You are on page 1of 8

Terkait dengan temuan tersebut di atas, BPOM telah melakukan:

 Pemeriksaan terhadap sejumlah apotek yang melakukan pengadaan obat dari PBF PT. JKI dan terhadap obat-obat
tersebut telah dilakukan pengamanan agar tidak lagi diperjual-belikan.
 Perintah kepada Besar/Balai/Loka POM di seluruh Indonesia untuk melakukan intensifikasi pengawasan
utamanya untuk mendeteksi penyebaran peredaran obat palsu dari PBF PT. JKI.
 Untuk mencegah peredaran obat palsu tersebut kepada masyarakat, Badan POM juga telah meminta kepada
seluruh apotek di Indonesia untuk tidak melakukan pemesanan dan penjualan/penyerahan obat yang
didistribusikan oleh PBF PT. JKI.
 Pembekuan izin operasional PBF PT. JKI dan merekomendasikan pencabutan izin PBF PT. JKI kepada
Kementerian Kesehatan.
 Badan POM bersinergi bersama POLRI dalam proses pro-justitia baik pada saat penindakan maupun
penyelesaian perkara yaitu membantu pemberian keterangan ahli dan pengujian laboratorium terhadap obat palsu
tersebut.
 Dalam menindaklanjuti kasus ini BPOM berkoordinasi dan berkomunikasi dengan lintas sektor terkait termasuk
organisasi profesi dan asosiasi pengusaha di bidang obat.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI, Dra. Engko Sosialene Megdelene,
M.Biomed, Apt., mencabut izin Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Jaya Karunia Investindo yang beralamat di Jl.
Kayu Putih IV, Blok B, No.4, Jakarta Timur pada 24 Juli 2019.

Selain mencabut izin PBF yang telah dituangkan dalam Keputusan Dirjen Kefarmasian dan Alkes sebelumnya pada
tanggal 29 Juni 2016. Kemenkes juga memcabut surat keputusan persetujuan pergantian apoteker penanggung jawab
PBF pada tanggal 1 November 2016.

Kasatgas Dittipidter Bareskrim Polri Kombes Pol Pipit Rismanto mengatakan obat itu dikirim ke 197
apotek dan akhirnya beredar luas di Jabodetabek.

Jakarta - Peredaran obat palsu kembali terjadi di Indonesia yang dilakukan Pedagang Besar
Farmasi (PBF) PT Jaya Karunia Investindo (JKI). Sebanyak 197 apotek di kawasan
Jabodetabek menjadi korban pelaku yang menggunakan modus repackaging. Obat generik
dikemas menjadi obat bermerk sehingga bisa dijual lebih mahal yang dilakukan juga pada obat
kadaluwarsa.

Peredaran obat palsu sebetulnya bukan kasus baru yang kerap terjadi di masyarakat. Dalam
kasus ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan telah membekukan izin
operasional PBF PT JKI. Dalam siaran persnya, BPOM juga merekomendasikan pencabutan
izin PBF PT JKI pada Kementerian Kesehatan. Pelaku yang merupakan pemilik PBF PT JKI
dan produsen obat palsu sempat terkena kasus serupa pada 2018.

Dalam kasus ini BPOM tidak bersedia membuka daftar apotek yang disebut masuk dalam
distribusi obat palsu. BPOM sendiri sepakat repackaging adalah kejahatan yang merugikan
masyarakat. Meski tidak menjelaskan apotek yang menjadi korban obat palsu, BPOM
memastikan menarik produk dari PBF JKI di Jabodetabek, melakukan verifikasi produk dengan
produsen obat, memusnahkan produk palsu, dan melakukan pengawasan.
"Dapat kami tegaskan apotek adalah korban dari kejahatan seperti ini. Tidak perlu nama
apoteknya kita share di luar. Sekali lagi, apotek ini merupakan korban. Kami tidak mau
menyebut namanya," kata Plt. Direktur Pengawasan, Kemananan, Mutu dan Ekspor Impor
Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zak Adiktif (ONPPZA) BPOM Rita Endang pada
detikHealth.

Rita menyarankan masyarakat tidak perlu cemas menghadapi obat palsu, namun wajib
waspada. Masyarakat sebaiknya memperhatikan detail obat yang akan digunakan, apalagi bagi
yang rutin mengonsumsinya. Rita yakin masyarakat bisa membedakan keaslian obat, karena
yang banyak dipalsukan umumnya untuk terapi jangka panjang misal pada penyakit diabetes.
Masyarakat wajib curiga jika menemukan ada yang tidak wajar pada produk obat.

"Karena dikonsumsi lama, masyarakat bisa tahu detail produknya misal kerapihan kemasan
atau tingkat keruh pada produk obat sirup. Selain itu bisa cek label, nomer izin edar, tanggal
kadaluwarsa produk. Jika masih curiga bisa ke laboratorium untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Kami berharap masyarakat bisa menjadi perpanjangan tangan BPOM dalam pengawasan
dengan segera lapor jika produk yang mencurigakan," kata Rita.

Kasus obat palsu mendapat perhatian dari Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi karena
kembali terulang. Menurut Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku
Farmasi Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Vincent Harijanto, peluang terulang selalu
ada karena tiap orang bisa membeli sendiri mesin produksi, cetak, dan teknologi
pendukung lain. Produk asli juga makin terlihat mirip dengan yang asli.

Menurut Vincent, menghadapi kasus obat saat ini BPOM harusnya bisa lebih peka.
Produsen dan PBF harus memberikan laporan tiap 3 bulan yang berisi kepada siapa
obat dijual, berapa jumlahnya, harganya, tahapan produksi, dan bahan baku. Laporan
harus dibaca dengan cermat sehingga bisa segera tahu jika ada kasus obat palsu.
Vincent juga 'mengkritik' pemilik apotek yang seharusnya langsung curiga jika kemasan
obat terlihat rusak, atau ada perubahan harga misal lebih rendah dari biasanya.

"Agak sulit ya buat konsumen membedakan obat asli dan bukan, karena semua
dianggap sama. Harusnya memang dari jalur distribusi dan BPOM yang
pengawasannya bisa lebih peka. Tapi memang ada anjuran supaya masyarakat bisa
membeli obat yang asli. Tentunya anjuran bisa dilaksanakan bila ada kesadaran dari
masyarakat supaya tidak terjebak obat palsu. Ke depannya ada rencana penerapan QR
Code pada obat supaya pengawasan bisa lebih baik," kata Vincent.

Kepada masyarakat, Vincent menyarankan lebih peka untuk menghindari terjebak obat
palsu. Misal langsung curiga jika mendapat harga obat yang berubah dari biasanya,
apalagi bila telah rutin mengonsumsinya. Masyarakat jangan senang dulu jika harga
obat lebih murah karena bisa jadi ada bahan yang dikurangi atau tidak ada. Obat
seperti ini wajib dicurigai meski kemasan terlihat sama dengan yang asli.

Jakarta, Investigasi.today –  .

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan telah membekukan


izin operasional PBF PT JKI dan merekomendasikan pencabutan izin PBF PT JKI
pada Kementerian Kesehatan. Pada 2018, pelaku yang merupakan pemilik PBF
PT JKI dan produsen obat palsu juga pernah tersandung kasus yang sama.
Meski repackaging adalah kejahatan yang merugikan masyarakat, namun BPOM
tidak bersedia membuka daftar apotek yang disebut masuk dalam kasus
distribusi obat palsu Ini.

BPOM hanya memastikan akan menarik produk dari PBF JKI di Jabodetabek,
melakukan verifikasi produk dengan produsen obat dan memusnahkan semua
produk palsu tersebut serta akan memperketat pengawasan.

Sebelumnya Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dit Tipidter) Bareskrim Polri


menangkap pria berinisal AFAP (52) karena memalsukan obat keras generik
menjadi obat paten. Pria tersebut diketahui sebagai direktur utama (dirut) PT.
Jaya Karunia Invesindo (JKI) yang merupakan pedagang besar farmasi (PBF)
yang terdaftar di BPOM RI.

supaya pengawasan bisa lebih baik,” tandasnya.

Atas perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 196 Jo Pasal 98 (ayat 2 dan 3)


dan/atau Pasal 197 Jo Pasal 106 (ayat 1) UU RI Nomor 36/2009 tentang
Kesehatan dan/atau Pasal 62 (ayat 1) Jo Pasal 8 (ayat 1) huruf a dan/atau
huruf d UU RI Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. (Ink)

Pasal 98

(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi
dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 106

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar

(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan
objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau
alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah) (2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan

Pasal 108 (1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

BAB IV PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam
label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan
tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas
dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. (4) Pelaku usaha
yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau
jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran

Pasal 62 (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan
Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Kronologi kasus :

Pedagang besar farmasi (PBF) PT. Jaya Karunia Investindo (JKI) merupakan perusahaan distributor
resmi yang terdaftar di Badan POM yang berdiri pada tahun 2012. Selama 8 tahun beroperasi, Pada
tahun 2018 PT JKI sempat terkena kasus menyalurkan obat palsu yang mengakibatkan pembekuan
ijin operasi oleh Badan POM selama 1,5 tahun. Upaya untuk menutup kerugian perusahaan, PT JKI
melakukan tindak kejahatan dengan memproduksi obat palsu dengan cara mengemas ulang (repacking)
obat generik menjadi obat bermerek, yang memiliki harga jual lebih tinggi. Sumber obat yang akan
dikemas ulang tersebut didapatkan dari membeli obat generik dari apotek-apotek yang ada di Jakarta
dan Semarang. dalam aksinya mempekerjakan enam orang yang bertugas membeli bahan baku. Mereka
mengeluarkan isi obat yang kemudian dikemas ulang dengan memasukkan ke dalam kapsul baru. alat
produksi sebanyak 18 unit, bahan pembuat obat 51 unit, dan bahan pendukung sebanyak 9 unit.  obat-
obatan tersebut diproduksi di Semarang, Jawa Tengah. Tersangka AFAP memalsukan obat-obatan
dengan cara mengemas ulang obat keras dari generik jadi obat paten nongenerik yang memiliki
harga lebih mahal. Kemudian, tersangka mendistribusikan obat palsu tersebut ke 198 apotek yang
tersebar di wilayah Semarang dan Jabodetabek. Tidak hanya mengemas obat generik menjadi obat
bermerk sehingga bisa dijual lebih mahal, mereka juga melakukan hal sama pada obat kadaluwarsa.
tersangka membongkar bahan baku itu dan melakukan rekayasa tanggal kedaluwarsa dan obat
palsu serta dipasang stiker palsu.
“Tersangka juga sudah mempersiapkan kemasan sekunder obat seperti alumunium foil, cetakan
huruf obat, dus obat serta brosur tata cara untuk pemakaian obat itu, ditambah tanggal
kedaluwarsa, hingga hologram palsu agar terlihat asli,” terangnya. Dalam praktiknya, tersangka
mempekerjakan enam orang yang bertugas membeli bahan baku, kemudian mengeluarkan isinya,
lalu dikemas ulang.

Modus pelanggaran yang ditemukan di Semarang yaitu adanya sarana ilegal yang

Hasil investigasi BPOM bersama Bareskrim POLRI mengungkapkan bahwa obat yang telah dikemas ulang
tersebut, didistribusikan melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Jaya Karunia Investindo (JKI) yang
dimiliki oleh pelaku ke apotek-apotek yang berada di wilayah Jabodetabek.

dikarenakan PT. JKI melakukan pengadaan obat yang tidak jelas sumbernya, mendistribusikan sejumlah
obat palsu dan memusnahkan dokumen pendistribusian obat tahun 2015-2018.

Dasar yang kedua, PT. JKI sudah tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan yang berlaku
sebagai PBF. "Bahan baku diperoleh dari perusahaan sendiri PT JKI, apotek-apotek di wilayah Semarang,
salah satunya adalah di Pancotan (viagra yang dilarang edar di Indonesia)," ujar Fadli.  

Lebih lanjut, Fadli menjelaskan tersangka


. Apotek-apotek tersebut termasuk Apotek K24 hingga Roxy. Apotek tersebut bisa kecolongan karena
menganggap PT JKI adalah perusahaan obat resmi dan punya izin dari BPOM RI.

"Ya menurut mereka (apotek-apotek) merasa percaya (PT JKI sebagai) PBF (Pedagang Besar Farmasi)
resmi," kata Pipit.

Sudah melakukan aksinya selama tiga tahun, tersangka mendapatkan hasil penjualan sebesar Rp400 juta
per bulan. 
Barang bukti yang telah disita oleh pihak kepolisian di antaranya

Tersangka dijerat pasal 196 Jo Pasal 98 ayat 2 dan 3 dan/atau pasal 197 Jo Undang-Undang No 36 Tahun
2009 tentang kesehatan dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Selain itu, ia juga dikenakan Pasal 8 ayat 1 huruf a dan d Undang-Undang No 8 Tahun 99 tentang
perlindungan konsumen dengan hukuman 5 tahun penjara. Dengan modus repackaging, Pedagang Besar
Farmasi (PBF) PT Jaya Karunia Investindo (JKI) mengedarkan obat palsu dan menyalurkannya ke 198
apotek di kawasan Semarang dan Jabodetabek.

Direktur Tipidter Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Polisi Fadil Imran mengatakan,

“Tersangka juga melakukan pemalsuan terhadap tanggal kedaluwarsa, kemasan obat dan kapsul
obat,” ungkapnya di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (22/7) lalu.

Fadil menambahkan, AFAP memperoleh bahan baku untuk memalsukan obat dari obat-obatan yang
telah kedaluwarsa. Kemudian, Dari modus tersebut, tersangka mampu meraup untung mencapai
Rp400 juta per bulan.
“Setelah obat itu selesai direkayasa, tersangka langsung memasarkan obat itu secara langsung atas
nama tersangka,” jelasnya.

Dalam penggerebekan tersebut, petugas menyita sejumlah barang bukti, yakni beberapa alat

Berdasarkan keterangan resmi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
kasus beredarnya obat palsu ini melibatkan Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT Jaya
Karunia Investindo (JKI), yang mana pemiliknya memproduksi dan mendistribusikan
obat palsu ke beberapa apotek.

Sedangkan modus pelanggaran yang ditemukan di Semarang, Jawa Tengah, ini yaitu
adanya sarana ilegal untuk memproduksi obat palsu dengan cara mengemas ulang
(repacking) obat generik menjadi obat bermerek, juga pengemasan ulang obat yang
sudah kedaluwarsa.

“Produk yang dipalsukan kebanyakan untuk pengobatan jangka panjang yang perlu
waktu bertahun-tahun. Misalnya obat untuk diabetes dan masalah kardiovaskuler,” 

You might also like