Professional Documents
Culture Documents
Disunting oleh:
Imaculata Kurniasanti
BAB I
Anak Berkebutuhan Khusus
Tujuan yang hendak dicapai melalui materi Anak Berkebutuhan Khusus agar pembaca:
1. Mengenal definisi dan memahami macam ragam anak berkebutuhan khusus, serta mampu
menjelaskan pengertian anak berkebutuhan khusus.
2. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan gangguan penglihatan.
3. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan gangguan dengar/wicara.
4. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan gangguan gerak.
5. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan ganguan intelektual.
6. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa.
7. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan kesulitan belajar.
8. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan gangguan pemusatan perhatian.
9. Mengenal ciri dan cara membantu anak dengan autisme.
1
1. Tunanetra 8. Lamban belajar
2. Tunarungu 9. Autis
3. Tunawicara 10. Memiliki gangguan motorik
4. Tunagrahita 11. Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat
5. Tunadaksa terlarang, dan zat adiktif lainnya
6. Tunalaras 12. Memiliki kelainan lainnya
7. Berkesulitan belajar 13. Tuna ganda
1.2 Siapa yang termasuk Anak Berkebutuhan Khusus dalam pembahasan buku ini
a. Anak dengan gangguan penglihatan
b. Anak dengan gangguan dengar/wicara
c. Anak dengan gangguan gerak
d. Anak dengan tingkat kecerdasan di bawah rata-rata
e. Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
f. Anak dengan kesulitan belajar
g. Anak dengan gangguan pemusatan perhatian
h. Anak dengan autisme
Situasi kesehatan
(gangguan/penyakit)
faktor faktor
lingkungan Personal
2
1.4 Apa yang dimaksud dengan karakteristik khusus
Karakteristik khusus adalah ciri-ciri yang berbeda sangat menonjol pada diri anak, yang dapat
dikenali sebagai ciri fisik dan ciri non fisik. Ciri fisik maksudnya adalah ciri yang mudah untuk
dilihat karena dapat langsung dikenali dan tidak membutuhkan banyak waktu untuk
mengenalinya.
Contohnya:
Tangan tanpa jari
Menggunakan alat bantu dengar
Berjalan mondar-mandir
Tanggan usil, dll.
Ciri non fisik adalah ciri yang tidak mudah untuk dilihat karena tidak dapat langsung dikenali dan
membutuhkan waktu untuk mengenalinya
Contohnya:
Tingkat IQ
Gaya belajar
Kebiasaan dan perilaku belajar, dll.
3
c. Menyapa sambil membuat kontak dengan menyentuhkan punggung tangan kita pada lengan
atau bahu anak
d. Sediakan materi sesuai dengan tingkat penglihatan anak misalnya: materi Braille,
pembesaran huruf, materi audio.
e. Gunakan arah jarum jam untuk menunjukkan letak
f. Hindari kata-kata yang membutuhkan pemahaman visual antara lain:
kata tunjuk seperti: ini, itu
kata ganti tempat seperti: di sini, di sana
kata ganti orang seperti: dia, kamu
g. Beritahukan bila ada perubahan letak atau bila kita hendak meninggalkan anak sendiri
h. Bercerita saat berpergian dengan anak
i. Sediakan alat bantu seperti reglet stylus untuk menulis braille, tape recorder untuk
membuat buku bicara dengan cara merekam, tongkat putih untuk alat bantu orientasi
mobilitas serta assistive technology seperti layar pembaca komputer dll.
Di antara anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata, ada anak lambat belajar dengan tingkat
kecerdasan di batas ambang yakni dengan tingkat IQ 71-89. Untuk kegiatan keseharian, anak
dengan lambat belajar tidak membutuhkan banyak bantuan, namun untuk kegiatan belajar,
anak dengan lambat belajar membutuhkan bimbingan belajar dengan cara 5R yakni
a. Repeat (pengulangan)
b. Reinforcement (penguatan)
c. Reward (pemberian pujian)
d. Recall (pemanggilan kembali materi yang sudah dipelajari)
e. Remind (diingatkan)
6
6. Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
6.1 Siapa anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
Istilah lainnya anak jenius. Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa adalah anak yang
memiliki kecerdasan di atas rata-rata yang juga termasuk anak dengan gangguan
intelektual/kecerdasan.
Anak cerdas/gifted memiliki kemampuan yang menonjol dan menunjukkan prestasi yang sangat
baik dalam bidang akademik
Anak berbakat/talented memiliki kemampuan yang menonjol dan menunjukkan prestasi yang
sangat baik di luar bidang akademik, seperti: olahraga, musik.
6.2 Apa karakteristik khusus anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
a. Cepat mengerti instruksi
b. Cepat memahami konsep/penjelasan
c. Cepat mengerjakan tugas
d. Menunjukkan keterlibatan yang tinggi
e. Punya komitmen
f. Kreatif dan inovatif
g. Mudah bosan bila pelajaran diulang
h. Menjadi usil dan suka mondar-mandir bila tidak ada yang dikerjakan
i. Memiliki kemampuan untuk memimpin kelompoknya
j. Terkadang kurang teliti dan menggampangkan pengerjaan tugas
6.3 Bagaimana cara membantu anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
a. Beri Pengayaan
a. Libatkan sebagai tutor sebaya
b. Beri tangung jawab
c. Libatkan sebagai pemimpin
Anak dengan disleksia dan disgrafia menunjukkan beberapa perilaku ucap dan tulis, yakni:
a. Revarsal – ubi menjadi ibu, buku menjadi duku
b. Subtitusi – laut menjadi lauk
c. Adisi – uang menjadi uwang
d. Omisi – kayu menjadi kyu, rumah menjadi ruma
e. Sequential memory – kepala menjadi kelapa, topi menjadi pito
7
7.2 Apa karakteristik khusus anak dengan kesulitan belajar
a. Sulit dalam mengekspresikan diri
b. Sulit dalam menulis, membaca, berhitung
c. Bicara berbelit
d. Tulisan sulit dibaca
e. Saat membaca, menulis, berhitung ada huruf/angka yang terbalik, tertinggal atau
berlebih
f. Kikuk dan ragu dalam bergerak
g. Menunjukkan gangguan orientasi arah ruang (kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang)
h. Keterlambatan perkembangan konsep (ukuran, bentuk, operasi aritmatika)
i. Sulit memahami isi bacaan
j. Di antara mereka dengan kesulitan belajar diikuti dengan kesulitan konsentrasi
5W 1H
what = apa,
where = dimana,
when = kapan, how = bagaimana
why = kenapa,
who = siapa,
j. Kembangkan cara belajar lisan seperti diskusi, tanya-jawab untuk mereka yang disleksia dan
disgrafia
9
Referensi
Cohen, H. J. (1994). Child care for children with special needs. Pediatrics, 94(6), 1055.
Demeris, H., Childs, R. A., & Jordan, A. (2007). The Influence of Students with Special Needs Included in Grade-
3 Classrooms on the Large-Scale Achievement Scores of Students without Special Needs. Canadian
Journal of Education / Revue canadienne de l’éducation, 30(3), 609-627
Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. (2003). Exceptional Learners: Introduction to Special Education. Virginia:
Merrill.
Kallavus, T. (2010). Helping Children with Special educational needs as a Cooperation between the Fields of
Education, Social Work, and Medicine. Papers on Anthropology, 19, 130-144.
Lusli, M. (2009). Helping Children with Sight Loss. Jakarta: Mimi Institute.
Mangunsong, F. (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok: LPSP3 UI.
Martin, G. L. (1998). Terapi untuk Anak ADHD. Jakarta: PT.Bhuana Ilmu Populer.
Rief, M. S. (2008). the ADD/ADHD Checklist: A Practical Reference for Parents and Teachers. San Fransisco:
Willey Imprint.
Smith, D. W. (Winter2006). Developing Mathematical Concepts Through Orientation and Mobility. ReView,
37(4), 161-165.
Steele, R. G., & Roberts, M. C. (2005). Handbook of Mental Health Services for Children, Adolescents and
Families. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers.
UNESCO (2001a). Open File on Inclusive Education: Support Material for Managers and Administrators. Paris:
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
UNESCO (2001b). Understanding and Responding to Children’s needs in Inclusive Classrooms. Paris: United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
Vickerman, P. (2007). Training physical education teachers to include children with special educational needs:
Perspectives from physical education initial teacher training providers. European Physical Education
Review, 13(3), 385-402.
William L. Heward (2006), Exceptional Children: An Introduction to Special Education. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
WHO Programme for the Prevention of Deafness and Hearing Impairment. (2001a). Guidelines for Hearing Aids
and Services for Developing Countries, July 2001. Geneva: World Health Organization.
WHO Programme for the Prevention of Deafness and Hearing Impairment. (2001b). Hearing Aids for
Developing Countries: Report of an Informal Consultation to Launch the WHO Guidelines for Hearing
Aids and Services for Developing Countries, WHO, Geneva 11-12 July 2001. Geneva: World Health
Organization.
Zhou, L., Smith, D. W., Parker, A. T., & Griffin-Shirley, N. (2011). Assistive Technology Competencies of
Teachers of Students with Visual Impairments: A Comparison of Perceptions. Journal of Visual
Impairment & Blindness, 105(9), 533-547.
10
Bab II
Pendidikan Inklusif
Tujuan yang hendak dicapai melalui materi pendidikan inklusif agar pembaca dapat:
1. PENDIDIKAN INKLUSIF
1.2 Apa yang dimaksud dengan mengajak masuk atau mengikutsertakan dalam pengertian
“Inklusif”
Dalam pengertian “Inklusif” yang diajak masuk atau yang diikutsertakan adalah menghargai dan
merangkul setiap individu dengan perbedaan latar belakang, jenis kelamin, etnik, usia, agama,
bahasa, budaya, karakteristik, status, cara/pola hidup, kondisi fisik, kemampuan dan kondisi
beda lainnya (UNESCO: 2001, 17). “Inklusif” merupakan perubahan praktis dan sederhana yang
memberi peluang kepada setiap individu dengan setiap perbedaannya untuk bisa berhasil
dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan individu yang sering tersisihkan
seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan
administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat dan lingkunganya juga mendapatkan
keuntungan dari setiap perubahan yang dilakukan.
11
c. Relevan and akomodatif terhadap cara belajar
d. Berpusat pada kebutuhan dan keunikan setiap individu siswa
e. Inovasi dan fleksibel
f. Kerjasama dan saling mengupayakan bantuan
g. kecakapan hidup yang mengefektifkan potensi individu siswa dengan potensi lingkungan
12
Partisipasi Kelompok tertentu Tidak ada Semua pihak
Sistem Terpisah dari sekolah Menjadi bagian dari Ada di dalam sekolah
umum sekolah umum umum
3.2 Mengapa saat ini pendekatan pendidikan inklusif seakan-akan diutamakan bagi siswa
berkebutuhan khusus
Mengutamakan anak berkebutuhan khusus dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak
berarti pendidikan inklusif menjadi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak luar
biasa. kelompok anak ini diutamakan dengan alasan karena pendekatan pendidikan inklusif:
a. Melihat dan menempatkan Anak berkebutuhan khusus yang berbeda karakteristik, perilaku
dan atau kemampuan dengan anak pada umumnya dalam sistem keragaman kelas
b. Memberikan kemudahan kepada anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak
pendidikan yang sama dan mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih luas
c. Mengatasi keterbatasan jumlah dan ketidakmerataan penyebaran sekolah khusus atau
sekolah luar biasa
d. Membiasakan terjadinya sosial interaksi di antara anak berkebutuhan khusus dengan anak
pada umumnya yang dapat mengoptimalkan perkembangan sosial dalam komunitas anak
3.3 Apakah hanya sekolah yang ditunjuk saja yang boleh menyelenggarakan pendidikan inklusif
TIDAK!!! Semua sekolah tanpa terkecuali, semua satuan, jenis, jenjang pendidikan baik
pemerintah maupun swasta boleh bahkan diarahkan untuk menyelenggarakan pendidikan
dengan pendekatan pendidikan inklusif. Dengan semua sekolah menjadi sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif, maka pendidikan inklusif di sekolah memberikan kontribusi bagi percepatan
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
13
3.4 Mengapa pendidikan diarahkan untuk menggunakan pendekatan pendidikan inklusif
a. Karena Sesuai dengan landasan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, sesuai dengan
landasan ideologi Pancasila dan landasan filosofis Bhineka Tunggal Ika
b. Karena sejalan dengan landasan pendidikan nasional bahwa pendidikan dilaksanakan atas
azas demokrasi, berkeadilan dan tanpa diskriminasi.
c. Karena sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang juga tertera dalam deklarasi Hak Asasi
Manusia Universal PBB.
d. Karena sejalan dengan tujuan pembangunan millennium yang mendorong setiap Negara
mengupayakan tersedianya pendidikan untuk semua pada tahun 2015.
e. Karena sesuai dengan nilai-nilai keagamaan
f. Karena dapat membiasakan siswa dan komponen sekolah lainnya belajar menghargai
pluralitas
14
4.4 Apa maksudnya dengan lingkungan fisik sekolah yang mudah dijangkau
Bangunan sekolah yang memenuhi persyaratan bangunan yakni bangunan yang memberikan
kegunaan, kemudahan, kemandirian dan keselamatan bagi setiap pengguna bangunan sekolah.
Sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, lingkungan fisik sekolah diupayakan untuk
memenuhi persyaratan rancangan secara umum (universal design) dengan 7 prinsip, yakni:
a. Kesetaraan (equitable use)
b. Fleksibilitas (flexibility)
c. Sederhana, Intuitif (simple, intuition use)
b. Informatif (perceptible information)
c. Toleransi terhadap kesalahan (tolerance of error)
d. Penggunaan fisik yang minimal (low phycical effort)
e. Ukuran dan ruang untuk pendekatan dan penggunaan (size and space for approach and use)
4.5 Apa maksudnya dengan lingkungan sosial sekolah yang nyaman dan ramah
Warga dalam lingkungan sekolah yakni siswa dan komponen sekolah lainnya berada dalam
lingkungan belajar yang menyenangkan, menarik dan memudahkan yang saling mengupayakan
bantuan dan saling memberikan peluang berhasil dengan melihat setiap perbedaan dari diri
setiap siswa sebagai suatu yang wajar untuk dirangkul dan diikursertakan bukan untuk diejek
dan ditinggalkan.
5.1 Siapa dan apa manfaat dari sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
Semua komponen sekolah: orangtua, guru/ kepala sekolah/administrasi sekolah, masyarakat
dan pemerintah (pengawas sekolah, kepala seksi pendidikan, dinas pendidikan dll) mendapatkan
manfaat, bahkan semua siswa baik siswa pada umumnya dan siswa berkebutuhan khusus
mendapatkan manfaat dari sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, di antaranya:
1) Memahami dan menerima perbedaan sebagai sesuatu yang wajar
2) Mengasah kepekaan
3) Menunjukkan perbuatan Menghargai perbedaan
4) Memudahkan penyesuaian social
15
5.3 Apa manfaatnya bagi siswa
a. Menciptakan suasana belajar yang kooperatif
b. mengembangkan sikap toleran
c. memudahkan sosial interaksi di antara teman
d. Memunculkan rasa percaya diri melalui sikap penerimaan dan pelibatan di dalam kelas
e. Melatih dan membiasakan untuk menghargai dan merangkul perbedaan dengan
menghilangkan budaya “labeling” atau memberi cap negatif.
5.6 Apa manfaatnya bagi pemerintah (pengawas sekolah, kepala seksi pendidikan, dinas
pendidikan, dll)
a. Kebijakan pendidikan terlaksana.
b. Anak berkebutuhan khusus mendapatkan hak pendidikan yang sama dan mendapatkan
kesempatan pendidikan lebih luas.
c. Mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
d. Pendidikan terlaksana berlandaskan pada azas demokrasi, berkeadilan dan tanpa
diskriminasi
16
Referensi
Braillo Norway & Depdiknas (2007). Merangkul Perbedaan: Perangkat untuk Mengembangkan Lingkungan
Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran. Jakarta: Braillo Norway & Depdiknas.
Befring, E. (2001). Introduction to History of Special Needs Education towards Inclusive. Article in Johnsen,
Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed). Educational - Special Needs Education: An Introduction. Oslo, Unipub.
Hardin, B. & Hardin, M. (2002). Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in Inclusive
Environments. The Clearing House, 75(4), 175-178.
Norwich, B. (2002). Education, Inclusion and Individual Differences: Recognizing and Resolving Dilemmas.
British Journal of Educational Studies, 50(4), 482-502.
Reid, D.K., & Knight, M.G. (2006). Disability Justifies Exclusion of Minority Students: A Critical History Grounded
in Disability Studies. Educational Researcher, 35(6), 18-23.
Rahman, M. A. (2003). Landasan Pendidikan Inklusif dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan LPTK. Direktorat
pendidikan sekolah luar biasa, depdiknas; Mengenal Pendidikan Inklusi (http//www.ditplb.or.id)
Skjørten, M.D. (2001). Toward Inclusion and Enrichment. Article in Johnsen, Berit H. & Skjørten, Miriam D. (ed).
Educational - Special Needs Education: An Introduction. Oslo: Unipub.
Shea, T. M., & Bauer, A. M. (1995). An introduction to special education: A social systems perspective. Madison,
WI: Brown & Benchmark.
Skrtic, T. (1991). Behind special education: A critical analysis of professional culture and school organization.
Denver, CO: Love.
Stainback, S., & Stainback, W. (Eds.). (1996). Inclusion: A guide for educators. Baltimore: Paul H. Brookes.
Thomas, G., Walker, D., & Webb, J. (1998). The Making of The Inclusive School. New York: Routledge.
UNESCO (2001). Understanding and Responding to Children’s needs in Inclusive Classrooms. Paris: United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization.
Voltz, D.L. (2001). Preparing General Education Teachers for Inclusive Settings: The Role of Special Education
Teachers in the Professional Development School Context. Learning Disability Quarterly, 24(4), 288-
296.
Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia (2010). Buku Himpunan Kebijakan Pendidikan. Sumber Hukum
Bagi Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah:Prioritas untuk Anak dengan Disabilitas/Berkebutuhan Khusus.
Depok: Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia.
17
Bab III
Tujuan yang hendak dicapai melalui materi kebijakan dan sensitivitas dalam kerjasama antar
Pemangku Kepentingan atau Stakeholder pendidikan agar pembaca dapat:
1. Kebijakan Pendidikan
a. Pasal 26
(1) Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya
untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus
diwajibkan. Pendidikan teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua
orang, dan pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang,
berdasarkan kepantasannya.
(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta
memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan
asasi. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan
di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan
kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
18
(3) Orang tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan
diberikan kepada anak-anak mereka.
b. Pasal 29
a. Untuk memperoleh upaya-upaya dari pihak lain yang dapat memudahkan mereka
hidup mandiri/tidak tergantung pada pihak lain
b. Mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan
social, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua
jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan
ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan
integrasi social mereka.
Pasal 2
Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam
konvensi ini dan setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk
apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, asal-usul etnik atau sosial, kekayaan,
ketidakmampuan, kelahiran atau status lain dan anak atau dan orang tua anak atau walinya
yang sah menurut hukum
Pendidikan untuk semua dan penyediaan akses pendidikan dasar bagi semua anak
1.1.7 Konvensi Hak Penyandang Cacat, disepakati 13 Desember 2006, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Resolusi 61/106, ditandatangani oleh negara
anggota PBB 30 Maret 2007
Negara-negara pihak mengakui hak orang-orang penyandang cacat atas pendidikan.
Dengan tujuan untuk mewujudkan hak ini tanpa diskriminasi dan atas dasar
kesetaraan kesempatan, Negara-negara pihak harus menjamin suatu sistem
pendidikan yang inklusif di semua tingkatan dan pembelajaran jangka panjang.
Pasal 11 Ayat 1
Adalah kewajiban pemerintah untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi semua
warga negara, tanpa adanya diskriminasi.
Pasal 12 Ayat 1b
Hak dari murid untuk memiliki pendidikan yang layak berdasarkan bakat, minat dan
kemampuannya
20
1.2.3 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional
Pasal 41
Tentang setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki
tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi
peserta didik dengan kebutuhan khusus
1.2.4 Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang Pengesahan dari Pengakuan akan Hak-Hak
Anak.
1.2.7 Surat Edaran No. 380/G.06/MN/2003 dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional tanggal 20 Januari 2003 tentang
Pendidikan Inklusif.
1.2.8 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan
Inklusiff bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan
dan/atau Bakat Istimewa
21
2.2 Siapa yang menjadi Pemangku Kepentingan atau Stakeholder di sekolah penyelenggara
Pendidikan Inklusif
Pemangku Kepentingan atau Stakeholder utama adalah siswa. Tanpa siswa, tidak terjadi proses
pembelajaran yang merupakan kegiatan inti dalam pendidikan. Dengan adanya siswa maka
keterlibatan guru, kepala sekolah, administrasi sekolah, orangtua dan keluarganya, pemerintah
dan masyarakat termasuk kelompok perguruan tinggi, kalangan profesional dan lembaga
swadaya masyarakat sebagai pemangku kepentingan atau stakeholder pendidikan menjadi
diperlukan dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing yang diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan setiap siswa dalam belajar dalam lingkungan kelas beragam.
3. Kelompok atau individu yang mewakili Pemangku Kepentingan atau Stakeholder di sekolah
penyelenggara Pendidikan Inklusif
a. Siswa
b. Orangtua
c. Guru
d. kepala sekolah dan komponen sekolah lainnya
e. Komite Sekolah
f. Pengawas Sekolah
g. Pusat Sumber (SLB/SDLB)
h. Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal, Nasional, dan International
i. Universitas
j. Profesional
k. Pemerintah
l. Masyarakat
22
c. Peran sebagai Guru
Mengelola pembelajaran yang berpusat pada siswa dalam kelas yang beragam
Menciptakan lingkungan kelas yang inklusiff
Menangani kebutuhan pembelajaran siswa secara akomodatif
Merencanakan, melaksanakan dan menilai program pembelajaransejalan dengan
landasan pendidikan yang berasaskan demokrasi, berkeadilan dan tanpa diskriminasi
e. Komite Sekolah
Memberikan masukan guna meningkatkan mutu pendidikan sekolah
Membantu sekolah dalam penyediaan sarana dan prasarana serta layanan pendukung
pembelajaran
f. Pengawas Sekolah
Mengawasi berjalannya program sekolah
Memberikan masukan guna meningkatkan mutu pendidikan sekolah
Mengontrol pelaksanaan kebijakan di tingkat sekolah serta pelaksanaan regulasi dan
kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten/kota, propinsi, nasional dan internasional
g. Pusat Sumber
Memberikan konsultasi dan layanan pendukung bagi sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif
Melakukan pelatihan dan pendampingan bagi guru dan komponen sekolah lainnya di
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
Menjadi sumber belajar
i. Masyarakat
23
Mengupayakan dan menempatkan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan hak
atas pendidikan
Melakukan kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah
Menjadi sumber informasi dan sumber belajar
Menggerakkan anggota masyarakat untuk terlibat membantu pembelajaran di sekolah
j. Perguruan tinggi
Merupakan mitra pemerintah dalam merancang kebijakan
Menghasilkan tenaga pendidik yang berkualitasMenyediakan layanan pendukung
Memberikan pelatihan dan pendampingan bagi sekolah dan komponen sekolah lainnya
di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
Menjadi sumber informasi dan sumber belajar
k. Profesional
Membuat rujukan
Melakukan konsultasi
Mendapatkan terapi dan bimbingan belajar sehubungan dengan kurikulum
tambahan/khusus yang tidak termuat dalam kurikulum sekolah umum
Memberikan pelatihan dan pendampingan bagi guru, orangtua dalam penanganan
belajar anak berkebutuhan khusus
4. Pengelolaan terhadap peran dan tanggung jawab Pemangku Kepentingan atau Stakeholder di
sekolah penyelenggara Pendidikan Inklusif
4.1 Mengapa peran dan tanggung jawab Pemangku Kepentingan atau Stakeholder butuh dikelola
a. Guna merespon secara strategis perubahan lingkungan yang baru.
b. Untuk menemukan cara yang tepat dalam memberikan penjelasan dan pendampingan
lingkungan.
c. Meningkatkan peluang kesuksesan sebuah program.
4.2 Bagaimana mengelola peran dan tanggung jawab Pemangku Kepentingan atau Stakeholder
a. Dengan perhatian yang simultan terhadap ketertarikan bersama terhadap isu sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif
b. Dengan mengacu pada regulasi dan kebijakan baik dalam pengaruh kerja struktural maupun
fungsional
c. Dengan advokasi (penjelasan dan pendampingan) yang konsisten dan berkelanjutan
d. Dengan jejaring mengarusutamakan pendidikan inklusif dalam sistem pendidikan nasional
e. Dengan mengangkat keprihatinan masih ada sejumlah anak yang tersisih dan hilang hak
belajar dan bersekolahnya
f. Dengan membangun kerja kemitraan angar pemangku kepentingan atau stakeholder
24
5.1 Mengapa diperlukan kerjasama antar Pemangku Kepentingan atau Stakeholder
Pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan serta
pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab orangtua dan keluarga serta masyarakat
dan Pemangku Kepentingan atau Stakeholder terkait lainnya. Dalam sekolah penyelenggara
Pendidikan Inklusif, salah satu pencapaian tujuannya adalah memastikan setiap komponen
sekolah yang dimaksud adalah Pemangku Kepentingan atau Stakeholder dengan perannya
masing-masing bertanggung jawab ikut menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi
pemenuhan kebutuhan setiap siswa dalam belajar.
Alasan lain, guru bukan satu-satunya orang dengan kemampuan pedagogiknya dapat
mengurangi kesulitan dan meniadakan hambatan setiap siswa dalam belajar. Oleh karena
itu, Pemangku Kepentingan atau Stakeholder lainnya dengan peran dan tanggung jawabnya
masing-masing dapat menjadi mitra kerja dan sumber belajar guru di sekolah penyelenggara
Pendidikan Inklusif.
5.2 Apa bentuk kerja sama antar Pemangku Kepentingan atau Stakeholder
25
Memberikan pengertian kepada siswa lain untuk mengikutsertakan temannya yang
berkebutuhan khusus dalam kegiatan bermain dan belajar
e. Guru, pusat sumber, orangtua, perguruan tinggi
Saling menjadi sumber informasi dan tempat pembelajaran
Memprogramkan kegiatan edukasi seperti pelatihan dan seminar dengan topik-topik
bahasan sesuai dengan kebutuhan sekolah inklusif
Sebagai tempat referensi untuk membuat rujukan misalnya guru sekolah umum
meminta orangtua untuk membawa anaknya yang berkebutuhan khusus dke fakultas
psikologi untuk mendapatkan layanan test IQ; guru sekolah umum dapat meminta
orangtua untuk membawa anaknya berkebutuhan khusus belajar sementara di pusat
sumber (SLB/SDLB)
f. Kepala sekolah, komite sekolah dan pengawas sekolah
Memberikan penjelasan dan pendampingan kepada guru dan orangtua terkait dengan
regulasi dan kebijakan sekolah penyelengara pendidikan inklusif
Memprogramkan gerakan yang mengajak keterlibatan masyarakat dalam kegiatan
sekolah
g. Sekolah, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dan masyarakat
Saling mendukung untuk mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun misalnya diadakannya paket belajar A, B, C dan pembelajaran di rumah (home
schooling)bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang karakteristiknya lebih kuat untuk
belajar bukan di lingkungan rumah
Saling mengontrol terhadap pelaksanaan regulasi dan kebijakan pendidikan, adanya
rumah belajar dan rumah singgah yang diselenggarakan oleh lembaga swadaya
masyarakat.
5.3 Langkah-langkah apa yang diperlukan untuk mengasah sensitivitas dalam kerjasama antar
Pemangku Kepentingan atau Stakeholder
a. Pemangku Kepentingan atau Stakeholder mutlak harus punya pengetahuan yang benar
tentang apa dan siapa anak berkebutuhan khusus serta konsep pendidikan inklusif dalam
kerangka sistem pendidikan nasional
b. Pemangku kepentingan atau Stakeholder perlu dan penting untuk menyadari bahwa setiap
individu adalah karya Sang Pencipta, dan bahwa setiap warga Bangsa mempunyak hak,
kedudukan dan kewajiban yang sama juga mempunyai hak untuk mendapatkan kemudahan
dan perlakuan khusus serta bahwa demokrasi, berkeadilan dan tanpa diskriminasi adalah
landasan mendasar penyelenggaraan pendidikan.
c. Pemangku Kepentingan atau Stakeholder belajar untuk melihat dan memahami
kecacatan/disabilitas merupakan bagian dari perbedaan dalam sistem keragaman
masyarakat bersumber pada Bhineka Tunggal Ika, dan karenanya Pemangku Kepentingan
atau Stakeholder mutlat mengubah pola pandang untuk melihat dan memahami Anak
Berkebutuhan Khusus akibat kecacatan/disabilitas tertentu sebagai suatu yang wajar dalam
sistem kelas beragam.
d. Pemangku Kepentingan atau Stakeholder berlatih untuk empati dengan cara mengambil
kesempatan berperan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus dan mencoba mengalami
beberapa saat dengan melakukan simulasi menjadi siswa berkebutuhan khusus bermain di
sekolah bersama siswa pada umumnya dan mencoba untuk bersimulasi menjadi Anak
26
Berkebutuhan Khusus saat mengikuti kegiatan pembelajaran bersama guru dan siswa pada
umumnya di kelas.
e. Pemangku Kepentingan atau Stakeholder terlibat sebanyak-banyaknya dalam kegiatan
keseharian anak berkebutuhan khusus, juga terlibat sebanyak-banyaknya dalam kegiatan
guru dan orangtua dalam penanganan belajar siswa berkebutuhan khusus baik di rumah, di
sekolah atau di pusat sumber
27
Referensi
Bailey, J., & du Plessis, D. (1997). Understanding principals’ attitudes towards inclusive schooling. Journal of
Educational Administration, 35(5), 428–438.
Barth, R. (1990). Improving schools from within: Teachers, parents and principals can make a difference. San
Francisco: Jossey-Bass.
Berres, M., Ferguson, D., Knoblock, P., & Wood, C. (Eds.). (1996). Creating tomorrow’s schools today: Stories of
inclusion, change, and renewal. New York: Teachers College Press.
Biklen, D. (1985). Achieving the complete school: Strategies for effective mainstreaming. New York: Teachers
College Press.
Booth, T., & Ainscow, M. (Eds.). (1998). From them to us: An international study of inclusion in education.
London: Routledge.
Braillo Norway dan Depdiknas; 2007; Merangkul perbedaan:perangkat untuk mengembangkan lingkungan
inklusiff ramah terhadap pembelajaran
Buku Panduan Pelatihan Peningkatan Kesadaran dan Kepekaan Lingkungan Terhadap Disabilitas Menuju
Masyarakat Inklusif (2008), Depok, Pusat Kajian Disabilitas, Universitas Indonesia
Buku Himpunan Kebijakan Pendidikan. Sumber Hukum Bagi Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah:Prioritas
untuk Anak dengan Disabilitas/Berkebutuhan Khusus. (2010). Depok: Pusat Kajian Disabilitas
Universitas Indonesia.
Deklarasi Bandung Menuju Indonesia Inklusif tahun 2004
kompendium: perjanjian, hukum dan peraturan menjamin semua anak memperoleh kesamaan hak untuk
kualitas pendidikan dalam cara inklusiff dikembangkan oleh braillo norwey dan IDP Norwey atas nama
unesco Jakarta dan plan indonesia edisi ketiga juni 2007
Kugelmass, J. W. (2004). The Inclusive School:Sustaining Equity and Standards. New York: Teacher Colleger.
Modul Inklusifvitas dan Partisipasi Warga dalam Pembangunan Berkeadilan Berbasis Konvensi Hak Penyandang
/cacat (2010), Jakarta, Mimi Institute
Shea, T. M., & Bauer, A. M. (1995). An introduction to special education: A social systems perspective. Madison,
WI: Brown & Benchmark
28
Bab 4
Management Pelatihan
Tujuan yang hendak dicapai melalui materi management pelatihan ialah agar pembaca:
A. Dasar-dasar pelatihan
Pelatihan adalah sebuah proses yang dirancang untuk memfasilitasi pembelajaran yang
ditujukan bagi peserta target suatu pembelajaran (Bray: 2009, 34). Mengacu definisi training ini,
maka kata pembelajaran menjadi salah satu kuncinya. Pembelajaran memiliki pengertian
sebagai suatu proses yang memampukan seseorang untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang baru, sehingga ia dapat melakukan sesuatu yang belum pernah
dilakukan sebelumnya dan atau dapat melakukan sesuatu secara lebih efektif (Bray: 2009, 35).
Berangkat dari kedua pengertian diatas, maka pelatihan adalah sebuah kegiatan perolehan
pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui serangkaian aktivitas pembelajaran untuk mengisi
kesenjangan antara kompetensi saat ini dan tuntutan tanggung jawab dari peserta yang memiliki
karakteristik sesuai dengan target dilakukannya pelatihan.
Belajar merupakan proses seumur hidup bagi semua orang dan dalam proses belajar ini
memerlukan adanya kemampuan untuk dapat menerima dan melakukan perubahan. Terkait
dengan definisi pembelajaran di atas, maka ada tiga aspek dalam belajar yaitu:
Attitude / SIKAP
Knowledge / Skill /
PENGETAHUAN KETRAMPILAN
29
Tiga aspek belajar di atas harus dimiliki sekaligus menjadi ukuran keberhasilan pelatihan bagi
calon pelatih (Training of Trainer) yaitu:
1. Knowledge / PENGETAHUAN
a) Memiliki kemampuan pengetahuan teoritis dan praktis tentang materi pelatihan.
b) Memiliki kualitas akademis yang memadai
c) Memiliki pengetahuan tentang prinsip belajar dan prinsip komunikasi
d) Memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam mengadakan pelatihan
2. Skill / KETRAMPILAN
a) Terampil menganalisa kebutuhan pelatihan
b) Terampil menerapkan prinsip belajar dan prinsip komunikasi
c) Terampil melakukan training recall atau “penyegaran pelatihan”
d) Terampil menciptakan suasana pelatihan yang menyenangkan
e) Terampl memilih, membuat dan menggunakan sarana yang mendukung pelatihan,
termasuk metode, dinamika kelompok
f) Terampil memfasilitasi dan mengelola kerja kelompok
g) Terampil melakukan ulasan dan umpan-balik serta evaluasi pelatihan
3. Attitude / SIKAP
a) Berempati
b) Mendengarkan aktif
c) Mau menjawab pertanyaan
d) Menghargai pendapat dan
pengalaman
e) Luwes / fleksibel dan ramah.
f) Enerjik dan optimis
g) Beri perhatian dan senyum
h) Ingat dan menyebutkan nama
i) Bicara hal yang diminati
j) Perlakukan orang dengan baik
k) Hindari sikap mengkritik dan mencela
l) Bangkitkan semangat dan gairah
30
Dalam pelatihan, diperlukan hadirnya “Trainer” atau “Pelatih” atau “Pemateri” yang
bertugas memberikan materi dan melakukan perubahan pada orang lain. Konsep pelatihan yang
berpusat pada trainer ini merupakan model pelatihan konvensional, dimana trainer dituntut
untuk melakukan transfer pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada orang lain.
Konsekuensinya, trainer perlu belajar memahami materi dan melakukan perubahan lebih dulu
pada dirinya, baru dapat dan mampu memberikan materi dan melakukan perubahan kepada
orang lain. Sebaliknya trainee atau peserta dianggap tidak memiliki pengetahuan apapun untuk
dibagikan dalam sebuah pelatihan sehingga sepanjang proses pelatihan para peserta hanya akan
menyimak pemaparan dari pemberi materi. Model pelatihan ini oleh Bray (2009) disebut sebagai
model pelatihan TOP-DOWN.
Perkembangan situasi yang terjadi dewasa ini menuntut adanya perubahan cara
pengorganisiran sebuah proses pembelajaran di dalam suatu kegiatan training (Saxena: 1983).
Perubahan yang dimaksudkan ialah training yang semula sekedar transfer pengetahuan menjadi
training yang berupaya untuk mengorganisir hasil pembelajaran. Model training ini
mengandaikan peserta sebelumnya telah memiliki pengetahuan, skill, dan sikap yang ingin
dikembangkan selama training, tidak perduli seberapa kecil ataupun besarnya. Dengan
pengandaian ini maka peserta bukanlah pendengar pasif tetapi mereka dimungkinkan untuk
terlibat aktif dalam proses training. Proses pembelajaran yang melibatkan secara aktif para
peserta ini dikenal sebagai pembelajaran orang dewasa (Adult Learning).
PERAN Pemateri
Dalam pelatihan yang menggunakan konsep pembelajaran orang dewasa, peran trainer yang
semula menjadi transmitter atau penyalur pengetahuan mengalami perubahan, yakni menjadi:
Dengan kata lain pemateri harus berperan sebagai manager suatu pembelajaran dan mendorong
diperkembangkannya keterampilan dan strategi dalam proses pembelajaran pribadi, sehingga
pembelajaran akan terus berlanjut sekalipun pelatihan berakhir. Artinya, kunci keberhasilan
pemateri terletak pada perannya, yakni sebagai FASILITATOR.
Fasilitator bukanlah guru, karena secara teoritis ada perbedaan yang mendasar. Peran guru
di dalam kelas pada umumnya sebagai transmitter pengetahuan bagi para muridnya. Fasilitator
memiliki peran sebagai manager dalam proses pembelajaran.
31
4. memberikan tantangan kepada peserta untuk menemukan solusi atau mencoba cara
lain pemecahan
5. mendorong peserta supaya berinisiatif, memunculkan ide atau gagasan
Tindakan Pemateri sangatlah menentukan sukses ataupun gagalnya sebuah pelatihan. Maka,
pemateri perlu diperlengkapi dengan berbagai level keterampilan sehingga mampu secara
kreatif membuat lingkungan atau suasana pembelajaran yang paling tepat yang dibutuhkan oleh
peserta pelatihan.
b. Ciri-ciri kreatif
Tidak tergantung pada satu cara.
Mempergunakan berbagai potensi yang ada.
Mampu menyesuaikan dengan kebutuhan.
Mampu menjawab persoalan dengan berbagai cara.
Dll
c. proses kreatif :
∞ persiapan: mengumpulkan informasi, berkonsentrasi, meleburkan diri dengan
semua aspek materi & kebutuhan pelatihan
∞ inkubasi: masa istirahat sejenak untuk mengendapkan semua informasi yang
terkumpul sebagai proses pemahaman
∞ iluminasi: membayangkan
∞ implementasi: menjalani kegiatan, menyelesaikan masalah praktis dengan
melibatkan dan mendapatkan dukungan dari peserta
d. kendala untuk kreatif
PENGUNCI MENTAL: dalam diri sendiri
Mencari kebenaran, bukan kemungkinan jawaban
Ikut aturan
Takut salah, khawatir ditolak, takut diremehkan
Melabel diri sendiri: saya tidak bisa, saya tidak tahu
B. Proses Pelatihan
Perencanaan (Design)
32
Pengembangan materi (Development of material)
1. Analisa kebutuhan
Pelatihan hadir untuk mengisi kesenjangan. Mengenali / identifikasi kebutuhan kompetensi
dapat dilakukan dengan beberapa cara :
2. Perencanaan
Merupakan jawaban dari tahap sebelumnya, yakni kebutuhan kompetensi yang harus
dimiliki untuk melaksanakan tanggung jawab. Dapat terbantu dengan pertanyaan berikut :
3. Pengembangan materi
Tahap ini menyita waktu paling banyak.
Selain materi inti, bacaan lain yang mendukung (background reading) juga harus
diketahui.
Ulasan materi (review) yang sudah dibuat untuk memperoleh umpan balik guna
pemantapannya.
Briefing : menyamakan pemahaman alur pelatihan dan membangun kesepakatan
dengan rekan.
Pemateri harus mengingat urutan penyampaian materi (sequencing); terkait dengan
kesediaan waktu
Selain materi inti, trainer juga harus mempersiapkan administrasi pelatihan :
Jadwal
Materi tambahan
33
Media presentasi (papan tulis – spidol, gambar / foto, laptop – LCD, kertas flipchart, fail
presentasi)
Daftar hadir peserta
Tes awal & tes akhir (pre- & post-test)
Evaluasi pelatihan
Profil peserta dan institusi, jika dibutuhkan
Tanda terima dana, jika dibutuhkan
4. pelaksanaan pelatihan
Strategi yang dilakukan meliputi :
5. Evaluasi pelatihan
Tujuan : mengukur keberhasilan pelatihan, dengan kata lain “memenuhi kesenjangan
kompetensi saat ini” berarti : memperoleh, meningkatkan, memperbaiki
SIKAP, PENGETAHUAN, dan KETRAMPILAN.
C. Tahapan Pelatihan
Seperti sudah dibahas pada bagian B, terjadinya sebuah pelatihan adalah sebuah proses : analisa
– perencanaan – pengembangan materi – pelaksanaan – evaluasi. Namun pelatihan belum usai
saat evaluasi telah dikumpulkan oleh trainer atau pemateri.
34
Monitoring
Perencanaan Pelatihan Pelaporan
dan Tindak
Lanjut
Usai pelatihan, sejumlah arsip harus dikumpulkan dan dibuatkan laporan. Arsip yang dibutuhkan
dalam pelatihan adalah :
Monitoring, mentoring dan coaching adalah kegiatan memantau perkembangan paska pelatihan.
Monitoring biasanya diadakan rutin untuk mengetahui kemajuan – kemajuan dalam periode
tertentu, misalkan 2 bulan sekali
Prinsip dasar
35
Tangga pendampingan :
1. Bertanya (asking)
2. Menunjukkan (showing)
3. Bertukar pengalaman (sharing)
4. Memberitahukan (telling)
Teknik :
Kesalahan pelatihan :
36
Referensi
Bray, T. (2009). The Training Design Manual: The Complete Practical Guide to Creating Effective and
Successful Training Programmes 2nd Ed. London & Philadelphia: Kogan Page.
Saxena, A.P. (1983), Changing Role of the Trainer. Economic and Political Weekly, 18(48), 177-180.
Lage, M.J., Platt, G.J., & Treglia, M. (2000). Inverting the Classroom: A Gateway to Creating an
Inclusive Learning Environment. The Journal of Economic Education, 31(1), 30-43.
37