You are on page 1of 9

GIRING-GIRING PERAK (PERANG PARIAMAN -1)

Parang Pariaman Bagian 1


Giring-giring Perak akhirnya mendapatkan kenyataan-kenyataan yang amat tragis dan sekaligus
membahagiakan dirinya di goa Bukit Tambun Tulang. Kenyataan tragis pertama adalah
terbunuhnya Puti Nuri. Gadis bangsawan dari Lima Kaum yang telah menatap sejak lama
bersama orang tuanya Raja Tuo di Kampung Pisang.

Tragedi kedua adalah ketika dia berhasil membunuh Harimau Tambun Tulang. Ternyata kepala
penyamun Bukit Tambun Tulang yang namanya sudah amat tersohor itu tak lain tak bukan
daripada gurunya sendiri! Guru yang amat menyayanginya. Yang membesarkan dan
mengajarkan padanya segenap ilmu silat dan ilmu sirat. Guru yang mengajarkan padanya agar
selalu berbuat kebaikan, membela yang benar dan menumpas kejahatan. Guru yang telah
dianggapnya sebagai ayah dan ibunya.

Tetapi ada dua hal pula yang membahagiakan dirinya. Pertama, dia bertemu di goa itu dengan
ibu kandungnya. Perempuan tabah melahirkannya ke permukaan bumi. Yang ditawan dalam goa
itu selama lebih dari dua puluh tahun. Dan kedua, Siti Nilam, gadis pengungsi dari Pariaman itu,
yang diam-diam mereka saling mencintai, masih hidup meski telah terperangkap dalan goa itu
sebelum dia tiba.

Namun di saat terakhir mereka akan meninggalkan goa itu, goa tersebut runtuh. Kunci rahasia
yang mampu meruntuhkan goa itu ternyata telah dicabut oleh Harimau Kumbang sesaat sebelum
dia meninggal. Mereka terkurung dalam kamar serba biru yang selama belasan tahun dihuni oleh
Puti Bergelang Emas, bangsawan dari Pagaruyung, ibu si Giring-giring Perak.

Suara berderam gemuruh mengeletarkan seluruh goa. Si Giring-giring Perak yang tengah
memangku tubuh ibunya yang kurus dan lemah, tertegak kaku. Demikian juga Tuanku Nan
Renceh, Raja Tuo dan Datuk Sipasan. Siti Nilam tegak di dekat Giring-giring Perak.

Mereka menatap langit-langit goa dimana mereka berada. Lantai goa itu bergoyang. Pintu keluar
ke arah ruangan latihan besar itu runtuh dengan suara menegakkan bulu roma. Dan pintu ke sana
tertutup rapat oleh jutaan ton bebatuan dan tanah. Debu memenuhi ruangan tersebut.

“Ya Allah, ya Akbar! Mereka membuat goa ini sebagai kuburan kita….” Tuanku Nan Renceh
terdengar berkata perlahan.
Goncangan dan suara gemuruh berjatuhannya batu dan langit-langit goa masih terdengar. Dan
tiba-tiba sebahagian langit-langit goa dimana mereka berada juga ikut runtuh.
“Kita terperangkap….” terdengar Raja Tuo berseru.

Ketiga lelaki itu, Tuanku Nan Renceh, Datuk Sipasan dan Raja Tuo segera berusaha mencari
celah atau jalan keluar. Raja Tuo dengan masih tetap memangku mayat anaknya Puti Nuri,
berusaha meneliti tiap senti dinding. Namun mereka sia-sia mencari jalan keluar.
Giring-giring Perak sudah dua kali melompat menghindari runtuhnya langit-langit goa tersebut.
“Ini ada sedikit cahaya…!!” tiba-tiba terdengar suara Tuanku Nan Renceh.

Mereka mendekat ke tempat itu. Dan di antara reruntuhan bebatuan dan tanah, seberkas cahaya
menembus masuk. Namun masih tetap tak bisa keluar. Cahaya itu jauh sekali di antara
reruntuhan.

“Menghindarlah…..” tiba-tiba si Giring-giring Perak terdengar bersuara. Dia ternyata telah


meletakkan ibunya di lantai yang beralas permadani. Perempuan itu dipeluk oleh Siti Nilam.
Ketiga lelaki itu mundur, si Giring-giring Perak berdiri sedepa dari berkas cahaya yang kelihatan
itu. Mulutnya menggurimin membaca doa. Dan perlahan, semua yang ada dalam ruangan itu
melihat betapa asap tipis mengepul dari kepala anak muda itu.

Kemudian kedua belah tangannya menjadi merah. Mula-mula dari pangkal lengan. Cahaya
merah seperti besi terbakar itu menjalar perlahan, ke lengan, lalu memenuhi seluruh jari jemari.
Tuanku Nan Renceh dan kedua temannya benar-benar merasa takjub. Mereka sudah banyak
mendengar dan bahkan belajar ilmu batin. Namun yang seperti ini, yaitu ilmu Al Kurdsi ini, baru
kali ini mereka melihatnya.

Sementara itu Giring-giring Perak membuat kuda-kuda dengan memajukan kaki kanannya ke
depan. Tangannya yang kiri mengepal. Yang kanan terbuka dengan jari-jari rapat. Lalu yang
kanan ditarik sejajar dengan tubuh. Dan…. dengan menyebut Allahuakbar, tangan kanannya
mendorong ke depan.

Sepuputan tenaga yang amat dahsyat, menghantam bebatuan di depannya. Terdengar suara
gemuruh, dan bebatuan itu melesak menghantam dinding. Kemudian hal yang tak termakan oleh
akal itupun terjadilah. Dinding goa itu jebol, bebatuan yang tadi menghalang, terhempas dan
terpukul jauh ke luar. Sebuah lobang sebesar drum kelihatan pada bekas kena hantam tenaga
raksasa itu. Akibatnya goncangan bahagian yang lemah dari langit-langit runtuh.

Reruntuhannya menghantam tempat ibunya berada bersama Siti Nilam. Tanpa memutar tegak,
tangan kanannya mengibas ke arah batu langit-langit yang tengah meluncur turun dan hanya
tinggal sehasta dari ubun-ubun Siti Nilam. Tuanku Nan Renceh, Raja Tuo dan Datuk Sipasan
sampai berpeluh melihat runtuhnya batu itu. Mereka yakin kedua perempuan itu takkan
tertolong.

Namun di saat kritis itulah tenaga pukulan tangan Giring-giring Perak datang menghantam. Batu
besar yang tengah meluncur turun itu terhantam. Tak ada suara, tak ada apa-apa. Hanya saja batu
besar itu terhantam berobah arahnya, membentur dinding, dan….jatuh ke lantai dalam bentuk
debu!

“Cepat keluarlah….duluan, saya menjaga di sini….” Giring-giring Perak berkata. Dan


ucapannya menyadarkan semua mereka, bahwa mereka harus keluar dari sana dengan segera.

Tuanku Nan Renceh yakin anak muda ini akan mampu menolong ibunya. Karena itu dia segera
bergerak cepat. Dalam beberapa gerakan saja, tubuhnya sudah berada di luar goa. Dan dalam
waktu singkat, Raja Tuo dan Datuk Sipasan juga sampai di sana. Raja Tuo memangku mayat
anaknya, Puti Nuri yang tubuhnya dipenuhi anak panah.

Dan tak lama setelah mereka berada di luar, Giring-giring Perak pun tiba sambil kedua
tangannya memangku tubuh ibunya dan tubuh Siti Nilam. Suara berderam dan goncangan yang
hebat terasa di tanah tak lama setelah mereka berada di luar. Pepohonan bergoyang, malah
banyak yang rubuh. Tanah berbukit di depan mereka tiba-tiba seperti tersedot ke bawah. Kayu
malang melintang. Debu tipis mengepul. Satwa yang ada di sana bertemperasan. Kemudian sepi!
Parang Pariaman (bagian 2)
Hal itu mereka buktikan ketika terjadi perang antara pengikut Tuanku Nan Renceh dengan
Belanda di Kamang. Tanpa diduga, mereka datang membantu. Pasukan Tuanku Nan Renceh
yang semula sudah terjepit, tiba-tiba mendapat bantuan.

Belanda yang mengepung tiba-tiba ditikam dari belakang oleh pasukan bekas para penyamun ini.
Belanda lari terbirit-birit meninggalkan banyak sekali korban. Mereka juga membantu orang
Pariaman yang berperang melawan Inggeris di Pariaman. Mereka memang memilih jadi petani,
nelayan atau pedagang. Namun setiap saat mereka siap terjun ke medan pertempuran melawan
penjajah.

Mereka memang orang yang terlatih dalam perang tradisional dalam rimba. Raja Tuo kembali ke
kampung Pisang. Sementara si Giring-giring Perak menikah dengan Siti Nilam dan memutuskan
untuk berdiam di kampung isterinya itu, di suatu desa tak jauh dari Pariaman.

Begitulah kisah hancurnya penyamun di Bukit Tambun Tulang. Tapi itu bukan berarti
berakhirnya kejahatan di berbagai tempat di Minangkabau saat itu. Itu bukan berarti berakhirnya
penderitaan rakyat.

Indonesia ternyata harus memperpanjang masa deritanya di bawah cengkeraman penjajah yang
satu ke penjajah yang lain. Belanda, Inggeris, Portugis, datang silih berganti menjajah negeri ini.
Dan di zaman Giring-giring Perak ini, Inggeris sempat membuat jejak berdarahnya di
Minangkabau, terutama di bahagian pesisir pantai, PARIAMAN!.

Penduduk Pariaman yang terkenal berdarah panas itu kali ini dihadapkan pada teror dari pasukan
Inggeris yang baru saja didatangkan dari Eropah. Yaitu pasukan yang memenangkan perang
melawan Napoleon dari Perancis.
Pariaman di suatu hari sekitar tahun 1800. Saat itu, Minangkabau sudah berada di bawah
kekuasaan Inggeris. Sebab tahun 1793 benua Eropah dijilat api peperangan. Napoleon yang
tengah berkuasa di Perancis dan Belanda terlibat perang dengan kerajaan Inggeris.

Perang di Eropah menyebabkan seluruh daerah jajahan ketiga bangsa itu juga berperang.
Pimpinan Inggeris di Calcutta, India yang membawahi Benua Asia memerintahkan angkatan
lautnya merebut wilayah Sumatera Barat yang kaya dengan emas dan rempah-rempah dari
tangan Belanda.

Tahun 1795 itu, angkatan perang Inggeris mendarat dan segera dapat merebut pos-pos Kompeni
(V.O.C) di Padang tanpa perlawanan yang berarti. Dengan jatuhnya pos-pos Belanda di Padang,
maka pos-pos mereka di daerah pesisir seperti di Salido, Painan, Pariaman dan Tiku juga
menyerah pada Inggeris.

Sejak tahun 1795 itu, bermulalah penjajahan Inggeris atas pesisir Minangkabau. Kekuasaan
Inggeris ini kelak akan berakhir pada tahun 1819. Daerah ini dikembalikan kepada Belanda
berdasarkan perjanjian London tahun 1814 antara Inggeris dan Belanda tentang daerah
jajahannya di Hindia Belanda.
Parang Pariaman (bagian 3)
HARI alangkah panasnya. Dalam terik yang membakar itu, dua puluh pasukan yang
menunggang kuda bergerak di bawah pohon kelapa. Mereka adalah pasukan berkuda tentara
Inggeris. Dengan pedang di pinggang, dan senjata api panjang tergantung di sisi pelana, pasukan
berseragam baju merah, celana putih dan bertopi tinggi berjambul ini kelihatan seperti sesuatu
yang asing di tengah kesederhanaan penduduk Pariaman.

Penduduk menatap mereka dengan diam. Menatap tentara penjajah itu dengan tatapan yang
mengandung misteri. Kedua puluh pasukan berkuda itu berjalan menyusur tepi pantai arah ke
selatan. Di depan sekali, seorang perwira yang masih muda berpangkat letnan berjalan sendirian.
Enam depa di belakangnya, barulah pasukannya yang dua puluh itu menyusul dalam barisan dua-
dua.

Tak begitu lama berkuda, mereka sampai di tempat yang dituju. Sebuah Perguruan.
Perguruan itu cukup besar. Dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari kayu setinggi dua meter.
Untuk masuk ke dalam ada dua pintu. Pintu pertama arah ke Timur, arah ke matahari terbit.
Tepatnya arah ke darat. Sedangkan pintu satu lagi menghadap arah ke pantai.
Di pintu arah ke pantai inilah kini kedua puluh serdadu berkuda itu tegak. Setiap orang tahu,
bahwa perguruan yang dipagar dengan kayu setinggi dua meter itu adalah perguruan silat
terbesar yang ada di Minangkabau saat itu. Itulah perguruan Silat Sunua. Yang melahirkan Silat
Jantan dan Silat Betina.

Di sini pulalah tempat asalnya Silat Ulu Ambek. Yaitu silat “paripurna” bagi yang telah masak
dalam ilmu lahir dan bathin. Perguruan silat ini berada di bawah perguruan Islam yang dipimpin
oleh murid-murid almarhum Syekh Burhanuddin. Syekh ini membuka perguruan Islam di
Ulakan pada abad 17. Dan karena penyebaran Islam saat itu amat sulit, maka diperlukan
mempelajari ilmu bela diri, maka Syekh itu mendirikan perguruan silat di Sunua.

Saat peristiwa itu terjadi, Syekh itu sudah lama meninggal. Yang memimpin adalah muridnya
yang bernama Anduang Ijuak. Dia seorang penganut Tarikat yang tersohor. Berilmu tinggi dan
amat disegani lawan dan kawan.
Kedatangan pasukan berkuda itu disambut oleh enam orang murid Anduang Ijuak. Keenam
mereka, semua lelaki yang bertubuh biasa-biasa saja, tegak dengan berpeluk tangan di depan
gerbang perguruan. Menatap dengan tenang pada pasukan berkuda yang kelihatannya mewah itu.
Tatapan mereka biasa-biasa saja. Tak tergambar sama sekali bahwa mereka adalah orang jajahan.
Atau tepatnya tak tergambar sedikitpun bahwa mereka takut menghadapi pasukan berkuda
Inggeris itu.

Namun demikian, pimpinan pasukan Inggeris itu, si Letnan yang barangkali usianya belum
cukup 23 tahun, memajukan kudanya ke depan. Lima depa dari pintu gerbang di mana murid-
murid perguruan Sunua itu tegak, dia menghentikan kudanya.
“Selamat siang….” Letnan itu membuka pembicaraan. Tak ada yang menyahuti ucapannya.
“Bolehkah kami masuk menemui pimpinan kalian?” Masih tak satupun yang menyahuti. Ke 20
anggota pasukan letnan itu menatap dengan diam. Meski mereka agak tersinggung karena
ucapan komandan mereka tak disahuti, tapi sewaktu akan berangkat dari Loji tadi mereka telah
diberi peringatan.
Kapten Calaghan yang menjadi komandan mereka untuk Loji ( pos ) Pariaman dan Tiku
memesankan benar agar mereka tak berlaku kasar pada murid-murid perguruan itu. Mereka
dilarang untuk memancing kekeruhan. Dan peringatan itu diberikan karena jumlah mereka di
Pariaman dan tiku hanya seratus orang. Ya, hanya seratus orang.

Jumlah itu memang besar. Tapi kalau rakyat sempat membentuk kekuatan dengan jumlah dua
atau tiga ratus, maka itu akan memayahkan Inggeris.
Sementara itu, perasaan Letnan muda itu juga jadi tak sedap ketika tak seorangpun di antara yang
berenam itu menyahuti ucapannya.

“Apakah tak seorangpun di antara tuan-tuan yang mengerti apa yang saya ucapkan?” katanya
mulai meninggi.
“Tak seorangpun yang akan menyahuti tuan, selagi tuan bicara di atas punggung kuda itu”. salah
seorang murid perguruan Sunua itu menjawab dengan nada datar.
Si letnan menatapnya. Lelaki yang menjawab itu bertubuh biasa-biasa saja. Rambutnya panjang
dan diikat di belakang. Dijalin dua. Mode rambut yang saat itu sangat lazim bagi setiap lelaki.

“Saya harus turun?” Letnan itu balik bertanya.


“Tidak harus. Tuan bisa tetap di atas punggung kuda tuan dan silahkan berangkat dari sini….”,
murid perguruan itu menjawab lagi.
Wajah Letnan itu jadi merah padam. Dia menoleh pada anak buahnya. Dan kedua puluh anak
buahnya memang telah waspada.
“Hati-hati bicara. Tuan bisa saya seret ke Loji dan saya penjarakan di sana….” desis letnan itu
tajam.

Betapapun dia diperingatkan oleh komandannya di Loji tadi untuk bersabar, namun menghadapi
murid-murid Perguruan Silat ini Letnan yang masih muda itu tak dapat menahan emosi. Sebagai
seorang perwira dia cukup ditakuti dalam pasukannya. Dan, kini, pribumi yang jelas berada di
bawah jajahan Inggeris berlaku kurang sopan padanya. Bukankah itu keterlaluan?
Murid perguruan silat Sunua itu tak menyahut. Ekspresi dan sinar mata mereka tetap seperti tadi.
Tak merasa gentar dan tidak pula ada kesombongan. Yang mereka ucapkan adalah kebenaran
semata.

Mereka tahu dengan pasti, bahwa yang berada di hadapan mereka ini adalah pasukan berkuda
kerajaan Inggeris. Pasukan dari suatu bangsa yang merajai lautan. Yang memiliki negeri jajahan
paling luas di permukaan bumi. Mereka tahu hal itu dengan pasti. Namun itu bukan berarti
mereka harus terbungkuk-bungkuk untuk menghormat dan harus merasa rendah diri. Betapapun
jua, negeri ini adalah negeri tumpah darah mereka.
Sebenarnya, penduduk Pariaman ini telah beberapa kali berperang dengan Inggeris, Belanda dan
Portugis. Namun karena kurangnya persatuan, mereka selalu dikalahkan.
Parang Pariaman (bagian 16)
Dari punggung kudanya Giring-Giring Perak melihat banyak sekali mayat penduduk Pariaman
bergelimpangan. Perang menjadi sangat tidak berimbang ketika penduduk bersenjata parang,
tombak, panah, kelewang atau keris berhadapan dengan peluruh senapan dan peluru
meriam.“Kesaktian” para pesilat seperti diredam oleh terkaman peluru. Tiba-tiba dia
menghentikan kudanya. Melihat ke arah pantai. Di sana sebuah kapal Inggeris yang cukup besar
tenggelam. Yang kelihatan muncul dari laut hanya bahagian kamar komando dan tiang bendera.
Pada tiang bendera itu masih terikat bendera Inggeris yang melambai lemah ditiup angin pagi.

Giring-Giring Perak kembali menatap beberapa mayat yang tak jauh dari tempatnya. Dia seperti
mengenal wajah beberapa dari mayat tersebut. Dia coba mengumpulkan ingatan, lalu tiba-tiba
dia ingat wajah-wajah itu.Apa yang terjadi sehingga mayat-mayat bertebaran di Pariaman? Kabar
akan digantung nya Sidi Buang, Anduang Ijuak dan Gindo Fuad itu sebenarnya sudah lama
menyebar. Kabar itu sampai ke telinga seratusan anggota Datuk Sipasan dan ratusan anggota
Harimau Tambun tulang yang selamat dari runtuhnya Bukit Tambun tulang.Baik anggota Datuk
Sipasan maupun bekas anak buah Harimau Tambun tulang itu bermukim di sekitar
Padangpanjang, Tanah Datar, Bukittinggi dan Kayutanam. Mereka hidup sebagai petani. Saat
mendengar Inggeris kembali menyulut permusuhan dengan Sunua dan Ulakan, diam-diam
mereka berdatangan.

Dan…sesaat sebelum Sidi Buang, Anduang Ijuak dan Gindo Fuad digantung, mereka berjibaku
menyerang loji itu. Serangan yang mendadak dan amat di luar dugaan yang dilakukan lebih dari
tiga ratusan orang yang mahir berperang itu membuat Inggeris kalang kabut.Ketiga orang yang
akan digantung itu bisa dibebaskan oleh ratusan orang yang menyerang. Saat Uwak Sanga yang
lari terbirit-birit akan masuk barak perwira di areal loji itu, dia mendengar suara dari
sampingnya.

Tidak seorangpun di antara tentara Inggeris yang tahu, bahwa orang yang berada di punggung
kuda itu beberapa tahun yang lalu pernah menghancurkan batu cadas yang menjadi dinding
Bukit Tambun Tulang.Saat jarak antara orang berkuda itu sampai ke loji hanya lima belas meter.
“Tembak…!” ujar Galaghan tegas.
“Tembaaak….!!” pekik Cory.Pemantik sumbu meriam mendekatkan api ke lobang sumbu
meriam. Belasan tentara di atas loji memasukkan jari tunjuk mereka ke pelatuk, untuk
menembak.

Saat itu pula Giring-Giring Perak yang telah menghimpun tenaga, mengangkat kedua tangan
setinggi dada. Kemudian dengan dua telapak tangan menghadap ke depan, dia seperti mendorong
sesuatu yang amat berat.Lalu, terjadilah apa yang harus terjadi.Sedetik sebelum api memicu
sumbu meriam, sedetik sebelum pelatuk belasan bedil ditarik serdadu di atas loji, sepuputan
tenaga yang hebatnya sukar untuk di gambarkan dengan kata-kata, menghantam lobang tiga
meriam di dinding loji yang terbuat dari kayu sebesar paha dan batang kelapa itu.
Hantaman tenaga dalam yang amat dahsyat itu menjungkalkan ketiga meriam yang sudah terpicu
di balik pagar kayu besar itu. Sesaat sebelum tiga meriam berikut selusin tentara di dekatnya
tercampak membentur dinding jauh di belakangnya, salah satu meriam itu meledak saat
moncongnya menghadap ke atas.
Ledakannya menghancurkan tubuh Kapten Galaghan, Letnan Corry dan selusin tentara di
dekatnya. Meriam yang dua lagi meledak saat moncongnya terputar ke arah gudang mesiu.
Sekitar satu ton mesiu di gudang itu meledak.

Gelegar akibat ledakan beruntun membahan menghancur leburkan hampir seluruh loji yang amat
ditakuti itu.Membunuh lebih dari lima puluh tentara Inggeris yang tersisa dari perang bersosoh
kemaren! Api dan asap tebal membubung dari loji yang ditakuti sekaligus amat dibenci orang
Pariaman itu. Beberapa ekor kuda yang masih hidup lari bertemperasan.Orang-orang Pariaman
terkejut mendengar ledakan yang mengguncang bumi itu.

Di akhir abad ke 18, Napoleon, Kaisar Prancis yang juga berkuasa atas Belanda, menyerang
Kerajaan Inggeris. Dengan demikian Inggeris menghadapi dua musuh dari dua negara, Prancis
dan Belanda. Perang di jantung Eropah itu sekaligus menyulut perang satu lawan dua negara
tersebut di diseluruh jajahannya di dunia.Di Eropah, tentara Inggeris berhasil memenangkan
pertempuran melawan tentara Napoleon dan Belanda. Pasukan Inggeris yang menang melawan
tentara Napoleon inilah yang dikirim ke pulau-pulau di berbagai samudera, termasuk Indonesia
yang saat itu masih bernama Hindia Belanda.

Menang melawan Napoleon di Eropah, pimpinan Inggeris di Calcutta, India, yang membawahi
Benua Asia memerintahkan angkatan lautnya merebut wilayah Sumatera Barat yang kaya
dengan emas dan rempah-rempah dari tangan Belanda.Angkatan perang Inggeris mendarat di
pantai Barat Sumatera pada Tahun 1795, adan segera berhasil merebut pos-pos (loji) Kompeni
(V.O.C) di Padang tanpa perlawanan yang berarti. Dengan jatuhnya pos-pos Belanda di Padang,
maka pos-pos mereka di daerah pesisir seperti di Salido, Painan, Pariaman dan Tiku juga
menyerah pada Inggeris.Sejak tahun 1795 itu, bermulalah penjajahan Inggeris atas pesisir
Minangkabau. Saat itulah remuknya loji dan pasukan Inggeris di Pariaman dalam episode
“perang pariaman” ini terjadi.

Sejarah dunia mencatat, daerah-daerah yang semula dikuasai Belanda kemudian direbut oleh
Inggris seperti Padang, Salido, Painan, Pariaman dan Tiku, termasuk Bengkulu, akhirnya
berdasar perjanjian atau dikenal dengan “Traktat London” Tahun 1814 dikembalikan lagi kepada
Belanda.Akibat luasnya lautan, sementara mesin kapal belum ditemukan dan karenanya kapal-
kapal perang baru memakai layar, penyerahan daerah jajahan dari Inggris ke Belanda itu baru
efektif terjadi lima tahun kemudian, yaitu Tahun 1819.Saat penyerahan kekuasaan dari Inggeris
kepada Belanda, Loji Inggeris di Pariaman sudah remuk redam dalam “Perang Pariaman” yang
dimotori perguruan Sunua dan Ulakan, dan ’disudahi’ oleh Giring-Giring Perak. Begitu kata
sahibul hikayat.
– TAMAT –

You might also like