pasang railing di sepanjang dinding untuk membantu mereka bergerak
h. Untuk bangunan berlantai, sediakan lift dan jika belum mungkin, maka pindahkan ruang
kegiatan di lantai bawah

5. Anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata


5.1 Siapa anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata
Istilah lainnya anak tunagrahita, yakni anak yang tidak/kurang dapat berpikir. UNESCO mencatat
bahwa ada banyak istilah yang terkait dengan anak yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata
5
antara lain: retardasi mental, cacat mental, gagal tumbuh, atau gangguan belajar yang parah
(UNESCO: 2001b, 54). Anak yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata biasanya mengalami
gangguan dalam perkembangan. Lebih lanjut disebutkan bahwa anak biasanya mengalami
perkembangan yang lambat secara fisik, memiliki kemampuan inteligensi yang signifikan berada
di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku. Tingkat
intelektual anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata adalah:
a. Ringan (IQ : 51-70): Intermittent support (bantuan dipergunakan saat dibutuhkan),
mampu didik, dapat bekerja dan tidak ada kelainan fisik.
b. Sedang (IQ : 36-51): Limited support (bantuan dipergunakan secara konsisten, hanya pada
waktu tertentu saja), mampu latih, penundaan aktifitas secara terbatas dan ada kelainan
fisik bawaan.
c. Berat (IQ : 20-35): Extensive support (bantuan dipergunakan secara berkala pada
lingkungan/situasi tertentu seperti di rumah), mampu rawat, tidak dapat menjaga
kebersihan pribadi dan memiliki kelainan fisik.
d. Sangat Berat (IQ di bawah 20) : ): Pervasive support (bantuan dipergunakan secara
konsisten, dengan intensitas yang sangat tinggi), mengalami keterbatasan atau tidak dapat
bergerak sendiri dan bicara sangat terbatas.

Di antara anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata, ada anak lambat belajar dengan tingkat
kecerdasan di batas ambang yakni dengan tingkat IQ 71-89. Untuk kegiatan keseharian, anak
dengan lambat belajar tidak membutuhkan banyak bantuan, namun untuk kegiatan belajar,
anak dengan lambat belajar membutuhkan bimbingan belajar dengan cara 5R yakni
a. Repeat (pengulangan)
b. Reinforcement (penguatan)
c. Reward (pemberian pujian)
d. Recall (pemanggilan kembali materi yang sudah dipelajari)
e. Remind (diingatkan)

5.2 Apa karakteristik khusus anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata


a. Perilaku tidak sesuai dengan usia (kekanak-kanakan)
b. Sulit memahami hal yang abstrak
c. Sulit mengingat atau daya ingat lemah
d. Sulit mengikuti instruksi panjang/rumit
e. Sulit mengendalikan emosi
f. Ada yang memiliki wajah mirip
g. Ada yang bicara kurang jelas, dan ada juga yang mengalami kesulitan bergerak
h. Di sekolah, nilai hasil belajar untuk semua pelajaran ada di bawah nilai rata-rata kelas

5.3 Bagaimana cara membantu anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata


a. Butuh konsistensi dan pengulangan dalam belajar
b. Gunakan media konkrit yang menarik, yang dekat dengan kehidupannya
c. Beri instruksi pendek, jelas, bertahap
d. Gunakan kalimat yang singkat dan bahasa sederhana
e. Membutuhkan pendampingan/pengawasan
f. Perlu pembiasaan
g. Koreksi langsung dan berulang
h. Belajar bertahap

6
6. Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
6.1 Siapa anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
Istilah lainnya anak jenius. Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa adalah anak yang
memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang juga termasuk anak dengan gangguan
intelektual/kecerdasan.
Anak cerdas/gifted memiliki kemampuan yang menonjol dan menunjukkan prestasi yang sangat
baik dalam bidang akademik
Anak berbakat/talented memiliki kemampuan yang menonjol dan menunjukkan prestasi yang
sangat baik di luar bidang akademik, seperti: olahraga, musik.

6.2 Apa karakteristik khusus anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
a. Cepat mengerti instruksi
b. Cepat memahami konsep/penjelasan
c. Cepat mengerjakan tugas
d. Menunjukkan keterlibatan yang tinggi
e. Punya komitmen
f. Kreatif dan inovatif
g. Mudah bosan bila pelajaran diulang
h. Menjadi usil dan suka mondar-mandir bila tidak ada yang dikerjakan
i. Memiliki kemampuan untuk memimpin kelompoknya
j. Terkadang kurang teliti dan menggampangkan pengerjaan tugas

6.3 Bagaimana cara membantu anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
a. Beri Pengayaan
a. Libatkan sebagai tutor sebaya
b. Beri tangung jawab
c. Libatkan sebagai pemimpin

7. Anak dengan kesulitan belajar


7.1 Siapa anak dengan kesulitan belajar
Istilah lainnya anak kesubel yakni anak yang memiliki kesulitan membaca, menulis, berhitung
(calistung). Anak dengan kesulitan belajar adalah anak yang memiliki Gangguan pada satu atau
lebih proses psikologi dasar yang meliputi pemahaman atau penggunaan bahasa tulis, bicara
maupun perhitungan matematika. Hal ini merupakan kondisi dari ketidakmampuan persepsi.
Menurut Kaufman & Hallahan (2003), jenis gangguan pada anak dengan kesulitan belajar
meliputi:
a. Diskalkulia: Kesulitan dalam memahami simbol matematika, konsep, arah dalam berhitung
atau terbalik dalam menulis angka maupun nilai tempat.
a. Disleksia: kesulitan dalam membaca seperti membaca lompat kata/kalimat/baris
b. Disgrafia: kesulitan dalam menulis seperti huruf tak berbentuk, tulisan besar-besar

Anak dengan disleksia dan disgrafia menunjukkan beberapa perilaku ucap dan tulis, yakni:
a. Revarsal – ubi menjadi ibu, buku menjadi duku
b. Subtitusi – laut menjadi lauk
c. Adisi – uang menjadi uwang
d. Omisi – kayu menjadi kyu, rumah menjadi ruma
e. Sequential memory – kepala menjadi kelapa, topi menjadi pito

7
7.2 Apa karakteristik khusus anak dengan kesulitan belajar
a. Sulit dalam mengekspresikan diri
b. Sulit dalam menulis, membaca, berhitung
c. Bicara berbelit
d. Tulisan sulit dibaca
e. Saat membaca, menulis, berhitung ada huruf/angka yang terbalik, tertinggal atau
berlebih
f. Kikuk dan ragu dalam bergerak
g. Menunjukkan gangguan orientasi arah ruang (kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang)
h. Keterlambatan perkembangan konsep (ukuran, bentuk, operasi aritmatika)
i. Sulit memahami isi bacaan
j. Di antara mereka dengan kesulitan belajar diikuti dengan kesulitan konsentrasi

7.3 Bagaimana cara membantu anak dengan kesulitan belajar


a. Butuh konsisten dan pengulangan dalam belajar
a. Belajar bertahap
b. Gunakan 5 pertanyaan dasar (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa) untuk memahami isi
bacaan
c. Membaca dengan bantuan penggaris agar baris kalimat tidak terlewat
d. Gunakan buku berpetak untuk belajar berhitung seperti nilai tempat
e. Gunakan petunjuk visual seperti warna, garis, lambang, dll
f. Koreksi langsung
g. Instruksi pendek dan jelas
h. Panggil nama untuk mengarahkan fokus perhatiannya
i. Jika bicara berbelit, pandu bicaranya dengan pertanyaan 5 W 1 H

5W 1H
what = apa,
where = dimana,
when = kapan, how = bagaimana
why = kenapa,
who = siapa,

j. Kembangkan cara belajar lisan seperti diskusi, tanya-jawab untuk mereka yang disleksia dan
disgrafia

8. Anak dengan autisme


8.1 Siapa anak dengan autisme
Istilah lainnya anak dengan gangguan sosial emosi. Anak dengan autisme adalah anak yang
memiliki gangguan pada kemampuan komunikasi verbal dan non verbal serta interaksi
sosialnya.

8.2 Apa karakteristik khusus anak dengan autisme


a. Memiliki aktifitas yang berulang-ulang
b. Terlambat dalam perkembangan komunikasi/bahasa
c. Rentan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan aktivitas rutin
d. Tidak ada kontak mata
8
e. Menunjukkan respon yang tidak biasa terhadap pengalaman sensorik
f. Mengalami hambatan dalam bahasa dan interaksi sosial
g. Pada beberapa anak dengan autisme ada yang memiliki kemampuan khusus yang
berkembang sangat baik
h. Sebagian anak dengan autism menunjukkan hiperaktivitas dan fokus perhatianya rendah
i. ada sebagian anak dengan autisme yang masih bicara membeo, ada yang tidak bisa bicara
sama sekali

8.3 Bagaimana cara membantu anak dengan autisme


a. Ajarkan rutinitas sedikit demi sedikit dan gunakan simbol-simbol gambar untuk mewakili
kegiatan
a. Buatlah jadwal kegiatan dengan waktu sesuai dengan kemampuan konsentrasi anak
b. Ajarkan komunikasi eksperimen
c. Kembangkan dan gunakan clu-clu visual untuk memahami aturan
d. Koreksi langsung dengan instruksi pendek disertai dengan petunjuk visual
e. Gunakan komunikasi gambar
f. Buat kesepakatan dengan aturan yang jelas dan tegas

9. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian


9.1 Siapa anak dengan gangguan pemusatan perhatian
Istilah lainnya anak hiperaktif. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian adalah anak yang
mengalami ketidakmampuan dalam memusatkan perhatian pada dua atau lebih situasi yang
berbeda.

9.2 Apa karakteristik khusus anak dengan gangguan pemusatan perhatian


a. Perhatian mudah teralih
b. Menghentikan/Meninggalkan suatu tugas sebelum selesai
c. Sering beralih dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain
d. Dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang anak tampak gelisah
e. Berjalan mondar-mandir, berlari tanpa arah, melompat berlebihan
f. Bicara berbelit-belit, suka memotong pembicaraan
g. Tidak sabar menunggu giliran
h. Memberi respon yang terlalu cepat (impulsif).
i. Sulit untuk duduk tenang

9.3 Bagaimana cara membantu anak dengan pemusatan perhatian


a. Ajarkan untuk membuat jadwal harian sesuai dengan ketahanan konsentrasi anak
b. Latihan disiplin gunakan pengelolaan perilaku, berikan pujian untuk perilaku yang
diharapkan dan abaikan untuk perilaku yang tidak diharapkan
c. Ajarkan untuk membuat kesepakatan
d. Hindari pajangan, suara, hal lainnya yang mengganggu konsentrasi
e. gunakan sudut abu ketika ia membutuhkan waktu untuk konsentrasi
f. Buat kesepakatan
g. Koreksi langsung
h. Panggil nama disertai dengan memegang lengan/bahu untuk mengarahkan fokus
perhatiannya
i. Gunakan petunjuk visual

9
Referensi 

 
Cohen, H. J. (1994). Child care for children with special needs. Pediatrics, 94(6), 1055.
Demeris, H., Childs, R. A., & Jordan, A. (2007). The Influence of Students with Special Needs Included in Grade-
3 Classrooms on the Large-Scale Achievement Scores of Students without Special Needs. Canadian
Journal of Education / Revue canadienne de l’éducation, 30(3), 609-627
Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. (2003). Exceptional Learners: Introduction to Special Education. Virginia:
Merrill.
Kallavus, T. (2010). Helping Children with Special educational needs as a Cooperation between the Fields of
Education, Social Work, and Medicine. Papers on Anthropology, 19, 130-144.
Lusli, M. (2009). Helping Children with Sight Loss. Jakarta: Mimi Institute.
Mangunsong, F. (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok: LPSP3 UI.
Martin, G. L. (1998). Terapi untuk Anak ADHD. Jakarta: PT.Bhuana Ilmu Populer.
Rief, M. S. (2008). the ADD/ADHD Checklist: A Practical Reference for Parents and Teachers. San Fransisco:
Willey Imprint.
Smith, D. W. (Winter2006). Developing Mathematical Concepts Through Orientation and Mobility. ReView,
37(4), 161-165.
Steele, R. G., & Roberts, M. C. (2005). Handbook of Mental Health Services for Children, Adolescents and
Families. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.
UNESCO (2001a). Open File on Inclusive Education: Support Material for Managers and Administrators. Paris:
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
UNESCO (2001b). Understanding and Responding to Children’s needs in Inclusive Classrooms. Paris: United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
Vickerman, P. (2007). Training physical education teachers to include children with special educational needs:
Perspectives from physical education initial teacher training providers. European Physical Education
Review, 13(3), 385-402.
William L. Heward (2006), Exceptional Children: An Introduction to Special Education. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
WHO Programme for the Prevention of Deafness and Hearing Impairment. (2001a). Guidelines for Hearing Aids
and Services for Developing Countries, July 2001. Geneva: World Health Organization.
WHO Programme for the Prevention of Deafness and Hearing Impairment. (2001b). Hearing Aids for
Developing Countries: Report of an Informal Consultation to Launch the WHO Guidelines for Hearing
Aids and Services for Developing Countries, WHO, Geneva 11-12 July 2001. Geneva: World Health
Organization.
Zhou, L., Smith, D. W., Parker, A. T., & Griffin-Shirley, N. (2011). Assistive Technology Competencies of
Teachers of Students with Visual Impairments: A Comparison of Perceptions. Journal of Visual
Impairment & Blindness, 105(9), 533-547.

10
Bab II

Pendidikan Inklusif

Tujuan yang hendak dicapai melalui materi pendidikan inklusif agar pembaca dapat:

a. Menjelaskan konsep pendidikan inklusif


b. Membedakan pendidikan inklusif dengan integrasi dan segregasi
c. Menjelaskan alasan dan latar belakang perlunya pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah
d. Memaparkan ciri sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
e. Mendiskusikan manfaat pendidikan inklusif

1. PENDIDIKAN INKLUSIF

1.1 Apa itu “Inklusif”


Inklusif diambil dari kata dalam bahasa inggris yakni “to include” atau “inclusion” atau
“inclusive” yang berarti mengajak masuk atau mengkutsertakan.

1.2 Apa yang dimaksud dengan mengajak masuk atau mengikutsertakan dalam pengertian
“Inklusif”
Dalam pengertian “Inklusif” yang diajak masuk atau yang diikutsertakan adalah menghargai dan
merangkul setiap individu dengan perbedaan latar belakang, jenis kelamin, etnik, usia, agama,
bahasa, budaya, karakteristik, status, cara/pola hidup, kondisi fisik, kemampuan dan kondisi
beda lainnya (UNESCO: 2001, 17). “Inklusif” merupakan perubahan praktis dan sederhana yang
memberi peluang kepada setiap individu dengan setiap perbedaannya untuk bisa berhasil
dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan individu yang sering tersisihkan
seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan
administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat dan lingkunganya juga mendapatkan
keuntungan dari setiap perubahan yang dilakukan.

1.3 Apa itu Pendidikan inklusif


Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang terbuka dan ramah terhadap pembelajaran dengan
mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul perbedaan. Untuk itu pendidikan inklusif
dipahami sebagai sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan
dengan meniadakan hambatan yang dapat menghalangi setiap individu siswa untuk
berpartisipasi penuh dalam pendidikan yang dilengkapi dengan layanan pendukung

1.4 Apa aspek Pendidikan Inklusif


a. Terbuka, adil, tanpa diskriminasi
b. Peka terhadap setiap perbedaan

11
c. Relevan and akomodatif terhadap cara belajar
d. Berpusat pada kebutuhan dan keunikan setiap individu siswa
e. Inovasi dan fleksibel
f. Kerjasama dan saling mengupayakan bantuan
g. kecakapan hidup yang mengefektifkan potensi individu siswa dengan potensi lingkungan

1.5 Apa tujuan Pendidikan Inklusif


a. Memastikan bahwa semua anak memiliki akses terhadap pendidikan yang terjangkau,
efektif, relevan dan tepat dalam wilayah tempat tinggalnya
b. Memastikan semua pihak untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar seluruh
anak terlibat dalam proses pembelajaran

2. Perbedaan Pendidikan Inklusif dengan Integrasi dan Segregasi

2.1 Apa itu Pendidikan Segregasi


Dari asal katanya, segregasi berasal dari kata Bahasa Inggris, yakni to segragate (memisahkan),
segragation (pemisahan), segregated (terpisah). Pendidikan segregasi adalah pendidikan yang
memisahkan anak-anak yang memiliki karakteristik khusus untuk belajar terpisah dengan anak-
anak pada umumnya. Pendidikan segregasi merupakan pendekatan yang mengupayakan
pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa bagi anak-anak yang memiliki karakteristik khusus
belajar dengan sesamanya di sekolah luar biasa. Norwich (2002) menyebutkan bahwa pendidikan
khusus bagi anak yang memiliki kekhususan ini dibuat karena pendidikan umum tidak mampu
mengakomodasi anak-anak dengan karakteristik khusus.

2.2 Apa itu Pendidikan Integrasi


Dari asal katanya integrasi berasal dari kata Bahasa Inggris, yakni to integrate (memadukan),
integration (perpaduan), integrated (terpadu). Pendidikan integrasi merupakan pendidikan umum
yang memadukan anak-anak yang memiliki karakteristik khusus belajar di sekolah umum dengan
anak-anak pada umumnya. Dalam pendidikan integrasi anak-anak yang memiliki karakteristik
khusus dianggap sama dengan anak-anak normal. Konsekuansinya, standard pembelajaran anak
normal diberlakukan juga pada anak yang memiliki karakteristik khusus yang tentunya merugikan
bagi anak yang tergolong minoritas dalam kelas (Reid & Knight: 2006).

2.3 Apa perbedaan Pendidikan Segregasi, Integrasi dan Inklusif


Tabel berikut di bawah ini memperlihatkan perbedaan ketiga pendekatan pendidikan tersebut.

Perbedaan Segregasi Integrasi Inklusif

Kurikulum Terpisah Mengikuti yang Dirancang dan


berlaku diajarkan sesuai
kebutuhan

12
Partisipasi Kelompok tertentu Tidak ada Semua pihak

Sistem Terpisah dari sekolah Menjadi bagian dari Ada di dalam sekolah
umum sekolah umum umum

Tanggung jawab Unit penyelenggara Tergantung relasi dan Semua pihak


pendidikan kepedulian

3. Latar belakang diselenggarakan Pendidikan Inklusif di sekolah

3.1 Mengapa pendekatan Pendidikan Inklusif diselenggarakan di sekolah


Warga sekolah, siswa khususnya adalah individu-individu dengan keunikannya masing-masing,
yang dengan keunikan setiap individu menjadikan kelas beragam. Dalam kelas beragam guru
sudah menghadapi siswa yang tidak hanya berbeda suku, agama, jenis kelamin, usia, postur
tubuh, status dan lainnya; tetapi sebagaimana peran dan tugasnya, guru dalam mengelola kelas
keseharian juga sudah menghadapi siswa yang berbeda karakteristik, cara dan kemampuannya
dalam belajar. Keberbedaan yang dihadapi guru di kelas sudah mencerminkan aplikasi dari
pendekatan pendidikan inklusif.

3.2 Mengapa saat ini pendekatan pendidikan inklusif seakan-akan diutamakan bagi siswa
berkebutuhan khusus
Mengutamakan anak berkebutuhan khusus dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak
berarti pendidikan inklusif menjadi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak luar
biasa. kelompok anak ini diutamakan dengan alasan karena pendekatan pendidikan inklusif:

a. Melihat dan menempatkan Anak berkebutuhan khusus yang berbeda karakteristik, perilaku
dan atau kemampuan dengan anak pada umumnya dalam sistem keragaman kelas
b. Memberikan kemudahan kepada anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak
pendidikan yang sama dan mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih luas
c. Mengatasi keterbatasan jumlah dan ketidakmerataan penyebaran sekolah khusus atau
sekolah luar biasa
d. Membiasakan terjadinya sosial interaksi di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak
pada umumnya yang dapat mengoptimalkan perkembangan sosial dalam komunitas anak

3.3 Apakah hanya sekolah yang ditunjuk saja yang boleh menyelenggarakan pendidikan inklusif
TIDAK!!! Semua sekolah tanpa terkecuali, semua satuan, jenis, jenjang pendidikan baik
pemerintah maupun swasta boleh bahkan diarahkan untuk menyelenggarakan pendidikan
dengan pendekatan pendidikan inklusif. Dengan semua sekolah menjadi sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif, maka pendidikan inklusif di sekolah memberikan kontribusi bagi percepatan
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

13
3.4 Mengapa pendidikan diarahkan untuk menggunakan pendekatan pendidikan inklusif
a. Karena Sesuai dengan landasan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, sesuai dengan
landasan ideologi Pancasila dan landasan filosofis Bhineka Tunggal Ika
b. Karena sejalan dengan landasan pendidikan nasional bahwa pendidikan dilaksanakan atas
azas demokrasi, berkeadilan dan tanpa diskriminasi.
c. Karena sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang juga tertera dalam deklarasi Hak Asasi
Manusia Universal PBB.
d. Karena sejalan dengan tujuan pembangunan millennium yang mendorong setiap Negara
mengupayakan tersedianya pendidikan untuk semua pada tahun 2015.
e. Karena sesuai dengan nilai-nilai keagamaan
f. Karena dapat membiasakan siswa dan komponen sekolah lainnya belajar menghargai
pluralitas

4. Ciri Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

4.1 Apa itu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif


Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif atau disebut juga sekolah inklusif adalah sekolah
umum yang menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan pendidikan inklusif. Sekolah
yang dimaksud ini melaksanakan proses kegiatan pembelajaran berlandaskan pada azas
demokrasi, berkeadilan dan tanpa diskriminasi dengan berupaya melakukan perubahan yang
praktis dan sederhana meniadakan hambatan setiap siswa dalam belajar dengan adanya layanan
pendukung yang memudahkan pemenuhan kebutuhan setiap siswa dalam belajar.

4.2 Apa ciri sekolah inklusif


a. Ada siswa dengan segala perbedaannya termasuk siswa berkebutuhan khusus yang berbeda
karakteristik, perilaku, cara dan kemampuan dalam belajarnya
b. Ada layanan pendukung
c. Lingkungan fisik sekolah yang mudah dijangkau
d. Lingkungan sosial sekolah yang nyaman dan ramah

4.3 Apa itu layanan pendukung


Layanan pendukung yang dimaksud tidak melulu berupa peralatan dan fasilitas sarana seperti
alat peraga, teknologi dan lainnya. Namun layanan pendukung yang mendasar bagi sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif adalah kreativitas guru dalam mengelola kelas seperti dalam
hal pemilihan dan penggunaan metode dan media belajar. Di samping itu sebaiknya keterlibatan
guru pembimbing khusus sangat diperlukan sebagai mitra kerja guru. Jika keterlibatan guru
pembimbing khusus sebagai salah satu layanan pendukung bagi sekolah inklusi belum dapat
terpenuhi, maka orangtua dapat juga menjadi mitra kerja guru. Permendiknas no. 70 tahun 2009
pasal 11 menegaskan pentingnya menyediakan layanan pendukung berupa bantuan professional
bagi penyelenggara pendidikan inklusif dan layanan pendukung ini dapat diperoleh melalui
pemerintah dan masyarakat setempat atau pun lembaga non pemerintah di dalam dan luar
negeri.

14
4.4 Apa maksudnya dengan lingkungan fisik sekolah yang mudah dijangkau
Bangunan sekolah yang memenuhi persyaratan bangunan yakni bangunan yang memberikan
kegunaan, kemudahan, kemandirian dan keselamatan bagi setiap pengguna bangunan sekolah.
Sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, lingkungan fisik sekolah diupayakan untuk
memenuhi persyaratan rancangan secara umum (universal design) dengan 7 prinsip, yakni:
a. Kesetaraan (equitable use)
b. Fleksibilitas (flexibility)
c. Sederhana, Intuitif (simple, intuition use)
b. Informatif (perceptible information)
c. Toleransi terhadap kesalahan (tolerance of error)
d. Penggunaan fisik yang minimal (low phycical effort)
e. Ukuran dan ruang untuk pendekatan dan penggunaan (size and space for approach and use)

4.5 Apa maksudnya dengan lingkungan sosial sekolah yang nyaman dan ramah
Warga dalam lingkungan sekolah yakni siswa dan komponen sekolah lainnya berada dalam
lingkungan belajar yang menyenangkan, menarik dan memudahkan yang saling mengupayakan
bantuan dan saling memberikan peluang berhasil dengan melihat setiap perbedaan dari diri
setiap siswa sebagai suatu yang wajar untuk dirangkul dan diikursertakan bukan untuk diejek
dan ditinggalkan.

5. Manfaat pendidikan inklusif

5.1 Siapa dan apa manfaat dari sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
Semua komponen sekolah: orangtua, guru/ kepala sekolah/administrasi sekolah, masyarakat
dan pemerintah (pengawas sekolah, kepala seksi pendidikan, dinas pendidikan dll) mendapatkan
manfaat, bahkan semua siswa baik siswa pada umumnya dan siswa berkebutuhan khusus
mendapatkan manfaat dari sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, di antaranya:
1) Memahami dan menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar
2) Mengasah kepekaan
3) Menunjukkan perbuatan Menghargai perbedaan
4) Memudahkan penyesuaian social

5.2 Apa manfaatnya bagi guru/kepala sekolah /administrasi sekolah


a. Mempermudah proses belajar mengajar
b. Mengembangkan kreativitas dalam mengelola pembelajaran
c. Mengajar menjadi lebih menyenangkan dan efektuf
d. Tertantang untuk terus belajar melalui perbedaan yang dihadapi di kelas
e. Melatih dan membiasakan untuk memiliki budaya kerja yang positif, kreatif, inovatif,
fleksibel dan akomodatif terhadap semua anak didiknya dengan segala perbedaannya

15
5.3 Apa manfaatnya bagi siswa
a. Menciptakan suasana belajar yang kooperatif
b. mengembangkan sikap toleran
c. memudahkan sosial interaksi di antara teman
d. Memunculkan rasa percaya diri melalui sikap penerimaan dan pelibatan di dalam kelas
e. Melatih dan membiasakan untuk menghargai dan merangkul perbedaan dengan
menghilangkan budaya “labeling” atau memberi cap negatif.

5.4 Apa manfaatnya bagi orangtua


a. Mengetahui sistem belajar di sekolah
b. Meningkatkan kepercayaan terhadap guru dan sekolah
c. memperkuat tanggung jawab pendidikan anak di sekolah dan di rumah
d. mengetahui dan mengikuti perkembangan belajar anak
e. semakin terbuka dan ramah bekerja sama dengan guru
f. mempermudah mengajak anak belajar ke sekolah

5.5 Apa manfaatnya bagi masyarakat


a. mengontrol terlaksananya sekolah penyelenggara pendidikan inkusi di lingkungannya
b. meningkatkan tanggung jawab terhadap pendidikan anak di sekolah dan di masyarakat
c. ikut menjadi sumber belajar
d. semakin terbuka dan ramah bermitra dengan sekolah

5.6 Apa manfaatnya bagi pemerintah (pengawas sekolah, kepala seksi pendidikan, dinas
pendidikan, dll)
a. Kebijakan pendidikan terlaksana.
b. Anak berkebutuhan khusus mendapatkan hak pendidikan yang sama dan mendapatkan
kesempatan pendidikan lebih luas.
c. Mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
d. Pendidikan terlaksana berlandaskan pada azas demokrasi, berkeadilan dan tanpa
diskriminasi

 
16
Referensi 

Braillo Norway & Depdiknas (2007). Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan
Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran. Jakarta: Braillo Norway & Depdiknas.
Befring, E. (2001). Introduction to History of Special Needs Education towards Inclusive. Article in Johnsen,
Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed). Educational - Special Needs Education: An Introduction. Oslo, Unipub.
Hardin, B. & Hardin, M. (2002). Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in Inclusive
Environments. The Clearing House, 75(4), 175-178.
Norwich, B. (2002). Education, Inclusion and Individual Differences: Recognizing and Resolving Dilemmas.
British Journal of Educational Studies, 50(4), 482-502.
Reid, D.K., & Knight, M.G. (2006). Disability Justifies Exclusion of Minority Students: A Critical History Grounded
in Disability Studies. Educational Researcher, 35(6), 18-23.

Rahman, M. A. (2003). Landasan Pendidikan Inklusif dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan LPTK. Direktorat
pendidikan sekolah luar biasa, depdiknas; Mengenal Pendidikan Inklusi (http//www.ditplb.or.id)
Skjørten, M.D. (2001). Toward Inclusion and Enrichment. Article in Johnsen, Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed).
Educational - Special Needs Education: An Introduction. Oslo: Unipub.
Shea, T. M., & Bauer, A. M. (1995). An introduction to special education: A social systems perspective. Madison,
WI: Brown & Benchmark.
Skrtic, T. (1991). Behind special education: A critical analysis of professional culture and school organization.
Denver, CO: Love.
Stainback, S., & Stainback, W. (Eds.). (1996). Inclusion: A guide for educators. Baltimore: Paul H. Brookes.
Thomas, G., Walker, D., & Webb, J. (1998). The Making of The Inclusive School. New York: Routledge.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung.


UNESCO (2001) Open File on Inclusive Education: Support Material for Managers and Administrators. Paris:
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization.

UNESCO (2001). Understanding and Responding to Children’s needs in Inclusive Classrooms. Paris: United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
Voltz, D.L. (2001). Preparing General Education Teachers for Inclusive Settings: The Role of Special Education
Teachers in the Professional Development School Context. Learning Disability Quarterly, 24(4), 288-
296.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomer 70 tahun 2009.

Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia (2010). Buku Himpunan Kebijakan Pendidikan. Sumber Hukum
Bagi Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah:Prioritas untuk Anak dengan Disabilitas/Berkebutuhan Khusus.
Depok: Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia.

17
Bab III

Kebijakan dan Sensitivitas dalam Kerjasama Antar Pemangku


Kepentingan atau Stakeholder Pendidikan

Tujuan yang hendak dicapai melalui materi kebijakan dan sensitivitas dalam kerjasama antar
Pemangku Kepentingan atau Stakeholder pendidikan agar pembaca dapat:

1. Melakukan pemetaan kebijakan tingkat internasional dan kebijakan nasional


2. Menjelaskan pengertian Pemangku Kepentingan atau Stakeholder
3. Menyebutkan pihak-pihak yang termasuk dalam Pemangku Kepentingan atau
Stakeholder
4. Menjelaskan tanggung jawab sesuai dengan peran masing-masing dari pemangku
kepentingan atau stakeholder
5. Memberikan alasan pentingnya pengelolaan terhadap Pemangku Kepentingan atau
Stakeholder di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
6. Melakukan kerja sama antar Pemangku Kepentingan atau Stakeholder di sekolah
penyelenggara Pendidikan Inklusif
7. Menjelaskan langkah-langkah meningkatkan sensitivitas dalam kerja sama antar
Pemangku kepentingan atau Stakeholder di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

1. Kebijakan Pendidikan

1.1 Kebijakan Internasional

1.1.1 Deklarasi Internasional Tentang Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948

a. Pasal 26

(1) Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya
untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus
diwajibkan. Pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua
orang, dan pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang,
berdasarkan kepantasannya.
(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta
memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan
asasi. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan
di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan
kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
18
(3) Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan
diberikan kepada anak-anak mereka.
b. Pasal 29

(1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya


dimana ia memperoleh kesempatan untuk mengembangkan pribadinya dengan
penuh dan leluasa.
(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus
tunduk hanyak pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang
layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak
boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-
Bangsa.

1.1.2 Deklarasi Hak Penyandang Cacat 1975,


Penyandang disabilitas berhak:

a. Untuk memperoleh upaya-upaya dari pihak lain yang dapat memudahkan mereka
hidup mandiri/tidak tergantung pada pihak lain
b. Mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan
social, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua
jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan
ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan
integrasi social mereka.

1.1.3 Konvensi Hak Anak tahun 1989

Pasal 2

Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam
konvensi ini dan setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk
apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, asal-usul etnik atau sosial, kekayaan,
ketidakmampuan, kelahiran atau status lain dan anak atau dan orang tua anak atau walinya
yang sah menurut hukum

1.1.4 Konferensi Jomtien Tahun 1990

Pendidikan untuk semua dan penyediaan akses pendidikan dasar bagi semua anak

1.1.5 Konferensi Dunia Salamanca Tahun 1994


Pendidikan anak berkebutuhan khusus di mana menghasilkan kerangka kerja mengenai
penyediaan akses dan standardisasi kualitas pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
19
1.1.6 Konferensi Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal Tahun 2000

Menguatkan kembali Konferensi Jomtien yang diantaranya berisi:

a. Perencanaan pendidikan untuk semua di tingkat nasional sebagai bagian dari


perencanaan pendidikan nasional
b. Memastikan semua anak, khususnya perempuan, anak berkebutuhan khusus, maupun
dari etnis minoritas agar memiliki akses terhadap pendidikan yang memadai dan
berkualitas.

1.1.7 Konvensi Hak Penyandang Cacat, disepakati 13 Desember 2006, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Resolusi 61/106, ditandatangani oleh negara
anggota PBB 30 Maret 2007
Negara-negara pihak mengakui hak orang-orang penyandang cacat atas pendidikan.
Dengan tujuan untuk mewujudkan hak ini tanpa diskriminasi dan atas dasar
kesetaraan kesempatan, Negara-negara pihak harus menjamin suatu sistem
pendidikan yang inklusif di semua tingkatan dan pembelajaran jangka panjang.

1.2. Kebijakan nasional

1.2.1 Undang – Undang Dasar 1945


 Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan
UUD 1945 alinea ke-empat)
 Setiap warga negara berhak atas pengajaran dan pendidikan (Pasal 31)

1.2.2 Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003


Pasal 4 Ayat 1

Pendidikan diselenggarakan berdasarkan demokrasi dan berkeadilan dan tanpa


diskriminasi.

Pasal 11 Ayat 1

Adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi semua
warga negara, tanpa adanya diskriminasi.

Pasal 12 Ayat 1b

Hak dari murid untuk memiliki pendidikan yang layak berdasarkan bakat, minat dan
kemampuannya

20
1.2.3 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional

Pasal 41

Tentang setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki
tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus

1.2.4 Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang Pengesahan dari Pengakuan akan Hak-Hak
Anak.

1.2.5 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0306/VI/1995 tentang


Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

1.2.6 Undang-Undang nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat


Penyandang cacat berhak:

a. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;


b. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan,
pendidikan, dan kemampuannya;
c. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-
hasilnya;
d. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
e. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan
f. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.

1.2.7 Surat Edaran No. 380/G.06/MN/2003 dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional tanggal 20 Januari 2003 tentang
Pendidikan Inklusif.

1.2.8 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusiff bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa

2. Pengertian Pemangku Kepentingan atau Stakeholder

2.1 Apa artinya Pemangku Kepentingan atau Stakeholder


Pihak–pihak yang terlibat dan berperan penting dalam proses pembentukan dan pelaksanaan
pendidikan inklusif ke dalam sistem pendidikan nasional. Pihak-pihak dimaksud dapat mewakili
kelompok atau individu yang bertanggung jawab dengan ketertarikan kegiatan pendidikan untuk
saling memberikan penjelasan dan pendampingan untuk sebuah perubahan lingkungan inklusif
yang terbuka dan ramah pembelajaran bagi setiap anak.

21
2.2 Siapa yang menjadi Pemangku Kepentingan atau Stakeholder di sekolah penyelenggara
Pendidikan Inklusif
Pemangku Kepentingan atau Stakeholder utama adalah siswa. Tanpa siswa, tidak terjadi proses
pembelajaran yang merupakan kegiatan inti dalam pendidikan. Dengan adanya siswa maka
keterlibatan guru, kepala sekolah, administrasi sekolah, orangtua dan keluarganya, pemerintah
dan masyarakat termasuk kelompok perguruan tinggi, kalangan profesional dan lembaga
swadaya masyarakat sebagai pemangku kepentingan atau stakeholder pendidikan menjadi
diperlukan dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing yang diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan setiap siswa dalam belajar dalam lingkungan kelas beragam.

3. Kelompok atau individu yang mewakili Pemangku Kepentingan atau Stakeholder di sekolah
penyelenggara Pendidikan Inklusif

3.1 Siapa yang terlibat menjadi pemangku kepentingan atau stakeholder

a. Siswa
b. Orangtua
c. Guru
d. kepala sekolah dan komponen sekolah lainnya
e. Komite Sekolah
f. Pengawas Sekolah
g. Pusat Sumber (SLB/SDLB)
h. Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal, Nasional, dan International
i. Universitas
j. Profesional
k. Pemerintah
l. Masyarakat

3.2 Apa tanggung jawab Pemangku Kepentingan atau Stakeholder

a. Peran sebagai siswa


 Menciptakan dan menumbuhkan sikap toleransi
 Saling Memacu untuk berprestasi lebih baik
 Saling Menumbuhkan motivasi dan rasa percaya diri dalam belajar
 Saling mengupayakan bantuan dalam belajar
 Meningkatkan kualitas belajar semua siswa di dalam kelas beragam

b. Peran sebagai Orangtua


 Menjadi pengajar yang paling efektif karena sangat mengenal sifat dan perilaku anaknya
 Mengikuti perkembangan belajar anaknya
 Melengkapi layanan pendukung belajar di rumah

22
c. Peran sebagai Guru
 Mengelola pembelajaran yang berpusat pada siswa dalam kelas yang beragam
 Menciptakan lingkungan kelas yang inklusiff
 Menangani kebutuhan pembelajaran siswa secara akomodatif
 Merencanakan, melaksanakan dan menilai program pembelajaransejalan dengan
landasan pendidikan yang berasaskan demokrasi, berkeadilan dan tanpa diskriminasi

d. Peran sebagai kepala sekolah dan komponen sekolah lainnya


 Memimpin penyelenggaraan sekolah
 Mengontrol dan mengkoordinasi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program
pembelajaran
 Memfasilitasi kemudahan demi terciptanya lingkungan inklusiff dan ramah
pembelajaran
 Meningkatkan mutu ketrampilan guru dalam pengelolaan kelas
 Menciptakan lingkungan sekolah yang inklusiff
 Mengelola sekolah sehingga dapat berjalan dengan baik

e. Komite Sekolah
 Memberikan masukan guna meningkatkan mutu pendidikan sekolah
 Membantu sekolah dalam penyediaan sarana dan prasarana serta layanan pendukung
pembelajaran

f. Pengawas Sekolah
 Mengawasi berjalannya program sekolah
 Memberikan masukan guna meningkatkan mutu pendidikan sekolah
 Mengontrol pelaksanaan kebijakan di tingkat sekolah serta pelaksanaan regulasi dan
kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, propinsi, nasional dan internasional

g. Pusat Sumber
 Memberikan konsultasi dan layanan pendukung bagi sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif
 Melakukan pelatihan dan pendampingan bagi guru dan komponen sekolah lainnya di
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
 Menjadi sumber belajar

h. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lokal, National, Internasional


 Menyediakan informasi
 Mengontrol pelaksanaan regulasi dan kebijakan pendidikan bagi pemenuhan hak belajar
dan bersekolah anak berkebutuhan khusus
 Membangun jejaring dalam kerja kemitraan pemerintah, masyarakat, sekolah dan
orangtua

i. Masyarakat

23
 Mengupayakan dan menempatkan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak
atas pendidikan
 Melakukan kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah
 Menjadi sumber informasi dan sumber belajar
 Menggerakkan anggota masyarakat untuk terlibat membantu pembelajaran di sekolah

j. Perguruan tinggi
 Merupakan mitra pemerintah dalam merancang kebijakan
 Menghasilkan tenaga pendidik yang berkualitasMenyediakan layanan pendukung
 Memberikan pelatihan dan pendampingan bagi sekolah dan komponen sekolah lainnya
di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
 Menjadi sumber informasi dan sumber belajar

k. Profesional
 Membuat rujukan
 Melakukan konsultasi
 Mendapatkan terapi dan bimbingan belajar sehubungan dengan kurikulum
tambahan/khusus yang tidak termuat dalam kurikulum sekolah umum
 Memberikan pelatihan dan pendampingan bagi guru, orangtua dalam penanganan
belajar anak berkebutuhan khusus

4. Pengelolaan terhadap peran dan tanggung jawab Pemangku Kepentingan atau Stakeholder di
sekolah penyelenggara Pendidikan Inklusif

4.1 Mengapa peran dan tanggung jawab Pemangku Kepentingan atau Stakeholder butuh dikelola
a. Guna merespon secara strategis perubahan lingkungan yang baru.
b. Untuk menemukan cara yang tepat dalam memberikan penjelasan dan pendampingan
lingkungan.
c. Meningkatkan peluang kesuksesan sebuah program.

4.2 Bagaimana mengelola peran dan tanggung jawab Pemangku Kepentingan atau Stakeholder
a. Dengan perhatian yang simultan terhadap ketertarikan bersama terhadap isu sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif
b. Dengan mengacu pada regulasi dan kebijakan baik dalam pengaruh kerja struktural maupun
fungsional
c. Dengan advokasi (penjelasan dan pendampingan) yang konsisten dan berkelanjutan
d. Dengan jejaring mengarusutamakan pendidikan inklusif dalam sistem pendidikan nasional
e. Dengan mengangkat keprihatinan masih ada sejumlah anak yang tersisih dan hilang hak
belajar dan bersekolahnya
f. Dengan membangun kerja kemitraan angar pemangku kepentingan atau stakeholder

5. Sensitivitas dalam kerjasama antar Pemangku Kepentingan atau Stakeholder di sekolah


penyelenggara Pendidikan Inklusif

24
5.1 Mengapa diperlukan kerjasama antar Pemangku Kepentingan atau Stakeholder

 Pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan serta
pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab orangtua dan keluarga serta masyarakat
dan Pemangku Kepentingan atau Stakeholder terkait lainnya. Dalam sekolah penyelenggara
Pendidikan Inklusif, salah satu pencapaian tujuannya adalah memastikan setiap komponen
sekolah yang dimaksud adalah Pemangku Kepentingan atau Stakeholder dengan perannya
masing-masing bertanggung jawab ikut menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi
pemenuhan kebutuhan setiap siswa dalam belajar.
 Alasan lain, guru bukan satu-satunya orang dengan kemampuan pedagogiknya dapat
mengurangi kesulitan dan meniadakan hambatan setiap siswa dalam belajar. Oleh karena
itu, Pemangku Kepentingan atau Stakeholder lainnya dengan peran dan tanggung jawabnya
masing-masing dapat menjadi mitra kerja dan sumber belajar guru di sekolah penyelenggara
Pendidikan Inklusif.

5.2 Apa bentuk kerja sama antar Pemangku Kepentingan atau Stakeholder

a. Guru dan orangtua


 Orangtua sebagai pendidik pertama dan utama yang paling kenal anaknya dapat
memberitahukan perilaku dan kebiasaan anaknya dalam belajar kepada guru di sekolah.
 Guru dapat berdiskusi dengan orangtua untuk menemukan cara membantu anak dalam
belajar
 Orangtua dapat menginformasikan perkembangan belajar anaknya di rumah kepada
guru, dan guru juga dapat menginformasikan perkembangan belajar anak di sekolah
kepada orangtua
b. Guru, siswa dan antar siswa
 Guru dapat melibatkan siswa sebagai tutor sebaya atau asisten guru atau guru kecil
untuk membantu temannya dalam belajar
 Sekelompok siswa dapat membentuk kelompok belajar untuk saling mengupayakan
bantuan dalam belajar.
c. Guru dan pusat sumber
 Guru sekolah umum saat menangani pembelajaran siswa berkebutuhan khusus dapat
menjalin kerja sama dengan guru di sekolah khusus (SLB/SDLB) seperti membentuk
kelompok kerja untuk mendiskusikan karakteristik dan penanganan belajar siswa
berkebutuhan khusus.
 Guru sekolah khusus dapat bertugas secara terjadwal sebagai guru pendidikan khusus
bermitra kerja dengan guru sekolah umum baik di dalam maupun di luar kelas seperti
melakukan identifikasi dan asesment siswa berkebutuhan khusus, merancang
pelaksanaan program pembelajaran individual, melakukan modifikasi kegiatan
pembelajaran dan lainnya
d. Guru, pusat sumber dan orangtua
 Mendiskusikan perkembangan belajar anak dan menemukan cara yang lebih akomodatif
memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus dalam belajar di sekolah inklusif
 Menyusun, melaksanakan dan menilai keberhasilan program pembelajaran individual di
rumah dan di sekolah
 Saling mengupayakan bantuan dalam pengadaan alat peraga dan sarana belajar

25
 Memberikan pengertian kepada siswa lain untuk mengikutsertakan temannya yang
berkebutuhan khusus dalam kegiatan bermain dan belajar
e. Guru, pusat sumber, orangtua, perguruan tinggi
 Saling menjadi sumber informasi dan tempat pembelajaran
 Memprogramkan kegiatan edukasi seperti pelatihan dan seminar dengan topik-topik
bahasan sesuai dengan kebutuhan sekolah inklusif
 Sebagai tempat referensi untuk membuat rujukan misalnya guru sekolah umum
meminta orangtua untuk membawa anaknya yang berkebutuhan khusus dke fakultas
psikologi untuk mendapatkan layanan test IQ; guru sekolah umum dapat meminta
orangtua untuk membawa anaknya berkebutuhan khusus belajar sementara di pusat
sumber (SLB/SDLB)
f. Kepala sekolah, komite sekolah dan pengawas sekolah
 Memberikan penjelasan dan pendampingan kepada guru dan orangtua terkait dengan
regulasi dan kebijakan sekolah penyelengara pendidikan inklusif
 Memprogramkan gerakan yang mengajak keterlibatan masyarakat dalam kegiatan
sekolah
g. Sekolah, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan masyarakat
 Saling mendukung untuk mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun misalnya diadakannya paket belajar A, B, C dan pembelajaran di rumah (home
schooling)bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang karakteristiknya lebih kuat untuk
belajar bukan di lingkungan rumah
 Saling mengontrol terhadap pelaksanaan regulasi dan kebijakan pendidikan, adanya
rumah belajar dan rumah singgah yang diselenggarakan oleh lembaga swadaya
masyarakat.

5.3 Langkah-langkah apa yang diperlukan untuk mengasah sensitivitas dalam kerjasama antar
Pemangku Kepentingan atau Stakeholder

a. Pemangku Kepentingan atau Stakeholder mutlak harus punya pengetahuan yang benar
tentang apa dan siapa anak berkebutuhan khusus serta konsep pendidikan inklusif dalam
kerangka sistem pendidikan nasional
b. Pemangku kepentingan atau Stakeholder perlu dan penting untuk menyadari bahwa setiap
individu adalah karya Sang Pencipta, dan bahwa setiap warga Bangsa mempunyak hak,
kedudukan dan kewajiban yang sama juga mempunyai hak untuk mendapatkan kemudahan
dan perlakuan khusus serta bahwa demokrasi, berkeadilan dan tanpa diskriminasi adalah
landasan mendasar penyelenggaraan pendidikan.
c. Pemangku Kepentingan atau Stakeholder belajar untuk melihat dan memahami
kecacatan/disabilitas merupakan bagian dari perbedaan dalam sistem keragaman
masyarakat bersumber pada Bhineka Tunggal Ika, dan karenanya Pemangku Kepentingan
atau Stakeholder mutlat mengubah pola pandang untuk melihat dan memahami Anak
Berkebutuhan Khusus akibat kecacatan/disabilitas tertentu sebagai suatu yang wajar dalam
sistem kelas beragam.
d. Pemangku Kepentingan atau Stakeholder berlatih untuk empati dengan cara mengambil
kesempatan berperan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus dan mencoba mengalami
beberapa saat dengan melakukan simulasi menjadi siswa berkebutuhan khusus bermain di
sekolah bersama siswa pada umumnya dan mencoba untuk bersimulasi menjadi Anak

26
Berkebutuhan Khusus saat mengikuti kegiatan pembelajaran bersama guru dan siswa pada
umumnya di kelas.
e. Pemangku Kepentingan atau Stakeholder terlibat sebanyak-banyaknya dalam kegiatan
keseharian anak berkebutuhan khusus, juga terlibat sebanyak-banyaknya dalam kegiatan
guru dan orangtua dalam penanganan belajar siswa berkebutuhan khusus baik di rumah, di
sekolah atau di pusat sumber

27
Referensi 

Bailey, J., & du Plessis, D. (1997). Understanding principals’ attitudes towards inclusive schooling. Journal of
Educational Administration, 35(5), 428–438.
Barth, R. (1990). Improving schools from within: Teachers, parents and principals can make a difference. San
Francisco: Jossey-Bass.
Berres, M., Ferguson, D., Knoblock, P., & Wood, C. (Eds.). (1996). Creating tomorrow’s schools today: Stories of
inclusion, change, and renewal. New York: Teachers College Press.
Biklen, D. (1985). Achieving the complete school: Strategies for effective mainstreaming. New York: Teachers
College Press.
Booth, T., & Ainscow, M. (Eds.). (1998). From them to us: An international study of inclusion in education.
London: Routledge.

Braillo Norway dan Depdiknas; 2007; Merangkul perbedaan:perangkat untuk mengembangkan lingkungan
inklusiff ramah terhadap pembelajaran
Buku Panduan Pelatihan Peningkatan Kesadaran dan Kepekaan Lingkungan Terhadap Disabilitas Menuju
Masyarakat Inklusif (2008), Depok, Pusat Kajian Disabilitas, Universitas Indonesia

Buku Himpunan Kebijakan Pendidikan. Sumber Hukum Bagi Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah:Prioritas
untuk Anak dengan Disabilitas/Berkebutuhan Khusus. (2010). Depok: Pusat Kajian Disabilitas
Universitas Indonesia.
Deklarasi Bandung Menuju Indonesia Inklusif tahun 2004
kompendium: perjanjian, hukum dan peraturan menjamin semua anak memperoleh kesamaan hak untuk
kualitas pendidikan dalam cara inklusiff dikembangkan oleh braillo norwey dan IDP Norwey atas nama
unesco Jakarta dan plan indonesia edisi ketiga juni 2007

Kugelmass, J. W. (2004). The Inclusive School:Sustaining Equity and Standards. New York: Teacher Colleger.
Modul Inklusifvitas dan Partisipasi Warga dalam Pembangunan Berkeadilan Berbasis Konvensi Hak Penyandang
/cacat (2010), Jakarta, Mimi Institute

Shea, T. M., & Bauer, A. M. (1995). An introduction to special education: A social systems perspective. Madison,
WI: Brown & Benchmark

28
Bab 4
Management Pelatihan

Tujuan yang hendak dicapai melalui materi management pelatihan ialah agar pembaca:

1. Mengenal dasar-dasar pelatihan

A. Dasar-dasar pelatihan
Pelatihan adalah sebuah proses yang dirancang untuk memfasilitasi pembelajaran yang
ditujukan bagi peserta target suatu pembelajaran (Bray: 2009, 34). Mengacu definisi training ini,
maka kata pembelajaran menjadi salah satu kuncinya. Pembelajaran memiliki pengertian
sebagai suatu proses yang memampukan seseorang untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang baru, sehingga ia dapat melakukan sesuatu yang belum pernah
dilakukan sebelumnya dan atau dapat melakukan sesuatu secara lebih efektif (Bray: 2009, 35).
Berangkat dari kedua pengertian diatas, maka pelatihan adalah sebuah kegiatan perolehan
pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui serangkaian aktivitas pembelajaran untuk mengisi
kesenjangan antara kompetensi saat ini dan tuntutan tanggung jawab dari peserta yang memiliki
karakteristik sesuai dengan target dilakukannya pelatihan.

Belajar merupakan proses seumur hidup bagi semua orang dan dalam proses belajar ini
memerlukan adanya kemampuan untuk dapat menerima dan melakukan perubahan. Terkait
dengan definisi pembelajaran di atas, maka ada tiga aspek dalam belajar yaitu:

Attitude / SIKAP

Knowledge / Skill /
PENGETAHUAN KETRAMPILAN

29
Tiga aspek belajar di atas harus dimiliki sekaligus menjadi ukuran keberhasilan pelatihan bagi
calon pelatih (Training of Trainer) yaitu:

1. Knowledge / PENGETAHUAN
a) Memiliki kemampuan pengetahuan teoritis dan praktis tentang materi pelatihan.
b) Memiliki kualitas akademis yang memadai
c) Memiliki pengetahuan tentang prinsip belajar dan prinsip komunikasi
d) Memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam mengadakan pelatihan
2. Skill / KETRAMPILAN
a) Terampil menganalisa kebutuhan pelatihan
b) Terampil menerapkan prinsip belajar dan prinsip komunikasi
c) Terampil melakukan training recall atau “penyegaran pelatihan”
d) Terampil menciptakan suasana pelatihan yang menyenangkan
e) Terampl memilih, membuat dan menggunakan sarana yang mendukung pelatihan,
termasuk metode, dinamika kelompok
f) Terampil memfasilitasi dan mengelola kerja kelompok
g) Terampil melakukan ulasan dan umpan-balik serta evaluasi pelatihan
3. Attitude / SIKAP
a) Berempati
b) Mendengarkan aktif
c) Mau menjawab pertanyaan
d) Menghargai pendapat dan
pengalaman
e) Luwes / fleksibel dan ramah.
f) Enerjik dan optimis
g) Beri perhatian dan senyum
h) Ingat dan menyebutkan nama
i) Bicara hal yang diminati
j) Perlakukan orang dengan baik
k) Hindari sikap mengkritik dan mencela
l) Bangkitkan semangat dan gairah

30
Dalam pelatihan, diperlukan hadirnya “Trainer” atau “Pelatih” atau “Pemateri” yang
bertugas memberikan materi dan melakukan perubahan pada orang lain. Konsep pelatihan yang
berpusat pada trainer ini merupakan model pelatihan konvensional, dimana trainer dituntut
untuk melakukan transfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada orang lain.
Konsekuensinya, trainer perlu belajar memahami materi dan melakukan perubahan lebih dulu
pada dirinya, baru dapat dan mampu memberikan materi dan melakukan perubahan kepada
orang lain. Sebaliknya trainee atau peserta dianggap tidak memiliki pengetahuan apapun untuk
dibagikan dalam sebuah pelatihan sehingga sepanjang proses pelatihan para peserta hanya akan
menyimak pemaparan dari pemberi materi. Model pelatihan ini oleh Bray (2009) disebut sebagai
model pelatihan TOP-DOWN.

Perkembangan situasi yang terjadi dewasa ini menuntut adanya perubahan cara
pengorganisiran sebuah proses pembelajaran di dalam suatu kegiatan training (Saxena: 1983).
Perubahan yang dimaksudkan ialah training yang semula sekedar transfer pengetahuan menjadi
training yang berupaya untuk mengorganisir hasil pembelajaran. Model training ini
mengandaikan peserta sebelumnya telah memiliki pengetahuan, skill, dan sikap yang ingin
dikembangkan selama training, tidak perduli seberapa kecil ataupun besarnya. Dengan
pengandaian ini maka peserta bukanlah pendengar pasif tetapi mereka dimungkinkan untuk
terlibat aktif dalam proses training. Proses pembelajaran yang melibatkan secara aktif para
peserta ini dikenal sebagai pembelajaran orang dewasa (Adult Learning).

PERAN Pemateri

Dalam pelatihan yang menggunakan konsep pembelajaran orang dewasa, peran trainer yang
semula menjadi transmitter atau penyalur pengetahuan mengalami perubahan, yakni menjadi:

“Trainer has to become a manager of learning and encourage the development of


the strategies and skills of self-organised learning so that learning continues when
training stops.”(Saxena: 1983, 177).

Dengan kata lain pemateri harus berperan sebagai manager suatu pembelajaran dan mendorong
diperkembangkannya keterampilan dan strategi dalam proses pembelajaran pribadi, sehingga
pembelajaran akan terus berlanjut sekalipun pelatihan berakhir. Artinya, kunci keberhasilan
pemateri terletak pada perannya, yakni sebagai FASILITATOR.

Fasilitator bukanlah guru, karena secara teoritis ada perbedaan yang mendasar. Peran guru
di dalam kelas pada umumnya sebagai transmitter pengetahuan bagi para muridnya. Fasilitator
memiliki peran sebagai manager dalam proses pembelajaran.

Tugas fasilitator adalah :


1. mendorong peserta untuk terlibat
2. memberikan kesempatan seluasnya untuk bertanya, berbagi pengalaman,
mengungkapkan pendapat atau memberi usul
3. memberikan waktu untuk mengalami sebuah proses pembelajaran

31
4. memberikan tantangan kepada peserta untuk menemukan solusi atau mencoba cara
lain pemecahan
5. mendorong peserta supaya berinisiatif, memunculkan ide atau gagasan

Tindakan Pemateri sangatlah menentukan sukses ataupun gagalnya sebuah pelatihan. Maka,
pemateri perlu diperlengkapi dengan berbagai level keterampilan sehingga mampu secara
kreatif membuat lingkungan atau suasana pembelajaran yang paling tepat yang dibutuhkan oleh
peserta pelatihan.

Pemateri yang Kreatif

a. Apakah kreatif itu


Dalam pendidikan, kreatifitas umumnya mencakup cara mengajar yang kreatif dan
pengajaran yang mendorong pembelajar berpikir kreatif. Thomson mengutip definisi
kreatif sebagai penggunaan pendekatan yang dikembangkan dari imaginasi untuk
membuat proses pembelajaran menjadi lebih efektif, menarik, dan menyenangkan
(Thomson: 2009, 40).

b. Ciri-ciri kreatif
 Tidak tergantung pada satu cara.
 Mempergunakan berbagai potensi yang ada.
 Mampu menyesuaikan dengan kebutuhan.
 Mampu menjawab persoalan dengan berbagai cara.
 Dll
c. proses kreatif :
∞ persiapan: mengumpulkan informasi, berkonsentrasi, meleburkan diri dengan
semua aspek materi & kebutuhan pelatihan
∞ inkubasi: masa istirahat sejenak untuk mengendapkan semua informasi yang
terkumpul sebagai proses pemahaman
∞ iluminasi: membayangkan
∞ implementasi: menjalani kegiatan, menyelesaikan masalah praktis dengan
melibatkan dan mendapatkan dukungan dari peserta
d. kendala untuk kreatif
 PENGUNCI MENTAL: dalam diri sendiri
 Mencari kebenaran, bukan kemungkinan jawaban
 Ikut aturan
 Takut salah, khawatir ditolak, takut diremehkan
 Melabel diri sendiri: saya tidak bisa, saya tidak tahu

B. Proses Pelatihan

Analisa kebutuhan pembelajaran (Learning Needs Analysis)

Perencanaan (Design)

32
Pengembangan materi (Development of material)

Pelaksanaan pelatihan (Implementation of training)

Evaluasi pelatihan (Evaluation of training)

1. Analisa kebutuhan
Pelatihan hadir untuk mengisi kesenjangan. Mengenali / identifikasi kebutuhan kompetensi
dapat dilakukan dengan beberapa cara :

 observasi : pengamatan langsung pada target pelatihan


 wawancara : mengumpulkan informasi kebutuhan pelatihan
 diskusi kelompok : menggali pendapat kelompok tentang kompetensi yang kurang
 kuesioner : pengumpulan informasi secara tertulis dan tidak langsung; butuh
waktu, namun efektif jika pertanyaan spesifik

2. Perencanaan
Merupakan jawaban dari tahap sebelumnya, yakni kebutuhan kompetensi yang harus
dimiliki untuk melaksanakan tanggung jawab. Dapat terbantu dengan pertanyaan berikut :

 Apa sasaran umum / tujuan pelatihan ?


 Apa kriteria terpenuhi sasaran umum / tujuan pelatihan ?
 Bagaimana mengukurnya ?
 Materi apa yang akan diberikan ?
 Bagaimana memberikan materi tersebut ?
 Sumber daya apa yang dimiliki ? dapatkah mendukung tujuan pelatihan ?
 Apa pendukung pelatihan yang harus disiapkan ?
 Siapa yang akan menjadi peserta ?
 Dimana akan dilakukan ?
 Kapan pelatihan akan dilakukan ?

3. Pengembangan materi
Tahap ini menyita waktu paling banyak.

Beberapa aktifitas penting tahap ini :

 Selain materi inti, bacaan lain yang mendukung (background reading) juga harus
diketahui.
 Ulasan materi (review) yang sudah dibuat untuk memperoleh umpan balik guna
pemantapannya.
 Briefing : menyamakan pemahaman alur pelatihan dan membangun kesepakatan
dengan rekan.
 Pemateri harus mengingat urutan penyampaian materi (sequencing); terkait dengan
kesediaan waktu
Selain materi inti, trainer juga harus mempersiapkan administrasi pelatihan :

 Jadwal
 Materi tambahan

33
 Media presentasi (papan tulis – spidol, gambar / foto, laptop – LCD, kertas flipchart, fail
presentasi)
 Daftar hadir peserta
 Tes awal & tes akhir (pre- & post-test)
 Evaluasi pelatihan
 Profil peserta dan institusi, jika dibutuhkan
 Tanda terima dana, jika dibutuhkan

4. pelaksanaan pelatihan
Strategi yang dilakukan meliputi :

 Persiapan logistik : penjadwalan ke target, pengaturan ruangan & konsumsi


 Pembangunan reputasi : konsistensi sikap – pengetahuan – ketrampilan, interaktif,
responsif pada kebutuhan & minat, terpercaya
 Pengkondisian suasana : buat kontrak pelatihan, perkenalkan diri, penghargaan
terhadap peserta, dorong pertanyaan, tukar pengalaman, saran,
luwes, energizing
 Komunikasi efektif : volume suara & kecepatan bicara yang cukup, kejelasan/artikulasi
bicara, pengulangan & penekanan kata kunci/konsep, humoris,
jaga kontak mata.
perhatikan bahasa tubuh peserta yang tidak terucapkan

5. Evaluasi pelatihan
Tujuan : mengukur keberhasilan pelatihan, dengan kata lain “memenuhi kesenjangan
kompetensi saat ini” berarti : memperoleh, meningkatkan, memperbaiki
SIKAP, PENGETAHUAN, dan KETRAMPILAN.

Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi:

 Reaksi : penilaian terhadap pelaksanaan pelatihan


 Materi : penilaian terhadap PENGETAHUAN peserta
 Tingkah laku : penilaian terhadap KETRAMPILAN & SIKAP peserta
 Hasil : penilaian terhadap hasil – hasil nyata di lapangan yang diperoleh
dari pelatihan.

C. Tahapan Pelatihan

Seperti sudah dibahas pada bagian B, terjadinya sebuah pelatihan adalah sebuah proses : analisa
– perencanaan – pengembangan materi – pelaksanaan – evaluasi. Namun pelatihan belum usai
saat evaluasi telah dikumpulkan oleh trainer atau pemateri.

Untuk menggambarkannya, lihat skema di bawah ini.

34
Monitoring
Perencanaan Pelatihan Pelaporan
dan Tindak
Lanjut

Usai pelatihan, sejumlah arsip harus dikumpulkan dan dibuatkan laporan. Arsip yang dibutuhkan
dalam pelatihan adalah :

1. Profil peserta pelatihan


2. Notulensi pelatihan
3. Absensi / daftar hadir
4. Lembar – lembar kegiatan, jika ada
5. Formulir – formulir, jika ada
6. Dokumentasi foto

LAPORAN akan menjadi media penyampaian hasil pelatihan.

Monitoring, mentoring dan coaching adalah kegiatan memantau perkembangan paska pelatihan.

Monitoring biasanya diadakan rutin untuk mengetahui kemajuan – kemajuan dalam periode
tertentu, misalkan 2 bulan sekali

Mentoring dan coaching adalah kegiatan pendampingan, hingga menuju monitoring.

Perbedaan mentoring dan coaching

ASPEK Mentoring Coaching

Fokus individu kinerja

Peran memfasilitasi tanpa agenda agenda yang spesifik

Hubungan memilih sendiri mentor seiring dengan tugas

Sumber pengaruh nilai – nilai yang dipersepsikan kedudukan / posisi

Imbal balik afirmasi / pembelajaran kerja tim / kinerja

Area selama menginginkan sesuai tempat penugasan.

Prinsip dasar

1. Menjadi pendengar yang aktif, termasuk membaca bahasa tubuh


2. Melemparkan pertanyaan yang mendorong refleksi peserta
3. Menciptakan suasana coaching yang berpusat pada mitra

35
Tangga pendampingan :

1. Bertanya (asking)
2. Menunjukkan (showing)
3. Bertukar pengalaman (sharing)
4. Memberitahukan (telling)

Teknik :

1. Memberi umpan balik yang positif


2. Persetujuan individu (tindakan, mengapa, ucapan terima kasih)
3. Persetujuan umum
4. Pemberian motivasi melalui eksternal
5. Tukar pikirian pengalaman
6. Menyampaikan umpan balik positif dari orang lain pada kelompok.
7. Merayakan
8. Penugasan yang memperkuat.

Kesalahan pelatihan :

1. Terfokus pada kesalahan


2. Mengharapkan pencapaian segera
3. Mengatur intonasi suara
4. Waktu tidak tepat
5. Menggunakan orang ke tiga
6. Tidak spesifik akibat dari kegiatan itu
7. Bersifat subyektif

36
Referensi 

Bray, T. (2009). The Training Design Manual: The Complete Practical Guide to Creating Effective and
Successful Training Programmes 2nd Ed. London & Philadelphia: Kogan Page.

Saxena, A.P. (1983), Changing Role of the Trainer. Economic and Political Weekly, 18(48), 177-180.

Thomson, R. (2009). Creativity, Knowledge, and Curriculum in Further Education: a Bernstenian


Perspective. British Journal of Educational Studies, 57(1), 37-54.

Lage, M.J., Platt, G.J., & Treglia, M. (2000). Inverting the Classroom: A Gateway to Creating an
Inclusive Learning Environment. The Journal of Economic Education, 31(1), 30-43.

37

You might also like