You are on page 1of 14

PENATALAKSANAAN PASIEN PASCA BEDAH

PENDAHULUAN
Tujuan suatu tindakan medis termasuk pembedahan adalah menolong
penderita untuk memperoleh kesembuhan, memperpanjang harapan hidup serta
meringankan penderitaan atau keluhan pasien. Penatalaksanaan pasca bedah
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu tindakan medis.
Penatalaksanaan pasien pasca bedah merupakan serangkaian kegiatan
monitoring, evaluasi dan rehabilitasi kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk
perawatan kondisi lokalis pasca pembedahan.
Walaupun banyak kemajuan-kemajuan dalam perawatan pada pasien pasca
operasi, komplikasi tetap sering terjadi. Untuk mencegah terjadinya morbiditas dan
mortalitas pada pasien pasca operasi harus dilakukan perawatan yang tepat dan efektif
(Donoff, 1994).
Penatalaksanaan pasien pasca bedah elektif maupun emergensi, meliputi
monitoring sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernafasan, temperatur
tubuh, dan keseimbangan nutrisi, cairan dan elektrolit serta kontrol terhadap
kemungkinan terjadinya infeksi sistemik maupun infeksi lokal pada luka daerah
operasi. ( Talbot, 1994. Leigh, 1994. Goldman David, 1994 ).

SISTEM SARAF PUSAT


Untuk observasi tingkat perubahan kesadaran diukur dengan menggunakan
“Glasgow Comma Scale” ( GCS ). Indikator yang digunakan dengan melihat
pembukaan mata (4), respon verbal/bicara (5) dan respon motorik (6). Nilai normal
GCS yaitu 15, dimana kondisi pasien dalam kesadaran penuh. ( Teasdale & Sennet
1974 ).

1
GCS dapat diukur jika pasien tidak dibawah pengaruh alkohol dan tidak
dalam keadaan hipotermia, shock/hipotensi, hipoksia. Dalam hal ini juga dalam
menilai GCS, operator harus dapat membedakan keadaan pasien yang tidak dapat
bicara/kontak karena tidak sadar ( General Disfunction ) atau Aphasia ( Local
Disfunction).
Tanda-tanda yang harus diketahui naiknya tekanan intrakranial yaitu
melemahnya nadi, hipertensi, oedem papilla. Sedangkan untuk mengevaluasi tanda-
tanda kelainan lateral dengan melihat perbedaan ukuran pupil, adanya
ketidaksesuaian refleks pada pergerakan ekstremitas ( Leigh, 1994 ).
Pemeriksaan
- Rontgen kepala
- CT – Scan
Penatalaksanaan
Tidur dengan posisi kepala 15º merupakan perawatan setiap waktu, posisi
tidur dengan kepala lebih rendah direkomendasikan untuk phisiotherapi, tetapi tidak
lebih dari 10 menit.
Mengurangi oedem otak, dengan cara : menjamin bebasnya jalan nafas,
mengurangi kadar CO2 dengan cara intubasi dan hiperventilasi agar tercapai
hipokapnia sedang(pCO2 33-35 mmHg), meningkatkan kadar O2, ventilasi jika
dibutuhkan, pemberian dexametason, Infus Manitol ( sebelum dirujuk ke NC ),
Sedasi yang adekuat serta mencegah jangan sampai terjadi hipertermia.
( Leigh, 1994 ).

SISTEM KARDIOVASKULAR

Untuk mendeteksi adanya kelainan pada sistem kardiovaskuler pada pasien


pasca bedah, dapat dilihat dari adanya : penurunan volume darah (kegagalan sirkulasi
di perifer) yang ditandai dengan adanya peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan

2
darah, aliran urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam (uretra kateter), temperatur kulit naik
5° C. Penurunan Hb dan hematokrit serta adanya metabolik asidosis (Leigh,1994).
Metabolik asidosis dapat dikoreksi dengan molar sodium bikarbonat. Alpha
blocker dapat berguna jika vasodilatasi perifer tidak diikuti dengan peningkatan
tekanan vena pusat (Leigh,1994).
Monitoring utama yang selalu harus dilakukan pada pasien pasca bedah
dengan melihat kondisi tekanan darahnya. Tekanan darah pada seseorang
berhubungan dengan faktor-faktor : usia, kondisi sistemik, pengobatan, status emosi
dan faktor lain.
Hipertensi
Menurut Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure hipertensi dapat digolongkan menjadi :
- Stage I Sistolik 140 -159 mmHg dan Diastolik 90 – 99 mmHg
- Stage II Sistolik 160 -179 mmHg dan Diastolik 100 – 109 mmHg
- Stage III Sistolik >180 mmHg dan Diastolik ≥110 mmHg
Etiologi terjadinya peningkatan tekanan darah diantaranya rasa sakit, obat-
obatan misal epidrine dan phenyl ephrine, kehilangan cairan, darah, transfusi dan
urine output, O2 yang rendah dan atau meningkatnya PCO2 ,retensi urine, usia pasien
terutama yang memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol (Donoff,1997).
Terapi yang biasa dilakukan pada pasien pasca bedah dengan hipertensi :
- Menghilangkan penyebabnya seperti konsultasi dengan pasien,
mengontrol rasa sakit.
- Pada keadaan emergensi, dimana tekanan darah sistole diatas 180 mmhg,
diastole diatas 115 mmhg, di terapi dengan cara :
a. Labetalol HCl 20 mg secara intra vena, diulang setelah 10 menit.
b. Diazoxide 300 mg secara intra vena atau 150 mg diikuti 50 mg dititer
secara intra vena.

3
c. Hydrazaline-propanolol 10 mg.
d. Furosemid (Lasix).
e. Methyldopa 250 mg secara intra vena.
f. Nifedifin 10 mg secara sublingual.
g. Morphine 5 mg secara intra vena jika pasien merasa kesakitan.
Hipotensi
Suatu keadaan dimana tekanan darah pasien yang turun lebih rendah dari
normalnya (sistole dibawah 100 mmhg, diastole dibawah 80 mmhg). Keadaan ini
dapat disebabkan karena adanya sisa obat anestesi, kehilangan cairan seperti poli uri
pada pasien penderita diabetes melitus, menurunnya cardiac output arteri/ventrikel,
obat-obatan seperti narkotik, analgetik, nitrat, propanolol dan pada kasus yang jarang
bisa karena shock sepsis, insufiensi adrenal serta pneumothorax. (Donoff, 1997)
Penatalaksanaan pasien hipotensi pasca bedah diantaranya :
- Keadaan emergensi : 300 ml normal saline atau ringer laktat secara intra
vena.
- Menghilangkan penyebabnya.
- Pasien ditidurkan dalam posisi Trendelenburg .
- Jika karena obat penyebabnya, di tanggulangi dengan pemberian
ephedrine 10 mg secara intra vena atau phenylephrin drip (1 amp dalam
500 ml) dititer sampai ada respon.

MONITORING SISTEM PERNAFASAN


Walaupun banyak kemajuan-kemajuan di dalam perawatan pasien pasca
bedah, komplikasi-komplikasi pulmonal tetap sering terjadi. Perawatan pasca bedah
harus dilakukan secara tepat dan efektif untuk mencegah terjadinya morbiditas dan
mortalitas.

4
Orang dewasa akan bernafas terutama melalui hidung, tetapi tanpa kesulitan
akan dapat bernafas melalui mulut, tetapi pada bayi ada kesulitan bernafas melalui
mulut, sehingga bila hidung tersumbat akan ada kesan seolah-olah sesak nafas.
Pernafasan normal pada orang dewasa : 12-20 kali/menit, anak-anak : 15-30
kali/menit, bayi baru lahir : 30-50 kali/menit. Pernafasan pada orang dewasa
umumnya torako-abdominal tetapi pada anak-anak pernafasan abdominal lebih
dominan.
Gangguan jalan nafas akut ditandai adanya inspirasi stridor, dispnea,
takhipnea, sianosis, pergerakan cuping hidung yang cepat, pemakaian otot pernafasan
tambahan seperti retraksi supra-sternal, interkostal, sternum dan retraksi infra-sternal.
Penyebab adanya gangguan jalan nafas pada pasien pasca bedah, disebabkan
karena :
- Oedem laring setelah trauma intubasi, terjadi pada pasien bedah yang
dilakukan nasotrakhea intubasi.
- Trackhea yang mengecil setelah dilakukan pembedahan di daerah leher
yang ditandai adanya pembengkakkan atau hematom pasca pembedahan.
Keadaan tersebut biasanya terjadi pada pasien-pasien eksisi valleculla
epiglottica dan sinus piriform, reseksi dasar lidah, reseksi pada cancer
kepala dan leher serta bilateral diseksi leher. Penyebab lain dari
mengecilnya trachea terjadi pada pengambilan massa di jaringan
lunak( tumor mediastinal, oropharingeal, dan nasopharingeal).
- Posisi kepala pada pasien yang tidak sadar, menyebabkan lidah dan
epiglottis yang terjatuh kebelakang , sehingga menghalangi pembukaan
epiglottis dan sumbatan jalan nafas. Hal ini juga penting pada anak-anak,
dimana ukuran pembukaan laringnya lebih kecil dari dewasa.

5
- Sumbatan jalan nafas dapat terjadi karena adanya benda asing, bekuan
darah, sekret atau dahak, terutama pada pasien anak-anak yang menderita
batuk.
Penatalaksanaan pasien pasca bedah yang mengalami sumbatan atau
gangguan jalan nafas dilakukan secara prosedur:
- Mengetahui secara dini tanda-tanda sumbatan jalan nafas
- Memperbaiki posisi kepala pada pasien yang tidak sadar.
- Memasang alat jalan nafas.(naso-pharingeal air way atau oro-pharingeal
air way)
- Trackheostomi emergensi.
- Penghisapan (suction). Soft tip kateter dapat dipakai untuk melakukan
suction cairan (darah, secret) didaerah hidung atau nasopharing. Rigid tip
dipakai untuk suction materi yang kental. Lamanya suction pada orang
dewasa 15 detik sedangkan pada anak-anak 5 detik.
- Pemberian oksigen secara langsung setelah jalan nafas bebas. Konsentrasi
oksigen menurut cara pemberian : udara bebas 21%, kanul hidung
dengan oksigen 2 lt/menit 24%, kanul hidung dengan oksigen 6
lt/menit 44%, Face mask (rebreating, 6-10 lt/menit) 35-60% dan non
rebreathing mask (8-12 lt/menit) 80-90%. (Donoff, 1994;BTLS 2004)

KESEIMBANGAN NUTRISI, AIR , DAN ELEKTROLIT


Katabolisme protein adalah sumber utama energi untuk mobilisasi saat
glikogen hati menjadi lelah. Kekurangan keseimbangan nitrogen sebesar 15 gr perhari
tidak umum terjadi setelah trauma. Kehilangan 1 gr dari nitrogen sama dengan 6,25
gr dari protein atau 30 gr dari otot. Pasien yang kurang nutrisi penyembuhannya akan
terhambat dan lebih menjadi subjek pada kedua infeksi lokal dan umum. Kehilangan
masa tubuh atau berat badan akan memperlambat rehabilitasi.

6
Dalam kondisi pasien pasca trauma, penyebab kekurangan nutrisi dapat
diakibatkan karena :
1. Kekurangan intake secara oral karena kurangnya kesadaran klinis, dan
penggunaan infus cairan elektrolit yang rendah.
2. Kurangnya absorpsi karena illeus
3. Keduanya.
Diet manusia terdiri dari air, karbohidrat, protein, lemak, dan elemen garam
dan vitamin. Elemen yang harus diberikan adalah Sodium, Potassium, Chlonine,
Calsium, Phosphor, besi, Iodine, Magnesium. Calsium tampak dalam jumlah yang
besar dalam tubuh. Besi dapat diberikan dalam bentuk cepat secara intramuskular per
minggu bila diperlukan.
Metode terbaik dalam menjaga keseimbangan kalori, cairan, dan elektrolit
adalah minum secara normal dan makan dibawah kontrol mekanisme rasa lapar dan
haus yang normal. Apabila pasien mendapat perawatan fiksasi intermaxilla
selanjutnya diet harus dilakukan dalam bentuk cair. Bila pasien tidak sadar atau tidak
bisa menelan maka diet ( sebagai makanan dan cairan yang homogen ) dapat
diberikan melalui nasogastric tube. Apabila jalur nasal terisi / tertutup oleh luka
pasien, maka tube dapat dimasukkan melalui Pharingostomy lateral ( Farndorn &
Taylor, 1977. Leigh, 1994 ).
Keadaan hipovolemi merupakan penyebab tersering terjadi aliran rendah,
tetapi paling mudah untuk dikoreksi. Strategi dalam terapi tersebut adalah membuat
optimal variabel-variabel hemodinamik dan transport O2 dalam 8-12 jam pertama
pasca bedah ( Sunatrio, 2000 ).
Untuk pemberian nutrisi parenteral vitamin yang diperlukan :
- Vitamin B dan C yang larut dalam air ( Parentrovite I dan II perhari ) secara
intravena
- Vitamin K1 ( Konakion ) 10 mg intramuskular perhari

7
- Asam Folic ( Calcium Leucoverin ) 15 mg seminggu 2 X secara intravena
- Vitamin B12 ( Cytamen 1000 ) 1000 mg sebulan
- Iron dextran ( Imferon ) 2 ml intramuskular seminggu jika diperlukan
- Semua larutan yang menyediakan jumlah phosphor yang cukup
Pasca bedah volume cairan ekstraseluler akan berkurang karena kehilangan cairan
pada daerah bekas operasi. Tekanan darah 90/60 mmHg dan nadi kurang dari
120x/menit merupakan tanda dari iskemia ginjal, kegagalan menjaga volume
intravaskuler akan memicu terjadinya hipoperfusi sistemik, penurunan transport O2
dan kematian jaringan. Sebaiknya dijaga tekanan darah diatas 100 mmHg dan
pengeluaran urine sekitar 30-50 cc/jam.
Pasien yang sudah bisa minum, secepatnya diberikan cairan peroral. Jika
peroral belum bisa maka pemberian parenteral diteruskan. Masuknya cairan dari
ruang ketiga dari interstisial ke dalam cairan ekstraseluler terjadi secara bertahap
dalam waktu 5-6 hari.
Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu
dengan larutan garam isotonis. Terapi cairan dilanjutkan hingga pasien bisa makan
dan minum.

DEMAM
Suatu keadaan disebut demam apabila suhu diatas 37,2 ºC karena terjadi
perubahan pada pusat pengaturan suhu yang bertempat dibagian anterior
hipothalamus. merupakan pertanda pertama respon sistemik terhadap adanya reaksi
radang yang dapat terjadi karena adanya infeksi lokal karena kegagalan
pertahanan tubuh setempat. Galicier dan Richet melakukan pengamatan tentang
demam pasca operasi yang melebihi 38 C, demam yang bukan berasal dari infeksi
biasanya bermula lebih awal dan sembuh lebih cepat daripada demam yang
etiologinya berasal dari infeksi. ( Mackowiak, 1991 ).

8
Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya mengenai penyebab demam pasca
operasi, dan menurut Talbot, dibagi menjadi dua bagian. Pertama, penyebab umum
yang tidak dihubungkan dengan prosedur bedah tertentu, contoh flebitis kateter
intravena, obat-obatan, trombosis vena dalam. Kedua, berhubungan dengan prosedur
alami dari operasi, contohnya sepsis, emboli paru, dan keganasan.
Penatalaksanaan demam secara umum menurut Derwis (1981) terbagi
menjadi 2 jenis tergantung dari kondisi klinis, bila penderita merasa dingin,
menggigil, keringat sedikit/tidak ada, dan vasokonstriksi diberikan obat-obatan
antipiretik. Pembentukan panas harus dikurangi dengan mengontrol aktifitas otot, bila
menggigil dilakukan kompres hangat atau diselimuti. Selain itu diberi obat anti
shivering. Pada keadaan yang lebih berat, otot dilumpuhkan dan ventilasi dibantu
dengan respirator.
Untuk penderita demam, tidak menggigil, berkeringat dan pada perabaan
ekstremitas terasa panas, diatasi dengan pengeluaran panas secara fisik berupa
pendinginan ekstenal maupun internal. Pendinginan permukaan dilakukan dengan
membasahi tubuh dengan menggunakan spons dan air dingin.
Perlu diperhatikan penggantian cairan pasca bedah pada pasien demam,
dimana kenaikan suhu 1º C kebutuhan akan cairan meningkat 15 %.

KONTROL INFEKSI
Banyak faktor-faktor yang terlibat dalam infeksi dan ada beberapa yang harus
dipenuhi :
1. Perlengkapan desinfektan dan sterilisasi
2. Penggunaan antibiotik
3. Prosedur-prosedur intravena
4. Prosedur-prosedur perawatan
5. Kebersihan pakaian

9
6. Cuci tangan
7. Barier nursing
Ketika pasien mendapat infeksi di ICU, hal ini biasanya karena adanya organisme
komensal, patogen esensial lain seperti Staphylococcus, Streptococcus, Escherichia
Coli atau Bacteriodes, koloni-koloni yang berada di dalam tubuh, atau biasanya
karena organisme non patogen yang berkembang menjadi organisme patogen, seperti
pseudomonas pyogenes dan Candida Albicans.
Faktor-faktor yang menjadi predisposisi meliputi :
- Penggunaan antibiotik spektrum luas yang merubah flora normal tubuh
- Sitotoksik atau obat steroid yang memodifikasi mekanisme pertahanan host
normal
- Alat-alat pelembab udara, yang ditentukan lebih awal
- Bahan asing seperti tube thracheostomi, kateter urine, kateter vena
- Faktor predisposisi metabolik, khususnya DM
- Malnutrisi
- Besarnya luka
Monitoring untuk kemungkinan infeksi :
- Pencatatan temperatur setiap 4 jam, nadi dan respirasi
- Penghitungan sel darah putih setiap hari
- 2 X dalam seminggu spesimen sputum untuk kultur
- 2 X dalam seminggu swab pada luka ( Leigh, 1994 )

PERSIAPAN DARAH
Indikasi yang paling sering untuk pemberian transfusi darah terhadap pasien
bedah adalah untuk menjaga jumlah volume darah dalam sirkulasi. Pengukuran
jumlah hemoglobin / hematokrit digunakan sebagai acuan mengenai kebutuhan darah.

10
Transfusi 1 unit darah lengkap ( Whole blood 250 ml ), dapat meningkatkan
kadar Hb sekitar 0,45 gr/dl atau Ht sekitar 1,5 %. Secara tradisional target
meningkatkan nilai Hb hingga 10 gr/dl atau Ht sekitar 30 % pasca perdarahan, relatif
aman bagi kondisi pasien. Transfusi darah diindikasikan apabila Hb 7-8 gr/dl dan Ht
21-24 % ( Kelton, 1984; Chung dan Lam, 1990; Napier, 1995; Schwartz, 1999 ).
Jumlah dan tingkat pendarahan merupakan faktor perkembangan yang dapat
diketahui dari tanda dan gejala kehilangan darah. Pasien sehat dengan kehilangan
darah 500 ml dalam 15 menit hanya menimbulkan pengaruh ringan terhadap sirkulasi
dan perubahan kecil pada tekanan darah dan nadi. Kehilangan darah 15-30 %
( perdarahan kelas II ) menunjukkan gejala takikardi. Kehilangan darah 30-40 %
( perdarahan kelas III ) menghasilkan takhikardi, takhipnea, hipotensi, oliguri, dan
perubahan status mental ( Napier, 1995; Schwartz, 1999 ).

PERAWATAN LUKA
Perawatan luka harus menjadi bagian perawatan yang dilakukan setiap hari
pada pasien pasca bedah. Perawatan ini termasuk observasi langsung, observasi tidak
langsung (vital sign, pemeriksaan laboratorium). Semua luka pasca bedah harus
diobservasi mengenai perdarahannya, keadaan jahitan, erithema, nekrosis dan
kebersihannya.
Perawatan rutin pasca bedah di intra oral meliputi :
- Observasi setiap hari
- Pembersihan sisa makanan dengan cairan normal salin.
- Aplikasi wax pada arch bar untuk meminimalkan pembengkakkan gusi.
- Cream hydrocortisone 0,5 % pada bibir untuk menghilangkan
pembengkakkan dan rasa tidak nyaman.

11
Perawatan rutin pasca bedah untuk luka extra oral, meliputi :
- Observasi setiap hari
- Aplikasi antibacterial oinment pada benang jahitan.
- Membuka jahitan setelah 5-7 hari post operasi.
- Mengganti balutan setiap hari.
- Penekanan balutan dengan plester/aid untuk menghilangkan pembengkakkan
post operasi.
- Alat external pin fixation harus diperiksa kelonggaran dan perubahan sekitar
penempatan pin. Aplikasi antibacteri oinment setiap hari. Aplikasi iodoform
gauze diantara kulit dan bar akrilik untuk meminimalkan iritasi.

KESIMPULAN
Untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pasca bedah,
harus mendapat penatalaksanaan perawatan yang tepat dan efektif. Penatalaksanaan
pasien pasca bedah meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital saat pasien keluar dari
ruang operasi selama 24 jam, kebutuhan nutrisi, elektrolit dan cairan serta perawatan
luka daerah operasinya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Basic Trauma – Cardiac Life Suport, 2004, Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118,
Jakarta
Chung. D.C. and Lam.A.U, 1990, Blood Transfusion in surgical Patients In
Essential of Anesthesiology 2nd .ed.W.B.Saunders Co. Philadelphia.
Dimitroulis, G, 1997. A synopsis of Minor Oral Surgery, Reed Educational and
Professional Publishing, Oxford. P. 15-23, 204-222.
Donoff, RB, 1997, Hospital Procedures in Manual of Oral And Maxillofacial
Surgery 3rd ed, Donoff, RB (editor), Mosby Company, St Louis.P. 23-29
Keelson, J.G. et.alll. 1984 Blood Tranfusion, A Concptual Approach, First Published,
Churchill Livingstone Inc. new York.
Leigh, 1994, Post Operative Care, In; Williams,Maxillofacial Injuries, 2nd ed, Vol II.
Churchill livingstone.
Napier, J.A.F, 1995.Handbook at Blood Tranfusion Therapy 2nd ed. John Wiley &
Sons, Newyork.
Pagana K.,D.,PhD.,RN. Pagana T.,J.,MD.,FACS. 1997. Mosby’s Diagnostic and
Laboratory Reference. 3rd edition. Mosby St. Louis Boston Chicago.
Purihito, 1995, Dasar-dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit Pada Kasus-kasus
Bedah, edisi 4, Airlangga university press.
Schwartz, S.I. et.all, 1999. Principles of Surgery 7th ed. Vol 1. chapter 3, mc Graw-
Hill. New York.
Shires G.T. et al., 1999, Fluid and Electrolyte Management of the Surgical Patient. in
Sunatrio S. Dr.,SpAn.KIC.2000. Resusitasi Cairan. Edisi 1. media Aesculapsius
Jakarta Indonesia.
Talbot, 1994, Perioperative Medicine, 2nd ed. Mc graw-hill, inc. Page 511-518

13
14

You might also like