Professional Documents
Culture Documents
ANTROPOLOGI HUKUM
DOSEN PENGAMPUH:
ISNAWATI, S.H., M.H
MAKALAH
COVER
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
NO NAMA NPM
1 Ita Rahmi 211110011011221
2 Ahmad Nasri Zunaidi 211110011011083
3 Dewi Sartika 211110011011212
4 Okta Awan Diantara 211110011011038
5 Eben Helen Sinaga 211110011011158
FAKLUTAS HUKUM
2023
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga tugas kuliah ANTROPOLOGI HUKUM ini dapat kami susun hingga
selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu ISNAWATI, S.H.,
M.H selaku dosen mata kuliah ANTROPOLOGI HUKUM yang telah memberikan
kami cukup materi hingga tugas ini dapat dapat kami selesaikan tepat waktu.
Makalah ini adalah hasil kerja yang kami dapat dari berbagai sumber. Hasil
dari kerja ini kami dedikasikan sebagai ilmu pengetahuan untuk segala kalangan
masyarakat dan kami susun dengan sedemikian rupa agar mudah dipahami serta jelas
arah penjelasannya.
Dan bagi kami yang membuat serta menyusun tugas ini merasa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena masih terbatansnya pengetahuan
dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik maupun saran
yang membangun dari Ibu Dosen demi kesempurnaan makalah yang akan kami buat
kedepannya.
Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...............................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.................................................................................................................7
A. KEANEKARAGAMAN BAHASA SUKU TORAJA..........................................7
B. SISTEM ORGANISASI DAN ORGANISASI SOSIAL SUKU TORAJA.........8
C. SISTEM PERALATAN DAN TEKNOLOGI......................................................9
D. SISTEM MATA PENCAHARIAN.....................................................................11
E. SISTEM RELIGI.................................................................................................12
F. SENI/ALAT MUSIK , TARIAN, BUSANA TRADISIONAL SUKU TORAJA
13
BAB V...................................................................................................................................16
PENUTUP.........................................................................................................................16
A. Kesimpulan...........................................................................................................16
B. Saran.....................................................................................................................16
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai
tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi
dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi,
namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC).
Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah
(tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang
produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran
Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat
suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan.
Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan
bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga
menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di
sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan
subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946,
Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya
sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja
karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang
Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah
diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti
kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak
merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
4
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya,
banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen
untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan
perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara
tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami
kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk
mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih
menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an,
misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka
kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang
pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan
dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami
transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang
terus meningkat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa bahasa yang digunakan oleh suku Toraja?
2. Bagaimana sistem kemasyarakatan yang ada di suku Toraja?
3. Bagaimana sistem peralatan dan teknologi yang digunakan oleh suku Toraja?
5
4. Bagaimana mata pencaharian yang ada di suku Toraja?
5. Bagaimana sistem religi yang ada di suku Toraja?
6. Apa kesenian yang ada di suku Toraja?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan bahasa yang digunakan oleh suku Toraja.
2. Menjelaskan sistem kemasyarakatan yang ada di suku Toraja.
3. Menjelaskan sistem peralatan dan teknologi yang ada digunakan oleh suku Toraja.
4. Menjelaskan mata pencaharian yang ada di suku Toraja.
5. Menjelaskan sistem religi suku Toraja.
6. Menjelaskan kesenian yang ada di suku Toraja.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja
sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah
bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di
semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' ,
dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa
Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di
Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan.
Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. Ciri yang
menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya
upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan
perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.
7
Keragaman dalam bahasa Toraja
Salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal adalah organisasi sosial. Tidak
ada masyarakat dan kebudayaan di muka bumi yang tidak memiliki organisasi sosial,
sehingga organisasi sosial merupakan salah satu unsur yang memungkinkan suatu
masyarakat atau kebudayaan tetap ada. Tanpa adanya organisasi sosial tidak akan ada
masyarakat atau kebudayaan ini berarti bahwa keberadaan, eksistensi organisasi sosial
juga turut menentukan eksistensi dan kebudayaan itu sendiri. Jika demikian
8
maka memahami organisasi sosial tersebut menjadi sangat penting artinya bagi
pemahaman kita mengenai masyarakat dan kebudayaan.
Alat Dapur
La’ka sebagai alat belanga
Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
Karakayu yaitu alat pembagi nasi
Dulang yaitu cangkir dari tempurung
Sona yaitu piring anyaman
Alat Perang / Senjata Kuno
Doke atau tombak untuk alat perang dan berburu
Penai yaitu parang
Bolulong yaitu perisai
Sumpi atau sumpit
Alat Perhiasan
9
Beke – ikat kepala
Manikkota – kalung
Komba – gelang tangan
Sissin Lebu – cincin besar
Alat Upacara Keagamaan
Pote – tanda berkabung untuk pria dan wanita
Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala
Pokti – tempat sesajen
Sepui – tempat sirih
Alat Musik Tradisional
Geso – biola
Tomoron – terompet
Suling Toraja
10
unsur visual daerah yang hanya dijadikan sebagai ‘pelengkap’ untuk memenuhi tuntutan
pencerminan ciri-khas lokal, membawa suatu implikasi tersendiri terhadap keberadaan
unsur-unsur visual tersebut yang pada awalnya merupakan simbol keberadaan budaya
Aluk Todolo, namun kemudian dimanfaatkan dengan tujuan yang lebih bersifat praktis
yaitu sebagai ‘tanda’ keberadaan bangunan tersebut.
Demikian halnya dengan ragam hias Toraja yang diterapkan di dalam perancangan
interior hotel yang bertujuan untuk membei kesan tradisional pada interior ruang
menyebabkan ragam hias tersebut hanya berfungsi sebagai ‘hiasan’ dan tidak dapat
dikenali makna simbolik yang dikandungnya.
Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar penduduk
Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang Suku Toraja
suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau suami
mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan
adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah
singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak
kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan
sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi
Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan
pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja,
khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing.
Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan
ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
11
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun
1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan
bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya
ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai
konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara
drastis.
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di
Tana Toraja.Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat.
Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972,
sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla,
bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni.
Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di
beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan
pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah
raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat
dunia luar.
E. SISTEM RELIGI
Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan
kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan
tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat
bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana.
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-
12
Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang
(dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam
kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang
pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan
dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik
pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan
desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan
kehidupan harus dipisahkan.
Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika
pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama
pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan
melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga
saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan. Di Tana Toraja dikenal
pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali. Maka mungkin
karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA ditetapkan
pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali.
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati
13
sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan
panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan
menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut
disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam
upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing
ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya.
Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit
kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian
Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum.
Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan
bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua
adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau
dan menari di sekeliling pohon suci.Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu
yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti
pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang
menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang.
14
Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari
daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Budaya adalah salah satu harta berharga yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Perlu
pemeliharaan dan kepedulian agar warisan budaya tidak semakin tergerus oleh budaya
asing.Banyak cara yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan budaya.
Seperti halnya kain tenun Toraja. Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan
secara turun temurun, dengan tetap mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang
kegiatan menenun. Sehingga, diharapkan tenun Toraja takkan hilang ditelan
jaman.Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang
berbasis budaya, maka aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan budaya itu.
15
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Untuk kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini kami selaku penyusun, sangat
terbuka untuk menerima berbagai kritik dan saran untuk perbaikan kedepan.
16