You are on page 1of 33

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul "Analisis Unsur Intrinsik
dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja ." Tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Nanda selaku guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia yang telah membantu
penulis dalam mengerjakan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
teman-teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan karya ilmiah ini. Penulis menyadari
ada kekurangan pada karya ilmiah ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik senantiasa diharapkan
demi perbaikan karya penulis. Akhir kata penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan
wawasan dan pengetahuan kepada para pembaca pada umumnya dan pada penulis pada
khususnya.

Bekasi, 30 November 2022

Penulis

ii
ABSTRAK
Novel antara lain: 1) Novel sebagai salah satu hasil sastra sangat menarik untuk kita
ketahuindan pelajari. 2) Di dalam novel kita akan menemukan beberapa unsure yang
membentuknya. 3) Kita mengetahui bahwa setiap sastra segala unsure yang membangunnya.
4) Unsur-unsur tersebut bersatu padu sehingga menghasilkan gabungan yang yang
membentuk sastra. Penelitian ini menggunakan metode deskriftif kualitatif. Metode ini
berfungsi mendeskripsikan perwujudan Unsur Instrinsik Dalam Novel Atheis Karya Achdiat
Karta Mihardja.
Menurut Sugiyono (2009:9) metode penelitian deskriftif kualitatif adalah metode
penelitian yang berlandaskan pada filsafat postivisme, digunakan untuk meneliti objek
alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) yang mana peneliti adalah sebagai instrument kunci,
pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik
pengumpulan data dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitattif,
dan hasil penelitian kualitatif kualilatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu analisis unsur intrinsik adalah novel Atheis
Karya Achdiat Karta Mihardja, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah
pendekatan objektif. Pendekatan objektif, yaitu menitik beratkan pada teks sastra yang kelak
disebut strukturalisme atau intrinsik serta pendekatan yang melihat karya sastra sebagai karya
yang otonom. (Abrams dalam Endaswara, 2013:6).

ABSTRAK

Novels include: 1) Novels as a form of literature are very interesting for us to know and
study. 2) In the novel we will find several elements that make it up. 3) We know that every
literature has all the elements that build it. 4) These elements come together to produce a
combination tah froms literature. This study uses a qualitative descriptive method. This method
functions to describe the embodiment of the Intrinsic Elements in Achdiat Karta Mihardja’s
Atheis Novel.
According to Sugiyono (2009:9) a qualitative descriptive research method is a research
method based on the philosophy of positivism, used to research natural objects, (as opposed to
experiments) where the researcher is a key instrument, sampling data sources is done
purposively and snowball, techniques data collection by triangulation (combined), data anlysis
is inductive/qualitative in nature, and the result of qualitative qualitative research emphasize
meaning rather than generalization.
In accordance with the research objective, namely the analysis of intrinsic elements is
the novel Atheis by Achdiat Karta Mihardja, the approach used in this research is an objective
approach. An objective approach, namely focusing on literary texts which will later by called
structural or Intrinsic as well as an approach that sees literary works as autonomous works.
(Abrams in Endaswara, 2013:6).

iii
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM BAHASA INDONESIA

JUDUL KARYA TULIS ILMIAH:


“ANALISIS UNSUR INTRINSIK DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA
MIHARDJA”

DISUSUN OLEH :
Nama : Aisyiah Yasmine Putrihaly
Kelas : XII MIPA 2
NIS : 202110015

Telah Diketahui dan Disetujui Oleh:

Nama Guru Pebimbing : Nanda Afifa Rahma S.Pd


NIP :
Nama Guru Penguji : Maulida Fatihah S.Pd
NIP :

Menyetujui,

Guru Pebimbing Guru Penguji

Nanda Afifa Rahma S.Pd Maulida Fathiah S.Pd

SMA NEGERI 9 TAMBUN SELATAN


Jl. Teratai VII No.4, Tridaya Sakti, Kec. Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii


ABSTRACT ............................................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 3
BAB II KAJIAN TEORI ........................................................................................... 4
2.1 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 4
2.1.1 Novel ............................................................................................... 4
2.1.2 Unsur Intrinsik ................................................................................. 5
BAB III HASIL PENELITIAN ............................................................................... 14
3.1 Hasil Penelitian ....................................................................................... 14
3.1.1 Sinopsis Novel Atheis .................................................................... 14
3.1.2 Unsur Intrinsik ............................................................................... 16
3.2 Waktu Penelitian ..................................................................................... 22
3.3 Subjek Penelitian ..................................................................................... 23
3.4 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 23
3.5 Pembahasan ............................................................................................ 24
BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 25
4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 25
4.2 Saran ....................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 27
LAMPIRAN ............................................................................................................. 28

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan hasil karya salah satu cabang kebudayaan, yakni kesenian.
Seperti hasil kesenian umumnya, karya sastra mengandung unsur keindahan yang
menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian, dan menyegarkan perasaan
penikmatnya. Seorang pencipta karya sastra tidak hanya ingin mengekspresikan
pengalaman jiwanya saja, melainkan secara implisit ia bermaksud juga mendorong,
memengaruhi pembaca agar ikut memahami, menghayati, dan menyadari masalah serta ide
yang diungkapkan di dalam karyanya.
Pengalaman jiwa yang terdapat di dalam karya sastra dapat memperkaya kehidupan
batin pembaca sehingga pembaca menjadi lebih sempurna keadaannya. Pengungkapan
yang estetis dan artistik menjadikan karya sastra lebih memesona dari pada karya yang lain.
Hal ini membuat pembaca tidak segera menjadi bosan menikmati karya sastra dan dapat
mendalami maksud yang terkandung di dalamnya.

Karya sastra biasanya membicarakan manusia bermacam-macam aspeknya sehingga


karya sastra menjadi suatu yang penting untuk mengenal secara sempurna manusia dan
zamannya. Melalui karya sastra dapat dibayangkan tingkat kemajuan kebudayaan,
gambaran tradisi yang sedang berlaku, tingkat kehidupan yang telah dicapai oleh
masyarakat pada suatu masa, dan sebagainya. Pada karya sastra tercermin masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu masa serta usaha pemecahannya sesuai dengan
cita-cita mereka.

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta
refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran sastra
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat pengarang sebagai objek individual
mencoba menghasilkan. Pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek
kolektifnya. Signifikansi yang dielaborasikan subjek individual terhadap realitas sosial di
sekitarnya menunjukkan sebuah karya sastra yang demikian itu, menjadikan ia dapat
diposisikan sebagai dokumen sosiobudaya. (Pradopo, 2003: 59).

Novel merupakan karya sastra yang disebut fiksi. Novel dapat mengemukakan sesuatu
secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih

1
banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup
berbagai unsur cerita yang membangun novel itu.

Novel merupakan sebuah struktur organisme yang kompleks unik, dan mengungkapkan
sesuatu secara tidak langsung. Hal ini, antara lain, yang menyebabkan sulitnya kita
pembaca untuk menafsirkannya. Untuk itu, diperlukan suatu upaya untuk menjelaskannya,
dan biasanya, hal itu disertai bukti-bukti hasil kerja analisis. Dengan demikian, tujuan
utama kerja analisis kesastraan, fiksi, puisi, atau pun yang lain adalah untuk dapat
memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di samping untuk membantu
menjelaskan pembaca yang kurang dapat memehami karya itu.

Di negara yang berideologi Pancasila, sekitar tahun 1948, lahirlah sebuah karya sastra
yang berjudul Atheis, yang mempermasalahkan perbenturan sikap hidup yang terlalu
vertikal dengan sikap hidup yang mengutamakan hubungan makhluk dengan penciptanya
saja. Sikap hidup horizontal, yakni sikap hidup yang hanya memperhatikan hubungan
dengan sesama makhluk saja tanpa memperhatikan penciptanya. Pengarang tidak hanya
langsung mempertarungkan kedua belah pihak itu saja. Akan tetapi, pengarang juga
mengungkapkan kehidupan dan penghidupan mayoritas bangsa Indonesia yang
berkedudukan mengungkapkan sebagai petani dengan kebiasaannya yang serba sederhana.
Di samping itu, diceritakan pula segolongan bangsa Indonesia yang terpengaruh oleh
kebudayaan modern. Dengan uraian yang luas, dalam, dan seimbang itu pembaca
memperoleh gambaran yang jelas tentang keadaan dan cita-cita masyarakat dengan
berbagai macam masalah yang harus mereka hadapi.

Memahami novel Atheis melalui unsur-unsurnya, berarti berusaha memahami secara


mendalam dan meluas. Tujuan secara intrinsik diutamakan agar dapat memperlakukan
Atheis secara wajar, yakni menurut norma-norma literal. Sudah tentu Atheis mengandung
manfaat bagi pengembangan kebudayaan pada masa mendatang, khususnya di bidang
sastra. Oleh karena itu, dalam mengembangkan dan membina apresiasi sastra Atheis perlu
dibahas secara khusus.

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat digambarkan rumusan masalah, yaitu:

1.2.1 Apa pengertian dari novel?


1.2.2 Bagaimanakah gambaran unsur intrinsik novel “Atheis” karya Achdiat Karta
Mihardja?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarakan rumusan masalah diatas, dapat digambarkan tujuan penelitian, yaitu:
Berdasarkan latar belakang yang tadi sudah saya bacakan, dapat digambarkan tujuan
penelitian yaitu :
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian dari novel.
1.3.2 Untuk mendeskripsikan gambaran unsur instrinsik pada novel “Atheis” karya
Achdiat Karta Mihardja.

1.4 Manfaat Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian diatas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik secara teoretis maupun praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran


bagi pengembangan penerapan teori apresiasi sastra Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman


tentang analisis unsur intrinsik terhadap novel, pengembangan ilmu sastra khususnya
pengajaran novel, dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap pencinta atau
pemerhati sastra.

3
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


Dalam kajian karya sastra khususnya novel yang bermutu diperlukan teori dan metode
yang dapat memperjelas unsur-unsur novel yang merupakan satuan-satuan yang bermakna.
Teori dan metode kajian yang dipergunakan dalam menaganalisis novel Atheis karangan
Achdiat Karta Mihardja adalah pendekatan Strukturalisme - Genetik.
Strukturalisme Genetik memiliki implikasi yang lebih luas dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu kemanusiaan pada umumnya Pendekatan strukturalisme genetik
mempunyai segi-segi yang bermanfaat apabila memperhatikan unsur-unsur intrinsik yang
membangun karya sastra, serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu
kreativitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi.

2.1.1 Novel

Berbicara tentang sastra, tidak lepas dari ragam sastra yang ada di dalamnya. Adapun
yang tergolong ke dalam ragam sastra adalah puisi, cerpen, novel, dan drama (Laelasari,
2007:22). Dalam penelitian ini yang dibahas adalah masalah novel, maka ragam sastra
lainnya tidaklah dibahas.

Novel berasal dari bahas Italia, novella yang berarti sebuah barang baru yang kecil,
kemudian novel didefinisikan sebagai sebuah karya sastra yang berbentuk prosa yang
mengisahkan secara keseluruhan (utuh) atas problematika kehidupan seseorang atau
beberapa tokoh (Laelasari, 2007:30).

Novel dapat menyampaikan dialog yang mampu menggerakkan hati masyarakat


pembaca. Dengan kekayaan perasaan, kedalam visi, dan keluasan pandangan terhadap
masalah-masalah hidup dan kehidupan, dengan ditopang oleh hidupnya penggambaran
tokoh-tokoh cerita, novel merupakan sarana yang ampuh untuk menyentuh perasaan dan
keharuan pembaca, memengaruhi pikiran dan membentuk opininya. Lewat novel,
pembaca dapat diajak melakukan eksplorasi dan penemuan diri. Namun, hal itu tidak
berarti bahwa tema kemanusiaan yang ingin didialogkan harus ditonjolkan sedemikian
rupa sehingga “mengalahkan” unsur-unsur fiksi yang lain, melainkan haruslah tetap
berada dalam “proporsi” yang semestinya sebagaimana halnya penulisan karya seni yang
menekankan tujuan estetik (Mangunwijaya dalam Nurgiyantoro, 2007:72).

4
Novel Atheis dikarang oleh Achdiat Karta Mihardja merupakan salah satu karya sastra
yang lahir pada angkatan 45. Karya sastra yang lainnya, antara lain Surat Singkat Tentang
Esai karya Asrul Sani, Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, Kesusastraan Indonesia
Modern dalam Kritik dan Esai karya H.B. Jassin, Surat Kertas karya Sitor Situmorang,
dan Sedih dan Gembira karya Usman Ismail (Laelasari, 2007:21).

Karya sastra pada Angkatan 45 memiliki ciri-ciri yang khas, yaitu bebas, artinya tidak
berhubungan dengan masalah adat istiadat, tidak tertuju pada satu aturan, realistic, artinya
menceritakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, futuristic, artinya karya
sastra menciptakan hal-hal baru dan berorientasi pada masa depan, individualistic, artinya
karya benar-benar menceritkan isi perasaan dan pikiran pengarangnya (Laelasari,
2007:20).

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai
bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan
saling menggantungkan. Secara garis besar, pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur
intrinsik dan ekstrinsik.

2.1.2 Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-
unsur yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang
secara factual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah
novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita.

Kepaduan antar berbagai unsur-unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel
berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur cerita inilah
yang akan dilihat atau dijumpai jika membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk
menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa cerita plot, penokohan, tema, latar, sudut
pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahas, dll. (Nurgiyantoro, 2007:23).

a. Tema

Istilah tema menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 1995:91) berasal dari Bahasa
Italia yang berarti “tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema
merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal
tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.

5
Oleh sebab itu, penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan
pembaca umumnya terbalik. Seornag pengarang harus memahami tema cerita yang
akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca
baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan
yang menjadi media pemaparan tema tersebut.

Tema merupakan kaitan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa fiksi oleh
pengarang, maka untuk memahami tema terlebih dahulu pembaca harus memahami
unsur-unsur signifikan yang membangun suatu cerita, menimpulkan makna yang
dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan
pengarangnya.

Tema adalah suatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religious, dan
sebagainnya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau
tujuan utama cerita (Laelasari, 2006:250). Pemilihan tema tertentu ke dalam sebuah
karya, bersifat subjektif.

Masalah kehidupan yang dianggap menarik perhatian pengarang sehingga merasa


terdorong untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya. Atau, pengarang
menganggap masalah itu penting, mengharukan, sehingga merasa perlu untuk
mendialogkkannya ke dalam karya sebagai sarana mengajak pembaca untuk
merenungkannya.

Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, paling tidak
pelukisan yang secara langsung atau khusus. Kehadiran tema adalah terimplisit dan
merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan
pelukisan secara langsung tersebut. Hal ini pulalah antara lain yang menyebabkan tidak
mudahnya penafsiran tema. Penafsiran tema (utama) diprasyarati oleh pemahaman
cerita secara keseluruhan. Namun, adakalanya dapat juga ditemukan adanya kalimat-
kalimat (atau Alinea-alinea percakapan) tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu
yang mengadung tema pokok (Nurgiantoro, 2007:69).

b. Alur atau Plot

Alur adalah tahapan-tahapan peristiwa yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita, sehingga membentuk rangkaian cerita yang menarik (Laelasari, 2006:25).

6
Badrun (1983:86) menyatakan bahwa alur terbagi atas empat bagian, yaitu alur
lurus, alur sorot balik, alur gabungan, dan alur rapat dan renggang.

Alur lurus (datar) adalah biasanya menceritakan rangkaian kejadian secara


kronologis, misalnnya novel-novel pujangga baru. Alur sorot balik (flash back) tidak
mengemukakan rangkaian kejadian secara kronologis tetapi mengemukakan persoalan
akhir kemudia kembali kepersoalan awal. Flash back sering juga sebagai jenis alur dan
juga sebagai unsur alur.

Sebagai unsur alur terlihat pada khayalan tokoh tentang masa lalunya. Hal ini dapat
dilihat dalam novel Arus karya Aspar. Sedangkan flash back sebagai jenis alur terlihat
dalam novel “Atheis” karya Achdiat Karta Mihardja. Alur gabungan maksudnya
pengarang tidak hanya memakai satu jenis alur tetapi kadang-kadang menggabungkan
dua jenis alur. Jenis alur ini terdapat dalam karya Mochtar Lubis yang berjudul
“Perempuan”.

Alur rapat terlihat bahwa antara alur pokok dan alur pembantu tidak dapat
diselipkan alur baru karena susunannya rapat. Sedangkan alur renggang, antara alur
pokok dan alur pembantu hubungannya renggang sehingga kemungkinan antara alur-
alur tersebut dapat diselipkan alur baru.

c. Penokohan

Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Istilah
“tokoh” menunjukan pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap
pertanyaan “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku
dalam novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada
sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada
kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiantoro,
2007:165).

Tokoh cerita (character) menurut Abram (dalam Nurgiantoro, 2007:165) adalah


orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Untuk kasus
kepribadian seoran tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan

7
tingkah laku lain (nonverbal). Perbedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih
ditentukan oleh kualitas pribadi dari pada dilihat secara fisik.

Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada “tokoh”
dan “pewatakan” sebab ia sekaligus mencangkup masalah siapa tokoh cerita,
bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah
cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan
sekaligus menyarankan pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam
sebuah cerita.

Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung 2 aspek: isi dan bentuk.
Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tidak penting benar selama pembaca dapat
mengidentifikasi diri pada tokoh-tokoh tersebut atau pembaca dapat memahami dan
menafsirkan tokoh-tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan presepsinya (Jones dalam
Nurgiantoro 2007:166).

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peran yang berbeda-beda.
Seorang tokoh memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau
tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena
pemunculannya hanya melengakapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh
tambahan atau tokoh pembantu (Amunuddin, 1995:80).

Dalam menentukan siapa tokoh utama dan siapa tokoh tambahan dalam suatu
novel, pembaca dapat menentukan dengan jalan melihat keseringan pemunculannya
dalam suatu cerita. Selain memahami peranan dan keseringan pemunculannya, dalam
menentukan tokoh utama serta tokoh penambahan dapat juga ditentukan lewat petunjuk
yang diberikan oleh pengarangnya.

Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan
dibicarakan oleh pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala
kadarnya. Selain itu, lewat judul cerita, pembaca juga dapat menentukan siapa tokoh
utamanya. Misalnya jika terdapat cerita berjudul Siti Nurbaya, Maling Kundang, dan
lain-lainnya, maka pembaca akan segera dapat menentukan bahwa tokoh yang namanya
diangkat sebagai judul cerita merupakan tokoh utama, sementara tokoh-tokoh lain yang
memiliki hubungan penting dengan tokoh itu juga dapat ditentukan sebagai tokoh
utama. (Aminuddin, 1995:80).

8
Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari disekitar
kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Sehubungan dengan watak ini, pelaku cerita
yang memilki watak yang baik sehingga disenangi pembaca disebut pelaku yang
protagonis, sedangkan pelaku cerita yang tidak disenangi pembaca kadan memiliki
watak yang tidak sesuai dengan yang diidamkan oleh pembaca disebut pelaku
antagonis (Aminuddin, 1995:80).

Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusurinya lewat, 1)


tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, 2) gambaran yang diberikan
pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan maupun cara berpakaian, 3)
menunjukkan bagaimana pelakunya, 4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang
dirinya sendiri, 5) memahami jalan pikirannya, 6) melihat bagaimana tokoh lain
berbicara tentangnya, 7) melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya, 8)
melihat bagaimana tokoh-tokoh lain itu memberikan reaksi terhadapnya, dan 9) melihat
bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

d. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubunga waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2007:216).

Latar memberi pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ii penting untuk
memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang
seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca merasa dipermudahkan untuk
mengoprasikan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta
secara kristis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaa dapat
merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yag diceritakan
sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu
sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu
mengangkat Suasana tempat, warna lokal, lengkap dengan perwatkannya ke dalam
cerita. (Nurgiyantoro, 2007:217).

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan
sosial, (Nurgiyantoro, 207:227). Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya
saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lain.

9
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat
dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar
waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu


yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial
menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro,
2007:233).

Badrun (1983:89) menyatakan bahwa tempat kejadian cerita merupakan salah satu
faktor pembantu untuk memperjelas cerita yang dikarang. Kejelasan setting akan
memengaruhi nilai sebuah cerita. Oleh sebab itu, pengertian setting meliputi latar
belakang fisik, ruang dan lingkungan tempat terjadinya dapat kita lihat contoh kutipan
dibawah ini.

Segera Ida dibawa ke kamar yang istimewa untuk ukuran rumah saki Jatiwangi
itu. Tidak ada orang lain disana. Ada dua tempat tidur tapi yang satunya lagi
kosong. Sebuah lemari dan didekatnya sebuah meja pembasuh muka. (Ramadhon
KH: Keluarga Permana)
Dengan lukisan latar yang tetap, cerita akan menjadi lebih mantap. Peristiwa-
peristiwa yang terjadi akan mudah diterima pembaca sebagai sesuatu yang wajar. Di
dalam menyusun suatu cerita, peristiwa-peristiwa dan waktu terjadinya harus jaga
benar-benar agar menjadi terang di dalam pikiran pembaca.

Iklim dan periode sejarah dapat pula membantu memberikan kejelasan kepada
pembaca. Iklim perang, damai, periode revolusi fisik, periode pembangunan, dan
sebagainya dapat menjadi latar dari berbagai peristiwa, bahkan dapat menjelaskan
watak pelaku. Jelaslah sekarang bahwa di samping latar belakang fisik yang dapat
dilihat, waktu, iklim, atau suasana, dan periode sejarah juga merupakan bagian latar
(Kusdiratin, 1985:70).

Dapat disimpulkan bahwa latar pada dasarnya tempat yang melingkupi pelaku atau
tempat terjadinya peristiwa. Tempat tersebut berhubungan pula dengan hal-hal yang di
sekitarnya termasuk alat-alat atau benda-benda yang berhubungan dengan tempat
terjaidnya peristiwa iklim atau suasana dan periode sejarah.

10
e. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan pelaku dalam cerita yng
dipaparkannya. Sudut pandang atau biasa diistilahkan dengan point of view atau titik
kisah, meliputi 1) narrator omniscient, 2) narrator observer, 3) narrator observer
omniscient, dan 4) narrator the third person omniscient (Aminuddin, 1995:90).
Penjelasan lebih lanjut dari sejumlah sudut pandang di atas adalah sebagai berikut.

Narrator omniscient adalah narrator atau pengisah yang juga berfungsi sebagai
pelaku cerita. Karena pelaku juga adalah pengisah, maka akhirnya pengisah juga
merupakan penutur yang serba tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama
maupun sejumlah pelaku lainnya, baik secara fisikal, maupun psikologis. Dengan
demikian, apa yang terdapat dalam batin pelaku serta kemungkinan nasibnya, pengisah
atau narrator, juga mampu memaparkannya meskipun itu hanya berupa lamunan pelaku
tersebut atau merupakan sesuatu yang belum terjadi.

Narator observer adalah bila pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap
pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batiniah
para pelaku. Bila dalam narrator omniscient, pengarang atau pengisah menyebut
pelaku utama dengan nama pengarang sendiri, saya atau aku, maka adalam narrator
observer pengarang menyebutkan nama pelakunya dengan dia, ia, nama-nama lain,
maupun mereka.

Berbalikan dengan narrator observer dalam narrator omniscient pengarang,


meskipun hanya menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal itu juga merupakan pengisah
atau penutur yang serba tahu meskipun pengisah masih juga menyebut nama pelaku
dengaan ia, mereka, dan dia. Hal itu memang masih mungkin terjadi karena pengarang
prosa fiksi adalah juga pencipta dari para pelaku dalam prosa fiksi yang dipaparkannya.
Ibaratnya, pengarang adalah juga dalang. Dalam hal itu memang pengarang secara
menyeluruh, melainkan juga sewajarnya atau tentang nasib yang nantinya dialami para
pelaku.

Dalam cerita fiksi, mungkin saja pengarang hadir di dalam cerita yang
diciptakannya sebagai pelaku yang serba tahu. Dalam hal ini sebagai pelauk ketiga
pengarang masih mungkin menyebutkan namanya sendiri, saya, atau aku. Sebagai
pelaku ketiga yang tidak terlibat secara langsung dalam keseluruhan satuan dan jalinan
cerita, pengarang dalam hal ini masih merupakan juga sebagai penutur yang serba tahu

11
tentang ciri-ciri fisikal, psikologis, maupun kemungkinan kadar nasib yang nanti
dialami oleh para pelaku.

f. Gaya Bahasa

Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari Bahasa latin, yaitu, stilus
dan mengandung arti leksikal “alat untuk menulis”. Dalam karya sastra istilah gaya
mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.

Sejalan dengan pengertian di atas, Scarbach (dalam Aminuddin, 1995:72)


menyebut gaya “sebagai hiasan, sebagai sesuatu yang suci, sebagai sesuatu yang indah
dan lemah gemulai serta sebagi perwujudan manusia itu sendiri).

Pengarang dalam wacana dalam sastra menggunakan pilihan kata yang


mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif. Selain itu, tatanan
kalimat-kalimatya juga menunjukkan adanya variasi dan harmonis sehingga mampu
menuansakan keindahan dan bukan hanya nuansa makna tertentu saja. Oleh sebab
itulah gaya dalam bahasa itu sendiri.

Unsur gaya yang terdapat dalam suatu cipta karya sastra yang akan melibatkan
masalah, 1) unsur-unsur kebahasaan berupa kata dan kalimat, 2) alat gaya yang
melibatkan masalah kiasan, seperti metaphor, metonomia, simbolik, dan majas yang
melibatkan masalah kata, seperti litotes, hiperbola maupun, eufimisme, majas, kalimat
seperti asidenton, klimaks, antiklimaks, paralelisme, dan lain-lain (Aminuddin,
1995:78).

Setiap pengarang selalu memiliki gaya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu
dengan yang lainnnya. Bahkan meskipun mereka berangkat dari gagasan yang sama
bentuk penyampaiannya senantiasa berbeda. Hal demikian, dalam cipta sastra
diistilahkan dengan individuasi, yakni keunikan dan kekhasan seorang pengarang
dalam penciptaan yang tidak pernah sama antara yang satu dengan yang lainnnya.

g. Amanat

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dari sebuah karya
sastra. Adakalanya diangkat suatu ajaran moral. Amanat secara eksplisit merupakan

12
seruan, saran peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya yang disampaikan
pengarang di tengah atau akhir cerita terutama mengenai ha-hal yang berkenaan dengan
gagasan yang mendasari cerita tersebut. Amanat secara implisit merupakan solusi (jalan
keluar) atau ajaran moral yang disiratkan melalui tingkah laku tokoh menjelang akhir
cerita (Laelasari, 2006:27).

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang hendak disampaikan pengarang
kepad pembaca melalui karyanya itu. Amanat disimpan rapi dan disembunyikan
pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita. Karena itu, untuk menemukan amanat,
tidak cukup dengan membaca dua atau tiga paragraph, melainkan harus membaca
keseluruhannya sampai tuntas (Supratman, 2004:89).

13
BAB III

HASIL PENELITIAN

Sebagaimana telah dipaparkan pada rumusan masalah dan metode analisis data, pada
bagian ini dideskripsikan tentang penyajian hasil dan pembahasan yang diperoleh melalui
kajian novel dan unsur intrinsik pada novel Atheis

3.1 Hasil Penelitian

3.1.1 Sinopsis Novel Atheis

Hasan seorang putra pensiunan mantri guru yang bertemmpat tiggal di kampung
Panyeredan di lereng gunung Telaga Bodas. Ayah Hasan, Raden Wiradikarta pernah berdinas
di daerah Tasikmalaya, Ciamis, Bogor, Tenggarong, dan beberapa tempat kecil yang lain. Ia
terkenal sebagai pemeluk agama islam yang taat, saleh, dan alim.

Hasan, sejak kecil mendapat pendidikan agama secara mendalam. Hasan tumbuh
menjadi anak yang patuh pada orang tua dan taat kepada agama. Salat dan berpuasa sering
dijalankannya. Ketika dewasa, Hasan mengikuti jejak orang tuanya untuk memiliki ilmu sareat
dan tarekat. Ia berguru ke Banten. Semenjak menganut ajaran mistik, Hasan semakin rajin
melakukan ibadat. Akibatnya, pekerjaan kantornya sering terbengkalai. Hasal mendapat
julukan “Pak Kiai” oleh teman-teman sekantornya.

Hasan sebagai produk dari pendidikan lingkungan masyarakat agama yang tertutup,
fanatik ia berkembang menjadi manusia fanatik, sempit pandangan hidup, dan kurang memiliki
pengalaman. Ia melihat segala macam kehidupan dalam masyarakat dengan mengggunakan
ukuran-ukuran kaca mata ajaran agama. Hal ini sangat membatasi gerak dan wataknya
sehingga ia kurang memahami masalah-masalah kehidupan yang sebenarnya.

Pada suatu hari datanglah ke kantornya, Rusli, temannya di HIS-Tasik dahulu, dengan
seorang sahabatnya, Kartini. Dengan kedatang mereka berdua, Hasan merasa lebih senang
tinggal di Bandung. Tiap-tiap hari ia mendatangi Rusli ke rumahnya untuk bertukar pikiran.
Persahabatannya dengan Kartini makin erat pula yang diteruskan dengan perkawinan.
Sedangkan Rukmini tunangannya ditinggalkannya.

Hasutan Rusli sedikit demi sedikit berbekas pada jiwa Hasan, yang mula-mula sangat
mematuhi agamanya. Karena pengaruh Rusli, ahli politik, modern, bebas, dan berdasarkan

14
paham marxisme, akhirnya Hasan menjadi seorang atheis. Apalagi ia mendapat seorang teman
baru, Anwar, seorang seniman anarkhis, yang tidak mau terikat oleh hukum yang berlaku.
Karena itu pulalah Hasan telah dibuang oleh keluarganya yang hanya percaya pada apa yang
dikatakan agamanya. Hasan sudah berani mencela kepercayaan agama di muka orang tuanya.

Perkawinan Hasan dengan Kartini tidak membuahkan kebahagiaan yang mereka


dambakan. Kartini meneruskan kebiasaan hidup bebas, pergi tanpa suaminya. Hasan selalu
dihantui oleh larangan ayahnya untuk tidak kawin dengan Kartini dan diharapkan kawin
dengan Fatimah.

Sejak terjadi pertengkaran Hasan dengan Kartini meningalkan rumahnya. Ia pergi tanpa
tujuan. Di jalan ia bertemu dengan Anwar. Atas bujukan Anwar, Kartini mau diajak bermalam
di suatu hotel bersama-sama Anwar. Karena Anwar berusaha untuk memperkosanya, Kartini
lari dari penginapan itu dangan meneruskan perjalanannya ke kebon Manggu.

Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Hasan akhirnya ingat kembali pada ajaran agama
yang pernah diberikan oleh orang tuanya. Dia menyesal atas kelalaiannya selama ini, ia
mengutuki teman-temannya yang telah membawa ke jalan yang sesat, jalan yang menyimpang
dari agama.

Mendengar kabar bahwa ayahnya sedang sakit parah, Hasan pulang menjenguknya.
Dalam keadaan yang sangat kritis, ayahnya masih sempat mengusir Hasan yang sedang
menungguinya. Setelah Hasan keluar dari tempat tidur, ayahnya meninggal dunia dengan
tenang.

Ketika pulang ke Bandung, ke rumah Kartini, terjadilah kusukeiho. Ia terpaksa harus


mencari tempat berlindung. Di tempat perlindungan itu, terngiang-ngiang suara ayahnya,
menasihati, memarahi, mengutuk perbuatan-perbuatannya yang telah menyimpang dari ajaran
agama islam. Hasan kembali sadar. Sementara itu penyakit TBC-nya kambuh, ia merasa tak
kuat melanjutkan perjalanan dan mencari penginapan untuk beristirahat.

Dari daftar penginapan, ditemukan nama Kartini dan Anwar. Hasan yakin bahwa Kartini
telah berbuat Serong dengan Anwar. Meledaklah amarahnya, ia lari keluar pada malam gelap
untuk membalas dendam. Sementara itu, sirene mengiung-ngiung tanda ada bahaya. Semua
lampu dimatikan, setiap orang mencari perlindungan. Hasan sudah mata gelap, lari terus. Pada
waktu itu keadaan di luar sedang bahaya, bunyi sirene tanda bahaya meraung-raung, namun
Hasan tak peduli, dia terus berjalan mencari Anwar. Sebelum bertemu yang dia cari, hasan

15
tiba-tiba merasa ada sesuatu yang menembus tubuhnya. Hasan terkapar di jalan sambal
berlumuran darah. Sebelum meninggal Hasan masih sempat mengucapkan Allahu Akbar.

3.1.2 Unsur Intrinsik


1. Tema

Tema pada novel Atheis yaitu kegoncangan kepercayaan yang dialami Hasan,
seorang pemuda yang isi hatinya mendesak-desak dan terpecah-pacah dalam
kegugupan karena tidak bisa memilih pendirian yang benar.

Cara Rusli berbicara mengemukakan pendapatnya yang ramah, dan simpatik


memperoleh sukses, mendapat tempat di hati Hasan. Ia merasa menjadi manusia baru.
Karena imannya telah goncang, ia tidak lagi merasa sebagai atheis yang tulen, tetapi
lebih merasa sebagai atheis meskipun Rusli dan Anwar belum menganggapnya sebagai
atheis. Bagaianapun, kegoncangan perasaan dan kepercayaan ini tetap menguasai
Hasan meskipun secara fisik ia telah masuk sepenuhnya ke dalam kelompok atheis.

Setelah memasuki dunia atheis kegoncangan kepercayaan yang dideritanya


berkembang menjadi konflik kejiwaan. Konflik itu timbul semenjak ia mulai kenal
dengan Kartini. Hasan yang tadinya berkeyakinan mistik dengan pembatasan pergaulan
laki -laki, perempuan yang ketat, merasa kaget dengan kenyataan hidup modern, bebas
lepas yang diperlihatkan Kartini yang kemudian dikawininya dengan harapan bisa
mengembalikanny ke jalan yang benar. Harapan ini membuahkan hal yang sebaliknya,
ia sendiri teggelam dalam ketidakberanaran. Gambaran kebimbangan si Hasan tampak
pada kutipan dibawah ini.

Sejak malam Rabu itu, jadi empat hari yang lalu, aku seolah-olah terombang-ambing
di antara riang dan bimbang. Riang aku, apabila terkenang-kenang kepada Kartini
yang sejak malam itu makin mengikat hatiku saja. Tapi bimbanglah aku, apabila aku
teringat-ingat kepada segala pemandangan dan pendirian Rusli, yang sedikit
banyaknya memengaruhi juga pikiran dan pendirianku (atheis hal - 90).
Menghadap Rusli, ia sudah kalah mental. Kalau sebelumnya ia bertekad
mengislamkan kafir modern, kenyataannya ia menjadi korban kekerdilannya. Ia adalah
“Islam mistik yang dikafirkan”, atau dengan kata lain, hubugan vertikal yang
dihorisontalkan.

16
2. Latar

Latar pada novel Atheis meliputi berbagai hal, antara lain, tempat termasuk benda-
benda yang ada di lingkungan tempat itu, waktu, iklim atau suasana, dan periode
sejarah.

Pengarang melukiskan tempat tinggal orang tua Hasan di daerah Priangan. Dilihat
dari lingkungan tempat, tampaklah betapa sederhana daerah kelahiran Hasan. Di daerah
yang begitu sederhana, menggambarkan kehidupan yang sederhana dan dihuni oleh
orang-orang yang sederhana pula, termasuk cara berpikirnya. Gambaran tentang
kesederhanaan tampak pada kutipan di bawah ini.

Dilereng Gunung Telaga Bodas di tengah-tengah Pegunugan Priangan yang


indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau pohon-pohon jeruk
garut, yag segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa yang nyaman dan
sejuk. kampung ini terdiri dari kurang dua ratus rumah besar kecil. (atheis – hal
10)
Kehidupan Hasan di latarbelakangi oleh agama islam. Hal ini ditandai dengan
kehidupan orang tuanya penganut agama islam yang taat, yang dinyatakan dalam
kutipan berikut.

Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat soleh dan alim. Sudah sedari kecil
jalan hidup ditempuhnya dengan tasbeh dan mukena. Iman islamnya sangat tebal.
Tidak ada yang lebih nikmat dilihatnya, daripada orang yang sedang
bersembahyang dari pada menonton film. (atheis – hal 11)
Dengan didahului latar seperti di atas, dapatlah diterima sebagai sesuatu yang logis
tentang tentang tidakan-tidakan Hasan yang menunjukan bahwa ia adalah orang yang
sederhana cara berfikirnya. Ia menerima dan menjalankan agama islam serta hal-hal
lainnya bukan karena keyakinan yang kuat, tetapi hanya ikut-ikutan saja.

Pada saat-saat terakhir, peristiwa-peristiwa yang dialami Hasan terjadi di Bandung


seperti pada lukisan berikut ini.

Bandung sekarang seolah-olah sedang berkabung. Kini tak ada lagi lampu-lampu
yang terang-benderang itu. Tak ada lagi toko-toko yang bermandi cahaya. Tak ada
lagi kendaraan-kendaraan yang bersimpang siur itu. Beberapa lampu yang jauh-
jauh jaraknya yang terpencil yang satu dari yang lain, seperti yang ragu-ragu
agaknya yang memberikan cahayanya, laksana putri Timur, yang ragu-ragu pula
menyinari cahaya kecantikannya karena wajahnya ditutupi dengan tudung-
telingkup.

17
Novel Atheis mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada akhir penjajahan
Belanda hingga akhir penjajahan Jepang. Hal ini kita simpulkan dari keterangan-
keterangan yang terdapat pada novel Atheis.

Dua minggu yang lalu mereka itu masih merasa dirinya singa yang suka makan
daging. Kini telah menjadi daging yang hendak dimakan singa. Mereka telah hancur
kekuasaannya oleh tentara Sekutu dan Rusia.

Sebelum mengisahkan pertentangan antara Hasan-Kartini sebagai suami istri,


terlebih dahulu diambil suasana perang sebagai latarnya.

Sungguh banyak kejadian-kejadian di dalam tempo empat puluh bulan itu. Juga
kejadian-kejadian yang seolah-olah mau menyesuaikan diri dengan kejadian-kejadian
di dalam politik dunia, yang makin hari makin hebat, maka genting dan pada akhirnya
memuncak pada mencetusnya api peperangan: Perang Dunia II.

Latar tersebut mengantar pada peristiwa yang menggembirakan Hasan karena ia


mendapat kesempatan berkunjung ke rumah Kartini untuk yang pertama kali. Di dalam
menyuguhkan kemesraan lukisan latarnya sebagai berikut.

Bulan sangat indahnya. Hampir bulat benar. Jernih seperti piring emas muda
yang digosok. Awan kecil-kecil bertitik-titik di bawahnya, bergerak-gerak.
Membikin bulan hidup. Sayang aku bukan penyair. Tak sanggup aku melukiskan
keindahan malam itu. Tapi biarpun begitu terasa besar olehku pengaruh yang
gaib menimpa jiwaku. Mungkin juga Kartini. Ia pun terpukau juga oleh keindahan
bulan itu. Ia duduk bersilangan tangan di atas dada, menengadah ke langit
menatap bulan.
Sungguh banyak kejadian-kejadian di dalam tempo empat puluh bulan itu. Juga
kejadian-kejadian yang seolah-olah mau menyesuaikan diri dengan kejadian-kejadian
di dalam politik dunia, yang makin hari makin hebat, maka genting dan pada akhirnya
memuncak pada mencetusnya api peperangan: Perang Dunia II.

Latar waktu di dalam novel Atheis erat sekali hubungannya dengan periode sejarah,
iklim, dan suasana. Atheis menceritakan kejadian-kejadian yang berlangsung sejak
akhir penjajahan Belanda hingga akhir penjajahan Jepang. Suasananya diliputi oleh
suasana perang, baik peperangan di dalam negeri maupun diluar negeri. Dimana-mana
terjadi perang. Pada waktu itu bangsa Indonesia terus berjuang menantang penjajahan.

3. Penokohan

18
Peristiwa dalam prosa naratif seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-
hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku cerita. Pelaku yang mengemban peristiwa
dalam cerita mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh. Adapun cara
pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.

Untuk memahami watak pelaku dapat ditelusuri dengan cara (1) tuturan
pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang
lewat gambaran lingkungan kehidupan ataupun cara berpakaian, (3) tokoh itu
berbicara tentang dirinya sendiri, (4) memahami bagaimana jalan pikirnya, (5) melihat
bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (6) melihat bagaimana tokoh lain
berbincang dengannya, (7) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan
reaksi terhadapnya, (8) melihat bagaimana tokoh itu dalam reaksi tokoh yang lainnya
(Juhara, 2005: 166).

Tokoh dan penokohan dalam novel Atheis dapat kita lihat berikut ini.

a. Hasan

Dalam novel Atheis, pengarang (Achdiat) memperkenalkan keadaan lahiriah


pelaku yang mencerminkan kehidupan orang biasa yang dirundung oleh kesulitan
hidup, sedangkan yang lain mengilustrasikan kehidupan orang intelek dan modern.
Tampak pada kutipan berikut ini.

Seperti namanya pula, rupa dan tampang Hasan pun biasa saja, sederhana. Hanya
badannya kurus, dan karena kurus itulah maka nampaknya seperti orang yang tinggi.
Mata dan pipinya cekung. (atheis – hal 7)
Laki-laki itu kira-kira berumur dua puluh delapan tahun. Parasnya tampan, matanya
menyinarkan intelek yang tajam. Kening di atas hidungnya bergurat, tanda banyak
berpikir. Pakaiannya yang terdiri dari sebuah pantaloon. Flanel kuning dan kemeja
krem, serta pantas dan bersih. Ia tidak berbaju jas, tidak berdasi. (atheis – hal 26)
Pengarang menceritakan bahwa keadaan alam sekitar berpengaruh besar terhadap
diri pelaku utama, yaitu Hasan. Sebagai warga kampung, Hasan biasa hidup dalam
keadaan yang sederhana, pengetahuan pun tidak luas. Corak kehidupan ini akan
berpengaruh besar terhadap kehidupan Hasan selanjutnya, terhadap sikap dan tingkah
laku.

Sejak kecil Hasan anak yang taat, pemeluk agama Islam yang tekun. Setelah
bergaul dengan Rusli, Kartini, Anwar, dan kawan-kawannya, Hasan menjadi orang
yang melalaikan ajaran agama. Hasan menjadi berani menentang orang tuanya,

19
imannya goyah, dan hanyut pada aliran paham teman-temannya, yaitu Marxisme.
Setelah keinginannya hidup berbahagia bersama Kartini tidak berhasil, Hasan menjadi
sadar Kembali menyesali kelalaiannya.

Paham Marxis yang ditanamkan oleh Rusli tenyata menggoyahkan iman Hasan.
Dia sulit mencapai suasana khusyuk. Bermacam-macam masalah yang didengar dari
Rusli terus menggoda pikirannya. Dengan demikian dengan cara lukisan ini pembaca
dapat menilai kemampuan Rusli dalam menyebarluaskan paham Marxis.

Keras aku mengucapkan nama Tuhan itu pada tiap kali aku berubah sikap. Keras-
keras, supaya bisa mengatasi suara hati dan pikiran. Keras-keras pula nama Tuhan itu
kuucapkan dalam hati. Tapi tak lama kemudian melantur-lantur lagi pikiran itu.
Sekarang malah makin simpang siur, makin kacau rasanya.

Kutipan diatas menggambarkan betapa lemahnya Hasan. Berlarut-larut Hasan


memikirkan apa yang telah diomongkan Rusli. Dengan pengetahuan dan pengalaman
yang masih dangkal ia berpendapat bahwa dengan sering mengucapkan nama Tuhan
dengan keras-keras ia akan dapat mengatasi kekacauan pikirannya. Jalan pikiran
Hasan yang demikian ini, menimbulkan kesan bahwa Hasan belum memiliki cara
berpikir yang matang, kehidupan psikis yang belum dewasa, iman Hasan tampaknya
belum mantap.

b. Rusli

Rusli adalah kawan Hasan Ketika kecil dan banyak bersama-sama. Rusli suka
mengganggu khatib tua yang tuli, atau memukul-mukul bedug. Lebih jelasnya dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini.

Rusli itu adalah seorang kawanku ketika kecil. Agak karib juga kami berteman,
bukan saja oleh karena satu kelas, tapi juga oleh karena kami bertetangga. Kami
banyak bersama… Hanya dalam dua hal kami tidak pernah bersama-sama, yaitu
kalua Rusli berbuat nakal, apabila bersembayang. Orang tuaku melarang nakal,
menyuruh sembayang. Orang tua Rusli tak peduli. Kalau kamu bersama-sama
pergi ke masjid, maka aku untuk sembahyang, sedangkan Rusli untuk
mengganggu khatib tua yang tuli atau memukul-mukul bedug (atheis – hal 29).
Rusli adalah seorang penganut Marxisme. Pegetahuannya yang luas dan
kemampuannya menyampaikan pendapat, ia berhasil memengaruhi teman-temannya
terutama Hasan. Tampak pada kutipan bahwa Hasan heran dengan sikap Rusli yang
dulu orang yang beragama sekarang tidak percaya adanya Tuhan.

20
“Saya tadi hanya merasa agak heran, karena sesungguhnya tidak masuk akal di
hati saya, bagaimana mungkin orang seperti saudara, yang saya kenal dari kecil
sebagai keturunan orang-orang muslimin, sampai bisa menjadi seorang kafir
yang tidak percaya lagi kepada adanya Tuhan. Saya heran, sebab tidakkah itu
suatu penghianatan terhadap agama leluhur sendiri” (atheis – hal 69)
Kata yang diucapkan oleh Hasan itu dijawab oleh Rusli.

“Rusli tersenyum. Katanya, “Ya; kafir! Atau dengan kata asing disebut juga
atheis. Memang banyak sekarang orang-orang atheis. Tidak percaya lagi kepada
Tuhan dan agama” (atheis – hal 69).
Selain itu, diperjelas dalam kalimat di bawah ini bahwa Rusli tidak mempercayai
adanya Tuhan dan mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Selain itu, Rusli
menganggap bahwa agama dan Tuhan adalah ciptaan manusia itu sendiri. Tampak
pada kutipan di bawah ini.

… Tuhan tidak ada, Saudara!” (atheis – hal 67)


“Rusli menguraikan bahwa agama dan Tuhan itu adalah ciptaan manusia itu
sendiri, hasil atau akibat dari sesuatu keadaan masyarakat dan susunan ekonomi
pada suatu zaman”. (atheis – hal 73)
c. Kartini

Kartini adalah seorang Wanita yang modern. Sebelum kawin dengan Hasan,
kebiasaannya ialah bergaul bebas dengan laki-laki bukan muhrimnya. Setelah kawin
kebiasaan-kebiasaan itu masih dijalankannya juga.

Alangkah malangnya bagi Kartini, karena ia sebagai seorang gadis remaja yang
masih suka berplesiran dan belajar dalam suasana bebas, sesudah kawin dengan Arab
tua itu (notabene sebagai istri keempat) seakan-akan dijebloskan ke dalam penjara,
karena harus hidup secara wanita Arab dalam kurungan.

Maka tidak mengherankan, kalau Kartini ___ setelah ibunya meninggal dunia
___ segera melarikan diri dari lingkungan si Arab tua itu.
Dan tidaklah mengherankan pula agakya, kalua ia sudah mengicip-icip peljaran
dan didikan modern sedikit-dikit kemudahan setelah ia lepas dari penjara timur
kolot” itu segera menempuh cara hidup yang kebarat-baratan. (atheis – hal 35).
d. Anwar

Anwar adalah seorang yang anarkis, sikapnya kasar, tidak pandai bergaul. Seperti
Rusli, dia seorang Marxis. Anwar seorang yang optimis, suka meniru orang lain.

21
4. Alur atau Plot

Alur merupakan jalan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir merupakan
jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan. Alur dalam Novel Atheis Karya
Achdiat Karta Mihrdja tergolong alur campuran. Alur campuran adalah alur yang
dimulai dari awal/masa sekarang, masa lalu, Kembali ke masa sekarang, kemudian
masa depan. Alur campurang terlihat dalam kutipan berikut.

“Hasan telah meninggal dunia, Beberapa bulan yang lalu. Ini San, untuk sembahyang
kata Ayah sambil memberikan barang pakaian itu. Sambil menyembah kuterima
barang itu segera kupakai dengan sangat riangnya”. (atheis – hal 95)

5. Sudut Pandang

Sudut pandang menyangkut bagaimana sebuah kisah yang diceritakan. Sudut


pandang menyangkut sisi pengarang. Hal ini tentulah berhubungan dengan gaya
pengarang. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,
teknik, siasat secara ialah yangsecara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan
gagasan dan ceritanya (Nurgiantoro, 2007: 248).

Di dalam novel Atheis, selain menggunkan gaya aku juga menggunakan gaya dia.
Dengan demikian, pusat pengisahan atau point of view pada novel Atheis ialah
multiple atau campuran antara gaya aku dan gaya dia. Dengan gaya ini maksud yang
terkandung di dalam Atheis menjadi jelas. Walaupun banyak dan bermacam-macam
masalah yang ditampilkan, dengan gaya penuturan, semua persoalan dapat dimengerti
secara sistematis dan terperinci.

6. Gaya Bahasa

Media yang paling efektif guna memproyeksikan kepribadian sehingga karya-


karya memiliki ciri-ciri yang personal adala bahasa. Kongkretnya adalah gaya bahasa.
Gaya bahasa dikatakan efektif bila dpat membangkitkan efek emosional serta
intelektual Gaya bahasa yang digunakan Achdiat dalam novel Atheis adalah sebagai
berikut.

a. Gaya bahasa Matafor.

"Maka nasi meja bundar! Kartini menyahut. Kami tertawa semua" (atheis – hal 96)

22
b. Gaya bahasa Hiperbola

"Secara habis-ludis segala perasaan bahagiaku sekarang serasa terpencil sendiri


aku hidup di dunia kini". (atheis – hal 177)

c. Gaya bahasa Sinekdok

“Pada senja hari yang indah seperti itu, di jaman yang lalu kota itu seolah-olah
mulai berdendam.” (atheis – hal 213).

d. Amanat

Amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui novel Atheis adalah,
jangan sampai keimanan kita goyah hanya karena cinta dan lingkungan pergaulan
semata.

3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 30 November 2022.

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah unsur intrinsik pada novel “Atheis” karya Achdiat Karta
Mihardja.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah Teknik analisis teks novel. Analisis
dilakukan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana perjalanan keimanan
tokoh Hasan dalam novel Atheis. Langkah – Langkah yang akan dilakukan penulis untuk
mengumpulkan dan menganalisis data adalah sebagai berikut:

1. Membaca Novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dengan seksama secara
keseluruhan.
2. Mencari data – data yang mengandung unsur intrinsik dalam novel Atheis karya
Achdiat Karta Mihardja.
3. Mengelompokkan data – data yang terkumpul berdasarkan masing – masing indicator.

23
3.5 Pembahasan

Pertarungan antara ideologiMarxisme Materialisme dengan Islam begitu kental dalam


novel Atheis karyaAchdiat Karta Mihardja ini. Pertarunganideologi ini bahkan dapat
membuat sangtokoh utama yang bernama Hasan yangtadinya seorang muslim yang taat
berubah menjadi pengikut pahamMarxisme Materialism (komunis).Bentuk-bentuk
Pertarungan Ideologiyang terdapat dalam Novel Atheis KaryaAchdiat Karta Mihardja
Termuat dalam uraian berikut.

24
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang “Analisis Unsur Intrinsik dalam Novel Atheis
Karya Achdiat Karta Mihardja” dapat disimpulkan sebagai berikut, Unsur intrinsik pada
Novel “Atheis” yaitu:

1. Tema dari novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja adalah tentang kehidupan
seseorang yang dalam pemahaman agamanya masih setengah-setengah sehingga
mudah terpengaruhi oleh paham lain dan lingkungan sekitarnya.
2. Latar
a. Latar tempat dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yaitu: Kampung
Panyeredan, Loket di Kotapraja, Rumah Bibi Hasan, Rumah Rusli/Kebon Manggu 11,
dan Rumah Kartini/Lengkong Besar 27.
b. Latar waktu dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yaitu: 1 Oktober 1942
dan 15 Februari 1943.
c. Latar suasana dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yaitu: penyesalan,
bahagia, dan menegangkan.
3. Penokohan
a. Protagonis
- Hasan memiliki watak yaitu: pemalu, tidak memiliki pendirian, pencemburu, dan
emosional.
b. Antagonis
- Anwar memiliki watak yaitu: menganggap dirinya tuhan, tidak sopan, dan selalu
ingin menjadi pusat perhatian.
c. Tritagonis
- Rusli memiliki watak yaitu: tidak percaya dengan adanya tuhan, cerdas, dan pandai
berbicara.
- Kartini memiliki watak yaitu: gaya hidup kebarat-baratan dan menginginkan
kebebasan.
4. Alur/Plot
Alur dari novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yaitu alur campuran.
5. Sudut Pandang

25
Sudut pandang dari novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja yaitu sudut pandang
pertama pelaku utama.

6. Gaya Bahasa
7. Amanat

Amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui novel Atheis karya
Achdiat Karta Mihardja adalah, jangan sampai keimanan kita tergoyahkan hanya
karena cinta dan lingkungan pergaulan semata.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis novel Atheis karya Achiadat K. Mihardja dan rancangan
pembelajarannya, peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut.

1. Bagi pendidik, gunakan novel Atheis karya Achiadat K. Mihardja sebagai bahan
ajar di sekolah sekaligus media pembelajaran sastra untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik dalam menginterpretasi suatu karya sastra dan
memperkenalkan karya sastra tahun 90-an di Indonesia.
2. Gunakan RPP yang telah dibuat oleh peneliti sebagai acuan pembelajaran di
kelas, sehingga pembelajaran novel tidak sebatas pengenalan karya sastra
Indonesia kepada peserta didik, tetapi juga sebagai sumber pendidikan karakter
melalui inderect learning.

26
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.

https://www.gramedia.com/literasi/unsur-intrinsik-novel/

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Atheis

Kaswardi, EM.K., 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia
Widiasarana.

https://www.ruangguru.com/blog/sistematika-karya-tulis-ilmiah

Kusdiratin. 1985. Memahami Novel Atheis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5842119/mengenal-novel-jenis-unsur-unsur-dan-
cirinya/amp

Mihardja, Achdiat Karta. 2006. Atheis, Jakarta: Balai Pustaka

https://www.gramedia.com/literasi/karya-tulis-ilmiah/

Nazir, Moh. 1985. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Trisman. 2003. Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.

Zaimar, Okke K.S. 2002. Pelatihan Kritik Sastra. Universitas Indonesia Depok: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya.

27
LAMPIRAN

Biodata Diri

Nama: Aisyiah Yasmine Putrihaly

Kelas: XII MIPA 2

NIS: 202110015

Cover

Keterangan:

1. Judul Buku: Atheis


2. Pengarang: Achdiat Karta Mihardja
3. Tanggal Terbit: 1949
4. Halaman: 224 (cetakan ke-32)

Biografi Pengarang:

Achdiat, seorang jurnalis serta redaktur yang pernah bergabung dengan penyair
eksentrik Chairil Anwar dan Partai Sosialis Indonesia, menulis Atheis antara bulan Mei 1948
dan Februari 1949. Bahasa Indonesia yang digunakannya dipengaruhi oleh bahasa Sunda, dan
gaya penulisannya lebih mirip gaya penulis Minang dari periode sebelumnya daripada para
penulis kontemporer. Terutama membahas mengenai keimanan, novel ini juga menyinggung
hubungan modernitas dan tradisionalisme. Biarpun Achdiat menegaskan bahwa karya ini

28
dimaksud untuk realis, perlambangan dan hubungan simbolis pernah diusulkan tentang
Atheis.

Terjadi pembahasan yang cukup panas saat Atheis terbit. Tokoh-tokoh agama, Marxis-
Leninis, dan anarkis menolak novel ini karena kurang menjelaskan ideologi mereka masing-
masing, sementara tokoh-tokoh sastra dan masyarakat banyak memuji roman ini. Penerimaan
baik ini mungkin disebabkan diperlukannya penyatuan nasional oleh Pemerintah Indonesia.
Sebelum tahun 1970, Atheis sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, dan pada 1972
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; pada 1974 novel ini diadaptasikan menjadi film.
Selain menerima penghargaan dari pemerintah pada 1969, Atheis sudah termasuk dalam
UNESCO Collection of Representative Works.

29

You might also like