You are on page 1of 9

Resume bab 7 kelompok 1

Susunan pengadilan diatur dalam BAB 2 pasal 6 sampai dengan pasal 48 Undang-undang
nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Pasal 6 menetapkan bahwa pengadilan terdiri dari
pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai
pengadilan tingkat banding. Secara vertical, kekuasan kehakimannya dipegang oleh mahkamah
agung sebagai pengadilan tertinggi negara dan secara horizontalpengadilan agama ada pada
setiap kotamadya atau kabupaten.

Susunan organisasi pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama jatuh dalam pasal 9
UU no 7 tahun 1989 dan seterusnya. Ayat 1 pasal ini menetukan bahwa susunan pengadilan
agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita. Ayat 2
menetapkan tentang susunan pengadilan tinggi agama yang terdiri atas pimpinan, hakim anggota,
panitera, dan sekretaris.

A. Susunan hierarki peradilan agama

Pengadilan agama sebagai pengadilantingkat pertama yang berarti menerima, memeriksa


dan memutuskan setiap permohonan atau gugatan pada tahap awal dan paling bawah. Pengadilan
agama dilarang menolak untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan apapun ( pasal 56 ).
Para pencari keadilan tidak boleh langsung mengajukan perkaranya ke pengadilan tinggi,
karena fungsi dan kedudukannya pengadilan tingkat banding yang bertindak dan berwewenang
memriksa ulang suatu perkara yang telah diputuskan oleh PA apabila salah satu pihak
mengajukan banding dengan mengoreksi putusan pengadilan agama, dan dapat menuatkan
putusan pengadilan agama ( jika dianggap benar ), memperbaiki amar yang kurang jelas, atau
membatalkan putusan PA dan mengadili sendiri dengan amar putusan yang berbeda dengan PA.
Dalam ketentuan pasal 10 ayat 3 UU No 14 Tahun 1970 dan pasal 29 UU No 14 Tahun
1985 berkaitan dengan tingkatan hierarki,putusan peradilan agama disebut pengadilan tingkat
pertama,dan putusan pengadilan tingkat agama disebut putusan tingkat terahir.
Menurut pasal 30 UU No 14 Tahun 1985 menyebutkan tentang batas kewenangan
mahkamah agung sebagai peradilan tingkat kasasi, membatalakan penetapan atau putusan
pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena :
1. Tidak berwenag atau melampaui batas wewenang
2. Salah menerapkan atau menlanggar hukum yang berlaku
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang2an yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

B. Susunan organisani peradilan agama

Menurut M yahya Harahap, gambaran dari susunan organisasi PA yaitu hakim, panitera
pengganti, dan juru sita merupakan sub-organisasi fungsional peradilan yang berfungsi dan
berwenang melaksanakan peradilan. Panitera muda adalah pejabat struktural yang ikut
membantu kelancaran tugas pejabat fungsional dalam menjalankan fungsi peradilan, sekretaris
adalah pejabat structural pendukung umum seluruh organisasi peradilan.
Pasal 11 ayat 1, hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
Pasal 53 ayat 1 ketua sebagai unsur pimpinan diberi kewenangan untuk mengadakan pengawasan
atas pelaksanaan tugas dan kelakuan semua organ, termasuk para hakim. Wakil panitera
berfungsi :
1. Mempimpin dan membagi hasil semua tugas fungsional peradilan
2. Memimpin dan mwmbawahi petugas fungsional yang terdiri atas para panitera pengganti,
serta petugas fungsional yang bersifat structural yaitu para panitera muda.
3. Menyeleksi jumlah panitera pengganti yang berpatokan pada jatah Bezeting atau
pengisian formasi

1. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Sumpah Hakim


a. Syarat Pengangkatan Hakim
Dalam Pasal 11 ditegaskan: “Hakim yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman
Oleh karena itu, wajar apabila undang-undang menetapkan Syarat pengangkatan,
pemberhentian, dan Sumpah yang sesuai dengan jabatan tersebut.
Prof. H.M. Daud Ali berpendapat bahwa syarat hakim peradilan agama harus
beragama Islam ini tidaklah dimaksudkan untuk mengadakan diskriminasi, tetapi
kualifikasi. Syarat ini memang diperlukan agar para pencari keadilan yang beragama
Islam yang datang ke pengadilan agama itu merasa mantap hati dan perasaannya
melaksanakan ibadah umum berurusan dengan orang yang seagama dengan dia.
Selain syarat keislaman, tampaknya tidak ada perbedaan dengan persyaratan
hakim pada umumnya. Semua syarat yang ditentukan dalam Pasal 13 merupakan syarat
yang bersifat kumulatif, artinya semua syarat harus dipenuhi. Keseluruhan syarat itu,
sebagai berikut:
a. Warga negara Indonesia.
b. Beragama Islam.
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
d. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
e. Sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. |
f. Sehat jasmani dan rohani.
g. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
h. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk
organisasi masanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia.

ahli fikih telah membahasnya dengan saksama. Jadi, ditinjau dari hukum fikih Islam,
secara ringkas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang
hakim sebagai berikut:
1. Laki2 yang merdeka
2. Berakal ( memiliki kecerdasan)
3. Beragama Islam
4. Adil
5. Mengetahui semua pokok-pokok hukum dan Cabang-cabang nya
6. Sempurna pendengaran, penglihatan,dan tidak bisa
A. Pemberhentian Hakim

Tentang pemberhentian hakim, sama prosedurnya dengan pengangkatan hakim, yaitu


pemberhentian tersebut dilakukan oleh presiden selaku kepala negara, atas usul Ketua
Mahkamah Agung. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 7
Tahun 1989.
Undang-undang mengenal dua macam pemberhentian, yaitu pemberhentian
dengan hormat dan pemberhentian tidak dengan hormat. Setiap macam pemberhentian
didasarkan atas alasan-alasan tersebut. Pemberhentian dengan hormat diatur dalam Pasal
18 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ayat (1)
Pasal ini memuat alasan-alasan pemberhentian hakim dengan hormat dari jabatannya,
karena:
a. Permintaan sendiri.
b. Sakit jasmani dan rohani terus-menerus.
c. Telah berumur 62 tahun bagi hakim pengadilan agama dan 65 tahun bagi hakim
pengadilan tinggi agama.
d. Tidak cakap dalam menjalankan tugas.

Adapun pemberhentian tidak dengan hormat diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang


No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Alasan-alasan yang tercantum
dalam pasal ini sama dengan alasan yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 2
Tahun 1986, Pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dan Pasal 12 Undang-Undang
No. 14 Tahun 1985. Sehingga ketentuan mengenai pemberhentian tidak dengan hormat
terdapat keseragaman antara semua lingkungan peradilan, termasuk hakim agung pada
Mahkamah Agung. Alasan pemberhentian tidak dengan hormat, yaitu:

1) Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan.


2) Melakukan perbuatan tercela.
3) Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
4) Melanggar sumpah jabatan.
5) Melanggar larangan rangkap yang diatur dalam Pasal 17.
B. Sumpah Hakim
Sebelum seorang hakim menjalankan tugas sebagai pelaksana ke'kuasaan kehakiman,
ia wajib lebih dahulu mengucapkan sumpah menurut agama Islam. Lafal sumpah jabatan
ini ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-
Undang No. 3 Tahun 2006. Pasal 16 ayat (2) menegaskan bahwa yang mengambil
sumpah hakim adalah Ketua Pengadilan Agama.

2. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Ketua dan Wakil Ketua

a. Syarat Pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua


Menurut Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 13 ayat (3)
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, seorang hakim pengadilan agama baru dianggap
memenuhi syarat untuk diangkat sebagai ketua atau wakil ketua, sekurang-kurangnya
telah berpengalaman paling tidak 10 tahun sebagai hakim pengadilan agama. Adapun
pejabat yang berwenang mengangkat hakim menjadi ketua dan wakil ketua adalah Ketua
Mahkamah Agung (Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006).

b. Pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua


Pemberhentian ketua dan wakil ketua adalah sejalan dengan pengangkatan, seperti
diatur dalam Pasal 15 ayat (2), yaitu diberhentikan Ketua Mahkamah Agung

c. Penyumpahan Ketua dan Wakil Ketua


Mengenai pengambilan sumpah ketua dan wakil ketua ini diatur dalam Pasal 16 ayat
(3), (4) dan (5) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yang menentukan:
1) Pengambilan sumpah wakil ketua dan hakim dilakukan oleh Ketua pengadilan agama.
2) Pengambilan sumpah Ketua pengadilan agama dilakukan oleh Ketua pengadilan tinggi
agama.

3. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Sumpah Panitera

Agar seseorang dapat diangkat sebagai panitera Pengadilan Agama, ia harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 27, yaitu:
a. Warga negara Indonesia
b. Beragama Islam.
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
d. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
e. Ijazah serendah-rendahnya sarjana syariah atau sarjana hukum yang menguasai
hukum Islam.
f. Berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai wakil panitera atau lima
tahun sebagai panitera muda pengadilan agama atau menjabat wakil panitera
pengadilan tinggi agama.
g. Sehat jasmani dan rohani.

4. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Sumpah Wakil Panitera

Mengenai syarat pengangkatan, pemberhentian, dan sumpah wakil panitera sama dengan
ketentuan yang berlaku bagi panitera, kecuali tentang syarat pada huruf f di atas. Syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh calon panitera ditentukan dalam Pasal 27 yang terdiri dari
huruf a sampai dengan g. Semua syarat ini berlaku untuk pengangkatan wakil panitera
kecuali syarat huruf f. Demikian ketentuan Pasal 29 huruf a. Sebagai pengganti syarat
tersebut, Pasal 29 huruf b menetapkan bahwa agar dapat diangkat sebagai wakil panitera, di
samping memenuhi syarat-syarat Pasal 27 huruf a sampai dengan huruf e, juga harus
memiliki pengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai panitera muda atau empat
tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama.

5. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Sumpah Panitera Muda

Ketentuan tentang syarat-syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan


panitera muda sama dengan ketentuan yang berlaku bagi panitera dan wakil panitera.
Perbedaan hanya terletak pada masalah pengalaman kerja. Pengalaman kerja yang harus
dipenuhi untuk dapat diangkat sebagai panitera muda, sekurang-kurangnya dua tahun
sebagai panitera pengganti (Pasal 31).
6. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Sumpah Panitera Pengganti

Tentang persyaratan pengangkatan panitera pengganti ini diatur dalam Pasal 33. Semua
persyaratan, pengangkatan, dan pemberhentian panitera pengganti sama dengan ketentuan yang
berlaku bagi panitera, Wakil panitera, dan panitera muda. Perbedaan hanya dalam hal
pengalaman kerja, yaitu sekurang-kurangnya berpengalaman kerja paling tidak tiga tahun
sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.

7.Syarat Pengangkatan, pemberhentian, dan sumpah Juru sita

Tentang syarat-syarat juru sita ditentukan dalam Pasal 39 UndangUndang No. 7 Tahun 1989,
yaitu:

a. Warga negara Indonesia.

b. Beragama Islam.

C. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

d. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945.

e. Berijazah serendah-rendahnya sekolah menengah umum, atau yang sederajat.

f. Berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai juru sita pengganti.

g. Sehat jasmani dan rohani.

Dalam hal pengangkatan dan pemberhentian juru sita dan juru sita Pengganti diatur dalam Pasal
40 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yaitu:

1. Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua
pengadilan agama yang bersangkutan.
2. Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua pengadilan agama.
8. Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Wakil Sekretaris Panitera pengadilan
agama

Ketentuan tentang syarat-syarat sekretaris dan wakil sekretaris terdapat dalam Pasal I angka 33
tentang Perubahan Pasal 45 UndangUndang No. 3 Tahun 2006 yang terdiri dari:

1. Warga negara Indonesia.


2. Beragama Islam.
3. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
5. Berijazah serendah-rendahnya sarjana syariah, atau sarjana muda hukum yang
6. menguasai hukum Islam.
7. Berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
8. Sehat jasmani dan rohani.

C. SUSUNAN ORGANISASI PENGADILAN TINGGI AGAMA


Tentang susunan organisasi pengadilan tinggi agama sama dengan susunan organisasi
pengadilan agama. Perbedaan hanya pada juru sita. Apabila pada susunan organisasi
pengadilan agama terdapat subbagian juru sita yang ditempatkan pada bagian struktur
fungsional kepaniteraan, maka pada struktur kepaniteraan pengadilan tinggi subbagian
tersebut tidak ada. Hal ini wajar saja, karena kedudukan pengadilan tinggi sebagai
peradilan tingkat banding, yang tidak memiliki kewenangan
Berikut ini akan diuraikan secara singkat tentang syarat-syarat pengangkatan,
pemberhentian, dan pengambilan sumpah:

1. Hakim tinggi.

2. Wakil ketua.

3. Ketua. :

4. Panitera.
5. Wakil panitera

6. Panitera muda

7. Panitera pengganti.

8. Wakil sekretaris pengadilan tinggi agama.

You might also like