You are on page 1of 3

Pembatalan Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Bab IV mengatur


ketentuan terkait batalnya perkawinan. Pada Pasal 22 Undang-Undang tersebut dinyatakan
bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.1 Terkait syarat-syarat perkawinan, hal tersebut diatur dalam
ketentuan Pasal 6-12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk dilangsungkannya suatu perkawinan maka terdapat syarat materiil maupun
formil yang harus dipenuhi. Syarat materiil terbagi menjadi syarat materiil umum dan syarat
materiil khusus. Untuk terpenuhinya syarat materiil umum maka perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, dan apabila perkawinan dilaksanakan
oleh mereka yang belum mencapai umur 21 tahun maka persetujuan dari kedua orang tua
juga disyaratkan. Syarat materiil umum juga mengatur terkait batas usia yang diizinkan untuk
melangsungkan pernikahan, yang mana untuk kedua calon mempelai setidaknya sudah harus
mencapai 19 tahun.2
Hukum perkawinan di Indonesia yang menganut asas monogami relatif mengatur pula
ketentuan bahwa perkawinan tidak dapat dilakukan apabila diantara salah satu mempelai
terikat dalam status perkawinan, tetapi terhadap ketentuan ini terdapat pengecualian bagi
mereka yang atas alasan yang berlandasan hukum diperbolehkan untuk memiliki istri lebih
dari satu. Dan syarat materiil selanjutnya adalah bagi wanita tidak boleh melangsungkan
perkawinan dalam masa tunggunya. Mengenai syarat materiil khusus, hukum Indonesia
mengatur adanya larangan untuk melangsungkan perkawinan antara keluarga sedarah,
sepersusuan, dan yang menurut hukum agamanya dilarang untuk kawin.
Dengan dipenuhinya syarat materiil oleh kedua calon mempelai maka perkawinan
dapat dilangsungkan. Tetapi, pelaksanaan perkawinan tersebut juga harus memenuhi syarat
formil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk sahnya suatu perkawinan menurut hukum, maka sebelum dilangsungkannya
perkawinan para calon mempelai wajib memberitahukan kepada pegawai pencatatan nikah
atau KUA untuk mereka yang beragama islam dan catatan sipil untuk mereka yang beragama
non-islam. Pemberitahuan tersebut wajib dilakukan paling sedikit 10 hari dari tanggal

1
Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN Nomor
3019, Ps, 22.
2
Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU No. 16 Tahun 2019, LN No. 186 Tahun 2019, TLN Nomor 6401, Ps. 7.
perkawinan dan dilakukan melalui surat pembuktian yang ketentuannya diatur dalam
peraturan pelaksana.
Pada saat perkawinan berlangsung, maka perkawinan tersebut harus dilangsungkan
dihadapan pegawai pencatat nikah menurut hukum agamanya dengan dihadiri dua orang
saksi. Setelah perkawinan dilansgungkan, suami-isteri yang sudah menikah tersebut wajib
menandatangani akta perkawinan atau penandatangan dibuku nikah. Dengan dipenuhinya
seluruh syarat tersebut, maka perkawinan sah dan diakui oleh hukum dan negara.
Lalu, bagaimana apabila diantara syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para pihak. Atas
hal tersebut sebagimana telah disinggung diatas, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengatur mengenai pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan
dilangsungkan terhadap perkawinan yang sudah dilakukan. Pembatalan perkawinan adalah
tindakan untuk mengajukan permohonan/gugatan ke pengadilan setempat yang berwenang
agar perkawinan yang telah dilakukan dibatalkan atau dinyatakan tidak sah.3
Disamping pembatalan perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak dipenuhinya syarat
perkawinan, pembatalan perkawinan juga dapat dilakukan apabila memenuhi alasan
pembatalan. alasan-alasan tersebut antara lain adalah apabila;
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia telah beristeri empat, sekalipun salah satu
diantaranya itu dalam masa iddah talak raj’i;
b. Seorang menikasih bekas istrinya yang telah di li’annya;
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah ditalak tiga kali, kecuali bekas istrinya
tersebut sudah pernah menikah kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya;
d. Perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu;
e. Seorang suami melakukan poligasi tanpa izin dari pengadilan agama;
f. Perempuan yang dikawini nya ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria
lain;
g. Perempuan yang dikawini nya ternyata masih dalam masa iddah;
h. Perkawinan yang melanggar batas umur, yakni 19 tahun;
i. Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wakil atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak;
j. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

3
LHS & Partners, https://kantorhukum-lhs.com/perkara/pembatalan-perkawinan/, diakses hari Selasa,
tanggal 22 Juni 2021, pukul 16:22.
Dalam melaksanakan pembatalan perkawinan, undang-undang juga mengatur terkait
pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam
Pasal 23 yakni; para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri,
suami atau isteri, pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan,
pejabat yang ditunjuk berdasakan pasal 16 ayat (2) yakni kejaksaan, dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Dengan batalnya perkawinan maka perkawinan dianggap tidak sah dan dianggap tidak
pernah ada. Tetapi, terhadap kedudukan anak yang dilahirkan dari perkawinan atau anak
sah, suami atau istri yang beritikad baik atas harta bersama, orang ketiga yang beritikad
baik atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suami istri dalam perkawinan, maka
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut. Atau keadaan yang timbul tersebut dianggap
tetap ada, walaupun perkawinan yang bersangkutan dianggap tidak ada.
Untuk anak sah maka kedudukannya akan tetap menjadi anak sah. Untuk suami atau
istri yang beritikad baik, maka masing-masing berhak atas pembagian harta bersama,
kecuali untuk perkawinan kedua ketiga keempat yang tidak mendapat izin dari istri
sebelumnya. Dan untuk orang ketiga yang beritikad baik, maka apabila suami istri
melakukan perbuatan hukum seperti jual beli atau hibab, perbuatan hukum yang
dilakukan sebelum perkawinan dibatalkan adalah sah.

You might also like