You are on page 1of 25

LAPORAN HASIL PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN II

UPAYA PENINGKATKAN KEMAMPUAN LITERASI SISWA


MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM
BASED LEARNING PADA MATERI LAJU REAKSI

NAMA : ROMARTA GULTOM

NO UKG : 201699432252

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Saat ini, masyarakat di Indonesia sedang dihadapkan oleh persaingan dalam


dunia kerja yang semakin ketat sejak diadakannya MEA (Masyarakat Ekonomi
Asean) sejak tahun 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa tenaga kerja di Indonesia
bukan hanya dari pribumi, tapi juga dari negara-negara anggota ASEAN. Oleh
karena itu, penting bagi kita untuk mempersiapkan diri agar tidak kalah bersaing di
negeri sendiri akibat MEA tersebut. Salah satu cara pemerintah dalam mengatasi
hal tersebut khususnya dibidang pendidikan adalah dengan menghasilkan lulusan-
lulusan yang memiliki kualifikasi, memiliki bakat, dan memiliki keterampilan yang
baik. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan yang tertuang dalam
permendikbud No 20 tahun 2016 bahwa kualifikasi kemampuan lulusan peserta
didik di Indonesia diharapkan dapat mencakup tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan
dan keterampilan dari setiap satuan pendidikan (Permendikbud, 2016). Lahirnya
sumber daya manusia yang berkompeten akan membantu pemerintah untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya dan menjadi negara yang lebih maju
agar dapat menjawab tantangan Abad 21.
Pada Abad 21, manusia dituntut untuk memiliki kesadaran pada kondisi
global, memiliki kreatifitas dan inovasi yang tinggi, memiliki keterampilan
berpikir kritis agar mampu menyelesaikan masalah, memiliki keterampilan
dalam berkomunikasi dan kolaborasi yang baik, serta memiliki kemampuan literasi
yang baik (the partnership for 21st century skills, 2009). Kemampuan literasi sains
penting untuk perkembangan berpikir peserta didik karena setiap manusia
membutuhkan proses berpikir ilmiah untuk mengambil suatu keputusan, perlu
melibatkan kemampuannya dalam wacana publik untuk memahami dan mampu
berargumentasi dalam isu-isu penting yang melibatkan sains dan teknologi
(Shwartz dalam Cigdemoglu, 2015).
Namun pada kenyataannnya, literasi sains peserta didik di Indonesia saat ini
masih rendah. Hal ini dibuktikan dari data hasil penilaian yang dilakukan oleh
PISA (Programme for International Student Assessment) untuk menunjukkan
peringkat literasi sains maupun matematik siswa di dunia. Berdasarkan hasil
penilaian PISA untuk mengukur literasi peserta didik bidang sains pada tahun
2000, Indonesia berada pada urutan ke 38 dari 41 negara, tahun 2003 berada di
urutan 38 dari 40 negara, tahun 2006 urutan ke 50 dari 57 negara, tahun 2009
urutan ke 60 dari 65 negara dan tahun 2012 urutan ke 64 dari 65 negara sedangkan
pada tahun 2015, peringkat literasi sains peserta didik Indonesia berada pada
urutan ke 66 dari 74 negara yang berpartisipasi (OECD, 2016).
Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa negara Indonesia menempati peringkat
2 hingga 7 dari peringkat terbawah jika dibandingkan dengan negara-negara yang
lain. Rendahnya literasi sains di Indonesia tersebut mengindikasikan bahwa peserta
didik di Indonesia memiliki kemampuan berpikir kritis dan analisis yang rendah
dilihat dari jawaban peserta didik dalam mengatasi suatu soal berbasis masalah.
Hal ini dikarenakan proses pembelajaran belum menerapkan pembelajaran yang
bermakna, sehingga sulit untuk peserta didik mengembangkan kemampuan
berpikir kritisnya (Dharma, 2008).
Kemampuan berpikir kritis merupakan suatu proses yang memungkinkan
seseorang dapat mengkaji suatu bukti dan memberikan asumsi berdasarkan
pendapat dan logika dari pernyataan orang lain sehingga memperoleh pemahaman
yang mendalam (Johnson, 2012). Kemampuan berpikir kritis tidak serta merta
hadir dalam diri seseorang sejak lahir, namun harus dikembangkan dan
ditingkatkan dalam keseharian. Maka dari itu, dalam pembelajaran peserta didik
seharusnya dibimbing oleh guru agar terbiasa untuk menganalisis masalah,
melakukan pengumpulan informasi yang dituangkan dalam hipotesis, mencari
sendiri sumber informasi yang relevan, selanjutnya peserta didik dapat
membuktikan hasil hipotesisnya berdasarkan hasil percobaan (Muharamiah, 2015).
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Susanto (2015) yang menyatakan
bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat terlaksana jika adanya kelas
yang interaktif dengan menjadikan peserta didik sebagai pemikir agar
mendapatkan pengetahuannya sendiri, sedangkan guru hanya bertindak sebagai
fasilitator, mediator dan motivator bagi peserta didik dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, para penyelenggara pendidikan khususnya guru dituntut untuk
berupaya melakukan inovasi dalam pembelajaran agar dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik agar dapat meningkatkan literasi sains.
Salah satu cara agar dapat mengembangkan literasi sains peserta didik yaitu
dengan mengkaji kembali proses pembelajaran di sekolah. Salah satu hal yang
dapat dilakukan oleh guru adalah mempersiapkan pembelajaran menggunakan
model pembelajaran yang tepat agar dapat meningkatkan literasi sains peserta
didik. Berdasarkan penelitian sebelumnya, salah satu model pembelajaran yang
dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah model
pembelajaran PBL (Problem Based Learning).

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Tuntutan kualifikasi lulusan dalam menghadapi persaingan Abad 21
semakin tinggi
2. Pentingnya kemampuan literasi sains peserta didik dalam proses
berpikir ilmiah
3. Rendahnya nilai literasi sains peserta didik Indonesia berdasarkan tes
PISA
4. Perlunya mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik untuk
meningkatkan kemampuan literasi sains khususnya literasi kimia
5. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik melalui model
pembelajaran PBL pada materi laju reaksi

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya,

penelitian ini dibatasi pada pengaruh model pembelajaran dan kemampuan

berpikir kritis terhadap kemampuan literasi kimia pada materi laju reaksi

1. Model pembelajaran yang digunakan adalah model

pembelajaran PBL

2. Penelitian mengukur kemampuan berpikir kritis peserta didik

yang tinggi dan rendah untuk dapat dianalisis literasi kimianya

3. Objek penelitian ini adalah peserta didik Kelas XI MIA Semester 1

SMA Don Bosco 1 Kelapa Gading, Jakarat Utara

4. Materi yang dipilih dalam pembelajaran kimia pada penelitian ini

adalah laju reaksi

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, maka dapat

dirumuskan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut

1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan literasi kimia peserta didik

dengan menerapkan model pembelajaran PBL?


BAB II
KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Konseptual

1. Literasi Kimia

Literasi kimia merupakan pengembangan dari literasi sains. Literasi

sains berasal dari bahasa Latin, yaitu literatus artinya huruf, melek huruf,

atau kemampuan membaca. Sedangkan scientia artinya memiliki

pengetahuan. Maka, literasi sains dapat dijelaskan sebagai kemampuan

yang dimiliki seseorang dalam membaca dan memahami ilmu

pengetahuan terutama sains (Toharudin, 2011). Seseorang yang memiliki

literasi sains adalah orang yang menggunakan konsep sains, dan

mempunyai keterampilan proses sains agar dapat digunakan dalam

mengambil suatu keputusan (OECD, 2015).

Secara umum literasi sains atau scientific literacy didefinisikan sebagai

kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasikan

pertanyaan-pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti-

bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang

dunia alami dan interaksi manusia dengan alam (OECD, 2012). Dalam

mengembangkan kemampuan literasi sains, berpikir dan bertindak sesuai

metode ilmiah merupakan tuntutan setiap warga negara, bukan hanya

ilmuwan. Definisi literasi sains menurut PISA 2015 menekankan kepada

pentingnya peserta didik berpikir secara ilmiah berdasarkan fakta yang

mereka hadapi pada kehidupan sehari-hari.

Adapun aspek literasi sains menurut PISA yaitu: a) Aspek konteks

(context) berupa isu-isu yang terjadi di lingkungan lokal maupun global,

baik isu yang sedang terjadi saat ini maupun isu yang telah terjadi dimana

dibutuhkan pemahaman sains untuk memecahkannya, b) Aspek

pengetahuan (knowledge) dimana pemahaman pada fakta, konsep maupun


teori dapat mengembangkan pengetahuan ilmiah seseorang baik dalam

segi pengetahuan konten (content knowledge), pengetahuan berupa proses

suatu gagasan dibuat (procedural knowledge), dan pemahaman dalam

mengimplementasikannya (epistemic knowledge), c) Aspek kompetensi

(competency), yaitu kemampuan dalam menjelaskan suatu fenomena

secara ilmiah, dan d) Aspek sikap (attitudes) yakni tindakan yang

ditunjukkan melalui ketertarikan terhadap isu-isu sains di lingkungan

sekitar (Rahayu, 2017).

Berdasarkan pengertian literasi sains tersebut dikajilah literasi dalam

subjek lebih spesifik dari sains, salah satunya literasi kimia. Literasi kimia

masih dalam tahap perkembangan dalam hal apa dan bagaimana literasi

kimia itu sendiri dapat diukur. Pengembangan definisi literasi kimia

pertama kali dirumuskan oleh Swartz (2006) berdasarkan hasil studi

penelitiannya mengenai fungsi dan makna literasi kimia bagi guru dan

ilmuan. Berdasarkan penelitiannya, definisi literasi kimia dirumuskan

berdasarkan persepsi yang diperoleh dari para ilmuan dan guru kimia yang

dilakukan melalui serangkaian interview dan kuisioner sebagai upaya

untuk membuat definisi literasi kimia secara teoritis. Hasil dari perumusan

definisi literasi kimia tersebut menyebutkan bahwa terdapat empat domain

penting sebagai definisi literasi kimia dimana ditampilkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Definisi tentang literasi kimia menurut Schwartz

1. Konten Pengetahuan Kimia (Content Knowledge)


Seorang yang berliterasi kimia akan memahami hal-hal berikut ini:
A. Gagasan ilmiah umum
1) Kimia merupakan disiplin ilmu yang berlandaskan
eksperimen, kimiawan melakukan investigasi ilmiah,
menggeneralisasi temuan dan mengusulkan teori untuk
menjelaskan suatu fenomena
2) Kimia menyajikan pengetahuan dalam bidang lain untuk
menjelaskan fenomena yang terjadi seperti ilmu biologi atau
ilmu bumi
B. Karakteristik (ide-ide kunci) kimia
1) Kimia menjelaskan tingkat makroskopik dengan
menunjukkan struktur molekul suatu materi
2) Kimia menyelidiki dinamika proses dan reaksi
3) Kimia menyelidiki perubahan energi dalam reaksi kimia
4) Kimia memahami/menjelaskan kehidupan yang berkaitan
dengan proses kimia dan sistem kehidupan
5) Kimia menggunakan bahasa yang ilmiah
2. Kimia dalam konteks (Chemistry in Context)
Seseorang yang berliterasi kimia mampu:
1) Memiliki pengetahuan kimia dalam menjelaskan fenomena
dalam kehidupan sehari-hari
2) Menggunakan pemahamannya mengenai kimia dalam
kehidupan sehari-hari, seperti menjadi pengguna
produk/teknologi, memahami prosesnya dan terlibat dalam
argumentasi sosial tentang isu yang berkaitan dengan kimia
3) Mengetahui keterkaitan inovasi kimia dengan proses sosial
3. Keterampilan belajar tingkat tinggi (High Order Thinking Skills)
Seseorang yang berliterasi kimia mampu mengajukan
pertanyaan,
mengidentifikasi isu-isu ilmiah, dan dapat mengevaluasi pro dan
kontra dalam perdebatan
4. Aspek afektif
Seseorang yang berliterasi kimia memiliki cara pandang yang
adil dan
rasional terhadap ilmu kimia dan aplikasinya, menunjukkan
minatnya

Adapun menurut Barnea, Dori dan Hofsten (2010) menyatakan bahwa

literasi kimia merupakan pemahaman mengenai sifat materi, reaksi kimia,

hukum dan teori kimia serta aplikasi kimia dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini sejalan dengan pendapat Harlen (2011) yang menyatakan bahwa

literasi kimia merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam

memahami komponen dan konsep kimia berdasarkan isu yang terjadi


sehingga menghasilkan suatu keputusan yang akan mempengaruhi

kehidupan dan membuat perubahan. Definisi literasi kimia saat ini masih

dalam pengembangan dari literasi sains PISA. Literasi kimia itu sendiri

lebih fokus kepada kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk

mengetahui ide kunci agar dapat melakukan sesuatu berdasarkan

pengetahuan yang dimilikinya (Eilks, Ingo & Hofstein, 2013). Terdapat

kesesuaian dalam penilaian antara kerangka literasi sains PISA dan

kerangka literasi kimia Swartz yang dijelaskan pada Gambar 2.1 (Rahayu,

2017).

Berdasarkan kerangka pengembangan literasi kimia dari literasi sains

pada Gambar 2.1, maka komponen pada literasi kimia erat kaitannya

dengan literasi sains yaitu pertama, memahami sifat kimia, norma-norma

dan metode ilmiah sebagai pengetahuan sains. Kedua, memahami teori,

konsep dan model kimia sebagai pengetahuan konten sains. Ketiga,

memahami bagaimana ilmu kimia dan teknologi berbasis kimia berkaitan

satu sama lain. Ilmu kimia berusaha menghasilkan penjelasan tentang

alam, sedangkan teknologi kimia digunakan sebagai penerapan ilmu kimia

tersebut. Konsep dan model yang dihasilkan oleh kedua bidang tersebut

memiliki keterkaitan yang kuat, sehingga satu sama lain saling

berpengaruh. Keempat, menghargai dampak ilmu kimia dan teknologi

kimia yang terkait dengan masyarakat. Kelima, memahami sifat dari

fenomena kimia yang berlaku. Keenam, mengaplikasikan pengetahuan

sains dan kemampuan menganalisis dalam kehidupan sehari-hari (Shwartz

dalam Cigmodeglu, 2015)


Gambar 2.1 Kerangka pengembangan literasi kimia
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat

dirumuskan bahwa literasi kimia merupakan kemampuan yang dimiliki

seseorang dalam memahami kimia berdasarkan konsep yang dimilikinya,

dan mengaitkannya kedalam kehidupan sehari-hari sehingga

meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan sikap peduli pada

lingkungan, memahami masalah lingkungan sekitar dan dapat mengatasi

berbagai isu lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Model Pembelajaran PBL

Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model

pembelajaran yang dapat menolong siswa untuk meningkatkan

keterampilan yang dibutuhkan pada pada era globalisasi saat ini. Problem

Based Learning (PBL) dikembangkan untuk pertama kali oleh Prof.

Howard Barrows sekitar tahun 1970-an dalam pembelajaran ilmu medis di

McMaster University Canada [3]. Model pembelajaran ini menyajikan


suatu masalah yang nyata bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian

diselesaikan melalui penyelidikan dan diterapkan dengan menggunakan

pendekatan pemecahan masalah.

Pelaksanaan model Problem Based Learning terdiri dari 5 tahap

proses, yaitu :

1. Tahap pertama, adalah proses orientasi peserta didik pada masalah.

Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan

logistik yang diperlukan, memotivasi peserta didik untuk terlibat

dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah.

2. Tahap kedua, mengorganisasi peserta didik. Pada tahap ini guru

membagi peserta didik kedalam kelompok, membantu peserta

didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang

berhubungan dengan masalah.

3. Tahap ketiga, membimbing penyelidikan individu maupun

kelompok. Pada tahap ini guru mendorong peserta didik untuk

mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, melaksanakan

eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan

pemecahan masalah.

4. Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil. Pada

tahap ini guru membantu peserta didik dalam merencanakan dan

menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan membantu

mereka berbagi tugas dengan sesama temannya.

5. Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil

pemecahan masalah. Pada tahap ini guru membantu peserta didik

untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses dan hasil

penyelidikan yang mereka lakukan


3. Kemampuan Berpikir Kritis

Manusia diberikan suatu kemampuan dengan memiliki akal

pikiran yang dapat membantu dalam bertahan hidup, yaitu kemampuan

untuk berpikir. Berpikir merupakan salah satu cara seseorang untuk

memproses suatu pengetahuan sehingga menghasilkan suatu tindakan

(Susanto, 2015). Hasil dari berpikir akan menuntun kita menyelesaikan

masalah, membuat keputusan, berpikir kreatif dan juga berpikir kritis

(Isjoni dan Ismail, 2008). Berpikir kritis pertama kali didefinisikan oleh

John Dewey (dalam Fisher, 2009) yang menyebutkan bahwa berpikir kritis

merupakan sikap aktif, gigih, dan teliti seseorang dalam mengkaji suatu

keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan

kesimpulan- kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Tujuan dari

berpikir kritis adalah menjauhkan orang dari keputusan yang keliru dan

tergesa-gesa sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Scriven (2007), berpikir kritis adalah proses intelektual

yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian

atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sintesis, dan

mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi,

pengalaman, refleksi, dimana hasil dari proses ini digunakan sebagai dasar

untuk mengambil tindakan. Salah satu penggagas teori berpikir kritis yaitu

Ennis (dalam Fisher, 2009) mengungkapkan gagasannya mengenai

berpikir kritis sebagai suatu hasil pemikiran reflektif yang bertujuan untuk

memutuskan tindakan yang harus dilakukan.

Sementara itu, Bassham (2011) membagi proses berpikir kritis

menjadi enam standar intelektual dari seorang pemikir kritis yang terdiri

dari:

1) Kejelasan (Clarity), yakni memahami dengan jelas apa yang akan

dikatakan sebelum mengevaluasi suatu argumen,


2) Presisi (Precision), yaitu kecakapan presisi dalam mengidentifikasi

suatu masalah,

3) Keakuratan (Accuracy), yaitu memiliki keingintahuan dalam mengolah

informasi yang akurat untuk mencari tahu kebenaran,

4) Relevansi (Relevancy), yakni fokus berdasarkan informasi atau data

yang relevan,

5) Kebenaran logis (Logical correctness), berarti berpikir sesuai logika

untuk mendapatkan alasan yang benar untuk mendapatkan kesimpulan

berdasarkan keyakinan yang ia pegang,

Kelengkapan (Completeness), artinya mampu menyatakan hasil

penalaran dengan lengkap, dalam dan menyeluruh Menurut Hasnunidah

(2009), kemampuan berpikir dapat dilatih dan dikembangkan dalam

pendidikan dengan meningkatkan kegiatan yang berkaitan dengan

lingkungan sehingga terjadi interaksi antara pemahaman konsep dan

pengetahuannya terhadap lingkungan sekitar. Berpikir kritis dalam

pembelajaran dapat meningkatkan interaksi antar peserta didik dengan

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, dapat memberikan waktu

kepada peserta didik untuk merefleksikan pertanyaan yang berkaitan

dengan fenomena sekitar, dan membantu guru dalam mengaitkan suatu

topik dengan pengalaman yang peserta didik miliki.

Berdasarkan pengertian para ahli tersebut dapat dirumuskan bahwa

proses berpikir kritis merupakan cara berpikir seseorang dalam

memperoleh informasi secara hati-hati, memeriksa, menganalisis,

mengevaluasinya, dan memproses informasi tersebut sehingga diperoleh

suatu kesimpulan yang terpercaya. Selain itu berpikir kritis dapat

membantu mengembangkan kepercayaan dan mengambil tindakan serta

membuktikan sesuatu. Seorang peserta didik tidak akan dapat

mengembangkan berpikir kritis dengan baik tanpa dirancang untuk


berlatih menggunakannya dalam konteks berbagai bidang studi yang

dipelajarinya, maka berpikir kritis dalam ilmu kimia tidak dapat dilakukan

dengan cara mengingat dan menghafal konsep-konsep, tetapi lebih dari itu

yaitu dengan mengintegrasikan, mengaplikasikan dan mengkomunikasikan

konsep-konsep yang telah dimiliki.

B. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan, maka

didapatkan hipotesis/jawaban sementara dari penelitian ini yaitu:

1. Literasi kimia peserta didik meningkat dengan penerapan model

pembelajaran PBL.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh

model pembelajaran PBL terhadap literasi kimia pada materi laju

reaksi

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Don Bosco I Kelapa Gading Jakarta Utara

pada semester ganjil tahun ajaran 2022/2023

Tabel 3.1 Waktu dan pelaksanaan penelitian

Kegiatan Waktu

PPL Pertemuan 1 13 September 2022


PPL Pertemuan 1 14 September 2022

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas

(PTK) karena melalui PTK inilah diharapkan selain diterapkan kepada anak

didik juga dapat memperbaiki mekanisme pembelajaran sebelumnya.

Menurut Kunandar dalam Iskandar (2009:21). “PTK adalah merupakan suatu

kegiatan yang dilakukan oleh guru atau bersama-sama dengan orang lain

(kolaborasi) yang bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu

proses pembelajaran di kelasnya.

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Don Bosco I yang berlokasi di

Jl.Boulevard Timur, Kelapa Gading, Jakarta utara . Dalam penelitian ini yang

menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas XI yang terdiri dari 17 siswa..

Teknik pengumpulan data menggunakan test dan observasi. Analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif komparatif.

Analisis dilakukan dengan membandingkan antara kondisi pada pertemuan I


dan Pertemuan II sehingga dapat dilihat adanya perbedaan hasil pada setiap

pertemuan. Menurut Sudjana, Nana (2007 : 129) besarnya persentase adalah :

f
P= x 100 %
N
Keterangan :
P= tingkat keberhasilan yang dicapai
F= jumlah skor jawaban responden
N= jumlah skor total
Penilaian untuk semua instrumen menggunakan persentase. Setelah
semua pembelajaran dinilai kemudian peneliti mendiskripsikan hasil yang
diperoleh untuk mengetahui keterlaksanaan dan ketercapaian model
pembelajaran yang digunakan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A) Hasil Pretest dan Post Test

KOGNITIF Pertemuan I Pertemuan II Peningkatan

Pretest 43,38 % 34,80 % 16,18 %

Post Test 59,56 % 60,29 % 25,49%

GRAFIK PRETEST-POSTTEST

59.56 60.29

43.38
34.80

Pertemuan I Pertemuan II

Pretest Post Test

Peningkatan

25.49

16.18

Pertemuan 1 Pertemuan 2

Berdasarkan hasil penelitian pada pertemuan pertama diperoleh rata-


rata hasil pretest siswa 43,38% dan posttest 59,56%. Pada pertemuan pertama
diperoleh kenaikan sebesar 16,18% . Pada pertemuan kedua diperoleh hasil
pretest 34,80% dan postest 60,29%. Berdasarkan data tersebut diperoleh
kenaikan sebesar 25,49%. Secara umum pada penerapan model pembelajaran
Problem Based Learning terdapat kenaikan hasil penilaian kognitif pada setiap
pertemuan akan tetapi nilai rata-rata kelas masih terkategori rendah. Hal ini
disebabkan oleh karena instrument test yang cukup sulit mengakibatkan siswa
sulit mencapai nilai yang relevan tinggi. Data ini bertujuan untuk mengetahui
literasi kimia peserta didik setelah penerapan model pembelajaran Problem
Based Learning. Instrument soal yang diberikan berbentuk uraian dan
pemecahan masalah kimia dalam konteks. Berdasarkan peningkatan hasil
pretest dan posttest menunjukan bahwa terdapat peningkatan hasil literasi
siswa.

1. Konten Pengetahuan Kimia (Content Knowledge)


Seorang yang berliterasi kimia akan memahami hal-hal berikut ini:
A. Gagasan ilmiah umum
1) Kimia merupakan disiplin ilmu yang berlandaskan
eksperimen, kimiawan melakukan investigasi ilmiah,
menggeneralisasi temuan dan mengusulkan teori untuk
menjelaskan suatu fenomena
2) Kimia menyajikan pengetahuan dalam bidang lain untuk
menjelaskan fenomena yang terjadi seperti ilmu biologi atau
ilmu bumi
B. Karakteristik (ide-ide kunci) kimia
1) Kimia menjelaskan tingkat makroskopik dengan
menunjukkan struktur molekul suatu materi
2) Kimia menyelidiki dinamika proses dan reaksi
3) Kimia menyelidiki perubahan energi dalam reaksi kimia
4) Kimia memahami/menjelaskan kehidupan yang berkaitan
dengan proses kimia dan sistem kehidupan
5) Kimia menggunakan bahasa yang ilmiah
2. Kimia dalam konteks (Chemistry in Context)
Seseorang yang berliterasi kimia mampu:
4) Memiliki pengetahuan kimia dalam menjelaskan fenomena
dalam kehidupan sehari-hari
5) Menggunakan pemahamannya mengenai kimia dalam
kehidupan sehari-hari, seperti menjadi pengguna
produk/teknologi, memahami prosesnya dan terlibat dalam
argumentasi sosial tentang isu yang berkaitan dengan kimia
6) Mengetahui keterkaitan inovasi kimia dengan proses sosial
3. Keterampilan belajar tingkat tinggi (High Order Thinking Skills)
Seseorang yang berliterasi kimia mampu mengajukan
pertanyaan, mengidentifikasi isu-isu ilmiah, dan dapat
mengevaluasi pro dan kontra dalam perdebatan
4. Aspek afektif
Seseorang yang berliterasi kimia memiliki cara pandang yang
adil dan rasional terhadap ilmu kimia dan aplikasinya,
menunjukkan minatnya
B.Hasil Penilaian Efektif
Aspek yang dinilai pada proses pembelajaran adalah jujur, disiplin,
proaktif, responsive, tanggung jawab dan santun. Hasil yang diperoleh adalah
sebagai berikut:

Afektif Pertemuan I Pertemuan II

Nilai 88,04 % 95,69%

Grafik Penilaian Afektif

95.69

88.04

Pertemuan I Pertemuan II

Berdasarkan data diatas diperoleh hasil pertemuan pertama sebesar 88,04 % dan pada
pertemuan kedua 94,29% dan hal ini menunjukkan bahwa ada kenaikan nilai afektif
antara pertemuan 1 dan 2. Berdasarkan aspek penilaian afektif menunjukkan bahwa
siswa memiliki cara pandang yang adil dan rasional terhadap ilmu kimia dan
aplikasinya, menunjukkan minatnya. Hal ini menunjukkan adanya sikap literasi
kimia pada siswa.

C. Hasil Penilaian Psikomotorik

 Psikomotori Pertemuan Pertemua


k I n II
Nilai 83,82% 90,20%
Hasil Penilaian Psikomotor

90.20

83.82

Pertemuan I Pertemuan II

Berdasarkan data diatas diperoleh hasil penilaian psikomotorik pertemuan pertama


sebesar 83,82 % dan pada pertemuan dua 90,20% dan hal ini menunjukkan bahwa
ada kenaikan nilai psikomotorik antara pertemuan pertama dan kedua. Seseorang
yang berliterasi kimia mampu mengajukan pertanyaan, mengidentifikasi isu-
isu ilmiah, dan dapat mengevaluasi pro dan kontra dalam perdebatan. Dengan
adanya hasil penilaian psikomotorik ini menunjukkan adanya peningkatan
kemampuan literasi secara psikomotorik.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh simpulan

yakni sebagai berikut.

1. Literasi kimia peserta didik meningkat dengan adanya penerapan model

pembelajaran PBL (Problem Based Learning)

2. Dengan adanya penerapan model PBL dapat menstimulus kemampuan

berpikir kritis siswa sehingga dapat meningkatkan kemampuan literasi

kimia

B. Saran

Terkait penerapan model pembelajaran PBL terhadap kemampuan literasi

kimia yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang dapat dijadikan

pertimbangan , yaitu:

1. Penerapan model pembelajaran PBL dapat dijadikan sebagai alternatif

model pembelajaran untuk meningkatkan literasi kimia peserta didik pada

materi laju reaksi dan guru juga bisa mengimplementasikannya pada

materi yang menuntut kemampuan berpikir kritis dan analis peserta didik

2. Memotivasi siswa untuk lebih aktif dan inovatif dalam menuangkan ide-

ide pemecahan masalah dalam pembelajaran dan mampu menghubungkan

dengan kehidupan sehari-hari (kontekstual)

3. Perlunya jaringan/sinyal yang stabil saat proses pembelajaran.

4. Mengintegrasikan dengan mata pelajaran lain seperti matematika, Bahasa

Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Rineka Cipta

Barnea, N., Doei, Y.J., & Hofstein, A. 2010. Development and implementation of
inquirybased and computerized-based laboratories: reforming high school
chemistry in Israel.Chem. Educ. Res. Pract., 11(3), 218-228.

Bassham, I.N. 2011. Critical Thinking: A Students’ Introduction. New York:


McGraw-Hill.

Cigdemoglu, C., & Omer. 2015. Improving students chemical literacy level on
thermochemical and thermodynamics concepts through context-based
approach. Chem. Educ. Res. Pract, 16, 302-317.

Costu, B. 2008. Learning Science through The PDEODE Teacing Strategy:


Helping Student Make Sense of Everyday Situations. Eurasia Journal of
Mathematics, Science, and Technology Education. 2 (2): 96-114

Costu, B., Ayas, A., & Niaz, M. 2012. Investigating the effectiveness of a POE-
based teaching activity on students’ understanding of condensation.
Instructional Science. Spinger. 40:47-67.

Dharma, S. 2008. Pembangunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Menghadapi


Tantangan Abad 21 (the development of Teachers and Education
Personnel Facing the Challenges of the 21st Century). Paper presented at
a Public Lecture for State University of Malang Graduate Student
Academic Year 2008/2009. Malang, August 27.

Dipalaya, T., & Duran, A.C. 2016. The Effect of PDEODE (Predict-Discuss-
Explain-Observe-Discuss-Explain) learning strategy in the different
academic abilities on students critical thinking skills in senior high
school. European Journal of Education Studies, 2 (5): 59-78.

Dipalaya, T., Susilo, H., & Duran, A.C. 2016. Pengaruh strategi pembelajaran
PDEODE (Predict-Discuss-Explain-Observe-Discuss-Explain) pada
kemampuan akademik berbeda terhadap keterampilan komunikasi siswa.
Jurnal Pendidikan, 9 (1), 1713-1720

Eilks, Ingo & Hofstein. 2013. Teaching Chemistry – A Studybook: Pratical Guide
and Textbook for Students Teacher, Teacher Trainees and Teachers. The
Netherlands: Springer Science & Business Media
Fisher, A. 2009. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Gilbert, J. K., & Treagust, D. 2009. Introduction: Macro, submicro and symbolic
representations and the relationship between them: Key models in
chemical education. In J. K. Gilbert & D. Treagust (Eds.), Multiple
representations in chemical education (pp. 1–8). The Netherlands:
Springer.

Harlen, W. 2001. The assessment of scientific literacy in the OECD/PISA project.

Hasnunidah, N. 2009. Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMP Melalui


Penggunaan Model Problem Based learning Pada Pembelajaran Konsep
Struktur dan Fungsi Organ Manusia. (online) (http ://pustaka ilmiah Unila
Wordpress 21 Oktober 2012).

Irsa, B. 2017. “Pengaruh model pembelajaran PBL-Flipped Classroom dan


Kemampuan Berpikir Kritis terhadap Literasi Sains Siswa”. TESIS.
Jakarta: UNJ

Isjoni & Ismail, A. 2008. Model-Model Pembelajaran Mutakhir. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Johnson, E.B. 2012. CTL – Contextual Teaching & Learning Menjadikan


Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung :
Kaifa.

Kala, N., Fatma, Y., & Alipasa. 2012. “The Effectiveness of Predict-Observe-
Explain technique in Probing Students Understanding about Acid-base
Chemistry: A Case For The Concepts of pH, pOH and Strenght”.
International Journal of Science and Mathematics Education. 11, 555-
574.

Kolari, S., & Ranne, C.S. 2003. Promoting the Conceptual Understanding of
Engineering Students Through Visualisation. Global Journal of
Engineering Education, 7 (2): 189-200.

Khanthavy & Yuenyong. 2009. The Grade 1 Student’s Mental Model Of Force
and Motion Through Predict-Observve-Explain (POE) Strategy. Paper.
Online. Tersedia di http://www.recsam.edu./ [diakses 02-01-2018].

Mukhayyarah. 2017. “Pengaruh model pembelajaran PDEODE (Predict-Discuss-


Explain-Observe-Discuss-Explain) terhadap hasil belajar biologi siswa
pada konsep sistem pernapasan pada manusia”. SKRIPSI. Jakarta: UIN
Jakarta
Nurvina, U. 2016. “Pengaruh model pembelajaran PDEODE (Predict-Discuss-
Explain-Observe-Discuss-Explain) terhadap hasil belajar kimia siswa
pada materi Larutan asam basa terintegrasi pendidikan lingkungan
hidup”. SKRIPSI. Jakarta: UNJ

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). 2013. PISA


2012 Results. USA: OECD.

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). 2015.


Universal Basic Skills, Which Countries Stand to Gain. USA: OECD

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD-PISA). 2016.


Assessment of scientific literacy in the OECD / Pisa project,
http://www.pisa.oecd.org/

Orgill, M. & Sutherland, A. 2008. Undergraduate Chemistry Students’ Perception


of and Misconception about Buffer and Buffer Problems. Chemistry
Education Research and Practice. 9, 131-143.

Rahayu, S., Widodo, A.T., & Sudarmin. 2013. Pengembangan Perangkat


Pembelajaran Model POE berbantuan Media “I am Scientiest”.
Innovative Journal of Curriculum and Educational Technology, 2 (1):
128-133.

Rahayu, S. 2017. Mengoptimalkan Aspek Literasi dalam Pembelajaran Kimia


Abad 21. Artikel yang diseminarkan pada Prosiding Seminar Nasional
Kimia UNY 2017. Malang, 14 Oktober 2017.

Scriven, M. & Paul, R. 2007. Defining Critical Thinking. The Critical Thinking
Community: Foundation for Critical Thinking.

Shwartz, Y., Ben-Zvi, R., & Hofstein, A. 2006a. Chemical literacy: What does
this mean to scientists and school teachers? Journal of Chemical
Education, 83(10), 1557.

Shwartz, Y., Ben-Zvi, R., & Hofstein, A. 2006b. The use of scientific literacy
taxonomy for assessing the development of chemical literacy among
high-school students. ChemistryEducation Research and Practice, 7(4),
203-225.

Shwartz, Y., Ben-Zvi, R., & Hofstein, A. 2005. The importance of involving high
school chemistry teachers in the process of defining the operational
meaning of 'chemical literacy'. International Journal of Science
Education, 27(3), 323-344.
Sudjana, N. 2007. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.

Sugiarti, Y & Nasrudin, H. 2015. Penerapan Model Pembelajaran PDEODE


(Predict Discuss Explain Observe Discuss Explain) terbimbing untuk
Mereduksi Miskonsepsi Siswa pada Materi Laju Reaksi (Appliying Of
Guided Predict Discuss Explain Observe Discuss Explain (Pdeode)
Learning Model To Reduce The Student’s Misconceptions On Reaction
Rate in SMA Negeri 1 Sumberrejo Bojonegoro)

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Supardi, U. 2016. Aplikasi Statistika dalam Penelitian Edisi Revisi.Jakarta:
Change Publication.

Susanto, A. 2015. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta:


Prenadamedia Group

Toharudin, U. 2011. Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung:


Humaniora

Yunita. 2014. Model-Model Pembelajaran Kimia. Bandung : Insan Mandiri.

Yuni, S. 2017. “Pengaruh Model Problem Based Learning Terhadap


Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa”. SKRIPSI. Lampung:
Universitas Lampung
Lembar Observasi (Penilaian Sikap, Pengetahuan, Psikomotor):

https://docs.google.com/spreadsheets/d/1rW5PKg2HJS2_IgqHU7NN1RqsZRU90UJq/
edit?usp=sharing&ouid=115185308138621172785&rtpof=true&sd=true

Hasil Survey:

https://drive.google.com/drive/folders/17tqA3YvFfLEZsQUzJJ_elFo7Hm4D2a9?
usp=sharing

Artefak Hasil Belajar:

https://drive.google.com/drive/folders/1bbSp7A81Atu3IgjS2HC7uQF318NvFAkl?
usp=sharing

You might also like