You are on page 1of 5

“PEMUDA GERBANG SALAM”

Karya: Feri Indra Mustofa

Alam indah nan sejuk menyegarkan badan bila menghirupnya, pesisir pantai airnya
berwarna biru pemandangan di sekitarnya merajuk hati damai, itulah yang dinamakan desa
Goreta. Sebuah keluarga yang tinggal di pesisir pantai Kota Pamekasan dengan rumah yang
sederhana, hidup bersama istri dan kedua anaknya. Kepala keluarga berbadan kurus dan
berjenggot penduduk mengenalinya dengan sebutan Ust. Samsuri, delapan tahun yang lalu
menikah dengan perempuan sekampungnya dan sekarang dikaruniai kedua anak laki-laki.

Bapak Samsuri merupakan sosok kepala keluarga yang keras dan bijaksana
terhadap Istri, dan juga anak-anaknya. Dia selalu menyeru kepada istrinya yang biasa ia
panggil Ummi, dan kedua putranya Inaf dan Anif tentang kecintaan terhadap Allah Swt. Sifat
Samsuri yang keras tidak lain karena nenek moyangnya keturunan asli Pulau Madura yang
mana posisi geografis pulau tersebut merupakan daerah yang memiliki suhu panas.

Istri Samsuri bernama Rokayyah sebagaimana penduduk setempat mengenalnya


dengan sifat penyayang terhadap kedua putranya. Kedua putra Samsuri dan Rokayah
bernama Inaf dan Anif, Inaf berumur 10 tahun sedangkan Anif umurnya 12 tahun selisih dua
tahun lebih tua Anif.

Desa Goreta tempat tinggal Samsuri beserta keluarganya, desa ini dikenal ramah
dengan banyaknya penduduk, disana banyak pemuda yang terididik dengan latar belakang
keislaman oleh keluarganya. Pemuda di desa Goreta memang sejak kecil hingga dewasa
dengan kebudayaan lingkungan sekitar yang disokong oleh keluarganya begitu taat dalam
kehidupan beragama.

Inaf dan Anif merupakan salah satu pemuda yang juga terdidik dalam keagamaan,
setiap pagi, sore, dan malam mereka tidak luput dengan belajar agama atau ngaji. Umur
keduanya tergolong sangat muda yang biasanya anak muda zaman sekarang jago bermain
kini berbeda bagi mereka yang mana aktifitasnya belajar dan mengaji, itu semua tidak lain
didikan kedua orang tua yang mengerti, di sisi lain lingkungan sekitar memang dikenal Kota
Santri atau biasa disebut Kota Gerbang Salam yang mana nuansa keislamannya sangat baik.

***
Matahari pagi kini muncul menyinari setiap sudut desa Goreta jam di dinding
menunjukkan pukul 06.30 wib, Rokayyah sudah menyiapkan masakannya di atas meja
makan sembari memanggil kedua putranya.

“Inaf, Anif... Sudah selesai beres-beres bukunya? Sini keluar Cong Ibuk sudah
menyiapkan makanan buat kalian berdua.” Tanya Rokayyah.
“Iya, iya Buk Anif sebentar lagi selesai, Inaf masih memakai kaos kaki Buk.” Sahut
Inaf dan Anif.
“Oh iya sudah, selesaikan dulu kalau sudah beres-beresnya langsung ke meja makan
Ibu tunggu disana!”
“Baik Buk.”
Inaf dan Anif selesai mereka langsung menuju ke meja makan.

“Wahhh... Harumnya makanan ini kayaknya mantap ini Naf.” Ungkap Anif.
“Hehe sate,sate,sate enak ini pasti.” Jawab Inaf.
“Masakan siapa dulu?” Celoteh Ibu Rokayyah dengan wajah tersenyum.
“Siapa dulu kalau bukan Ibukku tersayang, makasih ya Buk.” Sahut Inaf dan Anif
dengan kebiasaannya apabila mendapati masakan enak dari Ibunya.
“Iya sudah dimakan jangan lupa berdoa dihabiskan biar kenyang.”

Anif dan Inaf sudah selesai makan mereka berdiri dari kursi makan bersiap-siap
berangkat ke sekolah.

***

Senja sore mulai memerah tampaknya sedikit lagi akan tenggelam ke dasar laut Pantai
Goreta, kerumunan burung-burung berbaris terbang menuju ke dalam sarangnya, Anif dan
Inaf beserta teman-temannya asyik bermain sepak bola di lapangan dengan kondisi yang
ramai keringat jatuh bercucuran, memanglah hobi dari setiap anak-anak utamanya Anif dan
Inaf.

Permainan itu terdiri dari banyak anak kecil yang seumuran dengan Inaf dan Anif,
semua membentuk kelompok dengan 7 anak menempati posisi gawang sebelah barat, 8 anak
di posisi gawang sebelah timur, tidak berimbang karena yang datang dengan jumlah segitu
maka terbentuk kelompok permainan sepak bola desa.

“Kejar-kejar... ayo dapat Cong... sini-sini umpan... langsung tendang ayo.” Suara yang
terjadi dilapangan itu.
“Goal,goal,goal... Hore-hore kita menang, kita menang.” Seru Inaf dan Anif dan
teman teman sekelompoknya.

Permainan berlanjut kira-kira 10 menit lamanya, akhirnya suara azan magrib berkumandang.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

“Allahu akbar, Allahu Akbar!”

“Waduh payah ini Naf, kok sudah azan ya..?” Tanya Anif dengan muka cemas.

“Waduh gak tahu gimana ini? Pasti Abah marah.” Jawab Inaf sambil memutarkan
badan nampak bingung.

“Ya sudah gak apa-apa ini salah kita, ayo cepat kita pulang siapa tahu Abah gak ada
dirumah.” Anif mengajak pulang.

Sampai di depan rumah dengan badan sedikit menunduk berjalan mengintip dari sela-
sela jendela berharap Ayahnya tidak ada di dalam rumah sebab mereka takut karena merasa
bersalah tidak mengaji dan pulangnya kerumah setelah azan.

“Assalamualaikum...” Anif dan Inaf seru di balik pintu rumah.

“Waalaikum salam.” Jawab Ibu Rokayyah.

“Anif, Inaf kamu dari mana saja Cong? Abahnya baru saja berangkat ke Masjid tadi
marah-marah mencari keberadaan kalian berdua”.

“Haduh gimana ini Buk? Inaf takut Buk...” Inaf dengan wajah ketakutan.

“Iya Buk Anif juga takut...”

“Tidak apa-apa ini salah kamu berdua, lagian kemarin sudah diingatkan sama Ibuk
dan Abah tetap saja! Ya sudah sana mandi terus salat sebelum Abahmu datang.”
Jawab Ibuk Rokayyah dengan sedikit marah.

“Assalamualaikum.” Suara Bapak Samsuri dari luar pintu.

“Walaikumsalam.” Jawab Ibuk Rokayyah membukakan pintu rumah.

“Mana anak kita Buk?” Tanya Bapak Samsuri

“Ada di mushalla sedang shalat Bah.” Jawabnya.


Tiga menit berselang setelah Samsuri berbicara dengan istrinya, dia langsung pergi
menuju ke Musala sembari berteriak memanggil Inaf dan Anif.

“Iya Ayah.” Sahut kedua anakya.

“Bukkk,bukkk,pokkk,peakkk... dasar gak dengar nasihat orang tua.” Suara pukulan.

“Ayam saja pulang kalau malam, masak kalian berdua kalah sama binatang mikir
Cong!!!” Dengan nada keras Bapak Samsuri marah.

“Ampun Ayah... saya janji tidak akan mengulangi lagi.” Teriak Anif sambil
menangis.

“Iya Yah kami berdua minta maaf.” Sambung Inaf.

“Ayah berpesan pada kalian untuk kedepannya jangan mengulangi hal ini lagi, dan
juga Ayah harap kalian jadi anak-anak shalih yang taat pada agama, orang tua serta
negara.”

“Iya Ayah kami berdua minta maaf.”

***

Hari baru atau lembaran baru bagi Inaf dan Anif setelah kemarin mendapat teguran
bahkan pukulan dari sang Ayah cukup mengesankan, sebab anak-anak muda itu akhirnya
patuh terhadap nasehat orang tua sehingga tidak ada lagi kejadian seperti yang lalu, bahkan
sekarang dengan rajinnya melaksanakan ibadah mulai dari salat, ngaji ke Musalla, serta
belajar di Sekolah. Itulah pemuda harapan Agama dan Negara.

Keesokan hari saat Inaf dan Anif pulang dari sekolah mereka diajak jalan-jalan sama
Ayahnya ke Sumenep. Berangkat bertiga menaiki mobil dengan menikmati indahnya
sepanjang jalan yaitu hijaunya pepohonan, lautan biru yang terlihat dari kejauhan, serta bukit-
bukit selatan yang tampak dikelilingi awan, begitulah susana pemandangan Pulau Madura.

Setelah menikmati indahnya pemandangan sepanjang jalan, kini Bapak dan kedua
putranya telah sampai ke tempat wisata di kota Sumenep ‘Water Park’ namanya. Mereka
bertiga masuk mendapati kolam yang begitu megah, ketiganya langsung menceburkan diri,
dengan raut kebahagiaan bermain-main di kolam renang sembari tertawa bersama.
Begitulah sosok seorang Ayah yang tampaknya keras akan tetapi kekerasan itu
tercipta karena rasa sayang terhadap anak-anaknya untuk mendidik agar suatu saat menjadi
anak yang berguna.

Surabaya 21 Desember 2018

-------------Bersambung---------------

You might also like