You are on page 1of 17

ANTIMIKROBA

Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba, khususnya yang merugikan


manusia. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan bermacam-macam spesies
mikroorganisme (bakteri, fungi, actinomycetes) yang dapat menghambat atau
membasmi pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Beratus-ratus antibiotik telah
ditemukan dan dikembangkan sampai tahap yang berguna dalam terapi penyakit
infeksi. Antibiotik dibedakan berdasarkan fisik, kimia, dan farmakologis, dalam
spektrum bakteri, dan mekanisme kerjanya.

Mekanisme kerja
Antibiotik bekerja terhadap bakteri dengan cara efek bakteriostatik yaitu
memperlambat atau menghambat pertumbuhan bakteri dan efek bakterisidal yaitu
membunuh atau menghancurkan bakteri. Mekanisme molekular aksi antibiotik
terhadap bakteri dapat membantu menerangkan mekanisme resistensi bakteri
terhadap antibiotik.
Terdapat empat mekanisme aksi antibiotik terhadap bakteri, yaitu:
1. Menghambat sintesis dinding sel mikroba
a. antibiotik golongan beta-laktam, menghambat formasi ikatan interpeptidic, yang
merupakan langkah akhir sintesis peptidoglikan, melalui ikatan dengan enzim
(transpeptidase dan DD-peptidase). Hasil kompleks acyl-enzyme menimbulkan efek
bakterisidal. Hal ini terjadi diluar sitoplasma sehingga antibiotik beta-laktam tidak
perlu masuk kedalam sel untuk menghancurkan sel target PBPs (penicillin-binding
proteins) bakteri.
b. antibiotik golongan glycopeptide (vancomycin dan teicoplanin), memiliki
mekanisme yang sama, melalui penghambatan polimerisasi peptidoglikan.
c. Fosfomycin, bertindak dengan menghambat pyruvyl transferase, suatu enzim
intracytoplasmic yang terlibat dalam sintesis NAMP (N-acetylmuramyl
pentapeptide).

1
d. Bacitracin, bertindak dalam proses sintesis peptidoglikan, dengan menghambat
defosforilasi fosfolipid yang diperlukan untuk sintesis rantai longitudinal
peptidoglikan.

2. Menghambat sintesis atau fungsi DNA


a. Rifampicin, merupakan antibiotik hidrofobik yang memblok RNA polimerase
yang mentranskripsikan DNA menjadi mRNA, menghasilkan efek bakteriostatik.
Mekanisme ini bergantung dari aktivitas sel eukariotik.
b. Quinolone, membunuh bakteri melalui ikatan dengan DNA gyrase sehingga
terbentuk kompleks DNA-enzim-kuinolon yang menghambat fungsi enzim. DNA
gyrase diperlukan untuk replikasi dan proses transkripsi.
c. Nitroimidazole dan nitrofuran, menyebabkan kerusakan DNA secara langsung.
d. Sulfonamides dan trimethoprim, menghambat sintesis folat, yang diperlukan
untuk sintesis purin dan pirimidin, sehingga menyebabkan pengurangan atau
penghentian pertumbuhan bakteri.

3. Menghambat sintesis protein bakteri


a. Aminoglikosid, menghambat replikasi DNA dengan ikatan 16s ribosomal RNA,
salah satu komponen ribosom 30s. Semua proses translasi berubah sehingga
menimbulkan kesalahan pembacaan sintesis protein.
b. Tetrasiklin, mempunyai aktivitas bakteriostatik dengan menghambat step
elongasi pada proses translasi. Antibiotik ini mempunyai spektrum luas.
c. Macrolide, streptogramin, dan lincosamide, berikatan dengan ribosom subunit
50s sehingga menghambat elongasi peptida serta memblok transfer peptida atau
proses translokasi.
d. Kloramfenikol, berikatan dengan subunit 50s dan mencegah asam amino
kompleks aminoacyl-tRNA untuk berikatan dengan ribosom.
e. Fusidic acid, menghambat translokasi.

2
4. Merusak membran mikroba
Antibiotik polimiksin berikatan dengan membran lipid, mengubah strukturnya
sehingga bakteri mati (Gambar 1).

Gambar 1. Mekanisme kerja antibiotik terhadap bakteri

Resistensi Bakteri
Keberhasilan terapi antimikroba terhadap infeksi dipengaruhi beberapa
faktor. Konsentrasi antibiotik pada tempat infeksi harus cukup untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Jika pertahanan tubuh baik, maka kadar hambat
minimum dapat menghilangkan infeksi (efek bakteriostatik). Jika pertahanan tubuh
kurang baik maka diperlukan efek bunuh antibiotik (efek bakterisidal) untuk
menghilangkan infeksi. Konsentrasi pada tempat infeksi selain harus cukup untuk
menghambat mikroorganisme juga harus berada di bawah level toksik sel manusia.
Jika konsentrasi hambat atau bunuh dapat dicapai maka disebut mikroorganisme
susceptible, sedangkan jika konsentrasinya tidak dapat dicapai maka disebut resisten
terhadap antibiotik.

3
Mekanisme yang sering terjadi dalam resistensi bakteri adalah:
1. Perubahan target antibiotik, sehingga obat tidak dapat lagi bereaksi dengan
ribosom dan enzim untuk sintesa dinding bakteri, seperti pada Streptococcus
pneumoniae dan antibiotik golongan beta-laktam.
2. Defek penetrasi antibiotik, seperti pada Escherichia coli terhadap antibiotik
hidrofobik (penisilin G dan M, makrolid).
3. Inaktivasi antibiotik oleh enzim bakteri, seperti pada Haemophilus influenzae
yang memproduksi beta-laktamase, yaitu enzim yang menghambat antibiotik
golongan beta-laktam (Gambar 2).
4. Efflux aktif, dengan sistem enzim dinding sel bakteri seperti pada E. coli,
Staphylococcus aureus, atau Pseudomonas aeruginosa terhadap cyclines dan
fluorokuinolon.

Gambar 2. Inaktivasi penisilin oleh enzim ß laktamase dari H.influenzae

4
Asal Resistensi
A. Resistensi alami
Berasal dari spesies bakteri itu sendiri, berhubungan dengan genetik bakteri.
Resistensi alami berkaitan dengan kromosom bakteri.
Mekanisme yang terjadi adalah:
1. Kelainan difusi antibiotik ke dalam bakteri, seperti pada bakteri Gram negatif (E.
coli, Enterobacter cloacae, atau Pseudomonas) terhadap penisilin G dan M,
makrolid, rifampisin, vancomycin, berhubungan dengan membran luar
lipopolisakarida.
2. Inaktivasi antibiotik oleh enzim bakteri, seperti Klebsiella, Enterobacter,
Morganella, P. aeruginosa (beta-laktamase).
3. Kerusakan afinitas antara target bakteri dan antibiotik, seperti bakteri Gram positif
dan anaerob, Enterococcus, terhadap penisilin M dan sefalosporin.

B. Resistensi dapatan
Resistensi ini terdapat spesifik dalam bakteri di luar kelompoknya. Hal ini
dihasilkan dari perubahan genetik.
1. Mutasi gen normal pada kromosom bakteri, sering terjadi dalam pengurangan
afinitas dan pada resistensi E.coli, P.aeruginosa, atau S.aureus terhadap kuinolon
dengan mengubah struktur DNA gyrase.
2. Dapatan dari gen spesies lain, hal ini diperantarai elemen yang bergerak atau
berpindah seperti plasmid dan transposon.
Gen asing ini berefek pada mekanisme enzimatik bakteri, contohnya pada beta-
laktamase.

5
Bakteri mendapat gen resisten melalui tiga cara, yaitu:
1. DNA mutasi spontan, seperti pada tuberkulosis.

2. Transformasi, DNA diambil dari satu bakteri ke bakteri yang lain. Contoh pada
resistensi penisilin gonorrhea.

3. Resistensi yang berasal dari plasmid, yang dapat berpindah dari satu jenis bakteri
ke jenis yang lain. Satu plasmid dapat mengakibatkan banyak macam resistensi.
Pada tahun 1968, 12.500 orang di Guatemala meninggal dalam epidemik Shigella
diarrhea. Resistensi yang disebabkan plasmid ini resisten terhadap empat jenis
antibiotik.

6
Tes Sensitivitas Mikroba terhadap Antimikroba
Beberapa macam tes yang umum dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Teknik disk-diffusion
Memberikan hasil kualitatif atau semikuantitatif pemberian antibiotik
terhadap mikroorganisme tertentu. Tes dilakukan dengan meletakkan filter-paper
disks impregnated dengan obat pada permukaan agar yang telah dilapisi kultur
bakteri. Setelah 18 sampai 24 jam inkubasi, ukuran daerah hambat sekitar disk
diukur. Diameter daerah inhibisi tergantung aktivitas obat terhadap strain tes.
Hasilnya diklasifikasikan, yaitu resisten, intermediat, atau susceptible.

2. Tes dilusi
Dilakukan pengenceran serial antibiotik dalam media agar atau kaldu berisi
mikroorganisme tes hasil kultur. Konsentrasi terendah obat yang dapat menghambat
pertumbuhan setelah 18 sampai 24 jam inkubasi disebut minimal inhibitory
concentration (MIC), sedangkan konsentrasi terendah yang menghasilkan
penurunan bakteri sebanyak 99,9% disebut minimal bactericidal concentration
(MBC). Nilai MBC sebagai tes klinis belum ditemukan.

3. Automated systems
Tes ini juga menggunakan metode pengenceran kaldu. Kepadatan optikal
isolasi kultur kaldu dinilai menggunakan absorbance densitometry. Jika kepadatan
kultur mencapai ambang batas kepadatan optikal maka telah terjadi pertumbuhan
pada konsentrasi obat tersebut. MIC adalah konsentrasi dimana kepadatan optikal di
bawah garis ambang batas.

Terapi Kombinasi Antimikroba


Pemilihan terapi kombinasi antimikroba memerlukan pemahaman mengenai
interaksi potensial diantara antimikroba tersebut. Interaksi akan berpengaruh baik
terhadap mikroorganisme maupun pasien. Antimikroba yang bekerja pada tempat
berbeda akan membantu efeknya terhadap mikroorganisme.

7
Metode tes antimikroba dengan obat kombinasi dapat dilakukan dengan 2
cara, yaitu:
1. Serial dilusi antibiotik dalam kaldu yang diinokulasikan mikroorganisme dan
dinilai setelah inkubasi selama 18-24 jam. Sinergis adalah jika penghambatan
pertumbuhan antibiotik kombinasi berada pada konsentrasi kurang atau sama dengan
25% MIC obat tanpa kombinasi. Fractional inhibitory concentration (FIC)adalah
konsentrasi hambat masing-masing obat (Gambar 3).

Gambar 3. Efek kombinasi antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri

Sinergis digambarkan dengan kurva cekung, efek aditif dengan garis lurus, dan
antagonis dengan kurva cembung. Keterbatasan metode ini adalah hanya
mengetahui kadar hambat pertumbuhan mikroorganisme bukan efek bakterisidal.

2. Kurva waktu-bunuh yang menguji aktivitas bakterisidal. Kultur diinkubasi


kemudian diambil berdasarkan rentang waktu untuk mendapatkan sisa bakteri yang
masih ada. Dikatakan sinergis jika obat kombinasi membunuh bakteri lebih banyak
daripada obat tunggal, sedangkan jika hasilnya lebih sedikit maka disebut antagonis.

8
Indikasi Penggunaan Antimikroba Kombinasi
1. Untuk terapi empiris infeksi berat dengan penyebab tidak diketahui.
Pengetahuan mengenai jenis infeksi, mikrobiologi, dan spektrum aktivitas
antimikroba sangat perlu untuk memilih pemberian yang efektif dan rasional.
Penggunaan jangka panjang tidak dianjurkan karena akan menimbulkan toksisitas,
superonfeksi, dan resistensi bakteri terhadap banyak mikroorganisme.
2. Terapi infeksi polimikroba
Terapi abses intraabdominal, hati, dan otak serta infeksi traktus perlu
penggunaan antibiotik kombinasi untuk menghilangkan obat kombinasi untuk
infeksi aerob-anaerob. Infeksi yang disebabkan 2 atau lebih antimikroba yang
berbeda jenis sehingga kepekaannya terhadap obat juga berbeda.
3. Peningkatan aktivitas antibakteri pada perawatan infeksi spesifik.
Efek kombinasi sinergis lebih efektif daripada penggunaan tunggal.
4. Mencegah timbulnya resistensi bakteri.
Kombinasi antibiotik dapat mencegah seleksi mutan yang resisten terhadap
satu obat.
Kerugian penggunaan antimikroba kombinasi adalah resiko toksik dari dua atau
lebih obat, multiple-drug-resistant dan biaya yang tinggi.

Kesalahan Penggunaan Antibiotik


1. Terapi infeksi yang tidak sensitif terhadap antibiotik. Penyakit yang disebabkan
virus mempunyai efek membatasi diri dan tidak merespon efek kerja antibiotik.
2. Terapi demam tanpa diketahui asalnya.
3. Dosis tidak tepat, berhubungan dengan frekuensi minum obat dan dosis
subterapeutik atau berlebih. Dosis berlebih dapat menyebabkan toksik seperti
seizures (penisillin), kerusakan vestibular (aminoglikosid), dan gagal ginjal
(aminoglikosid). Dosis yang terlalu rendah akan menyebabkan bakteri tidak mati
dan memicu resistensi bakteri.

9
4. Penggunaan obat kurang memberikan efek jika infeksi terkomplikasi abses,
adanya jaringan nekrotik, dan adanya benda asing. Diperlukan tindakan lain seperti
drainase, debridement, dan mengeluarkan benda asing.
5. Kurangnya informasi bakteriologikal, kultur bakteri dan pewarnaan Gram jarang
dilakukan sehingga pemilihan obat tidak sesuai.

KLINDAMISIN
Klindamisin adalah derivat asam amino trans-L-4-n-propylhygrinic, terikat
pada octose sulfur.

Mekanisme Kerja
Klindamisin berikatan dengan subunit 50 S ribosom bakteri dan menekan
sintesis protein. Meskipun klindamisin, eritromisin, dan kloramfenikol secara
struktur tidak berkaitan langsung tetapi memiliki tempat kerja yang dekat. Adanya
metilasi oleh enzim erm dapat menyebabkan resistensi klindamisin. Klindamisin
tidak membuat respon efflux pumps pada makrolid sehingga strain yang resisten
pada makrolid dalam hal ini akan sensitif terhadap klindamisin.

Aktivitas Antibakteri
Klindamisin mirip dengan eritromisin dalam aktivitasnya terhadap strain
pneumococcus, S.pyogenes, dan S.viridans. 90% strain streptococcus sensitif
terhadap klindamisin dengan MIC kurang dari 0.5 µg/ml.
Klindamisin lebih aktif dari eritromisin atau klaritromisin terhadap bakteri anaerob
terutam B.fragilis, dengan MIC kurang dari 2 µg/ml.

10
Absorpsi
Klindamisin diabsorpsi melalui oral dengan baik. Konsentrasi puncak dalam
plasma 2-3 µg/ml dicapai dalam waktu 1 jam setelah minum 150mg obat. Adanya
makanan tidak mengganggu absorbsi obat. Waktu paruh kira-kira 2,9 jam dan rata-
rata diberikan dengan interval waktu 6 jam.
Distribusi
Klindamisin didistribusi secara luas dalam cairan tubuh dan jaringan
termasuk tulang. Konsentrasi signifikan tidak tercapai pada CSS walaupun terdapat
inflamasi meninges. Obat dapat melintasi plasenta. Klindamisin terakumulasi dalam
PMN lekosit, makrofag alveolar, dan dalam abses.
Ekskresi
Ekskresi melalui urin sebanyak 20% dan sebagian kecil pada feses. Aktivitas
antimikroba tetap dalam feses setelah 5 hari terapi klindamisin dihentikan.
Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme kolon bertahan sampai 2 minggu.
Klindamisin diinaktivasi oleh metabolisme N-demethylclindamycin dan
clindamycin sulfoxide. Akumulasi klindamisin dapat terjadi pada penderita kelainan
hati yang berat.
Efek Samping
Terjadi diare pada 2-20% penderita yang mendapat klindamisin. Sekitar 0,01-
10% penderita dilaporkan menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh
demam, nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. Pada pemeriksaan
proktoskopik terlihat adanya membran putih kuning pada mukosa kolon. Kelainan
yang dapat bersifat fatal ini disebabkan oleh toksin yang diekskresi oleh CL difflcile.
Penyakit ini sekarang disebut antibiotic associated pseudomembranous colitis
karena dapat terjadi pada pemberian kebanyakan antibiotika, tetapi paling sering
pada klindamisin. Timbulnya penyakit tersebut tidak tergantung dari besarnya dosis
dan dapat terjadi pada pemberian oral maupun parenteral. Gejala dapat muncul
selama terapi atau beberapa minggu setelah terapi dihentikan. Bila selama terapi
timbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus dihentikan. Obat terpilih untuk
keadaan ini adalah vankomisin yang diberikan 4 kali 125-500 mg sehari per oral

11
selama 7-10 hari. Dapat diberikan basitrasin, metronidazol (3 kali 500 mg sehari)
per oral dan kolestiramin (3-4 kali 4 g sehari). Obat penghambat peristalsis dapat
memperburuk keadaan.
Kemerahan kulit terjadi pada sekitar 10% penderita. Reaksi lain yang jarang
terjadi ialah sindrom Stevens-Johnson, peningkatan kadar SGOT dan SGPT
sementara, granulositopenia, trombositopenia dan reaksi anafilaksis. Tromboflebitis
dapat terjadi akibat pemberian intravena. Klindamisin dapat menghambat transmisi
neuromuskular dan dapat meningkatkan efek obat lain yang mempunyai sifat seperti
ini.
Sediaan
Klindamisin tersedia dalam bentuk kapsul berisi klindamisin HCl hidrat yang
setara dengan 75 dan 150 mg klindamisin basa. Selain itu terdapat granul
klindamisin palmitat HCI untuk suspensi oral dengan konsentrasi 75 mg/5 ml.
Dosis oral untuk orang dewasa ialah 150-300 mg tiap 6 jam. Untuk infeksi
berat dapat dibeñkan 450 mg tiap 6 jam. Dosis oral untuk anak ialah 8-12 mg/kgBB
sehari yang dibagi dalam beberapa dosis. Untuk infeksi berat dapat diberikan sampai
25 mg/ kgBB sehari.
Pemberian IM atau IV, digunakan larutan klindamisin fosfat 150 mg/ml dalam
wadah 2 dan 4 ml. Dosis untuk infeksi berat kokus gram positif aerobik ialah 0,6-12
g sehari, dibagi dalam beberapa kali pemberian. Untuk infeksi berat oleh
B.fragilis, Peptococcus atau Clostridium (kecuali Cl. perfringens) diberikan dosis
1,2-2,7 g sehari yang dibagi dalam beberapa kali pemberian. Dosis lebih dari 600
mg sebaiknya tidak disuntikkan pada satu tempat.
Untuk anak atau bayi berumur lebih dad 1 bulan dibertkan 15-25 mgjkgBB
sehari; untuklnfeksi berat dosisnya 25-40 mglkgBB sehaii yang dibagi dalam
beberapa dosls pemberian.

12
GOLONGAN POLIMIKSIN
Golongan polimiksin yaitu polimiksin B dan kolistin sekarang hanya
digunakan per oral atau topikal, jarang secara parenteral karena sangat nefrotoksik.
POLIMIKSIN B
Polimiksin B sulfat sangat mudah larut dalam air. Stabilitasnya sangat baik
dalam bentuk kering maupun dalam bentuk larutan dengan suhu dan pH fisiologik.

Aktivitas Antimikroba
Kedua obat ini aktif terhadap berbagai kuman Gram negatif, khususnya Ps.
aeruginosa. Kuman lain yang peka ialah Escherichia, Haemophilus, KIebsiella,
Enterobacter, Salmonella, Shigella, Pasteurella, Bordetella dan Vibrio. Obat ini
bekerja dengan mengganggu fungsi pengaturan osmosis oleh membran sitoplasma
kuman. Resisten terhadap antibiotik ini jarang terjadi.
Absorbsi, distribusi dan ekskresi
Pada pemberian parenteral, obat ini dapat menembus sawar uri, tetapi tidak
dapat mencapai CSS, cairan sendi dan jaringan intra-okuler kecuali bila disuntikkan
lokal. Polimiksin B diekskresi melalul urin dan pada gagal ginjal, kumulasi terjadi
dengan cepat.
Efek Samping
Reaksi alergi jarang sekali timbul akibat pemberian topikal. Efek samping
terpenting dari obat ini ialah neurotoksisitas dan nefrotoksisitas yang khususnya
mudah terjadi pada penderita gagal ginjal karena terjadinya kumulasi. Dosis rendah
parenteral yang menghasilkan kadar 1-2 µg/ml dalam darah dapat menimbulkan
kemerahan pada muka, vertigo, ataksia, rasa mengantuk dan parestesia. Dengan
dosis terapi juga dapat terjadi paralisis dan henti napas akibat blokade neuromus-

13
kular yang sulit di atasi dengan neostigmin tetapi mungkin dapat ditolong dengan
kalsium glukonat.
Sediaan
Untuk penggunaan topikal tersedia krem atau salep kulit dan salep mata yang
mengandung 5.000-10.000 unit polimiksin B/g. Obat tetes mata atau telinga
mengandung 20.000 unit/ml.

KOLISTIN
Kolistin sulfat mudah larut dalam air dan diberikan per oral untuk mengobati
diare pada anak dan bayi yang disebabkan oleh E. coli, Ps. aeruginosa dan kuman
Gram negatif lainnya yang peka. Spektrum antibakterinya secara in vitro sama
dengan polimiksin B. Obat ini tidak diserap melalui saluran cerna.
Obat ini jarang sekali diberikan secara parenteral. Kolistin sulfat diberikan per
oral untuk mendapatkan efek antibakteri lokal di saluran cerna. Kadang-kadang obat
ini juga diberikan secara topikal untuk tetes mata dan telinga.
Obat ini tersedia dalam bentuk bubuk yang setelah ditambahkan air
mengandung 25 mg kolistin/5 ml suspensi. Dosis oral untuk anak dan bayi ialah 5-
15 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 pemberian.

BASITRASIN
Antibiotik ini dihasilkan oleh strain tertentu B. subtilis dan bersifat bakterisid
terhadap kuman-kuman Gram positif dan Neisseria. Basitrasin tidak aktif terhadap
kuman Gram negatif lainnya dan beberapa strain Staphylococcus.

14
Obat ini sekarang hanya digunakan secara topikal untuk berbagai infeksi kulit
dan mata karena pada pemberian sistemik bersifat nefrotoksik. Reaksi alergi jarang
terjadi pada penggunaan topikal. Salep mata yang mengandung basitrasin efektif
untuk mencegah oftalmia neonatorum karena gonore.
Basitrasin tersedia dalam bentuk salep kulit dan mata yang mengandung 500
unit/g. Garam seng basitrasin juga sering dicampur dengan neomisin sulfat,
polimiksin B sulfat dan lain-lain untuk penggunaan topikal. Kombinasi ini dianggap
rasional karena obat-obat ini relatif aman pada penggunaan topikal dan tidak praktis
untuk melakukan identifikasi kuman setiap kali. Basitrasin stabil dalam bentuk
salep, tetapi tidak stabil dalam bentuk krem.

VANKOMISIN
Vankomisin dihasilkan oleh Streptomyces orientalis. Obat ini tidak diserap
melalui saluran cerna dan untuk mendapatkan efek sistemik selalu harus diberikan
IV karena pemberian IM menimbulkan nekrosis setempat.
Obat ini hanya aktif terhadap kuman Gram positif, khususnya golongan kokus.
Indikasi utama vankomisin ialah septikemia dan endokarditis yang disebabkan oleh
stafilokokus, streptokokus atau enterokokus bila penderita alergi terhadap penisilin
dan sefalosporin. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan gentamisin atau
aminoglikosid lainnya. Pada pemberian per oral obat ini juga bermanfaat untuk
enterokolitis oleh stafilokokus yang biasanya merupakan efek samping antibiotik
lain.

15
Vankomisin merupakan obat terpilih untuk kolitis oleh Clostridium difficile akibat
penggunaan antibiotik.
Karena sangat toksik, obat ini hanya digunakan bila penderita alergi terhadap
obat lain yang lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal dapat terjadi
pada pemberian dosis besar, terapi yang lama atau bila diberikan pada penderita
payah ginjal. Karena itu perlu pemeriksaan audio-gram dan faal ginjal secara teratur,
lebih-lebih bila terapi berlangsung lebih dari 1 minggu. Tromboflebitis dapat terjadi
pada pemberian IV yang lama.
Vankomisin HCI tersedia dalam bentuk bubuk 500 mg untuk pemberian IV.
Dosis untuk dewasa ialah 2-4 g/hari yang dibagi dalam beberapa pemberian dan
untuk anak 40 mg/kgBB/hari. Dosis ini dilarutkan dalam 100-200 ml garam faal
atau dekstrosa 5% dan diberikan IV perlahan-lahan untuk mencegah tromboflebitis.
Untuk penggunaan oral tersedia bubuk 10 g untuk dilarutkan dengan 115 ml air.
Juga tersedia vankomisin hidroklorid untuk kumur oral.

16
Daftar Pustaka
Ganiswara, SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. 4th ed. Jakarta. Gaya Baru.

Gomez-lus, Rafael. 1998. Evolution of bacterial resistance to antibiotics during the


last three decades. J. Int. Microbiology, 1:279-284.

Goodman, Gilman, S. 2001. Farmacological Basis of Therapeutic. 10th ed. Medical


Pub. Division USA.

Katzung BG. 2001. Basic and Clinical Pharmacology. 8th ed. USA. Prentice-Hall
Internasional Inc.

Tolmasky, Marcello E. 2000. Bacterial Resistance to Aminoglycosides and ß


lactams. Bioscience.org.

Woods, Robin. 1996. A Guide to the Use of Drugs in Dentistry. 12th ed. Sydney.
Australian Dental Association Inc.

17

You might also like