You are on page 1of 9

Perhatian LAM

Pelestarian Rumah Limas Potong sebagai satu-satunya rumah


tradisional Melayu Batam mendapat perhatian khusus dari Lembaga
Adat Melayu (LAM) Kota Batam. Sejauh ini, LAM sudah berupaya agar
rumah tradisional tersebut mendapat perhatian pemerintah.

“Ini rumah tradisional terakhir yang punya sejarah. Selain ini tak ada lagi.
Memang sudah selayaknya pemerintah memerhatikan pelestariannya,” ujar
Ketua Dewan Penasihat LAM Kota Batam Machmur Ismail.

Menurut dia, keberadaan Rumah Limas Potong tersebut memiliki nilai


penting terutama untuk memperkenalkan budaya dan sejarah
Melayu Batam kepada generasi berikutnya.

Rumah Limas Potong harus dioptimalkan untuk menjadi sarana edukasi


dan penelitian budaya. Namun, hingga hari ini tampaknya potensi Rumah
Limas Potong belum diperhatikan dengan baik.

Terbukti, kunjungan budaya atau kunjungan edukasi ke rumah tradisional


itu sangat minim. Bahkan, kunjungan wisata ke sana terbilang nihil.

Padahal, kunjungan wisatawan asing ke Batam sangat besar. Jumlahnya


menjadikan Batam sebagai destinasi favorit wisman ketiga di Indonesia
setelah Bali dan Jakarta.

“Kami selalu memberikan pandangan kepada Pemko Batam untuk


melestarikan budaya Melayu, khususnya Rumah Limas Potong ini.
Sementara LAM sendiri tak bisa berbuat lebih banyak, karena masih
terkendala dana,” jelasnya.

Kendati terkendala dana, bukan berarti tak ada langkah yang dilakukan oleh
lembaga adat ini. LAM telah memulai pembicaraan dengan beberapa
negara serumpun seperti Malaysia dan Singapura terkait Rumah Limas
Potong.

LAM menawarkan agar negara-negara tersebut mengarahkan turisnya untuk


berkunjung ke Rumah Limas Potong di Nongsa. Percakapan tersebut
membuahkan hasil positif.

Negara serumpun bersedia membantu. Namun, untuk mengoptimalkan


pengelolaannya, LAM masih menunggu pemerintah daerah mengeluarkan
legalitas kampung tua di daerah tersebut. Tanpa legalitas tersebut, sulit
membuat nota kesepahaman dengan negara serumpun.
“Legalitas Kampung Tua menjadi hal yang paling krusial di sini. Karena
itu, kami selalu mendorong agar pemerintah segera menyelesaikan ini. Tak
hanya Pemko, juga BP Batam dan semua stakeholder lainnya,” tegasnya.

Ke depan, jika semua Kampung Tua sudah punya legalitas yang jelas, tak
menutup kemungkinan LAM akan mendorong pembangunan replika-
replika Rumah Limas Potong di beberapa Kampung Tua lainnya.

Selain itu, LAM sudah mengonsep adanya kampung wisata budaya yang
seluruh isinya merepresentasikan budaya Melayu Batam. Mulai adanya
keberadaan Rumah Limas Potong, juga ornamen dan replika peninggalan
sejarah.

“Kami sedang mencari kampung mana yang cocok. Yang paling pasti itu
Nongsa dan Tanjungriau. Ini juga sudah kami bicarakan dengan Pemko
Batam. Jadi perjuangan (legalitas) Kampung Tua itu juga melestarikan
budaya Melayu itu sendiri,” katanya.***

Sumber: Sindo Batam

Rumah Limas menjadi situs


sejarah Melayu
 Senin, 14 November 2011 16:15 WIB

Batam (ANTARA News) - Rumah Limas Potong di Batu Besar,


Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, dijadikan situs budaya dan
peninggalan sejarah Melayu.

Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Batam Yusfa Hendri di


Batam Senin mengatakan, Rumah Limas Potong memiliki nilai
sejarah bagi perkembangan budaya Melayu di Batam sehingga
ditetapkan sebagai situs sejarah.

"Dengan ditetapkan sebagai situs sejarah, Rumah Limas Potong


akan memiliki tiga fungsi yaitu historis, pendidikan, dan wisata," kata
Yusfa.

Fungsi historis, kata Kepala Dinas, untuk melestarikan peninggalan


kebudayaan melayu di Batam sedang fungsi edukasi yaitu
menjadikan rumah adat sebagai laboratorium sejarah sekaligus
pendidikan generasi muda.

"Selain itu, fungsi pariwisata, yaitu kami mengharapkan bangunan ini


dapat menjadi salah satu objek mendukung kepariwisataan di Kota
Batam," kata Yusfa.

Rumah Limas Potong di Kampung Teluk, Batu Besar, Nongsa,


merupakan rumah adat berbentuk panggung milik keluarga Haji
Muhammad Sain.

Dari prasasti yang terdapat di atas pintu masuk rumah, diketahui


bangunan tua itu didirikan 1 November 1959.

Untuk menambah daya tarik dan kelestarian rumah panggung, Yusfa


mengatakan pemerintah kota memugar beberapa bagian asli.
"Tentunya dengan izin ahli waris," kata Yusfa.

Ia mengatakan pemugaran beberapa bagian rumah dilakukan tanpa


mengubah bentuk asl.

Pemkot memanfaatkan beberapa bagian rumah, di antaranya satu


ruangan yang dijadikan tempat memajang diorama perkawinan adat
Melayu.

Menurut dia, penetapan Rumah Limas Potong sebagai situs sejarah


merupakan bentuk komitmen Pemerintah Kota Batam untuk
melestarikan budaya sekaligus mengembangkan potensi wisata di
Kota Batam.

Sementara itu, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan mengatakan sejarah


berdirinya Kota Batam bermula dari surat perintah Yang
Dipertuanmuda Riau Lingga kepada Raja Isa untuk membina suatu
kawasan yang kemudian bernama Nongsa pada 18 Desember 1829.

"Saat itu, Batam bukan sebagai pusat kerajaan melainkan hanya


semacam pemberian otoritas kepada Raja Isa untuk
mengembangkan kawasan ini, sehingga tidak banyak situs sejarah
yang dapat kami temukan," kata pria tempatan.

Rumah Limas Potong, kata Wali Kota, dipenuhi dengan simbol-


simbol dan nilai kearifan budaya di zamannya.

"Rumah Limas ini merupakan prototipe rumah adat melayu pada


masa yang lampau, yang juga merupakan situs sejarah yang adalah
akar budaya melayu sehingga merupakan kebanggaan bagi kami
untuk dapat melestarikan situs ini, hingga kelak generasi mendatang
dapat terus menyaksikan kebudayaan Melayu," kata Wali Kota.

Rumah Limas Potong, Rumah Tradisional Terakhir di Tanah


Batam Sarma Haratua Siregar Jum'at, 29 April 2016 - 05:00 WIB
Rumah Limas Potong, Rumah Tradisional Terakhir di Tanah
Batam A A A Rumah panggung itu terbuat dari kayu. Berdiri tegak
di atas tiang pancang setinggi 1,5 meter, rumah bercat krem itu
terlihat lebih tinggi dari rumah-rumah lain di sebelahnya. Atapnya
spandek, terlihat lebih modern dibandingkan dinding papan
rumahnya. Ada pagar besi yang mengelilingi. Di pintu gerbang,
ada semacam prasasti bertuliskan Selamat Datang yang
menyambut setiap tamu yang berkunjung. Itulah Rumah Limas
Potong di Kampung Melayu, Batubesar, Nongsa, Batam,
Kepulauan Riau. Rumah ini terbilang istimewa karena merupakan
rumah tradisional Melayu satu-satunya yang masih bertahan di
Batam. Menapak ke dalam rumah tersebut, kita seperti melihat
kembali kepada lembaran-lembaran sejarah masa lampau.
Maklum, dahulu, rumah warga Melayu di Nongsa, termasuk
rumah sosok penting di Batam, Raja Nong Isa, memang
berbentuk seperti Rumah Limas Potong. (Baca juga: Raja Isa,
Sosok Penting dalam Sejarah Pemerintahan di Batam ). Rumah
Limas Potong yang berdiri hingga saat ini dibangun pada
November 1959 oleh Haji Abdul Karim atas permintaan Haji Sain.
Abdul Karim sudah meninggal dunia, sedangkan Sain sudah
berumur 92 tahun. Anak dari kedua tokoh tadilah yang menemani
KORAN SINDO BATAM melihat-lihat isi Rumah Limas Potong
tersebut. Muhammad Zen, anak Abdul Karim, sedangkan Abdul
Rasyid putra Haji Sain. Tepat di ruangan pertama rumah itu,
terpampang sejumlah foto bertajuk sejarah yang memamerkan
aktivitas masyarakat Melayu di daerah tersebut puluhan tahun
lalu. Ada pula sebuah foto beberapa pria menggenggam sejumlah
dokumen sambil berjalan tersenyum di atas sebuah jembatan.
Itulah foto yang diambil ketika pusat pemerintahan kecamatan
pertama di Batam pindah dari Pulau Buluh ke Belakang Padang.
Foto lainnya bercerita tentang warga yang bermain-main di tanah
lapang. Ada pula foto wajah seorang guru agama bernama Haji
Muhammad Nur, yang sangat dihormati masyarakat setempat.
Guru agama ini berkontribusi besar dalam membangun akhlak
anak-anak sekitar. Seluruh foto hitam putih itu merupakan
memoar sejarah yang tak terlupakan. "Rumah ini disebut Potong
Limas karena atapnya berbentuk seperti limas yang dipotong,"
kata Muhammad Zen. Rumah Limas Potong terbagi dalam empat
bumbung sengkuap. Pertama, anjungan teras yang berada di
depan rumah, kemudian ruangan paling awal disebut rumah ibu.
Rumah ibu terbagi dua ruangan utama, yakni ruang untuk
menyambut tamu lelaki dan ruang tidur. Namun, ketika ada yang
menikah, ruang kamar tidur akan digunakan sebagai tempat
pengantin. Saat ini, ruang ibu kedua itu sudah dilengkapi dengan
diorama yang dibuat seolah pengantin sedang menikah.
Pengantin pria menggunakan pakaian Melayu cara Arab,
sementara pengantin perempuan menggunakan busana Melayu
cara China. Busana pengantin ini menunjukkan bahwa akulturasi
budaya Melayu dengan budaya asing sudah terjadi sejak lama.
Kedua diorama pengantin ini didudukkan di atas Pete Ratne
berwarna merah. Seperti raja dan ratu, mereka diapit oleh kedua
pendamping pengantin dengan baju kurung Melayu berwarna
hijau. Di depan pengantin ada meja rendah kecil berwarna merah.
Di atasnya rapi tersusun peralatan tepung tawar. Persis
berseberangan dengan Pete Ratne, ada sebuah pelaminan
berwarna merah. Di bawahnya ada ornamen khas Melayu tempo
dulu, yang sudah jarang ditemui saat ini. Pelaminan merah ini
berfungsi sebagai tempat tidur pengantin. Masuk ke ruangan lebih
dalam, ada dua buah ruangan yang disebut Bandung Satu dan
Bandung Dua. Bandung Satu adalah tempat untuk
bercengkerama antarkeluarga. Jika ada sanak famili yang sedang
berkunjung, di sanalah mereka duduk, makan, berbincang, dan
tidur. Di tengahnya terhampar sebuah tikar anyaman pandan
sederhana. Di atasnya ada tudung saji kerucut yang biasanya
dipakai menutupi makanan. Lantai Bandung Dua agak lebih
rendah dari Bandung satu. Masyarakat Melayu biasa
menyebutnya bendul. Bandung Dua adalah dapur, yang berisi
berbagai alat masak, perangkat makanan, dan tempat
penyimpanan bahan makanan. Ada sebuah tiang besar antara
Bandung Satu dan Bandung Dua. Tiang ini dinamakan Tiang Seri.
Tak sembarang orang boleh duduk di sana. Itu adalah tempat
khusus yang digunakan kepala keluarga untuk bersandar kala
duduk berkumpul bersama keluarga di Bandung Satu. "Kami dulu
diajarkan, kalau duduk di sana akan kualat. Bisa kena sambar
petir. Itulah yang menunjukkan bahwa tempat itu tak boleh
sembarangan diduduki," ujar Muhammad Zen. Ahli waris Rumah
Limas Potong ini, Abdul Rasyid mengatakan, sejak diresmikan
sebagai situs budaya oleh Wali Kota Batam Ahmad Dahlan pada
2011, belum ada turis yang mampir ke sana. Hanya ada satu pria
berkebangsaan Perancis yang berkunjung. Kunjungannya pun
didampingi oleh Kadis Pariwisata Kota Batam Yusfa Hendri.
"Sejak itu tak ada lagi. Hanya itulah satu-satunya turis yang
datang ke sini. Saya tak mungkin tak tahu kalau ada yang datang,
kerena kunci rumah ini ada pada saya," ujarnya. Jika ada yang
berkunjung ke sana, kebanyakan adalah para siswa yang ingin
belajar lebih banyak mengenai kebudayaan Melayu. Atau calon-
calon pengantin yang ingin mengambil foto prewedding berlatar
Rumah Limas Potong ini. Sekarang, status rumah ini adalah hak
bersama antara Pemko Batam dan ahli waris. Pemko Batam
sempat mengungkapkan niatnya untuk membeli rumah dan tanah
tersebut pada 2011. Ahli waris mengungkapkan harganya, tapi
sejak itu tak ada respons dari Pemko Batam. "Kami bilang
harganya Rp300 ribu per meter untuk tanah plus rumahnya. Tapi
setelah itu sepertinya tak ada respons lagi," ujarnya. Menurutnya,
sangat baik bila rumah tersebut dijadikan museum. Namun
keluarganya sudah menyerahkan seluruh penggunaan rumah
tersebut kepada Pemko Batam. Dia sendiri tak bisa memberikan
keputusan lagi terkait penggunaan rumah tersebut tanpa
perundingan bersama terlebih dahulu. Rumah Limas Potong yang
ada sekarang adalah generasi ketiga. Sementara, generasi kedua
dan pertama sudah tak ada lagi. Rumah generasi ketiga ini pun
sudah merupakan yang terakhir. Tergerus oleh pembangunan
rumah-rumah dengan gaya yang lebih modern. Menurut
Muhammad Zen, awalnya pemerintah merencanakan Rumah
Limas Potong ini sebagai titik objek wisata untuk dikunjungi, tapi
sampai sekarang belum terlaksana. Zen merasa sedih melihat
kondisi tersebut, mengingat keberadaan Rumah Limas Potong ini
merupakan kebanggaan warga sekitar. Pemerintah hanya
memberikan bantuan berupa dana perawatan, tanpa disertai
program untuk meningkatkan kunjungan wisata ke sana. "Dana
perawatan diberikan setiap bulannya. Itulah yang digunakan oleh
pemilik tempat ini untuk merawat rumah ini. Tapi kalau program
promosi dan sebagainya tampaknya belum ada. Kunjungan
wisatawan bisa dibilang kurang," jelasnya. Padahal, bukan tak
mungkin bila pemerintah merancang beberapa program misal
dengan mengadakan acara tahunan yang dipusatkan di sana,
atau mengimbau travel-travel di Batam untuk memasukkannya ke
dalam rute perjalanan wisata di Batam, jumlah kunjungan
wisatawan ke Rumah Limas Potong tersebut akan naik. "Kita
harap bisa seperti itu. Atau sekalian jadikan museum. Kalau soal
syarat-syarat, kita bisa pelajari bersama. Dengan demikian
potensi wisata edukasi, penelitian, dan objek wisata bisa
dioptimalkan. Lingga saja sampai mendirikan replika istananya.
Kita sudah ada, tinggal diberdayakan," tuturnya. Perhatian LAM
Pelestarian Rumah Limas Potong sebagai satu-satunya rumah
tradisional Melayu Batam mendapat perhatian khusus dari
Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam. Sejauh ini, LAM sudah
berupaya agar rumah tradisional tersebut mendapat perhatian
pemerintah. "Ini rumah tradisional terakhir yang punya sejarah.
Selain ini tak ada lagi. Memang sudah selayaknya pemerintah
memerhatikan pelestariannya," ujar Ketua Dewan Penasihat LAM
Kota Batam Machmur Ismail. Menurut dia, keberadaan Rumah
Limas Potong tersebut memiliki nilai penting terutama untuk
memperkenalkan budaya dan sejarah Melayu Batam kepada
generasi berikutnya. Rumah Limas Potong harus dioptimalkan
untuk menjadi sarana edukasi dan penelitian budaya. Namun,
hingga hari ini tampaknya potensi Rumah Limas Potong belum
diperhatikan dengan baik. Terbukti, kunjungan budaya atau
kunjungan edukasi ke rumah tradisional itu sangat minim.
Bahkan, kunjungan wisata ke sana terbilang nihil. Padahal,
kunjungan wisatawan asing ke Batam sangat besar. Jumlahnya
menjadikan Batam sebagai destinasi favorit wisman ketiga di
Indonesia setelah Bali dan Jakarta. "Kami selalu memberikan
pandangan kepada Pemko Batam untuk melestarikan budaya
Melayu, khususnya Rumah Limas Potong ini. Sementara LAM
sendiri tak bisa berbuat lebih banyak, karena masih terkendala
dana," jelasnya. Kendati terkendala dana, bukan berarti tak ada
langkah yang dilakukan oleh lembaga adat ini. LAM telah memulai
pembicaraan dengan beberapa negara serumpun seperti
Malaysia dan Singapura terkait Rumah Limas Potong. LAM
menawarkan agar negara-negara tersebut mengarahkan turisnya
untuk berkunjung ke Rumah Limas Potong di Nongsa.
Percakapan tersebut membuahkan hasil positif. Negara serumpun
bersedia membantu. Namun, untuk mengoptimalkan
pengelolaannya, LAM masih menunggu pemerintah daerah
mengeluarkan legalitas kampung tua di daerah tersebut. Tanpa
legalitas tersebut, sulit membuat nota kesepahaman dengan
negara serumpun. "Legalitas Kampung Tua menjadi hal yang
paling krusial di sini. Karena itu, kami selalu mendorong agar
pemerintah segera menyelesaikan ini. Tak hanya Pemko, juga BP
Batam dan semua stakeholder lainnya," tegasnya. Ke depan, jika
semua Kampung Tua sudah punya legalitas yang jelas, tak
menutup kemungkinan LAM akan mendorong pembangunan
replika-replika Rumah Limas Potong di beberapa Kampung Tua
lainnya. Selain itu, LAM sudah mengonsep adanya kampung
wisata budaya yang seluruh isinya merepresentasikan budaya
Melayu Batam. Mulai adanya keberadaan Rumah Limas Potong,
juga ornamen dan replika peninggalan sejarah. "Kami sedang
mencari kampung mana yang cocok. Yang paling pasti itu Nongsa
dan Tanjungriau. Ini juga sudah kami bicarakan dengan Pemko
Batam. Jadi perjuangan (legalitas) Kampung Tua itu juga
melestarikan budaya Melayu itu sendiri," katanya.

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada


Jum'at, 29 April 2016 - 05:00 WIB oleh Sarma Haratua Siregar
dengan judul "Rumah Limas Potong, Rumah Tradisional Terakhir
di Tanah Batam". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://daerah.sindonews.com/berita/1104498/29/rumah-limas-
potong-rumah-tradisional-terakhir-di-tanah-batam

Untuk membaca berita lebih mudah, nyaman, dan tanpa banyak


iklan, silahkan download aplikasi SINDOnews.
- Android: https://sin.do/u/android
- iOS: https://sin.do/u/ios

You might also like