Professional Documents
Culture Documents
Taujih Kelas
Taujih Kelas
keteraturan, kejelasan kabar dan informasi dsb. Hal itu sangat diperlukan dalam kehidupan berjamaah,
agar kegiatan dakwah dapat berjalan dengan lancar, terevaluasi dan efektif.
"Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu
mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu
bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. " QS. 24:28
Sementara itu orang-orang yang beriman bila ada hajat yang harus ditunaikan, dia menyebutkan hajat
itu di hadapan Rasulullah dan meminta izin untuk menunaikan hajatnya tersebut. Maka Rasulullah pun
memberikannya izin. Bila dia selsai menunaikan hajatnya, maka diapun segera kembali menerusakan
pekerjaan mengali parit, karena ingin mendapatkan pahala dan mengharapkan kebaikan. Allah pun
menurunkan ayat kepada orang-orang beriman itu, sebagaiman ditulis pada surat An Nuur : 62.
"Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang
memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.
Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu
keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Allah berfirman kepada orang-orang munafik yang mencari-cari celah untuk pergi ke rumah-rumah
mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah dan juga tanpa izinnya. Hal ini dapat dilihat dari ayat 63-nya :
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada
sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi
di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih."
Apapun sebab turunnya ayat-ayat ini, ia tetap mengandung adab-adab mental yang mengatur
komunitas orang-orang yang beriman dengan pemimpin mereka. Urusan komunitas orang-orang yang
beriman tidak akan pernah beres sebelum adab-adab ini melekat dalam perasaan-perasaan,
kecenderungan-kecenderungan mereka, dan lubuk-lubuk hati mereka yang paling dalam. Kemudian
adab-adab itu juga harus bersemayam dalam kehidupan komunitas orang-orang yang beriman, sehingga
menjadi panutan dan aturan yang dipatuhi. Bila tidak tercipta, maka yang akan terjadi adlah kekacauan
yang tiada terhingga.
Dalam ayat 62 tadi dikatakan bahwa, bukanlah orang beriman, orang-orang yang hanya berkata dengan
mulut mereka, namun tidak membuktikannya dengan tanda-tanda kesejatian perkataan mereka dan
mereka tidak taat kepada Allah dan Rasulullah.
"… apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan
pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya…"
Urusan bersama adlah urusan yang sangat penting, yang membutuhkan keikutsertaan semua komponen
dalam jamaah, untuk mengatasi sebuah pandangan atau peperangan atau pekerjaan umum yang
dilakukan bersama-sama. Orang-orang yang beriman tidak akan pergi meninggalkannya sampai mereka
meminta izin kepada pemimpin mereka. Sehingga urusan tidak menjadi kacau tanpa kestabilan dan
keorganisasian.
Orang-orang yang beriman dengan iman seperti ini dan berperilaku dengan adab seperti ini, tidak akan
pernah minta izin kecuali untuk sebuah urusan yang sangat darurat dan penting. Mereka memiliki daya
selektivitas dan pencegahan dari iman dan adab mereka yang menjaga mereka dari bersikap berpaling
dari urusan bersama itu yang telah mengusik hati semua jamaah dan mengharuskan mereka sepakat
atas semua keputusan bersama. Bersama dengan ini, alqur'an tetap meletakkan hak memberi izin atau
tidak, kepada pendapat Rasulullah sebagai pemimpin jamaah. Hal itu dianugerahkan kepada Rasulullah
setelah setiap individu diberi hak yang sama dalam meminta izin.
"… maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa
yang kamu kehendaki di antara mereka…"
(Rasulullah telah disalahkan oleh Allah karena memberi izin kepada orang-orang munafik sebelumnya,
maka Allah berfirman kepada beliau dalam surah at-Taubah ayat 43,
"Semoga Allah mema'afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi
berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu
ketahui orang-orang yang berdusta?"
Allah memberikan hak penuh kepada pandangan Rasulullah. Bila beliau ingin mengizinkan, maka hak
beliau untuk mengizinkannya. Dan, bila beliau tidak ingin memberikan izin, juga merupakan hak hak
beliau. Allah menghilangkan perasaan bersalah dari Rasulullah karena tidak memberikan, walaupun
kadangkala di sana ada kebutuhan yang sangat mendesak. Jadi kebebasan sepenuhnya diberikan kepada
pemimpin dalam menimbang antara maslahat orang tetap berada di tempat tugasnya dan maslahat bila
dia pergi meninggalkannya. Seorang pemimpin diberikan keleluasaan untuk menentukan keputusan
dalam masalah kepemimpinan ini sesuai dengan pandangannya.
Dari sini tersirat bahwa keputusan untuk meninggalkan kepentingan darurat itu; dan tidak pergi
meninggalkan tugas itulah yang paling utama. Meminta izin dan pergi meninggalkan tugas dalam kondisi
itu merupakan kesalahan yang kemudian membuat nabi SAW harus memohon ampunan bagi orang-
orang yang memiliki uzur.
"…dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."
Dengan permohonan ampunan itu, ia mengikat hati orang-orang yang beriman. Sehingga, mereka tidak
berusaha meminta izin walaupun punya pilihan untuk itu, karena mereka mampu menguasai uzur yang
mendorongnya untuk meminta izin.
Kemudian Allah memperingatkan orang-orang munafik dari sikap mencari-cari celah dan pergi
meninggalkan Rasulullahtanpa izin, dengan berlindung kepada sebagian teman mereka yang lain dan
saling menyembunyikan diri. Mereka harus yakin bahwa mata Allah selalu mengintai mereka, walaupun
mata Rasulullah tidak melihat mereka.
"…Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu
dengan berlindung (kepada kawannya)…"
Ungkapan itu menggambarkan tentang upaya melepaskan diri dan mencari-cari celah dari perhatian
majelis. Di situ jelas tergambar ketakutan mereka untuk berhadapan, serta kehinaan gerakan dan
perasaan yang menimpa jiwa-jiwa mereka.
"…maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
azab yang pedih."
Jadi, ternyata meminta izin adalah simbol komunikasi yang efektif, sementara komunikasi adalah alat
yang penting dalam bekerja secara kelompok. Kelompok yang membiasakan minta izin terlebih dahulu,
menunjukan pribadi dan kelompok yang solid dan memiliki aturan main.
Adab minta izin ini sangat terkait dengan disiplin, sistem, dan aturan jamaah serta ketaatan kepada
pemimpin. Jika kita menyepelekan hal 'meminta izin' ini, maka keinginan menjadi jamaah yang solid,
sulit untuk diwujudkan.
Wallahu a'lam.
MARAJI’
1. Al Qur'an al-karim
2. Fiqh Shirah
3. Sikap Mata, Jilid II
Meminta izin merupakan adab yang mulia, dan ini menunjukkan kebersihan dan penjagaan diri
orang yang melakukannya dari melihat sesuatu yang tidak disukai orang lain, atau dari
mendengar pembicaraan yang tidak halal didengarkannya, atau menghindari dari masuk ke suatu
perkumpulan dengan tiba-tiba dan membuat orang-orang di dalamnya merasa tidak nyaman.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan adab-adab meminta
izin. Adab-adab meminta izin ini berlaku bagi setiap muslim baik laki-laki maupun wanita, baik
anak kecil maupun orang tua. Di samping itu, adab-adab meminta izin ini tidak hanya
dipraktikkan ketika kita akan memasuki rumah seseorang, tetapi juga berlaku untuk tempat atau
momen yang selayaknya kita meminta izin. Seperti mau masuk ke suatu pertemuan dan mau
keluar dari pertemuan tersebut, mau menggunakan barang atau kendaraan orang lain, mau
mengemukakan pendapat di hadapan orang-orang, dan lain sebagainya.
Dalil yang menunjukkan disyariatkannya adab-adab meminta izin secara umum adalah firman
Alloh surat an-Nur: 27-29:
سلِّ ُموا َعلَى َأ ْهلِ َها َذلِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم َ ُسوا َوتُ ِستَْأن ْ َاَل تَد ُْخلُوا بُيُوتًا َغ ْي َر بُيُوتِ ُك ْم َحتَّى ت
ار ِج ُعوا ْ ون * فَِإنْ لَ ْم ت َِجدُوا فِي َها َأ َح ًدا فَاَل تَد ُْخلُو َها َحتَّى يُْؤ َذ َن لَ ُك ْم َوِإنْ قِي َل لَ ُك ُم َ تَ َذ َّك ُر
اح َأنْ تَد ُْخلُوا بُيُوتًا ٌ َس َعلَ ْي ُك ْم ُجن َ ُار ِج ُعوا ه َُو َأ ْز َكى لَ ُك ْم َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َمل
َ ون َعلِي ٌم * لَ ْي ْ َف
َ ع لَ ُك ْم َوهَّللا ُ يَ ْعلَ ُم َما تُ ْبد
ُون َو َما تَ ْكتُ ُمون ْ َغ ْي َر َم
ٌ س ُكونَ ٍة ِفي َها َمتَا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik
bagi kalian, agar kalian selalu ingat. Jika kalian tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka
janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu:
“Kembalilah, maka hendaklah kalian kembali. Hal itu lebih suci bagi kalian dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan. Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak
disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluan kalian, dan Allah mengetahui apa
yang kalian nyatakan dan apa yang kalian sembunyikan. (QS. An-Nur: 27-29) (Ahmad bin
Sulaiman al-‘Arini, Ahkam al-Isti`dzan Fi assunnah wa al-Qur`an, )
Berikut ini beberapa adab meminta izin yang disarikan dari al-Qur`an dan hadits sohih.
Sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperhatikan waktu kunjungan dan
kondisi orang-orang yang akan kita kunjungi. Oleh karena itu, kita harus cermat dalam memilih
waktu yang tepat dalam meminta izin kepada pemilik rumah. Ketepatan waktu meminta izin ini
antara satu tempat dengan tempat yang lainnya berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan adat
kebiasaan dan situasi-situasi yang biasanya orang meminta izin. Walaupun hukum asal meminta
izin bagi orang baligh adalah setiap waktu. Alloh l berfirman:
Di antara hadits yang menunjukkan supaya kita cermat dalam memilih waktu untuk meminta
izin adalah hadits Jabir berikut:
Sebagaimana dalam hadits sohih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berikut:
ستَْأ َذ َن َعلَى النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه ْ عَنْ ِر ْب ِع ٍّى قَا َل َح َّدثَنَا َر ُج ٌل ِمنْ بَنِى َعا ِم ٍر َأنَّهُ ا
اخ ُر ْجْ « ت فَقَا َل َألِ ُج فَقَا َل النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – لِ َخا ِد ِم ِه ٍ وسلم – َوه َُو فِى بَ ْي
َ َف.» سالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َأَأد ُْخ ُل
َّ س ِم َعهُ ال َّر ُج ُل فَقَا َل ال
سالَ ُم َ ستِْئ َذ
َّ ان فَقُ ْل لَهُ قُ ِل ال ِ ُِإلَى َه َذا فَ َعلِّ ْمه
ْ اال
َعلَ ْي ُك ْم َأَأد ُْخ ُل فََأ ِذ َن لَهُ النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – فَ َد َخ َل
Dari Rib’i berkata, telah mengkhabarkan kepadaku seorang laki-laki dari Bani ‘Amir
meriwayatkan bahwa dirinya pernah meminta izin ke rumah Rosululloh SAW, dan beliau sedang
berada di rumahnya. Ia berkata, “Saya mau masuk? Maka Rosululloh SAW bersabda kepada
pembantunya, “Temuilah orang itu dan ajarkan cara meminta izin dengan mengucapkan salam
kemudian berkata ‘bolehkah saya masuk’, orang tersebut pun mendengar sabda Rosululloh itu,
maka ia mengucapkan salam dan mengatakan ‘Bolehkah saya masuk?’ maka Rosululloh ` pun
mengizinkannya, dan ia pun masuk.” (HR. Abu Dawud)
Karena ketika orang yang meminta izin ini tidak memberitahukan jati dirinya, terutama ketika
ditanya oleh pemilik rumah maka ia telah melakukan perkara yang dibenci dalam Islam.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori berikut:
ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما يَقُو ُل َأتَ ْيتُ النَّبِ َّي َ عَنْ ُم َح َّم ِد ْب ِن ا ْل ُم ْن َك ِد ِر قَا َل
ِ س ِم ْعتُ َجابِ َر ْب َن َع ْب ِد هَّللا ِ َر
اب فَقَا َل َمنْ َذا فَقُ ْلتُ َأنَا فَقَا َل َأنَا َ َان َعلَى َأبِي فَ َدقَ ْقتُ ا ْلب َ سلَّ َم فِي َد ْي ٍن َكَ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َ
َأنَا َكَأنَّهُ َك ِر َه َها
Dari Muhammad bin Munkadir berkata, saya mendengar Jabir bin Abdulloh berkata, “Saya
mendatangi rumah Nabi SAW untuk keperluan hutang ayahku, maka aku ketuk pintunya.”
Kemudian Rosululloh SAW bertanya, “Siapa ini?” saya menjawab, “Saya.” Kemudian
Rosululloh ` bersabda, “Saya, saya.” Jabir berkata, “Sepertinya Rosululloh SAW membenci
perbuatan ini.” (HR. Bukhori)
Meminta izin itu batas maksimalnya adalah tiga kali. Kalau diizinkan, maka kita masuk.
Sebaliknya, jika tidak ada jawaban maka kita pulang.
Ketika kita meminta izin dan mengetuk pintu pemilik rumah yang kita kunjungi, maka
janganlah mengetuknya dengan keras atau kasar sehingga dapat mengganngu dan menyakiti
orang yang mendengarnya. Apalagi, pintu rumah yang kita ketuk adalah bapak kita, guru kita,
atau orang-orang yang memiliki kedudukan. Maka lebih patut lagi mengetuk pintunya dengan
pelan dan bukan dengan keras atau kasar. Sebagaimana dalam riwayat Anas bin Malik ia
berkata:
Anas bin Malik merupakan salah satu pembantu Rosululloh yang sangat mengetahui perihal
orang-orang yang meminta izin kepada Nabi SAW saat itu. Ia mengungkapkan cara
mengetuknya dengan kuku-kuku, untuk menunjukkan suara ketukan pintu yang pelan dan ini
bentuk pemulian para sahabat terhadap Nabi Muhammad `.
Dahulu, para ulama salaf juga mengetuk pintu-pintu rumah gurunya dengan kuku-kuku
mereka, yang menunjukkan tingginya pemulian mereka terhadap guru-gurunya. Hal ini berlaku
jika memang ruang pemilik rumah tersebut dekat dengan pintu rumahnya. Adapun jika
ruangannya jauh dari pintu rumahnya, maka cara mengetuknya adalah sesuai sampainya suara
ketukan tersebut kepada si pemilik rumah.
Apabila di pintu rumah ada bel, sebagaimana yang kita dapati saat ini, maka hendaknya
seseorang yang meminta izin ini memencet bel tersebut secara lembut, yang menunjukkan
kelembutan dan kemuliaan akhlaknya serta interaksinya yang baik.
Salah satu tujuan dibangunnya rumah adalah untuk menutupi aib atau aurat para penghuninya.
Oleh karena itu ketika kita meminta izin, maka hendaknya kita berdiri di samping kanan atau kiri
pintu rumah tersebut. Sehingga kitapun terhindar dari melihat aurat atau perkara-perkara yang
tidak disukai oleh pemilik rumah. Hal ini berdasarkan sabda Rosululloh SAW berikut:
7. Tidak melihat ke dalam rumah yang kita kunjungi kecuali seizin pemiliknya.
Disyariatkannya adab-adab meminta izin salah satu tujuannya adalah untuk menjaga
pandangan kita dari melihat perkara-perkara yang diharamkan. Oleh karena itu, tidak boleh mata
kita melotot kesana kemari dan jelalatan melihat ke arah dalam rumah seseorang. Sebagaimana
dalam hadits berikut:
س ْع ٍد قَا َل اطَّلَ َع َر ُج ٌل ِمنْ ُج ْح ٍر فِي ُح َج ِر النَّبِ ِّي صلى هللا عليه وسلم َو َم َع َ س ْه ِل ْب ِن َ ْعَن
َ النَّبِ ِّي صلى هللا عليه وسلم ِم ْد ًرى يَ ُحكُّ بِ ِه َرْأ
سهُ فَقَا َل لَ ْو َأ ْعلَ ُم َأنَّكَ تَ ْنظُ ُر لَطَ َع ْنتُ بِ ِه
ص ِرَ َستِْئ َذانُ ِمنْ َأ ْج ِل ا ْلب ِ فِي َع ْينِكَ ِإنَّ َما ُج ِع َل
ْ اال
Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata: ada seseorang yang melihat-lihat ke suatu kamar di antara
kamar-kamar Nabi SAW, dan saat itu Nabi sedang menyisir rambutnya dengan sisir maka beliau
bersabda kepadanya, “Seandainya aku mengetahui bahwa engkau melihat ke kamar tersebut,
niscaya aku akan tusuk mata engkau dengan sisir ini. sesungguhnya disyariatkannya meminta
izin itu untuk menjaga pandangan.” (HR. Al-Bukhori)
Pada kondisi tertentu, terkadang si pemiliki rumah tidak ingin menerima siapapun yang akan
mengunjunginya, dengan alasan dan tujuan tertentu. Sehingga ia menolak dengan terang-
terangan permintaan izin kita dan menyuruh kita untuk pulang. Dalam agama Islam, hal ini
dibolehkan karena telah menjadi hak pemiliki tuan rumah untuk menerima dan menolak siapa
saja yang ia kehendaki. Dalam kondisi ditolak, maka adab kita yang telah meminta izin adalah
agar segera pulang. Hal ini sebagaimana firman Alloh berikut:
Ketika hal itu terjadi pada diri-diri kita, maka hendaknya kita menerimanya dengan legowo
sembari meniatkannya dalam rangka merealisasikan perintah Alloh l di atas. (Ali bin Nayif asy-
Syuhud, al-Khulashoh Fi Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah)
Demikianlah beberapa adab meminta izin yang harus kita perhatikan dan kita laksanakan.
Semoga Alloh SWT selalu membimbing kita untuk dapat menerapkan adab-adab tersebut
dengan baik. Amin. Wallohu a’lam.