Professional Documents
Culture Documents
Kuliah Umum Tambahan Hak Milik Atas Tanah
Kuliah Umum Tambahan Hak Milik Atas Tanah
KERAJAAN KUTAI
Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-orang Eropa di Nusantara, sebenarnya
pengaturan dalam masalah tanah sudah dikenal dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu.
Pada masa jayanya kerajaan Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur tentang acara
penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan, tanah terlantar, dan tanah-tanah
kehutanan. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut sebagai berikut :
Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan Kitab Undang-Undang Brajananti atau Brajaniti. Pada masa
kerajaan Banjar dikenal dengan Kitab Undang-Undang Sultan Adam dibuat sekitar tahun 1251.
KERAJAAN SRIWIJAYA
Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400) dikenal dengan nama kitab
undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja
Sriwijaya. Prinsip pemilikan hak atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai
pemakai (penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.
Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang menguasai seluruh Nusantara dan
memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang pengaturan kehidupan masyarakat. Tanah dalam
kehidupan rakyat majapahit memegang peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang hak
memakai tanah yang disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam Negarakertagama pupuh 88/3
baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut disusun dengan latar belakang bahwa kerajaan Majapahit
merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar hidup dari hasil-hasil pertanian. Dalam kitab
undang-undang yang disebut agama, terdapat lima pasal di antara 271 pasalnya yang mengatur masalah
tanah. Tanah menurut undang-undang agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya
mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki tanah tersebut, hak milik
atas tanah tetap ada pada raja.
Zaman Belanda
Masa kolonial Belanda (1870-1942), sejak berlakunya Agrarische Wet (1870) pemerintah
kolonial Belanda menerbitkan ordonansi (Staatblad 1823 No. 164) yang menetapkan
penyelenggaraan kadastral ditugaskan kepada Kadastral Dienst yang pejabatnya diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Pada masa ini bagi orang Belanda dan timur asing urusan
pertanahannya yang meliputi surat keputusan hak atas tanah diterbitkan oleh Bupati, Residen,
dan/atau Gubernur, dan kadaster yang bersifat peta dan informasi dikerjakan oleh Kehakiman,
serta balik nama oleh pengadilan, sedangkan bagi pribumi urusan pertanahannya cukup
dilaksanakan oleh administrasi desa/ kelurahan.
Pengaruh politik pertanahan terlihat dari tindakan / perbuatan yang dilakukan pemerintah. Politik
tersebut dimulai pada tahun 1830 (Perang Napoleon di Eropa) diantara politik yang diterapkan
oleh bangsabangsa Barat antara lain :
1. Cultuure stelsel
2. Agrarische Wet
3. Agrarische Besluit
Dalam perkembangannya antara Agrarische Wet dan Agrarische Besluit ada yang
mengatakan domein verklaring. Domein verklaring adalah dijelaskan pada pasal 1 Agrarische
wet menyebutkan tanah yang tidak bisa dibuktikan atas kepemilikan (Eigendom/eigenaar). Oleh
karena itu UU atau Agrarische wet yang dikeluarkan oleh bangsa belanda tersebut hukum
belanda tersebut berisi ketentuan–ketentuan yang sangat berpihak kepada kepentingan –
kepentingan perusahaan swasta swasta. Namun ada juga melindungi kepentingan orang
Indonesia asli tapi melalui beberapa cara :
1. Memberi kesempatan bagi orang Indonesia asli untuk memperoleh hak eigendom agraris atas
tanahnya sehingga dapat dihipotikkan.
2. memperbolehkan rakyat meyewakan tanah kepada orang asing untuk rakyat yang berekonomi
lemah mendapat perlindungan terhadap orang yang berekonomi kuat.
Secara global agrarische wet bertujuan memberikan kemungkinan kepada modal asing untuk
berkembang di Indonesia dengan hak erfracht (HGU) selama 75 tahun, tanah dengan hak opstal
(HGB). Hak sewa, hak pinjam pakai.Jadi jelas disini pemerintah belanda berwenang memberikan
hak tersebut adalah pemilik/eigenaar dan karenanya negara dinyatakan sebagai pemilik tanah.
Masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Kadastral Dienst diganti namanya menjadi Jawatan
Pendaftaran Tanah dan tetap di bawah Departemen Kehakiman. Pada masa ini berlaku
pelarangan pemindahan hak atas benda tetap/tanah (Osamu Sierei No. 2 Tahun 1942), dan
penguasaan tanah-tanah partikelir oleh Pemerintahan Dai Nippon dihapus.
Pada prinsipnya, urusan pertanahan dilaksanakan seperti zaman kolonial Belanda.
Domein verklaring, dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak perlu membuktikan haknya
dalam proses perkara sebaliknya pihak lainlah yang selalu membuktikan haknya itu. Jadi nyata
ketentuan yang selalu membebankan kewajiban pembuktian kepada rakyat itu, artinya tidak
mempunyai keadilan. Oleh karena itu pernyataan domein verklaring tahun 1870 tidak dapat
dipertahankan lagi dalm NKRI. Sesungguhnya dalam pembelian hak atas tanah negara, negara
tidak perlu bertindak sebagai eigenaar (kepemilikan) cukup bila UU memberi wewenang
kepadanya untuk berbuat sesuatu kepada penguasa atau overheid, UUPA berpendapat sama
dengan ini terlihat dalam pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan didalam pasal 33
UUD 1945 tidak ada tempatnya negara bertindak sebagai pemilik tanah dan adalah lebih tepat
jika negara bertindak sebagao badan penguasa begitu juga dalam larangan pengasingan hak atas
tanah ditegaskan dalam Stb. 1875 Jo no. 179 menegaskan segala perjanjian yang bertujuan
penyerahan atas tanah maka dilakukan atas kesepakatan para pihak tapi dalam kenyataannya
Belanda melakukan pelanggaran (wanprestasi) dengan demikian sangat jelas sekali politik
hukum agraria yang pernah diterapkan di indonesia jelas tidak memihak kepada rakyat tetapi
sangat menguntungkan kepada perusahaan – perusahaan swasta belanda yang ada di Indonesia
pada saat itu. Oleh karena itu setelah 17 Agustus 1945 pemerintah di indonesia berusaha
merubah sistem hukum agraria belanda dengan menyesuaikan dari hukum negeri sendiri. Usaha
ini baru berhasil dengan keluarnya UU no. 5 tahun 1960 artinya setelah 15 tahun indonesia
merdeka dalam pasal 2 dijelaskan bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945
sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi seluruh rakyat indonesia.
MASA PENJAJAHAN JEPANG
Peraturan-peraturan pertanahan yang berlaku sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap berlaku,
karena masa penjajahan yang begitu singkat belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan
terhadap hukum pertanahan. Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang hukum agraria pada jaman
Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhadap penguasaan dan hakhak atas
tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang
AWAL KEMERDEKAAN
Undang-Undang Pokok Agraria yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960, dengan nama
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah merupakan
penjabaran dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Setelah 15 tahun Indonesia merdeka apa
yang menjadi borok dalam daging tentang betapa ketentuan-ketentuan pertanahan yang berlaku pada
zaman Hindia belanda yang nyata-nyata merugikan bangsa Indonesia baru tanggal 24 september 1960,
dapat dirombak secara total. Di dalam konsiderans menimbang jelas disebutkan tentang motivasi
penyusunan undang-undang ini, yaitu :
1. bahwa Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya
masih bercocok agraria, bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai
fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.
2. bahwa hukum Agraria yang berlaku sekarang ini masih berdasarkan tujuan dan sendiri sendiri
pemerintah jajahan dan sebahagian lagi dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan
kepentingan rakyat.
Oleh sebab itu dengan berlakunya undang-undang ini, peraturan-raturan agraria yang berlaku
sebelumnya dihapuskan, yaitu :
1. Agrarische wet (S.1870-55) sebagai yang termuat pada Pasal 51 Wet op de Staatsinrichting van
Nederlands Indie (S. 1925-447) dan ketentuan dalam ayatayat lainnya dari pasal itu.
c. Domeinverklaring untuk Keresidenan Manado, tersebut ,dalam Pasal 1, S1877- 55. ©2003
Digitized by USU digital library 7
Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 no. 29 (S. 1872-1 l7) dan peraturan pelaksananya. Duku Kedua
KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya
undang-undang ini. Didalam penjelasan Undang-Undang ini dengan tegas dikatakan, bahwa hukum
agraria nasional ini harus mewujudkan penjelmaan dari azas kerohanian negara dan cita-cita bangsa,
khususnya pelaksanaan dari Pasal ayat (3) UndangUndang Dasar I945. Oleh karena undang-undang ini
sifatnya merupakan peraturan dasar, yang walaupun kedudukannya sama dengan undang-undang
secara formil, namun dengan sifatnya maka peraturan ini hanya memuat azas-azas yang pokokpokoknya
saja yang selanjutnya akan diatur dengan Undang-Undang Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Perundangan lainnya.
Di dalam penjelasan undang-undang ini juga dicantumkan tujuan dibentuknya Undang-undang ini
yaitu :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk rnernbawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama
rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk mernberikan kepastian hukum rnengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya.
Jika ditinjau memori Penjelasan dan UUPA tersebut ada 4 (empat) katagori dasar yang termuat
didalarnnya yang menjadi perhatian, yaitu :
a. Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di dalam
wilayah Republik Indonesia adalah milik bangsa Indonesia.
b. Penghapusan azas domein dan diganti dengan azas hak menguasai dari negara seperti tercantum
dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 2 UUPA
g. Tanah pertanian harus diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri (yang dikenal secara
populer dengan istilah land of the tiller atau larangan absenteisme).
a. Kesatuan hukum sesuai dengan keinginan rakyat banyak yaitu didasarkan kepada hukum adat.
c. Azas kesederhanaan hukum, sehingga semua hak-hak yang ada sebelum UUPA harus dikonversi
kepada hak-hak menurut UUPA sebagaimana tercantum pada Pasal 16.
4. Azas kepastian hukum. Semua hal atas tanah harus didaftarkan untuk memperoleh kepastian hukum.