You are on page 1of 10

Nama : Prabawati Nurhabibah

NIM : 0201622009
Tugas : Perkembangan Teori Bahasa dan Sastra
Dosen : Prof. Dr. Rustono, M.Hum.

Pertemuan ke-4
Belajar daring mandiri
Bukalah geogle dan temukan referensi ttg teori sosiolinguistik, tagmemik, semantik generatif,
dan tata bahasa kasus!
Jawablah pertanyaan berikut!
1. Kemukakan pokok-pokok teori tentang sosiolinguistik dan penerapannya dalam bhs.
Indonesia!
2. Kemukakan pokok-pokok teori tentang tata bahasa tagmemik dan penerapannya dalam
bhs. Indonesia!
3. Kemukakan pokok-pokok teori semantik generatif dan penerapannya dalam bhs.
Indonesia!
4. Kemukakan pokok-pokok teori tata bahasa kasus dan penerapannya dalam bhs. Indonesia!
Hasil belajar diunggah ke surel rus_tono58@yahoo.co.id paling lambat pukul 12.00. Selamat
belajar.
Jawaban:
1. a. Pokok-pokok teori tentang sosiolonguistik
Sosiolingustik adalag ilmu yang mengkaji bahasa dan masyarakat bahasa.
Sosiolinguistik jika dilihat dari namanya bekaitan dengan kajian Sosiologi dan
Linguistik (Sumarsono, 2004: 1). Maka dapat diartikan bahwa sosiolinguistik adalah
kajian bahasa yang melibatkan masyarakat sebagai pengguna bahasa dan dikaitkan
pula dengan faktorfator sosial dan masyarakat. Aslinda (dalam Sari, 2015: 201)
Sosiolinguistik yaitu bidang ilmu antar disiplin yan mempelajari bahasa dalam
masyarakat. Chaer dan Agustina (2004: 4) menjelaskan bahwa Sosiolingusitik yaitu
cabang ilmu Linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan
menggunakan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial
didalam masyarakat tutur. Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri serta
berbagai variasi bahasa, dan hubungan diantara penutur didalam masyarakat bahasa
(Marni, 2016: 3). Sebagai pakar Sosiolinguistik, Fishman mengatakan bahwa kajian
sosiolinguistik bersifat kualitatif (Rokhman, 2013: 6). Sosiolingusitik bersifat
kualitatif dikarenakan lebih berhubungan dengan perincian penggunaan bahasa yang
sebenarnya, seperti dialek yang diucapkan penutur, topik, serta latar pembicaraan
(Husa, 2017: 19). Bahasa sebagai objek dalam sosiolinguistik melihat dan mendekati
sebagai sebuah sarana untuk berinteraksi dan komunikasi didalam masyarakat. Oleh
karena itu, antara bahasa dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari persoalan
mengenai bahasa dengan kegiatan atau aspek kemasyarakatan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa Sosiolinguistik yaitu cabang ilmu Linguistik yang
menghubungkan antara perilaku sosial dan perilaku bahasa dalam masyarakat.

b. Penerapan Sosiolonguistik dalam bahasa Indonesia


Sosiolinguistik berperan sebagai kajian yang membantu pembelajaran bahasa
Indonesia, terutama bagi para pengajar, untuk menerapkan suatu rancangan
pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang telah disampaikan, yakni
mengembangkan peserta didik bisa berpikir kritis dan responsif memahami tutur
orang lain, mampu menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemampuan dengan
bahasa yang tertib, mampu memahami kaidah-kaidah bahasa, dan memiliki sikap
positif terhadap bahasa yang dipelajari.
Sarana utama dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah adalah guru yang
dapat dapat menerapkan secara tepat kepada peserta didik. Empat pendekatan
pembelajaran bahasa yang dilandaskan oleh teori sosiolinguistik dapat diterapkan
dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia oleh pengajar. Pendekatan tersebut
membantu pengajar agar bisa memberikan pembelajaran Bahasa Indonesia di luar
dari struktural bahasa yang baku menjadi pembelajaran yang berbaur dengan
keadaan dan lingkungan peserta didik di sekolah. Keempat pendekatan dalam
pembelajaran bahasa yang dilandaskan oleh teori sosiolinguistik tersebut di
antaranya: Competency-based Language Teaching, Communicative Language
Teaching, Natural Approach, dan Cooperative Language Learning.

2. a. Pokok-pokok teori tagmemik


Penamaan teori Tagmemik berangkat dari konsep tagmem. Tagmem adalah gatra
suatu struktur gramatikal dengan kelengkapan empat penanda umum. Keempat
penanda umum tersebut adalah slot, klas, peran, dan kohesi (Pike & Pike: 35).
Setiap struktur terdiri atas tagmem-tagmem (bagian) dari kontruksi gramatikal
yang memiliki empat kelengkapan, yakni slot, class, role, dan kohesi.
1) Slot adalah ciri tagmem berupa tempat kosong dalam struktur yang harus diisi
fungsi tagmem. Dalam tataran klausa, fungsi tagmem berupa subjek, predikat,
objek, dan komplemen. Dalam tataran lain umumnya fungsi tagmem inti
(nucleus) dan bukan inti (margin). Dalam teori tradisional dan struktural, slot
ini lebih kurang sama dengan fungsi kalimat.
2) Class adalah ciri tagmem yang merupakan wujud nyata dari slot berupa satuan
lingual seperti morfem, kata, frasa, klausa, alinea, monolog, dialog dan wacana.
Verhaar menyebutnya kategori. Kelas dapat dipecah lagi menjai subkelas.
Misalnya frasa ada frasa benda, frasa kerja; kelas klausa dapat dipecah menjadi
klausa transitif, klausa intransitif, klausa ekuatif.
3) Role (peran) adalah ciri atau benda penanda tagmem yang merupakan
pembawa fungsi. Pelaku dan penderita adalah peran. Oleh karena itu, ada
subjek dengan peran pelaku dan ada subjek dengan peran penderita.
4) Kohesi dalah penanda tagmem yang merupakan pengontrol hubungan antar
tagmem. Ini hampir ada pada setiap bahasa seperti kaidah ketransitifan pada
klausa yang berlaku untuk klausa transitif, klausa intransitif, dan klausa ekuatif

b. Penerapan teori tagmemik dalam bahasa Indonesia


Dari beberapa kekhasan dalam teori Tagmemik tampaknya ada yang cukup
menarik untuk diterapkan di dalam pengajaran bahasa Indonesia. Beberapa hal
yang cukup menarik untuk diterapkan di dalam pengajaran bahasa Indonesia
tersebut antara lain saluan lingual di atas kalimat, sifal eklektik dan universal,
hierarkhi ,gramatikal, dan klas pengisi slot predikat pada tataran klausa.
1) Penerapan Satuan Lingual di atas Kalimat
Selama ini hanya tataran kalimal ke bawah sajalah yang disajikan sebagai maleri
pengajaran tata bahasa. Tataran di alas kalimat, yakni alinea, monolog, dialog,
dan wacana sarna sekali tidak, dianggap materi pengajaran tala bahasa. Hal
tersebut menurul hemal saya tidak tepat, sebab kebermanfaatan penguasaan
satuan-satuan lingual di atas kalimat itu tidak kalah pentingnya dalam rangka
menunjang ketrampilan berbahasa. ()]eh karena itu alinea, monolog, dialog, dan
wacana perlu .disajikan sebagai materi pengajaran tata bahasa. Latihan-lalihan
yang diberikan kepada para siswa antara'!ain dapat dilakukan dengan
menggunakan media scramble (scramble alinea, scramble monolog, scramble
dialog, dan scramble wacana). Selain haltersebut di atas, penguasaan struktur di
alas kalimal sangal diperlukan dalam analisis semanlik gramalikal. Pada kasus
kalimal-kalimat yang bermakna ambigu berikut ini pemecahannya ·tidak ada
jalan lain kecuali dikembalikan ke konteks di atlis kalimat. Sebagai contoh :
(a) Isleri Pak Camal yang barn itu cantik sekali.
(b) Tono memegang tangan wanita itu, fafu menciumnya.
(c) Mas Hendra sangat mencintai isterinya, saya juga.
Pada kalimat (a) yang baru mungkin Pak Camat, akan tetapi mungkin juga yang
baru itu isterinya. Pada kalimat (b) yang dicium oleh Tono mungkin tangan
wanita itu, akan tetapi mungkin juga yang dicium wanita itu. Pada kalimat (e)
dapat diartikan saya juga sangat mencintai isterisaya, atau dapat juga diartikan
saya juga sangat mencintai isteri Mas Hendra.
Kalimat-kalimat ambigu tersebut akan tetap ambigu apabila konteksnya hanya
konteks kalimat. Oleh karena itu satu-satunya eara untuk menafsirkan makna
seeara tepat', tidak ada cara lain keeuali melihat konteks alinea, konteks
monolog, konteks dialog, atau konteks waeana. Dengan demikian jelaslah
bahwa peranan struktur di atas kalimat tidak boleh diabaikan begitu saja.
2) Penerapan Sifat Eklektik dan Universal
Di depan sudah disebutkan bahwa setiap teorl memiliki kelemahan, namun juga
tidak dapat disangkal bahwa setiap teori tersebut juga memiliki kelebihan
apabila dibandingkan dengan teorl yang lain. Ke1ebihan-kelebihan yang
dimiliki oleh setiap teorl tersebut tidak mustahil untuk dapat dirangkum menjadi
satu teorl yang bersifat eklektik. Teorl Tagmemik pada dasarnya memang
bersifat seperti itu. Analisis fungtor teorl Tradisional dan Struktural telah
dimanfaatkan di dalam analisis slot. Analisis klas atau kategori teorl
Transformasi telah dimanfaatkan dalam analisis klas pengisi. Analisis peran
dalam Tata Bahasa Kasus telah pula dimanfaatkan dalam analisis penanda
tagmem yang ketiga (peran). Sedangkan penanda tagmem yang berupa kohesi
memang sengaja ditambahkan demi kelengkapan teori ini. Masalahnya
sekarang ialah bagaimana earanya untuk mengajak para siswa membedakan dan
menerapkan keempat penanda itu sekaligus. Se-' lama ini mereka hanya
mengenal satu penanda saja untuk setiap analisis. Menurut hemat saya siswa
SMTA sudah mampu menerima teori Tagmemik, asalk~n teknik
penyampaiannya dengan eara analogi. Analisis struktur makanan sepertj.yang
dilakukan oleh Travis (1980) sangat eoeok untuk dipakai sebagai jembatan di
dalam menanamkan leorl Tagmemik kepada para siswa. Cara ini sangat
mengena sebab teori Tagmemik berlaku untuk semua bidang kehidupan
manusia (Pike & Pike, 1977: I).
3) Penerapan Hierakhi Gramatikal
Hierarkhi gramatikal di dalam teori Tagmemik dapat dikatakan sangat lengkap
dan menyeluruh. Yang menjadi masalah dalam pengajaran bahasa Indonesia
ialah apabila ada hierarkhi tak normal, baik yang berupa hierarkhi terputar
maupun yang berupa loncatan tataran. Penjelasan mengenai hierarkhi terputar
sebagai mateti pengajaran tata bahasa dapat ditempuh dengan mengemukakan
bentuk gramatikal kelidakmengertian, kesalahjahaman, kesalingcurigaan, dan
sebagainya. Bentukbentuk gramatikal tersebut berupa tataran kata yang
memiliki unsur langsung frase, yakni frase lidak adil, salah jaham, dan saling
curiga. Secara hierarkhis normal frase berada di atas kata, akan tetapi pada
hierarkhi terputar ini ternyata frase justru di bawah kata. Adapun mengenai
penjelasan masalah loncatan tataran dapat dikemukakan sebuah wacana,
misalnya "Hebal!" Wacana tersebut terditi dari satu dialog, dialog yang terdiri
dati monolog, monolog yang terdiri dari satu alinea, a1inea yang terdiri dati satu
kalimat, kalimat yang terdiri dari satu klausa, klausa yang terdiri dati satu frase,
frase yang lerdiri dari satu kata, dan kata yang terdiri dari satu morfem. Dengan
demikian terjadi loncatan tataran, yakni loncatan dari tataran wacana ke tatatan
morfem.
4) Penerapan Klas Pengisi pada Tataran Klausa
Hampir semua buku tatabahasa yang dipakai di dalam pengajaran bahasa
Indonesia mengemukakan keberadaan kalimat nominal. Kalimat nominal
menurut keterangan itu adalah kalimat yang predikatnya bukan kata kerja. Teori
Tagmemik sarna sekali tidak setuju terhadap keberadaan predikat yang bukan
kata kerja, sebab menurut leori Tagmemik semua ptedikat harus kata kerja (lihat
kembali butir 3.6.). Penanaman konsep demikian merupakan hal yang cukup
sulit, sebab pada diri siswa sudah terlanjur lertanam konsep kalimat nominal
lerlebihdahulu, Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengalihkan konsep
kalimat nominal tersebut antara lain dengan jalan mengenalkan struktur klausa
ekuatif di dalam bahasa Indonesia.
3. a. Pokok-pokok teori semantik generatif
Menurut teori semantik generatif, semantik dapat dikaji secara bersamaan dengan
sintaksis karena hakikatnya keduanya adalah satu. Menurut teori ini, struktur
semantik itu serupa dengan struktur logika yang berupa ikatan tidak berkala antara
predikator dengan seperangkat argumen dalam satu proposisi (Chaer, 2003:368-
369).
Semantik generatif ini dipelopori oleh murid-murid Chomsky antara lain (Lakoff,
Postal, Mecauly dan Kiparsky) mereka memisahkan diri dari kelompok Chomsky
menjelang dasawarsa tujuh puluhan. Pemisahan diri itu didasarkan pada rasa
ketidakpuasan terhadap guru mereka. Chomssky berpendapat bahwa semantik
mempunyai eksistentsi yang berbeda dengan sintaksis, dan struktur batin tidak sama
dengan struktur semantic. Sementara menurut Lokoff dan teman-temannya bawwa
struktur semantik dan untuk menghubungkan keduanya cukup dengan kaidah
transformasi saja. Bukan dengan bantuan kaidah sintaksis dasar, kaidah proyeksi,
dan kaidah fonologi seperti pernah diajarkan oleh Chomsky pada mereka. Oleh
karean itu sintaksis dalam semantik sebaiknya diselidiki secara bersamaan karena
keduanya adalah satu. Struktur semantik itu berupa ikatan tidak berkala antara
predikat dengan seperangkat argument dalam suatu proposisi.

b. Penerapan teori semantik generatif dalam bahasa Indonesia


Dalam teori semantik generatif, klausa atau kalimat terdiri unsur-unsur yang
menyatu, yaitu:
1) Proposisi adalah makna yang menjelaskan isi komunikasi dari pembicaraan; atau
disebut juga makna klausa. Proposisi terdiri dari predikator yang berkaitan
dengan satu argumen atau lebih (Kridalaksana, 2001:180).
2) Predikator adalah bagian dari proposisi yang menunjukkan hubungan perbuatan,
sifat, keanggotaan, kejadian, dsb. dari argumen. Jadi, predikator dapat berupa:
verba, adjectiva, adverbia, atau urutan (Kridalaksana, 2001:177).
3) Argumen adalah nomina/frasa nominal yang bersama-sama predikator
membentuk proposisi (Kridalaksana, 2001:17).

4. a. Pokok-pokok teori tata bahasa kasus


Tata bahasa kasus (case grammar) adalah suatu modifikasi dari teori TTG, yang
menjelaskan hubungan antara argumen dan predikator dalam satu proposisi
(Kridalaksana, 2001:96). Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Charles J.
Fillmore dalam karyanya yang berjudul “The Case for Case”, yang termuat dalam
buku Universal in Linguistic Theory, 1968. Dalam karyanya itu, Fillmore membagi
kalimat atas: modalitas dan proposisi. Namun, proposisi dalam tata bahasa kasus,
unsur-unsur pengisinya berbeda dengan proposisi pada semantik generatif. Dalam
Tata Bahasa Kasus, proposisi terdiri dari verba dan sejumah kasus (Chaer, 2003:370-
371; Tarigan, 1990:59).
Adapun penggunaan analisis kasus pada sebuah kalimat dapat dilihat dalam contoh
kalimat berikut.

Tata bahasa kasus telah digunakan untuk deskripsi gramatikal atau pemerian
ketatabahasaan berbagai bahasa, dan juga untuk pemerian pemerolehan bahasa anak-
anak (Fillmore via Tarigan, 1990:61).

Fillmore (via Tarigan, 1990:61-68) membagi kasus dalam tata bahasa apapun di
dunia sebagai berikut.
1) Agentif adalah kasus yang secara khusus ditujukan bagi makhluk hidup (yang
bernyawa) yang melakukan tindakan (pelaku). Dalam tata bahasa kasus, agentive
case adalah nomina/frasa nominal yang mengacu kepada orang/binatang yang
melakukan tindakan verba. Misalnya: Tom pruned the roses Dalam contoh di
atas, Tom berada pada kasus agentif. Namun, tidak selamanya subjek verba
menduduki kasus agnetif. Misalnya pada kalimat: Tom loves roses. Pada kalimat
ini Tom tidak melakukan tindakan, tetapi sikapnya yang terpengaruh oleh roses
disebutkan. Menurut Fillmore kasusnya disebut datif.
2) Datif adalah kasus mengenai makhluk hidup (bernyawa) yang dipengaruhi oleh
verba. Dalam bahasa Inggris biasanya disertai preposisi to.
Misalnya: Roy obeyed his father
Roy showed obedience to his father
Dalam contoh di atas, his father berada pada kasus datif. Dalam tata bahasa
kasus, N/FN yang mengacu kepada orang/binatang yang dipengaruhi tindakan
verba termasuk dalam kasus datif.
The Boy was frightened by the storm.
I persuaded Tom to go.
Jika dalam tata bahasa tradisional, datif disebut sebagai objek tak langsung.
Agaknya, dalam bahasa Indonesia ini biasa ditulis dengan: kepada; terhadap.
3) Benefaktif adalah kasus mengenai makhluk hidup (bernyawa) yang memperoleh
keuntungan akibat tindakan verba. Dalam bahasa Inggris biasanya disertai
preposisi for. Misalnya: Tom did it for Huck Joan baked a cake for Louise.
Agaknya, padanan preposisi for dalam bahasa Indonesia adalah: untuk; bagi;
buat; demi.
4) Komitatif adalah kasus yang ditujukan kepada N/FN yang berhubungan dengan
N/FN lain dalam satu kalimat.
Contoh: Tom runs away with Huck.
Preposisi yang berhubungan dengan kasus ini, dalam bahasa Inggris adalah with,
dan dalam bahasa Indonesia: dengan, bersama, dan.
5) Faktitif adalah kasus pada N/FN yang mengacu kepada sesuatu yang dibuat atau
diadakan.
Misalnya: Tony built the shed
Jika N/FN tersebut sebelumnya telah ada, maka dia memilki kasus objektif.
Misalnya: Tony repaired the shed
6) Ergatif adalah kasus yang bersifat kausatif, yang mengacu pada hubungan
sintaksis yang terjalin antara suatu kalimat.
Contoh: The raft moved, John moved the raft.
Dalam hal ini, Jhon dianggap sebagai subjek ergatif karena sebagai penyebab
perbuatan.
7) Instrumental adalah kasus mengenai instrument yang tidak bernyawa yang
merupakan penyebab suatu tindakan yang diespresikan oleh verba.
Misalnya: Mary opened the door with the key
The key opened the drawer
8) Lokatif adalah kasus yang memperkenalkan lokasi atau orientasi ruang/tempat
yang diperkenalkan oleh verba.
Contoh: Susan put the book on the table
She came from India

b. Penerapan teori tata bahasa kasus dalam bahasa Indonesia


Masing-masing kasus dalam bahasa Indonesia diuraikan seperti berikut ini.
1) Kasus Agentif
Kasus agentif adalah kasus yang secara khusus ditujukan bagi makhluk hidup
(yang bernyawa) yang merasakan hasutan tindakan yang diperkenalkan oleh
verba (dalam Tarigan, Fillmore, 1968: 24}. Kasus agentif mendapat pemarkah
[+hidup] yang merupakan pelaku suatu kegiatan atau yang memprakarsai
tindakan verba, seperti dalam kalimat ‘Marta memangkas bunga mawar, kata
‘Marta’ melakukan perbuatan memangkas atau memprakarsai tindakan
memangkas bunga mawar.
2) Kasus Experiens (P)
Kasus yang mengalami berbeda dengan kasus pelaku walaupun verba yang ada
di dalam predikat adalah verba yang sama. Bandingkan kalimat ‘Budi
mendengar suara aneh’ berbeda dengan kasus, ‘Budi mendengar radio’. Kata
‘Budi’ yang pertama mempunyai kasus yang mengalami sedangkan yang kedua
mempunyai kasus pelaku mendengar radio. Untuk membedakan PLK dan P
dapat digunakan masing-masing pertanyaan ‘Apa yang dilakukan PLK?’ dan
‘Apa yang terjadi pada P’.
3) Kasus Instrumen (I)
Kasus alat/ instrumental ialah kasus yang berkekuatan tidak hidup/tidak
bernyawa atau objek yang secara kausal terlibat di dalam tindakan atau keadaan
yang diperkenalkan oleh verba (dalam Tarigan, Fillmore, 1968: 24). Kasus
agentif mempunyai ciri [-hidup] yang tidak bernyawa, secara kausal merupakan
penyebab suatu tindakan atau keadaan yang diekspresikan oleh verba. Kasus ini
diberi pemarkah dengan preposisi ‘with’ dalam bahasa Inggris. Ini bukan berarti
bahwa setiap frasa benda yang didahului oleh preposisi ‘with’ adalah alat.
Misalnya, ‘Jhon opened the door with a key’, ‘a key’ merupakan alat untuk
membuka pintu dan menyebabkan pintu terbuka, tetapi pada kalimat ‘Jhon walks
with an umbrella’, ‘an umbrella’ merupakan kasus penyerta.
4) Kasus Objectif (O)
Kasus objektif adalah kasus yang secara semantis paling netral, kasus dari segala
sesuatu yang dapat digambarkan atau diwakili oleh sesuatu nomina yang
peranannya di dalam tindakan atau keadaan diperkenalkan oleh interpretasi
semantik verba itu sendiri; menurut pemikiran, konsep tersbut hendaknya
terbatas pada hal-hal yang dipengaruhi oleh tindakan atau keadaan yang
diperkenalkan oleh verba. Istilah ini hendaknya jangan dikacaukan dengan
pengertian ‘objek langsung’ ataupun dengan nama kasus permukaan yang
bersinonim dengan akusatif (dalam Tarigan, Filmore, 1968: 25). Dalam kalimat
‘Ali membunuh ular’, kata ‘ular’ adalah objektif. Namu, istilah objektif tidak
boleh diinterpretasikan sebagai objek langsung, seperti pada tata bahasa
tradisional karena apabila disamakan dengan objek langsung, maka akan ada
objek tak langsung. Padahal, gramatika kasus tidak mengenal objek tak
langsung, tetapi mempunyai nama tersendiri yang tidak dibicarakan pada saat
ini. Frasa benda dalam kasus objektif tidak melakukan kegiatan atau tindakan,
dan tidak pula menduduki posisi kasuskasus lain seperti alat dan sebagainya.
5) Kasus Sumber (S)
Kasus sumber merupakan sumber atau penyebab terjadinya proses atau kegiatan
atau keadaan yang dinyatakan oleh verba. Dalam kalimat ‘Gempa meruntuhkan
gedung-gedung tinggi’, ‘Hayati mengecewakan aku’ dan ‘Angin
menggoyangkan daun-daunan’, kata ’gempa’. ’Hayati’ dan ‘angin’ merupakan
sumber dari kegiatan, proses, atau keadaan yang disebutkan verba.
6) Kasus Tujuan (TJ)
Kasus tujuan lebih diartikan sebagai arah dari suatu kegiatan yang dinyatakan
oleh verba. Contoh ‘Jack menulis surat kepada Jhon’ dan ‘Joko menulis surat
untuk Karta’, kata ‘Jhon’ dan kata ’Karta’ adalah kasus yang berbeda. Yang
pertama dinyatakan sebagai tujuan, tetapi yang kedua merupakan benefaktif.
Preposisi ‘kepada’ dan ‘untuk’, dalam hal ini membedakan peran semantis antara
‘Jhon’ dan ‘Karta’.
7) Kasus Lokatif (L)
Kasus lokatif adalah kasus yang memperkenalkan lokasi, tempat, (atau letak)
ataupun orientasi ruang/spasi atau tindakan yang diperkenalkan oleh verba
(dalam Tarigan, Filmore, 1972: 90). Dalam kalimat ‘Anita mengajar di Aceh’,
kata ‘Aceh’ merupakan kasus tempat.
8) Kasus Waktu (WK)
Kasus waktu adalah waktu yang terpakai atau diduduki oleh suatu proses,
kegiatan, atau keadaan yang dinyatakan oleh verba. Dalam kalimat ‘Tuti datang
kemarin’, kata ‘kemarin’ adalah kasus waktu.
9) Kasus Penyerta (PNY)
Kasus penyerta adalah frasa benda yang mempunyai hubungan konjungtif
dengan frasa benda lain, yang ditandai oleh preposisi ‘dengan’, ’bersama’ dan
sebagainya. Contoh ‘ MS main catur dengan Latief’ dan MS bersama Latief main
catur’, kata ‘Latief’ merupakan kasus penyerta.
10) Kasus Benefaktif (BEN) Kasus Benefaktif mempunyai ciri [+ hidup]. Kasus
yang ditujukan bagi makhluk hidup (yang bernyawa) yang memperoleh
keuntungan dari tindakan yang diperikan oleh verba. Dalam Bahasa Inggris,
kasus ini dinyatakan dengan preposisi ‘for’ (Fillmore 1968). Dalam kalimat ‘Jack
opened the door for Paul’, kata ‘Paul’ menunjukkan kasus benefaktif. Kasus
benefaktif adalah nomina atau frasa nomina yang mengacu kepada orang atau
binatang yang memperoleh keuntugan, atau dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan dari tindakan verba. Dalam bahasa Indonesia ‘Ibu memberikan
kepada adik’, kata ‘adi’ menunjukkan kasus benefaktif. Di dalam gramatika
kasus yang dikembangkan oleh Fillmore (1968) batasan verba ditentukan dari
segi kerangka kasus (case frames), sesuai dengan lingkungan kasus yang ada di
dalam kalimat. Dalam gramatika kasus yang baru, pengertian kerangka kasus
tidak berubah. Batasan verba ditentukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada
hubungannya dengan verba di dalam strukturdalam (Fillmore, 1972), seperti
berikut ini. break + [---A, I, O] Kerangka kasus ini memperlihatkan bahwa verba
’break’ berada dalam kerangka yang mempunyai kasus objek yang obligatori,
dan kasuskasus pelaku dan alat yang opsional. Tetapi teori kerangka kasus ini
mengalami masalah, beberapa kerangka kasus sukar diterapkan. Masalah ini
dipecahkan dalam gramatika kasus yang baru dengan memperkenalkan (1) peran
kosong (vacant roles), (2) peran koreferensial (koreferential roles), dan 3) peran
terpratata (built – in roles). Peran kosong adalah peran kasus yang tidak muncul
pada strutur permukaan, tetapi ada di dalam struktur-dalam, seperti pada kalimat
berikut ini ‘Fred remainds me of my late grandfather’, ‘Fred resembles (to me)
my late grandfather’. Dengan verba seperti ‘reminds’ dan ‘resembles’ di dalam
struktur dalam terdapat kasus ALM, walaupun sering tidak terdapat representasi
permukaan kasus ALM pada verba ‘resemble’. Peran koreferensial adalah dua
kasus yang mempunyai satu acuan. Verba-verba yang mengandung makna
‘gerak’, misalnya, mempunyai kasus-kasus A, O, S, dan TJ. Namun, di antara
verba-verba ini terdapat perbedaan, dimana kasus PLK kadang-kadang
koreferensial dengan O, kadang-kadang dengan S, dan kadang-kadang dengan
TJ. Karena itu verba seperti ‘bergerak’, ‘berjalan’, ‘berlari’, ‘berenang’ dalam
bentuk transitif, A koreferensial dengan O. A yang merupakan O itulah yang
melakukan ‘bergerak’, ‘berjalan’, ‘berlari’ dan ‘berenang’. Pada verba seperti
‘melempar’, ‘memberi’, ‘menjual’ dan ‘mengirim’, A koreferensial dengan S.
Kegiatankegiatan tersebut dilakukan oleh A yang juga mempunyai peran S. Pada
verba seperti ‘meneria’, ’ mencuri’, ‘mengambil’ dan ‘mendapat’, A
koreferensial dengan TJ. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh A sebagai
TJ. Dengan pelepasan kasus koreferensial, verba-verba tersebut masingmasing
mempunyai karakteristik verba A-S-TJ, verba A-O-TJ; dan verba A-O-S. Tetapi
adanya kasus koreferensial di sini menandai semua verba tersebut sebagai verb
A-O-S-TJ. Oleh karena itu, verba-verba yang kelihatannya berbeda pada
representasi permukaan tidak berbeda pada representasi struktur-dalam. Peran
terpratata adalah peran yang dipunyai oleh konten leksikon verba itu sendiri.
Verba seperti ‘mencium’, ‘menampar’ dan ‘menendang’ mempunyai kasus
instrumen (I) yang tidak terungkap pada struktur-permukaan kecuali jika
instrumen (I) tersebut mempunyai keterangan tertentu. Orang tidak perlu lagi
menyebutkan misalnya, ‘dengan hidung’ untuk verba ’mencium’ dan sebagainya.

You might also like