You are on page 1of 16

MAKALAH

HADIS PRIMER (KUTUB TIS’AH)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadits


Dosen Pengampu: M. Royyan Nafis Fathul Wahab, M.Ag.

Disusun Oleh :

Kelompok 1 Kelas C

Emilia Zurista Permata Sari (21204077)

Elsa Fina Romadani Nur Aziza (21204078)

PROGRAM STUDI S-1 TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “HADIS PRIMER (KUTUB TIS’AH)”
dengan baik dan tepat waktu. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang
telah berkontribusi memberikan ilmunya kepada kami. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pengantar Studi Hadits yang diampu oleh Bapak M. Royyan Nafis Fathul
Wahab, M.Ag. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Hadis Primer (Kutub Tis’ah) bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Oleh sebab itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk membangun dan memperbaiki
makalah kami kedepannya.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Kediri, 16 Mei 2023

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ..................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 4
C. Tujuan ................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 5

A. Shahih al-Bukhari ................................................................................................ 5


B. Shahih Muslim ..................................................................................................... 6
C. Sunan al-Tirmidzi ................................................................................................ 8
D. Sunan al-Nasa’i ..................................................................................................... 10
E. Sunan Abu Dawud ................................................................................................ 12

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 15

Kesimpulan ....................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 16

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu sumber hukum yang menjadi pedoman hidup bagi orang
Islam. Akan tetapi banyaknya hadits dho’if yang beredar di kalangan masyarakat
menimbulkan kebingungan dan keresahan bagi umat Islam sendiri. Oleh karena itu
kami akan menjabarkan materi mengenai Hadits Shahih al-bukhari, Shahih Muslim,
Sunan al-Tirmidzi, Sunnan al-nasa’I, Sunan Abu Dawud. Untuk membantu teman-
teman semua memahami hadits secara keseluruhan dan objektif, serta membantu
pembaca agar tidak mudah mempercayai hadits yang beredar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan Shahih al-Bukhari dalam menyusun kitab?.
2. Bagaimana penjelasan Shahih Muslim dalam menyusun kitab?.
3. Bagaimana penjelasan Sunan al-Tirmidzi dalam menyusun kitab?.
4. Bagaimana penjelasan Sunan al-Nasa’i dalam menyusun kitab?.
5. Bagaimana penjelasan Sunan Abu Dawud dalam menyusun kitab?.
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan Shahih al-Bukhari dalam menyusun kitab.
2. Untuk mengetahui penjelasan Shahih Muslim dalam menyusun kitab.
3. Untuk mengetahui penjelasan Sunan al-Tirmidzi dalam menyusun kitab.
4. Untuk mengatahui penjelasan Sunan al-Nasa’i dalam menyusun kitab.
5. Untuk mengetahui penjelasan Sunan Abu Dawud dalam menyusun kitab.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Shahih al-Bukhari
Pada awalnya sbelum buku Jawami’ seperti al-Jami’ alShahih karya Imam al-
Bukhari telah muncul buku-buku Musnad, seperti Musnad Abu Dawud al
Thayalisi, dll. Selain Imam al-Bukhari, yang menuliskan buku buku Jawami’
adalah Imam al-Tirmidzi. Hal-hal yang melatarbelakangi kepenulisan buku al-
Bukhari adalah:
1. Belum adanya kitab hadits yang khusus memuat haditshadits shahih dan
mencakup berbagai bidang dan permasalahan. al-Hafidz Ibn Hajar al-
'Asqalani berkata, "Ketika beliau rahimahullah melihat buku-buku hadits
yang ditulis sebelumnva telah memuat bermacam-macam hadits, ada yang
shahih, hasan dan banyak pula yang dliaif, maka tidak dapat disamakan
(atau dijadikan satu) antara hadits dhaif dengan hadits shahih, oleh sebab
itu beliau rahimahullah tertarik untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih
saja.
2. Ada motivasi dan guru beliau rahimallah yakni Ishak bin Rahuyah
rahmallah . Ibnu Hajar rahimallah berkata, "Dan keinginannya tersebut
menjadi kuat setelah ia mendengar gurunya yang termasuk pakar dalam
bidang hadits dan fikih yaitu Ishak bin Rahuyah rahimallah, ia berkata,
‘Andaikata engkau menulis satu buku hadits yang berisikan haditshadits
shahih (maka hal itu sangat baik)". Kemudian Imam Bukhari berkata,
"Perkataan tersebut membekas dalam hatiku, kemudian aku
mengumpulkan hadits-hadits shahih dalam kitab tersebut".
3. Ada motivasi dari mimpi baiknya. Imam Bukhari rahimallah pernah
bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau rahimallah berkata,
"Aku pernah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, aku berdiri
dihadapannya dan mengipasinya, kemudian aku menanyakan mimpi
tersebut kepada orang yang ahli menta'bir mimpi, ia menjawab, "Kamu
menolak kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Hal itulah
yang menyebabkan aku menulis al-Jami' al-Shahih (Shahih Bukhari).1

1
Nur Kholis, “Shahih Al-Bukhari”, (Majalah As-Sunnah: 2012), h. 6-10.

5
Penyusunan Kitab Sahih Bukhari dilakukan dengan metode ilmiah dan
ilahiah. Secara ilmiah adalah kitabnya dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hadis. Sedangkan secara
ilahiah adalah ia mendasari penulisan kitabnya dengan niat yang benar dan
cara-cara yang ia lakukan pun sangat memperhatikan nilai-nilai ilahiah. Dalam
penyusunan kitab Imam Bukhari menempuh car tertentu sehingga derajat
kesahihannya dapat dipertanggung jawabkan. Langkahnya antara lain adalah
meneliti para perawinya, selain itu membandingkan hadis satu dengan yang
lainnya, kemudian meneliti dan memilih sesuai standar kesahihan yang ia
tentukan. Adapun syarat-syarat kriteria hadis sahih, yaitu :
 Perawinya dhabith
 ‘adil
 Sanadnya muttasil
 Hadisnya tidak syadz
 Tidak ada illat2

B. Shahih Muslim
Nama kitab Sahih Muslim Kitab himpunan hadis shahih karya muslim ini
judul aslinya ialah al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min al-Sunan bi al-Naql al-
`Adl `an al-`Adl `an Rasul Allah Saw., namun lebih dikenal dengan nama al-Jami`
al-Sahih atau Sahih Muslim. Penyusunan kitab ini memakan waktu 15 tahun.
Imam Muslim mengerjakan proyek monumental ini secara terus menerus. Proses
persiapan dan penyusunan kitabnya itu beliau lakukan baik ketika sedang berada
di tempat tinggalnya maupun dalam perjalanan ke berbagai wilayah. Dalam
penggarapannya itu, beliau menyeleksi ribuan hadis baik dari hafalannya maupun
dari catatannya. Informasi lain menyatakan bahwa kitab al-Jami` al-sahih atau
sahih Muslim ini merupakan hasil seleksi dari sejumlah 300.000 hadis. Kitab ini
memuat hadis yang cukup banyak. Hanya saja mengenai penentuan jumlah
hadisnya, terdapat informasi atau pendapat yang berbeda-beda.
Menurut keterangan Ahmad bin Salamah, salah seorang sahabat Imam
Muslim sekaligus sebagai penulis naskah kitab ini, ia menyatakan bahwa dalam
Sahih Muslim memuat 12.000 hadis. Sementara yang lainnya ada yang

2
Marzuki, “Kritik Terhadap Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim”, h. 12-20.

6
menyatakan berjumlah 7.275 hadis, 5.632 hadis, 4.000 hadis dan 3.033 hadis.
Dalam menyusun kitabnya, Imam Muslim menempuh metode yang sangat bagus
sekali. Beliau menghimpun matan-matan hadis yang senada atau satu tema
lengkap dengan sanad-sanadnya pada satu tempat, tidak memotong atau memisah-
misahkannya dalam beberapa bab yang berbeda, serta tidak mengulang-ulang
penyebutan hadis kecuali dalam jumlah sedikit karena adanya kepentingan yang
mendesak yang menghendaki adanya pengulangan, seperti untuk menambah
manfaat padasanad atau matan hadis. Selain itu, Imam Muslim pun selalu
menggunakan kata-kata atau lafal-lafal dalam proses periwayatan hadis secara
cermat. Apabila ada seorang periwayat berbeda denga periwayat lainnya dalam
menggunakan redaksi yang berbeda padahal makna dan tujuannya sama, maka
beliau pun menjelaskannyaDemikian juga bila seorang periwayat meriwayatkan
hadis dengan kata (ia menceritakan kepada kami), dan para periwayat lainnya
dengan kata (ia mengkhabarkan kepada kami), maka perbedaan lafal ini pun
dijelaskannya, begitu juga, bila sebuah hadis diriwayatkan oleh orang banyak dan
dalam periwayatannya terdapat perbedaan lafal, beliau pun meneranngkannya
bahwa lafal yang disebutkannya dengan (redaksi ini adalah redaksi menurut
Fulan).
Syarat yang digunakan oleh Imam Muslim ketika menyusun dan
memasukan hadis-hadis ke dalam kitab sahihnya. Pertama hanya meriwayatkan
hadis dari para periwayat yang `adil dan dabit (kuat hafalan dan daya ingtnya
misalnya tidak pelupa), dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah.
Kedua hanya meriwayatkan hadis-hadis yang musnad (lengkap sanadnya), dan
marfu (disandarkan kepada Nabi). Beliau tidak meriwayatkan hadis yang mauquf
dan mu`allaq. Setelah beliau membukukan kitabnya, Imam Muslim
memperlihatkan kitabnya kepada para pakar hadis terkemuka yaitu seorang huffaz
Makki bin Abdan dari Naisabur. Ia berkata: “saya mendengar Muslim berkata:
“Aku perlihatkan kitabku ini kepada Abu Zur`ah al-Razi.” Semua hadis yang
diisyaratkan al-Razi ada kelemahannya, aku meninggalkannya. Dan semua hadis
yang dikatakannya sahih, itulah yang kuriwayatkan.” Ini menunjukkan ke-tawadu-
an atau kerendahannya.Muslim berkata: “Aku perlihatkan kitabku ini kepada Abu
Zur`ah al-Razi.” Semua hadis yang diisyaratkan al-Razi ada kelemahannya, aku
meninggalkannya. Dan semua hadis yang dikatakannya sahih, itulah yang
kuriwayatkan. ”Ini menunjukkan ke-tawadu-an atau kerendahannya.

7
Menurut para ulama hadis, kitab koleksi hadis sahih Muslim ini memiliki
banyak kelebihan, yaitu:
a. Susunan isinya sangat tertib dan sistematis
b. Pemilihan redaksi (matan) hadisnya sangat teliti dan cermat
c. Seleksi dan akumulasi sanadnya sangat teliti, tidak tertukar-tukar, tidak lebih
dan tidak kurang
d. Penempatan dan pengelompokkan hadis-hadis kedalam tema atau tempat
tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan penyebutan hadis.3

C. Sunan al-Tirmidzi
At-Tirmidzi adalah pakar hadist yang masyhur pada abad ke 3 Hijriyah.
Abad ke-3 H adalah puncak kemajuan ulama dalam mengembangkan berbagai di
siplin ilmu pengetahuan, di antaranya hadis, fiqih, filsafat, ilmu kalam, dan
tasawuf (M.Abdurrahman, 2003).4 Nama penulis kitab ini adalah Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Adh-Dhahak As-Salami. Imam
Tirmidzi (atau Turmudzi menurut beberapa riwayat) mengambil Hadisdari
banyak ulama besar diantaranya Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin
Ghilan dan ulama lainnya. Imam Tirmidzi telah menulis sebanyak 3.956 Hadis
yang mencakup permasalahan fiqih, adab, kisah Nabi, tafsir, dan lainnya,
sehingga kitab kumpulan Hadis beliau diberi nama Jami’. Keistimewaan kitab
Jami’ Tirmidzi adalah beliau melakukan dan mencantumkan penilaian Hadis yang
beliau lakukan dalam kitab ini, serta beliaulah yang pertama kali memprakarsai
adanya penilaian Hadis berupa hasan-Shahih yaitu suatu Hadis yang ulama beda
pendapat apakah Hadis itu hasan atau Shahih.
Sulit untuk memastikan nama kitab hadis ini yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiyah. Manuskrip-manuskrip kitab ini memiliki
judul yang berbeda-beda. Di samping itu, dalam beberapa tulisan beberapa ulama
hadis terdapat penyebutan nama kitab ini secara berbeda pula. Nûr al-Dîn ‘Itr
menyebutkan 5 (lima) nama bagi kitab ini:
1. Shahîh al-Tirmidzî, ini pendapat al-Khathîb al-Baghdâdî
2. Al-Jâmi‘ al-Shahîh, ini pendapat al-Hâkim
3. Al-Jâmi‘ al-Kabîr, ini pendapat al-Kattânî

3
Marzuki, “Kritik Terhadap Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim”, h. 25-30.
4
Abdul Wahab Syakhrani, “Kitab-kitab Hadist Sesudah Abad ke 3 H”, Vol. 2 (Mushaf Journal, 2022), h.5.

8
4. Al-Sunan, nama ini populer di masyarakat Islam
5. Al-Jâmi‘, nama yang juga banyak digunakan oleh para ulama
Penulisan kitab alJâmi‘ ini didorong oleh permintaan murid-muridnya agar
meng- himpun hadis-hadis dan atsar yang sudah ada, yang disertai penjelasan
ilalah-illahnya dan pendapat para fuqaha’. Itulah sebabnya, kitab ini disertai
penjelasan illah-ilhah hadis dan pendapat para fuqaha, sesuai dengan permintaan.
Pada awalnya Imam al-Tirmidzî enggan untuk memenuhi permintaan tersebut.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sikap tawadlu’nya atau keengganaannya
untuk mempromosikan reputasi keilmuannya. Hanya saja, melihat demikian besar
manfaat penulisan hadis, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh para imam
sebelumnya, akhirnya Imam al-Tirmidzî memenuhi permintaan ini.
Imam al-Tirmidzî menjelaskan syarat-syarat kitab Jami’-nya dalam kitab al-
‘Ilal, yang dapat diringkas dalam dua persyaratan utama: Pertama, menyusun kitab
Jami’ berdasarkan hadis-hadis yang ma’mul bih di kalangan ulama. Kedua,
menyangkut persyaratan rijal, Imam al-Tirmidzî tidak mencantumkan hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat yang sangat dha’if. Atas dasar syarat di atas, hadis-
hadis Imam al-Tirmidzî dalam kitab Jâmi‘nya dapat dibagi menjadi empat jenis: 1.
Hadis yang sesuai dengan persyaratan al-Bukhari dan Muslim atau salah satu
darinya. 2. Hadis yang sesuai dengan persyaratan Abu Dâwud, al-Nasa’i dan Ibn
Majah, yang meriwayatkan hadis hasan dan yang mendekatinya. 3. Hadis yang
dijadikan dalil oleh madzhab yang bertentangan, dan Imam al-Tirmidzî
menjelaskan ‘illahnya. 4. Hadis yang termasuk apa yang dikatannya: “saya tidak
meriwayatkan hadis dalam kitabku ini kecuali yang telah diamalkan oleh para
fuqaha.”
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama menyang- kut kedudukan
kitab Jâmi‘ al-Tirmidzî. Sebagian ulama, semisal al- Hâzimî dan al-Dzahabî,
meletakkan kitab ini setelah kitab Sunan Abû Dâwud. Dalam pandangan mereka,
Imam Abû Dâwud tidak meriwayatkan hadis yang melalui periwayat thabaqah
keempat (dalam pembagian al-Hâzimî), kecuali sangat dibutuhkan dan periwayat
tersebut termasuk periwayat yang terkenal. Berbeda dengan al-Tirmidzî yang
meriwayatkan hadis-hadi yang diriwiyat- kan oleh thabaqah keempat (dalam
pembagian al-Hâzimî), meski- pun ia menjelaskan kedha‘ifannya.
Imam al-Tirmidzî dalam meriwayatkan hadis mengikuti tradisi yang telah
dibangun oleh para ahli hadis. Karena itu, Imamal-Tirmidzî meriwayatkan hadis

9
dalam kitab Jâmi‘nya lengkap matan dan sanadnya. Dalam beberapa kasus, Imam
al-Tirmidzî mendapatkan satu hadis dari beberapa jalur sanad. Mengenai hadis
yang diterimanya dari beberapa jalur ini, Imam al-Tirmidzî meriwayatkannya
dalam beberapa cara:
1. Menggabungkan beberapa jalur sanad hadis menjadi satu
Dalam cara ini, Imam al-Tirmidzî menampilkan semua jalur sanad
yang meriwayatkan hadis tersebut dan menggabungkannya menjadi
satu konteks. Biasanya hal ini digunakan jika para periwayatnya
berada dalam satu tingkatan dan matan hadisnya memiliki redaksi
dan makna yang sama.
2. Menampilkan beberapa sanad dan menyebutkan matan- nya sama
dengan matan hadis pada sanad pertama
Hal ini dilakukan oleh Imam al-Tirmidzî dengan cara meriwayatkan
satu hadis dan matannya, kemudian mengikutinya dengan
menyebutkan sanad-sanad lain dan menunjukkan matan dengan
ungkapan “mitslahu” atau “nahwahu”, tanpa menyebutkan redaksi
matan hadis
3. Menampilkan semua sanad bersama matan masing- masing.
Hal ini dilakukan oleh Imam al-Tirmidzî dengan menampil- kan satu
sanad hadis bersama matannya, kemudian sanad hadis yang lain
bersama matannya pula. Dengan cara ini, seakan-akan terjadi
pengulangan periwayatan hadis. Pengulangan ini dilakukan karena
adanya tambahan kata-kata dalam matan hadis, atau perbedaan di
antara para periwayat hadis. Terkadang hal itu dimaksudkan untuk
menjelaskan ‘illah hadis
4. Menunjukkan adanya jalur sanad lain.
Dalam banyak kasus, Imam al-Tirmidzî cukup memberi isyarat
adanya beberapa hadis karena beberapa sanad tersebut sudaj masyhur
di kalangan ulama.

D. Sunan al-Nasa’i
Nama lengkap penulis kitab ini adalah Abu Abdirrahman Ahmad bin
Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan An-Nasa’I. Imam Nasa’I pertama menulis
kitab yang berjudul As-Sunan Al-Kubrokemudian diringkas dengan penguasa

10
Ramlah kala itu, kemudian menjadi As-Sunan As-Sughro. Dikarenakan Imam
Nasa’I melakukan talaah kembali atas kitab beliau, maka sebagian ulama
mengatakan bahwa telaah beliau sangat teliti dan menempati derajat
Hadissesudah Bukhari dan Muslim. Juga kitab ini istimewa karena sedikitnya
Hadisdhoif dan maudhu di dalamnya. Kitab ini menampung 5270 Hadis.5
Kitab Sunan al-Nasâ’î dikenal dengan tiga nama:216 Pertama, Al-
Mujtabâ, artinya dipilih. Dinamai demikian karena Imam al-Nasâi memilih dan
menyeleksi hadis-hadis dalamkitab ini dari kitab al-Sunan al-Kubrâ. Kedua, al-
Sunan al-Sughra. Nama ini diberikan oleh beberapa ulama, antara lain: al-Suyuthi,
Ibn al-Amad, dll. Nama ini diberikan utk membedakannya dari kitab al-Sunan al-
Kubrâ. Ketiga, Sunan al-Nasâ’î. Nama ini berasal dari isi kitab, yang sistematika
pembahasannya mengikuti tema fiqh. Nama ini dikenal setelah tersebarnya
cetakan kitab ini.
Periwayat yang mendapatkan kitab hadis ini dari Imam al- Nasâ’î
hanyalah Ibn Sunnî Abû Bakr Ahmad Muhammad, yang mendengarkan hadis dari
Imam al-Nasâ’î di Mesir pada 302 H. ‘Umar Îmân Abû Bakr, sebagaimana yang
dikutip oleh Muhammad muhammadî, mengatakan: “hal ini menurutku merupa-
kan rahasia ketersendirian Ibn al-Sunni dalam meriwayatkan al- Mujtabâ dari
Imam al-Nasâ’î. Sehingga sebagian ulama menduga bahwa Ibn Sunnî-lah yang
meringkasnya. Padahal Imam al-Nasâ’î sendiri yang memilih hadis-hadis ini dari
kitab Sunan al-Kubrâ, beberapa bulan sebelum beliau keluar dari Mesir, dan tidak
mungkin murid-muridnya mendengarkan isi kitab al-Mujtabâ dari Imam al-Nasâ’î
kecuali Ibn al-Sunni, karena kedekatan dan kebersamaannya. Imam al-Nasâ’î
wafat setelah keluarnya dari Mesir pada awal tahun 303 H. Dengan demikian,
orang yang meriwayatkan kitab al-Mujtabâ dari Imam al-Nasâ’î hanyalah Ibn al-
Sunnî. Selanjutnya, dari Ibn al- Sunnî ini hanyalah Abû Nashr Ibn al-Kisâr yang
meriwayatkannya, dan dari Ibn al-Kisâr ini hanya ‘Abd al-Rahmân. Hamd al-
Dawnî yang meriwayatkannya, dan dari ‘Abd al-rahmân inilah kitab ini tersebar.
Ketika Imam al-Nasâ’î memperkenalkan kitab al-Sunan al- Kubrâ, salah
seorang Amîr bertanya kepada Imam al-Nasâ’î Abû ‘Abd al-Rahmân tentang
Kitab al-Sunan al-Kubrâ: Apakah seluruh hadis dalam kitab itu shahih? Imam
Nasâ’î menjawab: tidak. Maka Amir tersebut berkata: tuliskan untukku kitab yang

5
DI Permana, DH Imawan, Pembahasan Seputar Muhaddis, Tadwin Hadis, dan Kutub As-Sittah. Vol. 8 (2022), h.
14.

11
hanya berisi hadis-hadis shahih. Maka Imam Nasâ’î pun menyusun kitab al-
Mujtabâ, yakni dipilih dari kitab al-Sunan al-Kubrâ, dengan meninggalkan hadis-
hadis dalam al-Sunan al-Kubrâ yang sanad- nya masih diperbincangkan karena
mengandung ‘illah (cacat).
Terkait penulis kitab al-Mujtabâ, ada dua pendapat: Pendapat pertama,
penulis kitab al-Mujtabâ bukanlah imamal-Nasâ’î tetapi Ibn al-Sunnî, sang
periwayat kitab al-Sunan al- Kubrâ. Orang inilah yang menyeleksi hadis dari kitab
al-Sunan al- Kubrâ. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Dzahabî, Tâj al-Dîn Ibn al-
Subkî, dan Ibn Nâshir al-Dîn al-Dimasqi. Pendapat kedua, Penulis kitab al-
Mujtabâ adalah Imam al- Nasâ’î sendiri. Pendapat kedua ini terpecah menjadi 2
lagi:
1. Kitab al-Mujtabâ merupakan hadis-hadis pilihan dari kitab al- Sunan al-
Kubrâ. Imam al-Nasâ’î sendiri yang melakukannya. Ini merupakan
pendapat mayoritas (jumhûr) ulama ahli hadis, di antara mereka: Ibn al-
Atsîr, Ibn Katsîr, al-‘Irâqî, al- Sakhâwî, dan lain-lain.
2. Kitab al-Mujtabâ bukan merupakan kitab hadis pilihan dan ringkasan dari
al-Sunan al-Kubrâ, tetapi salah satu pe- riwayatan di antara periwayatan-
periwayan Sunan al-Nasâ’î, yang hanya diriwayatkan oleh Ibn al-Sunnî.
Pendapat ini dikemukakan oleh Dr. Sa’d. Abdillah al-Humayyid. Jadi
pendapat ini memandang bahwa kitab Sunan al-Nasâ’î diriwayatkan secara
berbeda-beda di antara para periwayat-nya: ada yang meriwayatkannya
sangat lengkap seperti al-Sunan al-Kubrâ, ada yang meriwayatkannya
secara tidak lengkap seperti al-Sunan al-Kubrâ, dan kitab al-Mujtabâ
adalah periwayatan kitab Sunan al-Nasâ’î versi Ibn al-Sunni.

E. Sunan Abu Dawud


Imam Abu Dawud memiliki nama lengkap Sulaiman bin Asy’ats bin
Ishaq bin Syaddad bin Amr bin Al-Azdi Asy-Syaibani. Dinamakan kitab Sunan
dikarenakan secara umum Abu Dawud hanya memasukkan Hadisyang berkenaan
dengan hukum fiqih saja, dan sedikit Hadis yang berkaitan pembahasan lain.
Beliau telah menghafal dan menulis 500.000 Hadis Nabi, lalu menyeleksi hanya
4.800 Hadisshahih atau mendekati shahih saja untuk dimasukkan dalam
sunannya. Banyak ulama berpendapat bahwa sunan Abu Dawud adalah kitab

12
pokok untuk memahami fiqih karena begitu dalam dan banyaknya kandungan
fiqih dari kitab beliau.
Kitab hadis ini terkenal dengan nama al-Sunan atau Sunan Abî Dâwud.
Imâm Abû Dâwud sendirilah yang menamai kitab hadisnya dengan nama “al-
Sunan”. Dalam risalah yang ditulis untuk penduduk Makkah dalam menjelaskan
kitab hadisnya, ImamAbû Dâwud beberapa kali menyebut kitabnya ini dengan
nama al- Sunan. Banyak orang yang meriwayatkan kitab Sunan ini dari Abû
Dâwud, tetapi yang paling terkenal di antara mereka ada lima orang, yakni: Abû
Muhammad b. Ahmad b. ‘Amr al-Lu’lu’î al-Bashrî (w. 333 H), Abû Bakr
Muhammad b. Bakr b. Muhammad b. ‘Abd al- Razzâq b. Dâsah al-Tammâr al-
Bashrî (w. 346 H), Abû ‘Îsâ Ishâq b. Mûsâ al-Ramlî Warrâq Abî Dâwud (w. 320
H), Abû Sa‘îd Ahmad b. Muhammad b. Ziyâd al-A‘râbî (w. 340 H), Abû al-Hasan
b. ‘Alî b. al- Hasan b. al-‘Abd al-Anshârî (328 H). Dari lima periwayat tersebut,
dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Riwayat kitab Sunan Abû Dâwud yang paling
terkenal, paling banyak beredar dan paling shahih ialah riwayat al-Lu’lu’î. 2)
Berikutnya ialah riwayat Ibn Dâsah. Riwayat Ibn Dâsah adalah riwayat yang
paling sempurna, di dalamnya ada tambahan-tambahan hadis dari lainnya.
Beberapa ulama memuji periwayatannya. Ibn Dâsah memiliki tulisan. 3) Riwayat
al-Lu’lu’î beredar di negeri-negeri timur, sedang riwayat Ibn Dâsah beredar di
negeri-negeri barat. 4) Periwayatan Ibn al-A‘râbî ada kekurangan (tidak lengkap),
yang dapat diketahui dari periwayatan-periwayatan lainnya, sebagaimana juga ada
tambahan-tambahan hadis yang tidak berasal dari kitab Sunan. 5. Periwayatan Ibn
al-‘Abd, di dalamnya terdapat tambahan- tambahan komentar tentang para
periwayat dan sanad- sanadnya. 6. Periwayatan al-Ramlî hampir sama dengan
periwayatan Ibn Dâsah. Hanya saja periwayatannya ini tidak disebutkan oleh al-
Mizzî dalam kitab Tuhfat al-Asyrâf.
Imam Abû Dâwud telah menjelaskan syarat-syarat dalam menyusun kitab
Sunan-nya. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Pada umumnya, menghimpun hadis-hadis hukum yang paling shahih yang ia
ketahui.
2. Tidak meriwayatkan hadis dari orang-orang yang matrûk.
3. Hanya meriwayatkan hadis-hadis yang masyhur.
4. Meriwayatkan hadis mursal jika dalam bab tersebut tidak ada hadis lain,
karena kesesuaiannya dengan tema.

13
5. Berkomitmen untuk menjelaskan hadis-hadis yang sangat dha‘îf.
6. Hadis-hadis yang tidak diberi penjelasan kedha‘ifannya adalah hadis yang
shâlih (layak).
Imam al-Nasâ’î tidak menjelaskan syarat-syarat dalam penyusunan
kitabnya, juga tidak memerinci metode/manhaj yang diikutinya. Karena itu, sulit
menentukan secara pasti mengenai syarat-syarat dan manhaj penyusunan kitab
Sunan al-Nasâ’î, se- hingga memunculkan beragam pandangan di kalangan ulama
me- nyangkut syarat Imam al-Nasâ’î dalam menyusun kitabnya. Secara umum,
pandangan ulama tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
Kelompok pertama, kelompok yang memandang bahwa Kitab Sunan al-Nasâ’î
adalah termasuk kitab shahih. Bahkan mereka menamainya kitab Shahîh. Di
antara ulama yang menamai kitab Sunan al-Nasî (al-Mujtabâ) sebagai kitab
Shahîh adalah Ibn Mandah, Ibn al-Sakan, Abû ‘Alî al-Nîsâbûrî, al-Dâruquthnî, Ibn
‘Adî, Abû Ya‘lâ al-Khalîlî, al-Khathîb al-Baghdâdî, ‘Abd al-Ghanî b. Sa‘îd dan
al-Dzahabî. Kelompok kedua, kelompok orang yang berpandangan bahwa Imam
al-Nasâ’î meriwayatkan hadis orang-orang yang tidak disepakati untuk
ditinggalkan (man lam yujma‘ ‘alâ tarkih). Ibn Mandah, sebagaimana yang dikutip
oleh al-Maqdisî, berkata: Syarat Imam al-Nasâ’î adalah meriwayatkan hadis
orang- orang yang tidak disepakati untuk ditinggalkan, jika hadis tersebut benar-
benar bersambung sanadnya, tidak terputus sanadnya, dan hal semacam ini
termasuk shahih. Kelompok ketiga, kelompok yang berpandangan bahwa hadis-
hadis Sunan al-Nasâ’î kebanyakan adalah hadis shahih dan hasan, tetapi juga ada
yang dha‘îf dan munkar. Hanya saja jumlahnya saangat kecil dibandingkan hadis-
hadis shahih dan hasan. Pendapat kelompok ketiga ini dinilai Muhammadî sebagai
pendapat yang paling kuat. Dengan demikian, secara umum, kitab Sunan al-Nasâ’î
adalah kitab setelah kitab Shahîhayn yang paling sedikit hadis dha’îfnya dan
sedikit periwayatnya yang cacat. Status kitab ini dekat dengan kitab al-Jâmi‘ al-
Tirmidzî dan Sunan Abû Dâwud.

14
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pernyataan di atas, antara Imam al-Bukhari dengan Imam Muslim sama-sama
memiliki kriteria yang bagus dalam kepenulisan hadits. Keinginn Imam al-Bukhari untuk
menulis kitab bukanlah tanpa alasan. Ada beberapa aspek yang mendorong beliau untuk
akhirnya menulis kitab, salah satunya adalah adanya motivasi dari guru beliau. Imam Muslim
sendiri juga memiliki kitab yang berkualitas shahih sama dengan Imam Bukhari. Beliau juga
menggunakan metode yang bagus sehingga keshahihannya dapat dipertanggungjawabkan.
Para ulama’ juga mengakui beberapa kelebihan dari kitab Imam Muslim salah satunya adalah
Seleksi dan akumulasi sanadnya sangat teliti, tidak tertukar-tukar, tidak lebih dan tidak
kurang.

15
Daftar Pustaka

Kasman, K. (2015). al-Kutub al-Sittah: Sejarah dan Manhaj Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibn
Majah.

Kholis, Nur. “Shahih Al-Bukhari”, (Majalah As-Sunnah: 2012).


Marzuki, Marzuki. “Kritik Terhadap Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim”.
Permana, D. I., & Imawan, D. H. (2022). Pembahasan Seputar Muhaddis, Tadwin Hadis, dan
Kutub As-Sittah. Holistic al-Hadis, 8(2), 121-139.

Syakhrani, A. W. (2022). Kitab-Kitab Hadist Sesudah Abad ke 3 H. MUSHAF JOURNAL:


Jurnal Ilmu Al Quran dan Hadis, 2(1), 1-12.

16

You might also like