You are on page 1of 22

BAB 2

GEOMORFOLOGI

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan dan

bentang alam, serta proses yang mempengaruhinya, asal mula pembentukannya,

dan kaitannya dengan lingkungannya dalam ruang dan waktu. Bentang alam adalah

kenampakan medan di permukaan bumi yang dibentuk oleh proses alami yang

mempunyai komposisi tertentu dan sifat karakteristik fisika dan fisual.

Studi geomorfologi suatu daerah umumnya mempunyai 2 tujuan utama,

yang pertama adalah mengelompokkan secara sistematik pemerian bentangalam

dalam suatu skema pengelompokan terhadap suatu nama yang diberikan

berdasarkan konsep tertentu. Kedua, mengetahui penyimpangan yang terjadi dari

pengelompokan guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam lingkungan

bentangalam yang normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai studi

geomorfologi tersebut.

2.1 Geomorfologi Regional

Secara regional, Zona Kendeng merupakan antiklinorium berarah barat-

timur. Pada bagian utara berbatasan dengan Depresi Randublatung, sedangkan

bagian selatan bagian jajaran gunungapi (Zona Solo). Zona Kendeng merupakan

kelanjutan dari Zona Pegunungan Serayu Utara yang berkembang di Jawa Tengah.

Mandala Kendeng terbentang mulai dari Salatiga ke timur sampai ke Mojokerto

dan menunjam di bawah alluvial Sungai Brantas, kelanjutan pegunungan ini masih

dapat diikuti hingga di bawah Selat Madura.

16
17

Secara fisiografi dan kesamaan morfologi serta tektonik, Bemmelen (1949)

membagi wilayah Jawa bagian timur (meliputi Propinsi Jawa Tengah dan Jawa

Timur) menjadi beberapa Zona fisiografi, antara lain: Zona Gunung Api Kuarter,

Zona Dataran Alluvial Pantai Utara, Zona Antiklinorium Rembang-Madura, Zona

Antiklinorium Bogor-Serayu Utara dan Kendeng, Zona Kubah dan Perbukitan

dalam Depresi Sentral, Zona Depresi Sentral Jawa-Solo dan Randublatung, Zona

Pegunungan Selatan (Gambar 2.1).

Zona Kendeng sendiri dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian barat yang

terletak di antara Gunung Ungaran dan Solo (utara Ngawi), bagian tengah yang

membentang hingga Jombang dan bagian timur mulai dari timur Jombang hingga

Delta Sungai Brantas dan menerus ke Teluk Madura. Daerah penelitian termasuk

dalam Zona Kendeng bagian tengah (Gambar 2.2).

Gambar 2.1 Fisiografi Jawa dan Madura (Bemmelen, 1949 dengan modifikasi)
18

Gambar 2.2 Fisiografi Zona Kendeng berdasarkan citra SRTM (Hussein, 2016)

Ciri morfologi Zona Kendeng berupa jajaran perbukitan rendah dengan

morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50-200 m. Jajaran yang

berarah barat-timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang

berarah barat-timur. Intensitas perlipatan dan anjakan yang mengikutinya

mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian barat dan berangsur melemah di

bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari satuan batuan yang

bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan dan anjakan yang disebabkan

oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya rekahan, sesar dan Zona lemah

yang lain pada arah tenggara-baratlaut, baratdaya-timurlaut dan utara-selatan.

Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan

sangat intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi

penyusun Mandala Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai

kompaksitas rendah, misalnya pada Formasi Pelang, Formasi Kerek dan Formasi

Napal Kalibeng yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2.000 m.

2.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Dengan mempertimbangkan keadaan geomorfologi daerah penelitian maka

penyusun membagi satuan geomorfologi daerah penelitian didasarkan pada relief,


19

litologi, proses pembentukan, serta struktur geologi yang berkembang di daerah

penelitian. Klasifikasi geomorfologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

klasifikasi Zuidam (1983) yang telah dimodifikasi sesuai dengan kondisi daerah

penelitian.

2.2.1 Aspek-aspek geomorfologi

Mengacu pada konsep klasifikasi Zuidam (1983) tersebut, aspek-aspek

geomorfologi yang berpengaruh dalam faktor deskripsi geomorfologi adalah:

1) Morfologi adalah konfigurasi roman muka bumi dan kenampakan-

kenampakan ini ditunjukkan oleh pola kontur tertentu. Morfologi dibagi

menjadi 2, yaitu:

a. Morfografi, meliputi aspek-aspek yang bersifat pendeskripsian bentuk

suatu daerah, seperti teras sungai, tebing pantai, kipas aluvial, dataran,

plato, perbukitan, pegunungan, dan lain-lain.

b. Morfometri, meliputi aspek kuantitatif dari suatu daerah yang merupakan

kenampakan beda tinggi satu tempat dengan tempat yang lainnya, pada

suatu daerah dan juga curam atau landainya lereng yang disebabkan

perbedaan proses geologi baik endogen maupun eksogen di daerah

tersebut serta perbedaan litologi. Dalam hal ini, penyusun membagi

klasifikasi relief kemiringan lereng, mengacu pada klasifikasi Zuidam,

1983 (Tabel 2.1).


20

Tabel 2.1. Klasifikasi kelas kemiringan lereng berdasarkan karakteristik proses


(Zuidam, 1983)
Kelas Topografi Keterangan
0°-2°
Lereng Rata atau Denudasi tidak terjadi, proses transportasi sulit pada
(0-2%) hampir rata daerah yang kering
2°-4° Gerakan massa bergerak lambat dari jenis yang berbeda
Landai
(2-7%) khususnya kondisi periglacial, solifluction dan fluvial
Kondisi hampir mirip dengan landai tetapi sedikit
4°-8°
Miring lebih baik untuk bercocok tanam dan bahaya
(7-15%)
terhadap erosi tanah
Dapat terjadi semua gerakan massa, khususnya
8°-16° Curam
periglacial-solifluction, rayapan dan lain-lain. Bahaya
(15-30%) menengah
terhadap erosi tanah dan longsoran

16°-35° Proses denudasional intensif dari jenis yang berbeda


Curam
(30-70%) (rayapan dan longsoran), erosi tanah sangat berbahaya

35°-55° Sangat Batuan tersingkap, proses denudasional kuat, ketebalan


(70-140%) curam dari endapan tidak beraturan
Amat Batuan tersingkap, proses denudasional sangat kuat,
>55°
Sangat bahaya dari runtuhan batu, tidak bisa untuk bercocok
(>140%)
curam tanam, sebagai hutan

2) Morfogenesa, yaitu proses geomorfologi yang menyebabkan terjadinya

perubahan bentuk lahan, meliputi aspek:

a. Morfostruktur aktif, mencakup gaya-gaya endogen atau tektonik dan

vulkanisme. Bentang alam yang dapat terbentuk oleh proses-proses

endogenik antara lain: pegunungan lipatan, pegunungan blok atau

patahan dan gunungapi.

b. Morfostruktur pasif, yaitu aspek material penyusun (litologi) dan

struktur geologinya.
21

c. Morfostruktur dinamik, yaitu aspek yang mencakup gaya-gaya eksogen;

seperti proses denudasional, fluvial, pelarutan/karstifikasi, pantai,

angin/eolian, dan glasial, yang disebabkan oleh faktor topografi, batuan,

iklim, vegetasi, organisme, dan waktu.

d. Morfokronologi merupakan penanggalan absolut dan relatif berbagai

bentuk lahan yang berhubungan. Contoh teras fluvial muda dan teras

fluvial tua, pematang pantai muda dan pematang pantai tua.

e. Morpho-arrangement merupakan susunan keruangan dan jaringan

hubungan berbagai bentuk lahan dan proses yang berhubungan. Contoh:

point bar, kipas aluvial.

2.2.2 Pembagian subsatuan geomorfologi daerah penelitian

Dalam pembagian subsatuan geomorfologi daerah penelitian, langkah-

langkah yang ditempuh adalah:

1. Analisis peta topografi daerah penelitian dengan skala 1 : 25.000, yaitu

dengan menafsirkan pola dan pelamparan bentang alam sesuai dengan pola

dan sifat garis kontur yang ada.

2. Pengkajian langsung di lapangan, yaitu untuk melakukan pengumpulan data

dari setiap satuan geomorfiknya, meliputi litologi penyusun, ada tidaknya

pengaruh struktur geologi, dan proses-proses eksogenik yang bekerja pada

setiap satuan geomorfik tersebut.

3. Analisis di studio, yaitu meliputi proses penggabungan data dari analisis

peta topografi dan kajian lapangan, serta lebih terperinci lagi dalam analisis

kualitatif, kuantitatif, dan penggolongan satuan hingga subsatuan


22

geomorfik. Analisis kualitatif adalah dengan melihat pola-pola kontur,

kemudian dilanjutkan analisis secara kuantitatif, yaitu dengan membuat

sayatan pada peta topografi. Pembuatan sayatan topografi ini bertujuan

untuk mengelompokan pada klasifikasi relief dengan menggunakan satuan

geomorfologi yang didasarkan pada morfometri dan morfogenesa.

Penelitian geomorfologi ini harus tetap memperhatikan aspek-aspek geologi

lain yang berkaitan dalam penggolongan satuan dan subsatuan

geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi.

Gambar 2.3 Kenampakan morfologi lokasi penelitian dari peta DEM (tanpa skala,
dengan modifikasi)

Berikut merupakan kenampakan lokasi daerah penelitian dari peta DEM

yang menujukan relief tinggian pada bagian tengah yang dapat dikategorikan

sebagai perbukitan yang memiliki kemiringan lereng relatif lebih curam


23

dikarenakan banyak bentukan relief yang dikontrol oleh struktur geologi. Pada

bagian utara dan selatan lokasi penelitian memiliki relief yang lebih landai

dibandingkan dengan bagian tengah (Gambar 2.3).

Atas dasar-dasar yang telah disebutkan di atas, maka daerah penelitian

dikelompokkan berdasarkan aspek relief, litologi, dan genetiknya, terbagi menjadi

2 subsatuan geomorfologi, yaitu : Satuan geomorfik asal Struktural (S) dan Satuan

geomorfik asal Fluvial (F).

A. Satuan geomorfik asal struktural (Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan

bergelombang kuat kompleks struktur terdenudasi (S9a))

Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan bergelombang kuat kompleks

struktur terdenudasi (S9a) ini Merupakan morfologi perbukitan bergelombang

tinggi yang memiliki slope 35-55º (curam-terjal) berada pada ketinggian 50-250

mdpl serta memiliki kontrol struktur yang cukup kuat. Pada subsatuan ini

dikontrol oleh lipatan berupa sinklin dengan sumbu lipatan memanjang relatif

barat-timur sehingga membentuk perbukitan bergelombang tinggi. Tingkat

erosi dan pelapukan yang cukup tinggi dengan bentuk lembah yang relatif

berbentuk “U”. Banyak digunakan sebagai penggalian batugamping dan

pemukiman. Subsatuan ini mencakup ±14% dari luas daerah penelitian.

Subsatuan geomorfik (S9a) ini terbentuk karena proses atau pengaruh

struktur geologi yang disebabkan oleh gaya endogen, yaitu aktivitas tektonik

dan gaya eksogen oleh proses erosi. Proses tektonik yang diduga mengangkat

subsatuan geomorfologi ini mengakibatkan terbentuknya struktur lipatan

berundak (steply fold), antiklin, sinklin, sesar naik (thrust fault) juga sesar
24

mendatar yang berkembang didaerah penelitian. Sedangkan proses eksogen

ditunjukkan oleh pelapukan, erosi dan tranportasi hingga sekarang. Satuan

geomorfik (S9a) ini tersusun oleh Satuan Kalkarenit Kalibeng, Batupasir

Karbonatan Kerek, Napal Kalibeng (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan bergelombang


tinggi kompleks struktur terdenudasi (S9a), foto diambil dari LP 111,
arah lensa menghadap baratlaut

B. Satuan geomorfik asal struktural (Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan

bergelombang sedang kompleks struktur terdenudasi (S9b))

Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan bergelombang sedang

kompleks struktur terdenudasi (S9b) ini Merupakan morfologi perbukitan

bergelombang sedang yang memiliki slope 10-45º (agak curam sampai sangat

curam) berada pada ketinggian 75-200 mdpl serta memiliki kontrol struktur

yang cukup kuat. Subsatuan ini dikontrol oleh lipatan-lipatan berupa sinklin dan

antiklin, beberapa telah mengalami pensesaran berupa sesar naik dan sesar

mendatar dengan sumbu lipatan dan sesar naik memanjang relatif barat-timur.
25

Tingkat erosi dan pelapukan yang cukup tinggi dengan lembah relatif berbentuk

“U”, banyak digunakan sebagai lahan perkebunan dan pemukiman. Subsatuan

ini mencakup ±34% dari luas daerah penelitian.

Subsatuan geomorfik (S9b) ini terbentuk karena proses atau pengaruh

struktur geologi yang disebabkan oleh gaya endogen, yaitu aktivitas tektonik

dan gaya eksogen oleh proses erosi. Proses tektonik yang diduga mengangkat

subsatuan geomorfologi ini mengakibatkan terbentuknya struktur lipatan

berundak (steply fold), antiklin, sinklin, sesar naik (thrust fault) juga sesar

mendatar yang berkembang didaerah penelitian. Sedangkan proses eksogen

ditunjukkan oleh pelapukan, erosi dan tranportasi hingga sekarang. Satuan

geomorfik (S9b) ini tersusun oleh Satuan Kalkarenit Kalibeng, Batupasir

Karbonatan Kerek, Napal Kalibeng, Breksi Andesit, Batupasir Tufan Kalibeng

(Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan bergelombang sedang


kompleks struktur terdenudasi (S9b), foto diambil dari LP 45,
arah lensa menghadap timur laut
26

C. Satuan geomorfik asal struktural (Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan

bergelombang lemah kompleks struktur terdenudasi (S9c))

Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan bergelombang lemah kompleks

struktur terdenudasi (S9c) ini merupakan morfologi perbukitan bergelombang

lemah yang memiliki slope 10-25º (miring-agak curam) berada pada ketinggian

50-150 mdpl serta memiliki kontrol struktur yang cukup kuat. Pada subsatuan

ini dikontrol oleh lipatan berupa sinklin dan antiklin, beberapa telah mengalami

pensesaran berupa sesar naik dan sesar mendatar dengan sumbu lipatan dan

sesar naik memanjang relatif barat-timur. Tingkat erosi dan pelapukan yang

cukup rendah dengan lembah relatif berbentuk “U”. banyak digunakan sebagai

lahan perkebunan dan pemukiman. Subsatuan ini mencakup ±41% dari luas

daerah penelitian.

Subsatuan geomorfik (S9c) ini terbentuk karena proses atau pengaruh

struktur geologi yang disebabkan oleh gaya endogen, yaitu aktivitas tektonik

dan gaya eksogen oleh proses erosi. Proses tektonik yang diduga mengangkat

subsatuan geomorfologi ini mengakibatkan terbentuknya struktur lipatan

berundak (steply fold), antiklin, sinklin, sesar naik (thrust fault) juga sesar

mendatar yang berkembang didaerah penelitian. Sedangkan proses eksogen

ditunjukkan oleh pelapukan, erosi dan tranportasi hingga sekarang. Satuan

geomorfik (S9c) ini tersusun oleh Satuan Kalkarenit Kalibeng, Batupasir

Karbonatan Kerek, Napal Kalibeng, Breksi Andesit (Gambar 2.6).


27

Gambar 2.6 Subsatuan geomorfik perbukitan lipatan bergelombang lemah


kompleks struktur terdenudasi (S9c), foto diambil dari LP 75,
arah lensa menghadap baratdaya

D. Satuan geomorfik asal fluvial (Subsatuan geomorfik dataran aluvial (F2))

Subsatuan geomorfik dataran aluvial (F2) ini Merupakan morfologi

dataran dengan slope 0º - 7º (datar-miring) berada pada ketinggian 50-75 mdpl.

Gambar 2.7 Subsatuan geomorfik dataran aluvial (F2), foto diambil dari LP 54,
arah lensa menghadap baratdaya

Tingkat erosi dan pelapukan tinggi dengan lembah relatif berbentuk

“U”, banyak digunakan sebagai lahan pemukiman dan perkebunan. Subsatuan


28

ini mencakup ±11% dari luas daerah penelitian (Gambar 2.7). Subsatuan

geomorfik (F2) ini terbentuk karena proses atau pengaruh gaya eksogenik, yaitu

aktivitas pelapukan, erosi dan tranportasi hingga sekarang. Satuan geomorfik

(F2) ini tersusun oleh endapan campuran.

2.3 Pola Aliran Sungai

Menurut Howard (1967), pola pengaliran didefinisikan sebagai suatu

kumpulan dari alur-alur sungai pada suatu daerah, tanpa mempedulikan apakah

alur-alur tersebut merupakan alur yang permanen (permanent stream). Menurut

Zuidam (1983), perkembangan pola pengaliran pada suatu daerah dipengaruhi oleh

kelerengan, jenis batuan dasar, kerapatan vegetasi, serta iklim di daerah yang

bersangkutan. Dalam proses geologi maupun pembentukan morfologi, air

memegang peranan yang sangat penting karena mempunyai kemampuan sebagai

agen atau media dalam proses pelapukan, erosi, transportasi dan proses sedimentasi.

Dalam hal ini proses erosi oleh air tersebut pada umumnya dominan melalui tubuh

sungai, akan menyebabkan sungai bertambah lebar, dalam, dan panjang, sehingga

membentuk pola sungai (stream pattern) dan selanjutnya membentuk pola

pengaliran (drainage pattern). Howard (1967), membuat klasifikasi pola pengaliran

menjadi 2 macam, yaitu: pola dasar dan pola ubahan.

1) Pola dasar (basic pattern) merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai

karakteristik yang khas. Pola dasar ini dapat secara jelas dibedakan dengan

pola aliran lainnya. Pola dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola
29

dasar yang lain dan kebanyakan dikontrol oleh struktur regional dan litologi

yang bersifat homogen atau satu jenis batuan (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Klasifikasi pola aliran sungai yang belum mengalami perubahan
(basic pattern) (Howard, 1967)

2) Pola ubahan (modified basic pattern) merupakan sebuah pola pengaliran

yang berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola

ubahan biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar kemudian

berkembang (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Klasifikasi pola aliran sungai yang telah mengalami perubahan (modified
basic pattern) (Howard, 1967)
30

2.3.1 Kombinasi pola aliran dasar dan ubahan

Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada pola pengaliran dasar dan

ubahan dari Howard (1967), sebagai berikut:

a. Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang sungai

(anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut yang

runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang homogen dengan sedikit atau

tanpa pengendalian struktur.

b. Paralel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada daerah

dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan

morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini mempunyai kecenderungan

berkembang ke arah dendritik atau trellis.

c. Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang sungai)

membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan daerah

pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.

d. Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai yang

membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor kekar-kekar yang

saling berpotongan dan juga sesar.

e. Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari satu

titik pusat, biasanya pola ini mencirikan daerah gunungapi atau kubah yang

dipengaruhi oleh topografi pada gunungapi.

f. Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang

tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe

subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.


31

g. Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan atau danau-danau

kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau terbentuk pada lingkungan

dengan topografi karst.

h. Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang terlihat ada

pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang bertekstur kasar,

batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki resistensi yang sama.

2.3.2 Pola aliran daerah penelitian

Dalam pembahasan mengenai pola pengaliran sungai, pendekatan yang

penyusun lakukan adalah dengan melakukan analisis peta topografi dan melakukan

pengamatan lapangan. Berdasarkan sifat alirannya, aliran sungai induk bersifat

permanen, yaitu sifat alirannya sepanjang tahun, sedangkan sifat aliran pada anak-

anak sungai ada yang bersifat permanen dan periodik, yaitu ada aliran air pada

musim hujan saja.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan serta interpretasi peta topografi,

yang kemudian dilakukan pendekatan model pengaliran menurut klasifikasi dari

Howard (1967), maka daerah penelitian dibagi menjadi 2 pola aliran yaitu pola

aliran trelis dan subdendritik. (Gambar 2.10)

1. Trellis. Pola aliran ini menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder

(cabang sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan

daerah perbukitan ini dikontrol dominan oleh struktur lipatan (antiklin

Panimbo, sinklin Panimbo, antiklin Padas, antiklin Padas, antiklin Juwangi,

sinklin Juwangi ) dan kekar yang terbentuk pada daerah penelitian. Pola ini

terbentuk pada satuan batuan yang relatif lunak, yaitu Batupasir karbonatan
32

Kerek, Napal Kalibeng, Kalkarenit Kalibeng, dan Batupasir tufan Kalibeng.

Pada daerah penelitian pola aliran trelis menempati hampir lebih dari setengah

daerah penelitian, di mana sebagian besar sungai-sungainya mengalirkan

airnya ke sungai utama.

2. Subdendritik, Pola yang berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-


cabang sungai, berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-sudut

yang runcing. Pola ini terbentuk pada satuan batuan yang homogen, yaitu

Napal Kalibeng, Kalkarenit Kalibeng dan Breksi Andesit Notopuro.

Pembentukan pola aliran ini juga dikontrol oleh struktur berupa sinklin,

antiklin, kekar dan sesar (antiklin Gunungtumpeng, sinklin Panadaran, sesar

mendatar kiri Padas). Pada daerah penelitian, pola aliran subdentritik

menempati hampir setengah dari daerah penelitian, di mana sebagian besar

sungai-sungainya mengalirkan airnya ke sungai utama.


33

Gambar 2.10 Peta pola pengaliran daerah penelitian


34

2.4 Stadia Daerah

Pada dasarnya stadia daerah merupakan gambaran bagaimana suatu bentuk

morfologi telah berubah dari bentuk morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan suatu

daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam dan stadia sungai

yang terdapat di daerah tersebut. Pembentukan morfologi suatu daerah biasanya

dikontrol oleh beberapa faktor seperti struktur geologi, litologi, dan proses

geomorfologi, baik berupa proses endogen maupun eksogen.

Kenampakan morfologi saat ini merupakan hasil proses-proses endogen dan

eksogen yang bekerja, terutama proses eksogen yang berhubungan langsung

dengan proses erosi. Proses erosi juga dapat digunakan untuk mengetahui bentuk

sungai dan tingkat erosi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat erosi sungai

adalah tingkat resistensi batuan terhadap pelapukan dan erosi, kemiringan lereng,

iklim (curah hujan), tingkat ketebalan vegetasi, aktivitas organisme (terutama

manusia), waktu (lamanya proses erosi yang bekerja), dan permeabilitas batuan.

2.4.1 Jenis stadia daerah

Perkembangan stadia geomorfologi erat kaitannya dengan tingkat erosi di

mana semakin tinggi tingkat erosinya maka akan memberikan kenampakan pada

bentuk lahan menuju stadia geomorfologi tua. Lobeck (1939), mengelompokkan

stadia daerah menjadi 4 (Gambar 2.11) yaitu:

1. Stadia muda dicirikan oleh gradien sungai besar, arus sungai deras, lembah

berbentuk “V”, erosi vertikal lebih besar dari pada erosi lateral, dijumpai air

terjun, kadang-kadang terdapat danau, keadaan permukaan yang masih rata,


35

pada umumnya susunan stratigrafinya relatif teratur serta lembahnya sempit

dan dangkal.

2. Stadia dewasa dicirikan oleh gradien sungai sedang, aliran sungai agak

berkelok- kelok atau meander, tidak dijumpai air terjun maupun danau,

erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembahnya sudah mulai

berbentuk “U”, lembah yang besar dan dalam, reliefnya relatif curam,

stratigrafinya sudah agak kacau serta proses erosi yang dominan.

Gambar 2.11 Stadia daerah menurut Lobeck (1939), sebagai model pedekatan
penentuan stadia sungai di daerah penelitian

3. Stadia tua dicirikan oleh erosi lateral lebih kuat daripada vertikal, lembah

lebar, tidak dijumpai meander lagi karena kelokan sungainya telah

tersambung dan terbentuk danau tapal kuda, arus sungai tidak kuat.
36

Kelanjutan dari proses-proses yang bekerja pada stadia dewasa yaitu

keadaan permukaan semakin rendah, reliefnya relatif datar serta lembah

sungai lebar dan dangkal.

4. Stadia rejuvinasi (muda kembali) dicirikan oleh perkembangan permukaan

yang relatif datar kembali dan terlihat adanya perajangan-perajangan sungai

kembali.

2.4.2 Stadia daerah penelitian

Morfologi dengan lembah berbentuk “U” (Gambar 2.12), dimana erosi

vertikal relatif lebih kecil dibandingkan dengan erosi horizontalnya dengan aliran

sungai yang memiliki kecepatan aliran sedang sampai deras. Kondisi sungai

semakin ke hilir semakin melebar dan terbuka, air relatif keruh, menunjukkan

penampang sungai berbentuk huruf “U”, terdapat endapan-endapan seperti gosong

sungai yang terdiri point bar dan channel bar, kecepatan aliran berkurang, dan

gradien sungai semakin kecil. Sungai-sungai utama di daerah penelitian memiliki

bentuk penampang “U”.

Gambar 2.12 Kenampakan sungai berbentuk “U” pada sungai di daerah


penelitian, arah lensa menghadap selatan timurlaut
37

Stadia daerah di daerah penelitian ditunjukkan dengan bentuk relatif yang

masih menampakkan tinggian dengan morfologi yang menampakkan pola kontur

yang sudah mengalami proses pelapukan, erosi, pengendapan dan diperkuat dengan

adanya gerakan massa di daerah penelitian, profil sungai telah didominasi lembah

“U” dan mengalami erosi lateral. Berdasarkan data tersebut penyusun

menyimpulkan daerah penelitian memiliki stadia daerah adalah dewasa.

You might also like