You are on page 1of 29

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/344227670

PROBLEM SOLVING

Chapter · February 2011

CITATIONS READS
0 2,903

1 author:

Ani Cahyadi
Universitas Islam Negeri Antasari, Banjarmasin, Indonesia
61 PUBLICATIONS   185 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Hypnoteaching dalam Pembelajaran View project

Menjadikan Guru Abad 21 View project

All content following this page was uploaded by Ani Cahyadi on 13 September 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PROBLEM SOLVING
Oleh : Ani Cahyadi *

Perlu kita sadari bahwa di dalam hidup selalu dihiasi


berbagai masalah baik masalah yang datang dari diri kita
maupun dari luar kita, sesuai pengertian tetang hidup
bahwa hidup adalah masalah. Pemecahan masalah
didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan
perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil
yang diperoleh dan hasil yang diinginkan (Hunsaker,
2005). Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah
adalah pengambilan keputusan (decision making), yang
didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah
alternatif yang tersedia (Hunsaker, 2005).

Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan


mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah
yang dilakukan. Sedangkan definis masalah itu sendiri
adalah suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapan
yang kita inginkan. Kemampuan untuk melakukan
pemecahan masalah adalah ketrampilan yang dibutuhkan
oleh hampir semua orang dalam setiap aspek
kehidupannya. Jarang sekali seseorang tidak menghadapi
masalah dalam kehidupannya sehari-hari.
*
Penggiat LSM dan Staf Humas IAIN Antasari serta Pengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari
Banjarmasin
A. PEMECAHAN MASALAH
Dalam memecahkan masalah kita berpegangan pada
tiga jenis usaha yang harus dilakukan oleh
individu/kelompok yaitu usaha persiapan, usaha definisi,
dan usaha solusi/pemecahan.
- Usaha persiapan, mempersiapkan individu untuk
memecahkan masalah dengan menyediakan orientasi
sistem.
- Usaha definisi, mencakup mengidentifikasikan masalah
untuk dipecahkan dan kemudian memahaminya.
- Usaha solusi, mencakup mengidentifikasikan berbagai
solusi alternatif, mengevaluasinya, memilih salah satu
yang tampaknya terbaik, menerapkan solusi itu dan
membuat tindak lanjutnya untuk menyakinkan bahwa
masalah itu terpecahkan.

1. Usaha persiapan
Tiga langkah persiapan tidak harus dilaksanakan
secara berurutan, karena ketiganya bersama-sama
menghasilkan kerangka pikir yang diinginkan untuk
mengenai masalah. Ketiga masalah itu terdiri dari:
a) Memandang masyarakat sebagai suatu sistem
b) Mengenal sistem lingkungan
c) Mengidentifikasikan subsistem-subsistem masyarakat
2. Usaha definisi
Usaha definisi mencakup pertama-tama menyadari
bahwa suatu masalah ada atau akan ada (identifikasi
masalah) dan kemudian cukup mempelajarinya untuk
mencari solusi (pemahaman masalah). Usaha definisi
mencakup dua langkah yaitu :
a) Bergerak dari tingkat sistem ke subsistem
b) Menganalisis bagian-bagian sistem dalam suatu urutan
tertentu

3. Usaha pemecahan
Usaha pemecahan meliputi pertimbangan berbagai
alternatif yang layak (feasible), pemilihan alternatif terbaik,
dan penerapannya.

B. PEMECAHAN MASALAH SECARA ANALITIS

Metode ini merupakan salah satu pendekatan


pemecahan masalah yang sering dilakukan serta bisa
meningkatkan kualitas individu, karena bagaimana pun
metode ini akan menuntut seseorang untuk bisa lebih
kreatif dalam menganalisa dari sebuah permasalahan,
Keberhasilan Metode ini sangat bergantung pada
kepiawaian individu atau pemimpin yang terlibat pada
masalah tersebut.
Langkah Langkah Pemecahan masalah secara Analis :

1. Menganalisa Masalah

Pada bagian ini ini kita di tuntut untuk bisa


menganalisa atau melakukan diagnosa terhadap sebuh
kejadian, peristiwa atu situasi supaya kita bisa fokus
pada masalah yang sebenarnya, karena sering sekali
kita dalam melakukan pemecahan masalah terjebak
pada gejala-gejala yang timbul dari masalah tersebut.
Agar kita dapat memfokuskan perhatian kita pada
masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang
muncul, maka dalam proses mendefinisikan suatu
masalah, diperlukan upaya untuk mencari informasi
yang diperlukan sebanyak-banyaknya, agar masalah
dapat didefinisikan dengan tepat.

Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari


pendefinisian masalah yang baik::
1. Fakta dipisahkan dari opini atau spekulasi. Data
objektif dipisahkan dari persepsi
2. Semua pihak yang terlibat diperlakukan sebagai
sumber informasi
3. Masalah harus dinyatakan secara eksplisit/tegas. Hal
ini seringkali dapat menghindarkan kita dari
pembuatan definisi yang tidak jelas
4. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas
adanya ketidak-sesuaian antara standar atau harapan
yang telah ditetapkan sebelumnya dan kenyataan
yang terjadi.
5. Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas,
pihak-pihak yang terkait atau berkepentingan dengan
terjadinya masalah.

2. Membuat Alternatif Pemecahan Masalah.

Langkah berikutnya adalah membuat alternatif


penyelesaian masalah. Pada tahap ini, kita diharapkan
dapat memilih hanya satu solusi, sebelum alternatif
solusi-solusi yang ada diusulkan, dengan memilih
suatu solusi masalah yang di tawarkan akan
menjadikan kualitas pemecahan masalah lebih efektif
dan efisien.

Karakteristik pembuatan Alternatif masalah :


a. Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan
dikemukakan terlebih dahulu sebelum kemudian
dilakukannya evaluasi terhadap mereka.
b. Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua
orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah.
Semakin banyaknya orang yang mengusulkan
alternatif, dapat meningkatkan kualitas solusi dan
penerimaan kelompok.
c. Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan
dengan tujuan atau kebijakan organisasi. Kritik dapat
menjadi penghambat baik terhadap proses organisasi
maupun proses pembuatan alternatif pemecahan
masalah.
d. Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu
mempertimbangkan konsekuensi yang muncul dalam
jangka pendek, maupun jangka panjang.
e. Alternatif–alternatif yang ada saling melengkapi satu
dengan lainnya. Gagasan yang kurang menarik, bisa
menjadi gagasan yang menarik bila dikombinasikan
dengan gagasan-gagasan lainnya.
f. Alternatif-alternatif yang diusulkan harus dapat
menyelesaikan masalah yang telah didefinisikan
dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin
juga penting. Namun dapat diabaikan bila, tidak
secara langsung mempengaruhi pemecahan masalah
utama yang sedang terjadi.

3. Mengevaluasi Alternatif-Alternatif Pemecahan


Masalah
Pada langkah ini kita di tuntut untuk berhati-hati
memberikan penilaian keuntungan dan kerugian
terhadap alternatif-alternatif yang sudah di buat,
supaya kita tidak terjebak pada kesalahan dalam
penentuan soluasi pemecahan masalah maka pada
tahap pengevaluasian ini harus berdasarkan pada :
• Tingkat kemungkinannya untuk dapat
menyelesaikan masalah tanpa menyebabkan
terjadinya masalah lain yang tidak diperkirakan
sebelumnya.
• Tingkat penerimaan dari semua orang yang terlibat
di dalamnya
• Tingkat kemungkinan penerapannya

Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari evaluasi


alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baik:

1) Alternatif-alternatif yang ada dinilai secara relatif


berdasarkan suatu standar yang optimal, dan bukan
sekedar standar yang memuaskan.
2) Penilaian terhadap alternatif-alternatif yang ada
dilakukan secara sistematis, sehingga semua
alternatif yang diusulkan akan dipertimbangkan,
3) Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan
kesesuaiannya dengan tujuan organisasi dan
mempertimbangkan preferensi dari orang-orang yang
terlibat didalamnya.
4) Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan
dampak yang mungkin ditimbulkannya, baik secara
langsung, maupun tidak langsung
5) Alternatif yang paling dipilih dinyatakan secara
eksplisit/tegas.

4. Penerapan Solusi dan RTL (rencana tindak lanjut )


Yang harus di lakukan selanjutnya adalah penerapan
solusi yang telah kita pilih pada bagian pencarian
alternatif pemecahan masalah. Pada bagian ini seorang
penentu kebijakan harus peka pada keadaan yang
mungkin kemungkinan timbul terhadap solusi yang di
jalankan, karena bagaimana pun setiap solusi yang
ditawarkan selalu ada titik balik yang kemungkinan ada
gejala gejala atau reaksi negatif dari solusi tersebut.
Berikut adalah karakteristik dari penerapan dan
langkah tindak lanjut yang efektif:
a. Penerapan solusi dilakukan pada saat yang tepat dan
dalam urutan yang benar. Penerapan tidak
mengabaikan faktor-faktor yang membatasi dan tidak
akan terjadi sebelum tahap 1, 2, dan 3 dalam proses
pemecahan masalah dilakukan.
b. Penerapan solusi dilakukan dengan menggunakan
strategi “sedikit-demi sedikit” dengan tujuan untuk
meminimalkan terjadinya resistensi dan
meningkatkan dukungan.
c. Proses penerapan solusi meliputi juga proses
pemberian umpan balik. Berhasil tidaknya penerapan
solusi, harus dikomunikasikan , sehingga terjadi
proses pertukaran informasi
d. Keterlibatan dari orang-orang yang akan terkena
dampak dari penerapan solusi dianjurkan dengan
tujuan untuk membangun dukungan dan komitmen.
e. Adanya sistim monitoring yang dapat memantau
penerapan solusi secara berkesinambungan. Dampak
jangka pendek, maupun jangka panjang diukur.
f. Penilaian terhadap keberhasilan penerapan solusi
didasarkan atas terselesaikannya masalah yang
dihadapi, bukan karena adanya manfaat lain yang
diperoleh dengan adanya penerapan solusi ini.
Sebuah solusi tidak dapat dianggap berhasil bila
masalah yang menjadi pertimbangan yang utama
tidak terselesaikan dengan baik, walaupun mungkin
muncul dampak positif lainnya.

C. FAKTOR MANUSIA YANG MEMPENGARUHI


PEMECAHAN MASALAH
Tiap manusia memiliki gaya pemecahan masalah yang
unik. Gaya mereka mempengaruhi bagaimana mereka
terlibat dalam merasakan masalah, mengumpulkan
informasi, dan menggunakan informasi.
♦ Merasakan masalah
Manusia dapat dibagi dalam tiga kategori dasar dalam hal
gaya merasakan masalah (problem solving styles)
mereka, yaitu bagaimana mereka menghadapi masalah.
Penghindar masalah (problem avoider), orang ini
mengambil sikap positif dan menganggap bahwa semua
baik-baik saja. Ia berusaha menghalangi kemungkinan
masalah dengan mengabaikan informasi atau
menghindarinya sepanjang perencanaan. Pemecah
masalah (problem solver) orang ini tidak mencari
masalah juga tidak menghalanginya. Jika timbul suatu
masalah-masalah tersebut dipecahkan. Pencari masalah
(problem seeker), orang ini menikmati pemecahan masalah
dan mencarinya.
♦ Mengumpulkan informasi
Para manajer atau pemimpin dapat menunjukkan salah
satu dari dua gaya mengumpulkan informasi
(information-gathering styles) atau sikap terhadap total
volume informasi yang tersedia bagi mereka. Gaya teratur
(preceptive style), orang jenis ini mengikuti management
by exception dan menyaring segala sesuatu yang tidak
berhubungan dengan area minatnya. Gaya menerima
(receptive style), orang jenis ini ingin melihat semuanya,
kemudian menentukan apakah informasi tersebut bernilai
baginya atau orang lain dalam organisasi.
♦ Menggunakan informasi
Manajer juga cenderung lebih menyukai salah satu dari
dua gaya menggunakan informasi (information-using
styles), yaitu cara-cara menggunakan informasi untuk
memecahkan suatu masalah. Gaya sistematik (systematic
style), orang memberi perhatian khusus untuk mengikuti
suatu metode yang telah ditetapkan, misalnya pendekatan
sistem. Gaya intuitif (intuitive style), orang tidak lebih
menyukai suatu metode tertentu tetapi menyesuaikan
pendekatan dengan situasi.

D. PENTINGNYA STRATEGI COPING DALAM


PEMECAHAN MASALAH

Strategi coping menunjuk pada berbagai upaya , baik


mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi,
mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau
kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain
strategi coping merupakan suatu proses dimana individu
berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres
yang menekan akibat dari masalah yang sedang
dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif
maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam
dirinya.

Jenis Strategi Coping

Menurut para ahli ada 2 jenis strategi coping, yaitu:

• problem-solving focused coping, dimana individu


secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk
menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stress.
• emotion-focused coping, dimana individu melibatkan
usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka
menyesuaikan diri dengan dampak yang akan
diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang
penuh tekanan.
Hasil penelitian membuktikan bahwa individu
menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi
berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang
lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984).
Faktor yang menentukan strategi mana yang paling
banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada
kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari
suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh:
seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused
coping dalam menghadapai masalah-masalah yang
menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang
berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia
akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused
coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang
menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti
kanker atau Aids.
Hampir senada dengan penggolongan jenis coping
seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping
juga dikenal dua strategi coping ,yaitu active & avoidant
coping strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct
Action & Palliative). Active coping merupakan strategi yang
dirancang untuk mengubah cara pandang individu
terhadap sumber stres, sementara avoidant coping
merupakan strategi yang dilakukan individu untuk
menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan
suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau
situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang
dilakukan individu pada avoidant coping strategi
sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme
pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan
dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat
permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang
bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih
rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru
menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan
terhadap ancaman.

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

Cara individu menangani situasi yang mengandung


tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang
meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan
masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan
materi.
• Kesehatan Fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena
selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut
untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar
• Keyakinan atau pandangan positif
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang
sangat penting, seperti keyakinan akan nasib
(eksternal locus of control) yang mengerahkan individu
pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang
akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe :
problem-solving focused coping
• Keterampilan Memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari
informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi
masalah dengan tujuan untuk menghasilkan
alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan
alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang
ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan
rencana dengan melakukan suatu tindakan yang
tepat.
• Keterampilan sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara
yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku
dimasyarakat.
• Dukungan sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan
kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu
yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain,
saudara, teman, dan lingkungan masyarakat
sekitarnya.

• Materi
Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa
uang, barang barang atau layanan yang biasanya
dapat dibeli.

E. BEBERAPA PERAN PENDAMPING MASYARAKAT


DALAM MEMECAHKAN MASALAH: MODEL DAN
STRATEGI

Paradigma generalis dapat memberi petunjuk


mengenai fungsi kegiatan-kegiatan pembimbingan sosial
serta menunjukkan peranan-peranan dan strategi-strategi
sesuai dengan fungsi tersebut. Mengacu pada Parsons,
Jorgensen dan Hernandez (1994), ada beberapa peran
pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial. Lima peran di
bawah ini sangat relevan diketahui oleh para fasilitator
yang akan melakukan pembimbingan social keagamaan.

1. Fasilitator
Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan “fasilitator”
sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Keduanya
bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti
dinyatakan Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:188),
“The traditional role of enabler in social work implies
education, facilitation, and promotion of interaction and
action.” Selanjutnya Barker (1987) memberi definisi
pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk
membantu klien menjadi mampu menangani tekanan
situasional atau transisional.
Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan
tersebut meliputi: pemberian harapan, pengurangan
penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan pengaturan
perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan
kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial,
pemilahan masalah menjadi beberapa bagian sehingga
lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus
pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya (Barker,
1987:49).
Pengertian ini didasari oleh visi pekerjaan sosial
bahwa “setiap perubahan terjadi pada dasarnya
dikarenakan oleh adanya usaha-usaha klien sendiri, dan
peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi atau
memungkinkan klien mampu melakukan perubahan yang
telah ditetapkan dan disepakati bersama (Parsons,
Jorgensen dan Hernandez, 1994). Parsons, Jorgensen dan
Hernandez (1994:190-203) memberikan kerangka acuan
mengenai tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh pekerja
sosial:
• Mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan
dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan.
• Mendefinisikan tujuan keterlibatan.
• Mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai
pengalaman dan perbedaan-perbedaan.
• Memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah
sistem: menemukan kesamaan dan perbedaan.
• Memfasilitasi pendidikan: membangun pengetahuan dan
keterampilan.
• Memberikan model atau contoh dan memfasilitasi
pemecahan masalah bersama: mendorong kegiatan
kolektif.
• Mengidentifikasi masalah-masalah yang akan
dipecahkan.
• Memfasilitasi penetapan tujuan.
• Merancang solusi-solusi alternatif.
• Mendorong pelaksanaan tugas.
• Memelihara relasi sistem.
• Memecahkan konflik.

2. Broker

Dalam pengertian umum, seorang broker membeli dan


menjual saham dan surat berharga lainnya di pasar modal.
Seorang beroker berusaha untuk memaksimalkan
keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat
memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Pada saat klien
menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker
tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal,
pengetahuan yang diperoleh terutama berdasarkan
pengalamannya sehari-hari.
Dalam konteks PM, peran pekerja sosial sebagai
broker tidak jauh berbeda dengan peran broker di pasar
modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam PM terdapat
klien atau konsumen. Namun demikian, pekerja sosial
melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan
pelayanan sosial. Pemahaman pekerja sosial yang menjadi
broker mengenai kualitas pelayanan sosial di sekitar
lingkungannya menjadi sangat penting dalam memenuhi
keinginan kliennya memperoleh “keuntungan” maksimal.
Dalam proses pendampingan sosial, ada tiga prinsip
utama dalam melakukan peranan sebagai broker:

• Mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber


kemasyarakatan yang tepat.
• Mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan
sumber secara konsisten.
• Mampu mengevaluasi efektifitas sumber dalam
kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien.

Prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan makna broker


seperti telah dijelaskan di muka. Peranan sebagai broker
mencakup “menghubungkan klien dengan barang-barang
dan jasa dan mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut.
Dengan demikian ada tiga kata kunci dalam pelaksanaan
peran sebagai broker, yaitu: menghubungkan (linking),
barang-barang dan jasa (goods and services) dan
pengontrolan kualitas (quality control). Parsons, Jorgensen
dan Hernandez (1994:226-227) menerangkan ketiga konsep
di atas satu per satu:

• Linking adalah proses menghubungkan orang dengan


lembaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya yang
memiliki sumber-sumber yang diperlukan. Linking juga
tidak sebatas hanya memberi petunjuk kepada orang
mengenai sumber-sumber yang ada. Lebih dari itu, ia
juga meliputi memperkenalkan klien dan sumber referal,
tindak lanjut, pendistribusian sumber, dan meenjamin
bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh klien.
• Goods meliputi yang nyata, seperti makanan, uang,
pakaian, perumahan, obat-obatan. Sedangkan services
mencakup keluaran pelayanan lembaga yang dirancang
untuk memenuhi kebutuhan hidup klien, semisal
perawatan kesehatan, pendidikan, pelatihan, konseling,
pengasuhan anak.
• Quality Control adalah proses pengawasan yang dapat
menjamin bahwa produk-produk yang dihasilkan
lembaga memenuhi standar kualitas yang telah
ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring yang
terus menerus terhadap lembaga dan semua jaringan
pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan memiliki
mutu yang dapat dipertanggungjawabkan setiap saat.

Dalam proses pendampingan social keagamaan, ada dua


pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki pekerja
sosial atau fasilitator masyarakat:
• Pengetahuan dan keterampilan melakukan asesmen
kebutuhan masyarakat (community needs assessment),
yang meliputi: (a) jenis dan tipe kebutuhan, (b) distribusi
kebutuhan, (c) kebutuhan akan pelayanan, (d) pola-pola
penggunaan pelayanan, dan (e) hambatan-hambatan
dalam menjangkau pelayanan (lihat makalah penulis
mengenai metode dan teknik pemetaan sosial untuk
mengetahu cara-cara mengidentifikasi masalah dan
kebutuhan masyarakat).
• Pengetahuan dan keterampilan membangun konsorsium
dan jaringan antar organisasi. Kegiatan ini bertujuan
untuk: (a) memperjelas kebijakan-kebijakan setiap
lembaga, (b) mendefinisikan peranan lembaga-lembaga,
(c) mendefinisikan potensi dan hambatan setiap
lembaga, (d) memilih metode guna menentukan
partisipasi setiap lembaga dalam memecahkan masalah
sosial masyarakat, (e) mengembangkan prosedur guna
menghindari duplikasi pelayanan, dan (f)
mengembangkan prosedur guna mengidentifikasi dan
memenuhi kekurangan pelayanan sosial.

3. Mediator

Pekerja social kemasyarakatan sering melakukan


peran mediator dalam berbagai kegiatan pertolongannya.
Peran ini sangat penting dalam paradigma generalis. Peran
mediator diperlukan terutama pada saat terdapat
perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik
antara berbagai pihak. Lee dan Swenson (1986)
memberikan contoh bahwa pekerja sosial dapat
memerankan sebagai “fungsi kekuatan ketiga” untuk
menjembatani antara anggota kelompok dan sistem
lingkungan yang menghambatnya.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam
melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku,
negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam
resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang
dilakukan pada hakekatnya diarahkan untuk mencapai
“solusi menang-menang” (win-win solution). Hal ini berbeda
dengan peran sebagai pembela dimana bantuan pekerja
sosial diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau
membantu klien memenangkan dirinya sendiri.
Compton dan Galaway (1989: 511) memberikan
beberapa teknik dan keterampilan yang dapat digunakan
dalam melakukan peran mediator:
• Mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat
konflik.
• Membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi
kepentingan pihak lain.
• Membantu pihak-pihak yang bertikai dalam
mengidentifikasi kepentingan bersama.
• Hindari situasi yang mengarah pada munculnya kondisi
menang dan kalah.
• Berupaya untuk melokalisir konflik kedalam isu, waktu
dan tempat yang spesifik.
• Membagi konflik kedalam beberapa isu.
• Membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui
bahwa mereka lebih memiliki manfaat jika melanjutkan
sebuah hubungan ketimbang terlibat terus dalam
konflik.
• Memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung
mereka agar mau berbicara satu sama lain.
• Gunakan prosedur-prosedur persuasi.

4. Pembela

Dalam praktek PM, seringkali pekerja sosial harus


berhadapan sistem politik dalam rangka menjamin
kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien atau
dalam melaksanakan tujuan-tujuan pendampingan sosial.
Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit dijangkau
oleh klien, pekeja sosial haru memainkan peranan sebagai
pembela (advokat). Peran pembelaan atau advokasi
merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang
bersentuhan dengan kegiatan politik.
Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus
(case advocacy) dan advokasi kausal (cause advocacy)
(DuBois dan Miley, 1992; Parsons, Jorgensen dan
Hernandez, 1994). Apabila pekerja sosial melakukan
pembelaan atas nama seorang klien secara individual,
maka ia berperan sebagai pembela kasus. Pembelaan
kausal terjadi manakala klien yang dibela pekerja sosial
bukanlah individu melainkan sekelompok anggota
masyarakat.
Rothblatt (1978) memberikan beberapa model yang
dapat dijadikan acuan dalam melakukan peran pembela
dalam PM:
1. Keterbukaan – membiarkan berbagai pandangan untuk
didengar.
2. Perwakilan luas – mewakili semua pelaku yang memiliki
kepentingan dalam pembuatan keputusan.
3. Keadilan – memiliki sesuah sistem kesetaraan atau
kesamaan sehingga posisi-posisi yang berbeda dapat
diketahui sebagai bahan perbandingan.
4. Pengurangan permusuhan – mengembangkan sebuah
keputusan yang mampu mengurangi permusuhan dan
keterasingan.
5. Informasi – menyajikan masing-masing pandangan
secara bersama dengan dukungan dokumen dan
analisis.
6. Pendukungan – mendukung patisipasi secara luas.
7. Kepekaan – mendorong para pembuat keputusan untuk
benar-benar mendengar, mempertimbangkan dan peka
terhadap minat-minat dan posisi-posisi orang lain.

5. Pelindung

Tanggungjawab pekerja sosial terhadap masyarakat


didukung oleh hukum. Hukum tersebut memberikan
legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi pelindung
(protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan.
Dalam melakukan peran sebagai pelindung (guardian role),
pekerja sosial bertindak berdasarkan kepentingan korban,
calon korban, dan populasi yang berisiko lainnya. Peranan
sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai
kemampuan yang menyangkut: (a) kekuasaan, (b)
pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial.
Prinsip-prinsip peran pelindung meliputi:
• Menentukan siapa klien pekerja sosial yang paling
utama.
• Menjamin bahwa tindakan dilakukan sesuai dengan
proses perlindungan.
• Berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh
oleh tindakan sesuai dengan tanggungjawab etis, legal
dan rasional praktek pemberdayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Syumanjaya, Mengajarkan Pemecahan Masalah


Sejak Dini, International Certified Behavior Analyst &
Multiple Intelligence Consultant, Jakarta

Barker, R. L. (1987), The Social Work Dictionary, Silver


Spring, MD: National Association of Social Workers.

Compton B. dan B. Galaway (1989), Social Work Processes,


Pacific Grove: Brooks/Cole.

Delbecq, Andre L. dan Andrew H. Van de Ven (1977),


“Problem Analysis and Program Design: Nominal Group
Process Technique”, dalam Gilbert, Neil dan Harry
Specht, Planning for Social Welfare: Issues, Models and
Tasks, New Jersey: Prentice-Hall, hal. 333-348.

DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social


Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and
Bacon.

Edi Suharto, Pendampingan Sosial Dalam Pengembangan


Masyarakat, Makalah disajikan pada Pelatihan
Pengembangan Masyarakat Bagi Pengurus Forum
Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tingkat
Propinsi se Indonesia, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan
Sosial Masyarakat Depsos RI, Rabu 28 Agustus 2002 di
Jakarta.

Hunsaker, A. (2005), Community Work & Problem Solving,


London: McMillan.

Johnson, Louise C. (1989), Social Work Practice: A


Generalist Approach, Massachusetts: Allyn and Bacon;

Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen dan Santos H.


Hernandez (1994), The Integration of Social Work Practice,
California: Brooks/Cole.

Payne, Malcolm (1986), Social care in The Community,


London: MacMillan.

Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan


Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung:
Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).

www.e-psikologi.com, Pentingnya Strategi Coping dalam Pemecahan


Masalah. Diambil tanggal 2 Maret 2007

View publication stats

You might also like