You are on page 1of 19

Nama: Raisha Ikhtiary Saffa

Kelas: 1 SI2
NIM: 1210622091

Tugas Teori Sastra

ANALISIS PUISI TANPA JUDUL KARYA WIJI THUKUL


MENGGUNAKAN TEORI FORMALISME

Secara formalis, analisis suara dari puisi dapat dilihat dari aspek aliterasi, asonansi, rima,
ritme dan kata-kata yang dapat menyuarakan maksud dari suatu puisi. Berikut analisisnya :

Bait 1
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

Pada bait pertama, terdapat asonansi a,dan u karena terjadi pengulangan vokal a, i dan u
serta terdapat aliterasi k. Aliterasi k termasuk bunyi cachophony yang dapat menunjukkan
suasana keterasingan, sesuai dengan salah satu larik pada bait pertama “rumahku kalian
geledah”. Kemudian terdapat rima terbuka, persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada
tiap bait puisi. Ritme (penekanan) yang berusaha ditampakkan pada bait tersebut berhubungan
dengan suasana kesedihan dan keterasingan yang terdapat di dalamnya. Kata-kata yang dapat
menyuarakan atau sebagai ekspresi dari penulis adalah geledah dan jarah karena kata tersebut
menjadi kata kunci yang mengungkapkan suara keterasingan dari pengarang.

Bait 2
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

Pada bait kedua, terdapat asonansi a, i dan u karena terjadi pengulangan vokal a, i dan u
serta terdapat aliterasi m dan k. Aliterasi m dan k termasuk bunyi cachophony, pada bait tersebut
menunjukkan suasana suram dan pilu, sesuai dengan larik pada bait kedua “membentuk makna
kata penindasan”. Kemudian terdapat rima disonansi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada
huruf-huruf mati/konsonan. Kata-kata yang dapat menyuarakan atau sebagai ekspresi dari
penulis adalah mengajar, dan penindasan karena kata-kata tersebut menjadi kata kunci yang
mengungkapkan suara suram dan pilu dari pengarang.

Bait 3

ini tak diajarkan di sekolahan


tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada kita semua
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
Pada bait ketiga, terdapat asonansi a dan i karena terjadi pengulangan vokal a dan i serta
terdapat aliterasi s dan k. Aliterasi s dan k termasuk bunyi cachophony, pada bait tersebut
menunjukkan suasana pilu, sesuai dengan larik pada bait ketiga “sambil enteng-nenteng
senapan”. Kemudian terdapat rima tertutup. Kata-kata yang dapat menyuarakan atau sebagai
ekspresi dari penulis adalah senpan karena kata tersebut menjadi kata kunci yang
mengungkapkan suara kepiluan dari pengarang.

Bait 4

kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

Pada bait keempat, terdapat asonansi a karena terjadi pengulangan vokal a serta terdapat
aliterasi k Aliterasi k termasuk bunyi cachophony, pada bait tersebut menunjukkan suasana
suram, sesuai dengan larik pada bait keempat “kekejaman kalian”. Kemudian terdapat rima tak
sempurna. Kata-kata yang dapat menyuarakan atau sebagai ekspresi dari penulis adalah
kekejaman karena kata tersebut menjadi kata kunci yang mengungkapkan suara kesuraman dari
pengarang.
MENGANALISIS PUISI WIDJI THUKUL MENGGUNAKAN METODE NARATOLOGI

Naratologi merupakan teori sekaligus metode analisis struktural penceritaan teks sastra.
Untuk itu, naratologi menyediakan istilah yang diperlukan ketika mendeksripsikan teknik dalam
sebuah karya dan menyusunnya lewat cara yang sistematis (Genette, 1980:7). Kali ini saya akan
menganalisis puisi tak berjudul karya Widji Thukul, berikut naskah puisinya:

Kuterima kabar dari kampung


rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

Tapi aku ucapkan banyak terima kasih


karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

Ini tak diajarkan di sekolahan


tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada kita semua
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

Kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

Dari naskah di atas, dapat diketahui bahwa unsur peristiwa yang terkandung di dalam
puisi adalah tentang bagaimana Widji menggambarkan kejadian yang benar-benar ia alami pada
masa lalu. Ia menceritakan tentang rumahnya yang digeledah dan bukunya yang dijarah oleh
rezim. Saat itu Widji diperkirakan tengah bersembunyi dari kejaran aparat yang ingin
menangkapnya karena puisi-puisi karya Widji Thukul yang tak sedikit menyinggung kondisi
pemerintahan kala itu. Pada bait pertama dan terakhir digambarkan secara jelas bagaimana
keadaan atau peristiwanya. Hubungan antar peristiwa atau alur yang terjadi di dalam puisi saling
berhubungan satu sama lain. Mulai dari Widji yang menerima kabar dari kampung perihal
keadaan rumah yang diporak-porandakan oknum aparat yang tengah mencarinya. Hal tersebut
membuat anak-anak Widji seakan diajarkan makna dari penindasan yang tak mereka dapat di
sekolah karena kekejaman rezim tersebut merupakan bukti dari pelajaran yang tak akan pernah
tertulis.
Widji menggunakan kata ganti atau pronomina persona pertama yaitu -ku dan aku yaitu
dirinya sendiri yang merupakan skema protagonis. Sama halnya dengan tokoh anak-anaknya
yang terkesan polos. Lalu kata ganti atau pronomina persona kedua yaitu "kalian" yang mengacu
pada rezim yang menindas keluarganya sebagai antagonisnya. Namun, Widji tidak menggunakan
teknik sapaan di dalam puisi di atas. Begitu pula sapaan terhadap pembaca.
Dapat disimpulkan bahwa naratologi merupakan teori sekaligus metode analisis
struktural penceritaan teks sastra. Untuk itu, naratologi menyediakan istilah yang diperlukan
ketika mendeksripsikan teknik dalam karya sastra. Dari puisi di atas, dapat diketahui unsur
peristiwa yang terkandung di dalam puisi adalah tentang bagaimana Widji menggambarkan
kejadian yang ia alami pada masa lalu. Alur atau peristiwanya saling berhubungan. Widju juga
menggunakan kata ganti orang pertama dan kedua sebagai skema protagonis dan antagonis.

ANALISIS NEW CRITICISM MENGGUNAKAN METODE CLOSE READING


PADA PUISI (TANPA JUDUL) KARYA WIDJI THUKUL

1. Kata-kata khusus
Kata "jarah" yang berarti pencurian atau perampasan. Lalu ada kata "senapan" yang
ditujukan untuk sebuah senjata yang kala itu digunakan para rezim untuk menindas. Selanjutnya,
kata "kalian" yang widji tulis berkali-kali adalah sebuah kata khusus yang dirujukkan kepada
para rezim atau oknum tak bertanggung jawab yang bisa jadi merupakan suruhan dari
pemerintah untuk menghancurkan Widji kala itu. Pada bait terakhir pula terdapat kata
"pelajaran" yang berarti hikmah atau makna dari semua hal atau bukti kekejaman para rezim.

2. Tema umum
Tema umum yang diangkat oleh Widji Thukul adalah tentang ketidak-adilan dan
penindasan. Kesengsaraan yang ia rasakan selalu ia tuangkan dalam puisi-puisinya sebagai
media untuk menyampaikan aspirasinya sebagai rakyat pada masa itu. Puisinya yang berisi
tentang sindiran atas ketidakadilan tersebut selalu menjadi puisi pencipta bara api perjuangan dan
pemberontakan para kaum tertindas untuk menuntut keadilan.

3. Alasan mengapa puisi ini penting secara Tematik


Puisi ini penting secara tematik karena dengan menganalisis puisi ini, kita dapat
mengetahui unsur peristiwa yang terkandung di dalam puisi adalah tentang bagaimana Widji
menggambarkan kejadian yang benar-benar ia alami pada masa lalu yang juga merupakan dasar
penciptaan puisi tersebut.

4. Apa Sesat Pikir Afektif ketika menganalisis puisi itu


Karya Widji Thukul dinilai terlalu berani untuk menyinggung para rezim atau
petinggi/pejabat tak bijak pada masa lalu karena Widji adalah seorang pengarang sekaligus
aktivis terkenal. Padahal, semua karyanya dapat dinilai berani dan baik karena beliau
mengangkat tema perjuangan, penindasan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan
kesengsaraan di masa lalu atas dasar menuntut kesetaraan sehingga banyak dari kaum tertindas
di masa itu yang juga merasa senasib sepenanggungan.

5. Apa Sesat Pikir Nasional ketika menganalisis puisi itu


Bahwa Widji adalah seorang aktivis dengan karya sastra yang khas akan bau bau
perjuangan, sindiran atau sarkasme terhadap penguasa atas ketidakadilan, serta hal sebagainya
yang membuat para pembaca memiliki pemikiran tentang Widji yang hanya menulis untuk
menyampaikan aspirasi rakyat kecil saja. Padahal, banyak puisi karyanya yang lain yang tidak
seperti itu.
KUESIONER TEORI RESPONS PEMBACA PERIHAL PUISI (TANPA JUDUL)
KARYA WIDJI THUKUL
Teori Reader Response Criticism atau Teori Kritik Tanggapan-Pembaca adalah teori
sastra yang berfokus pada pembaca (atau “penonton”) dan pengalaman mereka tentang karya
sastra, berbeda dengan teori lain yang memusatkan perhatian terutama pada penulis atau konten
dan bentuk dari sastra tersebut. Berikut naskah puisi yang saya pilih untuk mengisi kuesioner
teori respons pembaca:
(Tanpa Judul) oleh Widji Thukul.
kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

tapi aku ucapkan banyak terima kasih


karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

ini tak diajarkan di sekolahan


tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

11 agustus 1996
1. Identitas pembaca

Nama : Raisha Ikhtiary Saffa


Umur : 19 Tahun
Status: Mahasiswa
2. Pengalaman pembaca

A. Apa hubungan pengalaman Anda dengan tema puisi itu?


Menurut saya, hubungan pengalaman saya dengan tema puisi tersebut adalah adanya keselarasan
gelora mengenai pembelaan dan penuntutan terhadap para rezim atau pejabat yang sejak dulu
selalu menindas rakyat kecil. Hubungan tema puisi tersebut dengan peristiwa yang betul-betul
terjadi disebabkan karena adanya pengalaman penulis yang tertindas di kehidupan nyatanya
sebagai masyarakat kecil. kita semua yang merupakan korban atas keserakahan dan kekejaman
para petinggi pasti akan merasa terhubung dengan tema puisi ini.

B. Apa pengaruh tema puisi itu dalam hidup Anda

Pengaruh puisi tersebut terhadap kehidupan saya tidak terjadi san terasa secara langsung.
Namun, setelah membaca puisi tersebut saya menjadi lebih berani untuk berdemokrasi dan tidak
akan tinggal diam atas ketidakadilan.

C. Apakah ada pengalaman?

Bisa jadi ada, saya merasa tidak mendapat keadilan sebagai manusia dan warga negara yang
tidak memiliki banyak uang sehingga sulit untuk menjalani kehidupan saya tanpa privilege.

3. Keinginan pembaca

A. Apa saja kutipan yang paling Anda sukai?

Kutipan puisi yang paling saya suka terdapat pada seluruh kalimat di bait kedua:
tapi aku ucapkan banyak terima kasih
karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

B. Apakah sesuai dengan kebenaran yang Anda yakini?

Menurut saya iya, karena kata dan makna penindasan secara harfiah dan nyata tidak akan pernah
dipelajari di sekolah. Namun, para rezim tak bertanggung jawab dan rakus akan selalu
menyadarkan kita tentang apa itu ketidak-adilan dan ketertindasan bahkan makna kesengsaraan
di dalam hidup ini selaku masyarakat kecil.

C. Sebaiknya puisi itu dibacakan di mana?

Puisi ini akan sangat cocok dan baik jika dibacakan di acara-acara atau aksi-aksi massa yang
relevan dengan tema puisi.
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DALAM PUISI KARYA WIDJI THUKUL

1. Sosiologi Pengarang

Puisi Tanpa Judul karya Widji Thukul dapat dipandang sebagai sebuah karya yang memiliki
kaitan erat dengan sosiologi sastra. Widji Thukul merupakan seorang penyair dan aktivis sosial
yang sangat terkenal di Indonesia. Ia dikenal sebagai salah satu perintis puisi-puisi kontekstual
yang mengangkat isu-isu sosial-politik.

Dalam puisi Tanpa Judul, Widji Thukul mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi
sosial-politik Indonesia pada masa itu. Ia menggambarkan keadaan yang penuh kegelapan,
ketakutan, dan ketidakadilan. Puisi ini mengandung kritik sosial terhadap penguasa yang
mengabaikan hak-hak rakyat dan menghambat kemajuan bangsa.

2. Sosiologi Karya Sastra

Bait 1:

kuterima kabar dari kampung


rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

Dari bait pertama tersebut, Thukul sangat tersiksa karena ia harus meninggalkan istri
(sipon) dan kedua orang anaknya (Wani dan Fajar Merah). Untuk bertemu keluarganya, ia harus
melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Pelarian yang dilakukan Thukul bukan berarti
kebebasan yang diperolehnya, namun justru ia merasa tidak merdeka. Ia menerima kabar dari
kampung tentang rumahnya yang digeledah dan buku-bukunya yang dijarah oleh rezim tak
bertanggung jawab.

Bait 2:

tapi aku ucapkan banyak terima kasih


karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
Seperti yang diketahui masyarakat Indonesia, masa Orde Baru adalah masa
kepemimpinan pemerintahan yang bersifat otoriter. Banyak masyarakat yang haknya tidak diberi
atau dirampas dan tidak pula diizinkan menyuarakan pendapatnya selaku warga negara. Dengan
itu, Wiji menyuarakan protesnya menggunakan puisi.
Ucapan terima kasih tersebut merupakan sindiran. Perlakuan yang dilakukan pemerintah
terhadap para aktivis bukan sebagai alasan melindungi keamanan negara, namun sebagai bentuk
penindasan. Penindasan akan kemerdekaan orang seorang. Dari bait itu seakan-akan Wiji Thukul
ingin mengatakan bahwa perlakuan pemerintah terhadap dirinya yang disaksikan keluarga dan
tetangga-tetangganya justru membenarkan anggapan tentang kesewenang-wenangan pemerintah
terhadap rakyat kecil (sesuai dengan isi puisi-puisi Wiji Thukul).
Bait 3:

ini tak diajarkan di sekolahan


tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada semua kita
setiap hari di mana-mana

sambil nenteng-nenteng senapan

Pada bait ini Wiji menggambarkan pula kekejaman militer dan pemerintah Orde Baru
memang tidak diajarkan di sekolah-sekolah. Namun justru ditunjukan secara langsung kepada
masyarakat. Teror-demi teror dirasakan oleh para aktivis pada umumnya dan dirasakan oleh
Thukul pada khususnya. Teror tersebut sering berbau militerisme. Bahkan tak segan-segan
mereka mengancam dengan menggunakan senapan.

Bait 4:

kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

Pada bait terakhir ini, apa yang dirasakan Thukul dan digambarkan dalam puisi-puisinya
merupakan bukti kekejaman yang tidak pernah ditulis. Penyiksaan dan penindasan memang tidak
pernah dihadirkan dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Peristiwa kejam tersebut justru
dihadirkan dalam puisi-puisi lugas Thukul. Dari penggambaran yang ada di puisi ini, terlihat
bahwa Thukul merasa diteror.
3. Sosiologi Pembaca
Karya sastra bisa menjadi media pembaca dalam memahami keterbacaan realita karena
mengandung sebuah ide. Umumnya karya sastra menampilkan suatu gambaran kehidupan. Sisi
lain kehidupan itu sendiri merupakan sebuah fakta sosial dan kultural yang terjadi di sekeliling
kehidupan bersosial. Maka dari itu, fakta sejarah yang termuat dalam puisi ini berhasil
menjabarkan kepada pembaca, pendengar atau bahkan pengkaji setiap aspek di kehidupan ini
yang berusaha digambarkan pengarang ke dalam puisi.
Dalam sosiologi sastra, puisi Tanpa Judul ini dapat dianalisis dari segi struktur dan
konteks sosialnya. Secara struktural, puisi ini menggunakan bahasa yang sederhana namun kuat
dan mengandung unsur metafora yang memperkuat maknanya. Penggunaan bahasa yang
demikian memberikan kekuatan yang mendalam dalam menyampaikan pesan-pesan kritisnya.
Dari konteks sosial, puisi Tanpa Judul mencerminkan kegelisahan dan ketidakpuasan
sosial yang dirasakan oleh banyak orang pada saat itu. Puisi ini mengekspos ketidakadilan dan
kebrutalan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Puisi ini juga mengandung harapan
dan semangat perlawanan terhadap sistem yang tidak adil.
Secara keseluruhan, puisi Tanpa Judul karya Widji Thukul dapat dipandang sebagai
sebuah karya sosiologi sastra yang sangat penting dalam menggambarkan kondisi sosial-politik
pada masa itu. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan dan memperjuangkan hak-hak kita
sebagai rakyat yang merdeka dan berdaulat.
ANALISIS PUISI TAK BERJUDUL KARYA WIJI THUKUL DENGAN METODE
ROMANTIK
Romantisisme adalah gerakan sastra dan seni yang terjadi pada akhir abad ke-18 dan awal abad
ke-19. Pendekatan romantisisme sastra menekankan pada perasaan individu, fantasi, dan
imajinasi yang kuat. Karya-karya yang dihasilkan oleh pendekatan romantisisme seringkali
mencerminkan perasaan emosional yang kuat, seperti cinta, kesedihan, kegembiraan, dan
kegairahan.
Romantisisme merupakan aliran yang berprinsip bahwa karya sastra merupakan cerminan
kehidupan realistik yang menggambarkan kehidupan manusia yang berliku-liku dengan
menggunakan bahasa yang indah sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. Keindahan menjadi
fokus utama dalam romantisisme (Endaswara, 2003 : 33).
Tolak ukur karya sastra yang baik dalam teori romantik ini adalah: orisinalitas, kreativitas, dan
individualitas (Sehandi, 2016: 152-153).
1. Orisinalitas.
Keaslian atau orisinalitas dari puisi Wiji Thukul ini terlihat dari pemilihan tema dan
pesan yang cenderung konsisten pada tiap puisinya sejak pertama kali ia
mempublikasikan puisi-puisi karyanya. Ini juga terlihat pada salah satu puisinya yang
saat ini saya kaji, yaitu puisi tak berjudul. Puisi ini berpesan tentang bagaimana para
rezim tak bertanggung jawab dan tak berhati nurani terus-terusan mengganggu hidupnya
bahkan kala ia tengah dalam pelarian/persembunyian.
Sama halnya dengan puisi-puisinya yang lain, puisi ini berisi kata-kata yang memprotes
atau menyindir para petinggi negara pada kala itu yang selalu menekan rakyat lemah.
Selain mengungkapkan perasaannya sebagai kaum yang tertindas, Widji memang selalu
menggunakan puisinya sebagai media untuk menyindir pemerintah otoriter pada kala itu.
2. Kreativitas.
Pada puisi ini, tampak kreativitas seorang Widji Thukul dalam penulisan puisi dengan
tema atau maksud yang serupa namun seruannya berbeda. Widji tak pernah tidak
menonjolkan kreativitas yang ia miliki dalam tiap diksi dalam puisi-puisinya. Pemilihan
kata dan penyusunan kalimat selalu tampak berani namun tidak berlebihan.
3. Individualitas.
Individualitas adalah sisi kepribadian seseorang yang mementingkan dirinya sendiri atau
sifat khusus sebagai individu. Hal ini terlihat dari beberapa kata yang menggunakan kata
ganti ‘aku’:
Kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

Tapi aku ucapkan banyak terima kasih


karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini

Ini tak diajarkan di sekolahan


tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada kita semua
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

Kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat romantisme dalam
puisi Tak Berjudul karya Widji Thukul ini. Tolak ukur romantisme dalam kumpulan puisi ini
adalah orisinalitas, kreativitas, dan individualitas. Namun, unsur yang paling mencolok pada
puisi ini adalah pada sisi orisinalitasnya, karena puisi yang Widji tulis sangat berkarakter dan hal
tersebut menjadi ciri khas bagi Widji Thukul.

Selanjutnya, analisis romantisisme puisi berdasar latar belakang pengarang. Tak hanya
sebagai aktivis, nama Wiji Thukul selama ini dikenal sebagai seorang penulis puisi
perjuangan. Yang khas dari puisi Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan menulis puisi tentang
protes, melainkan sosoknya menjadi simbol akan protes itu sendiri. Karena itu, puisinya
gampang melebur dalam setiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes.
Salah satu kalimatnya yang sangat terkenal adalah bait terakhir pada puisi berjudul Peringatan,
yaitu "Hanya ada satu kata: Lawan!". Dalam Seri Buku Tempo, Prahara Orde Baru Wiji Thukul
yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia menjelaskan bahwa sebenarnya kata 'lawan'
tersebut tak murni ide Wiji Thukul. Ia terpengaruh oleh sebuah pusi yang dibuat oleh Pardi,
temannya di teater Jagat yang merupakan seorang tukang kebun. Puisi Pardi itu berjudul Sumpah
Bambu Runcing. Pada sajak Pardi, kalimat Hanya ada satu kata: lawan, yang digunakan untuk
sebuah sajak mengenai perjuangan melawan Belanda oleh Thukul diambil untuk perjuangan
buruh.
Nama asli Wiji Thukul sesungguhnya adalah Wiji Widodo. Nama Widodo diubah menjadi
Thukul oleh Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra.
Wiji Thukul berarti biji tumbuh. Wiji Thukul lahir dari keluarga penarik becak pada 26 Agustus
1963 di kampung Buruh Sorogenen, Solo. Setelah lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan di
Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, tapi tidak tamat, hanya sampai kelas II. Ia
berhenti sekolah untuk bekerja agar adik-adiknya bisa melanjutkan studi.
Pekerjaan pertama Wiji Thukul adalah sebagai loper koran. Lalu ia menjadi calo tiket, dan
tukang pelitur furnitur di perusahaan mebel. Ia juga mengamen puisi ke kampung dan kota-kota.
Setelah menikah dengan Diah Sujirah alias Sipon pada Oktober 1988, ia hidup membantu
istrinya dengan usaha sablon. Kemudian ia menobatkan diri sebagai aktivis pembela buruh.
Nama Wiji Thukul ada di barisan demonstran kedungombo, Sritex, dan sejumlah demonstrasi
besar di Solo. Lalu, ia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). 
Awal mula hilangnya Wiji Thukul tak lepas dari peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal sebagai
peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli alias Kudatuli. Saat itu, PRD yang di bawah pimpinan
Budiman Sudjamitko dituding oleh pemerintah melalui Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik
ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, sebagai dalang di balik peristiwa itu. Sehingga, para
aktivis PRD diburu, termasuk Wiji Thukul. Ketika itu, Wiji Thukul yang  berada di Solo sebagai
Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat atau Jaker yang merupakan badan yang merapat ke
PRD.
Pada tahun 1998, Wiji Thukul menghilang. Hilangnya Wiji Thukul secara resmi diumumkan
oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 2000. Kontras
menyatakan hilangnya Wiji Thukul sekitar Maret 1998 karena diduga berkaitan dengan aktivitas
politik yang dilakukan oleh Wiji Thukul sendiri. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi
represif rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan
Orde Baru. Sejak dinyatakan hilang, sampai saat ini keberadaannya Wiji Thukul masih misteri
apakah ia masih hidup atau sudah tiada.

Kuterima kabar dari kampung


rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah
Berdasar latar belakang pengarang di atas, banyak sekali keterkaitan antara puisi-puisi pengarang
dengan yang telah Wiji tulis. Pengarang seolah menuliskan apa yang ia rasakan dalam
pelariannya. Kala ia mendengar kabar dari kampung halaman perihal rumahnya yang digeledah
aparat. Bahkan, buku-bukunya dijarah.

Tapi aku ucapkan banyak terima kasih


karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
Selain pada bait pertama, bait selanjutnya juga ditulis dengan perasaan kalut dan khawatir dari
sosok pengarang terhadap anak-anaknya yang harus melihat kekejaman dari para petinggi pada
keluarganya. Kata "terima kasih" yang Wiji tulis seolah menjadi kata satir atas hatinya yang
terluka. Pada bait ini, pengarang betul-betul mempresentasikan penindasan yang dialami banyak
rakyat kecil yang terjadi bertepatan pada saat puisi ini dipublikasikan.
Ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada kita semua
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
Selanjutnya, pengarang masih mendeskripsikan bagaimana rezim-rezim terus merasa jumawa
dengan senapannya dan siap untuk menindas rakyat yang sudah sengsara. Semua aspek yang
terdapat pada puisi ini sangatlah berkorelasi dengan latar belakang hidup Wiji dan latar belakang
peristiwa yang tengah marak terjadi saat itu.

Kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis
Lantas pada bait terakhir, pengarang menekankan lagi bagaimana pandangannya atau perspektif
dirinya atas semua yang sudah rezim lakukan padanya dan masyarakat lain yang tak berdaya.
Bait ini menjadi karakter tersendiri bagi sebuah puisi karya Wiji Thukul yang terus menekankan
bahwa tindakan keji para petinggi tidak akan pernah ditulis, namun bukti akan terus berbicara.
ANALISIS DEKONSTRUKSI PADA PUISI KARYA WIJI THUKUL

A. Pendekatan Dekonstruksi.
Pendekatan dekonstruksi adalah sebuah metode analisis dan pemahaman teks yang
dikembangkan oleh filsuf Prancis Jacques Derrida. Pendekatan ini sering digunakan dalam
bidang filsafat, sastra, dan teori budaya.
Dekonstruksi bertujuan untuk mengungkapkan dan mengeksplorasi ketidakstabilan, paradoks,
dan kontradiksi yang ada dalam bahasa dan pemikiran. Pendekatan ini menekankan bahwa
bahasa tidak memiliki makna yang tetap atau kebenaran yang objektif, melainkan selalu terbuka
untuk interpretasi yang berbeda-beda.
Dalam konteks sastra, dekonstruksi menganalisis cara teks mengandung perbedaan-perbedaan
internal yang bertentangan atau berlawanan dengan dirinya sendiri. Hal ini dilakukan dengan
mengidentifikasi dan mengeksplorasi logika internal teks yang mungkin bertentangan atau
meragukan, serta mengungkapkan cara teks mengandung hierarki dan oposisi bawaan.
Pendekatan dekonstruksi sering kali melibatkan analisis teks secara rinci dan memerhatikan
detail-detail kecil yang mungkin diabaikan oleh pendekatan kritis lainnya. Derrida mengklaim
bahwa dekonstruksi dapat membantu mengungkapkan ketidakpastian yang tersembunyi dalam
bahasa dan pemikiran, serta menggali makna alternatif atau tersembunyi yang mungkin
terlewatkan.
Namun, perlu dicatat bahwa pendekatan dekonstruksi juga kontroversial dan sering kali
dipertanyakan. Kritik terhadap pendekatan ini menyatakan bahwa dekonstruksi dapat menjadi
samar-samar atau tidak jelas, dan mengarah pada ketidakmampuan untuk menghasilkan makna
yang konsisten atau bermakna secara objektif.

B. Analisis Pendekatan Dekonstruksi Pada Puisi Karya Wiji Thukul.


Dalam analisis dekonstruksi puisi, fokus utama akan ditempatkan pada pemecahan struktur dan
bahasa puisi, serta kontradiksi dan ketidakstabilan atau ambiguitias yang mungkin muncul di
dalamnya. Berikut adalah analisis dekonstruksi dalam puisi tak berjudul karya Widji Thukul.
Berikut naskah puisi Tak Berjudul Karya Wiji Thukul :
Kuterima kabar dari kampung
rumahku kalian geledah
buku-bukuku kalian jarah

Tapi aku ucapkan banyak terima kasih


karena kalian telah memperkenalkan
sendiri
pada anak-anakku
kalian telah mengajar anak-anakku
membentuk makna kata penindasan
sejak dini
Ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada kita semua
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan

Kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis

1. Kontradiksi
Secara harfiah, pada dasarnya kontradiksi merupakan peristiwa atau kejadian yang menimbulkan
pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan. Dalam puisi ini terdapat beberapa majas
kontradiksi. Antara lain pada bait ketiga:
Ini tak diajarkan di sekolahan
tapi rezim sekarang ini memperkenalkan
kepada kita semua
setiap hari di mana-mana
sambil nenteng-nenteng senapan
Kalimat "Ini tak diajarkan di sekolahan, tapi rezim sekarang ini memperkenalkan kepada kita
semua" merupakan kontradiksi. Pada bait ini terdapat kontradiksi antara ungkapan tentang
makna penindasan yang dilakukan rezim pada kala itu yang tak pernah diajarkan atau diberitahu
dan dipelajari di lingkungan sekolah tapi justru dibuktikan langsung oleh para rezim secara
langsung. Selanjutnya juga terdapat pada bait terakhir:
Kekejaman kalian
adalah bukti pelajaran
yang tidak pernah ditulis
Kekejaman yang dilakukan pada kala itu merupakan sebuah bukti nyata atas teganya para
pejabat atau pemerintah yang kerap menindas rakyatnya sendiri. Hal tersebutlah yang merupakan
sebuah pelajaran namun tidak pernah ditulis. Kekejaman yang terjadi selalu menjadi teror bagi
masyarakat dan hal tersebut seharusnya menjadi catatan sejarah, sayangnya tidak akan pernah
ditulis secara konkret sebagai bukti nyata.

2. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan adalah satuan gramatikal dalam bentuk frasa atau kalimat yang
bermakna ganda atau mendua arti yang terjadi sebagai akibat dari penafsiran struktur gramatikal
yang berbeda. Pada puisi ini terdapat keambiguan dalam perasaan sosok "aku" yang pengarang
ciptakan. Pada bait pertama dan kedua tertulis tentang bagaimana Wiji menerima kabar dari
kampung tentang yang terjadi pada rumahnya. Seharusnya Wiji merasa gelisah dan tak senang,
namun bait setelahnya tertulis juga ungkapan terima kasih atas pengajaran tentang penindasan.
Menurut saya, itu adalah keambiguan. Bahkan, pada bait selanjutnya pun terkesan berisi amarah
atas rezim-rezim yang tak beradab. Hal ini memungkinkan bahwa seorang Wiji menuliskan
puisinya dengan latar belakang emosi yang berbeda-beda namun tetap dalam satu arus peristiwa
sehingga menyebabkan keambiguan dalam emosi sebagai karakter dari puisi ini.

3. Ketidakstabilan
Puisi ini menciptakan perasaan ketidakstabilan melalui penggunaan kalimat-kalimat yang
terputus-putus dan berdiri sendiri. Setiap baris puisi memiliki makna yang berdiri sendiri, tetapi
secara keseluruhan tidak terjalin secara linier atau lengkap.

4. Tema
Selama ini, tema dari puisi Tak Berjudul karya Widji Thukul adalah tentang kerakyatan atau
perjuangan karena pada puisi-puisinya, Wiji Thukul kerap mengungkapkan isi puisi yang kritis
dan menjelaskan berbagai ketidakadilan bahkan menentang pemerintah. Dengan pendekatan ini,
dapat diperloleh juga tema lain atau tema alternatif yaitu keluarga dan pendidikan. Karena, puisi
ini juga mengandung makna tersirat tentang betapa khawatirnya Wiji terhadap anak-anaknya
karena harus melihat penindasan di depan mata. Selain itu, Wiji juga menuliskan bagaimana
penindasan yang tak pernah diajarkan di sekolah justru dipaparkan oleh pemerintah terhadap
rakyatnya dengan sangat keji serta tak pernah tertulis sebagai bukti pelajaran.

You might also like